2 PIDANA KERJA SOSIAL DALAM KEBIJAKAN KRIMINAL HUKUM PIDANA INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLeh NAMA : EVA NORITA NIM : 040200036 DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 3 PIDANA KERJA SOSIAL DALAM KEBIJAKAN KRIMINAL HUKUM PIDANA INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Diajukan Oleh : NAMA : EVA NORITA NIM : 040200036 DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA Disetujui Oleh : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS (DOSEN PEMBIMBING I) Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum (DOSEN PEMBIMBING II) Diketahui Oleh : Ketua Depertemen Hukum Pidana H. ABUL KHAIR, SH. M.HUM NIP. 131842854 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 4 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya kepada penulis sehinggga dapat meyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia”. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi dan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal ini merupakan sutu kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu karya ilmiah berupa skripsi. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk tantangan yang harus dihadapi dan akhirnya penulis dapat melewatinya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Sangatdisadari penulis bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya, baik dari segi isi maupun tata bahasanya. Oleh krena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun kesempurnaan skipsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan peghargaan yang tidak terhingga kepada Ayahanda Drs. Pangihutan Tambun dan Ibunda Renta Nababan tersayang, terima kasih atas cinta, kasih sayang, doa dan semangat yang diberikan untuk penulis, sehingga penulis dapat berbakti dan hidup lebih mandiri dan menghargai arti dari kehidupan. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 5 Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin SH. MS, selaku Dosen Pembimbing I berkat partisipasi dan dukungan serta arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Berkat kesabaran dan perhatian beliau yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan II Fakults Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Abul Khair SH, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. 6. Ibu Erna Herlinda, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis, yang selalu memberi dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi sebagai pemenuhan untuk memperoleh gelar sarjana hukm. 7.. Adik-adikku ERVINNA JUNITA dan ADI SAPUTRA tercinta terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan selama ini. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 6 8. Sahabat terbaikku SEPRIARTO SIMANJUNTAK yang selalu memberi dukungan, memberikan pengertian dan selalu setia menemani penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Seluruh Staff pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas semua ilmu yang Bapak/Ibu dosen berikan selama ini, semoga ilmu itu dapat menjadi batu loncatan menuju kesuksesan bagi penulis. Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Medan, Maret 2009 Penulis EVA NORITA Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 7 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................. i ABSTRAKSI ............................................................................................ ii DAFTAR ISI ............................................................................................ iii BAB I : PENDAHULUAN ................................................................ 1 A. Latar Belakang ................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ......................................................... 6 C. Keaslian Penulisan ........................................................... 6 D. Tujuan Penulisan ............................................................. 7 E. Manfaat Penulisan ............................................................ 7 F. Tinjauan Kepustakaan ...................................................... 8 1. Pengertian Pidana Kerja Sosial .................................... 8 2. Arti Pemidanaan ......................................................... 11 3. Pengertian Kebijakan Kriminal ................................... 18 G. Metode Penulisan ............................................................. 23 H. Sistematika Penulisan ...................................................... 24 BAB II : DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA ........................................ 25 A. Teori-Teori Tujuan Pemidanaan di Dunia ........................ 25 B. Membangun Tujuan Pemidanaan di Indonesia ................. 48 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 8 BAB III : PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM CRIMINAL POLICY DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA ....................... 61 A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial .................. 61 B. Pidana Kerja Sosial dalam Criminal Policy Dikaitkan dengan Tujuan Pemidanaan ............................................. 73 BAB IV : PENUTUP ............................................................................ 84 A. Kesimpulan ...................................................................... 84 B. Saran ................................................................................ 90 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 9 ABSTRAKSI Pidana Kerja Sosial (Community Service Order) merupakan salah satu jenis pidana baru dalam Rancangan KUHP Indonesia. Beberapa alasan munculnya Pidana Kerja Sosial antara lain: karena adanya upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan tidak hanya mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi melihat akar lahirnya persoalan kejahatan dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial sangat penting dilakukan. Semakin tidak disukainya pidana perampasan kemerdekaan baik yang berjangka pendek dengan pertimbangan kemanusiaan, yang memiliki dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung terhadap si narapidana. Overkapasitas penjara karena banyaknya napi dengan hukuman minimal cenderung menjadi pembuat onar di penjara. Skripsi yang berjudul “Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia” mengetengahkan permasalahan tersendiri mengenai pidana kerja sosial menurut hukum positif Indonesia dan permasalahan penerapan pidana kerja sosial terhadap pemidanaan. Penulis menggunakan metode penelitian dengan metode hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan/ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). Tahap awal penulis melakukan penelitian terhadap bahan hukum yang berkaitan dengan Pidana Kerja Sosial yang diatur dalam Rancangan KUHP Tahun 2006 dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pengaturan Pidana Kerja Sosial di dalam Rancangan KUHP telah diuraikan secara jelas, lengkap dan sistematis. Pidana Kerja Sosial sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi dalam memfungsikan hukum pidana pada pengenaan Pidanana Kerja Sosial adalah dengan meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum dan pemahaman masyarakat tentang Pidana Kerja Sosial, serta meningkatkan sarana, prasarana, serta fasilitas yang dibutuhkan dalam menunjang fungsionalisasi tersebut. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 10 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum ada pada setiap masyarakat di mana pun di muka bumi ini. Primitif atau modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. 3 Masyarakat pada umumnya kerap kali memahami hukum sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum akan tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan. 4 Hukum pidana adalah bagian dari sistem hukum atau sistem norma. Sebagai suatu sistem, hukum memiliki sifat umum dari suatu sistem, yaitu menyeluruh (whole), memiliki beberapa elemen (elements). Kata pidana berasal dari kata straf (Belanda) sering juga disebut hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari hukuman, karena hukum sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara 3 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 27. 4 Emon Makarim, Komplikasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 13. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 11 khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).5 Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan tentang arti pidana, yaitu antara lain sebagai berikut: Moelyatno mengatakan istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordt gestraft”, merupakan istilahistilah yang kontroversial. 6 Beliau menggunakan istilah yang inkontroversial yaitu pidana yang menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Sudarto 7 menyatakan, secara tradisional pidana didefenisikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang, sengaja akan dirasakan sebagai nestapa. Roeslan Saleh menyatakan, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. 8 Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah bertujuan untuk mengatasi pelbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang, yang merupakan 5 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I ,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 71-72. 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 1. 7 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 109-110. 8 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bineka Aksara, 1987, hal. 5. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 12 peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang ternyata banyak pengaturan di dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 manapun dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintahan kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai di Indonesia adalah KHUP yang bersumber dari hukum Belanda (Wetboek Van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Sudarto 10 menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda. Kenyataan inilah yang menyebabkan untuk melakukan perubahan hukum pidana (Penal Reform)11 9 http: // www.elsam.or.id/ rancanagan penjelasan atas rancanngan kitab undangundang hukum pidana, yang diakses pada tanggal 11 November 2008,pukul 11.41 Wib. 10 Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3. 11 http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 13 di Indonesia, yang akhirnya memperkenalkan istilah baru dalam hukum pidana yaitu hukum pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana jenis pidana kerja sosial mulai diperkenalkan dalam konsep Rancangan KUHP tahun 1991/1992 yang diketuai oleh Mardjono Reksodiputro jenis pidana diatur dalam pasal 57, 12 pidana kerja sosial masih menggunakan istilah pidana kerja bakti, yang tercantum dalam pidana pokok. Kemudian konsep KUHP tahun 2000 mengenai pemidanaan diatur dalam pasal 60, 13 dalam rancangan ini jenis pidananya sudah memakai kata pidana kerja sosial. Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Bertolak dari permasalahan secara etimologis, maka secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Dalam konteks ini, putusan pengadilan tersebut dianggap sebagai perintah (orders) terhadap terpidana, yaitu tentang jangka waktu pelaksanaan pidana dan tempat pelaksanaan pidana. Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty), oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung halhal yang bersifat komersial. Upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi melihat akar lahirnya persoalan kejahatan 12 13 http: //www.RUU KUHP tahun 1999/2000, Departemen Hukum dan HAM. Ibid Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 14 dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial sangat penting dilakukan. Kebijakan peninggalan kejahatan ini dalam bahasa Hoefnagels disebut criminal policy yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai kebijakan kriminal. Sudarto 14 menyatakan bahwa kebijakan kriminal atau politik hukum pidana adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Ada beberapa alasan untuk memuat pidana kerja sosial sebagai salah satu pidana pokok dalam Rancangan KUHP yang sudah lama dibahas oleh pemerintah, antara lain: a. Adanya keinginan untuk menggunakan alternatif jenis pidana sebagai variasi dari pemidanaan jangka pendek, mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia sebagai lembaga terakhir dalam sistem peradilan pidana terpadu (integreted criminal justice system) telah mengalami over kapasitas. Sehingga over kapasitas dapat berdampak pada timbulnya suasana tidak sehat dan berpotensi menimbulkan keributan, serta kurang optimalnya kualitas pembinaan dan pemenuhan kebutuhan kesehatan. 15 b. Adanya pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga 14 Mahmud Mulyadi, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap TindakPidana Kesusilaan, Kritisi Terhadap RUU KUHP, bahan kuliah, Medan. 2007, hal. 5 15 http: //www.google.co.id/ yang diakses pada tanggal 29 November 2008, pukul 13.01 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 15 terhadap kelurga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. 16 c. Napi-napi dengan hukuman minimal cenderung menjadi pembuat onar di penjara, karena mereka berpikir tidak akan dihukum lama. Napi-napi ini biasanya juga mempratekkan ilmu kriminal baru hasil berguru di penjara. (Hamid Awaludin Menteri Hukum dan HAM). 17 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar filosofis dan konsep pemidanaan di Indonesia ? 2. Bagaimanakah prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan dengan tujuan pemidanaan Indonesia? C.Keaslian Penulisan Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan media masa baik media cetak maupun media elektronik. Skripsi ini belum ada yang pernah mengangkat sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan datadata yang terdaftar di sekertariat jurusan pidana dan di perpustakaan Fakultas 16 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002, hal. 4. 17 Suara Karya Online, Sabtu 29 November 2008, Lapas Penuh Dihukum Satu Tahun, Napi Tidak Usah Dipenjara. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 16 Hukum Universitas Sumatera Utara, oleh karena itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. D.Tujuan Penulisan Tujuan yang digunakan dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui dasar-dasar filosofis pemidanaan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan dengan tujuan pemidanaan Indonesia. E.Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis Diharapkan dapat memberikan sumbagan pemikiran bagi perkembagan ilmu hukum pada umumnya. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam mengetahui prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan dengan tujuan pemidanaan Indonesia. 2. Secara Praktis Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam mengambil kebijakan terhadap si pelanggar hukum pidana. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 17 F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pidana Kerja Sosial Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu “pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana di mana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah pidana kerja sosial lazim diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan istilah Community Service Order. 18 Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang harus dijalani oleh terpidana di luar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (works as a penalty). Jenis pidana kerja sosial ini merupakan pidana yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun ketentuan pidana diluar KUHP. Secara teoritis pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi 19 yaitu: a. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana kerja sosial jangka pendek Sesuai dengan dasar pemikiran yang melatar belakangi lahirnya jenis pidana kerja sosial yaitu upaya untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Sekalipun dengan cara penerapan yang berbeda sebagai pidana mandiri atau sebagai syarat berkaitan dengan penjatuhan pidana bersyarat 18 Ibid, hal. 7. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 139. 19 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 18 kecenderungan internasional yang terjadi adalah sama yaitu menjadikan pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. 20 b. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar Pidana kerja sosial dapat menggantikan pidana penjara pengganti apabila terpidana denda gagal membayar pidana dendanya. Jadi apabila ada seorang terdakwa oleh hakim dijatuhi hukuman denda kemudian tidak dapat membayar denda tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya denda terpidana harus menjalani pidana penjara pengganti. Dalam pelaksanaannya, pidana penjara pengganti (denda) inilah yang dapat diganti dengan pidana kerja sosial. c.Pidana kerja sosial dalam kerangka grasi Di beberapa negara Eropa pidana kerja sosial ini dapat menjadi syarat deterapkannya grasi. Di negara Belanda misalnya, grasi dapat dijatuhkan atau diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus melakukan pidana kerja sosial. Menurut pendapat Muladi 21 syarat yang memungkinkan untuk penjatuhan pidana kerja sosial antara lain dikemukakan sebagai berikut: a.Yang berkaitan dengan tindak pidana Secara umum di negara Eropa mempersyaratkan, bahwa pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Persyaratan yang mungkin ditetapkan dalam penerapan pidana kerja sosial adalah persyaratan yang 20 Kecenderungan internasional dalam menerapkan pidana kerja social antara lain dapat dilihat dari penerapan jenis pidana tersebut oleh negara-negara Erpa seperti Denmark, Jerman, Inggris, Prancis, Belanda, Norwegia, dan Portugal. 21 Muladi, Op. cit, hal. 141. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 19 berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan criminal record dari pelaku. b. Jumlah jam pidana kerja sosial Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja sosial juga menyangkut pengaturan tentang minimum dan maksimum jam kerja pidana kerja sosial yang disetiap negara bervariasi. c. Persetujuan terpidana Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di berbagai negara memiliki penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas persetujuan terpidana. Persetujuan terpidana ini dibituhkan untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik dengan berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force labour), dan agar hakim dapat menjamin, bahwa terpidana memang mempunyai motivasi untuk melakukan pidan kerja sosial. d. Isi pidana kerja sosial. Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di pengadilan hanya menetapkan jumlah jam dan jangka waktu yang harus dipenuhi. Sementara pelaksanaannya secara teknis yang berkaitan dengan tempat di mana pidana kerja sosial harus dijalani, berapa jam pidana kerja sosial harus dijalankan setiap harinya dan sebagainya dilakukan oleh probation service. Waktu pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama: 1) 240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun keatas; 2) 120 jam bagi terpidana yang berusia di bawah 18 tahun. 22 22 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 21. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 20 e. Kegagalan menjalani pidana kerja sosial Seorang terpidana yang gagal menjalani pidana kerja sosial, kegagalan tersebut akan membawa akibat tertentu bagi terpidana, yang dapat berupa: 1. Apabila pidana kerja sosial tersebut berupa pidana yang mandiri maka akibat kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat berupa dijatuhi denda sampai batas tertentu, mengulangi lagi pelaksanaan pidana kerja sosial atau dikenakan pidana alternatif yang lain. 2. Apabila pidana kerja sosial ditetapkan dalam kaitannya dengan pidana bersyarat (suspended sentence), maka kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat mengakibatkan diterapkannya pidana penjara yang ditunda. Akibat kegagalan tersebut terpidana juga dapat diharuskan untuk mengulangi pidana kerja sosial itu. Pidana kerja sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.23 Pidana kerja sosial merupakan pidana yang bersifat rehabilitasi kepada narapidana atau pendidikan kembali. 2. Arti Pemidanaan. Banyak orang awam memberikan arti yang sama antara pemidanaan dan pidana, tetapi sesungguhnya kedua istilah itu mempunyai pengertian yang berbeda. Pengertian pidana menurut beberapa sarjana: 23 http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tangggal 11 september 2008, pukul 11.41 Wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 21 Sudarto 24 menyatakan yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Van Hamel menyatakan arti pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas norma negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan. 25 Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusa hakim dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 26 Moeljatno 27 menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum yang meletakkan dasar dan aturan-aturan untuk menentukan: a. Perbuatan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan dengan disertai ancaman sanksi berupa pidana tertentu; b. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; c. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 24 Muladi dan Barda Nawawi Arief. ibid, hal. 2. P.A.F. Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34. 26 Ibid, hal. 34. 27 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan, tahun 2007, hal. 25 2. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 22 Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). 3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 28 Sedangkan pemidanaan itu adalah menetapkan jenis hukuman terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini dapat dikatakan pola penjatuhan pidana oleh hakim. 29 Beberapa pengertian para sarjana mengenai pemidanaan atau pemberian pidana ini, antara lain: Roeslan Saleh 30 menyatakan pada hakekatnya ada dua proses yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu: a. segi provensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu untuk dapat mempertahankan dengan pencegahan kejahatan. b. segi pembalasan, yaitu hukum pidana berupakan sekaligus merupakan pola penentuan hukuman, merupakan koreksi dari dan reaksi atas suatu yang bersifat tindakan hukum. Sahetapy 31 mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembalasan”. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang 28 Muladi dan Barda Nawawi Arief, ibid, hal.4. Ibid, hal.36. 30 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana ,Ibid, hal. 17-20. 30 Ibid, hal. 20. 29 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 23 telah ditempuhnya. Makna membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Bismar Siregar 32 menyatakan yang pertama-tama yang patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana cara agar hukuman badaniyah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan perdamaian dalam kehidupan manusia. Hegel33 berpendapat bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri. Sedangkan Kant dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan hukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa: “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini merupakan penulisan hukumpidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordering”. 34 32 33 Ibid, hal. 21. Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 4, Medan, tahun 2007, hal. 60. 34 Ibid, hal. 36 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 24 Pemidanaan dalam pandangan (perspektif) Pancasila yang dianut oleh hukum Indonesia , haruslah sesuai dengan budaya yang dianut di masyarakat, yang pada prinsip-prinsipnya dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa, wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, sehingga ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain, pemidanaan harus berfungsi sebagai pembinaan mental orang yang dipidana dan mentarnsformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius. 35 Kedua, pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasinya yang paling dasar jaminan atas hak hidup dan hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non derogable rights) serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun. Implikasinya adalah, meskipun terpidana berada dalam lembaga pemasyarkatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan dan tingkah laku jahatnya. 36 Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan 35 J. E. Sahetapy,Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Pers, 1982, hal. 284, dan M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Impelementasinya, Jakarta: Raja Grafika Persada, 2003, hal. 109. 36 Ibid Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 25 bangsa dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan. Dengan kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa. 37 Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmad, mampu mengendalikan diri, disiplin dan mengharmati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat. 38 Kelima, menimbulkan kesadaran kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang menelitinya membuatnya menjadi penjahat. 39 Penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas pembuatan si pelanggar hukum. 40 Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perubahan kejahatan tersebut, apakah berupa hukuman penjara ataupun yang bersifat penderitaan. Pemidanaan mempunyai arti yang sama dengan menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana oleh negara yang berwujud sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau deberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah 37 Ibid. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Implementasinya, Jakarta: Raja Grafi Persada, 2003, hal. 110. 39 Ibid. 40 Abdul. Yani, Sosiologi Kriminal, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal, 12. 38 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 26 melanggar larangan hukum pidana, yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit). Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. 41 Untuk melihat sejauh mana landasan tujuan pemidanaan dan bentuk- bentuk sanksi yang ditetapkan, karena penetapan sanksi dalam peraturan perundang-undangan adalah sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan dari kebijakan hukum pidana (penal policy). 42 Wujud-wujud penjatuhan pidana yang diberikan oleh negara bagi si pembuat delik dimuat dalam pasal 10 KUHP, yang berbunyi: “Hukuman-hukuman ialah: a. Hukuman-hukuman pokok: 1.hukuman mati, 2.hukuman penjara, 3.hukuman kurungan, 4.hukuman denda: b. Hukuman-hukuman tambahan: 1.pencabutan beberapa hak tertentu, 2.perampasan beberapa barang yang tertentu, 3.pengumuman keputusan hakim.” Negara dalam menjatuhkan hukuman terhadap si pembuat delik tidak memiliki kehendak bebas, karena harus sesuai dengan jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP. Negara harus memberi perlindungan dan rasa aman bagi warganya dengan menjamin hak asasi setiap warga Negara terutama yang berkaitan dengan kesamaan hak di depan hukum (equality before the law) sesuai dengan fungsi negara sebagai pengayom masyarakat. 41 42 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.cit, 1987, hal. 5. http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tangggal 11 september 2008, pukul 11.41 Wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 27 3.Pengertian Kebijakan Kriminal Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek” istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum, oleh karena itu sangat penting untuk membicarakan tentang politik hukum. Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum, oleh karena itu menurut Sudarto,43 istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu: 1. perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti suatu yang berhubungan dengan negara; 2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara. Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik kriminal, politik hukum, dan politik hukum pidana. Mahfud 44 menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan asmsi hukum dipandang sebagai dependen variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh) maka Mahfud merumuskan politik hukum sebagai: 43 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana,Bandung: Sinar Grafika, 1983, hal.16. dan M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hal. 13. 44 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 1-2 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 28 Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Menurut Solly Lubis 45 mengatakan bahwa politik hukum pidana adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sudarto 46 berpendapat bahwa politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan. Proses perkembangan masyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi menurt sudarto, dapat diartikan sebagai proses penyesuaian diri dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini. Apabila hukum pidana dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. Politik kriminal menurut Sudarto, 47 politik kriminal itu dapat diartikan sebagai berikut: 45 Solly Lubis, Serba-serbi Politik Hukum, Bandung: Bandar Maju, 1989, hal. 49. Sudarto, loc.cit. 47 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983, hal. 96 46 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 29 a. dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelaggaran hukum berupa pidana. b. dalam arti yang lebih luas, politik kriminal dipandang sebagai keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. c. dalam arti yang paling luas, politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat. Politik kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society. 48 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah “politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Menurut G. Peter Hoefnagels 49 upaya penggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: a. penerapan hukum pidana (criminal law application) b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) c.mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejaatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment). Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur 48 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, hal. 47. 49 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, hal. 57. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 30 “non penal” (diluar hukum pidana). Dalam pembagian G. Peter Hoefnegels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam poin (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”. Politik kriminal yang menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benarbenar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. 50 Oleh karena itu kriminalisasi yang terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang ditulis Bruggink (ahli bahasa oleh Arief Sidharta): 51 Dewasa ini orang mungkin mengubah bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru mencekik kehidupan kemasyarkatan itu, dengan terlalu membelenggu kreativitas dan spontanitas. Sudarto 52 mengingatkan, pengaruh hukum pidana hanya dapat terjadi disuatu masyarakat yang mengetahui adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitasnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan 50 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1996, hal.29-30. 51 Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Ahli Bahasa Oleh Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 167. 52 Sodarto, op, cit, hal. 90-91. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 31 tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. 53 Hal itu penting agar pihak berwenag sebagai pengambil keputusan jagan sampai terjebak kebijak yang bersifat prgmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang, yang akibatnya dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat di fungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. 54 Secara garis besar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menerapkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan demikian karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara 53 Muladi, Materi Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Ilmu Hukum (S-2) UNDIP, 1993. dan M. Arief Amrulllah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hal. 21. 54 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 75. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 32 langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. G. Metode Penulisan Jenis penulisan 55 yang digunakan adalah hukum normatif (pendekatan hukum doktrinal). Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan/ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 56 Dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini untuk menjawab permasalahan digunakan penelitian normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam skripsi ini dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal hukum pidana Indonesia. 2. Sumber dan Pengumpulan Data. 55 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pers, 1986, hal. 42. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; Sistematis adalah berdasarkan suatu system, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. 56 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hal. 13. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 33 Materi penulisan ini diambil dari data 57 sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan(library research). Studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 3.Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif , yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisis kuaitatif adalah menganalisa secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. H. Sistematika Penulisan Untuk memberi tuntunan dan arahan bagi pembaca maka dibawah ini penulis membuat sistematika penulisan atau gambaran secara ringkas mengenai isi dalam skripsi ini sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab yang berisikan latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian pidana kerja sosial, 57 Lex Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999, cetakan ke -10, hal. 103 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 34 arti pemidanaan, pengertian kebijakan kriminal serta menguraikan metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini. BAB II DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Bab dasar filosofi tujuan pemidanaan di Indonesia ini mengurakan tentang teoriteori tujuan pemidanaan di dunia dan membangun tujuan pemidanaan di Indonesia. BAB III PROSPEK PIDAN KERJA SOSIAL DALAM CRIMINAL POLICY DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Bab ini membahas tentang latar belakang lahirnya pidana kerja sosial dan pidana kerja sosial dalam criminal policy dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak dan sebagai perbaikan dari masalah yang dibahas penulis yaitu mengenai lahirnya pidana kerja sosial dan pidana kerja sosial dalam kriminal policy dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 27 BAB II DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJAN PEMIDANAAN DI INDONESIA A.Teori-Teori Tujuan Pemidanaan di Dunia. Dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan mempunyai ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada Negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Sedangkan teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi Negara, masyarakat dan subjek hukum terpidana. Sholehuddin 112 menyatakan bahwa filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi: Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan atas normatif atau kaidah yang memberi pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Yang bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkannya sebagai prinsip maupun sebagai kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta-teori, yang maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori pemidanaan. 112 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Implementasinya, Log.cit, hal. 80. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 28 Kedua fungsi di atas dalam proses implementasinya, penetapan sanksi pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legalisasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. 113 Pemerintah atau negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya pemerintah atau negara menjatuhkan pidana dan oleh karena penjatuhan pidana itu maka pribadi manusia tersebut diserang oleh pemerintah atau negara itu sendiri, misalnya yang bersangkutan dipidana penjara. 114 Jadi disatu pihak pemerintah atau negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak yang lain pemerintah atau negara justru menyerang pribadi manusia yang dilindungi atau dibela itu. 115 Berdasarkan hal tersebut, maka diusahakanlah untuk menunjukkan alasan apa yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman, karena hal tersebut dilakukan terhadap manusia yang juga mempunyai hak hidup, mempunyai hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan terhadap negara yang menghukumnya. Maka apabila bercerita mengenai tujuan pemidanaan, teori pemidanaan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu : 113 Ibid, hal: 80. 114 Menurut pasal 60 Rancangan KUHP, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untukmenaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakata. 115 Ibid, hal. 81. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 29 1. Teori retributif atau teori pembalasan; 2. Teori deterrence atau teori relatif; 3. Teori treatment; 4. Teori social defence atau perlindungan sosial. 1. Teori Retributif atau Teori Absolut. Mengenai teori absolut dikenalkan sejak akhir abad XVII dan mendapat banyak pengikut dikalangan para ahli filsafat Jerman seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel Thomas Aquino (1770-1831), beranggapan bahwa hukuman adalah suatu konsekuensi dilakukannya suatu kejahatan. Pokok dari ajaran ini adalah: “sifat pembalasan sebagai dasar membalas kejahatan dan kesengsaraan yang sepadan dengan kesengsaraan yang dilakukan oleh penjahat”. 116 Apabila seseorang melakukan kejahatan, maka karena pembuatnya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula sebagaimana sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa) dan pidana ini harus dirasakan sebagai suatu nestapa. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. 116 Desi Ariani Sartika, Skripsi (Pengaruh Masalah Hukuman bagi Narapidana dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan Serta Kaitannya dengan Pasal 15 KUHP), Medan: 2006, hal. 8. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 30 Kant menganggap bahwa semua perbuatan yang ternyata berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Apakah hal yang menjadi pertimbangan bila hukuman harus dijatuhkan? Katanya, “si pembunuh harus digantung walaupun masyarakat pada esok hari akan rusak dan pecah”. 117 Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan); b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objekif dari pembalasan). 118 Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk menggunakan batasan maksimum tersebut. Romli Atmasasmita 119 memberi pembenaran atas teori ini yang dikemukakannya antara lain: 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan 117 G. W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hal. 61. 118 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal.154. 119 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 83-84. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 31 orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality. Nigel Walker menyatakan bahwa penganut teori retributif dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu penganut teori retroaktif yang murni (The pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat, dan penganut teori retributif tidak murni yang dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 120 a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan kesalahan terdakwa; b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution) yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip ”pidana tanpa kesalahan” dihormati, tetapi dimunginkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”. Karl O. Cristiansen 121 memberi ciri pokok atau karateristik teori reributif yaitu: a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; 120 121 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Ibid, hal. 12-13. Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Ibid, hal. 26. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 32 b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. Menurut Nigel Walker, kebanyakan KUHP disusun sesuai dengan penganut golongan teori retributif yang terbatas yaitu dengan menerapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas maksimum tersebut. 122 Menurut Sudarto,123 sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Walaupun ada penganutnya mereka ini dikatakan sebagai penganut teori pembalasan yang modern, misalnya Van Bamelen, Pompe dan Enschede. Teori retributif ini muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara luas pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk kejahatan. 122 123 Ibid, hal. 13 Ibid, hal 14. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 33 2. Teori Deterrence atau Teori Relatif Adapun yang menjadi dasar dari pada teori relatif atau teori tujuan ini adalah berpokok pangkal pada dasar pidana yaitu alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. 124 Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat, maka pidana adalah suatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reduktivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Penganut reduktivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara sebagai berikut: 125 1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan; 2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan pada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan keungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 124 Ibid, hal.157. Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah Pertemuan ke 3, Medan, tahun 2008, hal. 2. 125 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 34 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana; 4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekwensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama. Tujuan ketertiban masyarakat dapat dicapai apabila pidana mempunyai tiga (3) macam sifat, yaitu: a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking); b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering); c. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken). Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran pidana semata-mata pada suatu tujuan tertentu dari pemidanaan, tujuan yang harus diarahkan kepada upaya agar di kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi). Sifat pencegahan dari teori ini ada 2 (dua) macam, yaitu: a. Pencegahan umum (general preventie); Teori ini bersifat menakut-nakuti, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini dijadikan contoh oleh masyarakat, agar umum tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Menurut teori pencegahan Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 35 umum ini untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan, maka pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka umum. Prevensi umum ini menurut Van Veen 126 mempunyai tiga fungsi yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Mengenai pencegahan umum yang dilakukan dengan cara menakuti orang banyak, dilakukan dengan cara: 127 1. Menjalankan pidana yang kejam di hadapan orang banyak; 2. Paksaan psikologis yaitu dengan kodifikasi hukum pidanaa dan ancaman yang berat; 3. Menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari kesalahan si pembuat. b. Pencegahan khusus (special preventie). Teori pencegahan khusus ini menyatakan bahwa tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya kedalam perbuatan nyata. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. 128 Pencegahan khusus dilakukan dengan cara memperbaiki si tersalah agar ia tidak melakukan kejahatan lagi, yang dilakukan dengan cara: 1. Menakut-nakuti sitersalah 126 Mahmud Mulyadi, Ibid, hal. 5. Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, hal. 20. 128 Ibid, hal.161. 127 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 36 Dalam hal ini hanya orang-orang yang bermental lemah yang dapat ditakuti, sehingga mereka tidak berani mengulang perbuatan yang boleh dihukum. 2. Memperbaiki si tersalah Dalam hal ini sitersalah dibantu dan diajari untuk mengatasi kesukaran hidupnya. 3. Membuat sitersalah tidak berbahaya lagi Sitersalah disterilkan dengan menempatkannya ditempat rehabilitasi agar dia dapat kembali menjadi manusia yang baik kembali. 129 Teori relatif lain melihat bahwa upaya untuk dengan menjatuhkan pidana memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. 130 Aliran klasik yang muncul pada abad ke 18 merupakan respon dari ancient regime di Prancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidak pastian hukum, ketidak samaan hukum dan ketidak adilan. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Selain itu aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebagai mana dinyatakan oleh Cesare Beccaria adalah doktrin hukum 129 Lamintang, op cit, hal. 15. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal. 26. 130 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 37 pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Haki yang merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Tokoh utama dari aliran ini adalah Cesare Beccaria. Aliran ini menghendaki pidana yang tersusun sistematis dan menitik beratkan kepada kepastian hukum. Menurut Cesare Beccaria bahwa prinsip yang terpenting dalam hal pemidanaan adalah pidana itu harus ditentukan sebelumnya oleh undangundang serta hakim terkait pada undang-undang ini. Menurutnya pidana yang kejam tidak ada gunanya karena tujuan pidana itu sesuai dengan pembalasan atas prevensi umum dan prevensi khusus. Sesuai dengan paradigma yang melatar belakangi yaitu aliran legisme, aliran klasik yang menghendaki adanya pidana yang seimbang. Pidana harus dijatuhkan sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukan. Dalam konteks pemidanaan, aliran klasik pidana yang dirumuskan dalam undang-undang bersifat pasti (definite sentences). Pidana harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang. Artinya bobot pidana sudah ditentukan dalam undang-undang dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana lain selain yang telah ditentukan dalam undang-undang. 131 131 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Op cit, hal. 33. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 38 Selain Cessare Beccaria ada juga Jeremy Bentham yang sepakat dengan tujuan pemidanaan sebagai deterrence dengan teori utilitarian. Christiansen 132 memberikan beberapa rincian mengenai ciri-ciri teori relatif yaitu: a. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan; b. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare); c. Hanya pelaggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk dijatuhkannya pidana; d. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau sarana untuk pencegahan kejahatan. Bentham berpendapat bahwa hukum pidana jangan digunakan sebagai pembalasan terhadap penjahat akan tetapi hanya untuk mencegah kejahatan. Oleh karena itu, tujuan pidana menurut Jeremy Bentham 133 yaitu: 1. mencegah semua pelanggaran; 2. mencegah pelanggaran yang paling jahat; 3. menekankan kejahatan; 4. menekankan kerugian atau biaya sekecil-kecilnya. Menurut Ahmad Ali penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini 132 133 Mahmud Mulyadi, Dalam Bahan Kuliah ke-3,Op. cit, hal. 7. Desi Ariani Sartika, Ibid, hal. 9. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 39 didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagian dan hukum merupakan salah satu instrument untuk mencapai kebahagiaan tersebut.134 Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang yaitu: pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan. Ketiga, asas pengimbalan (pembalasan yang sekuler) yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatannya yang dilakukan. 135 Aliaran klasik merupakan aliran dalam hukum pidana yang hanya berorientasi ke belakang (backward-looking) yaitu hanya berorientasi pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Karenanya hukum pidana yang berkembang pada saat ini sering dikenal sebagai hukum pidana yang hanya berorientasi pada pelaku (daad strafrech). 136 134 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Chandra Utama, 1996, hal. 87. Dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 75. 135 Dwidjaya Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 33. 136 Tongat, ibid, hal. 33. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 40 3. Teori Treatment Pemidanaan yang dimasud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran yang ketiga ini timbul karena baik teori retributif maupun teori deterrence mengandung kelemahan-kelamahan. Adapun kelemahan tersebut ialah: 137 Kelemahan teori absolut yaitu dapat menimbulkan ketidak adilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada. Sedangkan teori tujuan memiliki beberapa kelemahan yaitu: a. Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya, apabila tujuan untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-nakuti saja, sehingga tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan. b. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya, jika tujuan itu semata-mata hanya untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan. c. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residivis. Aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of 137 Mahmud Mulyadi, Dalam Bahan Kuliah ke 4, hal. 1. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 41 free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan bertindak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungnnya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini dipelopori oleh Lambroso, Von List, H. Prins. Menurut aliran ini yang menjadi perhatian adalah sipembuatnya, dimana teori ini berpendapat bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan masyarakat. 138 Disebut sebagai aliran positif, karena di dalam mencari sebab kejahatan didasarkan pada ilmu alam. Selain itu aliran ini bermaksud mendekati para pelaku kejahatan secara positif, artinya mempengaruhi para pelaku kejahatan kearah yang lebih positif sepanjang masih dimungkinkan. Aliran ini sering dianggap sebagai aliran yang berorientasi ke depan (forward looking). 139 Marc Ancel dengan konsepsi yang moderat menghendaki agar ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat diintegarasikan ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Defence) menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan masyarakat tidak menghapus hukum pidana. Konsepsi perlindungan masyarakat tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan tercipta konsep baru hukum pidana tanpa menghilangkan esensi hukum pidananya. 140 Tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cessare Lombroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lombroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence). 138 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op cit, hal. 81. Tongat, Ibid, hal. 35. 140 Ibid, hal. 36. 139 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 42 Pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bila mana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Aliran positif ini menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya. 141 Menurut aliran ini sebelum menjatuhi pidana terhadap seseorang maka harus dilihat terlebih dahulu alasan apa yang menyebabkan ia melakukan perbuatan tersebut. Misalnya seseorang yang mencuri karena demi anak-anaknya yang sudah beberapa hari tidak makan, atau mencuri karena orang tersebut mempunyai kelainan yang biasa disebut dengan cleptomania. Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut: 142 a. menolak defenisi hukum dari kejahatan (rejected legal definition of crime); b. pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana (let the punishment fit the criminal); c. doktrin determinisme (doctrine of determinisme); d. penghapusan pidana mati (abolition of the death penalty); e. riset empiris (empirical research: use of the inductive method); f. pidana yang ditentukan secara pasti (indeterminate sentence). 141 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah Pertemuan ke 4, Medan, tahun 2008, hal. 4. 142 Muladi dalam Dwidja Priyatno, Ibid, hal. 34. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 43 Tujuan pemidanaan dalam KUHP tidak dirumuskan secara eksplisit, namun dalam rancangan KUHP sebaliknya. Dalam hal ini, tujuan pemidanaan, baik bersifat pembalasan maupun pencegahan dirumuskan lebih mendalam. Hal ini terlihat dalam rumusan rancangan KUHP 2006 bahwa tujuan pemidanaan adalah: 143 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; Rumusan tujuan pemidanaan ini memiliki pengertian untuk menekankan pentingnya prevensi umum sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan pidana. 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; Tujuan pemidanaan ini berisi resosialisasi terhadap narapidana, dalam banyak segi resosialisasi dapat dipandang sebagai upaya atau manifestasi untuk untuk prevensi khusus. 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; Tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan yang dapat dilakukan dengan menjatuhkan (membalas) pidana terhadap pembuat suatu tindak pidana. Dengan pemidanaan, diharapkan konflik antara pembuat dan korban dapat selesai. Selain konflik yang timbul akibat suatu tindak pidana membawa masyarakat kembali dalam keadaan seimbang, yang sempat goyah karena 143 http//:www.elsam.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2009, pukul. 11.30.wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 44 tindak pidana yang dilakukan pembuat. Keseimbangan tersebut pada gilirannya akan mendatangkan kedamaian dari masyarakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Hal ini merupakan pembalasan yang sifatnya empiris. Rumusan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan yang bersifat pembalasan ditempatkan dalam pasal 51 ayat (1) rancangan KUHP. 4. Teori Social Defence atau Perlindungan Sosial. Teori social defence atau perlindungan sosial lahir dan berkembang setelah perang dunia II, yang tokohnya adalah Filipo Gramatika. 144 Pandangan social defence ini berkembang dan terpecah setelah kongres ke-2 tahun 1949 menjadi dua aliran yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Gramatika pada tahun 1945 mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat merupakan pelopor pandangan yang radikal. Gramatika 145 berpendapat bahwa: “hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang.” Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Paham abolisionisme adalah suatu gerakan yang menghendaki penghapusan hukum pidana yang dipelopori oleh Gramtika. Gerakan ini menentang penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan, karena dalam pandangan kaum abolisionisme hukum pidana dirasakan 144 145 Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 102. Ibid, hal. 103-104. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 45 kurang manusiawi, oleh krena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial. Restorative Justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif atau perbaikan. 146 Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat structural sehingga secara realitas harus dirubah dasar-dasar struktur system tersebut. Dalam konteks sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif dari pada penjara. 147 Marc Ancel (Prancis) seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi dalam bukunya “Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan NonPenal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan” 148 yang mempertahankan pandangan moderat dan menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvell” atau “New Sociale Defence” atau perlindungan sosial baru. Marc Ancel berpendapat bahwa setiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. 146 Muladi, Log. Cit, hal. 127-129. Ibid, hal. 125. 148 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, hal. 88-89. 147 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 46 Hukum pidana memegang peranan yang besar sehingga merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat: 149 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana; 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri; 3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. 5. Restorative Justice. Tony F. Marshall (ahli kriminologi Inggris) seperti yang dikemukakan oleh Marlina dalam disertasinya mengemukakan bahwa defenisi dari restorative justice adalah: 150 Sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Marlina dalam disertasinya memberikan pengertian tentang restorative justice adalah: 151 149 Ibid, hal. 89. Marlina, Disertasi (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia) , Medan: 2007, hal. 170. 151 Ibid, hal. 58. 150 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 47 Proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersamasama bermusyawarah antara korban, pelaku, kelurga korban, keluarga pelaku dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua kerugian yang diderita oleh semua pihak. Restorative Justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks sosialnya yang menekan dari pada mengisolasinya secara tertutup. Konsep restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumya dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional. 152 Sarjana-sarjana yang meneliti mengenai restorative justice ini antara lain: Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia), Howard Zehr (USA), dan Robert Coates (USA). Para pengamat memberi kesimpulan mengenai restorative justice bahwa selama ini korban secara esensial tidak diikut sertakan dalam proses peradilan pidana tradisional. Korban hanya dibutuhkan sebagai saksi jika diperlukan, tetapi dalam kebijakan pengambilan keputusan mereka tidak dilibatkan sama sekali. Pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh hakim berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. Bagi pelaku keterlibatan mereka dalam pengadilan hanya bersifat pasif saja, kebanyakan peran dan partisipasi mereka diwakili dan disuarakan oleh pihak pengacaranya. 153 John Delaney 154 menyatakan bahwa pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisationprocess yaitu 152 Ibid, hal. 171. Ibid, hal. 173. 154 http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2008, pukul. 11.30.wib. 153 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 48 satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budaya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Robert Martison memberi kesimpilan bahwa penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk”. David Rothman mengatakan bahwa rehabiitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan ini muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. 155 Penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian diluar pengadilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada. Pelaksanaan victim offender mediation berbeda dengan peradilan tradisional baik dari segi perlakuan dan peran sertanya. Perlakuan tersebut adalah peran serta korban yang terlibat langsung dalam pembuat kesepakatan hukuman, sehingga dapat mengambil keputusan yang terjadi. Dalam proses victim offender mediation bukan hanya korban yang menjadi fokus peran, tetapi pelaku juga dilibatkan secara langsung dan dapat berperan dalam perumusan keputusan, sehingga terlihat nyata dan langsung. 156 155 http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2008, pukul. 11.30.wib. 156 Ibid, hal. 174. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 49 Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan korban dan pelaku begitu juga dengan adanya keterlibatan anggota masyarakat, diharapkan dapat membantu dan memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Penyelesaian dengan restorative justice diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali dan adanya pengharapan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak pidana. Penghormatan pelaku terhadap korban dengan mewajibkan pelaku melakukan pemulihan kembali atas kerugian yang ditimbulkannya. Pemulihan yang dilakukan pelaku berupa ganti rugi, pekerjaan social, melakukan perbaikan atau kegiatan tertentu sesuai dengan keputusan bersama yang telah disepakati semua pihak dalam pertemuan yang dilakukan. 157 B. Membangun Tujuan Pemidanaan di Indonesia. Secara normatif pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa: “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini (UUD-1945)” 157 Ibid, hal. 58-59. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 50 R. Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan bahwa: 158 “Dengan berlakunya aturan peralihan tersebut, dan ditambah pula dengan tidak dilaksanakannya ayat 1 dari Undang-Undang Dasar tahun 1945, yakni aturan yang mengharuskan dibentuknya dan bersidangnya Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tempo 1 tahun maka tetaplah Republik Indonesia dalam waktu revolusi bersenjata itu pada pokoknya masih dibawah pengaruh peraturan-peraturan yang berasal dari penjajahan Belanda, baik dilapangan hukum Tata Usaha Negara, dan Tata Negara, bahkan hingga sekarang ini Rakyat Indonesia masih dibawah pengaruh peraturan-peraturan yang berasal dari penjajahan Belanda.” Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pembaharuan hukum pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. 159 Makna yang terkandung dalam pembaharuan hukum, setidaknya mempunyai makna legal reform dan law reform. Secara sederhana, legal reform adalah undang-undangnya yang mendapatkan perubahan, dan lebih mengedepankan arus dari kaum intelektual yang lebih menguasai ilmu undangundang. Sedangkan, law reform adalah lebih mengetengahkan nilai-nilai extra legal masuk kedalamnya. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian yang penting dari kebijakan kriminal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Pembuatan 158 R. Iwa Kusuma Sumantri, Revolusianisasi Hukum Indonesia, Bandung: Unpad, 1958. Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia, 1995, hal. 23. 159 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 51 undang-undang atau hukum pidana pada hakikatnyajuga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana. Berbagai pihak dari kalangan praktisi hukum, akademisi, maupun pemerintahan, melalui RUU-KUHP, salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana adalah adanya kemajuan teknologi informasi yang mengenai segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta dibatasi wilayah (borderless). 160 Maka, dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy). Yang dimaksud dengan Penal Policy 161 adalah: “suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, akan tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”. Barda Nawawi Arief 162 mengatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna: “suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia”. Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena 160 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 17. 161 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 3. 162 Ibid. hal. 3. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 52 itu, pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana itu adalah merupakan bagian dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Dikatakan sebagai suatu kebijakan karena pembaharuan hukum pidana ini diperuntukkan sebagai pembaruan suatu substansi hukum (Legal substance) dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum. Selain itu juga, kebijakan yang dimaksud adalah untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. Pembaharuan hukum pidana yang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) diikuti dengan pendekatan diluar hukum pidana (non-poenal policy). Kebijakan dalam penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Yang sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 163 Hoefnagels seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi dalam bukunya “criminal policy” menyatakan bahwa pendekatan non penal policy adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan masyarakat secara 163 Mahmud Mulyadi, Criminal Policya,Op.cit, hal. 55. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 53 nasional (national mental health), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum sipil dan administrasi (administratie and civil law). 164 Politik hukum pidana atau criminal policy merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. A. Mulder seprti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan: seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 165 Barda Nawawi Arief 166 menyatakan perlu adanya harmonisasi atau sinkronisasi, dan konsistensi antara pembangunan dan pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosial-filosofis dan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (KUHP) nasional, perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilainilai nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (nilai-nilai religius, maupun nilai-nilai budaya atau adat). Pembaharuan hukum pidana Indonesia (khususnya penyusunan KUHP (baru) dilatar belakangi oleh ide yang berulang kali dinyatakan dalam berbagai seminar Nasional maupun Internasional: 164 Ibid, hal. 58. Ibid, hal. 66-67. 166 Barda Nawawi Arief, Pembaruan Hukum Pidana, Ibid, hal. 4-7. 165 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 54 Bahwa pembaharuan hukum pidana dan penegakan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum yang tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), antara lain dalam hukum agama dan hukum adat. Usaha untuk memperbaharui KUHP sudah tercermin sejak Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dalam Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dibentuk komisi-komisi untuk berbagai bidang hukum, antara lain hukum pidana. Alasan mengapa kita memperbaharui KUHP menurut Sudarto adalah: 167 1. Dari segi politik, wajar bangsa Indonesia yang sudah merdeka untuk mempunyai KUHP sendiri karena hal itu adalah merupakan simbol (Lambang) dari kebanggaan sebagi bangsa yang telah merdeka. 2. Karena dalam teks resmi KUHP adalah berbahasa Belanda maka sehubungan dengan itu, tidaklah cocok dengan Bahasa Indonesia yang sudah mendarah daging dari Bangsa Indonesia ini. 3. Terakhir, secara sosiologis KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini tentunya bertentangan dengan masalah kebudayaan, di sisi lain KUHP Belanda berdasarkan sistem kapitalisme, dan liberal. Sementara bangsa Indonesia berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan. Maka dari sinilah sudah tidak cocok bahwa KUHP untuk diterapkan di Negara kita. Pembaharuan hukum pidana (KUHP) perlu dilaksanakan dengan nilainilai yang berorientasi dengan keagamaan. Jadi, tersirat himbauan untuk 167 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Op cit, hal. 66-69. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 55 melakukan pendekatan yang humanis, pendekatan kultural dan pendekatan religius, yang kemudian dipadukan dengan pendekatan yang rasional, yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Rancangan KHUP yang diajukan ke DPR tahun 2006, telah memiliki sejarah yang cukup lama sejak tahun 1981. Naskah RUU-KUHP ini disusun oleh dua tim perancangan, yang kemudian dileburkan dalam satu tim. Materi yang berhasil disusun dalam konsep 2006 adalah: a. Masalah tindak pidana; b. Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; c. Masalah pidana dan pemidanaan. Masalah tindak pidana, konsep bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah Undang-undang (hukum yang tertulis). Konsep bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Yang dijelaskan dalam pasal 64 Konsep memperluas perumusan secara materil bahwa ketentuan dalam pasal 64 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup 168 dalam masyarakat. Maka dengan demikian, dengan berlakunya hukum tertulis (UU) sebagai kriteria patokan formal yang pertama, konsep juga masih memberikan kesempatan kepada sumber hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. 169 Bab III rancangan KUHP tentang pemidanaan, pidana, dan tindakan menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman 168 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Jakarta: PT. Grasindo, 2008, hal.32 169 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op cit, hal. 78. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 56 masyarakat. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Keempat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 170 Perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersimpul pandangan mengenai perlindungan masyarakat (social defence), pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pandangan ini dipertegas lagi dengan mencantumkan tentang pemidanaantidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP menganut aliran neo klasik dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan tentang pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan keadaan yang obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. 171 Tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan ini juga berdasarkan pandangan utilitarian sebagaimana diklasifikasikan oleh Herbet L. Paker yang 170 http: //www .legalitas.org. yang diakses pada tanggal 23 september 2008, pukul 15.45 171 http: //www.elsam.com. yang diakses pada tanggal 27 Januari 2009, pukul 14.00 wib. wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 57 melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai hukum positif dan telah dikodifikasikan tidak dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat yang begitu rumit, kompleks dan selalu berubah-ubah sehingga dalam bentuk undang-undang tidak mungkin membuat kodifikasi hukum yang dapat memenuhi segala kebutuhan yang timbul dalam masyarakat. Tatanan kebiasaan merupakan tatanan yang norma-normanya sangat dekat dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Apa yang biasa dilakukan oleh masyarakat, itulah yang kemudian bisa menjelma menjadi norma kebiasaan. Kebiasaan atau adat istiadat pada dasarnya berada pada setiap tempat maupun golongan dalam masyarakat, oleh karena itu kebiasaan tidak perlu senantiasa ditaati oleh semua pendudukan suatu wilayah Negara. Ada juga kebiasaan kedaerah atau lokal (hukum adat). 172 Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan antar golongan. Dimana, setiap suku bangsa memiliki hukum pidana adat tersendiri. Daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang masih kental, sumber hukum yang diakui dalam lapangan hukum pidana adalah hukum adat daerah itu sendiri. Keberadaan hukum pidana adat merupakan pencerminan masyarakat tersebut dan hukum pada masing-masing daerah memiliki hukum pidana adat yang berbeda- 172 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 62. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 58 beda sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut dengan ciri khas yang tidak tertulis atau terkodifikasi. Nilai-nilai yang dianut dan dirumuskan dalam tujuan pemidanaan di berbagai delik adat di berbagai daerah di Indonesia. Tujuan pemidanaan pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan keadaan didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat adat, bahwa delik bukan saja dipandang sebagai perbuatan yang merugikan secara materil pada diri seseorang semata, melainkan juga mengakibatkan kerugian secara magis berupa keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan ini. 173 Sarjana-sarjana yang mengungkapkan bahwa delik adat yang dilanggar mengganggu keseimbangan masyarakat yaitu: Van Vollenhoven, 174 seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi mengatakan bahwa gangguan keseimbangan merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam masyarakat. Oleh karena bila terjadi perbuatan pidana di dalam masyarakat, maka keseimbangan yang terganggu harus dikembalikan atau dipulihkan melalui pengenaan reaksi adat. Ter Haar 175 yang mengartikan delik adat sebagai segala sesuatu yang menyebabkan gangguan keseimbangan, segala sesuatu gangguan pada barang materil hak milik kehidupan seseorang atau masyarakat. Orang-orang yang 173 Mahmud Mulyadi, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan, Kritisi Terhadap RUU KUHP, Medan, 2007, hal. 14-15. 174 Ibid, hal. 15 175 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 6, Medan, 2008, hal. 3. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 59 melakukan delik ini harus dikenakan reaksi adat ini ditentukan oleh hukum adat yang bersangkutan. Secara umum, reaksi adat ini adalah pembayaran delik dalam bentuk uang atau barang. Dengan dijatuhkannya reaksi adat ini, maka keseimbangan yangterganggu akan dapat dipulihkan. Beberapa konsep komunal yang ditawarkan dalam hukum adat, yang menekankan rasa kebersamaan dalam masyarakat, sehingga setiap delik yang terjadi di tengah masyarakat dipandang tidak hanya merugikan orang perorang, tetapi juga membawa kerugian pada masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Koesnoe dalam Mahmud Mulyadi konsep yang ditawarkan bernilai komunal dari pada individual antara lain: 176 1. Pandangan hidup adat, yaitu manusia sebagai spesis ciptaan dalam alam; 2. Sebagai ciptaan tersendiri, sebagai spesis adalah dikodratkan hidup dalam kebersamaan dan tidak sendiri-sendiri; 3. Hidup kebersamaan mengandung arti bahwa setiap orang selaku anggota masyarakat adalah sama; 4. Hidup kerakyatan itu dipertahankan dengan hidup rukun; 5. Hidup rukun itu diselenggarakan dengan hidup atau satu sama lain saling mengabdi sehingga setiap orang adalah abdi dan sekaligus adalah warga (keluarga); 6. Saling mengabdi berarti berani berkorban untuk keseluruhan; 7. Dengan demikian akan dicapai suatu hidup bersama yang tertib dan tentram. 176 Ibid,hal. 4. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 60 Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah berorientasi ke depan (forward-looking). 177 Landasan pelaksanaan pemidanaan, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 55 RKUHP lebih condong penerapan teori relatif dan mengarah pada teori integratif, pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Jenis pidana pokok baru yang diperkenalkan dalam RKUHP, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dimana pidana ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana kerja sosial ini dapat diterapkan jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda kategori I (denda kategori I adalah Rp. 1.500.000,- sebagai catatan bahwa dalam pidana denda ditentukan pengkategorian untuk membatasi jumlah maksimal denda yang dapat diterapkan). Ketentuan yang secara tegas menentukan bahwa adanya semangat untuk menghindari pemidanaan berupa pencabutan kemerdekaan terdapat dalam pasal 71 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara juga sedapat mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa keadaan-keadaan tertentu dengan tetap memperhitungkan pasal 54 tentang tujuan pemidanaan dan pasal 55 tentang 177 Ibid, hal. 16. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 61 pedoman pemidanaan yang dalam ayat (1) menyatakan pemidanaan wajib mempertimbangkan: 178 a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana; i. pengaruh tindak padana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. 178 http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 62 BAB III PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM CRIMINAL POLICY DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial Upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari suatu kenyataan, bahwa di dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomis. Pidana perampasan kemerdekaan mengandung kelemahan-kelemahan baik yang bersifat filosofis maupun yang bersifat praktis. Dari segi filosofis kerugian tersebut tampak adanya hal-hal yang saling bertentangan yakni disatu pihak tujuan penjara adalah menjamin pengamanan terhadap narapidana, tetapi dilain pihak memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk rehabilitasi. Selanjutnya bilamana ditinjau dari hakekat fungsi penjara, maka penjara seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa ketidak mampuan untuk melanjutkan kehidupan secara produktif di dalam masyarakat. 179 179 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 77. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 63 Secara filosofis, konsep pemidanaan mulai berubah dari orientasi pembalasan (punishment to punishment) kepada orientasi pembinaan (treatment philosophy) narapidana, sementara perampasan kemerdekaan berjangka pendek dirasakan tidak dapat mencapai tujuan pemasyarakatan tersebut, yaitu membina pelaku tindak pidana yang telah dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 180 Secara ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Besarnya biaya tersebut terutama untuk biaya hidup narapidana seperti makan dan pakaian. 181 Secara kemanusiaan, pemidanaan adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat serta negara, dengan bentuk penjatuhan pidana oleh hakim. Adanya diharapkan dapat menjamin terjaganya kepentingan individu dan negara serta terpenuhinya rasa keadilan masyarakat atas terjadinya tindak pidana. Namun, tentu saja harus diperhatikan juga pertimbangan anatara kejahatan yang dilakukan dengan yang diberikan. Jangan sampai tindak 180 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Log, cit, 181 Ibid, hal. 6. hal. 6. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 64 pidana itu melebihi proporsi perbuatan yang dilakukan sehingga justru melanggar hak asasi pelaku. 182 Pidana perampasan kemerdekaan baik yang berjangka panjang maupun yang berjangka pendek akan menimbulkan stigma (cap jahat) bagi narapidana atau bekas narapidana. Stigmatisasi ini akan menempatkan narapidana atau bekas narapidana diluar lingkungan teman-teman serta masyarakatnya dengan segala akibatnya. Khususnya mengenai pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dapat dikemukakan bahwa pidana ini tidak dapat menunjang secara efektif kedudukan penjara baik sebagai sarana menjadikan terpidana tidak mampu atau menjalankan fungsinya sebagai sarana pencegahan umum maupun sebagai sarana resosialisasi. 183 Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaharuan dan perbaikan atas peraturan dan pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, namun pada kenyataannya tetap saja keburukan-keburukan pidana perampasan kemerdekaan, menyadari dalam praktek penghapusan menyeluruh terhadap pidana perampasan kemerdekaan tidaklah mungkin, pemecahan yang realitas hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah pengenanya. 184 Overkapasitas atau kepadatan penjara yang terjadi di berbagai lapas di Indonesia berimbas kepada banyaknya persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan, fasilitas-fasilitas dasar seperti pakaian dan tempat tidur. 182 http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 Januari 2009, pukul. 08:15 wib. 183 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 226. 184 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 34-35. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 65 Perbandingan atara petugas dengan nara pidana tidak seimbang sehingga kontrol dan perhatian petugas yang terbatas menyebabkan ancaman keributan atau kerusuhan dalam lembaga. Program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran tidak dapat dicapai karena minimnya anggaran, dimana anggaran terbesar diserap oleh kebutuhan akan makanan bagi nara pidana. 185 Gagalnya Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi untuk mereintegrasikan narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah tempat belajar bagaimana meningkatkan kualitas suatu kejahatan. Lembaga Pemasyarakatan dapat dikatakan sebagai sekolah kejahatan (shool of crime). 186 Adanya tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan, karena justru orang menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Faktor inilah yang menyebabkan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi atau sering disebut dengan residivis. Program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga tidak bisa dipisahkan dari sumber daya petugas yang secara umum tidak memenuhi syarat. Yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 187 a. sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil; 185 http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 september 2008, pukul. 08:15 wib. 186 187 Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana bahan kuliah ke 2, Medan: 2008, hal. 6. Ibid, hal. 5. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 66 b. lemahnya kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai instansi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi penting; c. kurangnya pengkayaan petugas Lapas dan Bapas melalui pelatihan-pelatihan; d. buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan mekanisme evaluasi pretasi kerja dan jenjang karir petugas yang tidak jelas dan transparan; e. pembedaan antara pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif, merendahkan terhadap petugas dari non AKIP; f. anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini sangat menekan biaya-biaya operasional yang semestinya tidak bias dikurangi; g. kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Realisasi dari upaya pembaharuan sistem dan cara pelaksanaan pidana penjara, maka pada tanggal 8 Februari 1965 dikelurkan surat edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan nomor. KP.10.13/3/1965 tentang pemasyarakatan sebagai proses. Sejak saat itu pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan suatu sistem yang disebut “sistem pemasyarakatan”. Dalam sistem ini yang menjadi tujuan pemasyarakatan adalah “resosialisasi” yakni menjadikan nara pidana sebagai orang yang baik dan berguna dalam masyarakat. 188 188 Suwarto dalam Muhammad Daud, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 138-139. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 67 Tujuan utama dari non-penal policy adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu. Kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yang memiliki pengertian bahwa pemecahan masalah yang timbul akibat kebijakan kriminal yang menggunakan sarana penal (hukum pidana) harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan. Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial, Sudarto berpendapat dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus memperhatiakan halhal sebagai berikut: 189 1. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila; 2. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan spiritual) atas warga masyarakat; 3. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil(cost-benefit principle)”; 189 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op cit, hal. 160- 161. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 68 4. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan samapai ada kelebihan bebean tugas (overbelasting). Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana banyak dipengaruhi oleh trend atau kecenderungan internasional untuk mengembangkan konsep pidana yaitu mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction). 190 Pidana perampasan kemerdekaan atas pertimbangan kemanusiaan semakin tidak disukai karena memiliki dampak negatif baik sinarapidana maupun keluarga dan orang yang menggantungkan kehidupannya terhadap si narapidana. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana, antara lain: 191 1. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of Personality); 2. Selama menjalani pidana narapidana selalu dalampengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, selalu merasa dicurigai atas tindakannya (Loos of Security); 190 191 Muladi, Op cit, hal. 132. C.I. Harsono, sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995, hal. 60. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 69 3. Dengan dikenai pidanajelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loos of Liberty); 4. Dengan menjalani pidana dalam lembaga pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun di batasi (Loos of Personal Communicatin); 5. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua dikerjakan sendiri (Loos of Good and Service); 6. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih saying dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual); 7. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesame narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (Loos of Prestige); 8. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan akan rasa percaya diri (Loos of Belief); 9. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasangagasannya dan imajinasinya (Loos of Creatifity). Terjadinya pergeseran falsafah pemidanaan dari konsep pemidanaan yang berorientasi pada pembalasan (punishment to punishment) menjadi konsep Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 70 pembinaaan (treatment philosophy) secara simultan telah menjadi dasar pemikiran yang sangat berharga dalam upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Alasan lain juga dapat dikemukakan karena biaya yang harus dikelurkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan sangat besar. Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makanan, pakaian yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar. Menurut Muladi 192 upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan harus tetap realitas artinya, upaya mencari alternatif pidana kemerdekaan tetap harus berpijak pada realitas yang ada. Upaya untuk menggantikan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) dengan sistem based on mediation (conflict solving) yang tidak memberikan tempat sama sekali pada pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana yang dikehendaki kaum abolisionis sangat sulit diwujudkan. Muladi menyatakan yang terpenting adalah bagaimana penggunaan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibatasi terutama perampasan kemerdekaan jangka pendek. Dewasa ini ada kecenderungan internasional (antara lain terlihat dari hasil-hasil atau rekomendasi Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) yang menghendaki dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan) jangka pendek. 193 Rekomendasi Kongres PBB terhadap perlunya pembatasan terhadap perlunya pembatasan terhadap penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dengan pertimbangan, bahwa jenis pidana ini 192 193 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit, hal. 139. Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Op cit, hal. 15. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 71 disamping akan membawa efek-efek negatif 194 jaga dipandang kurang menunjang sistem SMR (Standart Minimum Rules). D. Downers seorang kriminolog Inggris 195 mengidentifikasi adanya paling tidak tujuh alasan mengapa Negara Belanda mengurangi penggunaan pidana perampasan kemerdekaan, yaitu: 1. Sehubungan dengan adanya gerekan dekarkerasi (decarcreation movement), mengingat sangat mahalnya penggunaan pidana kemerdekaan sebagai ultimatum remedium hanya cocok bagi pelaku tindak pidana yang benar-benar mengancam masyarakat. 2. Terbatasnya kapasitas penjara yang ada. 3. Adanya spirit toleransi dalam administrasi peradilan pidana Belanda yang banyak dipengaruhi oleh iklim politik yang bercirikan kompromi. 4. Adanya perkembangan yang pesat dari infrastruktur pelayanan masyarakat. 5. Pengaruh pendidikan toleransi dari pada hakim dan jaksa semasa mahasiswa, yang banyak dipengaruhi Utrecht Scool yang menganjurkan pengurangan pidana kemerdekaan. 6. Konsistensi penyelenggara pengadilan pidana di Negara Belanda yang sangat professional. 7. Sehubungan dengan lahirnya Doktrin Rehabilitasi pada tahun lima puluhan. Dengan diterapkannya pidana perampasan kemerdekaan dalam Rancangan KUHP baru Indonesia, ada beberapa konsekuensi yang muncul. Pidana kerja sosial akan mengubah bentuk pemidanaan terhadap beberapa tindak pidana yang 194 195 Ibid, hal. 16. Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Op, cit, hal. 134. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 72 selama ini hanya dikenai pidana perampasan kemerdekaan. Dalam pasal 86 Rancangan KUHP tahun 2006 diatur bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan dalam hal, sebagai berikut: 196 a. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana lebih dari 6 bulan; b. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana denda tidak melebihi kategori I (maksimal Rp. 1. 500.000).197 Penjatuhan pidana kerja sosial seperti yang dimaksud dalam pasal 86 ayat (1) Rancangan KUHP dijelaskan dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa penjatuhan pidana kerja sosial harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 198 1. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; 2. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; 4. riwayat sosial terdakwa; 5. perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 196 http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 september 2008, pukul. 08:15 wib. 197 Dalam ketentuan Pasal 80 ayat (3) Rancangan KUHP dinyatakan, bahwa maksimum denda ditetapkan berdasarkan kategori. Ada 6 (enem) kategori, yaitu: a. kategori I Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. kategori II Rp. 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); c. kategori III Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp. 75.000.000 (tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah); e. kategori V Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); f. kategori VI Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah). 198 http://www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Desember 2008, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 73 6. keyakinan agama dan politik terdakwa; 7. kemampuan terdakwa membayar denda. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial harus adanya persetujuan terdakwa, pidana ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty). Pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersil dan riwayat sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang bersangkutan baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidananya. Rancangan KUHP tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, putusan untuk menjatuhkan pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP tahun 2006. Berdasarkan ketentuan pasal 55 dan pasal 86 Rancangan KUHP mengenai pengaturan pidana kerja sosial, majelis hakim yang sepakat untuk menjatuhkan pidana penjara yang jangka waktunya tidak melebihi 6 (enam) bulan dan pidana denda tidak lebih dari kategori I, maka pidana kerja sosial lebih tepat dijatuhkan dari pada menjatuhkan pidana penjara. 199 Penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda dapat mengundang perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek 199 http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 74 pencegahan umum (deterrence effect). P. J. Tak seperti yang dikemukakan oleh Widodo mengemukakan ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara yaitu: kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract threatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts concerning rights or licencies) dan pidana kerja sosial (community service order). 200 B. Pidana Kerja Sosial Dalam Criminal Policy Dikaitkan Dengan Tujuan Pemidanaan. Kebijakan penanggulangan kejahatan (Criminal Policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, penggulangan kejahatan harus dilakukan perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime). Hoefnagel seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi201 menyatakan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application, pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without 200 http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib. 201 Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 47. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 75 punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hofnagels ini, menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara, yaitu: Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “(influencing views of society on crime and punishment/mass media)”. Kebijakan penal diartikan sebagai hukum pidana yang harus menjadi salah satu instrumen pencegahan kemungkinan terjadinya kejahatan. Kebijakan ini berarti penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum satu kejahatan terjadi. Pemberlakuan kebijakan penal ini memunculkan suatu pertanyaan yaitu apakah pemidanaan dapat dijadikan instrumen pencegahan kejahatan? Pertanyaan ini muncul karena banyaknya anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 76 pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Perumusan pemidanaan yang berbeda-beda dan berkembang pada zamannya, dapat dibagi atas: teori retributif yang merumuskan pembalasan sebagai dasar membalas kejahatan dan kesengsaraan yang sepadan dengan kesengsaraan yang dilakukan oleh penjahat, sehingga tujuan pemidanaannya semata-mata untuk memenuhi ambisi balas dendam tanpa mempunyai tujuan lebih lanjut. 202 Teori deterrence atau teori relatif merumuskan tujuan pemidanaan lebih dari sekedar pembalasan. Teori pemidanaan ini mempunyai tujuan untuk prevensi, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, sehingga dasar pemidanaan yaitu sebagai alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.203 Teori treatment memberikan pengertian pemidanaan sebagai alat untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran yang ketiga ini timbul karena baik teori retributif maupun teori deterrence mengandung kelemahan-kelamahan. Teori sosial defence atau perlindungan sosial yang lahir setelah perang dunia kedua terbagi dalam dua aliran yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis). Aliran radikal berpendapat bahwa tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan 202 203 Tongat, Op cit, hal. 46. Ibid,hal. 46. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 77 bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. 204 Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 205 Restorative justice sebagai tawaran penegakan hukum baru memberikan jalan baru untuk pemidanaan. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan defenisi Restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang. 206 Tujuan pemidanaan yang diungkapkan Muladi 207 yaitu untuk memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebkan karena adanya tindak pidana. Muladi juga mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat integratif untuk memperbaiki kerusakan inividu atau sosial (individual and sosial damages) meliputi beberapa hal yaitu sebagai berikut:208 1. pencegahan (baik umum maupun khusus); 2. perlindungan masyarakat; 3. memelihara solidaritas masyarakat; 4. pengimbalan/pengimbangan. Ketentuan tentang pengertian dan pelaksanaan pidana (strafmodus) pidana kerja sosial (community service order) dalam Rancangan KUHP tidak ada 204 Mahmud Mulyadi, Log cit, hal. 102. Ibid, hal. 89. 206 http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 12 Februari 2009, pukul. 11.30.wib. 205 207 208 Tongat, Ibid, hal. 46. Ibid, hal. 47. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 78 ketentuan tegas yang mengatur tentang tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, maka putusan untuk menjatuhkan pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman pemidanaan sebagai mana ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP. Alternatif pidana penjara terhadap pelaku cybercrime yaitu pidana kerja sosial (community service order), didasarkan pemikiran bahwa jenis pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan harus dapat mencapai tujuan pemidanaan, baik dalam konteks prevensi umum maupun prevensi khusus. Penelitian hukum normatif yang dilakukan oleh Widodo pada tahun 2006, pelaku cybercrime di Indonesia layak diancam dengan pidana kerja sosial, yang didasarkan pada alasan sebagai berikut: 209 a. karakteristik pelaku cybercrime yang unik, yaitu berusiarelatif muda, terdidik, orang-orang terhormat, terampil menggunakan komputer beserta program aplikasinya, menyukai tantangan teknologi, kreatif dan ulet. Jika kemampuan terpidana misalnya tentang kemahiran membuat metode pengamanan program atau sistem komputer, diajarkan pada masyarakat atau instansi tempat pelaksanaan pidana kerja sosial, maka perkembangan teknologi informasi di masyarakat dapat lebih cepat dan aman; b. penjatuhan pidana kerja sosial juga dapat menghindarka terpidana dari prisonisasi dan stigmatisasi yang timbul dari pembinaan narapidana; c. cara mempekerjakan pelaku pada instansi-instansi tertentu, membuka peluang bagi terpidana untukdirekrut sebagai pegawai atau konsultan oleh istansi 209 http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 79 tersebut setelah selesai melakukan pidana kerja sosial, karena sudah mengetahui kualitas pekerjaannya. Tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (sosial defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Ketentuan mengenai pemidanaan juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuata hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. 210 Alternatif pidana yang ditawarkan untuk pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial yang ditawarkan sebagai alternatif pemidanaan memiliki beberapa keunggulan terhadap aspek perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana kerja sosial mempunyai berbagai keunggulan bagi aspek perlindungan masyarakat antara lain: 211 1. pidana kerja sosial sedikit banyak menisbikan proses stigmatisasi yang selalu menjadi efek pidana perampasan kemerdekaan; 210 211 http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib. Tongat, Ibid, hal. 49-50. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 80 2. pidana kerja sosial akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”; 3. dari perspektif ekonomi, pidana kerja sosial jauh lebih murah dibanding dengan pidana perampasan kemerdekaan. Subsidi bagi biaya hidup narapidana di lembaga dapat ditekan sehingga tidak membebani masyarakat secara keseluruhan. Pidana kerja sosial yang memberikan harapan besar untuk perlindungan masyarakat, seorang terpidana memperoleh berbagai keuntungan antara lain: 212 terhindar dari berbagai penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, kehilangan rasa percaya diri dapat dihindarkan sehingga terpidana tetap mempunyai kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dalam pidana kerja sosial terpidana tetap dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Pidana kerja sosial dapat menghindari “dehumanisasi” yang selalu menjadi efek dari perampasan kemerdekaan. Pidana kerja sosial merupakan pidana yang sifatnya rehabilitasi kepada narapidana atau pendidikan kembali, seperti yang dikemukakan oleh Andi Hamzah 213 dengan membandingkannya dengan hukum pidana Jerman. Hukum pidana Jerman menggunakan istilah pendidikan kembali melalui pekerjaan. Pasal 42 KUHP Demokrasi Jerman menyatakan bahwa dalam kasus-kasus yang ditetapkan oleh undang-undang, seorag pelaku dapat diperintahkan untuk dididik kembali melalui pekerjaan, jika ia mampu bekerja dan karena tingkah lakunya 212 Ibid, hal. 50-51. http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib. 213 Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 81 yang asosial harus dididik kembali dengan bekerja. Pendidikan ini dikenakan sedikit-dikitnya satu tahun, tatapi diakhiri sampai membawa hasil. Pendidikan yang dikenakan bagi si terpidana tidak boleh melebihi batas waktu tertinggi dari masa pidana penjara, yang mana hal itu ditetapkan sebagai tambahan. 214 Pasal 42 ayat (2) KUHP Demorasi Jerman menentukan setelah sedikitnya satu tahun berlalu, pengadilan dapat memutuskan penghentian pendidikan kembali melalui pekerjaan yang diwajibkan, jika sikap orang yang dipidana itu, khususnya sifat peraturan dari pekerjaan dan disiplinnya menunjukkan membawa pendidikan telah dinyatakan berhasil. 215 Sementara KUHP Jepang, sanksi pidana kerja ini merupakan penahanan di rumah kerja karena tidak mampu membayar denda. Sanksi pidana pokok dalam KUHP Jepang diatur dalam bab II pasal 9, sedangkan pasal yang mengatur tentang penahanan di rumah kerja karena tidak membayar denda diatur dalam pasal 18. 216 Hakim berdasarkan ketentuan pasal 71 diharapkan dapat menjatuhkan pidana secara proporsional dan efektif, yang dapat dikatakan bahwa pidana penjara tidak bisa dikatakan efektif jika ditemui keadaan-keadaan seperti disayaratkan pasal 71. Penentuan sifat alternatif dari beberapa jenis pidana dalam 214 Andi Hamzah, Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jerman, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal. 80. 215 Ibid, hal. 81. 216 Pasal 9 KUHP Jepang menyatakan pidana pokok adalah pidana mati, penjara pada suatu tempat kerja paksa, penjara tanpa kerja paksa, denda, pidana penahanan, dan denda ringan, dan perampasan sebagian pidana tambahan. Andi Hamzah, Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jepang, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987, hal. 70-73. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 82 Rancangan KUHP sehingga terhindar dari sistem pemidanaan yang menyamaratakan dan imperatif (memaksa). 217 Perkembangan dalam Rancangan KUHP berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan dalah perlakuan (treatment) yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam pasal 40 dan pasal 41 Rancangan KUHP 218 atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Penjelasan pasal 101 menyatakan bahwa Rancangan KUHP ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu disamping pembuat pidana dapat dijatuhi pidana dapat juga dikenakan berbagai tindakan. 219 Penetapan sanksi berupa tindakan ini harus sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Pengenaan tindakan bukan didasarkan atas ancaman yang terdapat dalam tindak pidananya, karena tidak ada tindakan pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi si pelaku. Sistem pemidanaan dua jalur(double track system) secara teoritis telah dianut dalam KUHP, namun sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak dibawah umur sebagai mana 217 http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib. 218 Pasal 40 dan pasal 41 adalah ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab. Dalam pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan. Pasal 42 menyatakan bahwa: setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. 219 http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 83 dirumuskan dalam pasal 44 dan pasal 45 KUHP. 220 Perundang-undangan diluar KUHP telah menerima konsep perluasan pengenaan jenis sanksi tindakan yang juga dapat diancamkan terhadap orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 221 Jenis tindakan dalam pola pemidanaan di Indonesia hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat komplementer atau pelengkap dan tidak ada bedanya dengan jenis sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Sanksi tindakan yang bersifat mandiri atau sebagai sanksi alternatif telah ada, misalnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai argumentasi atau landasan pengenaan sanksi tindakan yang bersifat mandiri. 222 Sanksi tindakan seperti yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP terlihat merupakan sanksi yang bersifat mandiri untuk tindakan sudah menunjuk secara jelas tentang pihak yang dapat dikenai sanksi tindakan tersebut. Beberapa tindakan yang dirumuskan untuk 220 Pasal 44 ayat (1) menyatakan barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. Sedangkan dalam pasal 45 menyatakan bahwa jikaseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengantidak dikenakan sesuatu hukuman;atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada Pemarintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 417, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbutan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atausesuatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. 221 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Op.cit, hal. 188. 222 Ibid, hal. 190. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 84 memperbaiki atau merehabilitasi pelaku, diantaranya tindakan berupa perawatan dirumah sakit jiwa, tindakan berupa latihan kerja dan tindakan berupa rehabilitasi. Perumusan dan penegasan tentang sistem penggunaan double track system dengan mengatur secara khusus tentang sanksi tindakan menunjukkan bahwa pandangan baru yang diadopsi untuk menuju ke sistem pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan. Pengaturan dalam Rancangan relatif lebih maju karena sanksitindakan bukan hanya diberikan kepada pihak-pihak yang tidak mampu bertanggung jawab dan mengalami gangguan jiwa sebagaimana dianut dalam paham klasik, tetapi juga bagi pihak yang mampu bertanggung jawab. 223 Penetapan sanksi berupa tindakan juga merupakan bentuk penegasan tentang berbagai alternatif penentuan sanksi dengan diberikannya hak kepada pengadilan untuk mengadakan kebijakansanaan dalam penjatuhan sanksi. Hukum pidana modern tentang individualisasi pidana yang sejalan dengan penetapan sanksi berupa tindakan mensyaratkan adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi apa (pidana atau tindakan) yang patut (proper) untuk individu yang bersangkutan, meskipun juga harus dalam batas-batas yang ditentukan dengan undang-undang sebagaimana disyaratkan bahwa penjatuhan sanksi harus mempertimbangkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. 224 223 http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib. 224 Ibid. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 85 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya sebagai hasil pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar filosofi dan konsep tujuan pemidanaan di Indonesia, bila dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan memiliki ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Teori-teori pemidanaan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu: 1). Teori Retributif atau teori pembalasan, yang memiliki pokok ajaran yaitu sifat pembalasan sebagai dasar membalas kejahatan dan kesengsaraan yang sepadan dengan kesengsaraan yang dilakukan oleh penjahat. 2). Teori deterrence atau teori relatif, memiliki pokok ajaran yang berpokok pangkal pada dasar pidana yaitu alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pemidanaannya yaitu diarahkan kepada upaya agar dikemudian hari kejahatan yang telah dilakukan tidak terulang lagi (preventisi). Sifat pencegahannya terdiri dari dua macam yaitu : pencegahan umum (general preventie), dan pencegahan khusus (special preventie). 3). Teori treatment, yang memberikan arti pemidanaan sebagai pemberian tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 86 penghukuman. Aliran ini sering dianggap sebagai aliran yang berorientasi ke depan (forward looking), yang maksudnya mendekati para pelaku kejahatan secara positif artinya mempengaruhi para pelaku kejahatan kearah yang lebih positif sepanjang masih dimungkinkan. 4). Teori social defence atau perlindungan sosial memiliki pengertian tentang tujuan utama dari hukum adalah mengintegrasikan ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap pembuatnya. 5). Restorative justice, yang dipelopori oleh Tony F. Marshall yang memberikan defenisi dari restorative justice yaitu sebagai sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Pembaharuan hukum pidana Indonesia yang dituangkan dalam Rancangan KUHP sudah lama diusulkan, Bab III rancangan KUHP tentang pemidanaan, pidana, dan tindakan menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Keempat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersimpul pandangan mengenai perlindungan masyarakat (social defence), pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pandangan ini dipertegas lagi dengan mencantumkan Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 87 tentang pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP menganut aliran neo klasik dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan tentang pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan keadaan yang obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah berorientasi ke depan (forward-looking). 2. Prospek pidana kerja sosial dalam criminal policy dikaitkan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia. Latar belakang lahirnya pidana kerja sosial karena adanya upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari suatu kenyataan, bahwa didalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomis. Secara filosofis, konsep pemidanaan mulai berubah dari orientasi pembalasan (punishment to punishment) kepada orientasi pembinaan Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 88 (treatment philosophy) narapidana, sementara perampasan kemerdekaan berjangka pendek dirasakan tidak dapat mencapai tujuan pemasyarakatan tersebut, yaitu membina pelaku tindak pidana yang telah dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Secara ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Secara kemanusiaan, pemidanaan adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat serta negara, dengan bentuk penjatuhan pidana oleh hakim. Sekalipun teleh diadakan upaya-upaya pembaharuan dan perbaikan atas peraturan dan pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, namun pada kenyataannya tetap saja keburukan-keburukan pidana perampasan kemerdekaan membayangi pemidanaan. Overcapasitas atau kepadatan penjara yang terjadi diberbagai lapas berimbas kepada banyaknya persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan dan fasilitas tempat tidur. Adanya tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan, karena justru orang lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan utama dari non-penal policy adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negaraEva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 89 negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Istilah pidana kerja sosial lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah Community Service Order. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang harus dijalani oleh terpidana di luar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (works as a penalty). Pidana kerja sosial akan mengubah bentuk pemidanaan terhadap beberapa tindak pidana yang selama ini hanya dikenai pidana perampasan kemerdekaan. Dalam pasal 86 Rancangan KUHP tahun 2006 diatur bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan dalam hal, sebagai berikut: a. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana lebih dari 6 bulan; b. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana denda tidak melebihi kategori I (maksimal Rp.1. 500.000). Penjatuhan pidana kerja sosial seperti yang dimaksud dalam pasal 86 ayat (1) Rancangan KUHP dijelaskan dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa penjatuhan pidana kerja sosial harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1). pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; 2). usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundangundangan yang berlaku; 3). persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; 4). riwayat sosial terdakwa; 5). perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 6). keyakinan agama dan politik terdakwa; 7). kemampuan terdakwa membayar denda. Rancangan KUHP tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, putusan untuk menjatuhkan Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 90 pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP tahun 2006. Penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda dapat mengundang perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan umum (deterrence effect). Jenis pidana pokok baru yang diperkenalkan dalam RKUHP, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dimana pidana ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana kerja sosial ini dapat diterapkan jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda kategori I (sebagai catatan bahwa dalam pidana denda ditentukan pengkategorian untuk membatasi jumlah maksimal denda yang dapat diterapkan). Ketentuan yang secara tegas menentukan bahwa adanya semangat untuk menghindari pemidanaan berupa pencabutan kemerdekaan terdapat dalam pasal 71 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara juga sedapat mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa keadaankeadaan tertentu dengan tetap memperhitungkan pasal 54 tentang tujuan pemidanaan dan pasal 55 tentang pedoman pemidanaan. Alternatif pidana yang ditawarkan untuk pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial yang ditawarkan sebagai alternatif pemidanaan memiliki beberapa keunggulan terhadap aspek perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana kerja sosial yang Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 91 memberikan harapan besar untuk perlindungan masyarakat, seorang terpidana memperoleh berbagai keuntungan antara lain: terhindar dari berbagai penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, kehilangan rasa percaya diri dapat dihindarkan sehingga terpidana tetap mempunyai kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dalam pidana kerja sosial terpidana tetap dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Pidana kerja sosial dapat menghindari “dehumanisasi” yang selalu menjadi efek dari perampasan kemerdekaan. Penjelasan pasal 101 menyatakan bahwa Rancangan KUHP ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu disamping pembuat pidana dapat dijatuhi pidana dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Sistem pemidanaan dua jalur (double track system) secara teoritis telah dianut dalam KUHP, namun sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak dibawah umur sebagai mana dirumuskan dalam pasal 44 dan pasal 45 KUHP. B. Saran 1. Mengingat bahwa pidana kerja sosial merupakan pidana baru dalam Rancangan KUHP, perlu diadakan sosialisasi pada masyarakat mengenai pidana baru tersebut, sehingga masyarakat lebih mengerti akan tujuan pemberlakuan pidana kerja sosial tersebut. 2. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerja sama dan membangun pandangan yang sama tentang pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 92 merupakan jenis pidana pokok baru yang muncul dalam Rancangan KUHP Indonesia. 3. Pidana kerja sosial sebelum dilaksanakan diharapkan kepada pemerintah untuk memberi sosialisasi kepada masyarakat, agar masyarakat siap untuk menerima terpidana bekerja di tempat yang telah ditentukan, sehingga memberi rasa aman dan nyaman bagi terpidana untuk melaksanakan pidananya. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 93 DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, (2000). Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. ------------------, (2001). Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti. Kebijakan -----------------, (2005). Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ---------------, (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. ---------------,(2003). Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. Arrasjid Chainur, (2000). Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Atmasasmita Romli, (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju. Bawengan G. W, (1991). Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Pradnya Paramita. Chazawi Adami, (2001). Pelajaran Hukum Pidana Bagian I ,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Daud Muhammad, (2004). Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi, Medan: Pustaka Bangsa Press. Hamzah Andi, (1986). Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita. ------------, (1987). Seri KUHP Negara-Negara Asing, KUHP Jerman, Jakarta: Ghalia Indonesia. -------------, (1987). Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jepang, Jakarta: Ghalia Indonesia. Lamintang, P.A.F., Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico. Lubis Solly, (1989). Serba-Serbi Politik Hukum, Bandung: Bandar Maju. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 94 MD Mahfud, (1998). Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES. Makarim Emon, (2003). Komplikasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Marlina, (2007). Disertasi (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia), Medan. Moleong Lex, (1999). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, cetakan ke -10. Mulyadi Mahmud, (2007). Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan, Kritisi Terhadap RUU KUHP, bahan kuliah, Medan. -------------------, (2007). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan. ------------------, (2008). Politik Hukum Pidana bahan kuliah ke 2, Medan. ------------------, (2008). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 3, Medan. ------------------, (2007). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 4, Medan. -----------------, (2008). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 6, Medan. ------------------, (2008). Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press. Muladi dan Barda Nawawi Arief, (1992).Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. Muladi, (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Priyatno Dwidja, (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Prodjodikoro Wirjono, (2003). Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Reksodiputro Mardjono, (1995). Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia. Saleh Roeslan, (1987). Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bineka Aksara. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 95 Sahetapy J. E, (1982). Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Perss. Sartika Desi Ariani, (2006). Skripsi (Pengaruh Masalah Hukuman bagi Narapidana dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan Serta Kaitannya dengan Pasal 15 KUHP), Medan. Sholehuddin, M, (2003). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Implementasinya, Jakarta: Raja Grafi Persada. Sidharta Arief, (1996). Refleksi Tentang Hukum, , Bandung: Citra Aditya Bakti. Soekanto Soerjono, (1986). Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pers. Sudarto, (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. ----------, (1983). Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni. ----------, (1974). Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang. ---------, (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana,Bandung: Sinar Grafika. Syahrani Riduan, (2004). Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Tongat, (2002). Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan. Waluyo Bambang, ( 2004). Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika. -------------------, (1987). Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Yani Abdul, (1987). Sosiologi Kriminal, Bandung: Remadja Karya. http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009 96 http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib. http: //www .legalitas.org. yang diakses pada tanggal 23 september 2008. http: //www.RUU KUHP tahun 1999/2000, Departemen Hukum dan HAM. Suara Karya Online, Sabtu 29 November 2008, Lapas Penuh Dihukum Satu Tahun, Napi Tidak Usah Dipenjara. Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009. USU Repository © 2009