Menakar Independensi Media TV dan Kuasa

advertisement
Menakar Independensi Media TV dan Kuasa Pemodal
Oleh Surochiem
Peran media dalam perebutan kekuasaan semakin menarik dicermati seiring dengan
meningkatnya kontestasipolitik antarelit. Relasi kepemilikan media dengan kekuasaan di
tingkat elit menjadikan media rentan dipolitisasi, termasuk dijadikan sebagai alat hegemoni
pemodal. Dalam posisi ini, media selalu berada dalam persimpangan dan situasi yang
dilematis. Bahkan, tidak jarang media menjadi gampang memihak dan sulit menjalankan
mandat jurnalisme, khususnya menyangkut penegakan prinsip keberimbangaan, netralitas,
dan independensi.
Pemusatan kepemilikan media oleh aktor politik selama ini menjadi diskursus dalam
studi media di negara berkembang mengingat relasi yang a-simetris. Media kerapkali dalam
kendali politik, terkooptasi dan tidak bisa memisahkan peran dan dedikasinya secara tegas,
khususnya kepada pemodal atau publik. Semua menjadi abu-abu dan demi kepentingan
modal, kesetiaan pertama media selalu jatuh pada para pemodal.
Kendati independensi media menjadi lemah, tetapi pengaruh media tv kian hari kian
kuat sehingga menggoda untuk digunakan meraih kekuasaan, menggalang dukungan, dan
simpati massa. Apalagi angka penetrasi media TV teresterial di Indonesia kini telah
mencapai 92%. Itu artinya, media tv saat ini tercatat sebagai media paling berpengaruh di
masyarakat.
Fenomena relasi Metro TV, Surya Paloh, dan Ormas Nasional Demokrat (Nasdem)
dalam lima bulan terakhir menarik dicermati untuk menakar kembali independensi media
dan tarik ulur kepentingan pemodal, khususnya intervensi dalam kerja jurnalistik.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam relasi ketiganya, asalkan mereka dapat
bertindak proporsional dan media mampu menjalankan kerja jurnalistiknya secara imparsial.
Tren relasi kuasa antara TV, Pemodal, dan Organisasi Sayap ini jika tidak dikritisi maka
media rentan terjerumus dalam pemihakan terselubung dengan menjalankan kerja jurnalistik
seolah-olah (artifisial). Diskusi tentang tarik ulur dan relasi ketiga hal ini penting dilakukan
agar tidak menjadi tren sekaligus akan menyelematkan media secara bermartabat dan
mengembalikan media ke khittah jati diri yang sebenarnya.
Dalam kaitan fenomena ini terdapat beberapa hal yang patut dicermati.
Pertama, TV teresterial Jakarta yang bersiaran nasional seperti Metro TV adalah media
penyiaran yang menggunakan aset/domain milik publik yang jumlahnya terbatas yakni kanal
frekuensi. Pada dasarnya, ia berstatus pinjam pakai untuk digunakan dalam
menyelenggarakan penyiaran. Sebagaimana tersebut dalam UU 32/2002 tentang penyiaran,
pemanfaatan aset ini harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.
Peminjaman kanal frekuensi ini tidak bersifat permanen dan sewaktu-waktu bisa dievaluasi
melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Kedua, pemodal/pemilik media pada dasarnya adalah pihak penyewa yang diberi amanah
oleh negara sehingga ia tidak memiliki hak absolut untuk menentukan kesetiaan media.
Kontrol utama media sejatinya tetap ada pada publik. Hal ini harus tercermin secara jelas
dalam siaran melalui penegakan prinsip-prinsip public’s need, public’s importance,
public’s necessity, and public’s convenience.
Ketiga, aset berharga itu sejatinya adalah ruang publik yang harus terus dijaga dan
dipelihara, dan digunakan secara demokratis dan bertanggungjawab agar selalu linier
dengan kepentingan publik. Ruang itu harus steril dari intervensi individu, kelompok yang
bisa mendistorsi dan memihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Atas tiga prinsip dasar itu, media penyiaran, khususnya tv yang menggunakan kanal
milik publik harus istiqomah menakar kesetiaannya pada kepentingan publik. Ia tidak boleh
disalahgunakan, dibuat arena bermain-main untuk sekadar menuruti kehendak pemodal an
sich. Media harus terus menjaga komitmen independensinya agar tetap mampu
membangun ruang publik yang sehat.
Intervensi pemilik modal memang menjadi salah satu problem dan tantangan
terbesar dalam membangun media yang demokratis di negara berkembang seperti
Indonesia. Sejak awal McQuail (2002) mengingatkan bahwa content of media always reflect
the interest of those who finance them.Faktanya, hegemoni itu kerap menjadikan media
gamang dalam menjalankan mandat jurnalistiknya, lebih-lebih jika pemilik media memiliki
libido politik dan kekuasaan yang terlalu besar. Dalam situasi ini tidak jarang media akhirnya
‘dipaksa’ untuk turut mencipta agenda terselubung dan mengontruksi kehendak pemodal
dalam bingkai kerja jurnalisme.
Dalam kadar terukur, mungkin publik bisa memahami keterlibatan media untuk turut
sesekali mengalang dukungan publik bagi kepentingan kelompok tertentu. Namun, jika
agenda itu dilakukan terstruktur, terus-menerus dan kemudian mendistorsi ruang publik
serta takarannya melebihi batas kewajaran untuk sekadar memuaskan ambisi pribadi
pemilik, maka jangan disalahkan jika media tersebut dicap partisan.
Imparsialitas Siaran
Media tv yang menggunakan kanal milik publik sejatinya terikat kontrak abadi
dengan publik. Dalam aliran pers tanggungjawab sosial, media pada dasarnya adalah milik
publik yang pengelolaannya dipercayakan kepada pemilik modal. Mengingat media tv
menggunakan kanal milik publik maka isi siaran harus mencerminkan kepentingan publik.
Apalagi dalam konteks masyarakat yang plural, isi siaran harus netral dan selalu
mengedepankan kepentingan publik yang lebih luas.
Media tv harus mampu bertindak imparsial yang bisa menjamin keberagaman
informasi dan merefleksikan kemajemukan realitas sosial termasuk perlakuan media
terhadap ormas di masyarakat. Media harus terus dijaga dan dipelihara agar tidak
terjerembab pada tren dukung-mendukung sehingga bisa menyeret media menjadi
memihak, terlibat dalam friksi dan konflik kepentingan sesaat.
Sebagai media yang menggunakan ruang public, media tidak hanya dituntut netral,
tetapi juga harus berimbang yakni equal or proportiona time, space, empahasis, as between
opposing interpretation, point of views, or versions of event (Mc. Quail, 2002).
Dalam konteks Metro TV yang terus menerus menyiarkan aktivitas Nasdem,
memutar iklan, mars, hymne, acara deklarasi, talkshow, dan kiprah tokoh-tokoh Nasdem
terus menerus sepanjang waktu, maka wajar jika publik telah menganggap metro TV
sebagai official TV Nasdem. Hal ini jelas selingkuh yang kentara antara media dan pemodal,
termasuk organisasi yang sedang dikembangkan. Sekaligus hal ini berpotensi mencederai
ruang publik dan tiga prinsip dasar penyiaran. Apalagi stasiun TV yang lain juga tidak
menyiarkan dalam bobot yang sama.
Last but not least, media harus tetap diingatkan untuk kembali kekhittah-nya. Jika
media terus terjebak menuruti hasrat politik dan kekuasaan pemodal maka media akan sulit
menghadirkan ruang publik yang benar-benar steril dan itu berarti cita-cita pembangunan
penyiaran yang demokratis semakin jauh dari harapan. Wallohu a’lam Bissawab.
Download