1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas ekspor
penyumbang devisa terbesar di sektor pertanian, oleh karenanya mempunyai peran
strategis terhadap perekonomian nasional. Pada saat ini Indonesia adalah negara
penghasil minyak kelapa sawit utama dunia (Anonim, 2010a). Luas perkebunan dan
produksi kelapa sawit pada sepuluh tahun terakhir meningkat hingga mencapai 50%.
Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2000 mencapai 4,2 juta hektar meningkat
menjadi 8,5 juta hektar pada tahun 2010 dengan produksi masing-masing sebesar 7
juta ton tandan buah segar (TBS) dan 19,8 juta ton TBS.
Hasil kelapa sawit
diekspor dalam bentuk minyak kelapa sawit. Volume ekspor minyak kelapa sawit
tahun 2009 sebesar 21,1 juta ton atau senilai USD 11,6 trilyun, meningkat 16,59%
dari tahun sebelumnya (Anonim, 2011).
Kebutuhan minyak kelapa sawit terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk dan penurunan konsumsi minyak nabati lain serta
perkembangan industri pengolahan hilir. Konsumsi minyak kelapa sawit dunia tahun
2009 mencapai 45,1 juta ton atau 34 % dari konsumsi minyak nabati atau 6,5
kg/kapita/tahun, sedangkan minyak nabati lain seperti kedelai, canola dan bunga
matahari masing-masing 27 %, 16,2 % dan 9,8 %. (Anonim, 2010 dalam Hai Teoh,
2010).
Sekitar 80 % konsumsi minyak kelapa sawit dunia digunakan untuk
kebutuhan bahan pangan dan sisanya untuk kebutuhan non pangan seperti bahan
bakar nabati (biofuel), kosmetika dan obat-obatan. Berdasarkan kebutuhan tersebut
potensi pengembangan perkebunan kelapa sawit dimasa mendatang semakin besar.
1
Faktor lain yang mendorong pesatnya perkembangan perkebunan kelapa
sawit adalah efisiensi terhadap penggunaan lahan. Menurut Hardter dan Fairhurst
(2003) untuk menghasilkan satu ton minyak kelapa sawit di Asia Tenggara hanya
membutuhkan lahan seluas 0,3 ha, sedangkan minyak nabati yang dihasilkan kedelai,
lobak dan bunga matahari untuk menghasilkan satu ton minyak membutuhkan lahan
masing-masing seluas 2,17 ha, 0,75 ha dan 1,57 ha.
Pesatnya perkembangan perkebunan sawit di Indonesia menyebabkan areal
lahan di kawasan barat menjadi terbatas sehingga pengembangan perkebunan kelapa
sawit mulai diarahkan di kawasan timur Indonesia. Secara umum, kondisi iklim
terutama curah hujan di kawasan timur Indonesia relatif lebih rendah. Selain itu
kegiatan perkebunan kelapa sawit dimasa mendatang dihadapkan pada kondisi
kenaikan suhu bumi akibat efek gas rumah kaca yang menyebabkan terjadi
perubahan iklim global. Salah satu dampak perubahan iklim global adalah
meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa curah hujan yang sangat rendah
maupun sebaliknya.
Curah hujan yang sangat rendah menyebabkan cekaman
kekeringan, sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi menimbulkan genangan.
Kekeringan dan genangan merupakan kondisi yang tidak ideal bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, khususnya kelapa sawit.
Kekeringan menyebabkan pertumbuhan dan hasil kelapa sawit menurun.
Kelapa sawit termasuk tanaman yang rentan terhadap cekaman kekeringan karena
mempunyai sistem perakaran dangkal dan membutuhkan air yang relatif besar.
Kelapa sawit tumbuh dan berproduksi optimal pada curah hujan 2.000 – 3.000
mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan suhu maksimum 29 – 33oC (Hartley,
1979). Defisit air sebesar 200 – 300 mm/tahun menyebabkan penurunan 21 – 32%
2
TBS dan defisit air sebesar 500 mm/tahun menyebabkan penurunan produksi TBS
hingga 60% (Anonim, 2010b). Mathius et al. (2004) menyebutkan bahwa kekeringan
menyebabkan penurunan produksi TBS sebesar 10 – 40%. Data Kementerian
Pertanian Republik Indonesia (2011) melaporkan bahwa dampak kekeringan di
Indonesia dan Malaysia telah menurunkan produksi kelapa sawit sebesar 26,30%.
Penurunan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akibat terekspos
cekaman kekeringan terkait dengan gangguan aktivitas fisiologis tanaman.
Berberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekeringan menyebabkan penurunan
konduktansi stomata (Reddy et al., 2004; Gao et al., 2006; Elsheery dan Cao, 2008;
Ghaderi dan Sioemardeh, 2011), laju asimilasi CO2 (Reddy et al., 2004; Ghaderi dan
Sioemardeh, 2011) dan laju fotosintesis (Liu et al., 2004; Bertamini et al., 2006;
Mahouachi et al., 2012) serta aktivitas nitrat reduktase (Ashraf dan Iram, 2005;
Bertamini et al., 2006). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kekeringan juga
meningkatkan sintesis reaktif oksigen species (ROS) yang menimbulkan stres
oksidatif dan merusak membran kloroplas (Waraich et al., 2011; Sayfzadeh dan
Rashidi, 2011; Patel et al., 2011; Mafakheri I., 2011).
Tanaman mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cekaman
kekeringan. Respon tersebut merupakan upaya tanaman untuk mempertahankan diri
agar tetap bertahan hidup pada kondisi ketersedian air terbatas. Reddy et al. (2004)
menginformasikan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan
memberi respon fisiologi, biokimia dan molekuler. Respon fisiologi meliputi
penurunan potensial air daun, konduktansi stomata terhadap CO2, laju fotosintesis
dan kehilangan turgor serta penyesuaian osmotik.
Respon kimia dengan
menurunkan akumulasi ROS dan meningkatkan enzim antioksidan, sedangkan
3
respon molekuler dengan mensintesis protein tertentu. Informasi mengenai respon
tanaman terhadap cekaman kekeringan menjadi modal awal dalam upaya
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik tersebut.
Menurut Waraich et al., (2011) salah satu upaya mengantisipasi dampak
negatif cekaman kekeringan adalah melalui pengelolaan hara.
Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa boron (B) dan silikon (Si) merupakan hara mikro
yang dapat berperan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman
kekeringan. Aplikasi B pada tanaman yang tercekam kekeringan memberi pengaruh
positif terhadap kekuatan dan stabilitas sel (Putra, 2010; Putra et al., 2010a; Putra et
al., 2010b; Putra et al., 2011). Selain itu B dapat menstimulasi sintesis beberapa
jenis antioksidan yang berperan untuk menghilangkan pengaruh ROS sehingga
menurunkan kerusakan oksidatif (Mazher et al., 2006; Ahmed et al., 2008;
Rodriguez et al., 2010).
Aplikasi Si pada tanaman tercekam kekeringan dapat
meningkatkan efisiensi penggunan air (Gao et al., 2004) dan meningkatkan aktivitas
antioksidan (Gunes et al., 2007; Crusciol et al., 2009). Lebih lajut dikemukakan
bahwa Si dapat meningkatkan kandungan polisakarida pada dinding sel sehingga sel
menjadi lebih kuat dan tidak mudah mengalami kerusakan
akibat
cekaman
kekeringan (Tewari et al., 2007; Miao et al., 2010; Putra, 2010; Putra et al., 2010a;
Putra et al., 2010b; Putra et al., 2011).
Beberapa penelitian terkait dengan pemanfaatan B dan Si untuk
menginduksi ketahanan tanaman terhadap cekaman lingkungan abiotik sudah
dilakukan, namun demikian yang khusus membahas mengenai cekaman kekeringan
masih cukup terbatas terlebih pada komoditas kelapa sawit. Khusus untuk Si, kajian
banyak dilakukan pada tanaman padi untuk meningkatkan kekokohan batang
4
sehingga tidak mudah rebah maupun tahan terhadap hama dan penyakit utama
tanaman padi. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji pemanfaatan B dan Si
untuk menginduksi ketahanan tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan
mendesak dilakukan.
B. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui respon mekanis dan fisiologis jaringan tanaman kelapa sawit
terhadap aplikasi beberapa dosis B dan Si dibawah kondisi cekaman kekeringan.
2.
Menentukan dosis B dan Si yang optimal untuk menginduksi ketahanan kelapa
sawit terhadap cekaman kekeringan.
5
Download