KEBIJAKAN DI SEKTOR KEUANGAN DALAM RANGKA STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh : Sarsiti Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta Abstraksi Kebijakan perekonomian, kita selalu dihadapkan permasalahan klasik berupa masalah keterbatasan sumberdaya. Sebagai Negara sedang berkembang, kita dihadapkan pada dua kendala yaitu keterbatasan dana untuk investasi dan keterbatasan devisa. Oleh karena itu benang merah kebijakan perekonomian dimasa lalu yang masih relevan untuk diterapkan sekarang ini adalah pilihan kebijakan untuk meningkatkan penyediaan dana bagi investasi dan meningkatkan ketersediaan devisa. Untuk ini, maka terdapat prasyarat yang sangat penting yaitu iklim yang mendukung berupa stabilitas ekonomi makro dan tersedianya infrastruktur perekonomian yang mendukung kegiatan ekonomi. ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar merupakan factor yang sangat penting untuk dapat menciptakan system perekonomian yang efisien dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kata kunci : keterbatasan sumberdaya, investasi, devisa, mekanisme pasar. A. PENDAHULUAN Kebijakan perekonomian, kita selalu dihadapkan permasalahan klasik berupa masalah keterbatasan sumberdaya. Untuk ini langkah pemecahan yang di lakukan adalah dengan melakukan berbagai upaya optimalisasi dan prioritas dari berbagai pilihan kebijakan yang ada. Sebagai Negara sedang berkembang, kita dihadapkan pada dua kendala yaitu keterbatasan dana untuk investasi dan keterbatasan devisa. Oleh karena itu benang merah kebijakan perekonomian dimasa lalu yang masih relevan untuk diterapkan sekarang ini adalah pilihan kebijakan untuk meningkatkan penyediaan dana bagi investasi dan meningkatkan ketersediaan devisa. Untuk ini, maka terdapat 42 prasyarat yang sangat penting yaitu iklim yang mendukung berupa stabilitas ekonomi makro dan tersedianya infrastruktur perekonomian yang mendukung kegiatan ekonomi. Untuk itu berbagai pilihan kebijakan yang dilaksanakan selalu di arahkan pada memperhatikan kedua hal tersebut. Upaya menjaga kepercayaan baik itu dari masyarakat domestic dan masyarakat luar negeri merupakan pertimbangan utama. Dalam rangka mengatasi kesenjangan tabungan dan investasi, upaya menggerakkan sumber dana domestic dilakukan dengan meningkatkan peran sector keuangan khususnya industri perbankan. Hal ini terlihat sangat jelas kalau kita mengamati perkembangan sektor keuangan kita yang sarat dengan rangkaian langkah deregulasi sejak tahun 1983. berbagai langkah deregulasi ini pada dasarnya merupakan kebijakan ekonomi makro yang bertujuan menopang laju pertumbuhan yang tinggi dengan lebih mengandalkan sumber dana domestic. Praktis kita dapat mengatakan bahwa proses deregulasi perekonomian yang dilakukan Indonesia hampir indentik dengan deregulasi sector keuangan. Dalam hal ini memang terdapat pertanyaan mengapa deregulasi sector keuangan ini jauh lebih sering dan jauh lebih dahulu di bandingkan dengan deregulasi di sector riil. Terlepas dari adanya perdebatan tentang sequencing dari proses deregulasi ini, khususnya yang menyangkut apakah sector keuangan dulu atau sector riil dulu, yang jelas diutamakannya deregulasi sector keuangan merupakan pilihan kebijakan yang diambil dengan melihat kondisi pada waktu itu. Namun suatu hal yang penting untuk dicatat adalah bahan penyempurnaan dalam pengaturan dan pengawasan sector keuangan, dan bank pada khususnya, harus menyertai deregulasi. Ini merupaka syarat utama yang memungkinkan bank-bank dapat berkembang dengan baik serta dapat memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang disajikan oleh deregulasi dengan relative aman. Pentingnya dan mendesaknya deregulasi sector keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an memang dapat dipahami karena perkembangan sector ini dalam dasawarsa 1950-an dan 1960-an dimana-mana, khususnya di Negara-negara berkembang, tidak begitu cerah. Hal ini berkaitan erat dengan pandangan (faham) ekonomi untuk Negara-negara berkembang yang berlalu pada waktu itu, yaitu : 43 (I) Pembangunan ekonomi perlu diarahkan ke sector-sektor strategis, dan untuk itu perlu diatur (melalui selektif kredit policy atau semacamnya) agar dana lebih banyak mengalir ke sector-sektor ekonomi tersebut (II) Untuk mendukung perkembangan sector-sektor ekonomi, bunga kredit perlu diatur agar rendah. Oleh karena itu, banyak aturan-aturan yang membatasi keleluasaan sector keuangan untuk bergerak secara efisien mengeluarkan dana ke pemilik ke pengguna dana, seperti pengaturan suku bunga, pengaturan alokasi kredit ke sector-sektor tertentu, dan sebagainya. Maka terjadilah yang disebut oleh McKinnon dan Shaw sebagai “financial repression” yang menyebabkan “shallow finance”. Dana (daya beli) tidak tersalur secara efisien ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhalang. Oleh karena itu mereka menganjurkan agar diadakan liberalisasi (deregulasi) agar terjadi “financial deepening”, yaitu agar bank-bank dan lembaga keuangan lainnya diberi keleluasaan yang lebih besar untuk beroperasi secara efisien atas dasar mekanisme pasar, sehingga mereka dapat berfungsi dengan baik sebanyak-banyaknya dan seefisien-efisiennya menyalurkan dana dari pemilik dana kepada pengguna dana (pengusaha) untuk keperluan produksi. Mereka berkeyakinan bahwa ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar merupakan factor yang sangat penting untuk dapat menciptakan system perekonomian yang efisien dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Strategi yang demikianlah yang diterapkan di Indonesia, dimulai secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 19681970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai hasilnya, kita melihat betapa sector perbankan telah berhasil meningkatkan perannya sebagai media intermedisi dan juga jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah menunjukkan pertumbuhan yang tinggi di masa lalu. Namun disisi lain kita juga melihat bahwa pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini juga bukannya tidak menimbulkan permasalah sendiri. Dengan tidak langsung mengamati permasalahan yang muncul secara mikro, di tingkat mikro perkembangan sector keuangan yang pesat ini menimbulkan permasalahan tersendiri. Bagi pengendalian moneter, perkembangan sector keuangan yang pesat, yang juga salah satunya didorong oleh arus globalisasi, 44 telah pula menyebabkan berbagai hubungan kualitas antara besaran-besaran moneter menjadi tidak tetap, yang berimplikasi kepada makin kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya instrument moneter yang ada. Kompleksitas permasalahan ini bagaimanapun juga turut mempengaruhi kemampuan kita dalam merespon setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian. B. Faktor Kepercayaan dan Proses Pemburukan atau Perbaikan Ekonomi Kepercayaan (confidence) jelas memegan peran yang sangat penting didalam krisis ekonomi yang kita alami sejak pertengahan tahun 1997 ini, yaitu kepercayaan bahwa ekonomi akan stabil, kepercayaan mengenai masa depan perekonomian, dan kepercayaan terhadap kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh pemerintah. Ada suatu fenomena yang menarik untuk di catat mengenai factor kepercayaan ini, suatu fenomena yang sebetulnya dengan mudah dapat dilihat dan dipahami, akan tetapi jarang mendapat perhatian. Fenomena tersebut adalah bahwa apa yang terjadi sebagai akibat berkurangnya kepercayaan sering cenderung menyebabkan turunnya kepercayaan lebih lanjut, dan turunnya kepercayaan ini selanjutnya menyebabkan semakin terjadinya akibat dari penurunan kepercayaan, yang seterusnya memperburuk kepercayaan, dst. Dalam hal yang seperti itu, krisis kepercayaan dan pemburukan keadaan akan berlangsung seperti spiral ke bawah, dan proses tersebut dapat berlangsung dengan sangat cepat. Ketika krisis mulai melanda Thailand, orang (atau “pasar”) mulai bertanya-tanya apakah kelemahan yang ada pada perekonomian Thailand tidak juga ada di dalam perekonomian Negara-negara yang ciri-cirinya mirip dengan Thailand, seperti Indonesia, Malaysia, dan korea. Keragu-raguan itu kemudian bermuara pada turunnya kepercayaan mengenai keadaan, kebijakan, dan masa depan perekonomian Negaranegara tersebut, dan hal ini segera memicu pengaliran modal ke luar negeri. Dalam hal Indonesia, di antara modal yang masuk selama ini ternyata banyak yang berjangka pendek, dan modal berjangka pendek ini dengan mudah dan serta-merta dapat ditarik kembali ke luar negeri. Oleh karena itu, pengaliran modal ke luar negeri terjadi dalam jumlah yang besar dalam jangka yang sangat pendek. Sebagai akibatnya, nilai tukar menjadi melemah, dan melemahnya nilai tukar ini lebih lanjut memperburuk 45 kepercayaan mengenai perekonomian secara keseluruhan, dan seterusnya, sehingga proses pemburukan keadaan berlangsung dengan cepat sekali. Dalam keadaan yang seperti itu, kebijakan yang harus ditempuh seyogianya adalah kebijakan-kebijakan yang dapat mengembalikan kepercayaan mengenai kestabilan dan masa depan perekonomian serta mengenai kebijakan pemerintah itu sendiri. Dalam hubungan ini kiranya para ahli dapat menganalisa kebijakan-kebijakan di masa lalu seperti keputusan untuk mengubah system nilai tukar dari mengembang secara terkendali di dalam batas (band) menjadi system nilai tukar mengembang secara bebas pada bulan Agustus 1997 dan keputusan untuk melikuiditas 16 bank pada bulan November 1997 tanpa adanya penjaminan simpanan. Demikian juga halnya dengan kebijakan moneter yang ketat, bahkan selama beberapa waktu dirasakan sangat ketat. Khusus mengenai yang disebut terakhir tadi, kebijakan moneter yang ketat tersebut kiranya dapat dilihat sebagai upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk meyakinkan masyarakat bahwa “we mean business”, yaitu bahwa pemerintah betul-betul bertekad untuk mencapai kestabilan moneter dan nilai tukar, walaupun “biaya” jangka pendek yang harus dipikul masyarakat dan pemerintah berupa suku bunga yang tinggi cukup berat. Di bidang moneter, kebijakan tersebut disertai pula oleh transparansi yang lebih baik dibandingkan dengan masa lalu, antara lain dengan mengumumkan target moneter yang berupa uang primer atau lainnya dan perkembangan besaran moneter tersebut setiap minggu. Tekad yang dibuktikan dengan perbuatan/pelaksanaan tersebut, bersama dengan transparansi, tampaknya telah merupakan factor penting yang telah meningkatkan kembali kepercayaan mengenai kestabilan dan prospek ekonomi. Hal ini dilengkapi pula dengan berbagai kebijakan reformasi di bidang-bidang lainnya yang juga telah memberikan peranan penting dalam upaya meningkatkan kepercayaan. Fenomena yang saya uraikan di atas dapat pula menerangkan dan menuntun kita dalam mengatur serta menjalani proses pemulihan ekonomi di masa depan. Ada dua hal yang relevan untuk diuraikan dalam hubungan ini,. Pertama-tama bahwa hubungan antara besaran-besaran (variables) ekonomi dapat terlihat tidak sebagaimana yang secara sederhana dipahami. Yang kedua, bahwa apa bila dalam proses pemburukan keadaan dua atau lebih factor saling tunjang menunjang menyebabkan pemburukan, bukannya tidak mungkin bahwa 46 di dalam proses pembaikan ekonomi factor-faktor tersebut (dalam pergerakan yang sebaliknya) dapat saling tunjang menunjang mendorong proses perbaikan, sehingga prosesnya dapat pula berlangsung dengan cepat. Dalam hal yang pertama, teori sederhana yang sering di ungkapkan oleh para ekonom adalah bahwa dalam keadaan nilai tukar yang melemah kebijakan moneter yang ketat, yang berakhibat pada kenaikan suku bunga, akan memperkuat nilai tukar karena dana (modal) mendapat rangsangan suku bunga tinggi untuk tinggal di, atau masuk ke, dalam negeri (dalam valuta sendiri), yang berarti meningkatnya permintaan terhadap mata uang dalam negeri. Sebaliknya, penurunan suku bunga akan mangakibatkan melemahnya nilai tukar, bahkan bisa berjalan sejajar dengan menguatnya nilai tukar. Gejala inilah yang pada umumnya berlangsung sejak bulan September 1998. Hal yang kedua yang saya ungkapkan di atas berkaitan dengan kemungkinan berlangsungnya proses perbaikan ekonomi lebih cepat dari pada yang diperkirakan, karena terdapat kekuatan yang saling menunjang dalam proses perbaikan tersebut. Sebagai contoh, peningkatan kepercayaan cenderung memperkuat nilai tukar, dan selanjutnya penguatan nilai tukar cenderung memperbaiki gambaran mengenai prospek ekonomi sehingga meningkatkan lebih lanjut kepercyaan, dan seterusnya. Namun kemungkinan ini seyogianya jangan sampai membuat kita menjadi terlalu optimis, karena optimisme yang berlebihan dapat membuat kita lengah dan tidak siap menghadapi bahaya-bahaya yang mungkin masih akan timbul. • Hal ini di perburuk lagi dengan belum adanya perangkat hukum yang efektif terutama dalam penyelesaian kepailitan berusaha. Pada sektor perbankan krisis nilai tukar yang terjadi telah menyebabkan terganggunya fungsi intermediasi yang ditandai dengan banyaknya bank menjadi insolvent. Hal ini terjadi karena meningkatnya kerentanan terhadap posisi hutang dalam USD yang telah memberatkan sisi liability (pasiva) bank. Sisi asset (aktiva) bank ditandai oleh meningkatnya non performing loan (NPL) akibat banyaknya debitur yang default. Sementara itu upaya pengetatan likuiditas melalui kenaikan suku bunga yang dilakukan guna mengurangi dampak krisis telah pula menyebabkan “negative spread” di sektor perbankan. Krisis yang berkelanjutan telah mengakibatkan perbankan nasional menjadi semakin rawan, pada sisi yang lain kepercayaan masyarakat semakin merosot, 47 khususnya sejak pencabutan izin usaha 16 bank pada bulan November 1997, hal tersebut terjadi karena kebijakan tersebut dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghindari rush atau bank-run. Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tersebut terlihat dari fenomena flight to quality dan flight to safety dari penabung yang memindahkan dananya ke instrument/bank yang lebih aman baik itu di dalam maupun luar negeri. Tidak adanya lembaga deposit insurance membuat turunnya kepercayaan ini bertambah parah. Kesimpulan Negara sedang berkembang, kita dihadapkan pada dua kendala yaitu keterbatasan dana untuk investasi dan keterbatasan devisa. Krisis ekonomi sejak tahun 1997 menjadikan negara Indonesia mengalami krisis kepercayaan. Kebijakan yang harus ditempuh seyogianya adalah kebijakan-kebijakan yang dapat mengembalikan kepercayaan mengenai kestabilan dan masa depan perekonomian serta mengenai kebijakan pemerintah itu sendiri. Dalam hubungan ini kiranya para ahli dapat menganalisa kebijakan-kebijakan di masa lalu seperti keputusan untuk mengubah system nilai tukar dari mengembang secara terkendali di dalam batas (band) menjadi system nilai tukar mengembang secara bebas pada bulan Agustus 1997 dan keputusan untuk melikuiditas 16 bank pada bulan November 1997 tanpa adanya penjaminan simpanan. kebijakan yang harus ditempuh seyogianya adalah kebijakan-kebijakan yang dapat mengembalikan kepercayaan mengenai kestabilan dan masa depan perekonomian serta mengenai kebijakan pemerintah itu sendiri. Dalam hubungan ini kiranya para ahli dapat menganalisa kebijakan-kebijakan di masa lalu seperti keputusan untuk mengubah system nilai tukar dari mengembang secara terkendali di dalam batas (band) menjadi system nilai tukar mengembang secara bebas pada bulan Agustus 1997 dan keputusan untuk melikuiditas 16 bank pada bulan November 1997 tanpa adanya penjaminan simpanan. Demikian juga halnya dengan kebijakan moneter yang ketat, bahkan selama beberapa waktu dirasakan sangat ketat. 48 Daftar Pustaka Andrew Sheng : Bank Restrukturing : Lessons from the 1980’s, hal 46-48 The Asian Crisis: Causes and Cures, Finance and Development, Volume 35, No.2, June 1998 Sabirin, Syahril, “Indonesia’s Financial Reforms: Challenges in the 1990s Markets”, Journal of Asian Economics, 2(2), Fall 1991. McKinnon, Ronald I.., Money and Capital in Economic Development, WashingtonDC: The Brookings Instutions, 1973 Shaw, Edward S., Financial Deeping in Economic Development, New York: Oxford University Press, 1973. Boediono, Kembali Mekanisme Transmisi moneter di Indonesia”, Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai tukar Fleksibel Buletin Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998. Hartadi A. Sarwono dan Perry Warjiyo Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia”,Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 1998. DPP-URES, Bank Indonesia pada tahun 1996. Gerard Caprio, Jr. Banking on Crisis: Expensive lessons from Recent Financial Crises, The World Bank Reserch Group, Washington DC: June 1998. 49