BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-ekologi Nepenthes
2.1.1 Klasifikasi
Nepenthes secara ilmiah dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Suhono &
Tim LIPI 2010) :
Kerajaan
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Caryophyllales
Familia
: Nepenthaceae
Genus
: Nepenthes
Spesies
: Nepenthes ampullaria Jack., Nepenthes rafflesiana Jack.,
Nepenthes gracilis Korth., Nepenthes reinwardtiana Miq.
Nepenthes atau dikenal dengan nama kantong semar pertama kali
dikenalkan oleh J.P Breyne pada tahun 1689 (Mansur 2006). Di Indonesia,
tumbuhan ini memiliki cukup banyak nama daerah yang berbeda-beda.
Masyarakat di Riau mengenal tanaman ini dengan sebutan periuk monyet, di
Jambi disebut dengan kantong beruk, di Bangka disebut dengan ketakung,
sedangkan nama sorok raja mantri diberikan oleh masyarakat di Jawa Barat pada
tanaman unik ini. Sementara di Kalimantan setiap suku memiliki istilah sendiri
untuk menyebut Nepenthes sp. Suku Dayak Katingan menyebutnya sebagai
ketupat napu, suku Dayak Bakumpai dengan telep ujung, sedangkan suku Dayak
Tunjung menyebutnya dengan selo bengongong yang artinya sarang serangga
(Mansur 2006). Populasi kantung semar yang ada di dunia berjumlah sekitar 82
spesies dan 64 spesies diantaranya terdapat di Indonesia (Mansur 2006).
2.1.2 Morfologi
Nepenthes memiliki batang yang lurus, merambat atau memanjat hingga
mencapai ketinggian 20 meter. Tumbuhan ini memiliki daun yang tunggal,
bentuk, warna, tekstur dan ukuran yang berubah-ubah. Komposisi daun Nepenthes
terdiri dari helaian daun, sulur, kantong, tutup kantong dan taji. Batang Nepenthes
4
umumnya berbentuk silinder dan elips yang terus tumbuh. Ruas pada roset
pendek, tegak memanjang dan memanjat tanaman lain (Akhriadi & Hernawati
2006)
Nepenthes terkenal sebagai tumbuhan yang unik karena tumbuhan ini
mampu memangsa serangga. Oleh karena itu tumbuhan ini diklasifikasikan
sebagai tumbuhan karnivora. Kemampuan memangsa serangga ini dikarenkan
oleh Nepenthes memiliki organ berbentuk kantung yang menjulur dari ujung
daunnya. Organ tersebut bernama pitcher atau kantong. Selain itu tumbuhan
kantung semar ini memiliki keunikan yang lain yaitu bentuk, ukuran, dan corak
warna kantongnya (Azwar et al. 2006). Kantong merupakan bagian yang paling
penting dari Nepenthes (Akhriadi & Hernawati 2006) .
Umumnya Nepenthes memiliki tiga kantong yang berbeda meskipun
dalam satu spesies. Ketiga kantong tersebut dikenal dengan nama kantong roset,
kantong bawah dan kantong atas (Mansur 2006) :
a) Kantong roset yaitu kantong yang keluar dari ujung daun roset.
b) Kantong bawah yaitu kantong yang keluar dari daun yang letaknya tidak
jauh dari permukaan tanah dan biasanya menyentuh permukaan tanah.
Selain ujung sulurnya berada di depan bawah kantong, juga memiliki dua
sayap yang fungsinya seperti tangga untuk membantu serangga tanah naik
hingga ke mulut kantong.
c) Kantong atas yaitu kantong berbentuk corong, pinggang, atau silinder dan
tidak memiliki sayap. Bentuk ini sangat beralasan menyentuh kantong atas
difungsikan untuk menangkap serangga terbang, bukan serangga tanah.
Selain itu ujung sulur berada di belakang bawah kantong.
Secara keseluruhan, semua spesies Nepenthes memiliki lima bentuk
kantong yaitu bentuk tempayan (N. ampullaria), bulat telur atau oval (kantong
bawah dari N. rafflesian), silinder (N. gracilis), corong (kantong atas dari N.
rafflesiana), dan pinggang (N. reinwardtiana atau N. gymnamphora ) (Mansur
2006).
Kantong Nepenthes bagian dalam memiliki kelenjar yang dapat
menghasilkan enzim yang berguna untuk memecahkan dan mencerna hewanhewan kecil yang masuk ke dalam kantung seperti serangga dan mamalia kecil.
5
Enzim tersebut digunakan sebagai katalis oleh Nepenthes untuk mencerna mangsa
yang tertangkap dan menyediakan nutrisi yang penting agar mereka dapat tumbuh
(Akhriadi & Hernawati 2006). Kantong, kelenjar enzim dan proses pemecahan
atau pencernaan oleh Nepenthes
merupakan adaptasi morfologi tumbuhan
tersebut untuk memenuhi kekurangan nutrisi penting dari habitatnya.
Enzim yang dihasilkan oleh Nepenthes disebut proteolase. Enzim ini
dikeluarkan oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong di zona pencernaan yang
berfungsi sebagai enzim pengurai. Dengan bantuan enzim nepentheisin, protein
serangga atau hewan lain yang tertangkap di dalam cairan kantong, kemudian
diuraikan menjadi zat-zat yang lebih sederhana seperti nitrogen, fosfor, kalium,
dan garam-garam mineral. Zat-zat sederhana tersebutlah yang diserap oleh
Nepenthes untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Mansur 2006).
2.1.3 Ekologi dan penyebaran
Hutan dataran rendah (<1000 mdpl) dan hutan pegunungan (>1000 mdpl)
merupakan habitat penting untuk Nepenthes. Sebagian besar daerah sebaran
Nepenthes di Sumatera terdapat di hutan dataran rendah dan hutan pegunungan.
Umumnya Nepenthes dapat tumbuh baik di tanah yang miskin hara dan agak
terkena sinar matahari (Akhriadi & Hernawati 2006).
Nepenthes dapat hidup di tempat terbuka maupun agak terlindung di
habitat yang miskin unsur hara khususnya nitrogen seperti kawasan kerangas
dengan kelembaban udara cukup tinggi. Menurut Mansur (2006) Nepenthes
dapathidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan
gambut, hutan kerangas, gunung kapur, padang savana dan danau. Karakteristik
dan sifat Nepenthes berbeda pada setiap habitat. Beberapa spesies Nepenthes yang
hidup di habitat hutan hujan tropik dataran rendah dan hutan pegunungan bersifat
epifit, yaitu menempel pada batang atau cabang pohon lain (Azwar et al. 2006).
Nepenthes yang bersifat epifit dapat tumbuh di tempat yang memiliki kelembaban
tertentu, sehingga frekuensi penyebaran mereka sangat teratur. Perbedaan
penyebaran ini sangat dipengaruhi oleh cahaya, angin dan penyediaan air dan
bahan-bahan organik tanah (Barbour 1987 diacu dalam Dariana 2009). Pada
habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa mencapai
30ºC pada siang hari, Nepenthes beradaptasi dengan daun yang tebal untuk
6
menekan penguapan air dari daun. Sementara Nepenthes di daerah savana
umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari
2 m.
Nepenthes dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi tanah yang miskin
hara dan biasanya menghasilkan kantong yang besar dengan warna yang
mencolok, sementara itu kantong Nepenthes yang tumbuh di tanah yang subur
umumnya kecil, warna tidak mencolok dan ukuran daunnya lebih besar (Akhriadi
& Hernawati 2006).
2.2 Pemanfaatan Nepenthes
Masyarakat umumnya memanfaatkan Nepenthes sebagai tanaman hias.
Namun selain itu ada beberapa masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan
ini sebagai tanaman obat. Masyarakat tradisional menggunakan air yang ada di
dalam kantung Nepenthes sebagai ramuan untuk menyembuhkan penyakit
tertentu, diantaranya yaitu obat sakit mata, batuk dan maag. Masyarakat Maluku
meyakini bahwa air yang berada di dalam kantung Nepenthes dapat
mendatangkan hujan pada musim kemarau, yaitu dengan cara menuangkan semua
air dari kantong ke tanah. Di sisi lain, orang Sumatera memanfaatkan Nepenthes
yang sudah dibersihkan untuk memasak lemang (Handoyo & Maloedyn 2006).
Menurut Heyne (1987), cairan yang terdapat di dalam kantong dapat digunakan
sebagai obat batuk, selain campuran cairan kantung N. ampularia dengan bunga
kenanga dan garam juga dapat digunakan sebagai obat untuk mencuci mata.
2.3 Hutan Kerangas
Hutan kerangas adalah ekosistem khusus dan mudah dikenali di seluruh
formasi hutan hujan dataran rendah. Secara umum, hutan kerangas tumbuh di
daerah dataran rendah beriklim selalu basah. Hutan kerangas yang paling luas
dapat ditemukan di daerah tropika bagian timur. Sementara di daerah Malaysia
tersebar secara terbatas (tidak merata) begitu juga di Brunei. Hutan ini juga dapat
ditemui di Sumatera, Belitung, Singkep, Teluk dan Menamang. Khusus untuk
daerah Teluk Kaba (Kalimantan Timur), tumbuhan Nepenthes banyak dijumpai.
Menurut Whitmore (1984) di daerah Malesia, hutan kerangas tersebar secara
7
terbatas di Kalimantan (Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia), dan Brunei.
Umumnya hutan kerangas banyak ditemukan di daerah yang berbukit-bukit.
Hutan kerangas merupakan salah satu tipe hutan dataran rendah yang
memiliki lantai hutan yang ditutupi oleh tanah berpasir putih (tanah podsol) yang
miskin hara dan bersifat asam (pH 3-4) yang berasal dari batuan ultrabasic
(Mansur 2006). Sebagian besar dibentuk oleh pepohonan muda, batang pohon
yang kecil dan bentuk yang rapi dan teratur tetapi
sulit untuk ditembus.
Kanopinya rendah, seragam, dan biasanya rapat ditutupi dengan lapisan yang
tidak melilit-lilit (Whitmore 1984). Kanopi pohonnya relatif terbuka sehingga
penyinaran cahaya matahari terhadap lantai hutan tinggi menyebabkan daun-daun
yang berada di bagian atas kanopi berwarna coklat kemerah-merahan. Hutan
kerangas umumnya terdapat di daerah dataran rendah dan beriklim selalu basah.
Menurut Whitmore (1984) aliran sungai di area hutan kerangas berwarna
kecoklatan akibat dari pancaran cahaya dan hitam buram akibat pamantulan
cahaya yang menunjukkan adanya kandungan senyawa organik. Tanah di hutan
kerangas umumnya asam (pH <5,5) dan dengan kandungan oksigen yang rendah.
Ekosistem di hutan kerangas mudah rusak dan sulit dikembalikan lagi jika sudah
terganggu. Keterbukaan hutan kerangas akan mengakibatkan timbulnya Padang
savana yang gersang (MacKinnon et al. 1996).
Suhu udara di hutan kerangas umumnya cukup ekstrim yaitu di atas 30˚ C
pada siang hari. Beberapa spesies tumbuhan yang dapat tumbuh di hutan kerangas
yaitu Hydnophytum, Myrmecodia dan Clerodendron fistulosum. Selain itu juga
terdapat tumbuhan pemakan serangga diantaranya yaitu Drosera, Nepenthes dan
Utricularia yang biasanya hidup di lokasi yang terbuka (Whitmore 1984).
Menurut Mansur (2006) spesies pohon yang dapat tumbuh di hutan kerangas
diantaranya yaitu Vaccinium laurofolium, Rhodomyrtus tomentosus, Tristaniopsis
whiteana, Switonia glauca, Combretocarpus rotundus, Cratoxylum glaucum,
Hopea dryobalanoides, dan beberapa spesies marga Eugenia sp.
Beberapa spesies tumbuhan yang dapat dimakan (edible) yang hidup di
hutan kerangas Belitung sebagian besar anggota dari famili Myrtaceae, seperti
jemang (Rhodamia cinerea), keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), keleta’en
(Melastoma polyanthum) dan simpor bini (Dillenia suffruticosa). Selain itu juga
8
terdapat beberapa spesies dari genus Syzygium dan famili Ericaceae yaitu perai
laki (Vaccinium bancanum), perai bini (V. bracteatum), dari Clusiaceae seperti
melak (Garcinia bancana), kiras (G. hombroniana) dan kandis (G.parvifolia),
serta dari jenis Rubiaceae antara lain tenam (Psychotria viridiflora) dan
tempala’en (Timonius sp.). Seluruh spesies ini amat toleran atau telah teradaptasi
dengan baik pada kondisi ekosistem Padangan, seperti lahan hutan kerangas
tersebut yang kurang menguntungkan (Fakhrurrozi 2001).
2.4 Pola Sebaran
Penyebaran spesies dalam tingkat komunitas dan organisasi ekologi
bersifat unik. Penyebaran dalam komposisi jenis berhubungan dengan derajat
kestabilan komunitas (Istomo 1994). Menurut Cox (1972) diacu dalam Istomo
(1994) mengungkapkan bahwa komunitas vegetasi dengan penyebaran spesies
yang lebih besar akan memiliki jaringan kerja lebih komples daripada komunitas
dengan penyebaran spesies yang rendah. Penyebaran spesies tumbuhan dapat
terjadi secara vertikal maupun horizontal. Penyebaran secara vertikal suatu spesies
sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya matahari. Spesies
yang memiliki tajuk yang tinggi paling teratas berada pada kondisi yang penuh
cahaya (100%), sedangkan spesies dengan tajuk yang rendah dan dekat
permukaan tanah berada dalam kondisi yang kurang cahaya. Penyebaran spesies
tumbuhan secara horizontal merupakan penyebaran yang sangat komplek.
Odum (1990) menjelaskan bahwa spesies-spesies dalam populasi akan
menyebar menurut tiga pola yaitu acak (randomi), seragam (unifrom), dan
bergerombol (clumped). Penyebaran spesies secara acak jarang sekali ditemukan.
Penyebaran secara acak terjadi apabila kondisi lingkungan tempat tumbuh
seragam, tidak terjadi kompetsi yang kuat antar spesies anggoa populasi dan
masing-masing spesies tidak memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri
(Indriyanto 2006). Sementara itu, sebaran seragam terjadi apabila terdapat
persaingan yang ketat antar individu dalam populasi atau terdapat organisme yang
bersifat antagonis positif (Ewuise 1990). Penyebaran spesies secara bergerombol
merupakan penyebaran yang paling umum terjadi di alam. Penyebaran
bergerombol dapat meningkatkan kompetisi di dalam populasi untuk memperoleh
unsur hara, ruang dan cahaya.
9
2.5 Asosiasi Tumbuhan
Tumbuhan hidup membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap
individu menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam kumpulan tersebut terdapat pula asosiasi dan interaksi yang saling
menguntungkan sehingga terbentuk suatu derajat keterpaduan (Resosoedarmo
1989 diacu dalam Djufri 2002). Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas,
ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang-ulang di beberapa lokasi
(Kurniawan et al. 2008). Asosiasi dapat diartikan sebagai sekelompok spesies
yang hidup dalam lingkungan yang sama. Menurut Taramingkeng (1979) diacu
dalam Wisnugroho (1998) asosiasi merupakan sekelompok spesies yang hidup
dalam tempat yang sama. Asosiasi tersebut merupakan suatu hubungan interaksi
antara satu individu dengan individu lain untuk mendukung keberlangsungan
hidup individu tersebut.
Download