BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pusaka 1. Teori Agensi (Agency Theory) Teori keagenan (agency theory) membahas tentang adanya hubungan keagenan antara dua individu yang saling terkait. Menurut Eisenhardt dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), teori agensi menggunakan tiga asumsi manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya fikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Hak pengendalian yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk diselewengkan dan dapat menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulit investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka investasikan dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki kewenangan untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer memiliki hak dalam mengelola dana investor (Ujiyantho, 2007). Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelola oleh manajemen (agent) cenderung menumbulkan konflik keagenan diantara prinsipal dan agen. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost) (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). 13 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Perspektif hubungan keagenan menjadi dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance dan earnings management. Hubungan keagenan tercermin antara pihak manajemen (agent) dengan investor (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati (2010), teori keagenan adalah sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal). Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menimbulkan masalah keagenan atau agency problem. Salah satu hal yang menyebabkan agency problem adalah adanya asimetri informasi. Asimetri informasi (information asymmetry) yaitu suatu kondisi dimana salah satu pihak memiliki banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain yang memiliki sedikit informasi sehingga terjadi ketidakseimbangan informasi. Manajer memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan pemegang saham karena sebagai pengelola, manajer lebih mengetahui keadaan yang ada dalam perusahaan. Informasi yang lebih sedikit yang dimiliki oleh pemegang saham dapat memicu manajer menggunakan posisinya dalam perusahaan untuk mengelola laba yang dilaporkan (Lobo dan Zhou, 2001 dalam Rusmin, 2010). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah: a) Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja b) Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benarbenar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent) yang melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989 dalam Darmawati, dkk., 2005). Pertama adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginankeinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua adalah masalah pembagian resiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan preferensi resiko. 2. Teori Sinyal Informasi merupakan hal yang penting bagi investor, dari sebuah informasi investor dan pelaku bisnis akan mendapatkan gambaran mengenai keadaan pasar baik di masa yang lalu maupun di masa yang akan datang (Rorin, 2012). Informasi dapat memberikan sinyal yang positif maupun sinyal http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 negatif kepada investor untuk melakukan investasi, ini dapat dilihat dari reaksi pasar yang timbul akibat informasi tersebut. Teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan menyajikan informasi untuk pasar modal (Wolk, et al. 2001). Brigham dan Houston (2001) dalam penelitiannya menyataan bahwa teori sinyal (signaling theory) adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Suatu informasi sangat erat kaitannya dengan teori sinyal (signaling theory). Teori ini memiliki asumsi dasar bahwa manajer dan pemegang saham tidak memiliki akses informasi perusahaan yang sama. Teori sinyal yang berkaitan dengan kandungan informasi erat kaitannya dengan asimetri informasi. Menurut teori sinyal terdapat asimetri informasi antara manajer dan investor. Manajer mengetahui prospek perusahaan di masa depan, sedangkan investor tidak (Gelb, 1999). Pada umumnya, manajer termotivasi untuk menyampaikan informasi yang baik mengenai kondisi perusahaan kepada masyarakat luas karena melalui penyampaian informasi tersebut dapat meyakinkan masyarakat untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Perusahaan akan dengan senantiasa memposisikan diriya sebagai perusahaan yang baik untuk menunjukkan kualitas dirinya melalui sinyal-sinyal yang kredibel (Bhattacarya, 2011). Investor tentu hanya memiliki keterbatasan informasi tentang kebenaran dari informasi yang disampaikan. Jika manajer dapat memberikan sinyal yang meyakinkan kepada investor dengan didukung data- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 data yang mendasarinya, maka investor akan merespon secara positif. Berdasarkan sinyal-sinyal yang diterimanya, investor dapat membuat suatu keputusan investasi, yang pada akhirnya tercermin dalam fluktuasi harga saham. Di dalam teori isyarat, didalamnya menjelaskan secara tersirat mengenai manajemen laba. Adapun hal tersebut dijelaskan bahwa jika kinerja perusahaan memburuk, manajer akan memberikan sinyal dengan menurunkan laba akuntansi, sebaliknya jika kinerja perusahaan membaik, maka manajer akan memberikan sinyal dengan menaikkan laba akuntansi. Teori sinyal juga menjelaskan bahwa manajemen memberi sinyal untuk mengurangi asimetri informasi. Jika manajemen mempunyai lebih banyak mengenai kinerja dan prospek perusahaan dari pada pemegang saham, mereka dapat memberi sinyal dengan mencatat akrual diskresioner (Widodo, 2005). Selain itu didalam signaling theory dijelaskan bahwa seorang investor yang rasional melakukan analisa sebelum membuat keputusan untuk berinvestasi investor membutuhkan informasi yang akan dijadikan sinyal untuk menilai prospek masa depan perusahaan. Dalam hal ini, informasi yang tersedia bisa meliputi semua informasi yang tersedia baik informasi masa lalu, informasi saat ini, maupun informasi yang bersifat sebagai pendapat atau opini rasional yang beredar di pasar yang bisa mempengaruhi perubahan harga (Riany, 2008). Hal tersebut juga dapat diketahui di dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan perusahaan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 Pada awal perusahaan menjual sahamnya kepada publik, informasi keuangan, penawaran umum, kegiatan, prospek perusahaan, dan sebagainya yang dipublikasikan dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan merupakan sumber informasi yang sangat penting, Karena dimanfaatkan sebagai sinyal untuk investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor, maka manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan. Dalam teori sinyal, manajemen laba merupakan sinyal buruk, sehingga risiko yang dihadapi oleh investor juga semakin tinggi. 3. Manajemen Laba a. Pengertian Manajemen Laba Manajemen laba (earnings management) adalah suatu intervensi dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan pribadi (Subramanyam dan Wild, 2010). Manajemen laba sebagai suatu proses pengambilan langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam maupun diluar batas General Accepted Accounting Prinsip (GAAP). Menurut Ghozali dan Chariri, (2007) mendefinisikan laba (earning) yang dianut oleh struktur akuntansi didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Nuryaman (2008) menyatakan manajemen laba adalah tindakan oportunis yang dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 diatur, dinaikkan atau diturunkan sehingga menimbulkan perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya. Manajemen laba dilakukan melalui rekayasa laporan keuangan yang dilakukan melalui tindakan oportunis pihak manajer untuk memaksimumkan kepentingannya, tetapi di lain pihak dapat merugikan kepentingan pemegang saham. Tindakan manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan pertimbangan dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan memanupilasi besaran laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka yang dihasilkan. b. Strategi Pelaksanaan Manajemen Laba Dalam pelaksanaan aktivitas manajemen laba, manajemen memiliki beberapa strategi dalam melaksanakan praktek ini. Dalam Wild, et al. (2008), dijelaskan tiga jenis strategis manajemen laba yaitu: 1) Meningkatkan Laba (increasing income) Cara ini dilakukan dengan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. Peningkatan laba juga dimungkinkan selama beberapa periode. Pasa skenario pertumbuhan sapat meningkatkan laba. kasus yang terjadi adalah perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih tinggi berdasarkan manajemen laba yang agresif sepanjang periode waktu yang panjang. Selain itu, perusahaan dapat melakukan manajemen untuk meningkatkan laba selama beberapa tahun dan kemudian membalik akrual sekaligus pada satu saat pembebanan. Pembebanan satu saat ini sering kali dilaporkan “dibawah laba bersih” (below the line) sehingga dipandang tidak terlalu relevan. 2) Mandi Besar (big bath) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin pada satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang buruk (seringkali pada masa resesi dimana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk) atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Hal ini memberikan kesempatan untuk menghapus semua hal buruk dimasa lalu dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba dimasa depan. 3) Peralatan Laba (income smoothing) Peralatan laba merupakan bentuk umum manajemen laba. pada strategi ini, manajemen meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasinya. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini. Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menyelaraskan ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen. Mekanisme yang dianggap dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah mekanisme good corporate governance. c. Motivasi Manajemen Laba Scott (2011:423) mendefinisikan manajemen laba merupakan keputusan dari manajer untuk memilih kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa mengurangi tingkat kerugian yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan prilaku yang tidak dapat diterima, melakukan manajemen laba berarti suatu pengurangan keakuratan dalam informasi laporan keuangan. Menurut Scott (2011:426) motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba: 1) Motivasi bonus Yaitu, manajer akan berusaha mengatur laba bersih akan dapat memaksimalkan bonusnya. 2) Hipotesis perjanjian hutang (Debt Covenant Hypothesis) Berkaitan dengan persyaratan perjanjian hutang yang harus dipenuhi, laba yang tinggi diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran syarat perjanjian hutang. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 3) Meet Inverstor Earnings Expectations and Maintain Reputasion Perusahaan yang melaporkan laba lebih besar daripada ekspektasi investor harga sahamnya akan mengalami peningkatan yang signifikan karena investor memprediksi karena perusahaan akan mempunyai masa depan yang lebih baik. 4) IPO (Initial Public Offering), Manajer perusahaan yang akan go public termotivasi untuk melakukan manajemen laba sehingga laba yang dilaporkan menjadi tinggi dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 4. Good Corporate Governance a. Definisi dan Tujuan Corporate Governance Good corporate governance merupakan suatu tata kelola perusahaan yang diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor mengenai pertumbuhan perusahaan tersebut. Coporate governance berkaitan dengan bagaimana meyakinkan investor bahwa manajer perusahaan dapat memberikan keuntungan buat mereka, dan tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Tujuan good coporate governance untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak berkepentingan. Menurut Ma’ruf (2006;15), pelaksanaan good coporate governance dapat memberikan manfaat berikut ini: 1) Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan terhadap stakeholder. 2) Mempermudah diperolehnya dana yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value. 3) Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan kembali modalnya di Indonesia. 4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan dividen. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 Pandangan teori keagenan di mana terdapat pemisahan antara pihak agen dan prinsipal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan (Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Hal ini dapat timbul karena manajemen dapat menyusun laporan laba demi kepentingannya dan bukan untuk kepentingan prinsipal atau dengan kata lain manajemen dapat bertindak sesuai dengan keperntingan terbaik (best interest) prinsipal. Apabila kepentingan manajemendn pemilik dapat diselaraskan, maka kinerka perusahaan akan meningkat sehingga menciptakan nilai tambah bahi pemegang saham. Oleh karena itulah good corporate governance dianggap perlu. Forum For Corporate Governance (dalam Ujiyantho, 2007) Corporate governance didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang men definisikan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah karyawan, dan stakeholder internal mauoun eksternal lain, mengenai hak dan kewajiban mereka, atau system di mana perusahaan diatur (directed) dan dikendalikan (controlled), tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi stakeholder. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dapat diperhatikan dalam corporate governance, yaitu sebagai berikut (Sutedi, 2011): http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 1) Transparasi (Transparency) Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan haus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oeleg peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk mengambil keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. 2) Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. 3) Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4) Independensi (Independency) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 Untuk malancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5) Kewajiban dan kesetaraan (Fairness) Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. b. Mekanisme Corporate Gorvernance Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu secara tersistem untuk memenuhi persyaratan tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan control atau pengawasan terhadap keputusan. Adanya konsentrasi kepemilikan dalam perusahaan akan membuat pemegang saham ada pada posisi yang kuat. Hal ini menunjukan bahwa pemegang saham memiliki kendali terhadap manajemen untuk menuntut mereka melaporkan laporan keuangan secara akurat. Sama halnya dengan peran dewan komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Menurut Hikmah (2013), ada beberapa mekanisme corporate governance yang sering digunakan dalam penilitian untuk mengetahui http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 pengaruhnya terhadap manajemen laba, diantaranya adalah dewan komisaris independen, proporsi komite audit dan kosentrasi kepemilikan. Mekanisme monitoring pertama yang digunakan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dapat dilakukan memalui peran monitoring dewan komisaris independen. Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan bahwa dewan komisaris independen mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba dengan arah yang negatif. Hal ini menandakan bahwa mekanisme corporate governance yang diajukan melalui keberadaan pihak independen dalam dewan komisaris mauun mengurangi tindak manajemen laba yang terjadi. 5. Komisaris Independen Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance. Namun, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Menurut Rahmawati (2013) mengatakan bahwa, komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan atau pemegang pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Menurut Tiswiyanti (2012) mengatakan bahwa, komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali serta kemampuannya bebas dalam dari hubungan bertindak bisnis independen, yang mempengaruhi komisaris independen diproksinya dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dengan seluruh anggota dewan komisaris perusahaan. Menurut KNKG (2006:13), agar pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut: a) Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen. b) Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan. c) Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara. Jumlah dari dewan komisaris dapat disesuaikan dengan keadaan perusahaan. Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan komisaris yang terafiliasi. Pihak yang terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan. Jumlah komisaris independen harus dapat menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan sesuai dengan peraturan perundang- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 undangan. Salah satu dari komisaris independen harus mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan. 6. Komite Audit Pengertian komite audit menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yaitu: “Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugastugas khusus atau sejumlah anggota dewan komisaris perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen.” Komite audit merupakan salah satu unsur kelembagaan dalam konsep Good Corporate Governance yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level penerapannya. Keberadaannya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan, serta mampu mengoptimalkan mekanisme checks and balances, yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang optimum kepada para pemegang saham dan stakeholder lainnya (IKAI, 2010). Keberadaan komite audit pada perusahaan publik di Indonesia secara resmi dimulai sejak bulan Juni 2000 dengan adanya Keputusan Direksi BEJ No: Ke- 315/BEJ/06/2000 perihal: Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa. Pada hal ini menyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia wajib memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 perusahaan, keterbukaan dan standar laporan keuangan per sektor. Pembentukan komite audit dilakukan dengan dasar UU No.19 tahun 2003 pasal 70, yang dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan BAPEPAM No. 29 tahun 2004 pasal 2. Pembentukan tersebut berkaitan dengan review sistem pengendalian internal perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Dalam pelaksanaan tugasnya, komite audit mempunyai fungsi sebagai berikut: a) Membantu dewan komisaris untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan. b) Menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan. c) Meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI) maupun eksternal audit. d) Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris/dewan pengawas. Tugas dan tanggung jawab komite audit juga ditandai adanya Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-41/PM/2003 yang menyebutkan bahwa komite audit bertugas untuk memberikan pendapat kepada dewan komisaris terhadap laporan keuangan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas dewan komisaris. Keanggotaan komite audit berdasarkan SE Direksi BEJ No. Kep339/BEJ/07- 2001 tanggal 21 Juli 2001 mengatur bahwa: a) Komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang. b) Seorang komisaris independen menjadi ketua. c) Anggota lainnya merupakan pihak eksternal yang independen. d) Sekurang-kurangnya satu orang memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Kompetensi merupakan salah satu kualifikasi yang seharusnya dipenuhi. Komite audit hendaknya kompeten dalam menjalankan tugas dan perannya. Bapepam mensyaratkan bahwa minimal salah satu anggota komite audit haruslah memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan, atau mungkin menguasai bidang tersebut merupakan suatu karakteristik yang melambangkan kompetensi dari komite audit. 7. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional dapat diartikan sebagai proporsi saham yang beredar yang dimiliki oleh institusi lain di luar perusahaan, seperti bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun dan lain-lain pada akhir tahun yang diukur dalam prosentase (Wahidawati, 2001). Siregar dan Utama (2005) dalam penelitiannya mendefinisikan kepemilikan institusional sebagai kepemilikan saham oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking. Rizae (2007) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 mendefinisikan kepemilikan institusional adalah perusahaan-perusahaan asuransi, dana pensiun publik dan privat, investment trusts, mutual funds, dan kelompok-kelompok manajemen investasi. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan. yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Kumala, 2014). Pemegang saham institusional cenderung lebih banyak mempunyai informasi dari pada pemegang saham individu. Pada umumnya mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk meneliti perusahaan dan industri, sedangkan pemegang saham individu cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk memantau kinerja perusahaan. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional, sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik manajer (Fauziyah, 2014). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 pengambilan keputusan perusahaan. Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain: a) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi. b) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan. 8. Leverage Dalam manajemen keuangan, leverage adalah penggunaan aktiva dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biata tetap (beban tetap) berarti sumber dana yang berasal dari pinjaman karena memiliki bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham (Sjahrial, 2007:147). Dalam arti harfiah, leverage berarti pengungkit/tuas. Leverage juga dapat diartikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap. Van Home (2007) menyatakan bahwa leverage menjadi tahapan dalam proses pembesaran laba perusahaan. Sebagai tahap pertama yaitu: a) Leverage Operational Yang berfungsi untuk meningkatkan pengaruh perubahan dalam penjualan atas perubahan laba operasional. b) Leverage Keuangan Yang berfungsi untuk memperbesar Pengaruh perubahan apapun yang dihasilkan dalam laba operasional atas perubahan EPS (Earning Per Share). Leverage keuangan diguanakan dengan harapan dapat meningkatkan pengembalian ke para pemegang saham biasa. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 32 Menurut Brigham dan Houston (2006: 101), pembiayaan dengan leverage atau utang memiliki tiga implikasi penting, yaitu: a) Memperoleh dana dari utang membuat pemegang saham dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi yang terbatas. b) Kreditur melihat ekuitas atau yang disetor pemilik untuk memberikan margin pengaman sehingga jika pemegang saham hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan, maka risiko perusahaan sebagian besar ada pada kreditur. c) Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas investasi yang dibiayai dengan dana pinjaman dibanding pembayaran bunga maka pengembalian atas modal pemilik akan lebih besar. Menurut Harahap (2006), leverage adalah hubungan antara utang perusahaan terhadap modal maupun aktiva. Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai hutang perusahaan. perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya, hal ini menunjukan resiko keuangan atau resiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi atau sebaliknya. Pengukuran rasio leverage keuangan yang dapat digunakan antara lain: a) Total Debt to Total Asset (DTA) Rasio ini merupakan rasio yang mengukur besarnya total aktiva yang dibiayai oleh kreditur perusahaan. Semakin tinggi rasio ini maka semakin banyak uang kreditur yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan laba. Rumus: DTA = Total utang/total aktiva b) Debt to Equity Ratio (DER) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara total utang dan ekuitas atau pemegang saham perusahaan semakin besar risiko yang dihadapi, maka investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Rumus: DER = Total utang/Ekuitas 8. Penelitian Terdahulu Penelitian yang meneliti tentang hubungan antara mekanisme good corporate governance dan leverage terhadap praktek manajemen laba ini, merujuk pada beberapa penelitian terdahulu dijabarkan sebagai berikut. Guna dan Herawaty (2010) meneliti tentang “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba”. Objek penelitian pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode tahun 2006-2008. Hasil dari analisa mengindikasikan bahwa leverage, kualitas audit dan profitabilitas memiliki pengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan untuk variabel lainnya, Kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen, independensi audit dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Pagalung (2011) menguji tentang Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur di Indonesia periode tahun 2006-2009, menunjukkan hasil bahwa kepemlikikan manajerial, komposisi dewan komisaris independen ukuran perusahaan, jumlah pertemuan komite audit dan ukuran perusahaan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional dan ukuran dewan komisaris mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba. Namun, leverage tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Purwandari (2011) menguji pengaruh good corporate governance, profitabilitas dan leverage terhadap praktek manajemen laba. Good corporate governance diwakilkan oleh komite audit, ukuran dewan direksi, proporsi komisaris independen, dan kepemilikan institusional. Penelitian menggunakan data sekunder yaitu perusahaan pada kategori manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2005- 2009. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa variabel komite audit, kepemilikan institusional, dan profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hasil ini membuktikan bahwa komite audit, kepemilikan institusional dan profitabilitas mampu mengurangi tindakan manajemen laba. Sedangkan variabel ukuran dewan direksi, proporsi komisaris independen dan leverage tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Mardhatilla (2012) menguji pengaruh proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, leverage, profitabilitas terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan manufaktur sektor barang konsumsi tahun 2007 – 2011. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proporsi komisaris independen, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap praktik manajemen laba. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 35 Prastiti (2013) memperoleh bukti empiris mengenai peran dewan komisaris dan komite audit terhadap manajemen laba. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris, independensi dewan komisaris, dan independensi komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. karakteristik dewan komisaris dan komite audit yang lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Sementara, ukuran perusahaan dan leverage sebagai variabel kontrol berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Agustia (2013) meneliti pengaruh good corporate governance, free cash flow, dan rasio leverage terhadap manajemen laba. Good corporate governance diukur dengan ukuran komite audit, proporsi komite audit independen, kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial. Berdasarkan hasil pengujian disimpulkan bahwa semua komponen good corporate governance (ukuran komite audit, proporsi komite audit independen, kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial) tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan leverage berpengaruh, free cash flow berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini berarti perusahaan dengan free cash flow yang tinggi akan membatasi praktek manajemen laba. Susanto (2013) menganalisa tentang kepemilikan institusional, kepemilikan manjemen, ukuran direksi, komite audit, komisaris independen, leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan, independensi auditor dan reputabilitas auditor terhadap praktir manajemen laba. Hasil penelitian http://digilib.mercubuana.ac.id/ 36 menunjukkan bahwa komite audit, komisaris independen dan debt to equity ratio memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, jumlah dewan direksi, profitabilitas, ukuran perusahaan, auditor independen, reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Chandra (2016) menganalisis pengaruh komisaris independen, komite audit, ukuran perusahaan dan Debt to Equity Ratio terhadap praktek manajemen laba pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEI tahun 2009-2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen, komite audit, ukuran perusahaan dan rasio hutang terhadap ekuitas tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan praktek manajemen laba. Amelia dan Hernawaty (2016) menguji pengaruh komisaris independen, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap manajemen laba pada jasa sektor perusahaan real estate, properti dan kontruksi bangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2009 sampai 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dan profitabilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba dan ukuran perusahaan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Ringkasan hasil pengujian dari para penelitian terdahulu yang telah dijabarkan diatas dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 37 Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. 1 2 Peneliti Judul Penelitian Welvin I Guna dan Arleen Herawaty (2010) Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba Variabel dependen : Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur di Indonesia Variabel dependen: Manajemen laba Robert Jao Gagaring Pagalung (2011) Variabel Penelitian Manajemen Laba Variabel independen : Kepemilikan institusional, kepemilikian manajemen, komite audit, dan komisaris independen, independensi auditor, leverage, kualitas audit, profitabilitas, ukuran perusahaan Hasil Penelitian a. Leverage, kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap praktik manajemen laba, b. Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba c. Kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen, independensi audit dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba a. Kepemlikikan manajerial, komposisi dewan komisaris independen Variabel Independen: ukuran perusahaan, Kepemilikan manajerial, jumlah pertemuan komite Kepemilikan audit dan ukuran institusional, ukuran perusahaan mempunyai dewan komisaris, pengaruh negatif komposisi dewan signifikan terhadap komisaris independen, manajemen laba komite audit, ukuran b. Kepemilikan institusional perusahaan, leverage dan ukuran dewan komisaris mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba c. Leverage tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba 3 Indri Analisis Pengaruh Variabel dependen : http://digilib.mercubuana.ac.id/ a. Komite audit, 38 Wahyu Purwandari (2011) 4 5 Rahmi Mardhatilla (2012) Anindyah Prastiti (2013) Mekanisme Good Corporate Governance, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Manajemen Laba (Earning Management) Manajemen laba Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Barang Konsumsi Variabel dependen : Manajemen Laba Pengaruh Karakteristik Dewan Komisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba Variabel dependen: Variabel independen : Komite Audit, ukuran dewan direksi, proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional, profitabilitas dan leverage Variabel Independen : Proporsi komisaris independen, ukuran dewan komisaris, leverage, profitabilitas Manajemen Laba Variabel independen: karakteristik dewan komisaris (ukuran, independensi, keahlian keuangan, dan frekuensi pertemuan) serta karakteristik komite audit (ukuran, independensi, keahlian keuangan, dan frekuensi pertemuan) Variabel kontrol: Ukuran perusahaan, leverage 6 Dian Agustia Pengaruh Faktor Good Corporate Variabel dependen : http://digilib.mercubuana.ac.id/ kepemilikan institusional, dan profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba b. Ukuran dewan direksi, proporsi komisaris independen dan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba a. Proporsi komisaris dependen, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba b. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap praktik manajemen laba a. Ukuran dewan komisaris, independensi dewan komisaris, dan independensi komite audit berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba b. Karakteristik dewan komisaris dan komite audit yang lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba c. Ukuran perusahaan dan leverage sebagai variabel kontrol berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba a. Ukuran komite audit, proporsi dewan komisaris 39 (2013) Governance, Free Cash Flow dan Leverage Terhadap Manajemen Laba Manajemen laba Variabel independen : Ukuran komite audit, proporsi dewan komisaris independen, pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, free cash flow ratio, leverage ratio independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba b. Free cash flow, leverage dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba Variabel kontrol: Ukuran perusahaan 7 8 Yulius Kurnia Susanto (2013) Teddy Chandra (2016) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Variabel dependen : Manajemen laba Analisis Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Ukuran Perusahaan dan Debt to Equity Ratio Terhadap Praktek Manajemen Laba Pada Perusahaan Makanan dan Minuman yang Terdaftar di BEI Variabel dependen : Manajemen laba Variabel Independen: a. Komite audit, komisaris independen dan debt to equity ratio memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, b. Kepemilikan jumlah dewan direksi, institusional, kepemilikan komite audit, komisioner manajerial, jumlah dewan independen, leverage, direksi, profitabilitas, profitabilitas, ukuran ukuran perusahaan, perusahaan, auditor auditor independen, independen, reputasi reputasi auditor tidak auditor berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Variabel Independen: Komisaris Independen, Komite Audit, Ukuran Perusahaan dan Debt to Equity Ratio http://digilib.mercubuana.ac.id/ a. Komisaris independen, komite audit, ukuran perusahaan dan Debt to Equity Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba 40 9 Winda Amelia dan Erna Hernawati (2016) Pengaruh Komisaris Independen, Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Variabel dependen: Manajemen laba Variabel independen: Komisaris independen, ukuran perusahaan, profitabilitas a. Ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba b. Komisaris indepnden dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Sumber: Dari Beberapa Jurnal dan Skripsi B. Rerangka Pemikiran 1. Pengaruh Proporsi Komisaris Independen Terhadap Manajemen Laba Dewan komisaris independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Menurut Effendi (2009:9) komisaris independen (independent commissioner) berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang (contreveiling power) dalam pengambilan keputusan oleh dewan komisaris. Oleh karena itu, dewan komisaris dan komisaris independen diharapkan tidak hanya sebagai pelengkap saja. Komposisi dewan komisaris independen diatur dalam Peraturan Bursa Efek, butir 1-a dari Peraturan Pencatatan Efek No. 1-A PT Bursa Efek Indonesia yang menyatakan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris (Effendi, 2009:16). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 41 Dengan semakin banyak jumlah dewan komisaris independen, pengawasan terhadap laporan keuangan akan lebih ketat dan objektif, sehingga kecurangan yang dilakukan oleh manajer untuk memanipulasi laba dapat diminimalisir dan manajemen laba dapat dihindari. Terkait dengan manajemen laba, komisaris independen tidak berkaitan langsung dengan perusahaan yang mereka tangani, karena mereka bertugas untuk mengawasi direksi perusahaan tanpa ada tekanan dari pihak manapun, sehingga pekerjaan yang dilakukannya murni tanpa ada campur tangan dengan pihak manapun (Afnan, 2014). Penelitian mengenai keberadaan dewan komisaris independen telah dilakukan oleh Wedari (2004), Wilopo (2004), Nasution dan Setyawan (2007). Reviani dan Sudantoko (2012) mengatakan bahwa komisaris independen berpengaruh secara signifikan negatif karena proporsi dewan komisaris dalam perusahaan mampu mengurangi manajemen laba yang terjadi didalam perusahaan. 2. Pengaruh Ukuran Komite Audit Terhadap Manajemen Laba Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan. Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE-008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 42 ketua komite audit. Anggota komite yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite ini merupakan komisaris independen sekaligus ketua komite. Anggota lainnya yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Sebuah komite audit merupakan solusi tepat untuk mengurangi biaya keagenan sesuai dengan pernyataan Alchain dan Demsetz; Fama dan Jensen dalam Kusuma (2012) yang menyatakan bahwa teori keagenan mengemukakan moral hazard yang melekat dalam prinsipal dan agen dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost) (Prastiti, 2013). Semakin besarnya ukuran komite audit akan meningkatkan fungsi monitoring pada komite audit terhadap pihak manajemen sehingga prinsipal merasa bahwa kualitas pelaporan oleh manajemen terjamin. Hal ini sesuai dengan asas GCG akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan (Mutiawero, 2014). Penelitian Klein (2000) mengenai komite audit memberikan bukti secara empiris bahwa perusahaan yang membentuk komite audit independen melaporkan laba dengan kandungan akrual diskresional yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membentuk komite audit independen. Carcello et al. (2006) menyelidiki hubungan antara keahlian komite audit di bidang keuangan dan manajemen laba. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keahlian komite audit indepeden di bidang keuangan terbukti efektif mengurangi manajemen laba. Hasil tersebut juga konsisten dengan hasil penelitian Yang dan Krishnan (2005), Lin et al.(2006) dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 43 Kusumaningtyas (2014) yang menunjukkan adanya pengaruh negatif signifikan antara ukuran komite audit dengan manajemen laba. 3. Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab pada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Karena institusi memantau secara profesional perkembangan investasinya maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Lastanti, 2004). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Cornett et al. (2006) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh kepemilikan institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistik atau mementingkan diri sendiri. Balsam et al. (2002) dalam Siregar dan Utama (2005) menemukan adanya hubungan negatif antara discretionary accrual http://digilib.mercubuana.ac.id/ 44 yang tidak diekspektasi dengan imbal hasil saham di sekitar tanggal pengumuman, dimana hubungan negatif tersebut bervariasi tergantung tingkat kecanggihan investor, dimana reaksi pasar dari investor yang lebih canggih mendahului investor yang tidak canggih. Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2010) menunjukkan bahwa variabel kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, artinya semakin besar kepemilikan institusional maka semakin kecil praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Widyastuti (2009), Nugroho (2013) dan Astuti (2016). 4. Pengaruh Debt to Aset Ratio Terhadap Manajemen Laba Leverage merupakan salah satu rasio keuangan, biasa disebut rasio solvabilitas, rasio solvabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk membayar utang jangka panjang, baik utang pokok maupun bunganya. kemampuan untuk membayar utang jangka panjang bergantung pada kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba karena cicilan utang pokok maupun buanganya menurut kelaziman dibayar dengan dana kas dan besarnya dana kas sangat ditentukan oleh besarnya laba yang masuk kedalam perusahaan dalan bentuk uang kas (Kuswandi, 2008). Leverage adalah perbandingan antara total kewajiban dengan total aset perusahaan. Rasio ini menunjukkan besarnya besar aset yang dimiliki perusahaan yang dibiayai dengan hutang. Hasil penelitian Mamedova (2008) dan Oktavianti dan Agustia (2012) yang menyatakan bahwa leverage http://digilib.mercubuana.ac.id/ 45 perusahaan berpengaruh terhadap praktek manajemen melakukan earnings management. Dalam teori keagenan, semakin dekat perusahaan dengan pelanggaran perjanjian utang yang berbasis akuntansi, lebih memungkinkan manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba yang dilaporkan dari periode masa datang ke periode saat ini (Watts and Zimmerman, 1986 dalam Agustia, 2013). Akibat kondisi tersebut mendorong manajemen perusahaan untuk melakukan praktik income smoothing. Penelitian yang dilakukan oleh Saleh et al. (2005), Tarjo (2008), Lin et al. (2009), Guna dan Herawaty (2010) dan Gustia (2013) menemukan bahwa leverage mempunyai hubungan yang signifikan dengan manajemen laba. Model dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam rerangka pemikiran sebagai berikut: Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Penelitian http://digilib.mercubuana.ac.id/ 46 C. Hipotesis Sugiyono (2013:96) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Kerlinger (2006:30), hipotesis adalah pernyataan dugaan (conjectural) tentang hubungan antara dua variabel atau lebih. Hipotesis selalu mengambil bentuk kalimat pernyataan (declarative) dan menghubungkan secara umum maupun khusus variabel yang satu dengan variabel yang lain. Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah: HA1: Proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba HA2: Ukuran komite audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba HA3: Kepemilikan Institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba HA4: Debt to Asset Ratio berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba http://digilib.mercubuana.ac.id/