TINJAUAN PUSTAKA Daun Katuk Taksonomi, Morfologi, dan Jenis Katuk dengan nama latin Sauropus androgynus (L.) Merr, merupakan tanaman yang dapat tumbuh tinggi hingga mencapai 2 m - 3 m, termasuk famili Euphorbiceae dengan bentuk daun lonjong hingga bulat (Gambar 1), (Puspaningtyas et al., 1997). Tanaman katuk tumbuh menahun (perennial), berbentuk semak perdu. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar, batang, daun, buah, dan biji. Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara 30 cm - 50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Pada stadium muda batang berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi kelabu keputih-putihan (Rukmana dan Harahap, 2011). Sampai saat ini plasma nutfah tanaman katuk yang tumbuh di alam belum di karakterisasi menurut jenis dan varietas. Namun di lapangan dikenal dua jenis katuk, yaitu katuk merah dan katuk hijau. Perbedaan diantara katuk hijau dan katuk merah yaitu katuk hijau produktif menghasilkan daun sehingga dibudidayakan oleh masyarakat sedangkan katuk merah kurang produktif menghasilkan daun, tumbuh secara liar dan ditanam sebagai tanaman hias (Rukmana dan Harahap, 2011). Menurut Prajogo dan Santa (1997), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan kedudukan tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Euphorbiales Suku : Euphorbiaceae Marga : Saoropus Jenis : Sauropus androgynus (L.) Merr. Suku Euphorbiaceae tersebut termasuk ke dalam salah satu tanaman yang memiliki kandungan klorofil tinggi (Rahayu dan Leenawaty, 2005). Selain itu daun katuk banyak dikenal sebagai sumber vitamin A, karena kandungan beta karoten yang tinggi. Tanaman tersebut diakui sebagai sayuran tradisional yang memiliki nilai nutrisi dan mengandung fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan (Benjapak et al., 2008). 3 Gambar 1. Daun Katuk Sumber: http://akusehat.files.wordpress.com (2011) Daerah Asal dan Penyebaran Tanaman katuk ada hampir di seluruh Asia Tenggara khususnya Thailand dikenal dengan nama Pak Wanban. Tanaman ini tumbuh tersebar di beberapa daerah yang beriklim tropis dan subtropis, terutama yang mempunyai curah hujan yang tinggi. Tumbuhan ini umumnya ditanam sebagai tumbuhan pagar di sepanjang jalan atau tumbuh liar, walaupun kadang-kadang ada yang ditanam di sela-sela tanaman lain dan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut, (Wijono, 2004). Di Indonesia, menurut Azis dan Muktiningsih (2006) tanaman katuk tumbuh di tanah ketinggian 0 - 2.100 m di atas permukaan laut. Beberapa literatur menyatakan bahwa plasma nutfah tanaman katuk berasal dari India. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman katuk menyebar luas di kawasan Malaysia dan daerah sekitarnya yang beriklim tropis. Sejarah masuknya tanaman katuk ke Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, sejak abad 16 tanaman katuk telah banyak ditanam di berbagai daerah di wilayah nusantara, terutama dijadikan pagar hidup disepanjang jalan desa, batas-batas pekarangan, hutan jati, dan kebun-kebun atau tegalan (Rukmana dan Harahap, 2011). Penyebaran katuk di Indonesia dijumpai di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Sunda, Maluku, Ternate dan Ambon (Setyowati, 1997). Sauropus androgynus (L.) Merr memiliki berbagai nama di Indonesia diantaranya yang terkenal dengan nama katuk (Sunda), babing, katu, katukan (Jawa), semani (Minang), cekop manis, memata, atau karakur (Madura). 4 Beberapa Penelitian Tanaman Katuk pada Ternak Keistimewaan yang dimiliki tanaman katuk telah menarik minat para peneliti untuk mengeksplorasi manfaat dan pengaruhnya pada ternak. Penelitian tentang daun katuk sudah diujicobakan pada berbagai ternak dengan metode dan taraf yang berbeda-beda. Pada hewan monogastrik seperti babi, itik, puyuh, ayam broiler, ayam petelur, sedangkan pada hewan ruminan seperti sapi, kambing, dan domba. Penelitian tanaman katuk difokuskan pada ternak unggas telah banyak dilakukan. Penggunaan pada taraf 5%, 10%, dan 15% tepung daun katuk dalam ransum untuk kualitas karkas terbaik ditunjukan pada ayam broiler yang diberi 15% tepung daun katuk, karena mengandung vitamin A tertinggi, kolesterol dan lemak abdomen terendah (Nasution, 2005). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Saragih (2005) pada ayam petelur, bahwa penambahan 15% daun katuk dalam ransum memperlihatkan efek positif bagi kualitas karkas, peningkatan bobot kuning telur, vitamin A, dan penurunan kolesterol kuning telur hingga 16,82%, serta meningkatnya hormon estradiol. Pemberian tepung daun katuk pada unggas dengan taraf yang sama (5%, 10%, dan 15%) dalam berbagai penelitian tidak selalu memberikan hasil yang sama. Pemberian 5% tepung daun katuk pada itik lebih efisien meningkatkan kualitas telur dan performa itik (Septyana dan Suryaningsih, 2008). Penelitian Wiradimadja (2007) menunjukan bahwa pada taraf 15% tepung daun katuk dalam ransum puyuh menyebabkan penurunan kadar estradiol sehingga menghambat umur dewasa kelamin puyuh. Pemberian daun katuk dengan taraf 0%, 1,5%, 3%, 4,5%, dan 6% dalam ransum ayam broiler memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi dan konversi ransum, serta menurunkan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 1 – 6 minggu (Saleh et al., 2005). Penelitian lain terhadap puyuh yang dilakukan oleh Subekti et al. (2007) membandingkan tepung daun katuk dan tepung ekstrak katuk masing-masing 9% dalam ransum menunjukan penggunaan tepung daun katuk lebih berperan dalam meningkatkan fertilitas dan daya tetas puyuh. Penggunaan daun katuk dengan metode ekstrak telah dilakukan sebelumnya oleh Santoso et al. (2005) bahwa suplementasi ekstrak tepung daun katuk dengan air panas atau etanol dapat 5 meningkatkan produksi telur, konversi, dan efisiensi pakan serta menurunkan kolesterol telur pada ayam petelur. Anti Nutrisi pada Tanaman Katuk Kelemahan tanaman katuk adalah adanya zat anti nutrisi tanin dan saponin yang cukup besar. Kehadiran anti nutrisi pada tanaman umumnya terjadi karena faktor dalam (intrinsic factor) yaitu suatu keadaan ketika tanaman tersebut mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi tersebut dalam organ tubuhnya. Faktor lain adalah faktor luar (enviroment factor), yaitu keadaan dimana secara genetik tidak mengandung unsur anti nutrisi tersebut, tetapi karena pengaruh luar yang berlebihan, zat yang tidak diinginkan masuk ke dalam organ tubuhnya. Contohnya adalah unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit sebagai unsur yang berbahaya (Wardiny, 2006). Tanin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air dan dapat mengendapkan protein dari larutan. Secara kimia tanin sangat komplek dan biasanya dibagi kedalam dua grup, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Hydrolizable tannin mudah dihidrolisa secara kimia atau oleh enzim. Peranan tannin pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi perkecambahan setelah panen, dan melindungi dari jamur dan cuaca. Pemberian pakan yang mengandung tannin dalam jumlah besar pada unggas khususnya ayam dapat menekan pertumbuhan, karena tannin menekan retensi nitrogen dan menurunkan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh villivilli usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang diperlihatkan akibat adanya tannin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan berkurang karena rasa pahit pada tannin, kaki yang tidak normal dan kemampuan memproduksi telur berkurang (Widodo, 2002). Sebagian besar saponin ditemukan pada biji-bijian dan tanaman makanan ternak seperti alfalfa, bunga matahari, kedelai dan kacang tanah. Saponin mempunyai rasa pahit menyebabkan iritasi pada selaput lendir. Sifatnya yang lain dapat membentuk busa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik seperti sabun, memiliki efek biologis pada manusia dan hewan, dengan pengaruh positif dan negatifnya. Pengaruh saponin dapat menurunkan kadar kolesterol pada manusia dan memperkecil resiko aterosklerosis. Aspek positif lainya adalah digunakan dalam 6 pembuatan shampo, pembentukan busa pada alat pemadam kebakaran, soft drink dan sabun. Sisi negatifnya dapat menghambat penampilan produksi dari ternak unggas (Wardiny, 2006). Peranan Daun Katuk dalam Menurunkan Kolesterol dan Lemak Kolesterol dalam tubuh berupa kolesterol eksogen dan endogen dimana kolesterol eksogen berasal dari makanan (25%) dan sebaliknya kolesterol endogen dibentuk oleh sel-sel tubuh (75%), terutama di dalam hati (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Sebagian kolesterol akan diubah menjadi asam empedu, masuk ke dalam usus dan berubah menjadi ekskreta. Hal inilah yang menyebabkan penurunan kadar kolesterol di dalam darah. Salah satu cara menurunkan kadar kolesterol dengan serat pangan. Peranan serat pangan adalah meningkatkan produksi asam empedu dan mengeliminasi ke dalam usus untuk diekskresikan sebagai ekskreta. Menurut Wolever et al. (1997) ada mekanisme penurunan kolesterol oleh serat, yaitu pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya ekskresi asam empedu fekal, penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, penurunan laju absorspsi karbohidrat yang menyebakan penurunan kadar insulin serum sehingga menurunkan ransangan sintesis kolesterol dan lipropotein, dan penghambatan sintesis kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut di dalam kolon. Linder (1992) menyatakan bahwa peningkatan ekskresi asam empedu dalam ekskreta dapat menyebabkan penurunan kadar kolesterol plasma sekitar 10% - 25%. Pada daun katuk yang berperan dalam menurunkan kolesterol selain serat terdapat fitosterol. Fitosterol merupakan sterol yang terdapat dalam tumbuhtumbuhan. Ekstrak daun suji, tanaman yang secara umum digunakan sebagai pangan, kosmetika dan pengobatan mampu mengikat kolesterol karena peran fitosterol yang terkandung di dalamnya (Sari, 2005). Penelitian lain juga membuktikan peran fitosterol dalam menurunkan kolesterol, Silalahi (2000) melaporkan isoflavon yang terkandung dalam kedelai merupakan sterol yang berasal dari tumbuhan (fitosterol) yang jika dikonsumsi dapat menghambat absorpsi dari kolesterol baik berasal dari diet maupun kolesterol yang diproduksi dari hati. Hambatan ini terjadi karena fitosterol berkompetisi dan meggantikan posisi kolesterol dalam micelle. Adanya 7 mekanisme tersebut, maka kolesterol yang terserap oleh usus juga sedikit sehingga pembentukan kilomikron dan VLDL juga terhambat sehingga kadar LDL turun dan peningkatan pada kadar HDL, bila dihitung rasio kolesterol LDL/ HDL akan turun. Piliang et al. (2001) telah membuktikan bahwa pemberian tepung daun katuk dalam ransum ayam petelur lokal sebanyak 9% mampu menurunkan kandungan kolesterol dalam kuning telur sebesar 62,34% dibandingkan dengan kandungan kolesterol dalam kuning telur ayam yang diberi ransum tanpa tepung daun katuk. Kandungan fitosterol dalam daun katuk juga berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh. Dinyatakan oleh Piliang et al. (2001) bahwa penurunan kadar kolesterol sangat erat hubunganya dengan kandungan serat kasar dalam ransum dan sekresi cairan empedu. Pada Tabel 1 disajikan kadar serat kasar daun katuk dan beberapa tanaman hijauan yang dapat dijadikan sebagai bahan pencampur ransum unggas. Tabel 1. Perbandingan Kandungan Serat Kasar pada Beberapa Tanaman Hijauan Bahan Pakan Nama tanaman Kandungan serat kasar (%) Tepung daun katuk1) 23,65 Tepung daun antanan2) 18,67 Tepung daun mengkudu3) 11,75 Tepung daun lamtoro4) 18,00 Daun singkong (segar) 22,90 Daun pisang 23,10 Tepung daun turi Keterangan: 1) 2) 3) 4) 17,80 Wiradimadja (2007) Kusnadi (2004) Wardiny (2006) Utomo (1997) 8 Data pada Tabel 1 menunjukan bahwa tepung daun katuk mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi dibandingkan dengan beberapa tanaman hijau lainnya. Keadaan ini membuktikan besar kemungkinan bahwa serat kasar tepung daun katuk besar peranannya dalam menghambat sintesis kolesterol. Ekstraksi Daun Katuk Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Pengertian lain ekstrak atau ekstraksi adalah suatu proses untuk mengubah bentuk dari suatu bahan padat menjadi pasta atau dalam bentuk tepung (Yuliani dan Marwati, 1997). Menurut Sidauruk (2008), ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan kelarutanya terhadap dua cairan berbeda yang tidak saling larut, biasanya air dan yang lainya pelarut organik. ASIMAS (2007) menyatakan beberapa tujuan ekstraksi pada umumnya adalah untuk mengambil sebagian atau seluruh zat tertentu yang ada dalam bahan tanaman untuk memudahkan dalam pengaturan bentuk sediaan, dosis, atau takaran yang tepat, mudah penyimpanan, praktis dalam penyajian dan menjaga keawetan bahan tersebut untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk bahan mentah. Proses ekstraksi daun katuk dilakukan dengan mencampur daun katuk dalam larutan ethanol 70% dengan perbandingan 1 : 4. Campuran ini dipanaskan selama enam jam pada suhu 60°C, kemudian disaring dengan kertas saring sebanyak dua kali. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan menggunakan hot plate selama sembilan jam pada suhu 50°C. Ekstrak yang didapat berupa pasta sebesar 31% dari bobot total campuran (Yuliani dan Marwati, 1997). Suprayogi (2000) menemukan bahwa ekstrak tanaman katuk dengan etanol mengandung cumarin, tannin, gula, alkaloid, antrasenoid, steroid glikosida/ triterpenoid, flavonoid, anthocyanin, dan isoquinoline alkaloid. Puyuh Penyebaran dan Klasifikasi Puyuh pertama kali didomestifikasi di Amerika pada sekitar tahun 1870 untuk diambil produksi telur dan dagingnya. Di Indonesia peternakan puyuh secara komersial baru dilakukan pada tahun 1979 dengan bibit impor dari luar negeri. 9 penyebaran puyuh teramasuk paling luas. Unggas kecil ini bisa dijumpai dari daratan Nusantara, Jepang, sampai ke Amerika. Puyuh adalah burung yang tidak dapat terbang jauh, ukuran tubuh relatif kecil, dan berkaki pendek (Gambar 2). Puyuh dalam bahasa Jawa disebut gemak dan dalam bahasa asing quail. Puyuh termasuk ternak dengan produktivitas relatif tinggi. Singkatnya siklus hidup puyuh menyebabkan unggas ini cepat berproduksi, yaitu saat berumur 35 - 42 hari sudah mulai bertelur. Puyuh termasuk petelur yang andal. Dalam setahun mampu bertelur sampai 300 butir (Agromedia, 2002). Secara ilmiah puyuh dikelompokan dalam kelas dan susunan taksonomi berikut ini: Kelas : Aves (bangsa burung) Ordo : Galiformes Sub Ordo : Phasionaidae Family : Phasianidae Sub Family : Phasianidae Genus : Coturnix Spesies : Coturnix-coturnix japonica Gambar 2. Japanese quail Sumber : Wikipedia (2011) Konversi Ransum Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam ukuran yang sama. Konversi ransum tergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan. Konversi ransum merupakan cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum dapat digunakan sebagai gambaran untuk mengetahui tingkat efisiensi produksi. Angka konversi ransum menunjukan tingkat efisiensi pakan, artinya jika angka konversi ransum semakin tinggi maka penggunan ransum kurang ekonomis dan sebaliknya. Angka konversi ransum akan membaik bila hubungan antara energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada konversi pakan adalah produksi telur, kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara (Septyana, 2008). 10 Konsumsi Ransum Pertumbuhan ternak tergantung dari jumlah konsumsi ransum yang dimakan. Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya, keaktifanya, temperatur lingkungan dan pakan untuk pertumbuhan atau untuk mempertahankan produksis telur. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah besarnya tubuh ternak, aktivitas ternak, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Amrullah (2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian ransum yaitu kandungan kalori ransum dan suhu lingkungan. Konsumsi erat hubungnya dengan pertumbuhan ternak, menurut Daghir (1998) diperkirakan 63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan menurunnya konsumsi ransum dari ayam. Pertumbuhan juga menurun karena konsumsi ransusmnya menurun, hal ini karena temperatur tinggi dan ayam dalam keadaan stres (Leeson dan Summer, 1997). Warna Kuning Telur Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap warna kuning telur. Warna kuning telur menurut Scanes et al. (2004) tergantung dari pigmen dalam pakan yang dikonsumsi. Tanaman merupakan sumber pigmen karotenoid yang dapat memberikan warna pada kuning telur dari warna kuning sampai dengan merah. Karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat di dunia tumbuh-tumbuhan (Anggorodi, 1995). Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa pada umumnya karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur sangat ditentukan oleh pakan. Warna kuning dari telur ini sangat erat kaitannya dengan tingginya kandungan vitamin A (Piliang et al., 2001). Hal ini membuktikan bahwa suplementasi daun katuk sangat nyata mempengaruhi kandungan vitamin A di dalam telur ayam. 11 Kolesterol Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah. Merupakan sejenis lipid yang merupakan molekul lemak atau yang menyerupainya. Kolesterol ialah jenis khusus lipid yang disebut steroid. Steroids ialah lipid yang memiliki struktur kimia khusus (Wikipedia, 2011). Struktur ini terdiri atas 4 cincin atom karbon. Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Struktur Kimia Kolesterol Sumber: Hames dan Hooper (2000) Kolesterol banyak ditemukan di dalam struktur tubuh manusia dan hewan yang merupakan substansi lemak hasil metabolisme. Pada produk hewani kolesterol banyak terdapat pada daging, hati, otak, dan kuning telur (Wiradimadja, 2007). Kolesterol adalah bagian terpenting di dalam struktur membran sel yang berfungsi sebagai perkursor hormon steroid dalam kelenjar adrenal, dan sebagai perkursor asam empedu di hati (Marinetti, 1990). Menurut Muchtadi (1993) jika jumlah kolesterol yang berasal dari makanan sedikit maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain, sebaliknya jika jumlah kolesterol dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol di hati dan usus menurun. Kolesterol memiliki sejumlah fungsi penting untuk kelangsungan hidup sel dan biologis steroid, dan sebagai komponen lemak kuning telur, mewakili sumber nutrien utama untuk embrio anak ayam (Speake et al., 1998). Kuning telur juga kaya akan sumber kolesterol pada pangan manusia. Namun, tingginya konsumsi kuning telur dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (Weggmass et al., 2001). Daging dan produk daging merupakan sumber kolesterol yang sesungguhnya pada pangan manusia (Valsta et al., 2005). 12 Kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lipid (lemak), berkomponen alkohol steroid, sebagian besar berfungsi sebagai sumber kalori serta memberikan nilai tambah terhadap citra makanan (Sitepoe, 1993). Kolesterol diperlukan oleh tubuh antara lain untuk sistesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses pencernaan lemak atau minyak, sintesis vitamin D dan sebagai komponen membran sel (Muchtadi, 1992). Selanjutnya disampaikan bahwa kolesterol juga sebagai perkursor dari pengeluaran asam empedu yang disintesa di hati dan berfungsi untuk menyerap trigliserida dan vitamin larut lemak dari makanan, serta sebagai perkursor dari hormon steroid, estrogen, dan testosteron. Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani. Pada kondisi normal, kolesterol disintesa dalam tubuh sejumlah dua kali dari kadar kolesterol di dalam makanan yang dimakan. Kolesterol yang disintesa diubah menjadi jaringan, hormon dan vitamin yang kemudian beredar ke dalam tubuh melalui darah. Namun, kolesterol ada yang kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu dan garam. Pada keadaan normal bila terjadi ganguan konsumsi kolesterol, maka akan terjadi mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan kolesterol dengan semua faktor sebagai mekanisme pertahanan. Lemak Lemak adalah sebuah grup zat yang ditemukan pada jaringan tanaman dan hewan. Lemak tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzena, eter, dan klorofom. Lemak bereaksi sebagai pembawa elektron, pembawa substrat dalam reaksi enzim, sebagai komponen dari membran biologi, sumber dan tempat penyimpanan energi (McDonald et al., 2002). Sifat lemak murni tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Lemak tumbuh-tumbuhan yang berwarna dapat disebabkan oleh adanya pigmen asalnya, misalnya karoten, xantofil, tokoferol atau klorofil. Karoten dan xantofil dapat memberikan warna kuning, tokoferol yang telah mengalami oksidasi dapat menimbulkan warna coklat, sedangkan kolrofil dapat menyebabkan warna kehijauhijauan. Beberapa pigmen juga memberikan warna pada lemak hewan dan lemak yang terdapat pada telur (Sumardjo, 2006). 13 Pada unggas lemak merupakan bahan penting yang harus terkandung dalam bahan pakan, selain menyumbangkan energi, lemak dapat berfungsi dalam memperbaiki konsistensi fisik dari pakan dan dispersi dari campuran bahan-bahan mikro seperti vitamin dalam pakan. Pentingnya karakterisasi kualitas lemak dapat mempengaruhi nilai dan keamanan nutrisi pakan. Karakteristik atau sifat dari lemak digunakan untuk menaksir nilai nutrisi mencakup kelembapan, ketidakmurnian, asam lemak terbang, total asam lemak, dan komposisi asam lemak. Lemak dalam pakan unggas harus stabil dalam melawan oksidasi (NRP, 1984) Vitamin A Vitamin A merupakan zat yang sangat larut dalam pelarut organik, namun tidak larut dalam cairan-cairan yang mengandung molekul air. Provitamin utama ialah karotenoid dan beta-karoten yang mempunyai daya larut yang sama seperti vitamin A (Piliang, 2008). Pada tanaman karotenoid mempunyai warna kuning, orange, atau merah tetapi umumnya tertutup oleh warna hijau dari klorofil. Karotenoid tebagi dalam 2 macam yaitu karoten dan xantofil (MCDonald et al., 2002). Karoten yang paling banyak diketahui adalah alpha-, betha-, dan gammakaroten. Karoten yang paling penting untuk hewan dan manusia adalah betha karoten, mempunyai aktivitas provitamin terbesar (Yuliani dan Marwati, 1997). Beberapa bahan makanan yang umumnya dipakai sebagai sumber vitamin A antara lain produk sapi perah seperti keju, dan susu sapi, organ bagian dalam seperti ginjal dan jantung, juga beberapa jenis ikan seperti ikan tuna. Sumber yang paling kaya dengan vitamin A yang berasal dari hewan yaitu minyak hati ikan laut sedangkan dari tumbuhan yaitu minyak kelapa sawit, yang mengandung sekitar 0,5 mg/ml campuran alpha dan beta-karoten. Biji-bijian serealia umumnya mengandung sedikit vitamin A, terutama jika digiling. Stabilitas vitamin A dan ketersediaan dalam ransum unggas paling baik dibuat dalam bentuk butiran sebagai premix. Dengan meningkatkan jumlah protein dalam ransum hingga mencapai 20% akan dapat membantu pembentukan enzim betha-karoten oxygenase pada mukosa usus, yaitu enzim yang diperlukan untuk mengkorversi karotenoid menjadi vitamin A. Lemak juga merupakan bahan penting 14 yang berfungsi sebagai alat untuk mentransport vitamin A dan karotenoid ke dalam usus halus, juga sebagai zat yang merangsang aliran empedu. Absorspsi vitamin A dalam ransum secara keseluruhan berkisar antara 8090%. Kebutuhan vitamin A dalam ransum hewan tergantung pada umur, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, adanya komponen lain dalam ransum , aktivitas fisik, konsumsi kalori dan stress. Unggas sangat cepat terpengaruh akibat defisiensi vitamin A, tanda-tandanya timbul pada anak ayam yang sedang tumbuh dalam waktu 3 - 4 minggu berupa hilangnya nafsu makan dan menurunya pertumbuhan. Pada unggas fase produksi dapat menurunkan produksi telur dan daya tetas telur. Kandungan lemak dalam makanan sangat merangsang absorpsi karotenoid dan vitamin A, yakni melalui peningkatan kontraksi kantung empedu dan melalui penyediaan lemak yang membantu transpor serta absorpsi vitamin A. Piliang (2008) melaporkan bahwa usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Kandungan vitamin A dalam serum darah tidak mencerminkan jumlah simpanan vitamin A dalam hati, kecuali pada kondisi dimana simpanan vitamin A di dalam hati sudah tidak ada sama sekali. Dalam kondisi ini kadar vitamin A di serum akan turun secara cepat. Rendahnya kandungan vitamin A dalam serum menunjukan defisiensi vitamin A. Struktur kimia vitamin A dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Struktur Kimia Vitamin A Sumber: (MCDonald et al., 2002) Vitamin E Vitamin E fungsi yang paling utama adalah sebagai antioksidan dan anti radikal bebas. Bila defisiensi vitamin E terjadi pada hewan dan manusia, maka akan terjadi proses oksidasi lemak terutama peroksidasi antara lain asam-asam lemak tidak jenuh dan kolesterol dalam membran sel dan di tempat lain dimana ada akumulasi lemak (Linder, 1992). Groff dan Sareen (2005) menambahkan bahwa fungsi vitamin 15 E memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang berada pada phospolipid membran seluler, membran mitokondria dan endoplasmik retikulum. Sumber – sumber vitamin E tidak disimpan di dalam tubuh hewan dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang panjang, tatapi vitamin E terdistribusi secara luas dalam makanan. Makanan ternak yang berwarna hijau merupakan sumber α tochoperol yang baik, rumput muda menjadi sumber vitamin E yang lebih baik dibandingkan dengan rumput yang sudah dewasa. Daun mengandung vitamin E 20-30 kali sama besarnya dengan kandungan vitamin E yang ada di batang. Secara umum produk hewan sedikit mengandung vitamin E, dan persentase kandungan tergantung dari level vitamin E yang terdapat di dalam pakan. Sintesis α tochoperol dan asetat tersedia sebagai persediaan komersial (MCDonald et al., 2002) Metabolisme absorbsi vitamin E berhubungan dengan pencernaan lemak, dipermudah dengan adanya empedu dan lipase pankreas. Usus halus merupakan tempat utama absorbsi vitamin E dalam bentuk alkohol bebas maupun ester, sebagian besar vitamin E diabsorpsi sebagai alkohol kemudian memasuki usus dan ditranspor ke seluruh sirkulasi darah melalui kelenjar getah bening. Aktivitas terbesar vitamin E pada plasma dan jaringan hewan dalam bentuk α-tochoperol. Tocopherol termasuk ke dalam sistem sirkulasi, menyebar ke seluruh jaringan tubuh, terutama disimpan ke dalam jaringan adiposa, hati dan otot, penyimpanan terbesar berada pada hati. Sejumlah kecil vitamin E akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Jalur ekskresi utama dari absorbsi vitamin E adalah empedu. Biasaya kurang dari 1% konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urine (Piliang, 2008). Struktur kimia vitamin E dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Struktur Kimia Vitamin E Sumber: Institute of Medicine (2000) 16