Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Peranan
Pengertian Peranann
Menurut Komaruddin (1994:768), peranan (role) dapat didefinisikan
sebagai berikut:
“1. Bagian dari tugas utama yang harus dilakukan seseorang dalam
manajemen.
3. Pola yang diharapkan dapat menyertai suatu status.
4. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata.
5. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi
karakteristik yang ada padanya.
6. Fungsi setiap variabel dalam hubungan sebab-akibat.”
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa peranan memiliki
arti fungsi dan pola perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam kelompok atau
pranata, yang menjadi karakteristiknya dalam manajemen dan ditentukan
berdasarkan status yang ada padanya. Jadi, yang dimaksud dengan peranan dalam
skripsi ini adalah fungsi audit operasional berperan dalam meningkatkan kinerja
karyawan.
2.2
2.2.1
Audit
Pengertian Audit
Menurut Mulyadi dan Kanaka (1998:7) pengertian auditing adalah
sebagai berikut :
“Auditing merupakan suatu proses sistematik, yaitu berupa suatu
rangkaian langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan
terorganisasi. Auditing dilaksanakan dengan suatu urutan langkah
yang direncanakan, terorganisasi dan terstruktur”.
Sedangkan pengertian Auditing menurut Arens at al (2003:11) :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about
information to determine and report on the degree of correspondence
between the information and established criteria. Auditing should be
done by competent, independent person”.
Pernyataan di atas mendefinisikan audit sebagai suatu proses pengumpulan
data pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai
suatu satuan usaha yang dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen
untuk dapat menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara tingkat
informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Auditing merupakan proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti
mengenai informasi kuantitatif kesatuan ekonomi tertentu.
2) Auditing bertujuan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara informasi
kuantitatif tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan melaporkan
kepada pihak yang membutuhkan.
3) Auditing harus dilaksanakan oleh orang yang kompeten dan independen.
2.2.2
Jenis-jenis Audit
Pemeriksaan (Auditing) menurut Arens at al (2003:13-14) dibagi menjadi
tiga jenis yaitu :
“1. Financial Statement Audits
2. Operational Audits
3. Compliance Audits”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Financial Statements Audits (Audit atas Laporan Keuangan)
Audit atas laporan keuangan bertujuan menentukan apakah laporan keuangan
secara keseluruhannya merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi
telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Umumnya, kriteria itu
adalah Prinsip Akuntansi yang berlaku Umum.
2. Operational Audits (Audit Operasional)
Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur
dan
metode
operasi
suatu
organisasi
untuk
menilai
efisiensi
dan
efektivitasnya. Umumnya, pada saat selesainya audit operasioal, auditor akan
memberikan sejumlah saran kepada manajemen untuk memperbaiki jalannya
operasi perusahaan. Audit operasional mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dari pada audit keuangan. Dalam audit operasional, tinjauan yang
dilakukan tidak terbatas pada masalah-masalah akuntansi, tetapi meliputi
evaluasi terhadap struktur organisasi, pemanfaatan komputer, metode
produksi, pemasaran, dan bidang-bidang lain sesuai dengan keahlian auditor.
Pada praktiknya, audit opeerasional cenderung memberikan saran perbaikan
prestasi kerja dibanding melaporkan keberhasilan prestasi kerja yang
sekarang, dalam hal ini audit operasional sebagai konsultasi manajemen.
3. Compliance Audits (Audit atas Ketaatan)
Audit atas ketaatan bertujuan mempertimbangkan apakah audit ( klien) telah
mengikuti prosedur atau aturan tertentu yang telah ditetapkan pihak yang
memiliki otoritas yang lebih tinggi. Hasil audit ketaatan biasanya tidak
dilaporkan kepada pihak luar, tetapi kepada pihak tertentu dalam organisasi.
Pimpinan organisasi adalah pihak yang paling berkepentingan atas
dipatuhinya prosedur dan aturan yang telah ditetapkan.
2.3
2.3.1
Audit Operasional
Pengertian Audit Operasional
Audit Operasional sering disebut juga sebagai audit manajemen, audit
prestasi (performance), audit sistem, audit efisiensi, dan sebagainya.
Arens at al (2003:13) mengemukakan pengertian audit operasional
sebagai berikut :
“An Operating Audit is review of any part an organizaton’s operating
procedures and methods for the purpose of evaluating efficiency and
effectiveness”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa audit operasional
adalah kegiatan memeriksa ulang prosedur, metode yang digunakan disetiap
bagian dalam organisasi untuk mencapai tujuan evaluasi efektif dan efisien.
Sedangkan definisi Audit Operasional menurut Abdul Halim (1995:6)
diungkapkan sebagai berikut :
“Audit operasional adalah penghimpunan oleh pengevaluasian bukti
mengenai kegiatan operasional organisasi dalam hubungannya
dengan tujuan pencapaian efektivitas, efisiensi maupun kehematan
(ekonomi) operasional”.
Kemudian definisi lain mengenai audit operasional menurut Rob Reider
(2002:25) adalah:
“Operational audit is a review of operations performed from a
management view point to evaluate the company, efficiency, and
effectiveness of any and all operations, limited only by management’s
desire”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa audit operasional
adalah kegiatan penilaian terhadap operasi perusahaan yang dilihat dari sudut
pandang manajemen untuk mengevaluasi secara ekonomi, efisien dan efektivitas
untuk semua kegiatan operasional, sesuai dengan kebutuhan pihak manajemenen.
2.3.2
Efektivitas dan Efisiensi
Menurut Arens et al (2003:738), pengertian efektivitas dan efisiensi
adalah sebagai berikut:
“Effectiveness refers to the accomplishment of objectives, where a
efficiency refer to the resources used to achieve those objective”.
Efficiency concerns whether those parts are produced at minimum cost”.
Pengertian efektivitas menurut Supriyono (1990:44), adalah :
“Organisasi dinyatakan efektif jika keluarannya memberikan
sumbangan yang besar terhadap pencapaian tujuan organisasi”.
Sedangkan, kegiatan suatu organisasi atau unit organisasi dikatakan efisien
jika (Supriyono, 1990:44) :
“1. Dalam melaksanakan kegiatannya telah dikonsumsi sumbersumber atau biaya yang lebih kecil untuk menghasilkan
keluaran dalam jumlah tertentu atau;
2. Dalam melaksanakan kegiatannya telah dikonsumsi sumbersumber atau biaya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan
keluaran dalam jumlah yang lebih besar.”
Agar suatu kegiatan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien,
kegiatan tersebut perlu direncanakan, dikoordinasikan, dan dikendalikan. Audit
operasional merupakan alat pengendalian yang penting untuk mengevaluasi
sumbangan setiap perangkat sistem perencanaan dan pengendalian manajemen
terhadap efisiensi dan efektivitas. Audit operasional dapat juga diterapkan secara
luas dalam pengendalian operasional, karena pengendalian operasional merupakan
proses yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi tugas-tugas
bawahannya agar dilaksanakan secara efektif dan efisien.
2.3.3
Karakteristik Audit Operasional
Menurut
Amin
Widjaja
Tunggal
(2001:12)
karakteristik
audit
operasional adalah sebagai berikut :
“ 1. Audit operasional adalah prosedur yang bersifat investigatif.
2. Mencakup semua aspek perusahaan, unit atau fungsi.
3. Yang diaudit adalah seluruh perusahaan, atau salah satu
unitnya (bagian penjualan, bagian perencanaan produksi dan
sebagainya), atau suatu fungsi, atau salah satu sub-klasifikasinya
(pengendaliaan persediaan, sistem pelaporan, pembinaan
pegawai dan sebagainya).
4. Penelitian dipusatkan pada prestasi atau keefektifan dari
perusahaan/unit/fungsi yang diaudit dalam menjalankan misi,
tanggung jawab, atau tugasnya.
5. Pengukuran terhadap keefektifan didasarkan pada bukti atau
data dan standar.
6. Tujuan utama audit operasional adalah memberikan informasi
kepada pimpinan tentang efektif-tidaknya perusahaan, suatu
unit atau suatu fungsi. Diagnosis tentang permasalahan dan
sebab-sebabnya, dan rekomendasi tentang langkah-langkah
korektifnya merupakan tujuan tambahan”.
2.3.4
Tujuan Audit Operasional
Menurut Amin Widjaja Tunggal (2001:12) tujuan audit operasional
adalah sebagai berikut :
“1. Objek dari audit operasional adalah mengungkapkan
kekurangan dan ketidakberesan dalam setiap unsur yang diuji
oleh auditor operasional dan untuk menunjukkan perbaikan apa
yang dimungkinkan untuk memperoleh hasil yang terbaik dari
operasi yang bersangkutan.
2. Untuk membantu manajemen mencapai administrasi operasi
yang paling efisien.
3. Untuk mengusulkan kepada manajemen cara-cara dan alat-alat
untuk mencapai tujuan apabila manajemen organisasi sendiri
kurang pengetahuan tentang pengelolaan yang efisien.
4. Audit operasional bertujuan untuk mencapai efisiensi dari
pengelolaan.
5.
6.
2.3.5
Untuk membantu manajemen, auditor operasional berhubungan
dengan setiap fase dari aktivitas usaha yang dapat merupakan
dasar pelayanan kepada manajemen.
Untuk membantu manajemen pada setiap tingkat dalam
pelaksanaan yang efektif dan efisien dari tujuan dan tanggungjawab mereka.”
Manfaat Audit Operasional
Manfaat audit operasional menurut Rob Reider (2002:34-38) adalah
sebagai berikut :
“1. Identifying problem areas, related causes, and alternatives for
improvement.
2. Locating opportunities for eliminating waste and inefficiency-that
is, cost reduction.
3. Locating opportunities to increase revenues-that is, income
improvement.
4. Identifying undefined organizational goals, objectives, policies, and
procedures.
5. Identifying criteria for measuring the achievement of organizatonal
goals and objectives.
6. Reccomending improvement in policies, procedures, and
organizational structure.
7. Providing checks on performance by individuals and by
organizational units.
8. Reviewing compliance with legal requirements and organizational
goals, objectives, policies, and procedures.
9. Testing for existance of unauthorized, fraudulent, or otherwise
irregular acts.
10. Assesing management information and control sistem.
11. Identifying possible trouble spots in future operations.
12. Providing an additional channel of communication between
operating levels and top management”.
13. Providing an independent, objective evaluation of operations”.
Manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi
daerah-daerah
permasalahan,
sebab
penyebab
yang
berhubungan, dan alternatif-alternatif untuk perbaikan masalah.
2. Menggunakan kesempatan-kesempatan untuk mengurangi pemborosan dan
ketidakefisienan, sehingga tingkat biaya menurun.
3. Menggunakan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan penghasilan.
4. Mengidentifikasi tujuan, kebijakan, sasaran, dan prosedur-prosedur organisasi
yang sebelumnya tidak jelas.
5. Mengidentifikasi
kriteria
yang
dapat
dipergunakan
untuk
mengukur
tercapainya tujuan dan sasaran organisasi.
6. Merekomendasikan perbaikan dalam kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur,
dan struktur organisasi.
7. Menyediakan hasil-hasil kinerja yang telah dikerjakan per individu dan per
kelompok.
8. Menetapkan apakah organisasi sudah mematuhi prosedur, peraturan,
kebijaksanaan, serta tujuan yang telah ditetapkan.
9. Menguji apakah ada kecurangan, sesuatu yang tidak sah atau tindakan yang
tidak wajar.
10. Menaksirkan informasi manajemen dan sistem pengendaliannya.
11. Mengidentifikasi kemungkinan adanya permasalahan yang terjadi dalam
operasi perusahaan di masa mendatang.
12. Menyediakan tambahan jalur komunikasi antara manajemen operasi dengan
manajemen tingkat atas.
13. Evaluasi yang independen dan objektif atas suatu kegiatan tertentu.
Seperti halnya bentuk pemeriksaan yang lain, dalam pemeriksaan
operasional juga diperlukan standar yang dapat digunakan oleh pemeriksa sebagai
tolok ukur kegiatannya, contoh: sasaran perusahaan, uraian tugas, dan berbagai
peraturan intern perusahaan. Laporan hasil pemeriksaan operasional pada
dasarnya mengikuti rekomendasi yang menjelaskan berbagai hal yang perlu
mendapat perbaikan atau tindak lanjut.
2.3.6
Program Audit Operasional
Program audit adalah rangkaian yang sistematis dari prosedur-prosedur
audit untuk mencapai tujuan audit. Untuk dapat melaksanakan suatu audit dengan
hasil yang lengkap, terperinci, dan terarah, dengan demikian program audit
merupakan rencana langkah kerja yang harus dilakukan selama audit yang
berdasarkan atas tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, serta informasi yang
ada tentang objek yang diperiksa.
Menurut Brink dan Witt (1999:10-4) program audit adalah:
“The audit program is procedure, usually published internally by
internal audit, describing the audit steps and tests to be performed by the
auditor when actually doing the field work”.
Sedangkan program audit secara umum harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Tujuan audit harus dinyatakan secara jelas dan memungkinkan untuk dicapai.
2. Program audit harus disusun sesuai dengan penugasan yang bersangkutan.
3. Setiap langkah kerja harus merinci pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan.
4. Program audit harus menggambarkan urutan prioritas langkah-langkah kerja
yang dilaksanakan dan bersifat fleksibel, tetapi setiap perubahan yang ada
harus diketahui oleh atasan auditor.
5. Program audit harus berisi informasi yang perlu untuk melaksanakan audit dan
evaluasi secara tepat.
Adapun tahap pengukuran program kinerja menurut IIA (2001:253)
sebagai berikut :
“ 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Affirm the program mission and purpose.
Identify intended users and uses for the measures.
Identify what performance aspects to measure.
Develop the measures.
Choose criteria for judging the adequacy of performance.
Provide explanatory information.
Display the measured results graphically.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tentukan Misi dan Tujuan Program Kinerja (Affirm the program mission and
purpose)
Dalam tahap ini penting untuk menentukan kebutuhan yang diharapkan untuk
mencapai target populasi kinerja karyawan karena merupakan salah satu
ukuran penentu hasil dalam mencapai misi dan tujuan kinerja karyawan.
2. Identifikasi Pemakai dan Manfaat yang Diharapkan (Identify intended users
and uses for the measures)
Dalam tahap ini penting karena para pemakai berada daalm posisi yang baik
untuk mengidentifikasi bagaimana untuk mengukur kinerja. Pemakai kinerja
tersebut misalnya top executive, agency executive, manager, public, auditor
dan lain-lain. Adapun manfaat dari kinerja diantaranya pertanggungjawaban,
pengendalian manajemen, pengendalian diri, anggaran dan biaya, pengambil
keputusan, dan untuk peningkatan kinerja.
3. Identifikasi Aspek Pengukuran Kinerja (Identify what performance aspects to
measure)
Hal penting dalam tahap ini yaitu bagaimana memutuskan pengukuran kinerja
dan hal ini biasanya berhubungan dengan misi, manfaat dan objektifitas
program. Dalam hal ini diharapkan dapat menentukan kemungkinankemungkinan yang bisa dijadikan pengukuran dalam aspek kinerja karyawan.
4. Pencapaian Pengukuran Pengembangan Kinerja (Develop the measures)
Pencapaian pengukuran pengembangan kinerja diikuti oleh : (1) seleksi
terhadap aspek kinerja yang akan diukur, pengukuran ke depan dan unit yang
akan diukur contohnya pembayaran, (2) identifikasi sumber dan data yang
dibutuhkan, (3) pengumpulan data, (4) persiapan pengukuran.
5. Tentukan Kriteria Untuk Pencapaian Tujuan Kinerja (Choose criteria for
judging the adequacy of performance)
Untuk mencapai tujuan kinerja diantaranya diperlukan :
a. Data yang up to date / yang terbaru.
b. Manfaat dan target dari kinerja.
c. Norma dan standar profesional kinerja.
d. Perbandingan program kinerja.
e. Kesatuan dari pihak eksternal.
6. Penyediaan Informasi yang dibutuhkan (Provide explanatory information)
Penyediaan informasi yang dibutuhkan tersebut diikuti oleh :
a. Informasi dasar mengenai tujuan program, metode operasi dan target yang
dicapai seperti kebutuhan, ukuran dan lokasi untuk di masa lampau saat ini
dan dimasa yang akan datang.
b. Penjelasan terhadap aspek-aspek kinerja untuk pengukuran secara aktual.
Hal ini diperlukan untuk mengetahui hubungan timbal balik diantara
pengukuran, yang merupakan salah satu aspek kinerja.
c. Penjelasan terhadap alasan untuk mengubah kinerja. Hal ini diperlukan
ketika saat pelaporan secara indikator atau sebagai standar kinerja.
Biasanya sering digunakan untuk mengetahui alasan dari manajemen
untuk mengubah suatu perencanaan.
d. Pernyataan mengenai baik buruknyaa kinerja. Hal ini diperlukan auditor
sebagai efek dan temuannya.
7. Hasil Pengukuran (Display the measured results graphically)
Hasil pengukuran diperlukan bagi manajemen dan auditor dalam hal ini
diharapkan tidak adanya penipuan yang merugikan semua pihak dan
diharapkan juga dapat dipertanggungjawabkan.
2.3.7
Ruang Lingkup Audit Operasional
Ruang lingkup audit operasional lebih luas dari audit keuangan. Perbedaan
pokok antara audit operasional adalah terletak pada ruang lingkup penugasannya.
Audit keuangan bertujuan untuk menentukan kewajaran Laporan Keuangan dan
menekankan terselenggaranya pengendalian perusahaan. Audit operasional
mencakup tinjauan atas tujuan perusahaan, kebijakan dan lingkungan perusahaan,
personalia dan kadang-kadang mencakup fasilitas fisik.
Secara singkat ruang lingkup audit operasional meliputi :
1. Proses menentukan dan mengidentifikasi tujuan dan kriteria kegiatan.
2. Menetapkan berbagai fakta dan kondisi yang berhubungan.
3. Mengidentifikasi berbagai daerah-daerah permasalahan atau kesempatan guna
meningkatkan efisiensi dan efektivitas
4. Menyajikan berbagai temuan dan rekomendasi kepada manajemen.
Berikut ini adalah beberapa ruang lingkup audit operasional menurut
Rob Reider (2002:25):
“1. An extension of the audit function into all operations of a business.
2. The identification of apportunities for greater efficiency and
economy, or to improve effectiveness in carrying out operational
procedures.
3. Review technique that involves evaluating the efficiency and
economy with which resources are managed and consumed.
4. Review of operations from a management and viewpoint.
5. Combination of economy and efficiency and effectiveness, or
program results evaluation”.
Beberapa ruang lingkup menurut Rob Reider tersebut di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Perluasan fungsi audit terhadap semua operasi bisnis.
2. Identifikasi kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki keefektifan dalam
menjalankan prosedur operasional.
3. Tinjauan teknik yang meliputi pengevaluasian sumber daya yang efisiensi dan
ekonomis yang mana sudah terbagi dan dikonsumsi.
4. Tinjauan terhadap operasi dari sudut pandang manajemen.
5. Kombinasi dari keekonomisan, keefektifan, dan keefisienan, atau program
yang menghasilkan evaluasi.
2.3.8 Jenis-jenis Audit Operasional
Ada tiga kategori Pemeriksaan (audit) Operasional menurut Arens et al
(2003:740) yaitu :
“1. Functional audit.
2. Organizational audit.
3. Special Assignment”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Functional Audit (Pemeriksaan Fungsional)
Pemeriksaan Fungsional adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap satu
atau lebih fungsi dari suatu organisasi. Adapun pengertian dari fungsi adalah
penggolongan aktivitas suatu
bisnis, seperti: fungsi personalia, fungsi
pemasaran, fungsi produksi, fungsi keuangan dan lain-lain. Pemeriksaan
fungsional ini mempunyai keuntungan karena adanya spesialisasi oleh auditor
sehingga auditor dapat mengembangkan keahliannya di bidang tertentu.
Sedangkan kesulitan yang mungkin timbul adalah dalam mengevaluasi fungsifungsi yang saling berhubungan.
2. Organizational Audit (Pemeriksaan Organisasi)
Pemeriksaan
organisasi
adalah
jenis
pemeriksaan
operasional
yang
berhubungan dengan seluruh unit yang ada dalam suatu organisasi, seperti
departemen dan cabang. Penekanan pada pemeriksaan ini adalah bagaimana
tingkat efisiensi dan efektivitas tiap-tiap fungsi dan perlu diperhatikan pula
rencana organisasi dan metode dalam mengkoordinasi aktivitas.
3. Special Assignment (Penugasan Khusus)
Penugasan
khusus
atau
special
assignment
merupakan
pemeriksaan
operasional yang dilakukan atas dasar permintaan dari pihak manajemen untuk
tujuan yang khusus, seperti : penyelidikan kemungkinan terjadinya
kecurangan, memberikan rekomendasi untuk mengurangi biaya pemasaran.
2.3.9
Keterbatasan Audit Operasional
Meskipun pemeriksaan operasional telah dirancang dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, tetapi tetap saja memiliki keterbatasan yang tidak dapat
memecahkan semua masalah yang ada. Nugroho Widjayanto (1985:23-24)
menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang membatasi
penugasan pemeriksaan operasional, yaitu :
“1. Waktu.
2. Keahlian pemeriksa.
3. Biaya”.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Waktu
Waktu adalah faktor yang sangat membatasi karena pemeriksa harus
memberikan informasi kepada manajemen dengan segera untuk mmecahkan
masalah yang dihadapi. Oleh karena itu pemeriksaan operasional harus
dilakukan secara teratur untuk menjamin permasalahan yang penting tidak
menjadi kronis dalam perusahaan.
2. Keahlian Pemeriksa
Keterbatasan pengetahuan pemeriksa merupakan hal yang wajar. Tidaklah
mungkin bagi seseorang untuk menguasai berbagai disiplin ilmu. Pemeriksa
operasional hanya lebih ahli dalam bidang pemeriksaan daripada dalam bidang
bisnis kliennya. Oleh karena itu mungkin saja timbul masalah-masalah yang
tidak teridentifikasi dalam satu kegiatan pemeriksaannya.
3. Biaya
Biaya pemeriksaan yang dikeluarkan harus lebih kecil daripada jumlah biaya
yang berhasil dihemat dengan dilakukannya pemeriksaan operasional. Ini
berarti bahwa pemeriksa harus mengabaikan masalah kecil yang mungkin
dapat memakan biaya jika diselidiki lebih lanjut.
2.3.10 Kriteria dalam Audit Operasional
Dalam pemeriksaan operasional, kriteria yang dibutuhkan untuk dapat
mengevaluasi kondisi-kondisi yang ada adalah kriteria yang dapat diandalkan
(reliable), namun demikian tidak ada kriteria tertentu yang dapat dijadikan
pedoman seperti halnya Standar Akuntansi Keuangan yang merupakan pedoman
dalam pemeriksaan keuangan historis.
Salah satu pengendalian yang digunakan dalam menyusun kriteria yang
digunakan dalam pemeriksaan operasional adalah dengan menetapkan bahwa
tujuan pemeriksaan operasional adalah untuk menentukan apakah beberapa aspek
dalam perusahaan dapat dibuat lebih efektif atau efisien dan memberikan
rekomendasi perbaikan. Kriteria yang lebih spesifik seringkali diperlukan sebelum
pemeriksaan operasional dimulai.
Menurut Arens et al (2003:743), beberapa sumber data yang dapat
digunakan dalam mengembangkan kriteria yang spesifik adalah sebagai berikut:
“1. Historical Performance
2. Benchmarking
3. Engineered Standard
4. Discussion and Agreement”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Historical Performance (Kinerja Historis)
Suatu kriteria dapat ditentukan berdasarkan hasil kinerja pada periode yang
lalu. Kriteria ini digunakan untuk membandingkan apakah kinerja sekarang ini
lebih baik atau lebih buruk dari periode yang lalu. Kebaikan dari kriteria ini
adalah kemudahan pembuatannya; namun demikian, kriteria ini tidak dapat
menunjukkan seberapa baik atau seberapa buruk keadaan perusahaan yang
sebenarnya.
2. Benchmarking (Kinerja yang dapat diperbandingkan)
Ada banyak kesatuan yang hampir sama dalam keseluruhan organisasi atau di
luar organisasi, oleh karena itu data kinerja dari kesatuan-kesatuan yang dapat
dibandingkan
merupakan
sumber-sumber
yang
sangat
baik
untuk
mengembangkan kriteria untuk kesatuan internal, biasanya data sudah
tersedia. Untuk kesatuan yang berada di luar organisasi, data seringkali
tersedia pada kelompok industri dan lembaga pemerintah yang berwenang.
3. Engineered Standards (Standar Rekayasa)
Dalam
penugasan
pemeriksaan
operasional
dimungkinkan
untuk
mengembangkan kriteria dan berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Kriteria jelas
ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dalam pengembangannya.
Karena memerlukan banyak keahlian, namun sangat efektif dalam
memecahkan masalah operasional yang utama sehingga biaya yang
dikeluarkan seimbang dengan hasil yang diperoleh.
4. Discussion and Agreement (Diskusi dan Kesepakatan)
Kadangkala kriteria yang objektif sulit dan membutuhkan biaya yang besar
untuk memperolehnya, namun kriteria yang objektif dapat juga diperoleh
melalui diskusi dan kesepakatan, dimana pihak yang terlibat dalam proses ini
adalah pihak manajemen perusahaan yang diperiksa, pemeriksaan operasional
dan kesatuan atau organisasi yang akan menerima laporan atas temuan-temuan
yang didapat.
2.3.11 Tahap-tahap Audit Operasional
Dalam
melakukan
pemeriksaan
operasional,
seorang
pemeriksa
memerlukan suatu kerangka kerja sebagai pedoman kerjanya, mengingat kegiatan
dan struktur perusahaan dewasa ini semakin kompleks. Pemeriksa akan
mengalami banyak kesulitan dalam melaksanakan pekerjaanya tanpa kerangka
kerja yang baik. Oleh karena itu, suatu kerangka kerja harus diiringi dengan suatu
program pemeriksaan yang terperinci sehingga dapat menjadi masalah dasar kerja
pemeriksaan operasional yang baik.
Menurut Arens et al (2003:743), tahap-tahap pemeriksaan operasional
dibagi menjadi tiga tahap pelaksanaan, yaitu:
“1. Planning
2.
Evidence Accumulation and Evaluation
3.
Reporting and Follow up”.
Sedangkan menurut Rob Reider (2002:39), audit oparasional dibagi
menjadi lima tahap yaitu:
“1. Planning
2. Work Programs
3. Field Work
4. Development of Findings and Recomendations
5. Reporting”.
Kemudian menurut Nugroho Widjayanto (1985:30), audit operasional
diuraikan menjadi dua tahapan, yaitu :
“1. Tahap Pendahuluan
2. Tahap Pemeriksaan Mendalam”.
Dalam skripsi ini, penulis akan membahas tentang tahap-tahap
pemeriksaan operasional yang dikemukakan oleh Nugroho Widjayanto.
1. Tahap Pendahuluan
Pada tahap awal pemeriksaan, pemeriksa harus memperoleh informasi
yang bersifat umum mengenai semua aspek penting dari bagian atau fungsi yang
akan bermanfaat bagi pemeriksa dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan
pekerjaan pemeriksaan secara teratur.
Pada tahap pendahuluan ini, pemeriksa melakukan analisa secara cepat
untuk mengungkapkan bagian-bagian yang tampaknya memiliki permasalahan
yang lebih besar dan lebih mendesak dibandingkan bagian-bagian atau bidangbidang yang mempunyai masalah yang dianggap penting dan juga untuk
menentukan bagian atau bidang yang dilakukan oleh pemeriksa pada tahap
pendahuluan ini meliputi:
a. Pengamatan sekilas atas fasilitas fisik
Observasi fisik secara langsung ini dimaksudkan agar pemeriksa mendapat
kesempatan untuk meninjau seluruh kegiatan perusahaan untuk mendapatkan
gambaran mengenai operasi perusahaan. Dari hasil pengamatan sekilas atas
fasilitas fisik dapat juga digunakan sebagai pandangan pertama untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
b. Mencari data tertulis
Data tahap ini, pemeriksa harus mendapatkan dokumentasi yang dapat
dijadikan bahan perbandingan untuk menetapkan apakah perusahaan
menerapkan praktek manajemen yang konsisten. Informasi data tertulis ini
umumnya meliputi petunjuk kebijakan dan prosedur perusahaan, uraian tugas,
bagian organisasi, laporan-laporan intern, laporan keuangan, dan data tertulis
lainnya. Ada kemungkinan data-data di atas diperoleh selama pengamatan
sekilas atas fasilitas fisik atau pada saat wawancara dengan manajemen. Oleh
karena itu, kegiatan mencari data tertulis tidak dapat dikatakan tahap
tersendiri. Namun demikian, untuk memudahkan perencanaan, kegiatan ini
dapat dianggap sebagai suatu bagian yang terpisah.
c. Wawancara dengan pihak manajemen
Untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana pandangan karyawan
perusahaan terhadap suatu permasalahan tertentu, pemeriksa dapat mencari
para manajer, atau yang berwenang menjalankan perusahaan, untuk
mengidentifikasi permasalahan. Melalui wawancara dengan manajemen,
pemeriksa dapat memperoleh informasi mengenai permasalahan yang ada.
Wawancara ini bukanlah hal yang mudah, karena banyak tergantung pada
kemampuan pemeriksa untuk menjajaki situasi permasalahan dengan
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat kepada pihak manajemen.
d. Kegiatan analisis
Kegiatan analisis ini merupakan tahap terakhir pemeriksaan pendahuluan.
Kegiatan analisis ini mencakup analisis laporan keuangan dan laporan
manajemen intern lainnya. Selain itu dalam tahap analisis ini haruslah
diadakan
tinjauan
menyeluruh
atas
dokumen
intern
yang
berhasil
dikumpulkan selama tahap pengumpulan data, sistem pengendalian intern, dan
arus data transaksi yang bergerak dalam sistem akuntansi. Apabila diperlukan,
data yang terkumpul ini harus dibandingkan dengan kriteria pengukuran
kegiatan. Pemeriksa juga perlu untuk menetapkan resiko dan ketidakefisienan
operasi perusahaan untuk menetapkan daerah dan aktivitas yang dapat
diperbaharui. Jika telah menyelesaikan tahap analisis ini, berarti seluruh tahap
pendahuluan telah diselesaikan.
Hasil dari tahap pendahuluan tersebut disimpulkan dalam suatu laporan
pemeriksaan pendahuluan yang lazim disebut memoranda survai. Tujuan
penyusunan survai adalah untuk membantu pemeriksa untuk menghimpun semua
hasil pemikirannya. Sebelum menentukan pilihan bagian atau daerah fungsional
mana yang akan dijadikan sasaran pemeriksaan selanjutnya memoranda survai
tidak boleh diserahkan kepada pihak lain karena didasarkan pada bukti pendukung
yang belum meyakinkan. Memoranda survai hanya digunakan sebagai alat
pemeriksaan resmi. Dengan pelaksanaan tahap pendahuluan ini, pemeriksa harus
dapat mengorganisir seluruh data yang diperoleh secara sistematis dan
merekomendasikan suatu departemen atau lebih untuk ditelaah lebih lanjut dalam
tahap pemeriksaan mendalam.
2. Tahap Pemeriksaan Mendalam
Informasi yang diperoleh pemeriksa pada tahap pendahuluan akan
digunakan untuk menyusun kegiatan yang akan dilakukan dalam pemeriksaan
mendalam. Tahap pemeriksaan mendalam meliputi kegiatan evaluasi terhdap
temuan-temuan pemeriksaan, membandingkan dengan kriteria yang seharusnya,
serta melakukan penilaian atas hasil perbandingan. Kegiatan-kegiatan dalam
pemeriksaan mendalam ini meliputi:
a. Studi Lapangan, yang meliputi:
1) Penelitian arus transaksi.
2) Wawancara dengan pegawai inti pada semua tingkat organisasi.
3) Mengidentifikasikan dan mewawancarai sumber-sumber ekstern yang
dianggap penting tanpa melanggar kerahasiaan penugasan.
4) Observasi aktivitas operasional dan fungsi-fungsi manajemen.
5) Penelitian penempatan pegawai, peralatan, formulir dan laporan.
6) Pendiskusian dan pengusulan penggunaan kriteria pengukuran dengan
pegawai yang sesuai.
b. Analisis, yang meliputi:
1) Penghubungan data yang dikumpulkan dengan kriteria pengukuran
kegiatan, apabila diperlukan.
2) Penilaian risiko dan inefisiensi perusahaan untuk menentukan bidang dan
aktivitas yang dapat ditingkatkan, pendokumentasian temuan dan manfaat
potensial.
3) Penegasan kembali kriteria pengukuran dan pegawai yang bersangkutan.
4) Pendiskusian temuan dan kesempatan perbaikan dengan pegawai yang
bersangkutan.
5) Pengembangan alternatif, rekomendasi dan saran-saran untuk melakukan
studi lebih lanjut tentang kesempatan perbaikan pokok.
Tidak semua kegiatan yang tercakup dalam studi lapangan dan analisis
di atas perlu dilaksanakan oleh auditor operasional. Auditor perlu
mempertimbangkan kegiatan apa yang perlu dilaksanakannya dalam
pemeriksaan mendalam ini agar ia dapat memperoleh temuan yang dapat
bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas manajemen yang diauditnya.
Sebagai pedoman dalam menentukan tindakan apa yang harus dilaksanakan
dalam pemeriksaan mendalam, auditor dapat melihat pada memoranda survai
yang telah mengidentifikasikan daerah-daerah yang dianggap lemah sebagai
hasil dari pemeriksaan pendahuluan. Daerah yang dianggap lemah di sini tidak
berarti hanya daerah dalam pengertian departemen tapi juga dapat berarti
fungsi, aktivitas ataupun jabatan.
c. Tahap Pelaporan
Setelah tahap pemeriksaan mendalam selesai, auditor dapat menyusun laporan
pemeriksaan formal. Dalam penyusunan laporan antara lain tercakup kegiatan
sebagai berikut:
1) Pengorganisasian dan pengkonsepan laporan yang meliputi pengutaraan
temuan, rekomendasi dan manfaat.
2) Pendiskusian konsep laporan dengan para pejabat dan manajer yang sesuai
dari organisasi yang diteliti, dan apabila berbeda dengan pihak yang
memberikan tugas.
3) Pengajuan laporan.
Meskipun penyusunan laporan audit merupakan langkah akhir dari audit
mendalam, akan lebih baik jika penyusunannya tidak menunggu sampai audit
mendalam benar-benar selesai. Auditor operasional sudah harus menulis
laporan semenjak mulai melakukan audit. Untuk memastikan kebenaran isi
laporan tersebut auditor harus selalu menyesuaikan dengan perkembangan
hasil audit, dan tentunya baru benar-benar pasti bilamana audit telah selesai.
Sedangkan menurut Herbert (1979:24) tahap-tahap audit kinerja terdiri
dari tiga tahap yaitu :
“ 1. The Preliminary Survey.
2. The Review and Testing of Management Control and The Detailed
Examination.
3. The Report Development”.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. The Preliminary Survey (Survey Pendahuluan)
Tahap pendahuluan terhadap kinerja karyawan dilaksanakan dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi umum mengenai seluruh aspek organisasi,
aktivitas, program atau sistem yang akan diperiksa. Usaha untuk mendapatkan
informasi ini dilaksanakan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Pada
tahap ini auditor diharapkan dapat memperoleh pengetahuan mengenai entitas
yang diperiksa.
Informasi-informasi yang diperoleh pada tahap pendahuluan belum dapat
dijadikan sebagai bahan bukti pemeriksaan. Informasi tersebut baru
merupakan informasi deskriptif atau informasi latar belakang mengenai entitas
yang diperiksa. Informasi latar belakang untuk suatu organisasi terdiri dari
informasi
mengenai
lokasi,
manajemen,
sejarah,
kebijakan-kebijakan
organisasi dan sebagainya. Jadi dalam tahap ini auditor belum berusaha untuk
memperoleh bahan bukti yang material, kompeten, dan mencukupi.
2. The Review and Testing of Management Control and The Detailed
Examination (Penelaahan dan Pengujian Sistem Pengendalian Manajemen dan
Pengujian Terinci).
Tahap audit mendalam terhadap kinerja karyawan, informasi yang
diperoleh pemeriksa atau auditor pada tahap pendahuluan terhadap kinerja
akan digunakan untuk menyusun tahap audit mendalam terhadap kinerja yang
meliputi :
1) Maksud dan tujuan pelaksanaan.
2) Wawancara dengan staf yang terkait.
3) Observasi terhadap kinerja karyawan dan manajemen.
4) Penelahaan
dan
pengujian
pengendalian
manajemen
yang
telah
dilaksanakan dengan tujuan :
-
Untuk memperoleh bahan bukti atas pengujian sistem pengendalian
manajemen yang diperiksa.
-
Untuk menentukan apakah bahan bukti yang diperoleh cukup relevan,
material dan kompeten.
5) Pengembangan alternatif terhadap kinerja karyawan, rekomendasi serta
saran-saran untuk dilakukan tindak lanjut secara terperinci.
3. The Report Development (Pengembangan Pelaporan)
Tahap pelaporan kinerja meliputi serangkaian aktivitas yang dilaksanakan
dalam rangka mengambil suatu kesimpulan atas bukti-bukti yang telah
diperoleh pada tahap audit mendalam kinerja dan menyajikan kesimpulan
tersebut ke dalam suatu bentuk laporan yang dapat diterima dan dapat
dimengerti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Di dalam laporan juga
disertakan rekomendasi yang diberikan oleh auditor untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja karyawan yang telah diperiksa serta tanggapan pihak
yang diperiksa atas temuan-temuan yang dilaporkan.
Kualifikasi audit operasional menurut Arens et al (2003:745), dua hal
yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang auditor operasional adalah :
“1. Independensi
2. Kompetensi”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Independensi
Dalam Statement of Responsibilities of Internal Auditing, telah ditetapkan
persyaratan independen yaitu : “Audit internal harus bersikap independen
terhadap aktivitas yang mereka periksa. Auditor Internal adalah independen
bila mereka dapat melaksanakan pekerjaan mereka secara bebas dan objektif.
Independensi memungkinkan auditor internal menyampaikan pertimbangan
yang tidak memihak dan tidak menyimpang yang perlu bagi pelaksanaan audit
yang pantas. Ini dicapai melalui status organisasi dan objektivitas”.
Status organisasi harus mencukupi untuk memastikan luas ruang lingkup
audit, pertimbangan yang memadai dan tindakan yang efektif atas temuantemuan audit serta rekomendas-rekomendasi.
Objektivitas mengharuskan auditor internal mempunyai sikap mental
independen dan jujur dalam bekereja. Prosedur pembuatan konsep,
perancangan pemasangan dan pengoperasian sistem adalah bukan fungsi audit.
Melaksanakan aktivitas-aktivitas seperti itu dianggap dapat merusak
objektivitas fungsi audit.
2. Kompetensi
Kompetensi diperlukan untuk menentukan penyebab masalah-masalah
operasional dan membuat rekomendasi yang sesuai. Kompetensi merupakan
masalah utama bila audit operasional menyangkut masalah-masalah operasi
yang mempunyai cakupan yang luas. Sebagai contoh kesulitan yang dihadapi
untuk mendapatkan auditor internal yang kompeten yang dapat mengevaluasi
baik efektivitas maupun efisiensi.
2.4
2.4.1
Manajemen Sumber Daya Manusia
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Istilah manajemen sumber daya manusia sebelumnya disebut dengan
manajemen personalia. Penggantian istilah ini mencerminkan perkembangan
peran yang semakin penting yang dimainkan sumber daya manusia dalam
organisasi serta tantangan-tantangan yang semakin besar dalam pengelolaan
sumber daya manusia.
Terdapat beberapa definisi manajemen sumber daya manusia atau
manajemen personalia dari beberapa pakar, diantaranya:
Menurut Veithzal Rivai (2005:1), pengertian manajemen sumber daya
manusia adalah :
“Merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi
segi-segi
perencanaan,
pengorganisasian,
pelaksanaan
dan
pengendalian”.
Menurut Anwar Prabu (2001:2) , pengertian manajemen sumber daya
manusia adalah:
“Merupakan
suatu
perencanaan,
pengorganisasian,
pengkoordinasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian,
pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai
tujuan organisasi”.
Berdasarkan definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa pengertian
manajemen sumber daya manusia yang kerap kali disebut dengan manajemen
personalia yaitu seluruh orang-orang yang ditugaskan untuk bekerja di dalam
suatu badan atau lembaga tertentu baik di lingkungan dunia usaha maupun di
lingkungan lembaga pemerintah dengan maksud untuk pencapaian tujuan
organisasi.
2.4.2
Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut
Veithzal Rivai (2005:1), tujuan manajemen sumber daya
manusia adalah:
“Meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam
perusahaan melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara
strategis, etis, dan sosial”.
Sedangkan menurut Davis dan Werther (1996:11) ada empat tujuan
utama manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut :
“1. Societal Objectives
To be ethically and socially responsible to the needs and challenges
of society while minimizing the negative impact of such demands
upon the organization.
2. Organizational Objectives
To recognice that human resource management exist to contribute to
organizational effectiveness.
3. Functional Objectives
To maintain the departement’s contribution at the level appropriate
to the organization’s needs.
4. Personal Objectives
To assist employees in achieving their personal goals at leastin so far
as the goals enhance the individual contribution to the
organization”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagaia berikut :
1. Societal Objectives (Tujuan Sosial)
Secara etis dan sosial bertanggung jawab kepada kebutuhan daan perolehan
masyarakat, sementara tetap meminimalkan dampak negatif dan berbagai hal
tersebut terhadap organisasi (perusahaan).
2. Organizational Objectives (Tujuan Organisasi)
Untuk mengenali kontribusi keberadaan manajemen sumber daya manusia
terhadap efektivitas organisasi.
3. Functional Objectives (Tujuan Fungsional)
Untuk menjaga kontribusi manajemen pada tingkat yang tepat dalam
memenuhi kebutuhan organisasi.
4. Personal Objectives (Tujuan Pribadi)
Untuk membantu karyawan dalam mencapai tujuan pribadi, sekurangkurangnya tujuan tersebut berhubungan dengan peningkatan kontribusi
individu kepada organisasi.
2.4.3
Audit Sumber Daya Manusia
2.4.3.1 Pengertian Audit Sumber Daya Manusia
Menurut Veithzal Rivai (2005:548), pengertian audit SDM adalah :
“Pemeriksaan kualitas secara menyeluruh kegiatan SDM dalam suatu
departemen, divisi atau perusahaan, dalam arti mengevaluasi
kegiatan-kegiatan SDM dalam suatu perusahaan dengan
menitikberatkan pada peningkatan/perbaikan kegiatan”.
Berdasarkan definisi di atas, di samping memastikan ketaatan, audit dapat
meningkatkan citra departemen SDM dan kontribusinya terhadap perusahaan.
Manajer operasi dapat memperoleh respek yang lebih tinggi untuk departemen
pada saat tim audit meminta pandangan mereka. Jika komentar para manajer
ditindaklanjuti, departemen SDM akan dipandang lebih responsif terhadap
kebutuhan mereka. Karena pada dasarnya departemen SDM merupakan
departemen pelayanan. Tindakan ini dapat memperbesar kontribusinya terhadap
tujuan-tujuan organisasional perusahaan.
Untuk itu tim audit harus menyiapkan program kerja audit operasional
sumber daya manusia diantaranya yaitu :
1. Tujuan audit sumber daya manusia harus jelas.
2. Ruang lingkup sumber daya manusia harus dinyatakan secara jelas dan
terperinci.
3. Program kerja harus sesuai dengan urutan langkah-langkah kerja yang akan
dilaksanakan, jika ada perubahan oleh pihak manajemen harus diketahui oleh
atasan auditor.
4. Harus ada tindak lanjut evaluasi.
2.4.3.2 Tujuan Audit Sumber Daya Manusia
Menurut Veithzal Rivai (2005:567), tujuan audit sumber daya manusia
adalah : untuk mengevaluasi kegiatan SDM dengan maksud untuk :
“1. Menilai efektivitas SDM
2. Mengenali aspek-aspek yang masih dapat diperbaiki
3. Mempelajari aspek-aspek tersebut secara mendalam, dan
4. Menunjukkan
kemungkinan
perbaikan,
dan
membuat
rekomendasi untuk pelaksanaan perbaikan tersebut. Pelaksanaan
audit ini hendaknya mencakup evaluasi terhadap fungsi SDM,
penggunaan prosedur oleh para manajer, dan dampak kegiatan
tersebut pada sasaran dan kepuasan kerja”.
2.4.3.3 Ruang Lingkup Audit Sumber Daya Manusia
Menurut Amin Wijaja Tunggal (2000:81) ruang lingkup audit sumber
daya manusia mencakup :
“1. Audit Strategi Perusahaan
2. Audit Fungsi Sumber Daya Manusia
3. Audit Ketaatan Manajerial
4. Audit Kepuasan Karyawan”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Audit Strategi Perusahaan
Profesional sumber daya manusia tidak menentukan strategi perusahaan, akan
tetapi mereka secara kuat menentukan keberhasilannya. Strategi perusahaan
berhubungan
dengan
bagaimana
organisasi
mendapatkan
keuntungan
komparatif. Misalnya dengan dasar penilaian lingkungan perusahaan,
kekuatan,
kelemahan,
kesempatan
dan
ancaman,
manajer
senior
memperlengkapi cara-cara memperoleh keunggulan. Oleh karena itu auditor
sumber daya manusia dapat belajar lebih banyak tentang strategi perusahaan
melalui wawancara dengan eksekutif kunci, menelaah rencana usaha jangka
panjang, dan pengamatan lingkungan yang didesain untuk mengungkapkan
kecenderungan perubahan.
2. Audit Fungsi Sumber Daya Manusia
Dalam melakukan audit fungsi sumber daya manusia, tim audit harus :
a. Mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab terhadap setiap aktivitas.
b. Menentukan tujuan yang dicari setiap aktivitas.
c. Menelaah kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut.
d. Uji petik catatan dalam sistem informasi sumber daya manusia untuk
mempelajari apakah kebijakan dan prosedur diikuti secara benar.
e. Mengembangkan suatu tindakan untuk mengkoreksi kesalahan dalam
tujuan, kebijakan, dan prosedur.
f. Menindaklanjuti rencana tindakan untuk melihat apakah ia mengatasi
masalah yang ditemukan melalui audit.
3. Audit Ketaatan Manajerial
Audit menelaah bagaimana baiknya manajer mentaati kebijakan dan prosedur
sumber daya manusia, apabila manajer mengabaikan atau melanggar peraturan
hubungan industrial, audit harus mengungkapkan kesalahan ini agar tindakan
koreksi dapat dimulai.
4. Audit Kepuasan Karyawan
Departemen yang efektif memenuhi tujuan dan kebutuhan karyawan. Untuk
mempelajari bagaimana baiknya kebutuhan karyawan dipenuhi, tim audit
mengumpulkan data dari pekerja, kelompok mengumpulkan informasi tentang
gaji, imbalan (benefit), praktik supervisi, bantuan perencanaan karir, dan
umpan balik karyawan yang diterima mengenai kerja mereka.
2.4.4
Pengendalian Atas Fungsi Sumber Daya Manusia
Pengendalian atas fungsi sumber daya sangat diperlukan, terutama pada
perusahaan berskala menengah dan besar, yang mempekerjakan karyawan dan
buruh dalam jumlah yang cukup banyak.
Prosedur
pengendalian
sumber
daya
manusia
yang
memadai
mengharuskan bahwa penambahan, pemberhentian karyawan, dan perubahan tarif
upah memerlukan otorisasi dari pejabat yang berwenang di bagian sumber daya
manusia. Bagian upah tidak berwenang untuk menambah atau mengeluarkan
nama karyawan dari daftar karyawan dan mengubah tarif upah serta potonganpotongan atas upah tanpa otorisasi dari bagian sumber daya manusia. Pemisahan
tugas penting dilaksanakan, khususnya fungsi yang menangani catatan atas
karyawan dipisahkan dari bagian yang menangani pencatatan waktu serta
penyiapan upah. Pengendalian yang juga penting adalah audit yang memadai atas
kompetensi dan kejujuran karyawan baru.
Prosedur sumber daya manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Prosedur penempatan karyawan (employment procedure).
2. Prosedur pencatatan waktu (time keeping procedure).
3. Prosedur pengupahan dan gaji (payroll procedure).
2.4.4.1 Prosedur Penempatan Karyawan (Employment Procedure)
Prosedur penempatan karyawan terdiri dari kegiatan :
1. Pencarian karyawan
2. Mewawancarai karyawan
3. Penempatan karyawan
Prosedur penempatan dan penerimaan karyawan dimulai dengan adanya
permintaan
akan
tenaga
kerja
oleh
departemen-departemen
lain
yang
membutuhkan. Kemudian berdasar permintaan ini, bagian sumber daya manusia
mencari tenaga kerja yang diperlukan dengan cara melihat file kebutuhan tenaga
kerja pada perusahaan atau memasang iklan.
Prosedur berikutnya adalah proses seleksi. Proses ini biasanya dilakukan
oleh perusahaan sendiri atau oleh biro konsultan. Lamaran-lamaran yang diterima
kemudian dipanggil untuk dites guna melihat kemampuan calon karyawan.
Setelah melalui proses seleksi, tahapan berikutnya adalah tahap
pengambilan keputusan diterima tidaknya karyawan tersebut. Biasanya dalam
tahap ini, departemen yang akan memanfaatkan tenaga kerja baru tersebut ikut
mewawancarai, dan berdasarkan keputusan tersebut bagian sumber daya manusia
membuat surat keputusan pengangkatan atau surat perjanjian kerja. Pada tahap ini,
calon sebenarnya belum dianggap lulus karena baru memasuki percobaan. Jika
telah lulus, dapat masuk tahap penempatan dini.
2.4.4.2 Prosedur Pencatatan Waktu (Time Keeping Procedure)
Arens
dan
Loebbecke
menyatakan
tentang
beberapa
prosedur
pengendalian pencatatan waktu. Penggunaan pencatatan waktu otomatis atau
metode lainnya dapat memperluas pengendalian dalam memberi keyakinan bahwa
karyawan dibayar menurut jam kerjanya. Pencatatan waktu ini hendaknya diawasi
agar setiap karyawan hanya memasuki akrtu waktu hadir miliknya sendiri.
Pengendalian ini dapat ditingkatkan dengan melakukan perbandingan antara
laporan waktu kerja dan lembur karyawan juga merupakan praktek yang baik
untuk diterapkan.
2.4.4.3 Prosedur Pengupahan dan Gaji (Payroll procedure)
Prosedur ini dimulai pada saat seorang karyawan baru dipekerjakan dan
berakhir pada saat karyawan itu berhenti bekerja di perusahaan. Kegiatan yang
pertama dilakukan adalah penandatanganan kontrak oleh karyawan baru. Biasanya
dalam kontrak ini tercantum berapa gaji dan tunjangan yang diterima oleh
karyawan.
Kemudian
bagian
sumber
daya
manusia
akan
mengirim
surat
pemberitahuan kepada bagian gaji. Pemberitahuan ini dilakukan untuk
menghindari adanya karyawan fiktif pada daftar gaji. Selain itu, bagian gaji tidak
menambahkan nama seseorang ke dalam daftar gaji tanpa persetujuan dari bagian
sumber daya manusia. Demikian hanya jika ada perubahan tarif gaji, dapat
dilaksanakan setelah ada persetujuan bagian gaji. Jika ada karyawan yang
berhenti, bagian gaji harus mendapat pemberitahuan.
2.5
Kinerja (Prestasi Kerja) Karyawan
2.5.1
Pengertian Kinerja (Prestasi Kerja) Karyawan
Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2002:67)
mengatakan
bahwa istilah kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Peformance
(Prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Sedangkan menurut Malayu S.P Hasibuan (2001:87) pengertian kinerja
karyawan adalah :
“Kinerja karyawan adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannn serta
waktu”.
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja karyawan
adalah merupakan suatu tingkat kemajuan seorang karyawan atas hasil dari
usahanya untuk meningkatkan kemampuan secara positif dalam pekerjaannya.
2.5.2
Penilaian Kinerja Karyawan
2.5.2.1 Pengertian Penilaian Kinerja Karyawan
Setelah seorang karyawan diterima, ditempatkan, dan dipekerjakan, maka
tugas manajer selanjutnya adalah melakukan penilaian atas kinerja karyawan
tersebut. Penilaian kinerja karyawan ini mutlak harus dilakukan untuk mengetahui
prestasi yang dicapai oleh setiap karyawan. Penilaian kinerja ini penting bagi
setiap karyawan dan berguna bagi perusahaan untuk menetapkan tindakan
kebijaksanaan selanjutnya.
Dengan adanya penilaian kinerja karyawan berarti para bawahan mendapat
perhatian dari para atasannya, sehingga mendorong mereka semangat bekerja,
asalkan proses penilainnya jujur dan objektif, serta ada tindak lanjutnya. Tindak
lanjut penilaian ini memungkinkan karyawan dipromosikan, didemosikan,
dikembangkan, dan atau balas jasanya dinaikkan.
Menurut Veithzal Rivai (2005:309), pengertian penilaian kinerja adalah :
“Sebagai sebuah mekanisme yang baik untuk mengendalikan
karyawan”
Sedangkan menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2002:231), pengertian
penilaian kinerja adalah :
“Suatu kegiatan yang dilakukan manajemen/penyelia penilai untuk
menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja
atas kinerja dengan uraian/deskripsi pekerjaan dalam suatu periode
tertentu biasanya setiap akhir tahun”.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penilaian
kinerja karyawan merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan oleh pihak
perusahaan guna mengetahui kinerja karyawan. Penilaian kinerja merupakan
aktivitas yang membandingkan kinerja yang berhasil di capai dengan kinerja yang
seharusnya dicapai atau standar. Standar yang dicapai oleh setiap orang dalam
organisasi dapat disusun secara spesifik dengan berdasarkan pada job description.
2.5.2.2 Tujuan Penilaian Kinerja Karyawan
Penilaian kinerja merupakan aktivitas yang penting bagi perusahaan
karena penilaian kinerja dapat menjadi penghubung antara maksud dan tujuan dari
pihak perusahaan dengan pihak karyawan. Adapun tujuan penilaian kinerja
menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2002:232), adalah sebagai berikut :
“1. Sumber data untuk perencanaan ketenagakerjaan dan kegiatan
pengembangan jangka panjang bagi perusahaan yang
bersangkutan.
2. Nasihat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja
dalam perusahaan
3.
4.
5.
Alat untuk memberikan umpan balik (feed back) yang
mendorong
ke
arah
kemajuan
dan
kemungkinan
memperbaiki/meningkatkan kualitas kerja bagi para tenaga
kerja
Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang diharapkan
dari seorang pemegang tugas dan pekerjaan
Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada
bidang ketenagakerjaan, baik promosi, mutasi, maupun
kegiatan ketenagakerjaan lainnya”.
2.5.2.3 Syarat-syarat Sistem Penilaian Kinerja Karyawan
Suatu sistem penilaian kinerja yang baik harus menggambarkan kondisi
yang susungguhnya dari kinerja karyawan yang dinilai. Penilaian kinerja bukan
hanya untuk mengidentifikasikan kekurangan yang ada, akan tetapi harus dapat
menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dicapai. Dengan mengetahui kelebihan
yang dimilikinya diharapkan akan mendorong karyawan untuk berprestasi lebih
baik sekaligus juga memperbaiki kekurangan-kekurangannya.
Menurut Werther dan Davis (1996:347), suatu sistem penilaian kinerja
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
“1. Job related
2. Practical
3. Performance Standard
4. Performance Measure”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Job related (pekerjaan yang dilaksanakan)
Suatu sistem penilaian kinerja haruslah mengevaluasi critical behavior ynag
berhubungan dengan kesuksesan penyelesaian suatu pekerjaan.
2. Practical (praktis)
Suatu peniliaian kinerja haruslah singkat dan jelas agar dapat dipahami baik
oleh penilai maupun yang dinilai.
3. Performance Standard (standar kinerja)
Suatu sistem penilaian kinerja harus memiliki standar-standar pengukuran
yang jelas yang dijadikan patokan atas hasil-hasil penilaian yang diperoleh.
4. Performance Measure (pengukuran kinerja)
Penilaian kinerja hendaknya memiliki skala pengukuran yang jelas dan dapat
dimengerti oleh penilai. Skala pengukuran yang diberikan hendaknya mudah
untuk digunakan dan dapat diandalkan. Skala pengukuran ynag digunakan
harus dapat digunakan oleh penilai yang berbeda sehingga keputusan akhir
yang diperoleh berdasarkan standar penilaian yang sama.
2.5.2.4 Pelaksanaan Penilaian Kinerja Karyawan
Salah satu hal penting yang harus diputuskan dalam melaksanakan
penilaian kinerja adalah siapa ynag akan melakukan penilian. Keputusan
mengenai penilaian dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan dinilai orangorang dan tujuan dari penilaian kinerja itu sendiri.
Menurut Cascio (1995:313), ada beberapa alternatif penilai yang dipilih
oleh perusahaan sebagai pelaksana penilaian kinerja yaitu :
“1. Supervisor
2. Coworkers
3. Self evaluation
4. Subordinate
5. Computers
6. Customers
7. The job it self”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengawas (Supervisor)
Supervisor dapat dipilih menjadi penilai dari bawahannya karena Supervisor
dianggap sebagai orang yang paling tahu akan kinerja dari setiap bawahannya.
Supervisor dapat mengetahui dengan lebih baik bagaimana sikap bawahan
dalam menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari, bagaimana prestasi yang
dicapai oleh bawahannya sehingga diharapkan hasil penilaian yang diperoleh
menjadi lebih aktual.
2. Rekan kerja (coworkers)
Untuk beberapa jenis pekerja, rekan kerja adalah orang yan paling tepat untuk
melakukan penilaian atas presatsi kerja. Rekan kerja dapat memberikan suatu
pandangan yang berbeda mengenai prestasi dari rekan kerjanya. Biasanya
penilaian oleh rekan kerja dilakukan untuk jenis pekerjaan lapangan, karena
rekan kerja lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan orang yang
dinilai dalam menyelesaikan pekerjaan dibandingkan dengan Supervisor.
Untuk mengurangi bias yang mugkin timbul karena kedekatan hubungan si
penilai dengan yang dinilai maka dapat dikumpulkan informasi dari bebrapa
rekan satu profesi dari orang yang dinilai sebagai bahan pertimbangan.
3. Evaluasi terhadap diri sendiri (self evaluation)
Penilaian dilakukan oleh karyawan sendiri, atau dengan kata lain karyawan
menilai dirinya sendiri. Bagaimana penilaian karyawan mengenai aktivitasnya
sehari-hari dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta bagaimana
prestasi yang telah dicapainya selama ini. Kelemahan dari sistem penilaian ini
adalah karyawan cenderung untuk memberikan penilaian yang lebih tinggi
atau baik bagi dirinya. Oleh karena itu, setelah melakukan penilaian pribadi,
ada
baiknya
dilakukan
suatu
diskusi
dengan
Supervisor
untuk
membandingkan hasil penilaian pribadi dengan hasil penilaian Supervisor dan
diputuskan suatu pemecahan yang terbaik yang mewakili prestasi dari
karyawan yang bersangkutan.
4. Bawahan Langsung (subordinate)
Penilaian oleh bawahan dapat dijadikan masukan bagi Supervisor. Bawahan
dapat menilai bagaimana Supervisor melaksanakan tugasnya, hal-hal apa saja
yang akan disukai atau kurang disukai oleh bawahan dalam hal
kepemimpinan, cara memberikan perintah, dan lain sebaainya. Adapun
penilain yang diberikan berupa kritik dan saran ini dapat digunakan
Supervisor untk mengevaluasi diri dan melakukan perubahan ke arah yang
lebih baik.
5. Komputer (conputers)
Banyak karyawan tidak lagi banyak berhubungan dengan Supervisor dalam
menyelesaikan pekerjaanya, sehingga Supervisor tidak dapt memantau hasil
kerja dari bawahannya secara akurat. Seiring dengan perkembangan teknologi
komputer menjadi teknologi yang memantau hasil kerja karyawan secara terus
menerus dan mampu memberikan hasil yang lebih akurat bahkan pada banyak
karyawan sekaligus.
6. Pelanggan (customer)
Penilaian dari pelanggan dapat dijadikan masukan yang berharga bagi
perusahaan akan perkembangan dari karyawan yang bersangkutan seperti
untuk keputusan promosi, transfer atau training.
7. Pekerjaan itu sendiri (the job it self)
Penilaian prestasi kerja dari karyawan pada akhirnya dilakukan oleh pekerjaan
yang dilakukannya, seberapa baik pekerjaan itu dapat diselesaikan dan
seberapa baik hasil akhir yang diperoleh dengan langkah penyelesaian yang
telah ditempuh.
2.5.2.5 Metode Penilaian Kinerja Karyawan
Setiap perusahaan perlu melakukan penilaian kinerja para karyawannya.
Yang menjadi masalah adalah metode yang akan dipilih. Menurut Heidjrachman
Ranupandojo dan Suad Husnan M.B.A. (1988:121) metode-metode penilaian
kinerja pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Penilaian secara “kebetulan”, tidak sistematis dan sering
membahayakan.
2. Metode
tradisional
yang
sistematis,
yang
mengukur
a) karakteristik karyawan, b) sumbangan karyawan kepada
organisasi atau c) keduanya.
3. Tujuan yang ditetapkan bersama dengan menggunakan
Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS) atau yang dikenal
sebagai “Management By Objectives”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Penilaian Sistematis oleh Atasan
Penilaian yang sistematis dan dilakukan secara berkala mempunyai banyak
manfaat bagi organisasi. Manfaat pertama, dan yang paling penting adalah,
memberikan informasi yang sangat membantu di dalam keputusan-keputusan
yang menyangkut masalah-masalah seperti, promosi, kenaikan gaji, “lay-off”
dan transfer. Penilaian yang sistematis ini memberikan informasi sebelum
sesuatu itu mungkin diperlukan, jadi menghindari kemungkinan digunakannya
“judgement” sesaat. Selain itu dapat memberikan informasi di dalam bentuk
yang memungkinkan dilakukannya perbandingan, dan bisa menopang
berbagai keputusan dalam bidang personalia. Manfaat yang kedua adalah bisa
digunakan untuk mendorong dan memimpin pengembangan karyawan.
Program penilaian kecakapan kerja memberikan informasi ini dalam bentuk
yang biasanya bisa dikomunikasikan kepada para karyawan.
Persyaratan untuk melakukan penilaian yang akurat dan periodik akan
memberikan dorongan kepada pihak atasan untuk melakukan penilaian yang
lebih baik. Setiap atasan haruslah mengetahui apa dan bagaimana pekerjaan
para bawahannya.
2. Sistem-sistem Penilaian Prestasi Kerja Tradisional
Ada berbagai sistem pengukuran prestasi kerja para karyawan. Sistemsistem ini mempunyai dasar yang sama dengan sistem-sistem untuk penilaian
jabatan. Penilaian prestasi kerja lebih ditujukan untuk menentukan baik
tidaknya seorang karyawan untuk bisa dipakai sebagai dasar promosi
misalnya. Sedangkan penilaian jabatan ditujukan untuk menentukan harga
suatu jabatan, yang pada akhirnya nanti akan disusun struktur upah yang adil
dan layak.
Sistem-sistem penilaian kinerja (prestasi kerja) di antaranya adalah :
a. Rangking
Cara tertua dan paling sederhana untuk menilai prestasi kerja karyawan
adalah dengan membandingkan karyawan yang satu dengan karyawan
yang lain untuk menentukan siapa yang lebih baik. Pembandingan ini
dilakukan secara keseluruhan, artinya tidak dicoba dipisah-pisahkan
faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja. Kelemahan cara ini
adalah kesulitan yang harus dihadapi untuk menilai secara keseluruhan
seorang individu. Selain itu kita akan terpaksa melakukan pembandingan
dalam jumlah yang cukup banyak, lebih-lebih kalau jumlah karyawan
yang harus dinilai cukup banyak.
b. Pembandingan karyawan dengan karyawan
Suatu cara untuk memisahkan penialian seseorang ke dalam berbagai
faktor adalah dengan menggunakan pembandingan karyawan dengan
karyawan. Faktor-faktor seperti kepemimpinan, inisiatip dan dapat
tidaknya diandalkan, dipilih untuk maksud-maksud penilaian tersebut.
Suatu skala penialian dirancang untuk masing-masing faktor yang dinilai.
Tetapi skala penilaian tersebut bukannya disusun definisi untuk masingmasing faktornya, tetapi dibandingkan dengan karyawan-karyawan
tertentu, untuk mencerminkan tingkatan-tingkatan suatu faktor tertentu.
Dengan demikian maka penilai akan membanding suatu faktor, misalnya
kepemiminan, dari sseorang karyawan, dengan karyawan-karyawan
pembanding tersebut, untuk menentukan dengan karyawan pembanding
mana, kepemimpinan karyawan yang dinilai paling mendekati.
c. Grading
Pada metode ini suatu definisi yang jelas untuk setiap kategori telah dibuat
dengan seksama. Kategori untuk prestasi kerja karyawan misalnya adalah
baik sekali, memuaskan dan kurang memuaskan yang masing-masing
mempunyai definisi yang jelas. Prestasi kerja dari tiap karyawan kemudian
diperbandingkan dengan definisi maasing-masing kategori ini, untuk
dimasukkan ke salah satunya.
Kadang-kadang metode ini dirubah menjadi penilaian dengan distribusi
yang dipakasakan. Katakanlah bahwa dari para karyawan yang dinilai
harus 10% di antaranya masuk ke dalam kelompok yang tertinggi, 20%
harus masuk ke dalam kategori yang kedua, 40% harus masuk ke dalam
kategori yang ketiga, 20% lagi harus masuk ke dalam kategori yang
keempat dan 10% lagi harus masuk ke dalam kategori yang kelima.
Dengan demikian penilai harus juga melakukan penialian relatif di antara
para karyawan tersebut di samping membandingkannya dengan definisi
masing-masing kategori. Tetapi cara ini bisa menimbulkan frustasi, karena
seorang karyawan bisa tetap berada pada kategori yang terendah meskipun
prestasi kerjanya telah meningkat, hanya karena disebabkan karyawankaryawan lain juga telah menigkat perstasi kerjanya.
d. Skala Grafis
Metode ini merupakan metode penilaian tradisional yang paling banyak
digunakan. Pada metode ini baik tidakanya pekerjaan seorang karyawan
dinilai berdasarkan faktor-faktor yang dianggap penting bagi pelaksanaan
pekerjaan tersebut. Kemudian masing-masing faktor tersebut misalnya
kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, sikap dan dapat tidaknya
diandalkan, dibagi ke dalam berbagai kategori, misalnya baik sekali,
cukup, kurang yang disertai dengan definisi yang jelas untuk masingmasing kategori. Jadi di sini penilai membandingkan prestasi kerja seorang
karyawan dengan definisi untuk masing-masing faktor dan masing-masing
kategori.
e. Checklists
Dalam metode ini penilai bukan menilai karyawan tetapi sekedar
melaporkan. Penilaian atas tingkah laku yang dilaporkan, dilakukan oleh
bagian personalia. Penilai tidak mengetahui pertanyaan mana yang lebih
penting dan mana yang tidak. Hanya penyusun daftar pertanyaan yang
mengetahui nilai untuk setiap pertanyaan. Kesulitan penggunaan sistem
checklists ini adalah sulitnya menyusun daftar pertanyaan, dan juga untuk
setiap departemen mungkin memerlukan daftar pertanyaan yang berbeda
pula.
f. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objectives)
Metode ini melibatkan dua pihak yaitu karyawan dan pimpinan dalam
proses penilaian tersebut. Pimpinan bukan hanya sekedar duduk menilai
tetapi perlu bersama-sama menentukan sasaran dengan para bawahan yang
bisa dipakai sebagai pedoman penilaian tersebut, sehingga para bawahan
bisa mengendalikan diri sendiri untuk mencapai tujuan tersebut.
Manajemen Berdasarkan Sasaran ini sebenarnya lebih merupkan suatu
cara pengelolaan dan bukan hanya sekedar cara penilaian prestasi kerja.
Selain itu akan mendorong penentuan tujuan bersama, diikuti dengan
penilaian secara bersama pula terhadap pelaksanaan pekerjaan.
Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pendekatan yang digunakan jadi
sangat individualistis untuk menetapkan tujuan dan kerja sama dalam
penilaiannya. Di samping itu kalau penetapan tujuan tidak berhati-hati,
bisa mengakibatkan bahwa tujuan yang satu akan mengakibatkan
terhambatnya tujuan yang lain. Kelemahan ketiga yaitu sulitnya
menetapkan sasaran yang mempunyai tingkat kesulitan yang sama. Karena
penilaian didasarkan atas berhasil tidaknya mencapai sasaran, maka kalau
ada suatu tujuan yang relatif mudah dari tujuan yang lain, maka
penilaiannya juga kurang “fair”. Kelemahan terakhir yaitu bahwa
peniliaian komparatif dari berbagai personalia menjadi agak sukar. Hal ini
disebabkan karena tidak ada faktor-faktor yang sama di dalam penilaian.
Di samping itu juga sulit diterapkan untuk jabatan-jabatan “nonmanagerial”.
2.5.2.6 Kegunaan Penilaian Kinerja Karyawan
Dengan dilakukannya penilaian kinerja karyawan, departeman sumber
daya manusia di dalam perusahaan dapat mengetahui bagaimana hasil kinerja
karyawan selama beberapa periode waktu tertentu, apakah kinerja tersebut telah
sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan atau tidak. Di samping itu,
kegiatan ini juga berguna untuk memperbaiki keputusan-keputusan tentang
pengelolaan sumber daya manusia dan memberikan umpan balik kepada
karyawan tentang pelaksanaan penilaian kinerja mereka.
Menurut Werther dan Davis (1996:342), adalah sebagai berikut :
“1. Performance Improvement
2. Compensation Adjusment
3. Placement Decisions
4. Training and Development Needs
5. Career Planning and Development
6. Staffing Process Deficiences
7. Informational Inacurracies
8. Job Design Errors
9. Equal Employment Opportunity
10. External Challenges
11. Feedback to Human Resources”
Berdasarkan kutipan di atas dapat djelaskan sebagai berikut :
1. Performance Improvement ( Perbaikan Kinerja)
Dengan dilakukannya penilaian kinerja, baik karyawan, manajer maupun
departemen sumber daya manusia dapat mengevaluasi hasil kerja yang telah
dicapai selama masa yang ditentukan dan melakukan perbaikan guna
meningkatkan kinerja di masa yang akan datang.
2. Compensation Adjustment ( Penyesuaian-penyesuaian Kompensasi)
Penilaian kinerja dapat membantu pihak perusahaan untuk menentukan gaji
yang adil dan sesuai dengan prestasi yang telah dicapai oleh karyawan.
3. Placement Decisions (Keputusan-keputusan Penempatan)
Keputusan promosi, transfer atau demosi ditentukan berdasarkan prestasi yang
telah dicapai oleh karyawan yang dapat diidentifikasikan melalui penilaian
kinerja.
4. Training and Development Needs (Kebutuhan-kebutuhan latihan dan
pengembangan)
Hasil penilaian kinerja yang buruk dapat dijadikan dasar untuk melaksanakan
training dan melakukan pengembangan terhadap hasil penilaian yang baik.
5. Career Planning and Development (Perencanaan dan Pengembangan Karier)
Dengan penilaian kinerja setiap karyawan dapat mengetahui kelebihan yang
dimilikinya untuk menentukan jenjang karier yang sesuai.
6. Staffing Process Deficiences (Penyimpangan-penyimpangan Proses Staffing)
Baik buruknya hasil penilaian kinerja yang diperoleh dapat menggambarkan
kelebihan atau kekurangan dari prosedur seleksi yang diterapkan oleh
departemen sumber daya manusia.
7. Informational Inacurracies (Ketidakakuratan Informasi)
Hasil penilaian kinerja yang buruk dapat menunjukkan adanya suatu kesalahan
informasi dari job analysis, perencanaan sumber daya manusia ataupun bagian
lain dari sistem informasi manajemen. Kesalahan informasi yang terjadi dapat
menyesatkan keputusan akan pemutusan hubungan kerja, pemberian pelatihan
ataupun keputusan penempatan.
8. Job Design Errors (Kesalahan Desain Pekerjaan)
Hasil penilaian kinerja yang buruk dapat menunjukkan adanya suatu kesalahan
dalam job design.
9. Equal Employment Opportunity (Kesempatan Kerja yang Adil)
Penilaian kinerja yang akurat dan betul-betul menilai aspek-aspek yang
berhubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan (job related) dapat
menunjukkan bahwa keputusan karyawan dalam perusahaan telah dilakukan
secara adil dan tidak mengandung unsur diskriminasi.
10. External Challenges (Tantangan-tantangan Eksternal)
Adakalanya penilaian kinerja dari seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor di
luar pekerjaan, seperti : keluarga, keuangan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilihat melalui hasil penilaian kinerja,
departemen sumber daya manusia dapat membantu mencari penyelesaian
terhadap masalah yang dihadapi.
11. Feedback to Human Resources (Umpan Balik untuk Sumber Daya Manusia)
Baik buruknya suatu kinerja perusahaan secara keseluruhan menunjukkan
seberapa baik sumber daya manusianya.
2.5.2.7 Permasalahan dalam Pelaksanaan Penilaian Kinerja Karyawan
Menurut Werther dan Davis (1996:349), ada beberapa kemungkinan
permasalahan yang mungkin timbul dalam kaitannya dengan subjective
performance measures, yaitu :
“1. The halo effect
2. The Error of Central Tendency
3. Leniency and Strichness Bias
4. Cross Cultural Biases
5. Personel Prejudice
6. The Recency Effect”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. The halo effect (efek halo)
Halo effect muncul apabila waktu melakukan penilaian, penilai sangat
dipengaruhi oleh pendapat pribadinya mengenai orang yang dinilai. Apabila
penilai suka pada orang yang dinilai, penilai akan cenderung untuk
memberikan nilai baik dan sebaliknya apabila orang yang dinilai tidak disukai,
nilai yang diberikan cenderung buruk.
2. The Error of Central Tendency (kesalahan atas kecenderungan terpusat)
Suatu kondisi yang diakibatkan oleh penilai tidak tahu pasti mengenai prestasi
dari karyawan yang dinilainya sehingga cenderung memberikan nilai rata-rata
terhadap seluruh karyawannya. Penilai cenderung menghindari pemberian
penilaian yang terlalu mencolok perbedaannya, seperti sangat baik atau sangat
buruk.
3. Leniency and Strichness Bias (bias terlalu lunak atau terlalu keras)
Leniency bias adalah suatu kondisi dimana penilai mempunyai kecendrungan
untuk memberikan nilai baik terhadap karyawan yang dinilai. Strichness
adalah suatu kondisi dimana penilai terlalu keras dalam melakukan penilaian.
4. Cross Cultural Biases (bias perbedaan kebudayaan)
Penilai sangat dipengaruhi oleh perbedaan
dalam hal
kebudayaan,
kepercayaan, kebiasaan, jenis kelamin, usia, dan lain sebagainya
5. Personel Prejudice (prasangka pribadi)
Penilaian pribadi penilai atas suatu kelompok tertentu, akan memberikan
pengaruh terhadap penilaian yang diberikan pada jenis kelompok tersebut.
6. The Recency Effect (pengaruh kesan terakhir)
Penilai sangat dipengaruhi oleh tindakan ataupun prestasi yang terjadi pada
waktu penilaian prestasi dilakukan.
2.5.2.8 Unsur-unsur Kinerja Karyawan yang Dinilai
Menurut
Siswanto
Sastrohadiwiryo
(2002:234-237),
unsur-unsur
penilaian dalam proses penilaian kinerja adalah sebagai berikut :
"1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kesetiaan
Prestasi kerja
Tanggung jawab
Ketaatan
Kejujuran
Kerjasama
Prakarsa
Kepemimpinan”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kesetiaan
Kesetiaan yang dimaksudkan adalah tekad dan kesanggupan menaati,
melaksanakan, dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh
kesadaran dan tanggungjawab. Tekad dan kesanggupan tersebut harus
dibuktikan dengan sikap dan perilaku tenaga kerja yang bersangkutan dalam
kegiatan sehari-hari serta dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diberikan kepadanya. Kesetiaan tenaga kerja terhadap perusahaan sangat
berhubungan dengan pengabdiannya. Pengabdian yang dimaksud adalah
sumbangan pikiran dan tenaga yang ikhlas dengan mengutamakan
kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
2. Prestasi Kerja
Yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah kinerja yang dicapai oleh seorang
tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan
kepadanya. Pada umumnya kerja seorang tenaga kerja antara lain dipengaruhi
oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesungguhan tenaga kerja
yang bersangkutan.
3. Tanggung Jawab
Tanggung
jawab
adalah
kesanggupan
seorang
tenaga
kerja
dalam
menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu serta berani memikul risiko atas keputusan
yang telah diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.
4. Ketaatan
Yang dimaksud dengan ketaatan adalah kesanggupan seorang tenaga kerja
untuk menaati segala ketetapan, peraturan perundang-undangan dan peraturan
kedinasan yang berlaku, menaati perintah kedinasan yang diberikan atasan
yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang
telah ditetapkan perusahaan maupun pemerintah, baik secara tertulis maupun
tak tertulis.
5. Kejujuran
Yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta kemampuan untuk tidak
menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya.
6. Kerja sama
Kerja sama adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk bekerja bersamasama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang
telah ditetapkan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesarbesarnya.
7. Prakarsa
Prakarsa adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk mengambil
keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan
bimbingan dari manajemen lininya.
8. Kepemimpinan
Yang dimaksud kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seorang
tenaga kerja untuk meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain) sehingga dapat
dikerahkan secara maksimum untuk melaksanakan tugas pokok. Penilaian
unsur kepemimpinan bagi tenaga kerja sebenarnya khusus diperuntukkan bagi
tenaga kerja yang memiliki jabatan seluruh hierarki dalam perusahaan.
2.6 Hubungan Audit Operasional dengan Kinerja Karyawan Divisi WRM
PT. Krakatau Steel
Bagi Suatu organisasi perusahaan faktor manusia merupakan unsur yang
sangat penting dalam pencapaian tujuan perusahaan. Divisi WRM PT. Krakatau
Steel sangat memperhatikan faktor manusia sebagai sumber daya manusia untuk
mencapai tujuan perusahaan. Oleh karena itu faktor karyawan berhubungan
dengan pencapaian tujuan perusahaan, perusahaan terus dituntut untuk
meningkatkan kinerja karyawan agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup
perusahaan.
Sejalan dengan perkembangan Divisi WRM PT. Krakatau Steel, lingkup
kegiatan divisi WRM semakin luas dan kompleks sehingga PT. Krakatau Steel
membutuhkan sistem pengendalian yang diperlukan untuk membantu manajemen.
Pihak manajemen PT. Krakatau Steel menggunakan audit operasional untuk
membantu semua unsur yang ada pada divisi WRM. Dalam hubungannya dengan
kinerja karyawan, audit operasional juga berfungsi untuk menilai dan memeriksa
efektivitas kinerja karyawan menurut standar yang telah ditetapkan oleh
perusahaan. Selain itu audit operasional juga menilai karyawan yang
melaksanakan pekerjaan serta berkaitan dengan peningkatan sumber daya
manusia, apakah telah sesuai dengan garis-garis kebijakan manajemen, khususnya
prosedur-prosedur dalam kegiatan dan pencapaian peningkatan kinerja karyawan,
dan berfungsi dalam memilih cara yang tepat untuk meungkinkan diambilnya
tindakan korektif untuk perbaikan sehingga audit operasional dapat berperan
dalam meningkatkan kinerja karyawan.
Download