BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Wellek dan Warren (1990:3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan
kreatif sebuah karya seni. Luxemburg dkk. mengatakan bahwa sastra adalah teks
yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis
dan hanya berlangsung untuk sementara waktu. Dengan mengacu pada sastra barat,
khususnya teks drama dan cerita, teks sastra dicirikan dengan adanya unsur
fiksionalitas di dalamnya. Selain itu, bahasa sastra diolah secara istimewa dan sebuah
karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Luxemburg
dkk. juga mengatakan bahwa sejauh mana tahap-tahap arti tersebut dapat dimaklumi
sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada mutu karya sastra bersangkutan
dan kemampuan pembaca dalam bergaul dengan teks sastra (via Wiyatmi, 2009: 16-17).
Damono mengatakan bahwa sebagai sebuah karya, drama mempunyai
karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni
pertunjukan pada sisi yang lain. Sebuah drama diciptakan selain bertujuan untuk
menghibur juga memberikan kegunaan kepada pembaca (jika drama tersebut di tulis)
dan kepada penonton (jika drama tersebut dipentaskan). Selain action, nyawa sebuah
drama juga terdapat pada text play atau teks dramanya. Akan tetapi, kritik teks drama
sebagai bagian kritik sastra hingga kini tidak begitu populer, terkesan jalan di tempat,
1
2
dan terkurung di ranah akademik. Padahal menurut Hassanudin sesungguhnya drama
sendiri mempunyai dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi pemanggungan.
Masing-masing dimensi dalam drama tersebut dapat dibicarakan secara terpisah
untuk kepentingan analisis (via Dewojati, 2012: 1--2).
Drama Korea yang ada saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan dibandingkan dengan drama Korea pada masa lampau. Seni pertunjukan di
Korea telah dikenal luas sejak masa kerajaan Koryo. Pada saat itu seni pertunjukan
yang terkenal salah satunya adalah tarian, dan merupakan asal mula pertunjukan
drama di Korea. Pada awalnya, drama dan seni pertunjukan di Korea merupakan
pengaruh dari China dan Semenanjung Barat Korea. Hal ini terbukti pada tarian pada
masa dinasti Koryo yang merujuk ke China dan musiknya yang mengalami pengaruh
dari pertunjukan seni di Jepang.
Pada masa dinasti Jeoson drama dan seni
pertunjukan di Korea mengalami masa-masa yang sulit. Hal ini dikarenakan
penyebaran nilai-nilai konfusianisme yang keras di tengah masyarakat menyebabkan
kegiatan seni pertunjukan dan drama di Korea dibatasi. Pada masa ini kebanyakan
pertunjukan drama dan pertunjukan-pertunjukan lainnya tidak dicatat atau meskipun
dicatat kebanyakan catatan-catatan tersebut rusak atau hilang pada abad ke-19 karena
masalah sosial dan politik (Hyunggu, 1997: 122).
Menurut catatan sejarah ada lima seni pertunjukan yang sangat terkenal di
Korea, yaitu tari topeng (mask dance), teater boneka (puppet theatre), changguk,
shinpaguk, dan drama modern Korea (Korean modern drama). Tari topeng (mask
3
dance) biasa disebut talchum di Korea dan merupakan salah satu bentuk drama
tradisional Korea yang masih hidup hingga sekarang. Talchum kadang-kadang
disebut juga sandaenori, talnori, pyolsin kunnori, totpoegi, dan tulnorum. Tari topeng
biasanya dipentaskan di tempat yang cukup luas dengan penonton duduk melingkar
mengelilingi tempat pementasan. Secara keseluruhan struktur dari tari topeng
berdasarkan beberapa babak pementasan yang digambarkan secara bebas dan saling
berkaitan antara satu dan yang lainnya. Dalam pementasan tari topeng, para pemain
tidak dibatasi oleh waktu atau bentuk dari tempat pementasan. Para pemain dalam tari
topeng lebih memfokuskan pada alur cerita dan pemecahan masalah dalam cerita
(Hyunggu, 1997: 124).
Di Korea teater boneka (puppet theatre) tradisional biasanya disebut
kkoktukkakshi noreum. Istilah ini berasal dari satu-satunya sandiwara boneka yang
masih hidup di Korea saat ini. Pada awalnya, ada beberapa sandiwara boneka di
Korea, tetapi hilang lebih dari bertahun-tahun yang lalu. Teater boneka biasanya
dipentaskan di tempat terbuka seperti tari topeng, tetapi di pementasan teater boneka,
para penonton duduk menghadap ke panggung pementasan tidak melingkar seperti di
pementasan tari topeng. Salah satu yang unik dari teater boneka di Korea adalah
dalangnya
tidak
menggerakkan
boneka
dengan
menggunakan
tali,
tetapi
menggunakan tangan dan melakukan narasi setiap pemain dari tempat yang tertutup
dari panggung (Hyunggu, 1997: 126--127).
4
Changguk merupakan seni pertunjukan yang diadaptasi dari pansori tetapi
menggunakan pementasan gaya Barat. Changguk pertama kali muncul karena
dipentaskan oleh dua grup yang berbeda antara tahun 1902 sampai tahun 1909.
Kedua grup tersebut adalah Hyomyulsa dan Wongaksa yang dikenal sebagai grup
pementasan lagu-lagu rakyat tradisional. Kedua grup tersebut mementaskan pansori
dan lagu-lagu rakyat dari Seoul dan Kyeonggi tetapi dengan gaya yang berbeda. Hal
inilah yang kemudian dikenal sebagai changguk, pansori dengan pementasan gaya
barat. Shinpaguk merujuk kepada teater komersial pada tahun 1915 dan menjadi
popular sekitaran tahun 1920-1930-an. Shipanguk masuk ke Korea karena pengaruh
dari budaya pop Jepang yang kuat saat itu. Pada saat itu, bangsa Korea sedang
kehilangan rasa nasionalismenya dan tertarik dengan modernisasi dan westernisasi.
Hal inilah yang menyebabkan kepopuleran shipanguk sebagai teater dalam bentuk
drama sentimental dan melodrama (Hyunggu, 1997: 129--131).
Drama modern adalah bentuk baru dari teater ketika shipanguk sedang
mendominasi panggung teater di Korea. Drama modern pertama kali diperkenalkan
dengan sungguh-sungguh pada tahun 1920-an oleh kugyaesul yonguhoe (Drama
Research Society) mahasiswa Korea di Tokyo dan Kyongsong High Scholl theatre
company, kaldophoe. Meskipun begitu, bentuk drama ini kurang popular di Korea.
Hal ini dikarenakan drama modern merupakan adaptasi langsung dari Barat sehingga
tidak sejalan dengan sensibilitas masyarakat Korea saat itu. Hal lainnya adanya
tekanan dari penjajah dan kurangnya fasilitas yang memadai menyebabkan drama
5
modern kurang berkembang di Korea. Pada tahun 1930, sebuah perusahaan Sawolhoe
berniat membuat sebuah drama modern tentang realita kehidupan masyarakat korea
di bawah penjajahan. Akan tetapi, masalah-masalah seperti kurangnya fasilitas dan
tekanan dari penjajah terus mempengaruhi perkembangan drama di Korea hingga
tahun 1930 dan tahun 1950-an (Hyunggu, 1997: 132--133).
Jenis-jenis drama diatas merupakan cikal bakal terbentuknya drama-drama
modern Korea saat ini. Ada beberapa perbedaan antara drama Korea pada masa
lampau dan sekarang. Pertama, pada masa lampau tempat pementasan merupakan
sebuah panggung pertunjukan, sedangkan sekarang merupakan studio televisi. Akan
tetapi, pada masa sekarang pun masih ada drama yang dipertunjukan di panggung
pertunjukan meskipun beberapa diantaranya merupakan adaptasi dari drama yang
telah dipertontonkan di stasiun televisi di Korea. Kedua, alur cerita drama Korea pada
masa lampau memiliki perbedaan yang signifikan. Drama-drama modern Korea lebih
banyak mengangkat tema pada kehidupan masarakat Korea yang modern atau
kehidupan kelas atas Korea sedangkan drama pada masa lampau lebih memiliki cerita
yang lebih beragam.
Seiring dengan perkembangan zaman, drama Korea pun mengalami
perkembangan yang signifikan. Sejak televisi pertama mengudara di Korea panggung
pertunjukkan drama di Korea pun berubah menjadi studio. Pada tahun 1956, siaran
televisi di Korea mengudara untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, dunia pertelevisian
korea mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam bidang program
6
maupun organisasinya. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan drama di Korea.
Pada tahun 1961, salah satu stasiun televisi Korea, KBS-TV menyiarkan drama
televisi pertama di Korea. Dalam drama televisi, peralatan pertunjukkan dimodifikasi
dari radio menjadi mikrofon, film menjadi kamera serta panggung menjadi studio.
Pada saat itu, panggung utama bukan lagi panggung pertunjukkan melainkan studio
televisi. Hal inilah yang menjadi awal terbentuknya drama televisi di Korea yang
sekarang lebih dikenal sebagai drama Korea dan telah menyebar hampir di seluruh
bagian dunia (Changhee, 1995: 118). Pada tahun 1990 drama televisi Korea di
produksi dengan lebih serius dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
(Changhee, 1995: 115). Di pertengahan tahun ini budaya pop Korea, khususnya film
dan drama televisi Korea mulai booming di negara-negara Asia.
Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan salah satu
drama televisi populer yang ditayangkan oleh stasiun tv SBS di Korea sejak akhir
tahun 2012 hingga awal tahun 2013. Drama ini diangkat dari sebuah novel Korea
yang berjudul Cheongdam-dong Audrey yang ditulis oleh Lee Hye-kyung. Script
dramanya sendiri ditulis oleh dua orang penulis Korea yaitu, Kim Ji-woon and Kim
Jin-hee. Selain Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dua penulis ini juga
menuliskan script untuk drama Korea 선덕여왕 (Queen Seon Deok, 2009) dan 뿌리
깊은 나무 (Deep Rooted Tree, 2011). Kedua drama tersebut bertema sejarah,
선덕여왕 (Queen Seon Deok) bercerita tentang ratu pertama kerajaan Silla
7
sedangkan 뿌리 깊은 나무 (Deep Rooted Tree) bercerita tentang Raja Sejong, raja
yang
menciptakan
aksara
Hangeul
di
Korea.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice)
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan drama pertama dua
penulis ini yang bertema tentang kemewahan kalangan tertentu di Korea. Ketika
menulis drama ini, kedua penulis ini ingin menggambarkan kenyataan tentang
kemegahan dan kesombongan Cheongdam, sebuah tempat yang disebut “Bevelry
Hills”-nya Seoul. Hal ini berdasarkan survei yang mereka lakukan tentang tempat
tinggal impian yang diinginkan oleh muda-mudi Korea. Kedua penulis ini ingin
menunjukkan bahwa kebahagiaan itu bukan hanya berdasarkan kemewahan.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice)
Drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan salah satu
drama yang mengambil setting dunia fashion. Fashion merupakan salah satu kata
yang identik dengan keindahan, kecantikan dan perempuan. Akan tetapi, dalam
drama ini perempuan justru mengalami diskriminasi gender dalam dunia yang identik
dengan dunia mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan penulis tertarik
dengan drama ini. Se
lain itu, drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) memperoleh
rating yang tinggi dari penonton. Rating tertinggi drama ini adalah 19,8% pada
episode 19. Pada episode 5 drama ini mengungguli drama The King’s Dream dan
8
menempati posisi kedua dalam perolehan rating. Pada episode 9 dan 10 drama
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) menempati peringkat pertama dalam
perolehan rating dan mengalahkan drama A Hundred Year Legacy. Hal ini
membuktikan drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan
salah satu drama televisi populer di Korea. Drama Korea Cheongdamdong Allice
(청담동 앨리스) juga telah ditayangkan di Indonesia, membuktikan kepopuleran
drama ini di Asia. (https://en.wikipedia.org/wiki/Cheongdam-dong_Alice)
Pada dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah
perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan
terhadap perorangan atau kelompok. Diskriminasi ini biasanya bersifat kategorikal,
atau atribut-atribut khas seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau
keanggotaan kelas-kelas sosial (Fulthoni, et.al, 2009 : 8). Faham feminis lahir dan
mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting
yang memengaruhinya. Gerakan ini memengaruhi banyak segi kehidupan dan
memengaruhi pula setiap aspek kehidupan perempuan. Kritik feminis dikembangkan
sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik
sastra feminis ini pun menjadi pilihan yang menarik. Kritik sastra feminis
menawarkan pandangan bahwa para pembaca perempuan dan kritikus perempuan
membawa persepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda dengan pengalaman
membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Wawasan mereka yang
9
diawali oleh para pelopornya selanjutnya berkembang dalam aneka ragam segi
(Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).
Alasan dipilihnya drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) sebagai
objek penelitian dengan menggunakan kajian kritik sastra feminis adalah sebagai
berikut. Pertama, drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) merupakan drama
yang memperoleh rating tinggi sehingga menjadikannya salah satu drama yang
populer di Korea. Kedua, adanya diskriminasi gender yang dialami oleh tokoh utama
perempuan dan tokoh tambahan perempuan baik dalam pekerjaan maupun keluarga.
Ketiga, dalam drama ini terdapat ide-ide feminis sebagai bentuk perlawanan dan
perjuangan tokoh-tokoh perempuan terhadap diskriminasi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana identifikasi tokoh perempuan dan laki-laki yang diposisikan
sebagai tokoh profeminis dan kontra feminis dalam drama Cheongdamdong
Allice (청담동 앨리스)?
2. Apa saja bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan
dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스)?
3. Apa
saja
ide-ide
feminis
yang
terkandung
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스)?
dalam
drama
Korea
10
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian terhadap drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) ini
memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut.
a. Mengidentifikasikan dan mendeskripsikan tokoh perempuan dan laki-laki
yang diposisikan sebagai tokoh profeminis atau kontrafeminis melalui
perjuangan
atau
perlawananya
terhadap
perempuan
dalam
drama
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스).
b. Menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh tokoh perempuan
dalam drama Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스).
c.
Mengungkapkan ide-ide feminis, baik oleh tokoh laki-laki maupun tokoh
perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dalam drama
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스).
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian
mengenai
“Diskriminasi
Perempuan
dalam
Drama
Korea
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스): Kajian Kritik Sastra Feminis” ini memiliki
dua manfaat, yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. manfaat secara
teoretis dan manfaat secara praktis dalam penelitian drama ini sebagai berikut :
a.
Manfaat Teoretis
11
Manfaat teoretis penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan kritik sastra
feminis terhadap objek penelitian. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat
mengembangkan dan memperluas pemanfaatan teori kritik sastra feminis, terutama
dalam drama Korea. Dengan demikian, penelitian ini dapat bermanfaat untuk
pengembangan ilmu sastra itu sendiri.
b.
Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah menambah pengetahuan pembaca
dan penikmat drama Korea untuk lebih mengerti dan mengapresiasikan drama Korea
sebagai suatu karya yang bermanfaat. Selain itu penulis juga berharap agar pembaca
dapat merealisasikan resistensi diskriminasi terhadap wanita yang masih sering
terjadi hingga sekarang ini. Penelitian ini merupakan salah satu cara yang efektif
untuk memberikan wawasan dan juga gambaran tentang diskriminasi yang diterima
oleh prempuan sehingga bisa mengoptimalkan pencegahan dan dorongan terhadap
kaum perempuan.
1.5
Tinjauan Pustaka
Kritik sastra feminis sebagai salah satu ragam kritik sastra dengan
memanfaatkan teori feminisme sebagai alat dalam mengkaji suatu karya telah dikenal
luas oleh penikmat sastra. Hal ini menyebabkan penelitian yang menerapkan kritik
sastra feminis telah banyak dilakukan, antara lain.
12
Skripsi yang berjudul “Ide-ide Feminis Sebagai Resistensi Terhadap
Ketidakadilan Gender : Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis Terhadap Film Hwang
Jin Yi” ditulis oleh Evita (2011). Skripsi ini adalah sebuah skripsi yang
menggunakan objek material film dengan pendekatan feminis. Skripsi ini mengkaji
ide-ide feminis yang muncul dalam film Hwang Jin Yi sebagai bentuk perlawanan
terhadap ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama wanita. Dalam skripsi
ini peneliti memulai penelitiannya dengan cara memilah tokoh-tokoh dalam film
Hwang Jin Yi menjadi tokoh profeminis dan kontra feminis. Kemudian, penulis
menjelaskan tentang ketidakadilan gender serta ide-ide feminis yang muncul sebagai
bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan gender tersebut.
Skripsi “Representasi Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Grafis
Hwangtobit Iyagi Karya Kim Dong Hwa : Pendekatan Feminis” oleh Desiana
Enitriatwati (2013). Skripsi ini menjelaskan bagaimana representasi wanita Korea
melalui Enhwa tokoh utama wanita dalam novel grafis Hwangtobit Iyagi Karya Kim
Dong Hwa. Dalam skripsi ini dijelaskan bagamana karakter tokoh Enhwa, mulai dari
saat dia masih kecil hingga karakter ketika dia telah tumbuh menjadi remaja yang
aktif. Selain itu dalam skripsi ini juga dijelaskan bagaimana interaksi antara Enhwa
dengan dunia sekitarnya serta timbal balik yang diterima Enhwa dari dunia sekitarnya.
Secara umum bisa disebutkan bahwa skripsi ini menjelaskan representasi dari Enhwa
dalam segala hal, baik fisik maupun nonfisik.
13
Selain dua penelitian di atas penulis juga meninjau beberapa penelitian lainnya
yang berkaitan dengan penelitian ini. Penulis menemukan beberapa penelitian berupa
skripsi yang menerapkan kritik sastra feminis dalam drama di Indonesia, antara lain.
Skripsi yang berjudul “Subordinasi Perempuan Dalam Teks Drama Tjitra Karya
Usmar Ismail : Analisis Kritik Sastra Feminis” oleh Qori’ah Handyastuti (2008).
Skripsi ini membahas tentang subordinasi terhadap perempuan baik dalam ruang
publik maupun domestik. Skripsi ini dimulai dengan identifikasi tokoh kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan latar belakang yang menyebabkan terjadinya
subordinasi terhadap perempuan serta subordinasi-subordinasi yang dialami oleh
perempuan. Selain itu, skripsi ini juga membahas tentang gender dan bahasa.
“Drama Jalan Tamblong Karya Remy Sylado : Analisis Kritik Sastra Feminis”
oleh Evi Christina Pebrianti Siregar (2010). Skripsi ini membahas tentang isu-isu
perempuan serta ide-ide feminis dalam drama Jalan Tamblong. Selain itu, skripsi ini
juga membahas tentang identifikasi tokoh profeminis dan tokoh kontrafeminis.
Penelitian drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) dengan kajian
kritik sastra feminis ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, baik yang
menggunakan objek penelitian drama Korea maupun penelitian yang menggunakan
kajian kritik sastra feminis. Pertama, drama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) berbeda dengan
drama-drama Korea yang digunakan dalam penelitian-penelitian yang telah
disebutkan di atas. Kedua, selain mengkaji diskriminasi perempuan dalam ranah
14
domestik, penelitian ini juga mengkaji diskriminasi perempuan dalam ranah publik.
Ketiga, alasan-alasan penelitian ini telah disebutkan dalam subbab sebelumnya yang
menjadi dasar pembedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya. Diskriminasi
perempuan masih terjadi dalam banyak ranah lingkungan kehidupan masyarakat,
termasuk dalam ranah lingkungan yang sering diidentikkan dengan dunia perempuan
sekalipun.
1.6
Landasan Teori
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang
memanfaatkan kerangka teori feminisme dalam menginterpretasi dan memberikan
evaluasi terhadap karya sastra. Kata kritik berasal dari bahasa yunani, yaitu krites
yang berarti hakim dengan kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kemudian
muncul kata benda criterion yang berarti dasar penghakiman yang kemudian
merupakan dasar dari munculnya kata kritikos sebutan untuk hakim karya sastra
(Wiyatmi, 2012 : 1-2).
Menurut Wellek kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan
penekanan pada penilaiannya. Abrams menyatakan bahwa kritik satra adalah suatu
studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan, dan penilaian
karya sastra. Pradopo mengatakan bahwa kritik sastra adalah ilmu sastra untuk
menghakimi karya sastra, untuk memberikan penilaian, dan memberikan keputusan
bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus (via Wiyatmi,
15
2012 : 2). berdasarkan ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sastra
merupakan tindakan untuk menghakimi atau menilai suatu karya sastra.
Kritik sastra feminis adalah salah satu ragam kritik sastra yang mendasarkan
pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang
eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya-karya sastranya.
Dengan memfokuskan analisis dan penilaian pada penulis perempuan dan bagaimana
perempuan digambarkan dalam karya sastra, serta dalam hubungannya dengan lakilaki dan lingkungan masyarakatnya. Maka dapat disimpulkan kritik sastra feminis
termasuk dalam kritik sastra yang memadukan berbagai macam perspektif sastra,
yaitu ekspresif (penulis perempuan), mimetik (bagaimana perempuan digambarkan
dalam karya sastra, dalam hubungannya dengan laki-laki ataupun lingkungannya),
serta teori feminis (Wiyatmi, 2012: 9).
Pada awalnya feminisme merupakan sebuah gerakan untuk memperjuangkan
nasib perempuan agar mendapat perlakuan yang lebih baik dari laki-laki. Akan tetapi,
seiring perkembangannya feminisme menjadi gerakan yang memperjuangkan nasib
perempuan di segala bidang, yaitu bidang ekonomi, politik termasuk sastra agar dapat
berdiri sejajar dengan laki-laki. Pada tahun 1960-an terjadi sebuah pergerakan
perempuan yang bertujuan untuk memperbaharui pemikiran dan tindakan lama yang
sudah memiliki buku-buku klasiknya sendiri, yang mendiagnosis masalah
ketidaksetaraan posisi perempuan dalam masyarakat beserta solusinya.
16
Inti dari gerakan feminis adalah adanya asumsi atas munculnya ketidakadilan
berbasis gender dan adanya usaha perlawanan untuk meningkatkan kedudukan serta
derajat perempuan agar setara dengan laki-laki. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh feminisme untuk mencapai tujuan itu, di antaranya equal right’s
movement dan women’s liberation movement. Equal right’s movement merupakan
langkah perempuan untuk mendapatkan persamaan kedudukan dengan laki-laki,
sedangkan women’s liberation movement adalah usaha pembebasan perempuan dari
ikatan lingkungan domestik dan adat (Dajajanegara, 2000: 4).
Kritik sastra feminis yang ada saat ini merupakan akibat langsung dari
pergerakan feminis tahun 1960-an. Pada dasarnya pergerakan perempuan ini bersifat
sastrawi sejak lama, dalam artian pergerakan ini menyadari signifikan citra
perempuan yang disebarluaskan oleh sastra, dan memandang bahwa penting sekali
untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya.
Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasi
terpenting, karena memberikan model peranan yang mengindikasikan pada
perempuan dan laki-laki apa yang merupakan versi feminin yang bisa diterima serta
sasaran dan aspirasi feminin yang sah. Oleh karena itulah, kritik sastra feminis tidak
boleh dilihat sebagai cabang atau pemekaran feminisme yang berada jauh dari tujuan
akhir pergerakan perempuan, tetapi sebagai salah satu cara yang paling praktis untuk
memengaruhi prilaku dan sikap sehari-hari (Barry, 2009: 143--144).
17
Gerakan feminisme memiliki beberapa aliran, yaitu aliran yang pertama adalah
feminisme liberal. Gagasan feminis liberal telah muncul sejak akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, akan tetapi gerakan ini baru terlihat menonjol dan mendominasi
pemikiran tentang perempuan di seluruh dunia pada tahun 1960-an. Feminis liberal
lahir sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung
tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral, serta kebebasan individu. Namun,
pada saat yang sama hal tersebut dianggap mendiskriminasi perempuan (Fakih, 2008:
81--83). Feminis liberal menyatakan bahwa subordinasi terjadi karena adanya
kesalahan dan konstruksi adat, hukum, dan agama yang menganggap perempuan
tidak secerdas dan sekuat laki-laki. Feminisme ini menginginkan adanya keadilan
dalam semua institusi publik dan memperluas pengetahuan perempuan agar
perempuan tidak lagi diabaikan (Tong, 2010: 2). Contohnya adalah masih banyaknya
anggota laki-laki dibandingkan dengan anggota perempuan dalam pemerintahan.
Akan tetapi, pemikiran ini dipandang belum mampu membebaskan perempuan dari
berbagai bentuk penomorduaan dan penindasan sehingga muncul gerakan feminisme
radikal.
Feminisme radikal muncul dari reaksi atas kultur sexisme atau diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin yang terjadi di barat pada tahun 1960-an. Gerakan
ini beranggapan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan oleh
laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya,
sehingga paham ini berpendapat bahwa laki-laki, baik secara biologis maupun politis,
18
merupakan bagian dari permasalahan (Fakih, 2008: 84--85). Pemikiran ini
beranggapan bahwa penindasan laki-laki terhadap perempuan baru bisa berhenti
apabila dominasi patriarki dihilangkan sampai ke akar-akarnya karena sistem
patriarkal tidak dapat dibentuk ulang (Tong, 2010: 68).
Aliran selanjutnya adalah feminis marxis yang didasarkan pada pemikiran Karl
Marx. Marx beranggapan bahwa hubungan antara suami dan istri sama seperti
hubungan antara borjuis dan proletar, dalam hal ini status perempuan merupakan
tolak ukur dari tingkat kemajuan masyarakat. Gerakan ini beranggapan bahwa bukan
patriarki dan laki-laki yang menjadi permasalahan dalam penindasan perempuan,
melainkan sistem kapitalisme. Oleh sebab itu, penyelesaian dalam hal ini harus
bersifat struktural, yaitu dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan
hubungan dengan sistem kapitalisme internasional (Fakih, 2008: 86--89). Akan tetapi,
aliran feminis ini juga dianggap belum mampu membebaskan perempuan dari
penindasan. Hal ini dikarenakan feminisme marxis hanya membahas opresi
perempuan dalam dunia kerja tetapi tidak membahas opresi perempuan dalam ranah
domestik, sehingga muncullah aliran feminisme sosialis.
Feminisme sosialis merupakan kritik sekaligus pengembangan dari feminism
Marxis. Bagi feminisme sosialis penindasan perempuan dapat terjadi di kelas
manapun, bahkan revolusi sosialis tidak secara langsung dapat menaikkan posisi
kaum perempuan. Atas dasar tersebut penganut aliran ini menolak pemikiran
feminisme marxis klasik yang beranggapan bahwa eksploitasi merupakan dasar
19
penindasan perempuan (Fakih, 2008: 90). Feminisme sosialis menegaskan bahwa
penyebab yang mendasar terhadap penindasan kaum perempuan bukan didasarkan
pada kelas atau jenis kelamin, melainkan suatu keterkaitan antara sistem kapitalisme
dan patriarki (Tong, 2010: 139).
Selain aliran utama pemikiran feminisme di atas, masih banyak aliran pemikiran
feminisme lainnya yang berkembang di dunia, misalnya ekofeminisme, black
feminism, feminism dunia ketiga, serta gerakan-gerakan feminisme lainnya yang
berkembang di kalangan agama (Fakih, 2008: 95--96). Meskipun memiliki banyak
aliran, inti dari tujuan gerakan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan
derajat perempuan agar sejajar dengan laki-laki (Djajanegara, 2008: 4)
1.7
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang
bersifat analitis. Bogdan dan Taylor mengatakan metodologi kualitatif merupakan
prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (via Moloeng 2010: 4). Dalam penelitian
ini data yang dihasilkan berupa data yang terurai dengan kata-kata bukan merupakan
data angka. Moloeng (2010 : 5) mengatakan bahwa penelitian ini termasuk dalam
bidang humaniora yang berobjek pada karya itu sendiri.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode bantu reading as a woman
yang diperkenalkan oleh Culler. Menurut Culler reading as a woman adalah
20
membaca sebagai seorang perempuan dan menghindari membaca sebagai seorang
pria (Culler, 1983: 43--63 ). Reading as a woman berusaha untuk mengidentifikasi
pembelaan dan distorsi yang dilakukan oleh pembaca pria untuk kemudian
memberikan pembenaran. Millet mengungkapkan bahwa reading as a woman adalah
menggunakan ide pengarang dengan sungguh-sungguh dan berhadapan secara
langsung dengan ide tersebut (via Culler, 1983: 47). Beberapa konsep penting yang
dikemukan oleh Culler dalam metode reading as a woman adalah sebagai berikut.
1.
Ketika memosisikan diri sebagai pembaca perempuan yang diperhatikan
secara subtansial bukanlah pengalaman melihat sebagai seorang perempuan,
tetapi pengalaman dilihat sebagai seorang perempuan. Pengalaman sebagai
seorang perempuan yang dibatasi.
2. Dalam kritik feminis, konsep sebagai seorang pembaca perempuan adalah
menunjukkan hubungan yang berkelanjutan antara pengalaman perempuan
dengan struktur sosial dan keluarga serta pengalaman perempuan sebagai
seorang pembaca. Hal ini dilakukan dengan memerhatikan situasi dan
psikologi pada karakter perempuan, serta memerhatikan sikap dan imaji
seorang tokoh perempuan dalam kerangka kerja pengarang.
3. Dalam kritik feminis, pembaca perempuan perlu mengidentifikasi tokoh
perempuan yang dilanjutkan dengan identifikasi tokoh laki-laki yang terkait
dengan tokoh perempuan dan feminis.
21
Berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan di atas, langkah-langkah
penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan
objek
penelitian,
yaitu
drama
Korea
yang berjudul
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). Penentuan drama Korea
Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스) sebagai objek penelitian
berdasarkan beberapa hal, diantaranya karena di dalam drama ini terdapat
diskriminasi perempuan yang identik dengan dunia mereka sendiri, serta
adanya bentuk-bentuk perlawanan terhadap diskriminasi tersebuta sehingga
muncullah ide-ide feminis.
2. Memfokuskan objek penelitian, yaitu identifikasi tokoh dan diskriminasi
serta ide-ide feminis yang terdapat dalam drama Korea Cheongdamdong
Allice (청담동 앨리스) dan melakukan studi pustaka untuk mengumpulkan
bahan-bahan yang mendukung objek penelitian.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis kutipan-kutipan percakapan dan adeganadegan dalam drama baik yang dilakukan oleh tokoh utama maupun tokohtokoh lainnya. Hal ini dilakukan untuk pengungkapan karakter tokoh yang
akan mendukung penelitian.
4. Menganalisis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dalam
drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스). Hal ini dilakukan
dengan mengumpulkan beberapa percakapan dan adegan, baik yang
22
dilakukan oleh tokoh utama maupun tokoh tambahan. Kemudian hal
tersebut dikaji lebih dalam, sehingga dapat disimpulkan bentuk-bentuk
diskriminasi yang terjadi di dalam drama ini.
5. Menganalisis ide-ide feminis yang muncul sebagai perlawanan terhadap
diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Hal ini dilakukan dengan
mengumpulkan beberapa percakapan yang berpotensi memunculkan ide-ide
feminis. Percakpan-percakpan tersebut dikaji lagi sehingga muncul
beberapa percakpan yang mengindikasikan perlawan terhadap diskriminasi
perempuan. Hal tersebut kemudian disimpulkan sebagai ide-ide feminis
dalam penelitian ini.
6. Menyimpulkan hasil analisis tentang identifikasi tokoh, bentuk diskriminasi
dan ide-ide feminis yang muncul dalam drama Korea Cheongdamdong
Allice (청담동 앨리스) dan selanjutnya melaporkan dalam bentuk tulisan.
1.8
Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Pembagian bahasan tiap-tiap bab
tersebut adalah sebagai berikut. 1) bab I berupa pendahuluan yang mencakup a) latar
belakang masalah b) rumusan masalah c) tujuan penelitian d) manfaat penelitian e)
tinjauan pustaka f) landasan teori g) metode penelitian h) sistematika penelitian; 2)
bab II berisi hasil kajian tentang identifikasi tokoh profeminis dan kontra feminis
23
dalam drama Korea Cheongdamdong Allice (청담동 앨리스); 3) bab III berisi
tentang hasil kajian bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan; 4) bab
IV berisi ide-ide feminis yang muncul dalam drama Korea Cheongdamdong Allice
(청담동 앨리스); 5) bab V berisi kesimpulan.
Download