Kandungan Kolesterol, Lemak, Vitamin A dan E

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Daun Katuk
Taksonomi, Morfologi, dan Jenis
Katuk dengan nama latin Sauropus androgynus (L.) Merr, merupakan
tanaman yang dapat tumbuh tinggi hingga mencapai 2 m - 3 m, termasuk famili
Euphorbiceae dengan bentuk daun lonjong hingga bulat (Gambar 1), (Puspaningtyas
et al., 1997). Tanaman katuk tumbuh menahun (perennial), berbentuk semak perdu.
Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar, batang, daun, buah, dan biji.
Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat mencapai
kedalaman antara 30 cm - 50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Pada
stadium muda batang berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi kelabu
keputih-putihan (Rukmana dan Harahap, 2011).
Sampai saat ini plasma nutfah tanaman katuk yang tumbuh di alam belum di
karakterisasi menurut jenis dan varietas. Namun di lapangan dikenal dua jenis katuk,
yaitu katuk merah dan katuk hijau. Perbedaan diantara katuk hijau dan katuk merah
yaitu katuk hijau produktif menghasilkan daun sehingga dibudidayakan oleh
masyarakat sedangkan katuk merah kurang produktif menghasilkan daun, tumbuh
secara liar dan ditanam sebagai tanaman hias (Rukmana dan Harahap, 2011).
Menurut Prajogo dan Santa (1997), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan
kedudukan tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Euphorbiales
Suku
: Euphorbiaceae
Marga
: Saoropus
Jenis
: Sauropus androgynus (L.) Merr.
Suku Euphorbiaceae tersebut termasuk ke dalam salah satu tanaman yang memiliki
kandungan klorofil tinggi (Rahayu dan Leenawaty, 2005). Selain itu daun katuk
banyak dikenal sebagai sumber vitamin A, karena kandungan beta karoten yang
tinggi. Tanaman tersebut diakui sebagai sayuran tradisional yang memiliki nilai
nutrisi dan mengandung fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan (Benjapak et
al., 2008).
3
Gambar 1. Daun Katuk
Sumber: http://akusehat.files.wordpress.com (2011)
Daerah Asal dan Penyebaran
Tanaman katuk ada hampir di seluruh Asia Tenggara khususnya Thailand
dikenal dengan nama Pak Wanban. Tanaman ini tumbuh tersebar di beberapa daerah
yang beriklim tropis dan subtropis, terutama yang mempunyai curah hujan yang
tinggi. Tumbuhan ini umumnya ditanam sebagai tumbuhan pagar di sepanjang jalan
atau tumbuh liar, walaupun kadang-kadang ada yang ditanam di sela-sela tanaman
lain dan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut,
(Wijono, 2004). Di Indonesia, menurut Azis dan Muktiningsih (2006) tanaman
katuk tumbuh di tanah ketinggian 0 - 2.100 m di atas permukaan laut.
Beberapa literatur menyatakan bahwa plasma nutfah tanaman katuk berasal
dari India. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman katuk menyebar luas di
kawasan Malaysia dan daerah sekitarnya yang beriklim tropis. Sejarah masuknya
tanaman katuk ke Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, sejak abad 16
tanaman katuk telah banyak ditanam di berbagai daerah di wilayah nusantara,
terutama dijadikan pagar hidup disepanjang jalan desa, batas-batas pekarangan, hutan
jati, dan kebun-kebun atau tegalan (Rukmana dan Harahap, 2011). Penyebaran katuk
di Indonesia dijumpai di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Sunda, Maluku,
Ternate dan Ambon (Setyowati, 1997). Sauropus androgynus (L.) Merr memiliki
berbagai nama di Indonesia diantaranya yang terkenal dengan nama katuk (Sunda),
babing, katu, katukan (Jawa), semani (Minang), cekop manis, memata, atau karakur
(Madura).
4
Beberapa Penelitian Tanaman Katuk pada Ternak
Keistimewaan yang dimiliki tanaman katuk telah menarik minat para peneliti
untuk mengeksplorasi manfaat dan pengaruhnya pada ternak. Penelitian tentang daun
katuk sudah diujicobakan pada berbagai ternak dengan metode dan taraf yang
berbeda-beda. Pada hewan monogastrik seperti babi, itik, puyuh, ayam broiler, ayam
petelur, sedangkan pada hewan ruminan seperti sapi, kambing, dan domba.
Penelitian tanaman katuk difokuskan pada ternak unggas telah banyak
dilakukan. Penggunaan pada taraf 5%, 10%, dan 15% tepung daun katuk dalam
ransum untuk kualitas karkas terbaik ditunjukan pada ayam broiler yang diberi 15%
tepung daun katuk, karena mengandung vitamin A tertinggi, kolesterol dan lemak
abdomen terendah (Nasution, 2005). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Saragih
(2005) pada ayam petelur, bahwa penambahan 15% daun katuk dalam ransum
memperlihatkan efek positif bagi kualitas karkas, peningkatan bobot kuning telur,
vitamin A, dan penurunan kolesterol kuning telur hingga 16,82%, serta
meningkatnya hormon estradiol.
Pemberian tepung daun katuk pada unggas dengan taraf yang sama (5%,
10%, dan 15%) dalam berbagai penelitian tidak selalu memberikan hasil yang sama.
Pemberian 5% tepung daun katuk pada itik lebih efisien meningkatkan kualitas telur
dan performa itik (Septyana dan Suryaningsih, 2008). Penelitian Wiradimadja (2007)
menunjukan bahwa pada taraf 15% tepung daun katuk dalam ransum puyuh
menyebabkan penurunan kadar estradiol sehingga menghambat umur dewasa
kelamin puyuh. Pemberian daun katuk dengan taraf 0%, 1,5%, 3%, 4,5%, dan 6%
dalam ransum ayam broiler memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi dan
konversi ransum, serta menurunkan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 1 –
6 minggu (Saleh et al., 2005).
Penelitian lain terhadap puyuh yang dilakukan oleh Subekti et al. (2007)
membandingkan tepung daun katuk dan tepung ekstrak katuk masing-masing 9%
dalam ransum menunjukan penggunaan tepung daun katuk lebih berperan dalam
meningkatkan fertilitas dan daya tetas puyuh. Penggunaan daun katuk dengan
metode ekstrak telah dilakukan sebelumnya oleh Santoso et al. (2005) bahwa
suplementasi ekstrak tepung daun katuk dengan air panas atau etanol dapat
5
meningkatkan produksi telur, konversi, dan efisiensi pakan serta menurunkan
kolesterol telur pada ayam petelur.
Anti Nutrisi pada Tanaman Katuk
Kelemahan tanaman katuk adalah adanya zat anti nutrisi tanin dan saponin
yang cukup besar. Kehadiran anti nutrisi pada tanaman umumnya terjadi karena
faktor dalam (intrinsic factor) yaitu suatu keadaan ketika tanaman tersebut
mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi tersebut dalam organ tubuhnya.
Faktor lain adalah faktor luar (enviroment factor), yaitu keadaan dimana secara
genetik tidak mengandung unsur anti nutrisi tersebut, tetapi karena pengaruh luar
yang berlebihan, zat yang tidak diinginkan masuk ke dalam organ tubuhnya.
Contohnya adalah unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang
kemudian terdeposit sebagai unsur yang berbahaya (Wardiny, 2006).
Tanin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air dan dapat
mengendapkan protein dari larutan. Secara kimia tanin sangat komplek dan biasanya
dibagi kedalam dua grup, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin.
Hydrolizable tannin mudah dihidrolisa secara kimia atau oleh enzim. Peranan tannin
pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi
perkecambahan setelah panen, dan melindungi dari jamur dan cuaca. Pemberian
pakan yang mengandung tannin dalam jumlah besar pada unggas khususnya ayam
dapat menekan pertumbuhan, karena tannin menekan retensi nitrogen dan
menurunkan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh villivilli usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan
tubuh. Gejala yang diperlihatkan akibat adanya tannin adalah pertumbuhan yang
lambat, nafsu makan berkurang karena rasa pahit pada tannin, kaki yang tidak
normal dan kemampuan memproduksi telur berkurang (Widodo, 2002).
Sebagian besar saponin ditemukan pada biji-bijian dan tanaman makanan
ternak seperti alfalfa, bunga matahari, kedelai dan kacang tanah. Saponin mempunyai
rasa pahit menyebabkan iritasi pada selaput lendir. Sifatnya yang lain dapat
membentuk busa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik seperti sabun,
memiliki efek biologis pada manusia dan hewan, dengan pengaruh positif dan
negatifnya. Pengaruh saponin dapat menurunkan kadar kolesterol pada manusia dan
memperkecil resiko aterosklerosis. Aspek positif lainya adalah digunakan dalam
6
pembuatan shampo, pembentukan busa pada alat pemadam kebakaran, soft drink dan
sabun. Sisi negatifnya dapat menghambat penampilan produksi dari ternak unggas
(Wardiny, 2006).
Peranan Daun Katuk dalam Menurunkan Kolesterol dan Lemak
Kolesterol dalam tubuh berupa kolesterol eksogen dan endogen dimana
kolesterol eksogen berasal dari makanan (25%) dan sebaliknya kolesterol endogen
dibentuk oleh sel-sel tubuh (75%), terutama di dalam hati (Piliang dan
Djojosoebagio, 2006). Sebagian kolesterol akan diubah menjadi asam empedu,
masuk ke dalam usus dan berubah menjadi ekskreta. Hal inilah yang menyebabkan
penurunan kadar kolesterol di dalam darah. Salah satu cara menurunkan kadar
kolesterol dengan serat pangan.
Peranan serat pangan adalah meningkatkan produksi asam empedu dan
mengeliminasi ke dalam usus untuk diekskresikan sebagai ekskreta. Menurut
Wolever et al. (1997) ada mekanisme penurunan kolesterol oleh serat, yaitu
pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya
ekskresi asam empedu fekal, penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, penurunan
laju absorspsi karbohidrat yang menyebakan penurunan kadar insulin serum sehingga
menurunkan ransangan sintesis kolesterol dan lipropotein, dan penghambatan sintesis
kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut
di dalam kolon. Linder (1992) menyatakan bahwa peningkatan ekskresi asam
empedu dalam ekskreta dapat menyebabkan penurunan kadar kolesterol plasma
sekitar 10% - 25%.
Pada daun katuk yang berperan dalam menurunkan kolesterol selain serat
terdapat fitosterol. Fitosterol merupakan sterol yang terdapat dalam tumbuhtumbuhan. Ekstrak daun suji, tanaman yang secara umum digunakan sebagai pangan,
kosmetika dan pengobatan mampu mengikat kolesterol karena peran fitosterol yang
terkandung di dalamnya (Sari, 2005). Penelitian lain juga membuktikan peran
fitosterol dalam menurunkan kolesterol, Silalahi (2000) melaporkan isoflavon yang
terkandung dalam kedelai merupakan sterol yang berasal dari tumbuhan (fitosterol)
yang jika dikonsumsi dapat menghambat absorpsi dari kolesterol baik berasal dari
diet maupun kolesterol yang diproduksi dari hati. Hambatan ini terjadi karena
fitosterol berkompetisi dan meggantikan posisi kolesterol dalam micelle. Adanya
7
mekanisme tersebut, maka kolesterol yang terserap oleh usus juga sedikit sehingga
pembentukan kilomikron dan VLDL juga terhambat sehingga kadar LDL turun dan
peningkatan pada kadar HDL, bila dihitung rasio kolesterol LDL/ HDL akan turun.
Piliang et al. (2001) telah membuktikan bahwa pemberian tepung daun
katuk dalam ransum ayam petelur lokal sebanyak 9% mampu menurunkan
kandungan kolesterol dalam kuning telur sebesar 62,34% dibandingkan dengan
kandungan kolesterol dalam kuning telur ayam yang diberi ransum tanpa tepung
daun katuk. Kandungan fitosterol dalam daun katuk juga berpengaruh pada
penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh. Dinyatakan oleh
Piliang et al. (2001) bahwa penurunan kadar kolesterol sangat erat hubunganya
dengan kandungan serat kasar dalam ransum dan sekresi cairan empedu. Pada Tabel
1 disajikan kadar serat kasar daun katuk dan beberapa tanaman hijauan yang dapat
dijadikan sebagai bahan pencampur ransum unggas.
Tabel 1. Perbandingan Kandungan Serat Kasar pada Beberapa Tanaman Hijauan
Bahan Pakan
Nama tanaman
Kandungan serat kasar (%)
Tepung daun katuk1)
23,65
Tepung daun antanan2)
18,67
Tepung daun mengkudu3)
11,75
Tepung daun lamtoro4)
18,00
Daun singkong (segar)
22,90
Daun pisang
23,10
Tepung daun turi
Keterangan:
1)
2)
3)
4)
17,80
Wiradimadja (2007)
Kusnadi (2004)
Wardiny (2006)
Utomo (1997)
8
Data pada Tabel 1 menunjukan bahwa tepung daun katuk mempunyai
kandungan serat kasar yang tinggi dibandingkan dengan beberapa tanaman hijau
lainnya. Keadaan ini membuktikan besar kemungkinan bahwa serat kasar tepung
daun katuk besar peranannya dalam menghambat sintesis kolesterol.
Ekstraksi Daun Katuk
Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen-komponen yang terpisah. Pengertian lain ekstrak atau ekstraksi
adalah suatu proses untuk mengubah bentuk dari suatu bahan padat menjadi pasta
atau dalam bentuk tepung (Yuliani dan Marwati, 1997). Menurut Sidauruk (2008),
ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan kelarutanya terhadap dua
cairan berbeda yang tidak saling larut, biasanya air dan yang lainya pelarut organik.
ASIMAS (2007) menyatakan beberapa tujuan ekstraksi pada umumnya adalah untuk
mengambil sebagian atau seluruh zat tertentu yang ada dalam bahan tanaman untuk
memudahkan dalam pengaturan bentuk sediaan, dosis, atau takaran yang tepat,
mudah penyimpanan, praktis dalam penyajian dan menjaga keawetan bahan tersebut
untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk
bahan mentah.
Proses ekstraksi daun katuk dilakukan dengan mencampur daun katuk dalam
larutan ethanol 70% dengan perbandingan 1 : 4. Campuran ini dipanaskan selama
enam jam pada suhu 60°C, kemudian disaring dengan kertas saring sebanyak dua
kali. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan menggunakan hot plate selama
sembilan jam pada suhu 50°C. Ekstrak yang didapat berupa pasta sebesar 31% dari
bobot total campuran (Yuliani dan Marwati, 1997). Suprayogi (2000) menemukan
bahwa ekstrak tanaman katuk dengan etanol mengandung cumarin, tannin, gula,
alkaloid, antrasenoid, steroid glikosida/ triterpenoid, flavonoid, anthocyanin, dan
isoquinoline alkaloid.
Puyuh
Penyebaran dan Klasifikasi
Puyuh pertama kali didomestifikasi di Amerika pada sekitar tahun 1870
untuk diambil produksi telur dan dagingnya. Di Indonesia peternakan puyuh secara
komersial baru dilakukan pada tahun 1979 dengan bibit impor dari luar negeri.
9
penyebaran puyuh teramasuk paling luas. Unggas kecil ini bisa dijumpai dari daratan
Nusantara, Jepang, sampai ke Amerika. Puyuh adalah burung yang tidak dapat
terbang jauh, ukuran tubuh relatif kecil, dan berkaki pendek (Gambar 2). Puyuh
dalam bahasa Jawa disebut gemak dan dalam bahasa asing quail.
Puyuh termasuk ternak dengan produktivitas relatif tinggi. Singkatnya siklus
hidup puyuh menyebabkan unggas ini cepat berproduksi, yaitu saat berumur 35 - 42
hari sudah mulai bertelur. Puyuh termasuk petelur yang andal. Dalam setahun
mampu bertelur sampai 300 butir (Agromedia, 2002). Secara ilmiah puyuh
dikelompokan dalam kelas dan susunan taksonomi berikut ini:
Kelas
: Aves (bangsa burung)
Ordo
: Galiformes
Sub Ordo
: Phasionaidae
Family
: Phasianidae
Sub Family
: Phasianidae
Genus
: Coturnix
Spesies
: Coturnix-coturnix japonica
Gambar 2. Japanese quail
Sumber : Wikipedia (2011)
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan
telur dalam ukuran yang sama. Konversi ransum tergantung pada jumlah pakan yang
dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan. Konversi ransum merupakan
cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu perbandingan antara jumlah
ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan
(pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama.
Konversi ransum dapat digunakan sebagai gambaran untuk mengetahui tingkat
efisiensi produksi. Angka konversi ransum menunjukan tingkat efisiensi pakan,
artinya jika angka konversi ransum semakin tinggi maka penggunan ransum kurang
ekonomis dan sebaliknya. Angka konversi ransum akan membaik bila hubungan
antara energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada konversi pakan adalah produksi telur, kandungan energi dalam
ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara
(Septyana, 2008).
10
Konsumsi Ransum
Pertumbuhan ternak tergantung dari jumlah konsumsi ransum yang dimakan.
Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi.
Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan,
besarnya, keaktifanya, temperatur lingkungan dan pakan untuk pertumbuhan atau
untuk mempertahankan produksis telur. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi ransum adalah besarnya tubuh ternak, aktivitas ternak, suhu
lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Amrullah (2004) menyatakan bahwa
terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian ransum yaitu
kandungan kalori ransum dan suhu lingkungan.
Konsumsi erat hubungnya dengan pertumbuhan ternak, menurut Daghir
(1998) diperkirakan 63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan menurunnya
konsumsi ransum dari ayam. Pertumbuhan juga menurun karena konsumsi
ransusmnya menurun, hal ini karena temperatur tinggi dan ayam dalam keadaan stres
(Leeson dan Summer, 1997).
Warna Kuning Telur
Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid
yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna
xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap
warna kuning telur. Warna kuning telur menurut Scanes et al. (2004) tergantung dari
pigmen dalam pakan yang dikonsumsi. Tanaman merupakan sumber pigmen
karotenoid yang dapat memberikan warna pada kuning telur dari warna kuning
sampai dengan merah. Karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat di dunia
tumbuh-tumbuhan (Anggorodi, 1995).
Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa pada umumnya
karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut
xanthophyll. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam
kuning telur sangat ditentukan oleh pakan. Warna kuning dari telur ini sangat erat
kaitannya dengan tingginya kandungan vitamin A (Piliang et al., 2001). Hal ini
membuktikan bahwa suplementasi daun katuk sangat nyata mempengaruhi
kandungan vitamin A di dalam telur ayam.
11
Kolesterol
Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan
pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah. Merupakan sejenis lipid
yang merupakan molekul lemak atau yang menyerupainya. Kolesterol ialah jenis
khusus lipid yang disebut steroid. Steroids ialah lipid yang memiliki struktur kimia
khusus (Wikipedia, 2011). Struktur ini terdiri atas 4 cincin atom karbon. Struktur
kolesterol dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Kolesterol
Sumber: Hames dan Hooper (2000)
Kolesterol banyak ditemukan di dalam struktur tubuh manusia dan hewan
yang merupakan substansi lemak hasil metabolisme. Pada produk hewani kolesterol
banyak terdapat pada daging, hati, otak, dan kuning telur (Wiradimadja, 2007).
Kolesterol adalah bagian terpenting di dalam struktur membran sel yang berfungsi
sebagai perkursor hormon steroid dalam kelenjar adrenal, dan sebagai perkursor
asam empedu di hati (Marinetti, 1990). Menurut Muchtadi (1993) jika jumlah
kolesterol yang berasal dari makanan sedikit maka sintesis kolesterol dalam hati dan
usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain, sebaliknya jika
jumlah kolesterol dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol di hati dan
usus menurun.
Kolesterol memiliki sejumlah fungsi penting untuk kelangsungan hidup sel
dan biologis steroid, dan sebagai komponen lemak kuning telur, mewakili sumber
nutrien utama untuk embrio anak ayam (Speake et al., 1998). Kuning telur juga kaya
akan sumber kolesterol pada pangan manusia. Namun, tingginya konsumsi kuning
telur dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (Weggmass et al., 2001).
Daging dan produk daging merupakan sumber kolesterol yang sesungguhnya pada
pangan manusia (Valsta et al., 2005).
12
Kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lipid (lemak), berkomponen
alkohol steroid, sebagian besar berfungsi sebagai sumber kalori serta memberikan
nilai tambah terhadap citra makanan (Sitepoe, 1993). Kolesterol diperlukan oleh
tubuh antara lain untuk sistesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses
pencernaan lemak atau minyak, sintesis vitamin D dan sebagai komponen membran
sel (Muchtadi, 1992). Selanjutnya disampaikan bahwa kolesterol juga sebagai
perkursor dari pengeluaran asam empedu yang disintesa di hati dan berfungsi untuk
menyerap trigliserida dan vitamin larut lemak dari makanan, serta sebagai perkursor
dari hormon steroid, estrogen, dan testosteron.
Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani.
Pada kondisi normal, kolesterol disintesa dalam tubuh sejumlah dua kali dari kadar
kolesterol di dalam makanan yang dimakan. Kolesterol yang disintesa diubah
menjadi jaringan, hormon dan vitamin yang kemudian beredar ke dalam tubuh
melalui darah. Namun, kolesterol ada yang kembali ke hati untuk diubah menjadi
asam empedu dan garam. Pada keadaan normal bila terjadi ganguan konsumsi
kolesterol, maka akan terjadi mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan
kolesterol dengan semua faktor sebagai mekanisme pertahanan.
Lemak
Lemak adalah sebuah grup zat yang ditemukan pada jaringan tanaman dan
hewan. Lemak tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti
benzena, eter, dan klorofom. Lemak bereaksi sebagai pembawa elektron, pembawa
substrat dalam reaksi enzim, sebagai komponen dari membran biologi, sumber dan
tempat penyimpanan energi (McDonald et al., 2002).
Sifat lemak murni tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Lemak
tumbuh-tumbuhan yang berwarna dapat disebabkan oleh adanya pigmen asalnya,
misalnya karoten, xantofil, tokoferol atau klorofil. Karoten dan xantofil dapat
memberikan warna kuning, tokoferol yang telah mengalami oksidasi dapat
menimbulkan warna coklat, sedangkan kolrofil dapat menyebabkan warna kehijauhijauan. Beberapa pigmen juga memberikan warna pada lemak hewan dan lemak
yang terdapat pada telur (Sumardjo, 2006).
13
Pada unggas lemak merupakan bahan penting yang harus terkandung dalam
bahan pakan, selain menyumbangkan energi, lemak dapat berfungsi dalam
memperbaiki konsistensi fisik dari pakan dan dispersi dari campuran bahan-bahan
mikro seperti vitamin dalam pakan. Pentingnya karakterisasi kualitas lemak dapat
mempengaruhi nilai dan keamanan nutrisi pakan. Karakteristik atau sifat dari lemak
digunakan untuk menaksir nilai nutrisi mencakup kelembapan, ketidakmurnian, asam
lemak terbang, total asam lemak, dan komposisi asam lemak. Lemak dalam pakan
unggas harus stabil dalam melawan oksidasi (NRP, 1984)
Vitamin A
Vitamin A merupakan zat yang sangat larut dalam pelarut organik, namun
tidak larut dalam cairan-cairan yang mengandung molekul air. Provitamin utama
ialah karotenoid dan beta-karoten yang mempunyai daya larut yang sama seperti
vitamin A (Piliang, 2008). Pada tanaman karotenoid mempunyai warna kuning,
orange, atau merah tetapi umumnya tertutup oleh warna hijau dari klorofil.
Karotenoid tebagi dalam 2 macam yaitu karoten dan xantofil (MCDonald et al.,
2002). Karoten yang paling banyak diketahui adalah alpha-, betha-, dan gammakaroten. Karoten yang paling penting untuk hewan dan manusia adalah betha
karoten, mempunyai aktivitas provitamin terbesar (Yuliani dan Marwati, 1997).
Beberapa bahan makanan yang umumnya dipakai sebagai sumber vitamin A
antara lain produk sapi perah seperti keju, dan susu sapi, organ bagian dalam seperti
ginjal dan jantung, juga beberapa jenis ikan seperti ikan tuna. Sumber yang paling
kaya dengan vitamin A yang berasal dari hewan yaitu minyak hati ikan laut
sedangkan dari tumbuhan yaitu minyak kelapa sawit, yang mengandung sekitar 0,5
mg/ml campuran alpha dan beta-karoten. Biji-bijian serealia umumnya mengandung
sedikit vitamin A, terutama jika digiling.
Stabilitas vitamin A dan ketersediaan dalam ransum unggas paling baik
dibuat dalam bentuk butiran sebagai premix. Dengan meningkatkan jumlah protein
dalam ransum hingga mencapai 20% akan dapat membantu pembentukan enzim
betha-karoten oxygenase pada mukosa usus, yaitu enzim yang diperlukan untuk
mengkorversi karotenoid menjadi vitamin A. Lemak juga merupakan bahan penting
14
yang berfungsi sebagai alat untuk mentransport vitamin A dan karotenoid ke dalam
usus halus, juga sebagai zat yang merangsang aliran empedu.
Absorspsi vitamin A dalam ransum secara keseluruhan berkisar antara 8090%. Kebutuhan vitamin A dalam ransum hewan tergantung pada umur, jenis
kelamin, kecepatan pertumbuhan, adanya komponen lain dalam ransum , aktivitas
fisik, konsumsi kalori dan stress. Unggas sangat cepat terpengaruh akibat defisiensi
vitamin A, tanda-tandanya timbul pada anak ayam yang sedang tumbuh dalam waktu
3 - 4 minggu berupa hilangnya nafsu makan dan menurunya pertumbuhan. Pada
unggas fase produksi dapat menurunkan produksi telur dan daya tetas telur.
Kandungan lemak dalam makanan sangat merangsang absorpsi karotenoid
dan vitamin A, yakni melalui peningkatan kontraksi kantung empedu dan melalui
penyediaan lemak yang membantu transpor serta absorpsi vitamin A. Piliang (2008)
melaporkan bahwa usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam
mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Kandungan vitamin A dalam serum
darah tidak mencerminkan jumlah simpanan vitamin A dalam hati, kecuali pada
kondisi dimana simpanan vitamin A di dalam hati sudah tidak ada sama sekali.
Dalam kondisi ini kadar vitamin A di serum akan turun secara cepat. Rendahnya
kandungan vitamin A dalam serum menunjukan defisiensi vitamin A. Struktur kimia
vitamin A dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Kimia Vitamin A
Sumber: (MCDonald et al., 2002)
Vitamin E
Vitamin E fungsi yang paling utama adalah sebagai antioksidan dan anti
radikal bebas. Bila defisiensi vitamin E terjadi pada hewan dan manusia, maka akan
terjadi proses oksidasi lemak terutama peroksidasi antara lain asam-asam lemak tidak
jenuh dan kolesterol dalam membran sel dan di tempat lain dimana ada akumulasi
lemak (Linder, 1992). Groff dan Sareen (2005) menambahkan bahwa fungsi vitamin
15
E memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh
yang berada pada phospolipid membran seluler, membran mitokondria dan
endoplasmik retikulum.
Sumber – sumber vitamin E tidak disimpan di dalam tubuh hewan dalam
jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang panjang, tatapi vitamin E
terdistribusi secara luas dalam makanan. Makanan ternak yang berwarna hijau
merupakan sumber α tochoperol yang baik, rumput muda menjadi sumber vitamin E
yang lebih baik dibandingkan dengan rumput yang sudah dewasa. Daun mengandung
vitamin E 20-30 kali sama besarnya dengan kandungan vitamin E yang ada di
batang. Secara umum produk hewan sedikit mengandung vitamin E, dan persentase
kandungan tergantung dari level vitamin E yang terdapat di dalam pakan. Sintesis α
tochoperol dan asetat tersedia sebagai persediaan komersial (MCDonald et al., 2002)
Metabolisme absorbsi vitamin E berhubungan dengan pencernaan lemak,
dipermudah dengan adanya empedu dan lipase pankreas. Usus halus merupakan
tempat utama absorbsi vitamin E dalam bentuk alkohol bebas maupun ester, sebagian
besar vitamin E diabsorpsi sebagai alkohol kemudian memasuki usus dan ditranspor
ke seluruh sirkulasi darah melalui kelenjar getah bening. Aktivitas terbesar vitamin E
pada plasma dan jaringan hewan dalam bentuk α-tochoperol. Tocopherol termasuk
ke dalam sistem sirkulasi, menyebar ke seluruh jaringan tubuh, terutama disimpan
ke dalam jaringan adiposa, hati dan otot, penyimpanan terbesar berada pada hati.
Sejumlah kecil vitamin E akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu yang lama.
Jalur ekskresi utama dari absorbsi vitamin E adalah empedu. Biasaya kurang dari 1%
konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urine (Piliang, 2008). Struktur kimia
vitamin E dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Vitamin E
Sumber: Institute of Medicine (2000)
16
Download