6 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1 Definisi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009). OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe jinak dan tipe bahaya. OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma, disebut tipe bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya (Helmi 2005; Chole & Nason 2009). Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan polusi (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009). OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya disebabkan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi dan nekrosis yang mengenai struktur penting seperti nervus fasialis, telinga dalam dan komponen intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang pendengaran dan menyebabkan tuli (Browning et al. 2008; Rout et al. 2012). 2.1.2 Etiologi OMSK Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba Eustachius (misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi 6 Universitas Sumatera Utara 7 otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization 2004; Ramakrishnan et al. 2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009). Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella species. Kuman anaerobik yang paling sering dijumpai adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (World Health Organization 2004; Chole & Sudhoff 2005; Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009). 2.1.3. Patogenesis OMSK OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009). Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia Universitas Sumatera Utara 8 epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason 2009). 2.1.4 Diagnosis OMSK Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling umum terjadi (Chole & Nason 2009). OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri dapat terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma. Gejala lainnya adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin, paralisa nervus fasialis atau gejala neurologis akibat penyebaran intrakranial). Jaringan granulasi sering yang sering dijumpai pada otitis media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009). Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring karena disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada beberapa kasus. Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk mengidentifikasi perforasi membran timpani, retraction pockets, kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma akan terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani tampak seperti defek mutiara putih yang mengandung debris keratin, sementara Universitas Sumatera Utara 9 secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di belakang membran timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009). 2.1.5 Penatalaksanaan OMSK Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satusatunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine, 2008). Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright & Valentine 2008). a.Canal wall down procedures Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009; Dhingra 2010). b.Intact Canal Wall Procedures Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian Universitas Sumatera Utara 10 disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole & Nason 2009). 2.2. Kolesteatoma 2.2.1 Definisi Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam terperangkap di rongga bagian timpanomastoid, manapun dari tetapi tulang dapat temporal juga yang berpneumatisasi (Levine & Souza 2003; Meyer, Strunk & Lambert 2006). 2.2.2. Sejarah kolesteatoma Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi (Chole & Nason 2009). Penggunaan istilah kolesteatoma ini tidak sesuai karena kolesteatoma berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi yang berasal dari membran timpani dan atau meatus akustikus eksternus, tanpa adanya kristal kolesterol ataupun lemak pada strukturnya. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun 1974. Istilahistilah tersebut sesungguhnya lebih menggambarkan dan sesuai, namun tidak digunakan karena terminologi kolesteatoma telah luas digunakan oleh ahli-ahli otologi (Dornelles 2005). Kolesteatoma diartikan oleh Friedman pada tahun 1959 sebagai suatu struktur kistik yang diselubungi oleh epitel skuamosa berlapis, yang melapisi lapisan stroma fibrosa dengan berbagai ketebalan yang sebahagian mungkin bisa berasal dari lapisan mukosa. Schuknecht pada tahun 1974 mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi dari Universitas Sumatera Utara 11 eksfoliasi keratin di telinga tengah atau area pneumatisasi dari tulang temporal, yang berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi. Atau dengan kata lain, dapat diartikan sebagai “kulit pada tempat yang salah” (Dornelles 2005). 2.2.3. Histopatologi Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium) dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma mempunyai empat lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi (Vitale et al. 2011). Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan epithelial cones (Vitale et al. 2011). 2.2.4. Epidemiologi kolesteatoma Prevalensi yang pasti dari kolesteatoma belum diketahui secara pasti. Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per 100.000 populasi (Chole & Nason 2009). Restuti (2008) di RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melaporkan sebanyak 182 kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 333 kasus OMSK yang dioperasi tahun 2002-2007. Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma. Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006-31 Desember 2010 sebanyak 119 mendapatkan pasien 38,7% (Siregar kasus 2013), OMSK sedangkan merupakan Lubis OMSK (2010) dengan kolesteatoma. Universitas Sumatera Utara 12 2.2.5. Patogenesis kolesteatoma Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat yakni: 1.Teori invaginasi: teori ini diterima secara luas sebagai mekanisme yang paling utama pada kolesteatoma primer atau kolesteatoma atik. Pada teori ini, membran timpani mengalami retraksi dan kemudian menjadi lebih kemedial disebabkan oleh meningkatnya tekanan pada telinga tengah. Alasan perpindahan menuju medial sama seperti yang telah dikemukakan pada OMSK secara umum, yakni disfungsi tuba Eustachius, inflamasi, atrofi membran timpani, dan pneumatisasi mastoid yang buruk. Wolfman dan Chloe mendemonstrasikan perkembangan kolesteatoma pada 75% mencit setelah 16 minggu percobaan obstruksi tuba eustasius. Meskipun proses ini terjadi pada pars flasida yang disebabkan kelemahannya oleh karena tidak adanya lapisan fibrosa, bagian manapun dari membran timpani dapat terlibat (Chole & Nason 2009). 2.Teori invasi epitel: Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain yang di sebut dengan contact inhibition. Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini yakni van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa citokeratin (CK 10) merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dianggap sebagai penyebab pertumbuhan epidermal pada perforasi sentral karena lokasi perforasi marginal terpapar mukosa telinga tengah dengan liang telinga. Bagaimanapun perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari Universitas Sumatera Utara 13 perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal di mucocutaneus junction yang terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason, 2009). 3.Teori hiperplasia sel basal: pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma di atik. Huang dkk telah memperlihatkan kerusakan membran timpani melalui aplikasi propilen glikol yang mengakibatkan pertumbuhan epitel di telinga tengah pada mencit (Chole & Nason, 2009). 4.Teori metaplasia skuamosa: Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason, 2009). 2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi Epitel kolesteatoma walaupun tidak bersifat neoplastik tetapi bersifat hiperproliferatif. Involucrin, adalah prekursor untuk pembentukan lapisan teratas dari epidermis, ditemukan hanya pada high suprabasal layer pada kulit yang normal. Pada kolesteatoma, involukrin ditemukan pada semua lapisan suprabasal yang mengakibatkan peningkatan akumulasi keratin didalam epidermis. Beberapa studi juga menunjukkan peningkatan ekspresi dari marker proliferasi pada lapisan basal dan supra basal dari epidermis, yaitu CK4, CK5/6, CK 10, CK13/16, epidermal growth factor receptor (EGFR), keratinocyte growth factor (KGF), dan Ki-67. Distribusi yang abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat dalam proses hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array juga mengidentifikasi ada gen-gen lain yang memegang peranan dalam Universitas Sumatera Utara 14 pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan extracellular matrix protein-1 (Chole & Nason, 2009). Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan keratinosit. Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar. Inflamasi dengan atau tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk membentuk suatu lingkungan dengan peningkatan konsentrasi dari proinflammatory cytokines. Lingkungan diketahui dapat menstimulasi basal keratinocytes untuk berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan kolesteatoma (Chole & Nason 2009). Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium dan integritas struktural. Sintesis dari matriks dilakukan oleh osteoblas sementara proses resorbsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblas memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokinsitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL. Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio Universitas Sumatera Utara 15 RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factor–alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason, 2009). 2.2.7 Komplikasi Komplikasi dapat dibagi atas: Komplikasi intratemporal a.Petrositis Perluasan infeksi pada telinga tengah dan mastoid menuju bagian petrosa disebut dengan petrositis (Dhingra, 2010). b.Paralisa nervus fasialis Nervus fasialis secara normal dilindungi oleh tulang. Kolesteatoma dapat merusak tulang pelindung nervus fasialis dan kemudian mengakibatkan kerusakan pada nervus fasialis (Dhingra, 2010). c.Labirinitis Peradangan pada labirin yang diakibatkan oleh otitis media mengakibatkan gangguan pendengaran dan vertigo. Diagnosa labirinitis didapat dari pemeriksaan klinis, namun inflamasi pada labirin dapat divisualisasi menggunakan Magnetic Resonance Imagine dengan kontras (Friendland, 2009). Komplikasi Intrakranial a.Abses ekstradural Abses ekstradural yakni terbentuknya pus diantara tulang kranial dan duramater yang disebabkan destruksi tulang oleh kolesteatoma (Dhingra, 2010). Universitas Sumatera Utara 16 b.Abses subdural Abses subdural ditandai dengan terbentuknya pus diantara duramater dan ruang arahnoid. Infeksi menyebar dari telinga disebabkan oleh erosi tulang dan duramater ataupun melalui proses trombophlebitis (Dhingra, 2010). c.Meningitis Meningitis merupakan peradangan pada leptomeningen (pia dan arakhnoid). Merupakan komplikasi intrakranial tersering pada penderita otitis media. Penderita dengan meningitis biasanya mengeluhkan sakit kepala yang berat namun keluhan ini tidaklah spesifik. Keluhan yang lebih spesifik yakni demam, kaku leher, dan perubahan status mental (Friendland, 2009). d.Abses otak otogenik Perluasan infeksi telinga pada meningen dapat menimbulkan terjadinya serebritis dan abses pada parenkim otak. Abses otak yang diakibatkan otitis media biasanya bersifat unilateral sesuai dengan telinga yang terlibat (Friendland, 2009). e.Tromboplebitis sinus lateralis Merupakan peradangan dari dinding sinus vena lateral disertai terbentuknya trombus. Komplikasi ini merupakan komplikasi intrakranial kadua tersering pda penderita otitis media dengan angka mortalitas sebesar 10% (Dhingra, 2010). f.Hidrosefalus otikus Hidrosefalus otikus merupakan peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh infeksi pada telinga. Secara defenisi hidrosefalus otikus bukan disebabkan oleh abses otak ataupun meningitis. Penderita datang dengan keluhan sakit kepala, gangguan visus, dan muntah. Hal ini dapat disertai perubahan status mental, gangguan kesadaran, pusing dan gangguan keseimbangan (Friendland, 2009). Universitas Sumatera Utara 17 2.2.8 Stadium dan derajat destruksi akibat Kolesteatoma Terdapat beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma antara lain: A. Berdasarkan Saleh dan Mills, 1999 S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal S3 : Bila mengenai tiga lokasi S4 : Bila mengenai empat lokasi S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi Saleh dan Mills mengklasifikasikan OMSK dengan kolesteatoma dengan: C1 : Bila tidak terdapat komplikasi C2 : Bila terdapat komplikasi C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih B.Pembagian stadium kolesteatoma berdasarkan pembagian yang diajukan oleh The Japan Otological Society (JOS) for Attic Cholesteatoma Staging System (2008) yang dibagi atas: Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi atik Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi atik Stadium III : Kolesteatoma menyebabkan satu atau lebih komplikasi : 1. Kelumpuhan saraf fasialis 2. Komplikasi Intrakranial 3. Fistula Labirin 4. Kerusakan yang luas pada tulang liang telinga luar. 5. Sensorineural hearing loss berat 6. Adhesi total membran timpani. C.Berdasarkan pembagian yang diajukan oleh Kuczkowski et al (2011). Derajat destruksi tulang akibat kolestetoma terdiri dari : Derajat ringan : Erosi pada skutum dan osikel Derajat sedang : Destruksi pada tegmen dan seluruh osikel Universitas Sumatera Utara 18 Derajat berat: Destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis fasialis dan liang telinga luar. Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dikategorikan atas: Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum Meliputi 3 area: mesotimpanum, epitimpanum dan antrum. 2.3 Interleukin-1 (IL-1) Interleukin-1 adalah limfokin yang merupakan mitogen untuk thymocytes. IL-1 dihasilkan dari banyak sel yang berbeda untuk meregulasi respon imun. IL-1 adalah suatu zat yang paling aktif memicu penyerapan tulang melalui aktivasi osteoklas. IL-1 ini memperantarai destruksi tulang yang merupakan salah satu karakteristik klinis gejala OMSK. Neutrofil adalah penghasil utama IL-1β. Pemicu produksi IL-1 di dalam neutrofil terjadi melalui suatu mekanisme umpan balik positif. IL-1 telah menunjukkan stimulasi sintesis TNF, IL-2, IL-6, IL-8. IL-1 terdiri dari dua polipeptida utama, 17kDa, IL-1α, IL-1β. IL-1α bekerja sebagai suatu zat yang terkait membran dimana IL-1β ditemukan secara bebas dalam sirkulasi (Juhn, 2008). IL-1 merangsang pelepasan sitokin lain dan menstimulasi metabolisme asam arakidonat dalam siklus siklooksigenase dan lipooksigenase. IL-1 terutama disintesis oleh makrofag yang teraktivasi, dalam hal ini produksi IL-1 distimulasi oleh lipopolisakarida dan leukotrien. TNF juga menstimulasi IL-1. Platelet Activating Factor (PAF) dapat meningkatkan pelepasan IL-1 dengan memproduksi metabolisme leukotrien. IL-1β terutama diproduksi dan dilepaskan secara ekstraseluler oleh sel-sel inflamatori seperti makrofag, monosit dan IL-1α terlokalisasi secara intraseluler atau pada permukaan sel. IL-1 memicu adhesi molekul sel (Adhesion Interceluller Molecule-1 dan Adhesion vasculer Molecule-1) sehingga menstimulasi migrasi leukosit (Juhn, 2008). Universitas Sumatera Utara 19 Sitokin juga berpegaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Respon selular sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran (Baratawidjaja 2012). Famili sitokin IL-1 meliputi IL-1α dan IL-1β yang merupakan stimulator kuat terhadap resorpsi tulang dan suatu reseptor antagonis yang disekresi yaitu IL-1 ra akan menghambat kerja IL-1α dan IL-1β. Sitokin yang berhubung ini dihasilkan dalam sel inflamasi dari matriks kolesteatoma dan keratinosit dari epithelium (Jung & Cole 2002). 2.4 Interleukin-1 dan Kolesteatoma Kolesteatoma pada telinga tengah mempunyai ciri proliferasi abnormal yang mengakibatkan akumulasi debris keratin, destruksi struktur tulang di sekitarnya, dan invasi ke telinga dalam atau menuju intrakranial. Meskipun telah banyak penelitian mengenai mekanisme pembentukan kolesteatoma, patogenesis yang tepat dari penyakit ini belum berhasil diungkapkan (Welkoborsky 2011). Telah banyak dilakukan pembahasan mengenai konsep patogenesis kolesteatoma. Terjadinya retraction pocket diakibatkan oleh adanya disfungsi tuba Eustachius. Infeksi lokal akan menimbulkan gangguan mekanisme self-cleaning yang mengakibatkan akumulasi debris-debris sel dan keratinosit dalam retraction pocket. Hal ini diikuti oleh migrasi sel-sel imun misalnya, sel Langerhans, sel T, dan makrofag. Terjadi suatu ketidakseimbangan dan lingkaran setan dari proliferasi epitel, diferensiasi keratinosit dan maturisasi, proses apoptosis yang melambat, dan ganguan mekanisme self-cleaning. Stimulus pada proses inflamasi akan merangsang proliferasi epitel dengan menghasilkan ekspresi enzim-enzim litik dan sitokin. Sebagai hasilnya akan berkembang mikrokolesteatoma. Bakteri-bakteri yang berada dalam retraction pocket akan memproduksi beberapa antigen yang akan mengaktivasi sitokin dan enzim litik seperti Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator of Nuclear Factor kB Ligand (RANKL), IL-1, IL-2, IL-6, MMP-2 dan MMP-9. Sitokin- Universitas Sumatera Utara 20 sitokin ini akan merangsang aktifasi dan pematangan osteoklas yang mengakibatkan degradasi Extra Cellular Matrix tulang dan hiperproliferasi, destruksi tulang dan akhirnya progresifitas penyakit tersebut. Namun mengapa tidak semua kolesteatoma memperlihatkan progresifitas yang sama masih menjadi pertanyaan (Welkoborsky 2011). Kuczkowski et al. (2011) dalam penelitiannya dengan menggunakan metode imunoblas menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-1 dan IL-6 pada kolesteatoma dibanding pada jaringan granulasi maupun pada bagian kulit. Yamamoto (2003) dalam penelitiannya menyatakan terdapat sel inflamasi pada kolesteatoma dan over ekspresi sitokin pro inflamasi seperti IL-1, TNF dan PDGF. Akimoto et al. (2000) di Tokyo Jepang mendapatkan peningkatan IL-1 dan TNF-α pada kolesteatoma acquired bila dibandingkan dengan kulit liang telinga luar. Kadar TNF-α pada kolesteatoma acquired berkorelasi dengan derajat infeksi, kadar ICAM-1 dan jumlah sel infiltrasi, tetapi tidak demikian dengan kadar IL-1. Derajat destruksi tulang pada kolesteatoma congenital dan acquired berkorelasi dengan kadar ekspresi TNF-α, namun IL-1 tidak, hal ini mengindikasikan bahwa TNF-α mungkin memegang peranan penting dalam proses resorpsi tulang pada kedua jenis kolesteatoma. Shiwa (1995) seperti yang dikutip oleh Akimoto et al. (2000) melaporkan tidak terdapat korelasi antara kadar IL-1 dengan tingkat keparahan infeksi, perkembangan stadium kolesteatoma dan derajat resorpsi tulang. 2.5 Anatomi Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, Universitas Sumatera Utara 21 terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius, dan prosesus mastoid (Gacek, 2009). 2.5.1. Membran timpani Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9 mm, tebal ± 0,1 mm. Membran timpani tipis, licin, dan berwarna putih mutiara (Dhingra 2010). Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flasida (membran Shrapnell`s) di bagian atas yang lebih tipis. Secara histologis membran timpani terdiri dari 3 lapisan, yaitu: 1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal dari liang telinga luar. 2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa telinga tengah. 3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum dan stratum mukosum (Dhingra 2010). 2.5.2. Kavum timpani Kavum timpani merupakan suatu ruang yang terletak diantara membran timpani dan telinga dalam. Kavum timpani adalah suatu ruang bikonkaf dengan diameter vertikal dan antero-posteriornya sekitar 15 mm dan diameter transversal 2-6 mm, yang mempunyai 6 dinding, yang dibatasi oleh : 1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi. 2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum timpani dari bulbus vena jugularis. 3. Dinding lateral, dibentuk terutama oleh membran timpani. Universitas Sumatera Utara 22 4. Dinding anterior, berhubungan dengan otot tensor timpani, ostium tuba Eustachius, dan dinding dari karotis. 5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani pada dinding telinga dalam. Terdapat promontorium yang merupakan lingkaran basal koklea. Pada bagian belakang bawah dinding media ini terdapat fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian belakang atas terdapat fenestra ovale. 6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae mastoideus melalui aditus ad antrum (Helmi, 2005). Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi, 2005). 2.5.3. Tuba Eustachius Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Gacek, 2009). 2.5.4. Prosesus mastoid Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi Universitas Sumatera Utara 23 kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Gacek, 2009). Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Gacek, 2009). 2.5.5. Vaskularisasi Kavum timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri karotis eksterna. Cabang- cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah: Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang berasal dari arteri aurikularis posterior atau arteri oksipital. Arteri timpani posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani. Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang ascenden arteri karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang timpani nervus IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani. Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang merupakan cabang-cabang arteri meningea media yang masuk ke kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani. Universitas Sumatera Utara 24 Arteri karotimpani yang merupakan satu-satunya cabang yang berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan liang telinga tengah. Aliran vena yang berjalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005). 2.6. Imunohistokimia Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai kandungan berbagai unsur molekul didalam sel normal maupun sel neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label chromogen. ini diawali dengan prosedur histo yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito, & Endang, 2005) Interaksi antara antigen dan antibodi adalah reaksi yang tidak kasat mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan molekul antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim (yang dipakai untuk molekul) selanjutnya direaksikan dengan substrat chromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang terang). Imunohistokimia yang menggunakan fluorokrom untuk molekul antibodi, dapat langsung diamati dibawah mikroskop fluorescence (Hardjolukito, Endang, SR 2005). Berbagai jenis molekul yang yang terkandung dalam sel dapat dideteksi dengan ini, termasuk berbagai jenis reseptor, onkoprotein, faktor pertumbuhan dan protein-protein lainnya. Imunohistokimia menjadi pilihan untuk menentukan petanda-petanda biologik tersebut karena relatif mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik. Namun demikian perlu diperhatikan sejumlah faktor yang dapat Universitas Sumatera Utara 25 mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan (Hardjolukito, Endang, SR 2005). Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode yaitu (Sudiana & Ketut 2005): a. Metode Direct Pada metode ini antibodi monoklonal yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim. b. Metode Indirect Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi) seperti : biotinstreptavidin atau biotin-avidin. Universitas Sumatera Utara 26 2.7. Kerangka Teori Kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya Bakteri Inflamasi USIA JENIS KELAMIN GEJALA KLINIS LAMA KELUHAN Interleukin-1 (IL-1) Peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas sekretori epitel Proliferasi Epitel Peningkatan aktifitas osteoklas dalam kolesteatoma Degradasi Ekstra Selular Matriks Tulang Komplikasi Intratemporal Derajat destruksi tulang Intrakranial Ringan Sedang Berat Gambar 2.1. Kerangka Teori Universitas Sumatera Utara 27 Keterangan : = Variabel penelitian OMSK tipe bahaya dapat disebabkan oleh infeksi bakteri yang memicu timbulnya aktivasi sitokin antara lain Interleukin-1. Proses inflamasi ini akan merangsang peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas sekretori epitel dan merangsang proliferasi epitel. Hal ini akan menyebabkan peningkatan aktifitas osteoklas dalam kolesteatoma sehingga terjadi degradasi matriks tulang ekstra selular sehingga terjadi destruksi tulang. Derajat destruksi tulang dapat dibagi menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Terjadinya destruksi tulang dapat mengakibatkan komplikasi intratemporal dan intrakranial Universitas Sumatera Utara 28 2.8. Kerangka Konsep RINGAN IL-1 KOLESTEATOMA Derajat destruksi tulang SEDANG BERAT USIA JENIS KELAMIN GEJALA KLINIS LAMA KELUHAN KOMPLIKASI Gambar 2.2. Kerangka Konsep Universitas Sumatera Utara