BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wellek dan Warren (1990:3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Luxemburg dkk. mengatakan bahwa sastra adalah teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan hanya berlangsung untuk sementara waktu. Dengan mengacu pada sastra barat, khususnya teks drama dan cerita, teks sastra dicirikan dengan adanya unsur fiksionalitas di dalamnya. Selain itu, bahasa sastra diolah secara istimewa dan sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Luxemburg dkk. juga mengatakan bahwa sejauh mana tahap-tahap arti tersebut dapat dimaklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks sastra (via Wiyatmi, 2009: 16-17). Damono mengatakan bahwa sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi yang lain. Sebuah drama diciptakan selain bertujuan untuk menghibur juga memberikan kegunaan kepada pembaca (jika drama tersebut di tulis) dan kepada penonton (jika drama tersebut dipentaskan). Selain action, nyawa sebuah drama juga terdapat pada text play atau teks dramanya. Akan tetapi, kritik teks drama sebagai bagian kritik sastra hingga kini tidak begitu populer, terkesan jalan di tempat, 1 2 dan terkurung di ranah akademik. Padahal menurut Hassanudin sesungguhnya drama sendiri mempunyai dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi pemanggungan. Masing-masing dimensi dalam drama tersebut dapat dibicarakan secara terpisah untuk kepentingan analisis (via Dewojati, 2012: 1--2). Drama Korea yang ada saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan drama Korea pada masa lampau. Seni pertunjukan di Korea telah dikenal luas sejak masa kerajaan Koryo. Pada saat itu seni pertunjukan yang terkenal salah satunya adalah tarian, dan merupakan asal mula pertunjukan drama di Korea. Pada awalnya, drama dan seni pertunjukan di Korea merupakan pengaruh dari China dan Semenanjung Barat Korea. Hal ini terbukti pada tarian pada masa dinasti Koryo yang merujuk ke China dan musiknya yang mengalami pengaruh dari pertunjukan seni di Jepang. Pada masa dinasti Jeoson drama dan seni pertunjukan di Korea mengalami masa-masa yang sulit. Hal ini dikarenakan penyebaran nilai-nilai konfusianisme yang keras di tengah masyarakat menyebabkan kegiatan seni pertunjukan dan drama di Korea dibatasi. Pada masa ini kebanyakan pertunjukan drama dan pertunjukan-pertunjukan lainnya tidak dicatat atau meskipun dicatat kebanyakan catatan-catatan tersebut rusak atau hilang pada abad ke-19 karena masalah sosial dan politik (Hyunggu, 1997: 122). Menurut catatan sejarah ada lima seni pertunjukan yang sangat terkenal di Korea, yaitu tari topeng (mask dance), teater boneka (puppet theatre), changguk, shinpaguk, dan drama modern Korea (Korean modern drama). Tari topeng (mask 3 dance) biasa disebut talchum di Korea dan merupakan salah satu bentuk drama tradisional Korea yang masih hidup hingga sekarang. Talchum kadang-kadang disebut juga sandaenori, talnori, pyolsin kunnori, totpoegi, dan tulnorum. Tari topeng biasanya dipentaskan di tempat yang cukup luas dengan penonton duduk melingkar mengelilingi tempat pementasan. Secara keseluruhan struktur dari tari topeng berdasarkan beberapa babak pementasan yang digambarkan secara bebas dan saling berkaitan antara satu dan yang lainnya. Dalam pementasan tari topeng, para pemain tidak dibatasi oleh waktu atau bentuk dari tempat pementasan. Para pemain dalam tari topeng lebih memfokuskan pada alur cerita dan pemecahan masalah dalam cerita (Hyunggu, 1997: 124). Di Korea teater boneka (puppet theatre) tradisional biasanya disebut kkoktukkakshi noreum. Istilah ini berasal dari satu-satunya sandiwara boneka yang masih hidup di Korea saat ini. Pada awalnya, ada beberapa sandiwara boneka di Korea, tetapi hilang lebih dari bertahun-tahun yang lalu. Teater boneka biasanya dipentaskan di tempat terbuka seperti tari topeng, tetapi di pementasan teater boneka, para penonton duduk menghadap ke panggung pementasan tidak melingkar seperti di pementasan tari topeng. Salah satu yang unik dari teater boneka di Korea adalah dalangnya tidak menggerakkan boneka dengan menggunakan tali, tetapi menggunakan tangan dan melakukan narasi setiap pemain dari tempat yang tertutup dari panggung (Hyunggu, 1997: 126--127). 4 Changguk merupakan seni pertunjukan yang diadaptasi dari pansori tetapi menggunakan pementasan gaya Barat. Changguk pertama kali muncul karena dipentaskan oleh dua grup yang berbeda antara tahun 1902 sampai tahun 1909. Kedua grup tersebut adalah Hyomyulsa dan Wongaksa yang dikenal sebagai grup pementasan lagu-lagu rakyat tradisional. Kedua grup tersebut mementaskan pansori dan lagu-lagu rakyat dari Seoul dan Kyeonggi tetapi dengan gaya yang berbeda. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai changguk, pansori dengan pementasan gaya barat. Shinpaguk merujuk kepada teater komersial pada tahun 1915 dan menjadi popular sekitaran tahun 1920-1930-an. Shipanguk masuk ke Korea karena pengaruh dari budaya pop Jepang yang kuat saat itu. Pada saat itu, bangsa Korea sedang kehilangan rasa nasionalismenya dan tertarik dengan modernisasi dan westernisasi. Hal inilah yang menyebabkan kepopuleran shipanguk sebagai teater dalam bentuk drama sentimental dan melodrama (Hyunggu, 1997: 129--131). Drama modern adalah bentuk baru dari teater ketika shipanguk sedang mendominasi panggung teater di Korea. Drama modern pertama kali diperkenalkan dengan sungguh-sungguh pada tahun 1920-an oleh kugyaesul yonguhoe (Drama Research Society) mahasiswa Korea di Tokyo dan Kyongsong High Scholl theatre company, kaldophoe. Meskipun begitu, bentuk drama ini kurang popular di Korea. Hal ini dikarenakan drama modern merupakan adaptasi langsung dari Barat sehingga tidak sejalan dengan sensibilitas masyarakat Korea saat itu. Hal lainnya adanya tekanan dari penjajah dan kurangnya fasilitas yang memadai menyebabkan drama 5 modern kurang berkembang di Korea. Pada tahun 1930, sebuah perusahaan Sawolhoe berniat membuat sebuah drama modern tentang realita kehidupan masyarakat korea di bawah penjajahan. Akan tetapi, masalah-masalah seperti kurangnya fasilitas dan tekanan dari penjajah terus mempengaruhi perkembangan drama di Korea hingga tahun 1930 dan tahun 1950-an (Hyunggu, 1997: 132--133). Jenis-jenis drama diatas merupakan cikal bakal terbentuknya drama-drama modern Korea saat ini. Ada beberapa perbedaan antara drama Korea pada masa lampau dan sekarang. Pertama, pada masa lampau tempat pementasan merupakan sebuah panggung pertunjukan, sedangkan sekarang merupakan studio televisi. Akan tetapi, pada masa sekarang pun masih ada drama yang dipertunjukan di panggung pertunjukan meskipun beberapa diantaranya merupakan adaptasi dari drama yang telah dipertontonkan di stasiun televisi di Korea. Kedua, alur cerita drama Korea pada masa lampau memiliki perbedaan yang signifikan. Drama-drama modern Korea lebih banyak mengangkat tema pada kehidupan masarakat Korea yang modern atau kehidupan kelas atas Korea sedangkan drama pada masa lampau lebih memiliki cerita yang lebih beragam. Seiring dengan perkembangan zaman, drama Korea pun mengalami perkembangan yang signifikan. Sejak televisi pertama mengudara di Korea panggung pertunjukkan drama di Korea pun berubah menjadi studio. Pada tahun 1956, siaran televisi di Korea mengudara untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, dunia pertelevisian korea mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam bidang program 6 maupun organisasinya. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan drama di Korea. Pada tahun 1961, salah satu stasiun televisi Korea, KBS-TV menyiarkan drama televisi pertama di Korea. Dalam drama televisi, peralatan pertunjukkan dimodifikasi dari radio menjadi mikrofon, film menjadi kamera serta panggung menjadi studio. Pada saat itu, panggung utama bukan lagi panggung pertunjukkan melainkan studio televisi. Hal inilah yang menjadi awal terbentuknya drama televisi di Korea yang sekarang lebih dikenal sebagai drama Korea dan telah menyebar hampir di seluruh bagian dunia (Changhee, 1995: 118). Pada tahun 1990 drama televisi Korea di produksi dengan lebih serius dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Changhee, 1995: 115). Di pertengahan tahun ini budaya pop Korea, khususnya film dan drama televisi Korea mulai booming di negara-negara Asia. Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan salah satu drama televisi populer yang ditayangkan oleh stasiun tv SBS di Korea sejak akhir tahun 2012 hingga awal tahun 2013. Drama ini diangkat dari sebuah novel Korea yang berjudul Cheongdam-dong Audrey yang ditulis oleh Lee Hye-kyung. Script dramanya sendiri ditulis oleh dua orang penulis Korea yaitu, Kim Ji-woon and Kim Jin-hee. Selain Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dua penulis ini juga menuliskan script untuk drama Korea 선덕여왕 (Queen Seon Deok, 2009) dan 뿌리 깊은 나무 (Deep Rooted Tree, 2011). Kedua drama tersebut bertema sejarah, 선덕여왕 (Queen Seon Deok) bercerita tentang ratu pertama kerajaan Silla 7 sedangkan 뿌리 깊은 나무 (Deep Rooted Tree) bercerita tentang Raja Sejong, raja yang menciptakan aksara Hangeul di Korea. (https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice) Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan drama pertama dua penulis ini yang bertema tentang kemewahan kalangan tertentu di Korea. Ketika menulis drama ini, kedua penulis ini ingin menggambarkan kenyataan tentang kemegahan dan kesombongan Cheongdam, sebuah tempat yang disebut “Bevelry Hills”-nya Seoul. Hal ini berdasarkan survei yang mereka lakukan tentang tempat tinggal impian yang diinginkan oleh muda-mudi Korea. Kedua penulis ini ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan itu bukan hanya berdasarkan kemewahan. (https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice) Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan salah satu drama yang mengambil setting dunia fashion. Fashion merupakan salah satu kata yang identik dengan keindahan, kecantikan dan perempuan. Akan tetapi, dalam drama ini perempuan justru mengalami diskriminasi gender dalam dunia yang identik dengan dunia mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan penulis tertarik dengan drama ini. Se lain itu, drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) memperoleh rating yang tinggi dari penonton. Rating tertinggi drama ini adalah 19,8% pada episode 19. Pada episode 5 drama ini mengungguli drama The King’s Dream dan 8 menempati posisi kedua dalam perolehan rating. Pada episode 9 dan 10 drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) menempati peringkat pertama dalam perolehan rating dan mengalahkan drama A Hundred Year Legacy. Hal ini membuktikan drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan salah satu drama televisi populer di Korea. Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) juga telah ditayangkan di Indonesia, membuktikan kepopuleran drama ini di Asia. (https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice) Pada dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan atau kelompok. Diskriminasi ini biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial (Fulthoni, et.al, 2009 : 8). Faham feminis lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang memengaruhinya. Gerakan ini memengaruhi banyak segi kehidupan dan memengaruhi pula setiap aspek kehidupan perempuan. Kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun menjadi pilihan yang menarik. Kritik sastra feminis menawarkan pandangan bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda dengan pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Wawasan mereka yang 9 diawali oleh para pelopornya selanjutnya berkembang dalam aneka ragam segi (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6). Alasan dipilihnya drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) sebagai objek penelitian dengan menggunakan kajian kritik sastra feminis adalah sebagai berikut. Pertama, drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan drama yang memperoleh rating tinggi sehingga menjadikannya salah satu drama yang populer di Korea. Kedua, adanya diskriminasi gender yang dialami oleh tokoh utama perempuan dan tokoh tambahan perempuan baik dalam pekerjaan maupun keluarga. Ketiga, dalam drama ini terdapat ide-ide feminis sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan tokoh-tokoh perempuan terhadap diskriminasi tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana identifikasi tokoh perempuan dan laki-laki yang diposisikan sebagai tokoh profeminis dan kontra feminis dalam drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스)? 2. Apa saja bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스)? 3. Apa saja ide-ide feminis yang terkandung Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스)? dalam drama Korea 10 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian terhadap drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) ini memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut. a. Mengidentifikasikan dan mendeskripsikan tokoh perempuan dan laki-laki yang diposisikan sebagai tokoh profeminis atau kontrafeminis melalui perjuangan atau perlawananya terhadap perempuan dalam drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). b. Menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan dalam drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). c. Mengungkapkan ide-ide feminis, baik oleh tokoh laki-laki maupun tokoh perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dalam drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai “Diskriminasi Perempuan dalam Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스): Kajian Kritik Sastra Feminis” ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis dalam penelitian drama ini sebagai berikut : a. Manfaat Teoretis 11 Manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan kritik sastra feminis terhadap objek penelitian. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan dan memperluas pemanfaatan teori kritik sastra feminis, terutama dalam drama Korea. Dengan demikian, penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu sastra itu sendiri. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah menambah pengetahuan pembaca dan penikmat drama Korea untuk lebih mengerti dan mengapresiasikan drama Korea sebagai suatu karya yang bermanfaat. Selain itu penulis juga berharap agar pembaca dapat merealisasikan resistensi diskriminasi terhadap wanita yang masih sering terjadi hingga sekarang ini. Penelitian ini merupakan salah satu cara yang efektif untuk memberikan wawasan dan juga gambaran tentang diskriminasi yang diterima oleh prempuan sehingga bisa mengoptimalkan pencegahan dan dorongan terhadap kaum perempuan. 1.5 Tinjauan Pustaka Kritik sastra feminis sebagai salah satu ragam kritik sastra dengan memanfaatkan teori feminisme sebagai alat dalam mengkaji suatu karya telah dikenal luas oleh penikmat sastra. Hal ini menyebabkan penelitian yang menerapkan kritik sastra feminis telah banyak dilakukan, antara lain. 12 Skripsi yang berjudul “Ide-ide Feminis Sebagai Resistensi Terhadap Ketidakadilan Gender : Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis Terhadap Film Hwang Jin Yi” ditulis oleh Evita (2011). Skripsi ini adalah sebuah skripsi yang menggunakan objek material film dengan pendekatan feminis. Skripsi ini mengkaji ide-ide feminis yang muncul dalam film Hwang Jin Yi sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama wanita. Dalam skripsi ini peneliti memulai penelitiannya dengan cara memilah tokoh-tokoh dalam film Hwang Jin Yi menjadi tokoh profeminis dan kontra feminis. Kemudian, penulis menjelaskan tentang ketidakadilan gender serta ide-ide feminis yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan gender tersebut. Skripsi “Representasi Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Grafis Hwangtobit Iyagi Karya Kim Dong Hwa : Pendekatan Feminis” oleh Desiana Enitriatwati (2013). Skripsi ini menjelaskan bagaimana representasi wanita Korea melalui Enhwa tokoh utama wanita dalam novel grafis Hwangtobit Iyagi Karya Kim Dong Hwa. Dalam skripsi ini dijelaskan bagamana karakter tokoh Enhwa, mulai dari saat dia masih kecil hingga karakter ketika dia telah tumbuh menjadi remaja yang aktif. Selain itu dalam skripsi ini juga dijelaskan bagaimana interaksi antara Enhwa dengan dunia sekitarnya serta timbal balik yang diterima Enhwa dari dunia sekitarnya. Secara umum bisa disebutkan bahwa skripsi ini menjelaskan representasi dari Enhwa dalam segala hal, baik fisik maupun nonfisik. 13 Selain dua penelitian di atas penulis juga meninjau beberapa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Penulis menemukan beberapa penelitian berupa skripsi yang menerapkan kritik sastra feminis dalam drama di Indonesia, antara lain. Skripsi yang berjudul “Subordinasi Perempuan Dalam Teks Drama Tjitra Karya Usmar Ismail : Analisis Kritik Sastra Feminis” oleh Qori’ah Handyastuti (2008). Skripsi ini membahas tentang subordinasi terhadap perempuan baik dalam ruang publik maupun domestik. Skripsi ini dimulai dengan identifikasi tokoh kemudian dilanjutkan dengan pembahasan latar belakang yang menyebabkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan serta subordinasi-subordinasi yang dialami oleh perempuan. Selain itu, skripsi ini juga membahas tentang gender dan bahasa. “Drama Jalan Tamblong Karya Remy Sylado : Analisis Kritik Sastra Feminis” oleh Evi Christina Pebrianti Siregar (2010). Skripsi ini membahas tentang isu-isu perempuan serta ide-ide feminis dalam drama Jalan Tamblong. Selain itu, skripsi ini juga membahas tentang identifikasi tokoh profeminis dan tokoh kontrafeminis. Penelitian drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dengan kajian kritik sastra feminis ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, baik yang menggunakan objek penelitian drama Korea maupun penelitian yang menggunakan kajian kritik sastra feminis. Pertama, drama yang digunakan dalam penelitian ini adalah drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) berbeda dengan drama-drama Korea yang digunakan dalam penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas. Kedua, selain mengkaji diskriminasi perempuan dalam ranah 14 domestik, penelitian ini juga mengkaji diskriminasi perempuan dalam ranah publik. Ketiga, alasan-alasan penelitian ini telah disebutkan dalam subbab sebelumnya yang menjadi dasar pembedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya. Diskriminasi perempuan masih terjadi dalam banyak ranah lingkungan kehidupan masyarakat, termasuk dalam ranah lingkungan yang sering diidentikkan dengan dunia perempuan sekalipun. 1.6 Landasan Teori Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Kata kritik berasal dari bahasa yunani, yaitu krites yang berarti hakim dengan kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kemudian muncul kata benda criterion yang berarti dasar penghakiman yang kemudian merupakan dasar dari munculnya kata kritikos sebutan untuk hakim karya sastra (Wiyatmi, 2012 : 1-2). Menurut Wellek kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya. Abrams menyatakan bahwa kritik satra adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian karya sastra. Pradopo mengatakan bahwa kritik sastra adalah ilmu sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus (via Wiyatmi, 15 2012 : 2). berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sastra merupakan tindakan untuk menghakimi atau menilai suatu karya sastra. Kritik sastra feminis adalah salah satu ragam kritik sastra yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya-karya sastranya. Dengan memfokuskan analisis dan penilaian pada penulis perempuan dan bagaimana perempuan digambarkan dalam karya sastra, serta dalam hubungannya dengan lakilaki dan lingkungan masyarakatnya. Maka dapat disimpulkan kritik sastra feminis termasuk dalam kritik sastra yang memadukan berbagai macam perspektif sastra, yaitu ekspresif (penulis perempuan), mimetik (bagaimana perempuan digambarkan dalam karya sastra, dalam hubungannya dengan laki-laki ataupun lingkungannya), serta teori feminis (Wiyatmi, 2012: 9). Pada awalnya feminisme merupakan sebuah gerakan untuk memperjuangkan nasib perempuan agar mendapat perlakuan yang lebih baik dari laki-laki. Akan tetapi, seiring perkembangannya feminisme menjadi gerakan yang memperjuangkan nasib perempuan di segala bidang, yaitu bidang ekonomi, politik termasuk sastra agar dapat berdiri sejajar dengan laki-laki. Pada tahun 1960-an terjadi sebuah pergerakan perempuan yang bertujuan untuk memperbaharui pemikiran dan tindakan lama yang sudah memiliki buku-buku klasiknya sendiri, yang mendiagnosis masalah ketidaksetaraan posisi perempuan dalam masyarakat beserta solusinya. 16 Inti dari gerakan feminis adalah adanya asumsi atas munculnya ketidakadilan berbasis gender dan adanya usaha perlawanan untuk meningkatkan kedudukan serta derajat perempuan agar setara dengan laki-laki. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh feminisme untuk mencapai tujuan itu, di antaranya equal right’s movement dan women’s liberation movement. Equal right’s movement merupakan langkah perempuan untuk mendapatkan persamaan kedudukan dengan laki-laki, sedangkan women’s liberation movement adalah usaha pembebasan perempuan dari ikatan lingkungan domestik dan adat (Dajajanegara, 2000: 4). Kritik sastra feminis yang ada saat ini merupakan akibat langsung dari pergerakan feminis tahun 1960-an. Pada dasarnya pergerakan perempuan ini bersifat sastrawi sejak lama, dalam artian pergerakan ini menyadari signifikan citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra, dan memandang bahwa penting sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya. Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasi terpenting, karena memberikan model peranan yang mengindikasikan pada perempuan dan laki-laki apa yang merupakan versi feminin yang bisa diterima serta sasaran dan aspirasi feminin yang sah. Oleh karena itulah, kritik sastra feminis tidak boleh dilihat sebagai cabang atau pemekaran feminisme yang berada jauh dari tujuan akhir pergerakan perempuan, tetapi sebagai salah satu cara yang paling praktis untuk memengaruhi prilaku dan sikap sehari-hari (Barry, 2009: 143--144). 17 Gerakan feminisme memiliki beberapa aliran, yaitu aliran yang pertama adalah feminisme liberal. Gagasan feminis liberal telah muncul sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, akan tetapi gerakan ini baru terlihat menonjol dan mendominasi pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia pada tahun 1960-an. Feminis liberal lahir sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral, serta kebebasan individu. Namun, pada saat yang sama hal tersebut dianggap mendiskriminasi perempuan (Fakih, 2008: 81--83). Feminis liberal menyatakan bahwa subordinasi terjadi karena adanya kesalahan dan konstruksi adat, hukum, dan agama yang menganggap perempuan tidak secerdas dan sekuat laki-laki. Feminisme ini menginginkan adanya keadilan dalam semua institusi publik dan memperluas pengetahuan perempuan agar perempuan tidak lagi diabaikan (Tong, 2010: 2). Contohnya adalah masih banyaknya anggota laki-laki dibandingkan dengan anggota perempuan dalam pemerintahan. Akan tetapi, pemikiran ini dipandang belum mampu membebaskan perempuan dari berbagai bentuk penomorduaan dan penindasan sehingga muncul gerakan feminisme radikal. Feminisme radikal muncul dari reaksi atas kultur sexisme atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin yang terjadi di barat pada tahun 1960-an. Gerakan ini beranggapan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya, sehingga paham ini berpendapat bahwa laki-laki, baik secara biologis maupun politis, 18 merupakan bagian dari permasalahan (Fakih, 2008: 84--85). Pemikiran ini beranggapan bahwa penindasan laki-laki terhadap perempuan baru bisa berhenti apabila dominasi patriarki dihilangkan sampai ke akar-akarnya karena sistem patriarkal tidak dapat dibentuk ulang (Tong, 2010: 68). Aliran selanjutnya adalah feminis marxis yang didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Marx beranggapan bahwa hubungan antara suami dan istri sama seperti hubungan antara borjuis dan proletar, dalam hal ini status perempuan merupakan tolak ukur dari tingkat kemajuan masyarakat. Gerakan ini beranggapan bahwa bukan patriarki dan laki-laki yang menjadi permasalahan dalam penindasan perempuan, melainkan sistem kapitalisme. Oleh sebab itu, penyelesaian dalam hal ini harus bersifat struktural, yaitu dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional (Fakih, 2008: 86--89). Akan tetapi, aliran feminis ini juga dianggap belum mampu membebaskan perempuan dari penindasan. Hal ini dikarenakan feminisme marxis hanya membahas opresi perempuan dalam dunia kerja tetapi tidak membahas opresi perempuan dalam ranah domestik, sehingga muncullah aliran feminisme sosialis. Feminisme sosialis merupakan kritik sekaligus pengembangan dari feminism Marxis. Bagi feminisme sosialis penindasan perempuan dapat terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis tidak secara langsung dapat menaikkan posisi kaum perempuan. Atas dasar tersebut penganut aliran ini menolak pemikiran feminisme marxis klasik yang beranggapan bahwa eksploitasi merupakan dasar 19 penindasan perempuan (Fakih, 2008: 90). Feminisme sosialis menegaskan bahwa penyebab yang mendasar terhadap penindasan kaum perempuan bukan didasarkan pada kelas atau jenis kelamin, melainkan suatu keterkaitan antara sistem kapitalisme dan patriarki (Tong, 2010: 139). Selain aliran utama pemikiran feminisme di atas, masih banyak aliran pemikiran feminisme lainnya yang berkembang di dunia, misalnya ekofeminisme, black feminism, feminism dunia ketiga, serta gerakan-gerakan feminisme lainnya yang berkembang di kalangan agama (Fakih, 2008: 95--96). Meskipun memiliki banyak aliran, inti dari tujuan gerakan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sejajar dengan laki-laki (Djajanegara, 2008: 4) 1.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat analitis. Bogdan dan Taylor mengatakan metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (via Moloeng 2010: 4). Dalam penelitian ini data yang dihasilkan berupa data yang terurai dengan kata-kata bukan merupakan data angka. Moloeng (2010 : 5) mengatakan bahwa penelitian ini termasuk dalam bidang humaniora yang berobjek pada karya itu sendiri. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode bantu reading as a woman yang diperkenalkan oleh Culler. Menurut Culler reading as a woman adalah 20 membaca sebagai seorang perempuan dan menghindari membaca sebagai seorang pria (Culler, 1983: 43--63 ). Reading as a woman berusaha untuk mengidentifikasi pembelaan dan distorsi yang dilakukan oleh pembaca pria untuk kemudian memberikan pembenaran. Millet mengungkapkan bahwa reading as a woman adalah menggunakan ide pengarang dengan sungguh-sungguh dan berhadapan secara langsung dengan ide tersebut (via Culler, 1983: 47). Beberapa konsep penting yang dikemukan oleh Culler dalam metode reading as a woman adalah sebagai berikut. 1. Ketika memosisikan diri sebagai pembaca perempuan yang diperhatikan secara subtansial bukanlah pengalaman melihat sebagai seorang perempuan, tetapi pengalaman dilihat sebagai seorang perempuan. Pengalaman sebagai seorang perempuan yang dibatasi. 2. Dalam kritik feminis, konsep sebagai seorang pembaca perempuan adalah menunjukkan hubungan yang berkelanjutan antara pengalaman perempuan dengan struktur sosial dan keluarga serta pengalaman perempuan sebagai seorang pembaca. Hal ini dilakukan dengan memerhatikan situasi dan psikologi pada karakter perempuan, serta memerhatikan sikap dan imaji seorang tokoh perempuan dalam kerangka kerja pengarang. 3. Dalam kritik feminis, pembaca perempuan perlu mengidentifikasi tokoh perempuan yang dilanjutkan dengan identifikasi tokoh laki-laki yang terkait dengan tokoh perempuan dan feminis. 21 Berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan di atas, langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan objek penelitian, yaitu drama Korea yang berjudul Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). Penentuan drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa hal, diantaranya karena di dalam drama ini terdapat diskriminasi perempuan yang identik dengan dunia mereka sendiri, serta adanya bentuk-bentuk perlawanan terhadap diskriminasi tersebuta sehingga muncullah ide-ide feminis. 2. Memfokuskan objek penelitian, yaitu identifikasi tokoh dan diskriminasi serta ide-ide feminis yang terdapat dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dan melakukan studi pustaka untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mendukung objek penelitian. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis kutipan-kutipan percakapan dan adeganadegan dalam drama baik yang dilakukan oleh tokoh utama maupun tokohtokoh lainnya. Hal ini dilakukan untuk pengungkapan karakter tokoh yang akan mendukung penelitian. 4. Menganalisis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan beberapa percakapan dan adegan, baik yang 22 dilakukan oleh tokoh utama maupun tokoh tambahan. Kemudian hal tersebut dikaji lebih dalam, sehingga dapat disimpulkan bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi di dalam drama ini. 5. Menganalisis ide-ide feminis yang muncul sebagai perlawanan terhadap diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan beberapa percakapan yang berpotensi memunculkan ide-ide feminis. Percakpan-percakpan tersebut dikaji lagi sehingga muncul beberapa percakpan yang mengindikasikan perlawan terhadap diskriminasi perempuan. Hal tersebut kemudian disimpulkan sebagai ide-ide feminis dalam penelitian ini. 6. Menyimpulkan hasil analisis tentang identifikasi tokoh, bentuk diskriminasi dan ide-ide feminis yang muncul dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dan selanjutnya melaporkan dalam bentuk tulisan. 1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Pembagian bahasan tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut. 1) bab I berupa pendahuluan yang mencakup a) latar belakang masalah b) rumusan masalah c) tujuan penelitian d) manfaat penelitian e) tinjauan pustaka f) landasan teori g) metode penelitian h) sistematika penelitian; 2) bab II berisi hasil kajian tentang identifikasi tokoh profeminis dan kontra feminis 23 dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스); 3) bab III berisi tentang hasil kajian bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan; 4) bab IV berisi ide-ide feminis yang muncul dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스); 5) bab V berisi kesimpulan.