BAB I - Universitas Sumatera Utara

advertisement
2
PIDANA KERJA SOSIAL DALAM KEBIJAKAN
KRIMINAL HUKUM PIDANA INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLeh
NAMA
: EVA NORITA
NIM
: 040200036
DEPARTEMEN
: HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
3
PIDANA KERJA SOSIAL DALAM KEBIJAKAN KRIMINAL
HUKUM PIDANA INDONESIA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Diajukan Oleh :
NAMA
: EVA NORITA
NIM
: 040200036
DEPARTEMEN
: HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS
(DOSEN PEMBIMBING I)
Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum
(DOSEN PEMBIMBING II)
Diketahui Oleh :
Ketua Depertemen Hukum Pidana
H. ABUL KHAIR, SH. M.HUM
NIP. 131842854
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kasih dan karunia-Nya kepada penulis sehinggga dapat
meyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Pidana
Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia”.
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi dan
sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal ini merupakan sutu
kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk
membuat suatu karya ilmiah berupa skripsi.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk tantangan yang
harus dihadapi dan akhirnya penulis dapat melewatinya sehingga skripsi ini
berhasil diselesaikan. Sangatdisadari penulis bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak kekurangannya, baik dari segi isi maupun tata
bahasanya. Oleh krena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik
dan saran yang membangun kesempurnaan skipsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan peghargaan yang tidak terhingga
kepada Ayahanda Drs. Pangihutan Tambun dan Ibunda Renta Nababan tersayang,
terima kasih atas cinta, kasih sayang, doa dan semangat yang diberikan untuk
penulis, sehingga penulis dapat berbakti dan hidup lebih mandiri dan menghargai
arti dari kehidupan.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
5
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin SH.
MS, selaku Dosen Pembimbing I berkat partisipasi dan dukungan serta arahan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak
Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Berkat
kesabaran dan perhatian beliau yang telah membimbing penulis dengan penuh
kesabaran sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara .
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan II Fakults
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, Selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Abul Khair SH, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum
Pidana Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Erna Herlinda, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis,
yang selalu memberi dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi sebagai pemenuhan untuk memperoleh gelar sarjana hukm.
7.. Adik-adikku ERVINNA JUNITA dan ADI SAPUTRA tercinta terima kasih
atas doa dan semangat yang diberikan selama ini.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
6
8. Sahabat terbaikku SEPRIARTO SIMANJUNTAK yang selalu memberi
dukungan, memberikan pengertian dan selalu setia menemani penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Seluruh Staff pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Terima kasih atas semua ilmu yang Bapak/Ibu dosen berikan selama
ini, semoga ilmu itu dapat menjadi batu loncatan menuju kesuksesan bagi
penulis.
Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan,
Maret 2009
Penulis
EVA NORITA
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
7
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
ABSTRAKSI ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I :
PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ......................................................... 6
C. Keaslian Penulisan ........................................................... 6
D. Tujuan Penulisan ............................................................. 7
E. Manfaat Penulisan ............................................................ 7
F. Tinjauan Kepustakaan ...................................................... 8
1. Pengertian Pidana Kerja Sosial .................................... 8
2. Arti Pemidanaan ......................................................... 11
3. Pengertian Kebijakan Kriminal ................................... 18
G. Metode Penulisan ............................................................. 23
H. Sistematika Penulisan ...................................................... 24
BAB II :
DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJUAN
PEMIDANAAN DI INDONESIA ........................................ 25
A. Teori-Teori Tujuan Pemidanaan di Dunia ........................ 25
B. Membangun Tujuan Pemidanaan di Indonesia ................. 48
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
8
BAB III :
PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM
CRIMINAL POLICY DIKAITKAN DENGAN
TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA ....................... 61
A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial .................. 61
B. Pidana Kerja Sosial dalam Criminal Policy Dikaitkan
dengan Tujuan Pemidanaan ............................................. 73
BAB IV :
PENUTUP ............................................................................ 84
A. Kesimpulan ...................................................................... 84
B. Saran ................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
9
ABSTRAKSI
Pidana Kerja Sosial (Community Service Order) merupakan salah satu
jenis pidana baru dalam Rancangan KUHP Indonesia. Beberapa alasan munculnya
Pidana Kerja Sosial antara lain: karena adanya upaya untuk menanggulangi
kejahatan dengan tidak hanya mengandalkan penerapan hukum pidana semata,
tetapi melihat akar lahirnya persoalan kejahatan dari persoalan sosial, sehingga
kebijakan sosial sangat penting dilakukan. Semakin tidak disukainya pidana
perampasan kemerdekaan baik yang berjangka pendek dengan pertimbangan
kemanusiaan, yang memiliki dampak negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap
narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya
tergantung terhadap si narapidana. Overkapasitas penjara karena banyaknya napi
dengan hukuman minimal cenderung menjadi pembuat onar di penjara. Skripsi
yang berjudul “Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana
Indonesia” mengetengahkan permasalahan tersendiri mengenai pidana kerja sosial
menurut hukum positif Indonesia dan permasalahan penerapan pidana kerja sosial
terhadap pemidanaan.
Penulis menggunakan metode penelitian dengan metode hukum normatif
atau penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif disebut penelitian
hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan/ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga
disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan
penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang
ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan
sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). Tahap awal penulis
melakukan penelitian terhadap bahan hukum yang berkaitan dengan Pidana Kerja
Sosial yang diatur dalam Rancangan KUHP Tahun 2006 dan tulisan ilmiah yang
berhubungan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut
diketahui bahwa pengaturan Pidana Kerja Sosial di dalam Rancangan KUHP telah
diuraikan secara jelas, lengkap dan sistematis.
Pidana Kerja Sosial sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai
solusi dalam memfungsikan hukum pidana pada pengenaan Pidanana Kerja Sosial
adalah dengan meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum dan
pemahaman masyarakat tentang Pidana Kerja Sosial, serta meningkatkan sarana,
prasarana, serta fasilitas yang dibutuhkan dalam menunjang fungsionalisasi
tersebut.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum ada pada setiap masyarakat di mana pun di muka bumi ini.
Primitif atau modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena
itu, keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. 3
Masyarakat pada umumnya kerap kali memahami hukum sebagai suatu
perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan
mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa. Tujuan hukum akan tercapai
manakala terdapat keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan
hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan. 4
Hukum pidana adalah bagian dari sistem hukum atau sistem norma.
Sebagai suatu sistem, hukum memiliki sifat umum dari suatu sistem, yaitu
menyeluruh (whole), memiliki beberapa elemen (elements). Kata pidana berasal
dari kata straf (Belanda) sering juga disebut hukuman. Istilah pidana lebih tepat
dari hukuman, karena hukum sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih
tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan
oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi)
baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara
3
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004, hal. 27.
4
Emon Makarim, Komplikasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, hal. 13.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
11
khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar
feit).5
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan tentang arti pidana, yaitu
antara lain sebagai berikut:
Moelyatno mengatakan istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan
istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordt gestraft”, merupakan istilahistilah yang kontroversial. 6 Beliau menggunakan istilah yang inkontroversial yaitu
pidana yang menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk
menggantikan kata “wordt gestraft”.
Sudarto 7 menyatakan, secara tradisional pidana didefenisikan sebagai
nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang, sengaja akan dirasakan sebagai
nestapa. Roeslan Saleh menyatakan, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
delik itu. 8
Dewasa ini masalah hukum pidana banyak dibicarakan dan menjadi
sorotan, baik dalam teori maupun dalam praktek dan bahkan ada usaha untuk
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional. Usaha tersebut adalah
bertujuan untuk mengatasi pelbagai kelemahan dan kekurangan yang ada dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang, yang merupakan
5
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I ,Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001, hal. 71-72.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 1992, hal. 1.
7
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 109-110.
8
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bineka Aksara, 1987, hal. 5.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
12
peninggalan zaman penjajahan yang dalam kenyataannya masih dipakai pada
masa orde baru di zaman kemerdekaan ini, yang ternyata banyak pengaturan di
dalamnya yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 manapun dengan situasi dan kondisi masyarakat saat
ini.
Penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional untuk
menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintahan
kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam
rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah
dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang,
sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan
dinamika yang berkembang dalam masyarakat. 9
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai di Indonesia
adalah KHUP yang bersumber dari hukum Belanda (Wetboek Van Strafrecht)
yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia
sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan
di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Sudarto 10 menyatakan bahwa
teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda. Kenyataan inilah
yang menyebabkan untuk melakukan perubahan hukum pidana (Penal Reform)11
9
http: // www.elsam.or.id/ rancanagan penjelasan atas rancanngan kitab undangundang hukum pidana, yang diakses pada tanggal 11 November 2008,pukul 11.41 Wib.
10
Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3.
11
http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
13
di Indonesia, yang akhirnya memperkenalkan istilah baru dalam hukum pidana
yaitu hukum pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana jenis pidana kerja
sosial mulai diperkenalkan dalam konsep Rancangan KUHP tahun 1991/1992
yang diketuai oleh Mardjono Reksodiputro jenis pidana diatur dalam pasal 57, 12
pidana kerja sosial masih menggunakan istilah pidana kerja bakti, yang tercantum
dalam pidana pokok. Kemudian
konsep
KUHP
tahun
2000
mengenai
pemidanaan diatur dalam pasal 60, 13 dalam rancangan ini jenis pidananya sudah
memakai kata pidana kerja sosial.
Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu
“pidana” dan “kerja sosial”. Bertolak dari permasalahan secara etimologis, maka
secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang berupa
kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut
dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Dalam konteks ini,
putusan pengadilan tersebut dianggap sebagai perintah (orders) terhadap
terpidana, yaitu tentang jangka waktu pelaksanaan pidana dan tempat pelaksanaan
pidana. Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work
as a penalty), oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung halhal yang bersifat komersial.
Upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan
penerapan hukum pidana semata, tetapi melihat akar lahirnya persoalan kejahatan
12
13
http: //www.RUU KUHP tahun 1999/2000, Departemen Hukum dan HAM.
Ibid
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
14
dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial sangat penting dilakukan.
Kebijakan peninggalan kejahatan ini dalam bahasa Hoefnagels disebut criminal
policy yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai kebijakan kriminal.
Sudarto 14 menyatakan bahwa kebijakan kriminal atau politik hukum pidana
adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan
kondisi tertentu. Ada beberapa alasan untuk memuat pidana kerja sosial sebagai
salah satu pidana pokok dalam Rancangan KUHP yang sudah lama dibahas oleh
pemerintah, antara lain:
a. Adanya keinginan untuk menggunakan alternatif jenis pidana sebagai
variasi dari pemidanaan jangka pendek, mengingat kondisi Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia sebagai lembaga terakhir dalam sistem
peradilan pidana terpadu (integreted criminal justice system) telah
mengalami over kapasitas. Sehingga over kapasitas dapat berdampak pada
timbulnya suasana tidak sehat dan berpotensi menimbulkan keributan,
serta kurang optimalnya kualitas pembinaan dan pemenuhan kebutuhan
kesehatan. 15
b. Adanya pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan
semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak
negatif yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga
14
Mahmud Mulyadi, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap TindakPidana Kesusilaan,
Kritisi Terhadap RUU KUHP, bahan kuliah, Medan. 2007, hal. 5
15
http: //www.google.co.id/ yang diakses pada tanggal 29 November 2008, pukul 13.01
wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
15
terhadap kelurga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari
narapidana tersebut. 16
c. Napi-napi dengan hukuman minimal cenderung menjadi pembuat onar di
penjara, karena mereka berpikir tidak akan dihukum lama. Napi-napi ini
biasanya juga mempratekkan ilmu kriminal baru hasil berguru di penjara.
(Hamid Awaludin Menteri Hukum dan HAM).
17
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas,
maka dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar filosofis dan konsep pemidanaan di Indonesia ?
2. Bagaimanakah prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan
dengan tujuan pemidanaan Indonesia?
C.Keaslian Penulisan
Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan
dan media masa baik media cetak maupun media elektronik. Skripsi ini belum ada
yang pernah mengangkat sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan datadata yang terdaftar di sekertariat jurusan pidana dan di perpustakaan Fakultas
16
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2002, hal. 4.
17
Suara Karya Online, Sabtu 29 November 2008, Lapas Penuh Dihukum Satu Tahun,
Napi Tidak Usah Dipenjara.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
16
Hukum Universitas Sumatera Utara, oleh karena itu judul pada skripsi ini dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah.
D.Tujuan Penulisan
Tujuan yang digunakan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar-dasar filosofis pemidanaan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui prospek pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal
dikaitkan dengan tujuan pemidanaan Indonesia.
E.Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbagan pemikiran bagi perkembagan ilmu
hukum pada umumnya. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha
pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam mengetahui prospek pidana
kerja sosial dalam kebijakan kriminal dikaitkan dengan tujuan pemidanaan
Indonesia.
2. Secara Praktis
Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam
mengambil kebijakan terhadap si pelanggar hukum pidana.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
17
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pidana Kerja Sosial
Secara etimologis istilah “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu
“pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat
diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan
bentuk pidana di mana pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan
pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah pidana kerja sosial lazim diterjemahkan
ke dalam bahasa inggris dengan istilah Community Service Order. 18 Pidana kerja
sosial merupakan jenis pidana yang harus dijalani oleh terpidana di luar lembaga
dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial, pidana kerja sosial ini tidak
dibayar karena sifatnya sebagai pidana (works as a penalty). Jenis pidana kerja
sosial ini merupakan pidana yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam hukum
positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun ketentuan pidana diluar KUHP.
Secara teoritis pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi 19 yaitu:
a. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana kerja sosial jangka pendek
Sesuai dengan dasar pemikiran yang melatar belakangi lahirnya jenis pidana kerja
sosial yaitu upaya untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek. Sekalipun dengan cara penerapan yang berbeda sebagai pidana
mandiri atau sebagai syarat berkaitan dengan penjatuhan pidana bersyarat
18
Ibid, hal. 7.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995, hal. 139.
19
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
18
kecenderungan internasional yang terjadi adalah sama yaitu menjadikan pidana
kerja sosial sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. 20
b. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak dibayar
Pidana kerja sosial dapat menggantikan pidana penjara pengganti apabila
terpidana denda gagal membayar pidana dendanya. Jadi apabila ada seorang
terdakwa oleh hakim dijatuhi hukuman denda kemudian tidak dapat membayar
denda tersebut, maka sebagai ganti tidak terbayarnya denda terpidana harus
menjalani pidana penjara pengganti. Dalam pelaksanaannya, pidana penjara
pengganti (denda) inilah yang dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
c.Pidana kerja sosial dalam kerangka grasi
Di beberapa negara Eropa pidana kerja sosial ini dapat menjadi syarat
deterapkannya grasi. Di negara Belanda misalnya, grasi dapat dijatuhkan atau
diterapkan kepada seorang terpidana dengan syarat, bahwa terpidana harus
melakukan pidana kerja sosial.
Menurut pendapat Muladi 21 syarat yang memungkinkan untuk penjatuhan
pidana kerja sosial antara lain dikemukakan sebagai berikut:
a.Yang berkaitan dengan tindak pidana
Secara umum di negara Eropa mempersyaratkan, bahwa pidana kerja sosial hanya
dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang tidak terlalu berat. Persyaratan yang
mungkin ditetapkan dalam penerapan pidana kerja sosial adalah persyaratan yang
20
Kecenderungan internasional dalam menerapkan pidana kerja social antara lain dapat
dilihat dari penerapan jenis pidana tersebut oleh negara-negara Erpa seperti Denmark, Jerman,
Inggris, Prancis, Belanda, Norwegia, dan Portugal.
21
Muladi, Op. cit, hal. 141.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
19
berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, misalnya usia pelaku dan criminal record
dari pelaku.
b. Jumlah jam pidana kerja sosial
Pada umumnya ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan tentang pidana kerja
sosial juga menyangkut pengaturan tentang minimum dan maksimum jam kerja
pidana kerja sosial yang disetiap negara bervariasi.
c. Persetujuan terpidana
Penerapan pidana kerja sosial yang berlaku di berbagai negara memiliki
penegasan bahwa pidana kerja sosial harus atas persetujuan terpidana. Persetujuan
terpidana ini dibituhkan untuk menghindari adanya pertentangan atau konflik
dengan berbagai konstitusi dan traktat yang melarang kerja paksa (force labour),
dan agar hakim dapat menjamin, bahwa terpidana memang mempunyai motivasi
untuk melakukan pidan kerja sosial.
d. Isi pidana kerja sosial.
Hakim yang menjatuhkan pidana kerja sosial di pengadilan hanya menetapkan
jumlah jam dan jangka waktu yang harus dipenuhi. Sementara pelaksanaannya
secara teknis yang berkaitan dengan tempat di mana pidana kerja sosial harus
dijalani, berapa jam pidana kerja sosial harus dijalankan setiap harinya dan
sebagainya dilakukan oleh probation service.
Waktu pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
1) 240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun keatas;
2) 120 jam bagi terpidana yang berusia di bawah 18 tahun. 22
22
Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 21.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
20
e. Kegagalan menjalani pidana kerja sosial
Seorang terpidana yang gagal menjalani pidana kerja sosial, kegagalan tersebut
akan membawa akibat tertentu bagi terpidana, yang dapat berupa:
1. Apabila pidana kerja sosial tersebut berupa pidana yang mandiri maka
akibat kegagalan terpidana menjalani pidana kerja sosial dapat berupa
dijatuhi denda sampai batas tertentu, mengulangi lagi pelaksanaan
pidana kerja sosial atau dikenakan pidana alternatif yang lain.
2. Apabila pidana kerja sosial ditetapkan dalam kaitannya dengan pidana
bersyarat (suspended sentence), maka kegagalan terpidana menjalani
pidana kerja sosial dapat mengakibatkan diterapkannya pidana penjara
yang ditunda. Akibat kegagalan tersebut terpidana juga dapat diharuskan
untuk mengulangi pidana kerja sosial itu.
Pidana kerja sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari
rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk
memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.23 Pidana
kerja sosial merupakan pidana yang bersifat rehabilitasi kepada narapidana atau
pendidikan kembali.
2. Arti Pemidanaan.
Banyak orang awam memberikan arti yang sama antara pemidanaan dan
pidana, tetapi sesungguhnya kedua istilah itu mempunyai pengertian yang
berbeda. Pengertian pidana menurut beberapa sarjana:
23
http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tangggal 11 september 2008, pukul 11.41
Wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
21
Sudarto 24 menyatakan yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Van Hamel menyatakan arti pidana atau straf adalah suatu penderitaan
yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
untuk menjatuhkan pidana atas norma negara sebagai penanggung jawab dari
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan. 25
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh
undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma
yang dengan suatu putusa hakim dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 26
Moeljatno 27 menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum
yang meletakkan dasar dan aturan-aturan untuk menentukan:
a. Perbuatan apa saja yang tidak boleh (dilarang) dilakukan dengan disertai
ancaman sanksi berupa pidana tertentu;
b. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
c. Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief. ibid, hal. 2.
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, hal. 34.
26
Ibid, hal. 34.
27
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan, tahun 2007, hal.
25
2.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
22
Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang. 28
Sedangkan pemidanaan itu adalah menetapkan jenis hukuman terhadap
suatu peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini
dapat dikatakan pola penjatuhan pidana oleh hakim. 29 Beberapa pengertian para
sarjana mengenai pemidanaan atau pemberian pidana ini, antara lain:
Roeslan Saleh 30 menyatakan pada hakekatnya ada dua proses yang
menentukan garis-garis hukum pidana yaitu:
a. segi provensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu untuk
dapat mempertahankan dengan pencegahan kejahatan.
b. segi pembalasan, yaitu hukum pidana berupakan sekaligus merupakan pola
penentuan hukuman, merupakan koreksi dari dan reaksi atas suatu yang bersifat
tindakan hukum.
Sahetapy
31
mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan “pembalasan”.
Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, ibid, hal.4.
Ibid, hal.36.
30
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana ,Ibid, hal. 17-20.
30
Ibid, hal. 20.
29
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
23
telah ditempuhnya. Makna membebaskan tidak identik dengan pengertian
rehabilitasi atau reformasi.
Bismar Siregar 32 menyatakan yang pertama-tama yang patut diperhatikan
dalam pemberian pidana, bagaimana cara agar hukuman badaniyah mencapai
sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si
tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan perdamaian dalam
kehidupan manusia.
Hegel33 berpendapat bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan
atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri. Sedangkan
Kant dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan
tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan.
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan
hukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa:
“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan
sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya
(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya
menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.
Oleh karena tulisan ini merupakan penulisan hukumpidana, maka istilah
tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana,
yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai
makna yang sama dengan sentence atau veroordering”. 34
32
33
Ibid, hal. 21.
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 4, Medan, tahun 2007, hal.
60.
34
Ibid, hal. 36
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
24
Pemidanaan dalam pandangan (perspektif) Pancasila yang dianut oleh
hukum Indonesia , haruslah sesuai dengan budaya yang dianut di masyarakat,
yang pada prinsip-prinsipnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai Makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama
maupun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang
harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, sehingga ia dapat bertobat
dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain, pemidanaan harus
berfungsi
sebagai
pembinaan
mental
orang
yang
dipidana
dan
mentarnsformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius. 35
Kedua, pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai
ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasinya yang paling
dasar jaminan atas hak hidup dan hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaaan apapun (non derogable rights) serta tidak boleh merendahkan
martabatnya dengan alasan apapun. Implikasinya adalah, meskipun terpidana
berada dalam lembaga pemasyarkatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya
tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran,
sifat, kebiasaan dan tingkah laku jahatnya. 36
Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai
sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan
toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan
35
J. E. Sahetapy,Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Pers, 1982, hal. 284, dan M. Sholehuddin, Sistem
Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System Impelementasinya, Jakarta: Raja
Grafika Persada, 2003, hal. 109.
36
Ibid
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
25
bangsa dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan. Dengan
kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan
terhadap bangsa. 37
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang
berkhidmad, mampu mengendalikan diri, disiplin dan mengharmati serta menaati
hukum sebagai wujud keputusan rakyat. 38
Kelima, menimbulkan kesadaran kewajiban setiap individu sebagai
makhluk sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai
sesama warga masyarakat. Perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut
bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan
kekejaman kenyataan sosial yang menelitinya membuatnya menjadi penjahat. 39
Penghukuman mempunyai pengertian lain
yaitu suatu rangkaian
pembalasan atas pembuatan si pelanggar hukum. 40 Penghukuman merupakan
tindakan untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau
mungkin lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perubahan kejahatan
tersebut, apakah berupa hukuman penjara ataupun yang bersifat penderitaan.
Pemidanaan mempunyai arti yang sama dengan menjatuhkan pidana,
penjatuhan pidana oleh negara yang berwujud sebagai suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan atau deberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa
orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah
37
Ibid.
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
Implementasinya, Jakarta: Raja Grafi Persada, 2003, hal. 110.
39
Ibid.
40
Abdul. Yani, Sosiologi Kriminal, Bandung: Remadja Karya, 1987, hal, 12.
38
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
26
melanggar larangan hukum pidana, yang secara khusus larangan dalam hukum
pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit).
Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh adalah reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat
delik itu.
41
Untuk melihat sejauh mana landasan tujuan pemidanaan dan bentuk-
bentuk sanksi yang ditetapkan, karena penetapan sanksi dalam peraturan
perundang-undangan adalah sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan
dari kebijakan hukum pidana (penal policy). 42
Wujud-wujud
penjatuhan pidana yang diberikan oleh negara bagi si
pembuat delik dimuat dalam pasal 10 KUHP, yang berbunyi:
“Hukuman-hukuman ialah:
a. Hukuman-hukuman pokok:
1.hukuman mati,
2.hukuman penjara,
3.hukuman kurungan,
4.hukuman denda:
b. Hukuman-hukuman tambahan:
1.pencabutan beberapa hak tertentu,
2.perampasan beberapa barang yang tertentu,
3.pengumuman keputusan hakim.”
Negara dalam menjatuhkan hukuman terhadap si pembuat delik tidak
memiliki kehendak bebas, karena harus sesuai dengan jenis-jenis pidana dalam
pasal 10 KUHP. Negara harus memberi perlindungan dan rasa aman bagi
warganya dengan menjamin hak asasi setiap warga Negara terutama yang
berkaitan dengan kesamaan hak di depan hukum (equality before the law) sesuai
dengan fungsi negara sebagai pengayom masyarakat.
41
42
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op.cit, 1987, hal. 5.
http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tangggal 11 september 2008, pukul 11.41
Wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
27
3.Pengertian Kebijakan Kriminal
Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa
Belanda “politiek” istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut juga
politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana secara
keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum, oleh
karena itu sangat penting untuk membicarakan tentang politik hukum.
Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum, oleh
karena itu menurut Sudarto,43 istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:
1. perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti suatu yang berhubungan dengan
negara;
2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan
negara.
Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan
yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata
seperti politik ekonomi, politik kriminal, politik hukum, dan politik hukum
pidana.
Mahfud 44 menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Dengan
asmsi hukum dipandang sebagai dependen variable (variabel terpengaruh) dan
politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh) maka Mahfud
merumuskan politik hukum sebagai:
43
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana,Bandung: Sinar Grafika, 1983, hal.16. dan M. Arief Amrullah,
Politik Hukum Pidana: Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang
Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hal. 13.
44
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998, hal. 1-2
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
28
Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada
di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak
dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang
dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi
dan penegakannya.
Menurut Solly Lubis 45 mengatakan bahwa politik hukum pidana adalah
kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya
berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sudarto 46 berpendapat bahwa politik hukum adalah usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu.
Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan
negara melalui alat-alat perlengkapan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai
apa yang dicita-citakan.
Proses perkembangan masyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial,
politik dan kebudayaan. Modernisasi menurt sudarto, dapat diartikan sebagai
proses penyesuaian diri dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini. Apabila
hukum pidana dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik
kriminal. Politik kriminal menurut Sudarto,
47
politik kriminal itu dapat diartikan
sebagai berikut:
45
Solly Lubis, Serba-serbi Politik Hukum, Bandung: Bandar Maju, 1989, hal. 49.
Sudarto, loc.cit.
47
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983, hal. 96
46
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
29
a. dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas
dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelaggaran hukum
berupa pidana.
b. dalam arti yang lebih luas, politik kriminal dipandang sebagai
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya
cara kerja pengadilan dan polisi.
c. dalam arti yang paling luas, politik kriminal merupakan keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.
Politik kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat
diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by
society. 48 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan
istilah “politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Menurut
G. Peter Hoefnagels 49 upaya penggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
a. penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c.mempengaruhi
pandangan
masyarakat
mengenai
kejaatan
dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime
and punishment).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar
dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur
48
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, hal. 47.
49
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, hal.
57.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
30
“non penal” (diluar hukum pidana). Dalam pembagian G. Peter Hoefnegels
tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam poin (b) dan (c) dapat
dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”.
Politik kriminal yang menggunakan politik hukum pidana maka ia harus
merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan
menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benarbenar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau
bekerjanya hukum pidana dalam kenyataan. 50 Oleh karena itu kriminalisasi yang
terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang ditulis
Bruggink (ahli bahasa oleh Arief Sidharta): 51
Dewasa ini orang mungkin mengubah bahwa melimpahnya aturan-aturan
hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula
aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan
dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru
mencekik kehidupan kemasyarkatan itu, dengan terlalu membelenggu
kreativitas dan spontanitas.
Sudarto 52 mengingatkan, pengaruh hukum pidana hanya dapat terjadi
disuatu masyarakat yang mengetahui adanya sanksi (pidana) itu. Dan
intensitasnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang
oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak
dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat
merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan
50
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Bandung: Penerbit Citra
Aditya Bakti, 1996, hal.29-30.
51
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Ahli Bahasa Oleh Arief Sidharta, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996, hal. 167.
52
Sodarto, op, cit, hal. 90-91.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
31
tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak
dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem
pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan
kultur. 53 Hal itu penting agar pihak berwenag sebagai pengambil keputusan jagan
sampai terjebak kebijak yang bersifat prgmatis, yaitu suatu kebijakan yang
didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan
untuk jangka panjang, yang akibatnya dapat merugikan masyarakat itu sendiri.
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat di
fungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap
formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan
tahap eksekutif atau kebijakan administratif. 54
Secara garis besar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menerapkan pada sifat
preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan demikian karena tindakan represif
pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat
pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu
antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
53
Muladi, Materi Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Ilmu Hukum (S-2)
UNDIP, 1993. dan M. Arief Amrulllah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan
Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hal. 21.
54
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 75.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
32
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan
kejahatan.
G. Metode Penulisan
Jenis penulisan 55 yang digunakan adalah hukum normatif (pendekatan hukum
doktrinal). Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan
atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum
doktriner karena penelitian ini dilakukan/ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga
disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan
penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang
ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan
sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 56
Dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini untuk menjawab
permasalahan digunakan penelitian normatif. Penelitian hukum normatif yang
dilakukan dalam skripsi ini dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum
yang berkaitan dengan pidana kerja sosial dalam kebijakan kriminal hukum
pidana Indonesia.
2. Sumber dan Pengumpulan Data.
55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pers, 1986, hal. 42.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu; Sistematis adalah berdasarkan suatu system, sedangkan konsisten berarti tidak adanya
hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
56
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hal.
13.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
33
Materi penulisan ini diambil dari data 57 sekunder yang dikumpulkan
melalui studi kepustakaan(library research). Studi kepustakaan yaitu mempelajari
dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, peraturan
perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang
dibahas dalam skripsi ini.
3.Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis
kualitatif , yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan
selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang
akan dibahas. Analisis kuaitatif adalah menganalisa secara lengkap dan
komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberi tuntunan dan arahan bagi pembaca maka dibawah ini
penulis membuat sistematika penulisan atau gambaran secara ringkas mengenai
isi dalam skripsi ini sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab yang berisikan latar belakang penulisan skripsi ini,
perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian pidana kerja sosial,
57
Lex Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999,
cetakan ke -10, hal. 103
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
34
arti pemidanaan, pengertian kebijakan kriminal serta menguraikan metode
penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II
DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJUAN PEMIDANAAN DI
INDONESIA
Bab dasar filosofi tujuan pemidanaan di Indonesia ini mengurakan tentang teoriteori tujuan pemidanaan di dunia dan membangun tujuan pemidanaan di
Indonesia.
BAB III
PROSPEK PIDAN KERJA SOSIAL DALAM CRIMINAL
POLICY DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Bab ini membahas tentang latar belakang lahirnya pidana kerja sosial dan pidana
kerja sosial dalam criminal policy dikaitkan dengan tujuan pemidanaan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah
yang telah dibahas dalam bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua
pihak dan sebagai perbaikan dari masalah yang dibahas penulis yaitu mengenai
lahirnya pidana kerja sosial dan pidana kerja sosial dalam kriminal policy
dikaitkan dengan tujuan pemidanaan.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
27
BAB II
DASAR FILOSOFI DAN KONSEP TUJAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
A.Teori-Teori Tujuan Pemidanaan di Dunia.
Dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan mempunyai ide-ide dasar
pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai
tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik
kepada Negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Sedangkan
teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang mengorganisasi,
menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi Negara, masyarakat dan
subjek hukum terpidana. Sholehuddin 112 menyatakan bahwa filsafat pemidanaan
mempunyai dua fungsi:
Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan atas normatif atau
kaidah yang memberi pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana
dan pemidanaan. Yang bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran
sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkannya sebagai prinsip
maupun sebagai kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang
wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.
Kedua, fungsi teori dalam hal ini sebagai meta-teori, yang maksudnya
filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatar belakangi
setiap teori pemidanaan.
112
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System Implementasinya, Log.cit, hal. 80.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
28
Kedua fungsi di atas dalam proses implementasinya, penetapan sanksi
pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legalisasi dan/atau yudikasi
untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan) sebagai landasan
keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. 113
Pemerintah atau negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap individu,
menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi
kadang-kadang sebaliknya pemerintah atau negara menjatuhkan pidana dan oleh
karena penjatuhan pidana itu maka pribadi manusia tersebut diserang oleh
pemerintah atau negara itu sendiri, misalnya yang bersangkutan dipidana
penjara. 114 Jadi disatu pihak pemerintah atau negara membela dan melindungi
pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak yang lain
pemerintah atau negara justru menyerang pribadi manusia yang dilindungi atau
dibela itu. 115
Berdasarkan hal tersebut, maka diusahakanlah untuk menunjukkan alasan
apa yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman, karena hal tersebut
dilakukan terhadap manusia yang juga mempunyai hak hidup, mempunyai hak
kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan terhadap negara yang
menghukumnya.
Maka apabila bercerita mengenai tujuan pemidanaan, teori pemidanaan
dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu :
113
Ibid, hal: 80.
114
Menurut pasal 60 Rancangan KUHP, pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untukmenaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakata.
115
Ibid, hal. 81.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
29
1. Teori retributif atau teori pembalasan;
2. Teori deterrence atau teori relatif;
3. Teori treatment;
4. Teori social defence atau perlindungan sosial.
1. Teori Retributif atau Teori Absolut.
Mengenai teori absolut dikenalkan sejak akhir abad XVII dan mendapat
banyak pengikut dikalangan para ahli filsafat Jerman seperti Immanuel Kant
(1724-1804) dan Hegel Thomas Aquino (1770-1831), beranggapan bahwa
hukuman adalah suatu konsekuensi dilakukannya suatu kejahatan. Pokok dari
ajaran ini adalah: “sifat pembalasan sebagai dasar membalas kejahatan dan
kesengsaraan yang sepadan dengan kesengsaraan yang dilakukan oleh
penjahat”. 116
Apabila seseorang melakukan kejahatan, maka karena pembuatnya itu
akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota masyarakat yang lain.
Untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula sebagaimana sebelum
terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu penderitaan pula,
yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa) dan pidana ini harus dirasakan
sebagai suatu nestapa. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan
asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas
dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun,
sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.
116
Desi Ariani Sartika, Skripsi (Pengaruh Masalah Hukuman bagi Narapidana dalam
Sistem Pidana dan Pemidanaan Serta Kaitannya dengan Pasal 15 KUHP), Medan: 2006, hal. 8.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
30
Kant menganggap bahwa semua perbuatan yang ternyata berlawanan
dengan keadilan harus menerima pembalasan. Apakah hal yang menjadi
pertimbangan bila hukuman harus dijatuhkan? Katanya, “si pembunuh harus
digantung walaupun masyarakat pada esok hari akan rusak dan pecah”. 117
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah,
yaitu:
a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan);
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat (sudut objekif dari pembalasan). 118
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif dengan
menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan
untuk menggunakan batasan maksimum tersebut. Romli Atmasasmita 119 memberi
pembenaran atas teori ini yang dikemukakannya antara lain:
1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik
perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak
dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak
menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan
dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan
117
G. W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991,
hal. 61.
118
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001, hal.154.
119
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung:
Mandar Maju, 1995, hal. 83-84.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
31
orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar,
maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;
3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara
beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran
retributif ini disebut proportionality.
Nigel Walker menyatakan bahwa penganut teori retributif dapat dibagi
dalam dua golongan, yaitu penganut teori retroaktif yang murni (The pure
retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan
kesalahan si pembuat, dan penganut teori retributif tidak murni yang dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu: 120
a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist), yang
berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan,
hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok atau sepadan dengan
kesalahan terdakwa;
b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution) yang
berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak
bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok atau sepadan dan dibatasi oleh
kesalahan. Prinsip ”pidana tanpa kesalahan” dihormati, tetapi dimunginkan
adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Karl O. Cristiansen 121 memberi ciri pokok atau karateristik teori reributif
yaitu:
a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
120
121
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Ibid, hal. 12-13.
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Ibid, hal. 26.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
32
b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung saranasarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si
pelanggar.
Menurut Nigel Walker, kebanyakan KUHP disusun sesuai dengan
penganut golongan teori retributif yang terbatas yaitu dengan menerapkan pidana
maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan
batas maksimum tersebut. 122
Menurut Sudarto,123 sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran
pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan
demi keadilan belaka. Walaupun ada penganutnya mereka ini dikatakan sebagai
penganut teori pembalasan yang modern, misalnya Van Bamelen, Pompe dan
Enschede.
Teori retributif ini muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an,
yang didorong oleh kegagalan secara luas pelaksanaan ide rehabilitasi.
Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk
kejahatan.
122
123
Ibid, hal. 13
Ibid, hal 14.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
33
2. Teori Deterrence atau Teori Relatif
Adapun yang menjadi dasar dari pada teori relatif atau teori tujuan ini
adalah berpokok pangkal pada dasar pidana yaitu alat untuk menegakkan tata
tertib (hukum) dalam masyarakat. 124 Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat,
dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk
mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat
tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat, maka pidana adalah
suatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reduktivism)
karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini
adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Penganut reduktivism meyakini
bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa
cara sebagai berikut: 125
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu
membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran
hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),
dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk
melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan
pada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan keungkinan dijatuhkan
pidana kepadanya;
124
Ibid, hal.157.
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah Pertemuan ke 3, Medan,
tahun 2008, hal. 2.
125
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
34
3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku
si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak
melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman
pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan,
sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekwensi
kejahatan;
5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang
cukup lama.
Tujuan ketertiban masyarakat dapat dicapai apabila pidana mempunyai
tiga (3) macam sifat, yaitu:
a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
c. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).
Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran pidana semata-mata
pada suatu tujuan tertentu dari pemidanaan, tujuan yang harus diarahkan kepada
upaya agar di kemudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi
(prevensi). Sifat pencegahan dari teori ini ada 2 (dua) macam, yaitu:
a. Pencegahan umum (general preventie);
Teori ini bersifat menakut-nakuti, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan
agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang
dijatuhi pidana ini dijadikan contoh oleh masyarakat, agar umum tidak meniru dan
melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Menurut teori pencegahan
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
35
umum ini untuk mencapai dan mempertahankan tata tertib masyarakat melalui
pemidanaan, maka pelaksanaan pidana harus dilakukan secara kejam dan dimuka
umum. Prevensi umum ini menurut Van Veen 126 mempunyai tiga fungsi yaitu
menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.
Mengenai pencegahan umum yang dilakukan dengan cara menakuti orang
banyak, dilakukan dengan cara: 127
1. Menjalankan pidana yang kejam di hadapan orang banyak;
2. Paksaan psikologis yaitu dengan kodifikasi hukum pidanaa dan ancaman yang
berat;
3. Menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari kesalahan si pembuat.
b. Pencegahan khusus (special preventie).
Teori pencegahan khusus ini menyatakan bahwa tujuan pidana adalah mencegah
pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan
kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya kedalam perbuatan nyata. Tujuan tersebut dapat dicapai
dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya menakut-nakuti, memperbaiki,
dan membuatnya menjadi tidak berdaya. 128
Pencegahan khusus dilakukan dengan cara memperbaiki si tersalah agar ia
tidak melakukan kejahatan lagi, yang dilakukan dengan cara:
1. Menakut-nakuti sitersalah
126
Mahmud Mulyadi, Ibid, hal. 5.
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, hal. 20.
128
Ibid, hal.161.
127
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
36
Dalam hal ini hanya orang-orang yang bermental lemah yang dapat ditakuti,
sehingga mereka tidak berani mengulang perbuatan yang boleh dihukum.
2. Memperbaiki si tersalah
Dalam hal ini sitersalah dibantu dan diajari untuk mengatasi kesukaran
hidupnya.
3. Membuat sitersalah tidak berbahaya lagi
Sitersalah disterilkan dengan menempatkannya ditempat rehabilitasi agar dia
dapat kembali menjadi manusia yang baik kembali. 129
Teori relatif lain melihat bahwa upaya untuk dengan menjatuhkan pidana
memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik yang tidak akan lagi
melakukan kejahatan. Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat agar ia insyaf
akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si
penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. 130
Aliran klasik yang muncul pada abad ke 18 merupakan respon dari ancient
regime di Prancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidak pastian hukum,
ketidak samaan hukum dan ketidak adilan. Aliran ini berpaham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada
perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan
(daad-strafrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track
system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana.
Selain itu aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak
pidana, sebagai mana dinyatakan oleh Cesare Beccaria adalah doktrin hukum
129
Lamintang, op cit, hal. 15.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2003, hal. 26.
130
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
37
pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya hukum harus
dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk
melakukan penafsiran. Haki yang merupakan alat undang-undang yang hanya
menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana.
Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur.
Tokoh utama dari aliran ini adalah Cesare Beccaria. Aliran ini
menghendaki pidana yang tersusun sistematis dan menitik beratkan kepada
kepastian hukum. Menurut Cesare Beccaria bahwa prinsip yang terpenting dalam
hal pemidanaan adalah pidana itu harus ditentukan sebelumnya oleh undangundang serta hakim terkait pada undang-undang ini. Menurutnya pidana yang
kejam tidak ada gunanya karena tujuan pidana itu sesuai dengan pembalasan atas
prevensi umum dan prevensi khusus.
Sesuai dengan paradigma yang melatar belakangi yaitu aliran legisme,
aliran klasik yang menghendaki adanya pidana yang seimbang. Pidana harus
dijatuhkan sesuai dengan tindakan pidana yang dilakukan. Dalam konteks
pemidanaan, aliran klasik pidana yang dirumuskan dalam undang-undang bersifat
pasti (definite sentences). Pidana harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam
undang-undang. Artinya bobot pidana sudah ditentukan dalam undang-undang
dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana lain selain
yang telah ditentukan dalam undang-undang. 131
131
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Op cit,
hal. 33.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
38
Selain Cessare Beccaria ada juga Jeremy Bentham yang sepakat dengan
tujuan pemidanaan sebagai deterrence dengan teori utilitarian. Christiansen 132
memberikan beberapa rincian mengenai ciri-ciri teori relatif yaitu:
a. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan;
b. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakat
(social welfare);
c. Hanya pelaggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk
dijatuhkannya pidana;
d. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau sarana
untuk pencegahan kejahatan.
Bentham berpendapat bahwa hukum pidana jangan digunakan sebagai
pembalasan terhadap penjahat akan tetapi hanya untuk mencegah kejahatan. Oleh
karena itu, tujuan pidana menurut Jeremy Bentham 133 yaitu:
1. mencegah semua pelanggaran;
2. mencegah pelanggaran yang paling jahat;
3. menekankan kejahatan;
4. menekankan kerugian atau biaya sekecil-kecilnya.
Menurut Ahmad Ali penganut paham utilitarian menganggap bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagian yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini
132
133
Mahmud Mulyadi, Dalam Bahan Kuliah ke-3,Op. cit, hal. 7.
Desi Ariani Sartika, Ibid, hal. 9.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
39
didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari
kebahagian dan hukum merupakan salah satu instrument untuk mencapai
kebahagiaan tersebut.134
Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang yaitu: pertama, asas legalitas
yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana
tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas
kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana
yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan. Ketiga, asas
pengimbalan (pembalasan yang sekuler) yang berisi bahwa pidana secara konkrit
tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat,
melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatannya yang dilakukan. 135
Aliaran klasik merupakan aliran dalam hukum pidana yang hanya
berorientasi ke belakang (backward-looking) yaitu hanya berorientasi pada
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Karenanya hukum pidana yang
berkembang pada saat ini sering dikenal sebagai hukum pidana yang hanya
berorientasi pada pelaku (daad strafrech). 136
134
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta:
Chandra Utama, 1996, hal. 87. Dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2008, hal. 75.
135
Dwidjaya Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama, 2006, hal. 33.
136
Tongat, ibid, hal. 33.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
40
3. Teori Treatment
Pemidanaan yang dimasud oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan
sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran yang ketiga ini timbul karena baik
teori retributif maupun teori deterrence mengandung kelemahan-kelamahan.
Adapun kelemahan tersebut ialah: 137
Kelemahan teori absolut yaitu dapat menimbulkan ketidak adilan.
Misalnya pada pembunuhan, tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana
mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
Sedangkan teori tujuan memiliki beberapa kelemahan yaitu:
a. Dapat menimbulkan ketidak adilan pula. Misalnya, apabila tujuan untuk
mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku
kejahatan ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-nakuti
saja, sehingga tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.
b. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya, jika tujuan itu semata-mata hanya
untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan
dengan demikian diabaikan.
c. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan
dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya
terhadap residivis.
Aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran
determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of
137
Mahmud Mulyadi, Dalam Bahan Kuliah ke 4, hal. 1.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
41
free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan bertindak, tetapi
dipengaruhi oleh watak lingkungnnya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini dipelopori oleh Lambroso, Von
List, H. Prins. Menurut aliran ini yang menjadi perhatian adalah sipembuatnya,
dimana teori ini berpendapat bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara
konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh
watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan masyarakat. 138
Disebut sebagai aliran positif, karena di dalam mencari sebab kejahatan
didasarkan pada ilmu alam. Selain itu aliran ini bermaksud mendekati para pelaku
kejahatan secara positif, artinya mempengaruhi para pelaku kejahatan kearah yang
lebih positif sepanjang masih dimungkinkan. Aliran ini sering dianggap sebagai
aliran yang berorientasi ke depan (forward looking). 139
Marc Ancel dengan konsepsi yang moderat menghendaki agar ide-ide atau
konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat diintegarasikan ke dalam konsepsi
baru hukum pidana. Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle
(New Social Defence) menghendaki agar munculnya ide-ide perlindungan
masyarakat tidak menghapus hukum pidana. Konsepsi perlindungan masyarakat
tersebut terintegrasi ke dalam hukum pidana, sehingga akan tercipta konsep baru
hukum pidana tanpa menghilangkan esensi hukum pidananya. 140
Tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cessare
Lombroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lombroso menganjurkan bahwa
pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence).
138
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op cit, hal. 81.
Tongat, Ibid, hal. 35.
140
Ibid, hal. 36.
139
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
42
Pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bila mana penjara pembuangan dan
kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat
dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan
oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan.
Aliran positif ini menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana
klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum,
pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan
perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya. 141
Menurut aliran ini sebelum menjatuhi pidana terhadap seseorang maka
harus dilihat terlebih dahulu alasan apa yang menyebabkan ia melakukan
perbuatan tersebut. Misalnya seseorang yang mencuri karena demi anak-anaknya
yang sudah beberapa hari tidak makan, atau mencuri karena orang tersebut
mempunyai kelainan yang biasa disebut dengan cleptomania.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut: 142
a. menolak defenisi hukum dari kejahatan (rejected legal definition of crime);
b. pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana (let the punishment fit the
criminal);
c. doktrin determinisme (doctrine of determinisme);
d. penghapusan pidana mati (abolition of the death penalty);
e. riset empiris (empirical research: use of the inductive method);
f. pidana yang ditentukan secara pasti (indeterminate sentence).
141
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah Pertemuan ke 4, Medan,
tahun 2008, hal. 4.
142
Muladi dalam Dwidja Priyatno, Ibid, hal. 34.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
43
Tujuan pemidanaan dalam KUHP tidak dirumuskan secara eksplisit,
namun dalam rancangan KUHP sebaliknya. Dalam hal ini, tujuan pemidanaan,
baik bersifat pembalasan maupun pencegahan dirumuskan lebih mendalam. Hal
ini terlihat dalam rumusan rancangan KUHP 2006 bahwa tujuan pemidanaan
adalah: 143
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
Rumusan tujuan pemidanaan ini memiliki pengertian untuk menekankan
pentingnya prevensi umum sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan pidana.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna;
Tujuan pemidanaan ini berisi resosialisasi terhadap narapidana, dalam banyak
segi resosialisasi dapat dipandang sebagai upaya atau manifestasi untuk untuk
prevensi khusus.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
Tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan yang dapat dilakukan
dengan menjatuhkan (membalas) pidana terhadap pembuat suatu tindak
pidana. Dengan pemidanaan, diharapkan konflik antara pembuat dan korban
dapat selesai. Selain konflik yang timbul akibat suatu tindak pidana membawa
masyarakat kembali dalam keadaan seimbang, yang sempat goyah karena
143
http//:www.elsam.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2009, pukul.
11.30.wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
44
tindak pidana yang dilakukan pembuat. Keseimbangan tersebut pada
gilirannya akan mendatangkan kedamaian dari masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Hal ini merupakan pembalasan yang sifatnya empiris. Rumusan tujuan
pengenaan pidana atau pemidanaan yang bersifat pembalasan ditempatkan
dalam pasal 51 ayat (1) rancangan KUHP.
4. Teori Social Defence atau Perlindungan Sosial.
Teori social defence atau perlindungan sosial lahir dan berkembang
setelah perang dunia II, yang tokohnya adalah Filipo Gramatika. 144 Pandangan
social defence ini berkembang dan terpecah setelah kongres ke-2 tahun 1949
menjadi dua aliran yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran moderat (reformis).
Gramatika pada tahun 1945 mendirikan pusat studi perlindungan
masyarakat
merupakan
pelopor
pandangan
yang
radikal.
Gramatika 145
berpendapat bahwa: “hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum
pidana yang ada sekarang.” Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Paham abolisionisme adalah suatu gerakan yang menghendaki
penghapusan hukum pidana yang dipelopori oleh Gramtika. Gerakan ini
menentang penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan
kejahatan, karena dalam pandangan kaum abolisionisme hukum pidana dirasakan
144
145
Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 102.
Ibid, hal. 103-104.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
45
kurang manusiawi, oleh krena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan,
serta diganti dengan hukum kerja sosial.
Restorative Justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan
penolakan terhadap sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif atau
perbaikan. 146 Paham abolisionis menganggap sistem
peradilan pidana
mengandung masalah atau cacat structural sehingga secara realitas harus dirubah
dasar-dasar struktur system tersebut. Dalam konteks sanksi pidana, nilai-nilai
yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif
sanksi yang lebih layak dan efektif dari pada penjara. 147
Marc Ancel (Prancis) seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi
dalam bukunya “Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan NonPenal
Policy
dalam
Penanggulangan
Kejahatan
Kekerasan” 148
yang
mempertahankan pandangan moderat dan menamakan alirannya sebagai “Defence
Sociale Nouvell” atau “New Sociale Defence” atau perlindungan sosial baru. Marc
Ancel berpendapat bahwa setiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial,
yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan
untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada
umumnya.
146
Muladi, Log. Cit, hal. 127-129.
Ibid, hal. 125.
148
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, hal. 88-89.
147
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
46
Hukum pidana memegang peranan yang besar sehingga merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep
pandangan moderat: 149
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana;
2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang
tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari
kehidupan masyarakat itu sendiri;
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak
penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.
5. Restorative Justice.
Tony F. Marshall (ahli kriminologi Inggris) seperti yang dikemukakan
oleh Marlina dalam disertasinya mengemukakan bahwa defenisi dari restorative
justice adalah: 150
Sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran
tertentu bertemu semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu
bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi
kepentingan masa depan.
Marlina dalam disertasinya memberikan pengertian tentang restorative
justice adalah: 151
149
Ibid, hal. 89.
Marlina, Disertasi (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia) , Medan: 2007, hal. 170.
151
Ibid, hal. 58.
150
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
47
Proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersamasama bermusyawarah antara korban, pelaku, kelurga korban, keluarga pelaku dan
masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan
semua kerugian yang diderita oleh semua pihak.
Restorative Justice bersifat merekatkan peradilan pidana dengan konteks
sosialnya yang menekan dari pada mengisolasinya secara tertutup. Konsep
restorative justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari
pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya
masyarakat yang ada sebelumya dalam menangani permasalahan kriminal jauh
sebelum dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional. 152
Sarjana-sarjana yang meneliti mengenai restorative justice ini antara lain:
Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia), Howard Zehr (USA),
dan Robert Coates (USA). Para pengamat memberi kesimpulan mengenai
restorative justice bahwa selama ini korban secara esensial tidak diikut sertakan
dalam proses peradilan pidana tradisional. Korban hanya dibutuhkan sebagai saksi
jika diperlukan, tetapi dalam kebijakan pengambilan keputusan mereka tidak
dilibatkan sama sekali. Pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh hakim
berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. Bagi pelaku keterlibatan
mereka dalam pengadilan hanya bersifat pasif saja, kebanyakan peran dan
partisipasi mereka diwakili dan disuarakan oleh pihak pengacaranya. 153
John Delaney 154 menyatakan bahwa pengintegrasian kembali narapidana
ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisationprocess yaitu
152
Ibid, hal. 171.
Ibid, hal. 173.
154
http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2008, pukul.
11.30.wib.
153
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
48
satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai,
pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang
budaya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal.
Robert Martison memberi kesimpilan bahwa penjara yang telah
melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat tidaklah lebih berhasil dari
pada penjara yang membiarkan penghuninya “melapuk”. David Rothman
mengatakan bahwa rehabiitasi adalah kebohongan yang diagung-agungkan.
Pernyataan ini muncul setelah ia melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa
penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup yang wajar sehingga ia tidak siap
untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan dari penjara. 155
Penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program
penyelesaian diluar pengadilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang
disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di
negara Canada. Pelaksanaan victim offender mediation berbeda dengan peradilan
tradisional baik dari segi perlakuan dan peran sertanya. Perlakuan tersebut adalah
peran serta korban yang terlibat langsung dalam pembuat kesepakatan hukuman,
sehingga dapat mengambil keputusan yang terjadi. Dalam proses victim offender
mediation bukan hanya korban yang menjadi fokus peran, tetapi pelaku juga
dilibatkan secara langsung dan dapat berperan dalam perumusan keputusan,
sehingga terlihat nyata dan langsung. 156
155
http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 11 Februari 2008, pukul.
11.30.wib.
156
Ibid, hal. 174.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
49
Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan korban dan pelaku begitu
juga dengan adanya keterlibatan anggota masyarakat, diharapkan dapat membantu
dan memperbaiki kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan
masyarakat
yang
bersangkutan.
Penyelesaian
dengan restorative justice
diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan terpulihkan kembali
dan adanya pengharapan dan penghormatan terhadap korban dari suatu tindak
pidana. Penghormatan pelaku terhadap korban dengan mewajibkan pelaku
melakukan pemulihan kembali atas kerugian yang ditimbulkannya. Pemulihan
yang dilakukan pelaku berupa ganti rugi, pekerjaan social, melakukan perbaikan
atau kegiatan tertentu sesuai dengan keputusan bersama yang telah disepakati
semua pihak dalam pertemuan yang dilakukan. 157
B. Membangun Tujuan Pemidanaan di Indonesia.
Secara normatif pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia
dimulai
sejak
masa
permulaan
berdirinya
Republik
Indonesia
yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa:
“segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini (UUD-1945)”
157
Ibid, hal. 58-59.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
50
R. Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan bahwa: 158
“Dengan berlakunya aturan peralihan tersebut, dan ditambah pula dengan
tidak dilaksanakannya ayat 1 dari Undang-Undang Dasar tahun 1945, yakni
aturan yang mengharuskan dibentuknya dan bersidangnya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam tempo 1 tahun maka tetaplah Republik Indonesia
dalam waktu revolusi bersenjata itu pada pokoknya masih dibawah pengaruh
peraturan-peraturan yang berasal dari penjajahan Belanda, baik dilapangan hukum
Tata Usaha Negara, dan Tata Negara, bahkan hingga sekarang ini Rakyat
Indonesia masih dibawah pengaruh peraturan-peraturan yang berasal dari
penjajahan Belanda.”
Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum
pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia,
pembaharuan hukum pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai
dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. 159
Makna yang terkandung
dalam pembaharuan hukum, setidaknya
mempunyai makna legal reform dan law reform. Secara sederhana, legal reform
adalah
undang-undangnya
yang
mendapatkan
perubahan,
dan
lebih
mengedepankan arus dari kaum intelektual yang lebih menguasai ilmu undangundang. Sedangkan, law reform adalah lebih mengetengahkan nilai-nilai extra
legal masuk kedalamnya.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi,
kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian yang penting dari
kebijakan kriminal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Pembuatan
158
R. Iwa Kusuma Sumantri, Revolusianisasi Hukum Indonesia, Bandung: Unpad, 1958.
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia, 1995, hal. 23.
159
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
51
undang-undang atau hukum pidana pada hakikatnyajuga merupakan bagian dari
usaha perlindungan masyarakat. Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana
dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana.
Berbagai pihak dari kalangan praktisi hukum, akademisi, maupun
pemerintahan, melalui RUU-KUHP, salah satu yang menjadi pemicu terhadap
perubahan hukum pidana adalah adanya kemajuan teknologi informasi yang
mengenai segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta
dibatasi wilayah (borderless). 160 Maka, dewasa ini pembaharuan hukum pidana
sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy). Yang dimaksud
dengan Penal Policy 161 adalah:
“suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, akan tetapi
juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”.
Barda Nawawi Arief 162 mengatakan bahwa pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya mengandung makna:
“suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum di Indonesia”.
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan hukum
pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena
160
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 17.
161
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 3.
162
Ibid. hal. 3.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
52
itu, pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana itu adalah merupakan bagian
dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum atau
penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial).
Dikatakan sebagai suatu kebijakan karena pembaharuan hukum pidana ini
diperuntukkan sebagai pembaruan suatu substansi hukum (Legal substance)
dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum. Selain itu juga,
kebijakan yang dimaksud adalah untuk memberantas atau menanggulangi
kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana yang merupakan bagian dari kebijakan
hukum pidana (penal policy) diikuti dengan pendekatan diluar hukum pidana
(non-poenal policy). Kebijakan dalam penanggulangan kejahatan lewat jalur “non
penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Yang
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Usaha-usaha
non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci
yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 163
Hoefnagels seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi dalam
bukunya “criminal policy” menyatakan bahwa pendekatan non penal policy
adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan
(prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental
masyarakat (community planning mental health), kesehatan masyarakat secara
163
Mahmud Mulyadi, Criminal Policya,Op.cit, hal. 55.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
53
nasional (national mental health), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social
worker and child welfare), serta penggunaan hukum sipil dan administrasi
(administratie and civil law). 164
Politik hukum pidana atau criminal policy merupakan upaya menentukan
kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang
dengan melihat penegakannya saat ini. A. Mulder seprti yang dikemukakan oleh
Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa politik hukum pidana adalah garis
kebijakan untuk menentukan: seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang
berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui, apa yang dapat diperbuat
untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan cara bagaimana penyidikan,
penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 165
Barda Nawawi Arief 166
menyatakan perlu adanya harmonisasi atau
sinkronisasi, dan konsistensi antara pembangunan dan pembaharuan hukum
nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosial-filosofis dan sosio-kultural yang
ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan pembaharuan
hukum pidana (KUHP) nasional, perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilainilai nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat (nilai-nilai religius, maupun nilai-nilai budaya atau
adat).
Pembaharuan hukum pidana Indonesia (khususnya penyusunan KUHP
(baru) dilatar belakangi oleh ide yang berulang kali dinyatakan dalam berbagai
seminar Nasional maupun Internasional:
164
Ibid, hal. 58.
Ibid, hal. 66-67.
166
Barda Nawawi Arief, Pembaruan Hukum Pidana, Ibid, hal. 4-7.
165
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
54
Bahwa pembaharuan hukum pidana dan penegakan hukum pidana
hendaknya dilakukan dengan menggali dan mengkaji sumber hukum yang
tertulis dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
antara lain dalam hukum agama dan hukum adat.
Usaha untuk memperbaharui KUHP sudah tercermin sejak Proklamasi
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dalam Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN) dibentuk komisi-komisi untuk berbagai bidang hukum, antara
lain hukum pidana. Alasan mengapa kita memperbaharui KUHP menurut Sudarto
adalah: 167
1. Dari segi politik, wajar bangsa Indonesia yang sudah merdeka untuk
mempunyai KUHP sendiri karena hal itu adalah merupakan simbol
(Lambang) dari kebanggaan sebagi bangsa yang telah merdeka.
2. Karena dalam teks resmi KUHP adalah berbahasa Belanda maka sehubungan
dengan itu, tidaklah cocok dengan Bahasa Indonesia yang sudah mendarah
daging dari Bangsa Indonesia ini.
3. Terakhir, secara sosiologis KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Ini tentunya bertentangan dengan masalah
kebudayaan, di sisi lain KUHP Belanda berdasarkan sistem kapitalisme, dan
liberal. Sementara bangsa Indonesia berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan.
Maka dari sinilah sudah tidak cocok bahwa KUHP untuk diterapkan di Negara
kita.
Pembaharuan hukum pidana (KUHP) perlu dilaksanakan dengan nilainilai yang berorientasi dengan keagamaan. Jadi, tersirat himbauan untuk
167
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Op cit, hal. 66-69.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
55
melakukan pendekatan yang humanis, pendekatan kultural dan pendekatan
religius, yang kemudian dipadukan dengan pendekatan yang rasional, yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Rancangan KHUP yang diajukan ke DPR tahun 2006, telah memiliki
sejarah yang cukup lama sejak tahun 1981. Naskah RUU-KUHP ini disusun oleh
dua tim perancangan, yang kemudian dileburkan dalam satu tim. Materi yang
berhasil disusun dalam konsep 2006 adalah:
a. Masalah tindak pidana;
b. Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana;
c. Masalah pidana dan pemidanaan.
Masalah tindak pidana, konsep bertolak dari pendirian bahwa sumber
hukum yang utama adalah Undang-undang (hukum yang tertulis). Konsep
bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Yang dijelaskan dalam pasal
64 Konsep memperluas perumusan secara materil bahwa ketentuan dalam pasal
64 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup 168 dalam masyarakat. Maka
dengan demikian, dengan berlakunya hukum tertulis (UU) sebagai kriteria
patokan formal yang pertama, konsep juga masih memberikan kesempatan kepada
sumber hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar
menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. 169
Bab III rancangan KUHP tentang pemidanaan, pidana, dan tindakan
menyatakan
bahwa
pemidanaan
bertujuan
untuk:
pertama,
mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
168
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana,
Jakarta: PT. Grasindo, 2008, hal.32
169
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op cit, hal. 78.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
56
masyarakat. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Ketiga, menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Keempat, membebaskan rasa
bersalah pada terpidana. 170
Perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersimpul
pandangan mengenai perlindungan masyarakat (social defence), pandangan
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pandangan ini dipertegas lagi dengan
mencantumkan tentang pemidanaantidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat.
Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP menganut aliran neo klasik
dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan tentang
pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-asas atau keadaan yang
meringankan
pemidanaan,
mendasarkan
keadaan
yang
obyektif
dan
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak
pidana. 171
Tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang
mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan
menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan
pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan ini juga berdasarkan
pandangan utilitarian sebagaimana diklasifikasikan oleh Herbet L. Paker yang
170
http: //www .legalitas.org. yang diakses pada tanggal 23 september 2008, pukul 15.45
171
http: //www.elsam.com. yang diakses pada tanggal 27 Januari 2009, pukul 14.00 wib.
wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
57
melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, dimana yang dilihat
adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana
itu.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai hukum positif dan telah
dikodifikasikan tidak dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat yang begitu
rumit, kompleks dan selalu berubah-ubah sehingga dalam bentuk undang-undang
tidak mungkin membuat kodifikasi hukum yang dapat memenuhi segala
kebutuhan yang timbul dalam masyarakat. Tatanan kebiasaan merupakan tatanan
yang norma-normanya sangat dekat dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Apa
yang biasa dilakukan oleh masyarakat, itulah yang kemudian bisa menjelma
menjadi norma kebiasaan. Kebiasaan atau adat istiadat pada dasarnya berada pada
setiap tempat maupun golongan dalam masyarakat, oleh karena itu kebiasaan
tidak perlu senantiasa ditaati oleh semua pendudukan suatu wilayah Negara. Ada
juga kebiasaan kedaerah atau lokal (hukum adat). 172
Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan
antar golongan. Dimana, setiap suku bangsa memiliki hukum pidana adat
tersendiri. Daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya yang
magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang masih kental, sumber hukum
yang diakui dalam lapangan hukum pidana adalah hukum adat daerah itu sendiri.
Keberadaan hukum pidana adat merupakan pencerminan masyarakat tersebut dan
hukum pada masing-masing daerah memiliki hukum pidana adat yang berbeda-
172
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 62.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
58
beda sesuai dengan adat istiadat di daerah tersebut dengan ciri khas yang tidak
tertulis atau terkodifikasi.
Nilai-nilai yang dianut dan dirumuskan dalam tujuan pemidanaan di
berbagai delik adat di berbagai daerah di Indonesia. Tujuan pemidanaan
pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan keadaan
didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat adat, bahwa delik bukan saja
dipandang sebagai perbuatan yang merugikan secara materil pada diri seseorang
semata,
melainkan
juga
mengakibatkan kerugian secara
magis
berupa
keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan terkena pengaruhnya
(kerugian) atas gangguan ini. 173
Sarjana-sarjana yang mengungkapkan bahwa delik adat yang dilanggar
mengganggu keseimbangan masyarakat yaitu:
Van Vollenhoven, 174 seperti yang dikemukakan oleh Mahmud Mulyadi
mengatakan
bahwa
gangguan
keseimbangan
merupakan
suatu
keadaan
keseimbangan magis yang terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban
hidup dalam masyarakat. Oleh karena bila terjadi perbuatan pidana di dalam
masyarakat, maka keseimbangan yang terganggu harus dikembalikan atau
dipulihkan melalui pengenaan reaksi adat.
Ter Haar 175 yang mengartikan delik adat sebagai segala sesuatu yang
menyebabkan gangguan keseimbangan, segala sesuatu gangguan pada barang
materil hak milik kehidupan seseorang atau masyarakat. Orang-orang yang
173
Mahmud Mulyadi, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan,
Kritisi Terhadap RUU KUHP, Medan, 2007, hal. 14-15.
174
Ibid, hal. 15
175
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 6, Medan, 2008, hal. 3.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
59
melakukan delik ini harus dikenakan reaksi adat ini ditentukan oleh hukum adat
yang bersangkutan. Secara umum, reaksi adat ini adalah pembayaran delik dalam
bentuk uang atau barang. Dengan dijatuhkannya reaksi adat ini, maka
keseimbangan yangterganggu akan dapat dipulihkan.
Beberapa konsep komunal yang ditawarkan dalam hukum adat, yang
menekankan rasa kebersamaan dalam masyarakat, sehingga setiap delik yang
terjadi di tengah masyarakat dipandang tidak hanya merugikan orang perorang,
tetapi juga membawa kerugian pada masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh
Koesnoe dalam Mahmud Mulyadi konsep yang ditawarkan bernilai komunal dari
pada individual antara lain: 176
1. Pandangan hidup adat, yaitu manusia sebagai spesis ciptaan dalam alam;
2. Sebagai ciptaan tersendiri, sebagai spesis adalah dikodratkan hidup dalam
kebersamaan dan tidak sendiri-sendiri;
3. Hidup kebersamaan mengandung arti bahwa setiap orang selaku anggota
masyarakat adalah sama;
4. Hidup kerakyatan itu dipertahankan dengan hidup rukun;
5. Hidup rukun itu diselenggarakan dengan hidup atau satu sama lain saling
mengabdi sehingga setiap orang adalah abdi dan sekaligus adalah warga
(keluarga);
6. Saling mengabdi berarti berani berkorban untuk keseluruhan;
7. Dengan demikian akan dicapai suatu hidup bersama yang tertib dan tentram.
176
Ibid,hal. 4.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
60
Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah
berorientasi ke depan (forward-looking). 177 Landasan pelaksanaan pemidanaan,
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 55 RKUHP lebih condong
penerapan teori relatif dan mengarah pada teori integratif, pandangan teori ini
menganjurkan adanya kemungkinan untuk artikulasi terhadap teori pemidanaan
yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat
utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat
sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.
Jenis pidana pokok baru yang diperkenalkan dalam RKUHP, yaitu pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial dimana pidana ini dimaksudkan untuk
memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana kerja sosial ini dapat
diterapkan jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan
atau pidana denda kategori I (denda kategori I adalah Rp. 1.500.000,- sebagai
catatan bahwa dalam pidana denda ditentukan pengkategorian untuk membatasi
jumlah maksimal denda yang dapat diterapkan).
Ketentuan yang secara tegas menentukan bahwa adanya semangat untuk
menghindari pemidanaan berupa pencabutan kemerdekaan terdapat dalam pasal
71 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa pidana penjara juga sedapat
mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa keadaan-keadaan tertentu dengan
tetap memperhitungkan pasal 54 tentang tujuan pemidanaan dan pasal 55 tentang
177
Ibid, hal. 16.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
61
pedoman pemidanaan yang dalam ayat (1) menyatakan pemidanaan wajib
mempertimbangkan: 178
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana;
i. pengaruh tindak padana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya;
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
178
http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
62
BAB III
PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM CRIMINAL POLICY
DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial
Upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan
bertolak dari suatu kenyataan, bahwa di dalam perkembangannya pidana
perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan
kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan
ekonomis.
Pidana perampasan kemerdekaan mengandung kelemahan-kelemahan baik
yang bersifat filosofis maupun yang bersifat praktis. Dari segi filosofis kerugian
tersebut tampak adanya hal-hal yang saling bertentangan yakni disatu pihak tujuan
penjara adalah menjamin pengamanan terhadap narapidana, tetapi dilain pihak
memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk rehabilitasi.
Selanjutnya bilamana ditinjau dari hakekat fungsi penjara, maka penjara
seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya
menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa ketidak mampuan untuk
melanjutkan kehidupan secara produktif di dalam masyarakat. 179
179
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 1998, hal. 77.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
63
Secara filosofis, konsep pemidanaan mulai berubah dari orientasi
pembalasan (punishment to punishment) kepada orientasi pembinaan (treatment
philosophy) narapidana, sementara perampasan kemerdekaan berjangka pendek
dirasakan tidak dapat mencapai tujuan pemasyarakatan tersebut, yaitu membina
pelaku tindak pidana yang telah dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap. 180
Secara ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif pidana
perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa biaya yang harus
dikeluarkan
negara
untuk
membiayai
pelaksanaan
pidana
perampasan
kemerdekaan sangat besar. Besarnya biaya tersebut terutama untuk biaya hidup
narapidana seperti makan dan pakaian. 181
Secara kemanusiaan, pemidanaan adalah bagian dari sistem peradilan
pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu atau hak asasi
manusia dan melindungi kepentingan masyarakat serta negara, dengan bentuk
penjatuhan pidana oleh hakim. Adanya diharapkan dapat menjamin terjaganya
kepentingan individu dan negara serta terpenuhinya rasa keadilan masyarakat atas
terjadinya tindak pidana. Namun, tentu saja harus diperhatikan juga pertimbangan
anatara kejahatan yang dilakukan dengan yang diberikan. Jangan sampai tindak
180
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Log, cit,
181
Ibid, hal. 6.
hal. 6.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
64
pidana itu melebihi proporsi perbuatan yang dilakukan sehingga justru melanggar
hak asasi pelaku. 182
Pidana perampasan kemerdekaan baik yang berjangka panjang maupun
yang berjangka pendek akan menimbulkan stigma (cap jahat) bagi narapidana
atau bekas narapidana. Stigmatisasi ini akan menempatkan narapidana atau bekas
narapidana diluar lingkungan teman-teman serta masyarakatnya dengan segala
akibatnya. Khususnya mengenai pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek
dapat dikemukakan bahwa pidana ini tidak dapat menunjang secara efektif
kedudukan penjara baik sebagai sarana menjadikan terpidana tidak mampu atau
menjalankan fungsinya sebagai sarana pencegahan umum maupun sebagai sarana
resosialisasi. 183
Sekalipun telah diadakan usaha-usaha pembaharuan dan perbaikan atas
peraturan dan pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, namun pada
kenyataannya tetap saja keburukan-keburukan pidana perampasan kemerdekaan,
menyadari dalam praktek penghapusan menyeluruh terhadap pidana perampasan
kemerdekaan tidaklah mungkin, pemecahan yang realitas hanya dapat dicapai
dengan mengurangi jumlah pengenanya. 184
Overkapasitas atau kepadatan penjara yang terjadi di berbagai lapas di
Indonesia berimbas kepada banyaknya persoalan seperti keterbatasan ruang,
fasilitas pembinaan, fasilitas-fasilitas dasar seperti pakaian dan tempat tidur.
182
http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 Januari 2009, pukul.
08:15 wib.
183
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996, hal. 226.
184
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003, hal. 34-35.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
65
Perbandingan atara petugas dengan nara pidana tidak seimbang sehingga kontrol
dan perhatian petugas yang terbatas menyebabkan ancaman keributan atau
kerusuhan dalam lembaga. Program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran tidak
dapat dicapai karena minimnya anggaran, dimana anggaran terbesar diserap oleh
kebutuhan akan makanan bagi nara pidana. 185
Gagalnya Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi untuk
mereintegrasikan narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga
pemasyarakatan menjadi sekolah tempat belajar bagaimana meningkatkan kualitas
suatu kejahatan. Lembaga Pemasyarakatan dapat dikatakan sebagai sekolah
kejahatan (shool of crime). 186
Adanya tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah
kejahatan, karena justru orang menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman
penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Faktor inilah yang menyebabkan munculnya
seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi atau sering disebut dengan
residivis.
Program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga tidak bisa
dipisahkan dari sumber daya petugas yang secara umum tidak memenuhi syarat.
Yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 187
a. sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil;
185
http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 september 2008, pukul.
08:15 wib.
186
187
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana bahan kuliah ke 2, Medan: 2008, hal. 6.
Ibid, hal. 5.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
66
b. lemahnya kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai instansi
yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan,
padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi penting;
c. kurangnya pengkayaan petugas Lapas dan Bapas melalui pelatihan-pelatihan;
d. buruknya sistem gaji dan tunjangan bagi pegawai pemasyarakatan dan Bapas
yang berpengaruh pada kinerja personil dan mekanisme evaluasi pretasi kerja
dan jenjang karir petugas yang tidak jelas dan transparan;
e. pembedaan antara pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang
dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif, merendahkan terhadap petugas dari
non AKIP;
f. anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim dan ketika
bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini
sangat menekan biaya-biaya operasional yang semestinya tidak bias dikurangi;
g. kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan.
Realisasi dari upaya pembaharuan sistem dan cara pelaksanaan pidana
penjara, maka pada tanggal 8 Februari 1965 dikelurkan surat edaran Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan nomor. KP.10.13/3/1965 tentang pemasyarakatan
sebagai proses. Sejak saat itu pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan
dengan suatu sistem yang disebut “sistem pemasyarakatan”. Dalam sistem ini
yang menjadi tujuan pemasyarakatan adalah “resosialisasi” yakni menjadikan nara
pidana sebagai orang yang baik dan berguna dalam masyarakat. 188
188
Suwarto dalam Muhammad Daud, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi,
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 138-139.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
67
Tujuan utama dari non-penal policy adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif
terhadap kejahatan. Suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan
mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal ke dalam suatu
sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yang
memiliki pengertian bahwa pemecahan masalah yang timbul akibat kebijakan
kriminal yang menggunakan sarana penal (hukum pidana) harus diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial, Sudarto
berpendapat dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus memperhatiakan halhal sebagai berikut: 189
1. penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan
spiritual berdasarkan Pancasila;
2. perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan “perbuatan yang dikehendaki” yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (materil dan spiritual) atas warga masyarakat;
3. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan
hasil(cost-benefit principle)”;
189
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op cit, hal. 160-
161.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
68
4. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
samapai ada kelebihan bebean tugas (overbelasting).
Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis
pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh
negara-negara Eropa
dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan
kemerdekaan. Bagi bangsa Indonesia yang sekarang ini sedang melakukan
pembaharuan terhadap hukum pidana banyak dipengaruhi oleh trend atau
kecenderungan internasional untuk mengembangkan konsep pidana yaitu mencari
alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to imprisonment)
dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction). 190
Pidana perampasan kemerdekaan atas pertimbangan kemanusiaan semakin
tidak disukai karena memiliki dampak negatif baik sinarapidana maupun keluarga
dan orang yang menggantungkan kehidupannya terhadap si narapidana. Beberapa
dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana, antara
lain: 191
1. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat
peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of
Personality);
2. Selama menjalani pidana narapidana selalu dalampengawasan petugas,
sehingga ia merasa kurang aman, selalu merasa dicurigai atas tindakannya
(Loos of Security);
190
191
Muladi, Op cit, hal. 132.
C.I. Harsono, sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995, hal. 60.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
69
3. Dengan dikenai pidanajelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat
menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat
menghambat proses pembinaan (Loos of Liberty);
4. Dengan menjalani pidana dalam lembaga pemasyarakatan, maka kebebasan
untuk berkomunikasi dengan siapapun di batasi (Loos of Personal
Communicatin);
5. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa
kehilangan pelayanan yang baik, karena semua dikerjakan sendiri (Loos of
Good and Service);
6. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis
kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih
saying dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual);
7. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang
bermacam-macam baik dari petugas maupun sesame narapidana lainnya,
dapat menghilangkan harga dirinya (Loos of Prestige);
8. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan akan rasa percaya diri
(Loos of Belief);
9. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan,
karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasangagasannya dan imajinasinya (Loos of Creatifity).
Terjadinya pergeseran falsafah pemidanaan dari konsep pemidanaan yang
berorientasi pada pembalasan (punishment to punishment) menjadi konsep
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
70
pembinaaan (treatment philosophy) secara simultan telah menjadi dasar pemikiran
yang sangat berharga dalam upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan. Alasan lain juga dapat dikemukakan karena biaya yang harus
dikelurkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan sangat besar.
Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makanan,
pakaian yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar.
Menurut Muladi 192 upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan harus tetap realitas artinya, upaya mencari alternatif pidana
kemerdekaan tetap harus berpijak pada realitas yang ada. Upaya untuk
menggantikan sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) dengan sistem
based on mediation (conflict solving) yang tidak memberikan tempat sama sekali
pada pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana yang dikehendaki kaum
abolisionis sangat sulit diwujudkan.
Muladi menyatakan yang terpenting adalah bagaimana penggunaan pidana
perampasan kemerdekaan dapat dibatasi terutama perampasan kemerdekaan
jangka pendek. Dewasa ini ada kecenderungan internasional (antara lain terlihat
dari hasil-hasil atau rekomendasi Kongres PBB mengenai The Prevention of
Crime and The Treatment of Offenders) yang menghendaki dibatasinya
kemungkinan penjatuhan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan)
jangka pendek. 193 Rekomendasi Kongres PBB terhadap perlunya pembatasan
terhadap
perlunya
pembatasan
terhadap
penjatuhan
pidana
perampasan
kemerdekaan jangka pendek dengan pertimbangan, bahwa jenis pidana ini
192
193
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op.cit, hal. 139.
Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Op cit,
hal. 15.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
71
disamping akan membawa efek-efek negatif 194 jaga dipandang kurang menunjang
sistem SMR (Standart Minimum Rules).
D. Downers seorang kriminolog Inggris 195 mengidentifikasi adanya paling
tidak tujuh alasan mengapa Negara Belanda mengurangi penggunaan pidana
perampasan kemerdekaan, yaitu:
1. Sehubungan dengan adanya gerekan dekarkerasi (decarcreation movement),
mengingat sangat mahalnya penggunaan pidana kemerdekaan sebagai
ultimatum remedium hanya cocok bagi pelaku tindak pidana yang benar-benar
mengancam masyarakat.
2. Terbatasnya kapasitas penjara yang ada.
3. Adanya spirit toleransi dalam administrasi peradilan pidana Belanda yang
banyak dipengaruhi oleh iklim politik yang bercirikan kompromi.
4. Adanya perkembangan yang pesat dari infrastruktur pelayanan masyarakat.
5. Pengaruh pendidikan toleransi dari pada hakim dan jaksa semasa mahasiswa,
yang banyak dipengaruhi Utrecht Scool yang menganjurkan pengurangan
pidana kemerdekaan.
6. Konsistensi penyelenggara pengadilan pidana di Negara Belanda yang sangat
professional.
7. Sehubungan dengan lahirnya Doktrin Rehabilitasi pada tahun lima puluhan.
Dengan diterapkannya pidana perampasan kemerdekaan dalam Rancangan
KUHP baru Indonesia, ada beberapa konsekuensi yang muncul. Pidana kerja
sosial akan mengubah bentuk pemidanaan terhadap beberapa tindak pidana yang
194
195
Ibid, hal. 16.
Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana, Op, cit, hal. 134.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
72
selama ini hanya dikenai pidana perampasan kemerdekaan. Dalam pasal 86
Rancangan KUHP tahun 2006 diatur bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan
dalam hal, sebagai berikut: 196
a. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana lebih dari 6 bulan;
b. hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan pidana denda tidak melebihi
kategori I (maksimal Rp. 1. 500.000).197
Penjatuhan pidana kerja sosial seperti yang dimaksud dalam pasal 86 ayat
(1) Rancangan KUHP dijelaskan dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa
penjatuhan pidana kerja sosial harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut: 198
1. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
2. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
3. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang
berhubungan dengan pidana kerja sosial;
4. riwayat sosial terdakwa;
5. perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
196
http://google.co.id, yang diakses terakhir kali pada tanggal 20 september 2008, pukul.
08:15 wib.
197
Dalam ketentuan Pasal 80 ayat (3) Rancangan KUHP dinyatakan, bahwa maksimum
denda ditetapkan berdasarkan kategori. Ada 6 (enem) kategori, yaitu:
a. kategori I Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b. kategori II Rp. 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c. kategori III Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp. 75.000.000 (tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
e. kategori V Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah);
f. kategori VI Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
198
http://www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Desember 2008, pukul 16.52
wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
73
6. keyakinan agama dan politik terdakwa;
7. kemampuan terdakwa membayar denda.
Dalam penjelasannya dikatakan bahwa pidana kerja sosial dapat
diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang
ringan. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana
kerja sosial harus adanya persetujuan terdakwa, pidana ini tidak dibayar karena
sifatnya sebagai pidana (work as a penalty). Pelaksanaan pidana ini tidak boleh
mengandung hal-hal yang bersifat komersil dan riwayat sosial terdakwa
diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang
bersangkutan baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidananya.
Rancangan KUHP tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana
apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, putusan untuk menjatuhkan
pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman
pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP tahun
2006. Berdasarkan ketentuan pasal 55 dan pasal 86 Rancangan KUHP mengenai
pengaturan pidana kerja sosial, majelis hakim yang sepakat untuk menjatuhkan
pidana penjara yang jangka waktunya tidak melebihi 6 (enam) bulan dan pidana
denda tidak lebih dari kategori I, maka pidana kerja sosial lebih tepat dijatuhkan
dari pada menjatuhkan pidana penjara. 199
Penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda dapat mengundang
perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang
kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek
199
http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime
di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
74
pencegahan umum (deterrence effect). P. J. Tak seperti yang dikemukakan oleh
Widodo mengemukakan ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan
pidana penjara yaitu: kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract
threatment), pencabutan dan pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu
(deprivation and interdicts concerning rights or licencies) dan pidana kerja sosial
(community service order). 200
B. Pidana Kerja Sosial Dalam Criminal Policy Dikaitkan Dengan Tujuan
Pemidanaan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (Criminal Policy) merupakan usaha
yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi
kejahatan. Oleh karena itu, penggulangan kejahatan harus dilakukan perencanaan
yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total
of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah
laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of
designating human behavior as crime).
Hoefnagel
seperti
yang
dikemukakan
oleh
Mahmud
Mulyadi201
menyatakan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dapat
dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law
application, pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without
200
http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime
di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib.
201
Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 47.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
75
punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan
dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).
Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hofnagels ini, menyatakan bahwa
kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara,
yaitu: Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan
“criminal law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang
terdiri dari “prevention without punishment” dan “(influencing views of society on
crime and punishment/mass media)”.
Kebijakan penal diartikan sebagai hukum pidana yang harus menjadi salah
satu instrumen pencegahan kemungkinan terjadinya kejahatan. Kebijakan ini
berarti penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk
mencegah sebelum satu kejahatan terjadi. Pemberlakuan kebijakan penal ini
memunculkan suatu pertanyaan yaitu apakah pemidanaan dapat dijadikan
instrumen pencegahan kejahatan?
Pertanyaan ini muncul karena banyaknya anggapan bahwa pemidanaan
bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat
kejahatan semakin marak terjadi. Menentukan tujuan pemidanaan menjadi
persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan
ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau
merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku
yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak
berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
76
pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang
bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan.
Perumusan pemidanaan yang berbeda-beda dan berkembang pada
zamannya, dapat dibagi atas: teori retributif yang merumuskan pembalasan
sebagai dasar membalas kejahatan dan kesengsaraan yang sepadan dengan
kesengsaraan yang dilakukan oleh penjahat, sehingga tujuan pemidanaannya
semata-mata untuk memenuhi ambisi balas dendam tanpa mempunyai tujuan
lebih lanjut. 202
Teori deterrence atau teori relatif merumuskan tujuan pemidanaan lebih
dari sekedar pembalasan. Teori pemidanaan ini mempunyai tujuan untuk prevensi,
baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, sehingga dasar
pemidanaan yaitu sebagai alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam
masyarakat.203
Teori treatment memberikan pengertian pemidanaan sebagai alat untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Aliran yang ketiga ini
timbul karena baik teori retributif maupun teori deterrence mengandung
kelemahan-kelamahan.
Teori sosial defence atau perlindungan sosial yang lahir setelah perang
dunia kedua terbagi dalam dua aliran yaitu aliran radikal (ekstrim) dan aliran
moderat (reformis). Aliran radikal berpendapat bahwa tujuan utama dari hukum
perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
202
203
Tongat, Op cit, hal. 46.
Ibid,hal. 46.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
77
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. 204 Pandangan moderat bertujuan
mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke
dalam konsepsi baru hukum pidana. 205
Restorative justice sebagai tawaran penegakan hukum baru memberikan
jalan baru untuk pemidanaan. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) memberikan defenisi Restorative justice sebagai suatu
proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk
bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi
akibat di masa yang akan datang. 206
Tujuan pemidanaan yang diungkapkan Muladi 207 yaitu untuk memperbaiki
kerusakan baik individual maupun sosial yang disebkan karena adanya tindak
pidana. Muladi juga mengemukakan bahwa seperangkat tujuan yang bersifat
integratif untuk memperbaiki kerusakan inividu atau sosial (individual and sosial
damages) meliputi beberapa hal yaitu sebagai berikut:208
1. pencegahan (baik umum maupun khusus);
2. perlindungan masyarakat;
3. memelihara solidaritas masyarakat;
4. pengimbalan/pengimbangan.
Ketentuan tentang pengertian dan pelaksanaan pidana (strafmodus) pidana
kerja sosial (community service order) dalam Rancangan KUHP tidak ada
204
Mahmud Mulyadi, Log cit, hal. 102.
Ibid, hal. 89.
206
http//:www.google.co.id. yang diakses terakhir kali tanggal 12 Februari 2009, pukul.
11.30.wib.
205
207
208
Tongat, Ibid, hal. 46.
Ibid, hal. 47.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
78
ketentuan tegas yang mengatur tentang tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi
pidana kerja sosial, maka putusan untuk menjatuhkan pidana kerja sosial mutlak
ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman pemidanaan sebagai mana
ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP.
Alternatif pidana penjara terhadap pelaku cybercrime yaitu pidana kerja
sosial (community service order), didasarkan pemikiran bahwa jenis pidana yang
dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan harus dapat mencapai tujuan pemidanaan,
baik dalam konteks prevensi umum maupun prevensi khusus. Penelitian hukum
normatif yang dilakukan oleh Widodo pada tahun 2006, pelaku cybercrime di
Indonesia layak diancam dengan pidana kerja sosial, yang didasarkan pada alasan
sebagai berikut: 209
a. karakteristik pelaku cybercrime yang unik, yaitu berusiarelatif muda, terdidik,
orang-orang terhormat, terampil menggunakan komputer beserta program
aplikasinya, menyukai tantangan teknologi, kreatif dan ulet. Jika kemampuan
terpidana misalnya tentang kemahiran membuat metode pengamanan program
atau sistem komputer, diajarkan pada masyarakat atau instansi tempat
pelaksanaan pidana kerja sosial, maka perkembangan teknologi informasi di
masyarakat dapat lebih cepat dan aman;
b. penjatuhan pidana kerja sosial juga dapat menghindarka terpidana dari
prisonisasi dan stigmatisasi yang timbul dari pembinaan narapidana;
c. cara mempekerjakan pelaku pada instansi-instansi tertentu, membuka peluang
bagi terpidana untukdirekrut sebagai pegawai atau konsultan oleh istansi
209
http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime
di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008, pukul 16.52 wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
79
tersebut setelah selesai melakukan pidana kerja sosial, karena sudah
mengetahui kualitas pekerjaannya.
Tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (sosial
defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Ketentuan mengenai pemidanaan juga memberikan kesempatan untuk
melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang
dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuata hukum tetap dapat dilakukan
perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan
tujuan pemidanaan. 210
Alternatif pidana yang ditawarkan untuk pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek, dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan
pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial yang
ditawarkan sebagai alternatif pemidanaan memiliki beberapa keunggulan terhadap
aspek perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana kerja sosial
mempunyai berbagai keunggulan bagi aspek perlindungan masyarakat antara
lain: 211
1. pidana kerja sosial sedikit banyak menisbikan proses stigmatisasi yang selalu
menjadi efek pidana perampasan kemerdekaan;
210
211
http: //www.elsam.or.id/ yang diakses pada tanggal 25 Agustus 2008, pukul 16.52 wib.
Tongat, Ibid, hal. 49-50.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
80
2. pidana kerja sosial akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan kejahatan
oleh penjahat”;
3. dari perspektif ekonomi, pidana kerja sosial jauh lebih murah dibanding dengan
pidana perampasan kemerdekaan. Subsidi bagi biaya hidup narapidana di
lembaga dapat ditekan sehingga tidak membebani masyarakat secara
keseluruhan.
Pidana kerja sosial yang memberikan harapan besar untuk perlindungan
masyarakat, seorang terpidana memperoleh berbagai keuntungan antara lain: 212
terhindar dari berbagai penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, kehilangan
rasa percaya diri dapat dihindarkan sehingga terpidana tetap mempunyai
kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dalam
pidana kerja sosial terpidana tetap dapat menjalankan kehidupannya secara
normal sebagaimana orang yang tidak sedang menjalani pidana. Pidana kerja
sosial dapat menghindari “dehumanisasi” yang selalu menjadi efek dari
perampasan kemerdekaan.
Pidana kerja sosial merupakan pidana yang sifatnya rehabilitasi kepada
narapidana atau pendidikan kembali, seperti yang dikemukakan oleh Andi
Hamzah 213 dengan membandingkannya dengan hukum pidana Jerman. Hukum
pidana Jerman menggunakan istilah pendidikan kembali melalui pekerjaan. Pasal
42 KUHP Demokrasi Jerman menyatakan bahwa dalam kasus-kasus yang
ditetapkan oleh undang-undang, seorag pelaku dapat diperintahkan untuk dididik
kembali melalui pekerjaan, jika ia mampu bekerja dan karena tingkah lakunya
212
Ibid, hal. 50-51.
http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP,
yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib.
213
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
81
yang asosial harus dididik kembali dengan bekerja. Pendidikan ini dikenakan
sedikit-dikitnya satu tahun, tatapi diakhiri sampai membawa hasil. Pendidikan
yang dikenakan bagi si terpidana tidak boleh melebihi batas waktu tertinggi dari
masa pidana penjara, yang mana hal itu ditetapkan sebagai tambahan. 214
Pasal 42 ayat (2) KUHP Demorasi Jerman menentukan setelah sedikitnya
satu tahun berlalu, pengadilan dapat memutuskan penghentian pendidikan
kembali melalui pekerjaan yang diwajibkan, jika sikap orang yang dipidana itu,
khususnya sifat peraturan dari pekerjaan dan disiplinnya menunjukkan membawa
pendidikan telah dinyatakan berhasil. 215 Sementara KUHP Jepang, sanksi pidana
kerja ini merupakan penahanan di rumah kerja karena tidak mampu membayar
denda. Sanksi pidana pokok dalam KUHP Jepang diatur dalam bab II pasal 9,
sedangkan pasal yang mengatur tentang penahanan di rumah kerja karena tidak
membayar denda diatur dalam pasal 18. 216
Hakim berdasarkan ketentuan pasal 71 diharapkan dapat menjatuhkan
pidana secara proporsional dan efektif, yang dapat dikatakan bahwa pidana
penjara tidak bisa dikatakan efektif jika ditemui keadaan-keadaan seperti
disayaratkan pasal 71. Penentuan sifat alternatif dari beberapa jenis pidana dalam
214
Andi Hamzah, Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jerman, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987, hal. 80.
215
Ibid, hal. 81.
216
Pasal 9 KUHP Jepang menyatakan pidana pokok adalah pidana mati, penjara pada
suatu tempat kerja paksa, penjara tanpa kerja paksa, denda, pidana penahanan, dan denda ringan,
dan perampasan sebagian pidana tambahan.
Andi Hamzah, Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jepang, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987,
hal. 70-73.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
82
Rancangan
KUHP
sehingga
terhindar
dari
sistem
pemidanaan
yang
menyamaratakan dan imperatif (memaksa). 217
Perkembangan dalam Rancangan KUHP berkaitan dengan penetapan
tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan dalah perlakuan
(treatment) yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan
dalam pasal 40 dan pasal 41 Rancangan KUHP 218 atau tindakan yang dikenakan
kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya.
Penjelasan pasal 101 menyatakan bahwa Rancangan KUHP ini menganut
sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu disamping
pembuat pidana dapat dijatuhi pidana dapat juga dikenakan berbagai tindakan. 219
Penetapan sanksi berupa tindakan ini harus sesuai dengan tujuan pemidanaan dan
pedoman pemidanaan. Pengenaan tindakan bukan didasarkan atas ancaman yang
terdapat dalam tindak pidananya, karena tidak ada tindakan pidana yang
diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi si pelaku.
Sistem pemidanaan dua jalur(double track system) secara teoritis telah
dianut dalam KUHP, namun sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang
yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak dibawah umur sebagai mana
217
http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP,
yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib.
218
Pasal 40 dan pasal 41 adalah ketentuan mengenai kemampuan bertanggung jawab.
Dalam pasal 40 dinyatakan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana
menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental, tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenakan tindakan. Pasal 42 menyatakan bahwa: setiap orang
yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita
gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan
tindakan.
219
http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP,
yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
83
dirumuskan dalam pasal 44 dan pasal 45 KUHP. 220 Perundang-undangan diluar
KUHP telah menerima konsep perluasan pengenaan jenis sanksi tindakan yang
juga dapat diancamkan terhadap orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 221 Jenis tindakan dalam pola pemidanaan
di Indonesia hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat komplementer atau
pelengkap dan tidak ada bedanya dengan jenis sanksi pidana tambahan yang
bersifat fakultatif.
Sanksi tindakan yang bersifat mandiri atau sebagai sanksi alternatif telah
ada, misalnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai argumentasi atau
landasan pengenaan sanksi tindakan yang bersifat mandiri. 222 Sanksi tindakan
seperti yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP terlihat merupakan sanksi yang
bersifat mandiri untuk tindakan sudah menunjuk secara jelas tentang pihak yang
dapat dikenai sanksi tindakan tersebut. Beberapa tindakan yang dirumuskan untuk
220
Pasal 44 ayat (1) menyatakan barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah
akal tidak boleh dihukum. Sedangkan dalam pasal 45 menyatakan bahwa jikaseorang yang belum
dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun,
hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya
atau pemeliharanya, dengantidak dikenakan sesuatu hukuman;atau memerintahkan, supaya
sitersalah diserahkan kepada Pemarintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika
perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal
489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 417, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbutan itu
dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan
salah satu pelanggaran ini atausesuatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.
221
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya, Op.cit, hal. 188.
222
Ibid, hal. 190.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
84
memperbaiki atau merehabilitasi pelaku, diantaranya tindakan berupa perawatan
dirumah sakit jiwa, tindakan berupa latihan kerja dan tindakan berupa rehabilitasi.
Perumusan dan penegasan tentang sistem penggunaan double track system
dengan mengatur secara khusus tentang sanksi tindakan menunjukkan bahwa
pandangan baru yang diadopsi untuk menuju ke sistem pemidanaan yang sesuai
dengan tujuan pemidanaan. Pengaturan dalam Rancangan relatif lebih maju
karena sanksitindakan bukan hanya diberikan kepada pihak-pihak yang tidak
mampu bertanggung jawab dan mengalami gangguan jiwa sebagaimana dianut
dalam paham klasik, tetapi juga bagi pihak yang mampu bertanggung jawab. 223
Penetapan sanksi berupa tindakan juga merupakan bentuk penegasan
tentang berbagai alternatif penentuan sanksi dengan diberikannya hak kepada
pengadilan untuk mengadakan kebijakansanaan dalam penjatuhan sanksi. Hukum
pidana modern tentang individualisasi pidana yang sejalan dengan penetapan
sanksi berupa tindakan mensyaratkan adanya keleluasaan bagi hakim dalam
memilih dan menentukan sanksi apa (pidana atau tindakan) yang patut (proper)
untuk individu yang bersangkutan, meskipun juga harus dalam batas-batas yang
ditentukan dengan undang-undang sebagaimana disyaratkan bahwa penjatuhan
sanksi harus mempertimbangkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan
pedoman pemidanaan. 224
223
http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP,
yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009, pukul 16.52 wib.
224
Ibid.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
85
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya
sebagai hasil pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar filosofi dan konsep tujuan pemidanaan di Indonesia, bila dikaji lebih
dalam filsafat pemidanaan memiliki ide-ide dasar pemidanaan yang
menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung
jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada
negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Teori-teori
pemidanaan dapat dibagi atas beberapa golongan, yaitu: 1). Teori Retributif
atau teori pembalasan, yang memiliki pokok ajaran yaitu sifat pembalasan
sebagai dasar membalas kejahatan dan kesengsaraan yang sepadan dengan
kesengsaraan yang dilakukan oleh penjahat. 2). Teori deterrence atau teori
relatif, memiliki pokok ajaran yang berpokok pangkal pada dasar pidana yaitu
alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan
pemidanaannya yaitu diarahkan kepada upaya agar dikemudian hari kejahatan
yang telah dilakukan tidak terulang lagi (preventisi). Sifat pencegahannya
terdiri dari dua macam yaitu : pencegahan umum (general preventie), dan
pencegahan khusus (special preventie). 3). Teori treatment, yang memberikan
arti pemidanaan sebagai pemberian tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
86
penghukuman. Aliran ini sering dianggap sebagai aliran yang berorientasi ke
depan (forward looking), yang maksudnya mendekati para pelaku kejahatan
secara positif artinya mempengaruhi para pelaku kejahatan kearah yang lebih
positif sepanjang masih dimungkinkan. 4). Teori social defence atau
perlindungan sosial memiliki pengertian tentang tujuan utama dari hukum
adalah mengintegrasikan ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan
terhadap pembuatnya. 5). Restorative justice, yang dipelopori oleh Tony F.
Marshall yang memberikan defenisi dari restorative justice yaitu sebagai
sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran
tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran
tersebut demi kepentingan masa depan.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia yang dituangkan dalam Rancangan
KUHP sudah lama diusulkan, Bab III rancangan KUHP tentang pemidanaan,
pidana, dan tindakan menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat. Kedua, memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna. Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Keempat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Perumusan empat
tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersimpul pandangan mengenai
perlindungan masyarakat (social defence), pandangan rehabilitasi dan
resosialisasi terpidana. Pandangan ini dipertegas lagi dengan mencantumkan
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
87
tentang pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat. Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP menganut aliran neo
klasik dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan
tentang pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-asas atau keadaan
yang meringankan pemidanaan, mendasarkan keadaan yang obyektif dan
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku
tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori pemidanaan
relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk melindungi
masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan
merupakan pembalasan kepada pelaku dimana sanksi ditekankan pada
tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan dalam RKUHP
adalah berorientasi ke depan (forward-looking).
2. Prospek pidana kerja sosial dalam criminal policy dikaitkan dengan tujuan
pemidanaan di Indonesia. Latar belakang lahirnya pidana kerja sosial karena
adanya upaya untuk selalu mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan
bertolak dari suatu kenyataan, bahwa didalam perkembangannya pidana
perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan
kemanusiaan, pertimbangan filosofis pemidanaan maupun atas pertimbangan
ekonomis. Secara filosofis, konsep pemidanaan mulai berubah dari orientasi
pembalasan (punishment to punishment) kepada orientasi pembinaan
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
88
(treatment philosophy) narapidana, sementara perampasan kemerdekaan
berjangka pendek dirasakan tidak dapat mencapai tujuan pemasyarakatan
tersebut, yaitu membina pelaku tindak pidana yang telah dinyatakan bersalah
oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Secara ekonomis,
kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan
bertolak dari kenyataan bahwa biaya yang harus dikeluarkan negara untuk
membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Secara
kemanusiaan, pemidanaan adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan individu atau hak asasi manusia dan
melindungi kepentingan masyarakat serta negara, dengan bentuk penjatuhan
pidana oleh hakim. Sekalipun teleh diadakan upaya-upaya pembaharuan dan
perbaikan atas peraturan dan pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan,
namun
pada
kenyataannya
tetap
saja
keburukan-keburukan
pidana
perampasan kemerdekaan membayangi pemidanaan. Overcapasitas atau
kepadatan penjara yang terjadi diberbagai lapas berimbas kepada banyaknya
persoalan seperti keterbatasan ruang, fasilitas pembinaan dan fasilitas tempat
tidur. Adanya tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah
kejahatan, karena justru orang lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara
di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan utama dari non-penal policy adalah
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Pidana kerja sosial
(community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang
berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh negaraEva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
89
negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan.
Istilah pidana kerja sosial lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan istilah Community Service Order. Pidana kerja sosial merupakan jenis
pidana yang harus dijalani oleh terpidana di luar lembaga dengan melakukan
pekerjaan-pekerjaan sosial, pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena
sifatnya sebagai pidana (works as a penalty). Pidana kerja sosial akan
mengubah bentuk pemidanaan terhadap beberapa tindak pidana yang selama
ini hanya dikenai pidana perampasan kemerdekaan. Dalam pasal 86
Rancangan KUHP tahun 2006 diatur bahwa pidana kerja sosial
dapat
dijatuhkan dalam hal, sebagai berikut: a. hakim mempertimbangkan akan
menjatuhkan pidana lebih dari 6 bulan; b. hakim mempertimbangkan akan
menjatuhkan pidana denda tidak melebihi kategori I (maksimal Rp.1.
500.000). Penjatuhan pidana kerja sosial seperti yang dimaksud dalam pasal
86 ayat (1) Rancangan KUHP dijelaskan dalam ayat (2) yang menyatakan
bahwa penjatuhan pidana kerja sosial harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut: 1). pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang
dilakukan; 2). usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundangundangan yang berlaku; 3). persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan
mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
4). riwayat sosial terdakwa; 5). perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 6).
keyakinan agama dan politik terdakwa; 7). kemampuan terdakwa membayar
denda. Rancangan KUHP tidak mengatur secara tegas mengenai tindak pidana
apa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial, putusan untuk menjatuhkan
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
90
pidana kerja sosial mutlak ditentukan oleh hakim berdasarkan pedoman
pemidanaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 Rancangan KUHP tahun
2006. Penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda dapat mengundang
perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang
kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek
pencegahan umum (deterrence effect).
Jenis pidana pokok baru yang diperkenalkan dalam RKUHP, yaitu pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial dimana pidana ini dimaksudkan untuk
memberikan pilihan atas pidana selain penjara. Pidana kerja sosial ini dapat
diterapkan jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan
atau pidana denda kategori I (sebagai catatan bahwa dalam pidana denda
ditentukan pengkategorian untuk membatasi jumlah maksimal denda yang
dapat diterapkan). Ketentuan yang secara tegas menentukan bahwa adanya
semangat untuk menghindari pemidanaan berupa pencabutan kemerdekaan
terdapat dalam pasal 71 Rancangan KUHP yang menyatakan bahwa pidana
penjara juga sedapat mungkin tidak dijatuhkan terhadap beberapa keadaankeadaan tertentu dengan tetap memperhitungkan pasal 54 tentang tujuan
pemidanaan dan pasal 55 tentang pedoman pemidanaan. Alternatif pidana
yang ditawarkan untuk pidana perampasan kemerdekaan
jangka pendek,
dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana
perampasan kemerdekaan jangka pendek. Pidana kerja sosial yang ditawarkan
sebagai alternatif pemidanaan memiliki beberapa keunggulan terhadap aspek
perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana kerja sosial yang
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
91
memberikan harapan besar untuk perlindungan masyarakat, seorang terpidana
memperoleh berbagai keuntungan antara lain: terhindar dari berbagai
penderitaan akibat perampasan kemerdekaan, kehilangan rasa percaya diri
dapat dihindarkan sehingga terpidana tetap mempunyai kepercayaan diri yang
sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dalam pidana kerja sosial
terpidana tetap dapat menjalankan kehidupannya secara normal sebagaimana
orang yang tidak sedang menjalani pidana. Pidana kerja sosial dapat
menghindari “dehumanisasi” yang selalu menjadi efek dari perampasan
kemerdekaan. Penjelasan pasal 101 menyatakan bahwa Rancangan KUHP ini
menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu
disamping pembuat pidana dapat dijatuhi pidana dapat juga dikenakan
berbagai tindakan. Sistem pemidanaan dua jalur (double track system) secara
teoritis telah dianut dalam KUHP,
namun sanksi tindakan hanya
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak
dibawah umur sebagai mana dirumuskan dalam pasal 44 dan pasal 45 KUHP.
B. Saran
1. Mengingat bahwa pidana kerja sosial merupakan pidana baru dalam Rancangan
KUHP, perlu diadakan sosialisasi pada masyarakat mengenai pidana baru
tersebut, sehingga masyarakat lebih mengerti akan tujuan pemberlakuan
pidana kerja sosial tersebut.
2. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerja sama dan membangun
pandangan yang sama tentang pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
92
merupakan jenis pidana pokok baru yang muncul dalam Rancangan KUHP
Indonesia.
3. Pidana kerja sosial sebelum dilaksanakan diharapkan kepada pemerintah untuk
memberi sosialisasi kepada masyarakat, agar masyarakat siap untuk menerima
terpidana bekerja di tempat yang telah ditentukan, sehingga memberi rasa
aman dan nyaman bagi terpidana untuk melaksanakan pidananya.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
93
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, (2000). Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
------------------, (2001). Masalah Penegakan Hukum dan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kebijakan
-----------------, (2005). Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
---------------, (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
---------------,(2003). Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Arrasjid Chainur, (2000). Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita Romli, (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
Bandung: Mandar Maju.
Bawengan G. W, (1991). Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Chazawi Adami, (2001). Pelajaran Hukum Pidana Bagian I ,Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Daud Muhammad, (2004). Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi,
Medan: Pustaka Bangsa Press.
Hamzah Andi, (1986). Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi
ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita.
------------, (1987). Seri KUHP Negara-Negara Asing, KUHP Jerman, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
-------------, (1987). Seri KUHP Negara-negara Asing, KUHP Jepang, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Lamintang, P.A.F., Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico.
Lubis Solly, (1989). Serba-Serbi Politik Hukum, Bandung: Bandar Maju.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
94
MD Mahfud, (1998). Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Makarim Emon, (2003). Komplikasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Marlina, (2007). Disertasi (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia), Medan.
Moleong Lex, (1999). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya, cetakan ke -10.
Mulyadi Mahmud, (2007). Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Kesusilaan, Kritisi Terhadap RUU KUHP, bahan kuliah, Medan.
-------------------, (2007). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 1, Medan.
------------------, (2008). Politik Hukum Pidana bahan kuliah ke 2, Medan.
------------------, (2008). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 3, Medan.
------------------, (2007). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 4, Medan.
-----------------, (2008). Politik Hukum Pidana, Bahan Kuliah ke 6, Medan.
------------------, (2008). Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan
Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan,
Medan: Pustaka Bangsa Press.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (1992).Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni.
Muladi, (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Priyatno Dwidja, (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,
Bandung: Refika Aditama.
Prodjodikoro Wirjono, (2003). Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung:
Refika Aditama.
Reksodiputro Mardjono, (1995). Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia.
Saleh Roeslan, (1987). Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bineka Aksara.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
95
Sahetapy J. E, (1982). Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: Rajawali Perss.
Sartika Desi Ariani, (2006). Skripsi (Pengaruh Masalah Hukuman bagi
Narapidana dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan Serta Kaitannya
dengan Pasal 15 KUHP), Medan.
Sholehuddin, M, (2003). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double
Track System Implementasinya, Jakarta: Raja Grafi Persada.
Sidharta Arief, (1996). Refleksi Tentang Hukum, , Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soekanto Soerjono, (1986). Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pers.
Sudarto, (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
----------, (1983). Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
----------, (1974). Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas
Diponegoro, Semarang.
---------, (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian
Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana,Bandung: Sinar Grafika.
Syahrani Riduan, (2004). Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,Edisi Revisi, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Tongat, (2002). Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Waluyo Bambang, ( 2004). Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika.
-------------------, (1987). Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Yani Abdul, (1987). Sosiologi Kriminal, Bandung: Remadja Karya.
http: //www.elsam.or.id/ Pemidanaan,Pidana dan Tindakan dalam Rancangan
KUHP, yang diakses terakhir kali pada tanggal 27 Februari 2009.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
96
http://www.google.co.id Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku
Cybercrime di Indonesia/ yang diakses pada tanggal 15 Desember 2008,
pukul 16.52 wib.
http: //www .legalitas.org. yang diakses pada tanggal 23 september 2008.
http: //www.RUU KUHP tahun 1999/2000, Departemen Hukum dan HAM.
Suara Karya Online, Sabtu 29 November 2008, Lapas Penuh Dihukum Satu
Tahun, Napi Tidak Usah Dipenjara.
Eva Norita : Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia, 2009.
USU Repository © 2009
Download