6 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Otitis Media Supuratif

advertisement
6
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
2.1.1 Definisi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang
timbul. Sekret encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health
Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe jinak dan tipe bahaya. OMSK
tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma, disebut tipe
bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya (Helmi 2005;
Chole & Nason 2009).
Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang
padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan
infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan
polusi (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009).
OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya
disebabkan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi
dan nekrosis yang mengenai struktur penting seperti nervus fasialis,
telinga dalam dan komponen intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang
pendengaran dan menyebabkan tuli (Browning et al. 2008; Rout et al.
2012).
2.1.2 Etiologi OMSK
Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba Eustachius
(misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring),
imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali
midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks
gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi
6
Universitas Sumatera Utara
7
otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media
kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization
2004; Ramakrishnan et al. 2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang
telinga
luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui
nasofaring. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak
dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis,
kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman
aerob
yang
sering
dijumpai
adalah
Pseudomonas
aeruginosa,
Staphylococcus aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli,
Proteus species, dan Klebsiella species. Kuman anaerobik yang paling
sering dijumpai adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (World
Health Organization 2004; Chole & Sudhoff 2005; Wright & Valentine
2008; Chole & Nason 2009).
2.1.3. Patogenesis OMSK
OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang
ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius
memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis.
Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan
sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring
refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga
tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase
inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan
mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema
persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia
Universitas Sumatera Utara
8
epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi
epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret
mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang
membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini
akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang
antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum.
Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan
mukosa (Chole & Nason 2009).
2.1.4 Diagnosis OMSK
Diagnosis
OMSK
dibuat
berdasarkan
riwayat
penyakit
dan
pemeriksaan fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi
hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling
umum terjadi (Chole & Nason 2009).
OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai
dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri
dapat terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma.
Gejala lainnya adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin,
paralisa nervus fasialis atau gejala neurologis akibat penyebaran
intrakranial). Jaringan granulasi sering yang sering dijumpai pada otitis
media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi
(Yates & Anari 2008;
Chole & Nason 2009).
Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring
karena disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada
beberapa kasus. Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk
mengidentifikasi
perforasi
membran
timpani,
retraction
pockets,
kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma
akan terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani tampak
seperti defek mutiara putih yang mengandung debris keratin, sementara
Universitas Sumatera Utara
9
secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di belakang membran
timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).
2.1.5 Penatalaksanaan OMSK
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala
dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satusatunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet
untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine, 2008).
Terdapat
berbagai
macam
teknik
operasi
untuk
menangani
kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal
wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright &
Valentine 2008).
a.Canal wall down procedures
Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid
berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant,
Rosowski & Shelton 2009; Dhingra 2010).
b.Intact Canal Wall Procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal
dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang
dan merekonstruksi skutum.
Prosedur
ini
sering
dilakukan
pada
kasus
primary
acquired
cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan
complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi
matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat
terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi
tertinggal. Sering
diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian
Universitas Sumatera Utara
10
disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole &
Nason 2009).
2.2.
Kolesteatoma
2.2.1 Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified
squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang
terperangkap
dalam
terperangkap
di
rongga
bagian
timpanomastoid,
manapun
dari
tetapi
tulang
dapat
temporal
juga
yang
berpneumatisasi (Levine & Souza 2003; Meyer, Strunk & Lambert 2006).
2.2.2. Sejarah kolesteatoma
Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller
pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista
epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi (Chole & Nason
2009).
Penggunaan istilah kolesteatoma ini tidak sesuai karena kolesteatoma
berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi yang berasal dari membran
timpani dan atau meatus akustikus eksternus, tanpa adanya kristal
kolesterol ataupun lemak pada strukturnya. Istilah lain yang digunakan
antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma
oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing
pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun 1974. Istilahistilah tersebut sesungguhnya lebih menggambarkan dan sesuai, namun
tidak digunakan karena terminologi kolesteatoma telah luas digunakan
oleh ahli-ahli otologi (Dornelles 2005).
Kolesteatoma diartikan oleh Friedman pada tahun 1959 sebagai suatu
struktur kistik yang diselubungi oleh epitel skuamosa berlapis, yang
melapisi lapisan stroma fibrosa dengan berbagai ketebalan yang
sebahagian mungkin bisa berasal dari lapisan mukosa. Schuknecht pada
tahun
1974
mendefinisikan
kolesteatoma
sebagai
akumulasi
dari
Universitas Sumatera Utara
11
eksfoliasi keratin di telinga tengah atau area pneumatisasi dari tulang
temporal, yang berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi. Atau dengan
kata lain, dapat diartikan sebagai “kulit pada tempat yang salah”
(Dornelles 2005).
2.2.3. Histopatologi
Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium)
dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma
mempunyai empat lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan
stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks
ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan
elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi (Vitale et al. 2011).
Analisis histologis dari matriks kolesteatoma
memperlihatkan pola
yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan
epithelial cones (Vitale et al. 2011).
2.2.4. Epidemiologi kolesteatoma
Prevalensi yang pasti dari kolesteatoma belum diketahui secara pasti.
Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per
100.000 populasi (Chole & Nason 2009).
Restuti (2008) di RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melaporkan
sebanyak 182 kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 333 kasus OMSK
yang dioperasi tahun 2002-2007.
Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah
dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus
OMSK dengan kolesteatoma.
Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006-31 Desember 2010
sebanyak
119
mendapatkan
pasien
38,7%
(Siregar
kasus
2013),
OMSK
sedangkan
merupakan
Lubis
OMSK
(2010)
dengan
kolesteatoma.
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.5. Patogenesis kolesteatoma
Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat
yakni:
1.Teori invaginasi: teori ini diterima secara luas sebagai mekanisme yang
paling utama pada kolesteatoma primer atau kolesteatoma atik. Pada teori
ini, membran timpani mengalami retraksi dan kemudian menjadi lebih
kemedial disebabkan oleh meningkatnya tekanan pada telinga tengah.
Alasan perpindahan menuju medial sama seperti yang telah dikemukakan
pada OMSK secara umum, yakni disfungsi tuba Eustachius, inflamasi,
atrofi membran timpani, dan pneumatisasi mastoid yang buruk. Wolfman
dan Chloe mendemonstrasikan perkembangan kolesteatoma pada 75%
mencit setelah 16 minggu percobaan obstruksi tuba eustasius. Meskipun
proses ini terjadi pada pars flasida yang disebabkan kelemahannya oleh
karena tidak adanya lapisan fibrosa, bagian manapun dari membran
timpani dapat terlibat (Chole & Nason 2009).
2.Teori invasi epitel: Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari
liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai
kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau
perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel
yang lain yang di sebut dengan contact inhibition. Jika mukosa telinga
tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi
membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum
timpani. Menyokong teori ini yakni van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa
citokeratin (CK 10) merupakan intermediate filament protein dan marker
untuk epitel skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks
kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi
marginal dianggap sebagai penyebab pertumbuhan epidermal pada
perforasi sentral karena lokasi perforasi marginal terpapar mukosa telinga
tengah dengan liang telinga. Bagaimanapun perforasi sentral membran
timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari
Universitas Sumatera Utara
13
perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38%
mengalami pertumbuhan epidermal di mucocutaneus junction yang
terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason, 2009).
3.Teori hiperplasia sel basal: pada tahun 1925, Lange mengobservasi
bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang
sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma
di atik. Huang dkk
telah memperlihatkan kerusakan membran timpani
melalui aplikasi propilen glikol yang mengakibatkan pertumbuhan epitel di
telinga tengah pada mencit (Chole & Nason, 2009).
4.Teori metaplasia skuamosa: Infeksi atau inflamasi jaringan
yang
kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid
pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel
skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah
pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari
kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason, 2009).
2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi
Epitel kolesteatoma walaupun tidak bersifat neoplastik tetapi bersifat
hiperproliferatif. Involucrin, adalah prekursor untuk pembentukan lapisan
teratas dari epidermis, ditemukan hanya pada high suprabasal layer pada
kulit yang normal. Pada kolesteatoma, involukrin ditemukan pada semua
lapisan suprabasal yang mengakibatkan peningkatan akumulasi keratin
didalam epidermis. Beberapa studi juga menunjukkan peningkatan
ekspresi dari marker proliferasi pada lapisan basal dan supra basal dari
epidermis, yaitu CK4, CK5/6, CK 10, CK13/16, epidermal growth factor
receptor (EGFR), keratinocyte growth factor (KGF), dan Ki-67. Distribusi
yang abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat dalam
proses hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array
juga mengidentifikasi ada gen-gen lain yang memegang peranan dalam
Universitas Sumatera Utara
14
pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan
extracellular matrix protein-1 (Chole & Nason, 2009).
Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah
inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel
Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan
keratinosit. Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar.
Inflamasi dengan atau tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk
membentuk suatu lingkungan dengan peningkatan konsentrasi dari
proinflammatory cytokines. Lingkungan diketahui dapat menstimulasi
basal keratinocytes untuk berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan
kolesteatoma (Chole & Nason 2009).
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas
penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan
melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium
dan integritas struktural. Sintesis dari matriks dilakukan oleh osteoblas
sementara
proses
resorbsi
diatur
oleh
osteoklas.
Konsep
yang
bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor
proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa
terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi.
Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial
sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan
Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal,
osteoblas memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan
osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada
kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokinsitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu
osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.
Jeong et al
(2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada
kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal.
Hasil
ini
menyatakan
jaringan
kolesteatoma
meningkatkan
rasio
Universitas Sumatera Utara
15
RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses
osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6,
Tumor Necrosis Factor–alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui
meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui
lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri
sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole &
Nason, 2009).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi atas:
Komplikasi intratemporal
a.Petrositis
Perluasan infeksi pada telinga tengah dan mastoid menuju bagian
petrosa disebut dengan petrositis (Dhingra, 2010).
b.Paralisa nervus fasialis
Nervus fasialis secara normal dilindungi oleh tulang. Kolesteatoma
dapat
merusak
tulang
pelindung
nervus
fasialis
dan
kemudian
mengakibatkan kerusakan pada nervus fasialis (Dhingra, 2010).
c.Labirinitis
Peradangan
pada
labirin
yang
diakibatkan
oleh
otitis
media
mengakibatkan gangguan pendengaran dan vertigo. Diagnosa labirinitis
didapat dari pemeriksaan klinis, namun inflamasi pada labirin dapat
divisualisasi menggunakan Magnetic Resonance Imagine dengan kontras
(Friendland, 2009).
Komplikasi Intrakranial
a.Abses ekstradural
Abses ekstradural yakni terbentuknya pus diantara tulang kranial dan
duramater yang disebabkan destruksi tulang oleh kolesteatoma (Dhingra,
2010).
Universitas Sumatera Utara
16
b.Abses subdural
Abses subdural ditandai dengan terbentuknya pus diantara duramater
dan ruang arahnoid. Infeksi menyebar dari telinga disebabkan oleh erosi
tulang dan duramater ataupun melalui proses trombophlebitis (Dhingra,
2010).
c.Meningitis
Meningitis merupakan peradangan pada leptomeningen (pia dan
arakhnoid). Merupakan komplikasi intrakranial tersering pada penderita
otitis media. Penderita dengan meningitis biasanya mengeluhkan sakit
kepala yang berat namun keluhan ini tidaklah spesifik. Keluhan yang lebih
spesifik yakni demam, kaku leher, dan perubahan status mental
(Friendland, 2009).
d.Abses otak otogenik
Perluasan infeksi telinga pada meningen dapat menimbulkan terjadinya
serebritis dan abses pada parenkim otak. Abses otak yang diakibatkan
otitis media biasanya bersifat unilateral sesuai dengan telinga yang terlibat
(Friendland, 2009).
e.Tromboplebitis sinus lateralis
Merupakan peradangan dari dinding sinus vena lateral disertai
terbentuknya trombus. Komplikasi ini merupakan komplikasi intrakranial
kadua tersering pda penderita otitis media dengan angka mortalitas
sebesar 10% (Dhingra, 2010).
f.Hidrosefalus otikus
Hidrosefalus otikus merupakan peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh infeksi pada telinga. Secara defenisi hidrosefalus otikus
bukan disebabkan oleh abses otak ataupun meningitis. Penderita datang
dengan keluhan sakit kepala, gangguan visus, dan muntah. Hal ini dapat
disertai perubahan status mental, gangguan kesadaran, pusing dan
gangguan keseimbangan (Friendland, 2009).
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.8 Stadium dan derajat destruksi akibat Kolesteatoma
Terdapat beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma antara lain:
A. Berdasarkan Saleh dan Mills, 1999
S1
: Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2
: Bila telah terjadi perluasan lokal
S3
: Bila mengenai tiga lokasi
S4
: Bila mengenai empat lokasi
S5
: Bila mengenai lebih dari empat lokasi
Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi
Saleh dan Mills mengklasifikasikan OMSK dengan kolesteatoma dengan:
C1
: Bila tidak terdapat komplikasi
C2
: Bila terdapat komplikasi
C3
: Bila terdapat dua komplikasi atau lebih
B.Pembagian
stadium kolesteatoma berdasarkan pembagian yang
diajukan oleh The Japan Otological Society (JOS) for Attic Cholesteatoma
Staging System (2008) yang dibagi atas:
Stadium
I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi atik
Stadium
II : Kolesteatoma meluas melebihi atik
Stadium III : Kolesteatoma menyebabkan satu atau lebih komplikasi :
1.
Kelumpuhan saraf fasialis
2.
Komplikasi Intrakranial
3.
Fistula Labirin
4.
Kerusakan yang luas pada tulang liang telinga luar.
5.
Sensorineural hearing loss berat
6.
Adhesi total membran timpani.
C.Berdasarkan pembagian yang diajukan oleh Kuczkowski et al (2011).
Derajat destruksi tulang akibat kolestetoma terdiri dari :
Derajat ringan
: Erosi pada skutum dan osikel
Derajat sedang
: Destruksi pada tegmen dan seluruh osikel
Universitas Sumatera Utara
18
Derajat berat: Destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis
fasialis dan liang telinga luar.
Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dikategorikan
atas:
Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum
Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum
Meliputi 3 area: mesotimpanum, epitimpanum dan antrum.
2.3 Interleukin-1 (IL-1)
Interleukin-1
adalah
limfokin
yang
merupakan
mitogen
untuk
thymocytes. IL-1 dihasilkan dari banyak sel yang berbeda untuk
meregulasi respon imun. IL-1 adalah suatu zat yang paling aktif memicu
penyerapan tulang melalui aktivasi osteoklas. IL-1 ini memperantarai
destruksi tulang yang merupakan salah satu karakteristik klinis gejala
OMSK. Neutrofil adalah penghasil utama IL-1β. Pemicu produksi IL-1 di
dalam neutrofil terjadi melalui suatu mekanisme umpan balik positif. IL-1
telah menunjukkan stimulasi sintesis TNF, IL-2, IL-6, IL-8. IL-1 terdiri dari
dua polipeptida utama, 17kDa, IL-1α, IL-1β. IL-1α bekerja sebagai suatu
zat yang terkait membran dimana IL-1β ditemukan secara bebas dalam
sirkulasi (Juhn, 2008).
IL-1 merangsang pelepasan sitokin lain dan menstimulasi metabolisme
asam arakidonat dalam siklus siklooksigenase dan lipooksigenase. IL-1
terutama disintesis oleh makrofag yang teraktivasi, dalam hal ini produksi
IL-1
distimulasi
oleh
lipopolisakarida
dan
leukotrien.
TNF
juga
menstimulasi IL-1. Platelet Activating Factor (PAF) dapat meningkatkan
pelepasan IL-1 dengan memproduksi metabolisme leukotrien. IL-1β
terutama diproduksi dan dilepaskan secara ekstraseluler oleh sel-sel
inflamatori seperti makrofag, monosit dan IL-1α terlokalisasi secara
intraseluler atau pada permukaan sel. IL-1 memicu adhesi molekul sel
(Adhesion Interceluller Molecule-1 dan Adhesion vasculer Molecule-1)
sehingga menstimulasi migrasi leukosit (Juhn, 2008).
Universitas Sumatera Utara
19
Sitokin juga berpegaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.
Respon selular sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel
sasaran (Baratawidjaja 2012). Famili sitokin IL-1 meliputi IL-1α dan IL-1β
yang merupakan stimulator kuat terhadap resorpsi tulang dan suatu
reseptor antagonis yang disekresi yaitu IL-1 ra akan menghambat kerja
IL-1α dan IL-1β. Sitokin yang berhubung ini dihasilkan dalam sel inflamasi
dari matriks kolesteatoma dan keratinosit dari epithelium (Jung & Cole
2002).
2.4
Interleukin-1 dan Kolesteatoma
Kolesteatoma pada telinga tengah mempunyai ciri proliferasi abnormal
yang mengakibatkan akumulasi debris keratin, destruksi struktur tulang di
sekitarnya, dan invasi ke telinga dalam atau menuju intrakranial. Meskipun
telah
banyak
penelitian
mengenai
mekanisme
pembentukan
kolesteatoma, patogenesis yang tepat dari penyakit ini belum berhasil
diungkapkan (Welkoborsky 2011).
Telah banyak dilakukan pembahasan mengenai konsep patogenesis
kolesteatoma. Terjadinya retraction pocket diakibatkan oleh adanya
disfungsi tuba Eustachius. Infeksi lokal akan menimbulkan gangguan
mekanisme self-cleaning yang mengakibatkan akumulasi debris-debris sel
dan keratinosit dalam retraction pocket. Hal ini diikuti oleh migrasi sel-sel
imun misalnya, sel Langerhans, sel T, dan makrofag. Terjadi suatu
ketidakseimbangan dan lingkaran setan dari proliferasi epitel, diferensiasi
keratinosit dan maturisasi, proses apoptosis yang melambat, dan ganguan
mekanisme
self-cleaning.
Stimulus
pada
proses
inflamasi
akan
merangsang proliferasi epitel dengan menghasilkan ekspresi enzim-enzim
litik dan sitokin. Sebagai hasilnya akan berkembang mikrokolesteatoma.
Bakteri-bakteri yang berada dalam retraction pocket akan memproduksi
beberapa antigen yang akan mengaktivasi sitokin dan enzim litik seperti
Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator of Nuclear
Factor kB Ligand (RANKL), IL-1, IL-2, IL-6, MMP-2 dan MMP-9. Sitokin-
Universitas Sumatera Utara
20
sitokin ini akan merangsang aktifasi dan pematangan osteoklas yang
mengakibatkan degradasi Extra Cellular Matrix tulang dan hiperproliferasi,
destruksi tulang dan akhirnya progresifitas penyakit tersebut. Namun
mengapa tidak semua kolesteatoma memperlihatkan progresifitas yang
sama masih menjadi pertanyaan (Welkoborsky 2011).
Kuczkowski et al. (2011) dalam penelitiannya dengan menggunakan
metode imunoblas menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-1 dan
IL-6 pada kolesteatoma dibanding pada jaringan granulasi maupun pada
bagian kulit.
Yamamoto (2003) dalam penelitiannya menyatakan terdapat sel
inflamasi
pada kolesteatoma dan over ekspresi sitokin pro inflamasi
seperti IL-1, TNF dan PDGF.
Akimoto et al. (2000) di Tokyo Jepang mendapatkan peningkatan IL-1
dan TNF-α pada kolesteatoma acquired bila dibandingkan dengan kulit
liang telinga luar. Kadar TNF-α pada kolesteatoma acquired berkorelasi
dengan derajat infeksi, kadar ICAM-1 dan jumlah sel infiltrasi, tetapi tidak
demikian dengan kadar IL-1. Derajat destruksi tulang pada kolesteatoma
congenital dan acquired
berkorelasi dengan kadar ekspresi TNF-α,
namun IL-1 tidak, hal ini mengindikasikan bahwa TNF-α mungkin
memegang peranan penting dalam proses resorpsi tulang pada kedua
jenis kolesteatoma.
Shiwa (1995) seperti yang dikutip oleh Akimoto et al. (2000)
melaporkan tidak terdapat korelasi antara kadar IL-1 dengan tingkat
keparahan infeksi, perkembangan stadium kolesteatoma dan derajat
resorpsi tulang.
2.5 Anatomi
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan
badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang
mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus,
Universitas Sumatera Utara
21
terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius, dan
prosesus mastoid (Gacek, 2009).
2.5.1. Membran timpani
Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk
bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9
mm, tebal ± 0,1 mm. Membran timpani tipis, licin, dan berwarna putih
mutiara (Dhingra 2010).
Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa
terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flasida
(membran Shrapnell`s) di bagian atas yang lebih tipis. Secara histologis
membran timpani terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.
2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum
dan stratum mukosum (Dhingra 2010).
2.5.2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan suatu ruang yang terletak diantara
membran timpani dan telinga dalam. Kavum timpani adalah suatu ruang
bikonkaf dengan diameter vertikal dan antero-posteriornya sekitar 15 mm
dan diameter transversal 2-6 mm, yang mempunyai 6 dinding, yang
dibatasi oleh :
1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen
timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi.
2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum
timpani dari bulbus vena jugularis.
3. Dinding lateral, dibentuk terutama oleh membran timpani.
Universitas Sumatera Utara
22
4. Dinding anterior, berhubungan dengan otot tensor timpani, ostium
tuba Eustachius, dan dinding dari karotis.
5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani pada dinding telinga
dalam. Terdapat promontorium yang merupakan lingkaran basal
koklea. Pada bagian belakang bawah dinding media ini terdapat
fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian belakang atas
terdapat fenestra ovale.
6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae
mastoideus melalui aditus ad antrum (Helmi, 2005).
Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang
menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi, 2005).
2.5.3. Tuba Eustachius
Tuba
Eustachius
adalah
suatu
saluran
yang
menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap
proses
pneumatisasi
pada
telinga
tengah
dan
mastoid
serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya konstraksi muskulus tensor
veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan
menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi
oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Gacek,
2009).
2.5.4. Prosesus mastoid
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu
pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh
proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat
pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi
Universitas Sumatera Utara
23
kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya
sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal
(Gacek, 2009).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan
antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya
yang
membatasi
rongga
mastoid
dengan
duramater,
sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis
disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Gacek, 2009).
2.5.5. Vaskularisasi Kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri
karotis eksterna. Cabang- cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah:
Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang
berasal dari arteri aurikularis posterior atau arteri oksipital. Arteri
timpani posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani
lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani.
Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang ascenden arteri
karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus
timpani bersama dengan cabang timpani nervus IX lalu mendarahi
terutama bagian inferior kavum timpani.
Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang
merupakan cabang-cabang arteri meningea media yang masuk ke
kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil
di tegmen
timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian
superior kavum timpani.
Universitas Sumatera Utara
24
Arteri karotimpani yang merupakan satu-satunya cabang yang
berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan
menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus
dengan liang telinga tengah.
Aliran vena yang berjalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada
sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005).
2.6. Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai
kandungan berbagai unsur molekul didalam sel normal maupun sel
neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang
terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label
chromogen. ini diawali dengan prosedur histo yaitu prosedur pembuatan
irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan
yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito,
& Endang, 2005)
Interaksi antara antigen dan antibodi adalah reaksi yang tidak kasat
mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut
dengan molekul antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom.
Enzim (yang dipakai untuk molekul) selanjutnya direaksikan dengan
substrat chromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir
berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright
field (mikroskop bidang terang). Imunohistokimia yang menggunakan
fluorokrom untuk molekul antibodi, dapat langsung diamati dibawah
mikroskop fluorescence (Hardjolukito, Endang, SR 2005).
Berbagai jenis molekul yang yang terkandung dalam sel dapat
dideteksi dengan
ini, termasuk berbagai jenis reseptor, onkoprotein,
faktor pertumbuhan dan protein-protein lainnya. Imunohistokimia menjadi
pilihan untuk menentukan petanda-petanda biologik tersebut karena relatif
mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik.
Namun
demikian perlu
diperhatikan
sejumlah faktor yang
dapat
Universitas Sumatera Utara
25
mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut
dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian
hasil pulasan (Hardjolukito, Endang, SR 2005).
Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode
yaitu (Sudiana & Ketut 2005):
a. Metode Direct
Pada
metode
ini
antibodi
monoklonal
yang
digunakan
untuk
mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim.
b. Metode Indirect
Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang
digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan
suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun
pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel
enzim.
Hal
ini
tetap
dibutuhkan
tetapi
yang
dilabel
adalah
antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan sebutan
antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan
secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya
antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak
langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan suatu enzim adalah
menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi) seperti : biotinstreptavidin atau biotin-avidin.
Universitas Sumatera Utara
26
2.7.
Kerangka Teori
Kolesteatoma pada
OMSK tipe bahaya
Bakteri
Inflamasi
USIA
JENIS KELAMIN
GEJALA KLINIS
LAMA KELUHAN
Interleukin-1
(IL-1)
Peningkatan permeabilitas
vaskuler dan aktifitas
sekretori epitel
Proliferasi Epitel
Peningkatan aktifitas
osteoklas dalam
kolesteatoma
Degradasi Ekstra Selular
Matriks Tulang
Komplikasi
Intratemporal
Derajat destruksi tulang
Intrakranial
Ringan
Sedang
Berat
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
27
Keterangan :
= Variabel penelitian
OMSK tipe bahaya dapat disebabkan oleh infeksi bakteri yang memicu
timbulnya aktivasi sitokin antara lain Interleukin-1. Proses inflamasi ini
akan merangsang peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas
sekretori epitel dan merangsang proliferasi epitel. Hal ini akan
menyebabkan
peningkatan
aktifitas
osteoklas
dalam
kolesteatoma
sehingga terjadi degradasi matriks tulang ekstra selular sehingga terjadi
destruksi tulang. Derajat destruksi tulang dapat dibagi menjadi derajat
ringan,
sedang
dan
berat.
Terjadinya
destruksi
tulang
dapat
mengakibatkan komplikasi intratemporal dan intrakranial
Universitas Sumatera Utara
28
2.8. Kerangka Konsep
RINGAN
IL-1
KOLESTEATOMA
Derajat
destruksi
tulang
SEDANG
BERAT
USIA
JENIS KELAMIN
GEJALA KLINIS
LAMA KELUHAN
KOMPLIKASI
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Download