BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis A.1 Penyakit Gugur Buah Kelapa (GBK) Penyakit GBK merupakan salah satu penyakit yang mempengaruhi produksi kelapa. Penyakit ini disebabkan oleh patogen P. palmivora Butl. Penyakit GBK mengakibatkan pengguguran buah sebelum umur panen. Lolong et al. (1998) menyatakan buah gugur pada umur 3-7 bulan dengan kehilangan hasil mencapai 50-70%. Gejala awal pada buah sebelum jatuh yaitu adanya bercak-bercak tidak beraturan, berwarna coklat terang dan kebasah-basahan (Gambar 1a). Bercak ini berkembang dan berubah warna menjadi gelap akhirnya menjadi cekung dan kering, bagian atas dari bercak agak basah. Pada stadia lebih lanjut bercak makin luas pada permukaan buah. Pengguguran buah terjadi apabila bercak sudah mencapai perian (Gambar 1b), dan biasanya perian akan tinggal menempel pada tangkai buah setelah buah gugur. Adakalanya bercak pada kulit buah belum mencapai perian sudah terjadi keguguran buah. Hal ini disebabkan infeksi sudah terjadi pada bagian dalam sabut. Waktu gejala nampak sampai buah gugur berkisar 3-4 minggu. Periode ini akan lebih pendek pada buah kelapa yang masih mudah. Pada tingkat infeksi tinggi, buah sakit dan yang sehat akan jatuh bersama tandannya. Setelah buah terinfeksi, penyakit menyebar lebih cepat dalam jaringan mesocarp (sabut) dan epicarp (kulit buah). Bagian sabut akan berwarna kemerah-merahan sampai coklat kekuningan dan akhirnya berwarna coklat gelap. Tempurung dan daging buah (endosperm) juga dapat terserang pada buah yang terinfeksi. Tempurung akan berwarna coklat sebelum waktunya dan bagian daging buah menjadi lunak sehingga buah tidak dapat dikonsumsi, dijadikan kopra atau sebagai benih (Lumentut dan Lolong, 2005). 5 b a Gambar 1. Gejala penyakit GBK, (a) Gejala awal (b) Gejala lanjut Sumber : Motulo (2008) A.2 Phytophthora palmivora Butl. A.2.1 Klasifikasi P. palmivora Genus Phytophthora bersifat kosmopolitan dan mempunyai lebih kurang 60 spesies sebagai patogen tanaman, termasuk didalamnya spesies P. palmivora yang pada klasifikasi morfologinya termasuk dalam kingdom Chromista atau Stramenopila, phylum Oomycota, kelas Oomycetes, ordo Peronosporales, dan famili Phytiaceae (Sinaga, 2009). Pada awalnya, Phytophthora spp., yang tergolong dalam kelas Oomycetes dimasukan dalam kelompok Alga. Beberapa sifat yang dimiliki kelas Oomycetes seperti menyerap nutrisi dan mempunyai miselium, para ahli penyakit memasukannya dalam kelompok cendawan (True Fungi). Selanjutnya Shafer (1975) dalam Motulo (2008) mengeluarkan Oomycetes dari cendawan dan mengelompokan kembali ke dalam Alga. Saat ini Oomycetes digolongkan dalam Kingdom Chromista atau Stramenophila berdasarkan sifat yang dimiliki oleh zoospora yang mempunyai dua jenis flagela yaitu tinsel dan whiplash. Menurut Rossman dan Palm (2006) beberapa sifat yang membedakan kelas Oomycetes dari cendawan yaitu semua genus dari kelas Oomycetes memiliki fase seksual yang menghasilkan oospora, sedangkan cendawan tidak memiliki oospora tetapi zigospora, basidiospora, dan askospora. Miselium dari 6 Oomycetes adalah diploid, sedangkan cendawan haploid atau dikariotik. Sifat lain dari Oomycetes adalah dinding sel terdiri dari β-glukan dan selulosa sedangkan cendawan mengandung kitin. A.2.2 Karakteristik P. palmivora Karakteristik P. palmivora penyebab penyakit GBK dapat dilihat dari alat propagasinya dalam menginfeksi dan menyebarkan penyakit. Alat propagasi tersebut yaitu miselium, sporangium, zoopora, klamidospora, dan oospora. Miselium pada umumnya isolat dari P. palmivora dapat tumbuh baik pada media agar PDA dan V8 dengan bentuk koloni stelat, dan atau tidak beraturan, bentuk permukaan miselium aerial, datar dan seperti kapas (Gambar 2a) (Lolong, 2005). Miselium tidak bersepta, tumbuh menembus ke dalam sel-sel tanaman inang dan membentuk Houstorium untuk mengabsorbsi nutrisi (Motulo, 2008). Sporangium Phytophthora merupakan marga yang memiliki sporangium yang jelas terbentuk seperti buah jeruk nipis dengan tonjolan di ujungnya (Gambar 2b). Bentuk sporangium P. palmivora ovoid atau linoliform, dengan panjang sporangium 40-62 µm dan lebar 28-43 µm, mempunyai papilla, pedicel pendek, caducous, dan model percabangan simpel simpodial (Motulo, 2008). a b Gambar 2. (a) Bentuk koloni dan miselium P. palmivora (b) Sporangium Sumber : Motulo, 2008 Setiap sporangium menggandung banyak zoospora yang akan keluar dari sporangia yang telah matang. Zoospora keluar satu persatu melalui papilla yang terdapat pada ujung sporangium (Gambar 3a). Zoospora mempunyai dua flagella yang tidak sama panjangnya. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron 7 diketahui bahwa flagella yang pendek (anterior) mempunyai benang-benang yang disebut mastigonema. Sedang yang panjang (posterior) berbulu sangat halus (Semangun, 1996). Klamidospora Jenis Phytophthora spp., tertentu membentuk klamidospora berbentuk bulat, terminal, atau interkalar, berdinding agak tebal, mula-mula hialin, akhirnya berwarna kecoklat-coklatan (Semangun, 1996) (Gambar 3b). Isolat P. palmivora kelapa membentuk globosa klamidospora dengan interkalari miselium. Rata-rata diameter klamidospora adalah 30–37 µm (Lolong, 2005). Oospora merupakan hasil fertilisasi antara Oogonium dan Anteridium dari P. palmivora. Umumnnya oospora adalah membentuk Amphygynous anteridia dengan diameter 19 -29 µm (Lolong, 2005). Oospora adalah propagul yang sangat menentukan terjadinya variasi genetik dari P. palmivora yang dapat mempengaruhi perubahan tingkat virulensi patogen pada tanaman (Motulo, 2008). a b Gambar 3. (a) Zoospora (b) Klamidospora Sumber : (a) Rossman dan Palm (2006), (b) Motulo (2008) A.2.3 Epidemiologi P. palmivora Pada dasarnya Phytophthora spp., adalah organisme tular tanah meskipun beberapa spesies Phytophthora termasuk P. palmivora sangat potensial sebagai patogen penyebar penyakit pada bagian atas tanaman seperti penyakit Busuk Pucuk Kelapa (BPK) dan GBK. Setiap propagul dari P. palmivora yaitu miselium, sporangium, zoospora klamidospora dan oospora merupakan alat propagasi yang sangat potensial untuk infeksi dan penyebaran penyakit BPK dan GBK. 8 Faktor lingkungan yang sangat menentukan terjadinya infeksi adalah curah hujan (>200mm/bulan) dan kelembaban yang tinggi (>94%) (Juan-Bachiller, 2004). Daerah yang sering tergenang air menyebabkan kelembaban tanah cukup tinggi dan merupakam media tumbuh yang baik bagi P. palmivora. Selanjutnya Akuba (1993) memberikan pemetaan daerah rawan terhadap P. pamivora yang didasarkan pada curah hujan yaitu curah hujan diatas 3000 mm/tahun dan bulan basah (200 mm/bulan) lebih 6 bulan, daerah agak rawan dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan bulan basah 5-6 bulan, dan daerah tidak rawan dengan curah hujan lebih kecil dari 2000 mm/tahun dan bulan basah lebih kecil dari 4 bulan. Pada umumnya inokulum dari P. palmivora yang berada di tanah akan terangkat ke atas melalui percikan air hujan dan diterbangkan oleh adanya turbulensi angin pada saat hujan. Hasil penelitian Thevein (1992) menunjukan bahwa percikan air hujan dari tanah sampai ketinggian 75 cm masih mengandung propagul P. palmivora. Jumlah propagul lebih banyak pada percikan air hujan dengan ketinggian 25 cm dibandingkan 50 cm dan 75 cm. Inokulum yang terbawa angin berpindah ke bagian buah atau pucuk tanaman terutama pada ketiak daun yang banyak terperangkap oleh sisa-sisa bahan tanaman seperti bunga kelapa. Sisa-sisa bahan tanaman tersebut menjadi tempat hidup awal dari P. palmivora untuk melakukan infasi ke dalam pucuk tanaman maupun pada buah. Aktivitas manusia, serangga maupun hewan vertebrata dapat juga menjadi pembawa patogen P. palmivora dari tanah ke atas tanaman. A.3 Agens Pengendali Hayati (APH) Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) dalam Supriadi (2006) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum dalam keadaan aktif maupun dorman atau aktivitas patogen sebagai parasit oleh satu atau lebih 9 organisme yang berlangsung secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau agens antagonis dengan introduksi secara massal satu atau lebih organisme antagonis (Susanna, 2000). Agens pengendalian hayati potensial meliputi : 1) mikroorganisme antagonis; 2) metabolit toksik yang merupakan metabolit-metabolit sekunder tanaman; dan 3) manipulasi tanaman inang (Susanna 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa mikroorganisme antagonis ini dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi dengan patogen-patogen terhadap makanan atau tempat, menginduksi proses ketahanan dalam inang serta langsung berinteraksi dengan patogen. Banyak mikroorganisme non patogenik yang menghasilkan substansi antifungal yang dapat menekan/mengahambat cendawan parasit. Efek antagonistik antar cendawan sangat penting. Umumnya aktifitas organisme yang satu mempengaruhi organisme yang lainnya, dimana terjadinya persaingan terhadap tempat, udara, air dan makanan. Banyak saprofit diketahui memproduksi substansi beracun yang membatasi pertumbuhan parasit (Susanna, 2000). Berbagai spesies mikroorganisme telah berhasil ditemukan dan dievaluasi keefektifannya sebagai agens pengendali hayati tanaman. Beberapa APH yang telah diteliti antara lain adalah sebagai berikut. Bacillus spp. Bacillus spp. ialah kelompok bakteri yang umum ditemukan diberbagai lingkungan ekologi baik di tanah, air maupun udara. Anggota genus ini memiliki kelebihan, karena bakteri membentuk spora yang mudah disimpan, mempunyai daya tahan hidup lama, dan relatif mudah diinokulasi ke dalam tanah (Putra, 2011). Koloni bakteri pada medium agar berbentuk bulat, tepi teratur, permukaan tidak mengkilap, menjadi tebal dan keruh (opaque), kadang-kadang mengkerut dan berwarna krem atau kecoklatan (Jarnanto, 2010). Bakteri ini merupakan bakteri Gram Positif yang dapat membentuk endospora yang berbentuk oval di bagian sentral sel. Spora berfungsi untuk bertahan hidup antara lain pada suhu dan kondisi lingkungan yang ekstrim. 10 Pada umumnya Bacillus spp. dapat digunakan sebagai agens biokontrol terhadap patogen tanaman walaupun diketahui terdapat strain yang dapat membusukkan biji kedelai. Biji kedelai yang diinokulasikan B. subtilis strain virulen (isolat VS) pada suhu 30-35° C dan kelembaban udara relatif 98% akan menunjukkan busuk berlendir 5 hari setelah inokulasi (Desmawati, 2006). Bakteri Bacillus spp. yang bersifat antagonis mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme lain karena memproduksi antibiotik berupa lipopeptida yang disebut basitrasin dengan mekanisme merusak membran sel bakteri (Desmawati, 2006). Jenis metabolit sekunder lain yang diproduksi Bacillus spp. adalah biosurfaktan yang disebut surfaktin atau subtilisin. Surfaktin merupakan lipopeptida siklik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan air dan juga bersifat antibiotik (Dirmawati, 2004)). Bacillus spp., memiliki aktivitas antifungal yang tinggi dan berperan dalam menekan beberapa fungi yang bersifat patogen, seperti Rhizoctonia, Fusarium (Zhang et al. 2009 dalam Putra 2011) dan Aspergillus (Muis, 2006). Selain memiliki kemampuan dalam menekan perkembangan fitopatogen, Bacillus spp. pun diketahui dalam mendukung pertumbuhan tanaman. McQuilken et al. (1998) dalam Putra (2011) mengemukakan bahwa aplikasi Bacillus spp. pada benih kedelai mampu mengurangi kerusakan bibit karena kerusakan saat imbibisi. Selain itu, perlakuan benih dengan Bacillus spp. untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan membantu mengurangi patogen terbawa benih. Pseudomonas spp. Spesies Pseudomonas dari golongan fluorescens merupakan mikroorganisme antagonis bagi patogen tular tanah yang mampu menekan penyakit tanaman. Kelompok P. fluorescens merupakan komponen penting rhizosfer pada berbagai tanaman. Kelompok bakteri ini dapat berfungsi sebagai antagonis pada beberapa patogen di dalam rhizosfer tanaman, yang efektif menekan patogen akar seperti Fusarium sp. dan beberapa patogen lain yang menghasilkan tabung kecambah (Susanna, 2000). 11 P. fluorescens mempunyai kemampuan untuk menghasilkan pigmen warna kuning sampai hijau atau kadang-kadang biru pada media king’s B. Pigmen berwarna hijau merupakan salah satu kriteria yang dipakai oleh para ahli mikrobiologi dalam memilih Pseudomonas yang bermanfaat, karena pigmen tersebut biasanya dikeluarkan oleh spesies-spesies Pseudomonas yang menghasilkan antibiotik pyoverdin, pyrrolnitrin dan pyuloteorin (Susanna, 2000). P. fluorescens mampu mengklon dan beradaptasi dengan baik pada akar tanaman serta menggunakan eksudat akar untuk mensintesis metabolit yang mampu mnghambat pertumbuhan dan aktifitas pathogen atau memicu ketahanan sistemik dari tanaman terhadap patogen (Susanna, 2000). P. fluorescens dapat menekan perkembagan penyakit tanaman dengan beberapa cara yaitu: kompetisi terhadap unsur besi (Fe) dan unsur karbon, memproduksi antibiotik dan HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman lebih resisten serta mengkolonisasi akar dan menstimulasi pertumbuhan tanaman (Susanna, 2000). Fusarium oxysporum Non Patogenik (FoNP) F. oxysporum non patogenik (FoNP) adalah spesies yang sama dengan patogen penyebab penyakit Layu Fusarium tetapi strainnya berbeda dan bersifat non patogenik pada tanaman yang diketahui sebagai inang F. oxysporum. FoNP telah dilaporkan dapat menginduksi resistensi non spesifik pada beberapa tanaman. FoNP sering ditemukan dalam jaringan pembuluh pada batang dan akar tanaman yang sehat serta tanah-tanah alami (Susanna, 2000). F. oxysporum non patogenik (FoNP) pernah dicoba pada beberapa tanaman dan memberikan hasil yang positif. Susanna (2000) telah membuktikan bahwa FoNP dapat berkembang dalam rhizosfer dan jaringan tanaman serta dapat bertahan hidup dalam berbagai substrat. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa masuknya FoNP ini ke dalam jaringan tanaman dapat menyebabkan terjadinya induksi resistensi sehingga tanaman akan tahan terhadap infeksi berikutnya, hal ini sering disebut sebagai proteksi silang. 12 Trichoderma spp. Koloni Trichoderma dalam biakan dapat tumbuh dengan cepat, berwarna putih sampai hijau. Mekanisme pengendalian Trichoderma sp. bersifat spesifik target, mengkoloni rhizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari serangan patogen, mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman, sehingga Trichoderma menjadi unggul sebagai agen pengendali hayati (Purwantisari & Hastuti, 2009). Trichoderma terdapat dimana-mana, mudah diisolasi dan dibiakan, pertumbuhannya sangat cepat pada banyak substrat, mempengaruhi bermacammacam patogen, jarang bersifat patogen pada tanaman tingkat tinggi, berperan sebagai mikoparasit, bersaing baik terhadap makanan dan tempat, memproduksi antibiotik dan memiliki kemampuan sistem enzim yang menyerang bermacammacam patogen tanaman (Susanna, 2000) Diketahui bahwa beberapa spesies Trichoderma mampu menghasilkan metabolit gliotoksin dan viridin sebagai antibiotik dan beberapa spesies juga diketahui dapat mengeluarkan enzim ß1,3-glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis pada hifa inangnya (Chet, 1987 dalam Ardian, 2009), namun proses yang terpenting yaitu kemampuan mikoparasit dan persaingannya yang kuat dengan patogen. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, Trichoderma sp memiliki peran antagonisme terhdap beberapa patogen tular tanah yang berperan sebagai mikoparasit terhadap beberapa tanaman inang (Cook & Baker 1989 dalam Ardian 2009). Mikoparasitisme dari Trichoderma sp. merupakan suatu proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi awal dari Trichoderma sp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah jamur inang yang diserangnya, Ini menunjukkan adanya fenomena respon kemotropik pada Trichoderma sp. karena adanya rangsangan dari hifa inang ataupun senyawa kimia yang dikeluarkan oleh jamur inang. Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit ini 13 juga terkadang mempenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding sel inang (Chet, 1987 dalam Ardian, 2009). Gliocladium spp. Gliocladium spp., ini hampir terdapat pada seluruh jenis tanah dan habitat alami lainya, khususnya yang mengandung atau tersusun dari bahan-bahan organik. Cendawan ini mengkoloni pada batang atau ranting tanaman yang tertimbun dalam tanah, serasah daun, akar, buah, umbi, dan pada rhizosfer tanaman liar maupun tanaman budidaya (Susanna, 2000). Streptomyces spp. Salah satu anggota Aktinomiset yang memiliki kemampuan sebagai agens hayati adalah Streptomyces spp. Bakteri ini merupakan mikroorganisme yang banyak menghasilkan substansi antibiotik, salah satunya aktif menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada tumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Streptomyces spp. berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan cendawan, salah satunya adalah Fusarium spp., (Murdiyah, 2008). Dalam bidang fitopatologi, khususnya dalam hal pengendalian patogen pada tanaman, Streptomyces diketahui dapat mengendalikan beberapa patogen penting, seperti Rhizoctonia solani dan Phytium ultimum. Hasil penelitian Charoensopharat et al. (2007) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa Streptomyces sp. menunjukkan aktivitas antibakteri yang signifikan terhadap perkembangan bakteri Gram Negatif, seperti Xanthomonas spp. Streptomyces spp. telah menunjukkan adanya produksi senyawa toksik antifungal, rhizostreptin, dalam kapasitas yang tinggi, baik pada media biakan maupun pada perakaran tanaman. Bakteri ini pula menunjukkan produksi eksoenzim pendegradasi dinding sel cendawan seperti kitinase. Kajian mengenai kemampuan produksi aktinomiset akan senyawa metabolit lainnya, kemampuan metabolit tersebut menekan pertumbuhan patogen, hingga efikasi dan persistensinya di perakaran akan sangat penting untuk menghasilkan senyawa 14 yang dapat diaplikasikan sebagai antimikroba untuk berbagai agroekosistem (Putra, 2011). A.4 Mekanisme Agens Biokontrol Dalam Pengendalian Hayati Antagonisme dapat diartikan sebagai hubungan antara mikroorganisme dengan organisme lain yang saling menekan pertumbuhannya. Bentuk interaksi ini merupakan suatu hubungan asosial. Biasanya spesies yang satu menghasilkan suatu senyawa kimia yang dapat meracuni spesies lain yang menyebabkan pertumbuhan spesies lain terganggu. Senyawa yang dihasilkan dapat berupa sekret atau metabolit sekunder. Interaksi antagonisme disebut juga antibiosis. Bentuk lain dari interaksi antagonisme di alam dapat berupa kompetisi, parasitisme dan predasi. Bentuk interaksi ini biasanya muncul karena ada beberapa jenis mikroorganisme yang menempati ruang dan waktu yang sama, sehingga mereka harus memperebutkan nutrisi untuk tetap tumbuh dan berkembangbiak. Dari interaksi ini memberikan efek beberapa mikroorganisme tumbuh dengan optimal sementara mikroorganisme lain tertekan pertumbuhannya (Anonim, 2011a). Mekanisme umum biokontrol dapat dibagi menjadi efek langsung dan tidak langsung agen biokontrol pada patogen tanaman. Efek langsung termasuk kompetisi untuk nutrisi atau tempat, produksi antibiotik, dan litik enzim, inaktivasi enzim patogen dan parasitisme. Yang termasuk efek tidak langsung yaitu semua aspek morfologi dan perubahan biokimia pada tanaman inang, seperti toleran terhadap tekanan hingga pemanjangan akar dan perkembangan tanaman, penyerapan nutrisi anorganik dan penyebab resisten (Viterbo et al. 2002 dalam Simbolon, 2008). Menurut Retnowati et al. (2011) secara umum ada empat macam cara kerja/mekanisme Agens Antagonis, sehingga dapat menghambat perkembangan penyakit tanaman di lapang. Satu jenis agens antagonis kemungkinan mempunyai satu atau lebih mekanisme, keempat mekanisme tersebut adalah: 15 1. Lysis : Miseliun agens antagonis mampu menghancurkan (memotong motong) miselium dari penyakit, sehingga mengakibatkan kematian penyakit tersebut. 2. Antibiosis : Penyakit tidak mampu menembus daerah disekitar agens antagonis. Akibatnya terdapat daerah kosong antara agens antagonis dan penyakit. 3. Parasitisme : Miselium dari agens antagonis mampu melilit miselium dari penyakit yang berperan memarasiti miselium patogen, mengakibatkan miselium penyakit menjadi hampa (kosong), dan patogen tersebut mati. 4. Blokade zona tumbuh : Agens antagonis mampu tumbuh lebih cepat dari penyakit, sehingga ruang lingkupnya hampir dipenuhi oleh perkembangan agens antagonis dan terdapat seperti pembatas antara agens antagonis dengan penyakit. Parasitisme dan produksi enzim ekstraselular penting pada mekanisme biokontrol untuk pengendalian penyakit tanaman. Kemampuan bakteri khususnya aktinomycetes yang bersifat parasit dan mampu menurunkan spora jamur patogen tanaman memperlihatkan awal yang baik. Kitin tidak hanya berperan penting pada mekanisme pertahanan tanaman, tetapi juga pada proses mikoparasit jamur (Simbolon, 2008). Mekanisme penghambatan agen biokontrol pada bakteri tidak melalui hiperparasitik, tetapi melalui antibiosis dengan mengeluarkan antibiotik. Hifa patogen yang mengalami kontak langsung dengan antibiotik akan mengalami kerusakan dan membran hifa menjadi pecah sehingga cairan sel keluar (Susanto et al. 2002 dalam Simbolon, 2008). Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikrobial dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penghambatan terhadap sintesis penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim dan destruksi atau penghambatan terhadap sintesis protein (misalnya, penghambatan translasi dan transkripsi material genetik) dan penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma yang berperan sebagai barier permeabilitas selektif, membawa fungsi transfor 16 aktif, dan kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas membran sitoplasma dirusak maka makromolekul dan ion keluar dari sel, kemudian sel akan rusak (Brooks et al. 2005 dalam Simbolon, 2008). Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati selain dengan antagonisme juga bisa terjadi melalui ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas. Induksi ketahanan/ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam kloroetil fosfonat). Ketahanan ini merupakan perlindungan tanaman bukan untuk mengeliminasi patogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanisme pertahanan tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagai perlindungan secara biologi pada tanaman dimana tanaman adalah target metode ini bukan patogennya. Induksi resistensi atau imunisasi atau resistensi buatan adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi resistensi menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang (Lakani, 2008). Pada prinsipnya ketahanan tanaman sudah terbentuk sebelum patogen menyerang tanaman (pre exiting) atau ketahanan tanaman terinduksi oleh suatu agens (induced resistance). Ketahanan pre exiting akan patah ketika terinfeksi oleh patogen yang bersifat virulen, karena patogen mampu mengatasi reaksi ketahanan tanaman. Namun, bila mekanisme pertahanan dipicu oleh agens stimulan sebelum terjadi infeksi oleh patogen, maka keparahan serangan penyakit akan menurun (Utomo dan Arya, 2010). Berdasarkan ekspresi gejala pada bagian tanaman dapat dibedakan 2 bentuk ketahanan terinduksi, yaitu induksi ketahanan lokal berupa berkurangnya gejala penyakit terbatas pada jaringan yang diinduksi. Sedangkan induksi ketahanan sistemik merupakan bentuk ketahanan yang ekspresinya tampak merata pada seluruh bagian tanaman (Utomo dan Arya, 2010). 17 A.5 Eksplorasi Agens Hayati Eksplorasi merupakan kegiatan mencari sumberdaya alam agens hayati yang tersebar di alam. Pada prinsipnya dapat dilakukan untuk berbagai agens hayati antara lain predator, parasitoid, patogen serangga maupun agens antagonis. Penentuan suatu agens hayati yang berpotensi dalam mengendalikan patogen tanaman tidak terjadi dengan sendirinya. Agens hayati yang ada dan sudah terbukti mampu mengendalikan patogen tanaman diperoleh dengan melalui proses yang panjang. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa bakteri rizosfer dapat menekan pertumbuhan patogen tumbuhan baik jamur maupun bakteri. Disamping efek langsung penekanan terhadap patogen, bakteri dalam kelompok ini ada juga yang menghasilkan zat tumbuh atau mengimbas tanaman sehingga tahan terhadap patogen tertentu (Hidayah, 2011). Pengendalian hayati bersifat spesifik, yaitu mikroorganisme yang digunakan sebagai antagonis disuatu daerah tertentu hanya akan memberikan hasil yang baik di daerah tertentu tersebut dan hanya pada jenis tanaman yang sama tempat mikroorganisme tersebut diisolasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi di daerah dan tanaman yang berbeda sehingga nantinya dapat diaplikasikan untuk mengendalikan patogen pada tanaman tersebut (Hidayah, 2011). Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan sampel di lapang 2. Isolasi sampel di laboratorium 3. Identifikasi dan uji kemampuan isolat yang diperoleh A.6 Medium Pertumbuhan Mikroorganisme Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran zat-zat makanan (nutrisi) yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekulmolekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel. Media harus mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk metabolisme sel yaitu berupa unsur makro seperti C, H, O, N, P, unsur mikro seperti Fe, Mg dan unsur 18 pelikan/trace element. Sumber karbon dan energi yang dapat diperoleh berupa senyawa organik atau anorganik sesuai dengan sifat mikrobanya. Jasad heterotrof memerlukan sumber karbon organik antara lain dari karbohidrat, lemak, protein dan asam organik. Sumber nitrogen mencakup asam amino, protein atau senyawa bernitrogen lain. Sejumlah mikroba dapat menggunakan sumber N anorganik seperti urea dan vitamin-vitamin (Anonim, 2008) Susunan dan kadar nutrisi suatu medium untuk pertumbuhan mikroba harus seimbang agar mikroba dapat tumbuh optimal. Hal ini perlu dikemukakan mengingat banyak senyawa yang menjadi zat penghambat atau racun bagi mikroba jika kadarnya terlalu tinggi (misalnya garam dari asam lemak, gula, dan sebagainya). Banyak alga yang sangat peka terhadap fosfat anorganik. Disamping itu dalam medium yang terlalu pekat aktivitas metabolisme dan pertumbuhan mikroba dapat berubah. Perubahan faktor lingkungan menyebabkan aktivitas fisiologi mikroba dapat terganggu, bahkan mikroba dapat mati. Medium memerlukan kemasaman (pH) tertentu tergantung pada jenis jasad yang ditumbuhkan. Aktivitas metabolisme mikroba dapat mengubah pH, sehingga untuk mempertahankan pH medium ditambahkan bahan buffer (Sumarsih, 2008). Penggunaan media bukan hanya untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, tetapi juga untuk tujuan-tujuan lain, misalnya untuk isolasi, seleksi, diferensiasi dsb. Menurut Hamdiyati (2012) Berdasarkan sifatnya, media dapat dibedakan menjadi : 1) Media umum, adalah media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan satu atau lebih kelompok mikroba secara umum, seperti NA dan PDA. 2) Media pengaya, kalau media tersebut digunakan untuk memberi kesempatan terhadap suatu jenis/kelompok mikroba untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat dari yang lainnya yang bersama-sama dalam suatu sampel. Misalnya pada media kaldu selenit/kaldu tetrationat dalam waktu 18-22 jam mikroba lain akan terhambat/terhenti pertumbuhannya sedangkan Salmonellla akan tetap tumbuh. 3) Media selektif, adalah media yang hanya dapat ditumbuhi oleh satu atau lebih mikroorganisme tertentu, tetapi akan menghambat/mematikan jenis lainnya. 19 Misalnya media SS agar untuk Salmonella dan Shigella, media EMB agar untuk Coliform. 4) Media diferensial, yaitu media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroba tertentu serta penentuan sifat-sifatnya. Misalnya media EMB agar untuk Coliform, media agar darah untuk menumbuhkan bakteri hemolitik. 5) Media penguji, yaitu media yang digunakan untuk pengujian senyawa atau benda-benda tertentu dengan bantuan mikroba. B. Kerangka Alur Penelitian Ekstraksi Eksplorasi Agens Biokontrol Isolasi Calon Agens Biokontrol Agens VS 3 Phytophthora Uji Antagonis Agens Biokontrol Uji Patogenesitas Agens VS Agens Uji efektivitas agens Biokontrol di lapang Gambar 4. Bagan Alir Penelitian Agens Biokontrol 20 C. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dan kajian teoritis di atas maka dapat diambil dugaan sementara bahwa : 1. Terdapat agens biokontrol dari rhizosfer kelapa yang mampu menghambat perkembangan P. palmivora penyebab penyakit GBK. 2. Media tumbuh berpengaruh pada kemampuan daya hambat agens biokontrol terhadap P. palmivora . 3. Agens biokontrol efektif dalam menghambat patogen P. palmivora di lapang.