BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus di-implementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara pembentukan suatu kebijakan-seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan- dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat. Namun bahkan sebuah kebijakan yang brilliant sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya (Tangkilisan, 2003). Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undangundang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan tekhnik bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai dampak (outcome). Implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif untuk dijalankan. Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstrasi yang tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan program, undnagundang publik dan keputsan yudisial. Misalnya, apakah kemiskinan telah bisa dikurangi atau warganegara merasa lebih aman dalam kehidupan sehari-harinya dbandingkan pada waktu sebelum penetapan program kesejahteraan sosial atau kebijakan pemberantasan kejahatan. Singkatnya, implementasi sebagai suatu konsep pada semua kegiatan. Sekalipun implementasi merupakan fenomena yang kompleks, konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, keluaran dan dampak. Implementasi melibatkan sejumlah aktor, organisasi dan teknik pengendalian (Winarno, 2012). 2.2 HIV-AIDS 2.2.1 Pengertian HIV-AIDS HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (Komite AIDS HKBP, 2011). AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali (Komite AIDS HKBP, 2011). Pengidap HIV positif adalah seseorang yang telah terinfeksi virus HIV, dapat menularkan penyakitnya walaupun tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun. Penderita AIDS adalah seseorang yang menunjukkan tanda-tanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan pengobatan, setelah sekian waktu (3-10 tahun) terinfeksi HIV (Komite AIDS HKBP, 2011). 2.2.2 Ciri-ciri Penderita Beberapa orang mungkin menjadi sakit beberapa hari atau minggu sesudah infeksi. Gejala-gejala pertama yang timbul sangat mirip dengan influenza, yaitu: (a) Demam; (b) Rasa lemah dan lesu; (c) Sendi-sendi terasa nyeri; (d) Batuk; (e) Nyeri tenggorokan; (f) Pembentukan kelenjar. Gejala ini disebut sebagai stadium tanpa gejala. Gejala tersebut setelah berlangsung beberapa hari atau minggu akan hilang dengan sendirinya. Dalam stadium ini virus yang di dalam tubuh pengidap secara perlahan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya sehingga selanjutnya dapat terjadi ARC (Komite AIDS HKBP, 2011). Gejala-gejala klinis AIDS: (a) Demam (panas badan lebih dari 38o C) disertai keringat malam yang timbul secara berkala atau terus menerus; (b) Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam waktu tiga bulan; (c) Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktivitas fisik sehari-hari; (d) Pembesaran kelenjar secara lebih meluas di leher, lipatan paha dan ketiak; (e) Diare atau mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas; (f) Batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus menerus; (g) Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan; (h) Sakit tenggorokan; (i) Pendarahan yang tidak jelas sebabnya. Tanda-tanda diatas ini tidak khas, karena gejala-gejala ini dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan indikasi adanya kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya. Sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang penyakit berbahaya yang disebut infeksi opportunistik. Disamping itu juga dapat terjadi: (a) kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker pembuluh darah kapiler; (b) kanker kelenjar getah bening (limfoma). Penyakit-penyakit penyerta ini dapat menyebabkan kematian bagi penderita. Walaupun pada orang sehat (tidak terinfeksi HIV-AIDS) penyakit-penyakit ini tidak berbahaya (Komite AIDS HKBP, 2011). 2.2.3 Penularan HIV-AIDS Menurut Komite AIDS HKBP (2011), penularan HIV-AIDS dapat melalui: 1. Darah Dapat melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV dan melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV 2. Cairan sperma dan cairan vagina. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom 3. Air Susu Ibu Penularan ini dari seorang ibu hamil yang positif HIV dan melahirkan secara normal, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Selain itu, HIV juga dapat menular melalui pisau cukur yang dipakai oleh tukang pangkas. 4. Transfusi darah yang tercemar, alat cukur dan peralatan lainnya Bila seseorang pengidap HIV-AIDS bercukur dan luka, lalu darahnya menempel pada pisau cukur, maka bila orang yang berpangkas berikutnya terluka maka dia akan memiliki resiko besar tertular HIV. 2.2.4 Penanggulangan HIV-AIDS Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mampu membunuh HIV maupun vaksin untuk mencegah penularan. Obat-obatan yang ada dan digunakan saat ini lebih upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat perkembangbiakan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan antibodi yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal sebagai terapi Anti Retro Viral (ARV) seperti Nevirapine, Efavirens, Tenovir dan lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu dan terbukti sangat menolong ODHA (Permenkes, 2013). Penanggulangan HIV-AIDS yang perlu diprioritaskan adalah upaya pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan kesehatan reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan komponen penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan NAPZA, konseling, pendamping dan perawatan ODHA (Permenkes, 2013). 2.3 Pelayanan Kesehatan untuk AIDS Penderita AIDS/infeksi HIV memerlukan pelayanan kesehatan serupa dengan penderita penyakit menahun yang lain. Mereka memerlukan pelayanan kesehatan berkeseinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut dan menyebabkan cacat. Seringkali merawat penderita penyakit ini lebih sulit dari penyakit kronik lainnya, karena: (a) terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih; (b) penderita memerlukan dukungan emosi khusus; (c) pemantauan medik untuk mencegah kekambuhan sehingga dapat dicegah perawatan di rumah sakit; (d) beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk merawat karena belum mendapat penerangan dan pendidikan yang baik. Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh penderita HIV-AIDS adalah sebagai berikut: a) Fasilitas Perawatan Akut Perawatan rawat inap intensif yang mempunyai staf lengkap dan sudah berpengalaman. Di ruang rawat ini penderita diawasi 24 jam penuh. Jenis pelayanan dasar yang diperlukan adalah penyakit dalam, bedah, anestesi, laboratorium, radiologi, gizi dan farmasi. b) Fasilitas Perawatan Khusus Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS. Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk rehabilitasi. c) Fasilitas Perawatan Intermediate Fasilitas ini diperlukan untuk penderita yang tidak terus-menerus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk fasilitas rawat inap maupun berobat jalan. d) Fasilitas Perawatan Masyarakat (shelter) Penderita AIDS yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang memerlukan beberapa jenisfasilitas non-medik, seperti perumahan, pengadaan makanan, dan bantuan aktivitas sehari-hariseperti makan, mandi atau ke toilet. e) Pusat Kesehatan Masyarakat Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan psikologi, rehabiloitasi, sosial, gizi dan pendidikan kesehatan. f) Perawatan Kesehatan di Rumah Fasilitas ini diperlukan oleh penderita, agar ia dapat tetap tinggal di rumahnya sambil terus dipantau dan mendapat perawatan medik yang berkesinambungan. Untuk tujuan tersebut diperlukan pekerja sosial, perawat dan relawan baik dari kalangan agama maupun dari lapisan masyarakat lain. 2.4 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) di Indonesia Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) atau yang disebut juga sebagai Care Support and Treatment (CST) di Indonesia memang dilaksanakan lebih belakangan daripada layanan pencegahan. Namun dengan meningkatnya jumlah ODHA, maka layanan PDP semakin dibutuhkan masyarakat. Tersedianya obat ARV generik juga mempercepat layanan PDP karena salah satu komponen layanan PDP adalah layanan ARV. Layanan obat ARV di Indonesia meningkat sejak penggunaan obat ARV generik yang didatangkan dari India dan Thailand (Depkes RI, 2007). Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia sesuai anjuran WHO untuk menyediakan layanan ARV bagi semua memberikan subsidi penuh kepada masyarakat sehingga masyarakat yang membutuhkan obat ini dapat memperolehnya dengan gratis. Agar layanan ARV ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat maka dilakukan pelatihan tenaga kesehatan baik untuk dokter, perawat, konselor, farmasi dan lain-lain. Pada tahap pertama 2004 ditunjuk 25 rumah sakit dan pada tahun 2006 jumlah rumah sakit yang melayani ARV ditambah sehingga jumlahnya menjadi 75 rumah sakit. Namun pada kenyataannya rumah sakit yang mampu melayani ARV lebih banyak dari itu karena banyak rumah sakit yang ditunjuk mempunyai rumah sakit satelit yang ikut dalam program layanan ARV (Depkes RI, 2007). Meskipun jumlah layanan dan cakupan PDP meningkat tajam namun layanan PDP masih menghadapi berbagai masalah yaitu: 1. Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang ODHA mempunyai infeksi opportunistik berat bahkan lebih dari satu infeksi opportunistik. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit masih tinggi 2. Perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk kasus AIDS 3. Infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba semakin meningkat. Keadaan ini mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA yang dirawat menderita berbagai infeksi opportunistik. 4. Kemampuan layanan PDP masih beragam. Terdapat unit layanan yang sudah mempunyai pengalaman luas dalam PDP namun juga terdapat unit layanan yang baru memulai layanan PDP. 5. Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang memadai 6. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan SDM yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat ARV untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota besar 7. Kerjasama rumah sakit dengan LSM di berbagai unit layanan belum terbina dengan baik 8. Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan kewaspadaan universal masih minim. 9. Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan finansial maupun teknik yang diberikan oleh LSM internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan petugas di lapangan. 10. Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan, lembaga donor dan WHO. 11. Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian dan pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi (Depkes RI, 2007). 2.5 Kebijakan pada perluasan Layanan PDP Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS di Indonesia relatif masih baru dan dirasakan kebutuhan yang mendesak untuk segera memperluas jangkauan terapi ARV bagi ODHA meskipun sumber daya dan kemampuan masih sangat terbatas. Meskipun di dalam satu institusi seringkali tidak ada koordinasi antar bagian sehingga perawatan dan pengobatan menjadi tidak efektif dan kesinambungan perawatan/pengobatan menjadi terganggu dengan berbagai alasan. Sementara itu layanan yang berbasis komunitas dan LSM hanya terbatas baik secara jenis maupun jangkauan (Depkes RI, 2007). Oleh karena itu perlu dikembangkan pusat layanan perawatan dan pengobatan HIV-AIDS di setiapKabupaten/Kota dengan membentuk tim (pokja) PDP serta mekanisme koordinasinya. Tim PDP akan bekerja secara tim sehingga terjadi interaksi secara intensif antara para petugas kesehatan, ODHA dan semua pihak terkait dalam perawatan dan pengobatan HIV-AIDS. Hal tersebut akan meningkatkan komitmen dalam memberikan layanan perawatan dan pengobatan HIV-AIDS yang efektif (Depkes RI, 2007). 2.5.1 Sistem Rujukan PDP Rujukan PDP mengikuti sistem rujukan yang ada, yaitu merupakan rujukan timbal balik antara layanan PDP strata I,II, dan III. Tujuan dari pembagian strata dalam sistem layanan kesehatan adalah: a. Memperjelas garis kompetensi layanan yang harus disediakan di masingmasing strata b. Meningkatkan efisiensi dan menghindari tumpang tindih dan pembiayaan yang tidak perlu c. Memungkinkan untuk berkembangnya mekanisme rujukan yang efektif antar jenjang layanan tersebut d. Menyediakan pedoman dalam perencanaan layanan HIV termasuk perhitungan biaya, alokasi sumber daya baik manusia, obat, diagnostik dan pasokan yang disediakan di tiap jenjang (Depkes RI, 2007). Mengacu pada SK Menkes no 832/X/2006, maka strata pelayanan kesehatan bagi ODHA di sarana kesehatan di Indonesia dibagi menjadi 3 strata yaitu: 1. Sarana Layanan Kesehatan Strata III Sarana layanan kesehatan strata III atau rumah sakit rujukan tertier, merupakan rumah sakit rujukan yang berupa pusat rujukan nasional, regional atau provinsi. Rumah sakit tersebut memiliki klinisi yang pakar di bidang tatalaksana HIV-AIDS dan mampu melakukan diagnosis dan terapi yang lebih canggih. Para pakar di rumah sakit rujukan strata III diharapkan juga mampu memberikan konsultasi, pelatihan atau bimbingan klinis bagi petugas di Layanan Kesehatan Strata II yang pada umumnya berupa rumah sakit di kabupaten/kota. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan setingkat dengan layanan strata III tersebut. Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan dan layanan rawat inap. 2. Sarana Layanan Kesehatan Strata II Sarana layanan kesehatan strata II atau seringkali disebut juga sebagai rumah sakit rujukan sekunder atau tingkat menengah, yang biasanya merupakan rumah sakit kabupaten/kota sebagai Pusat PDP HIV-AIDS Strata II. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan setingkat dengan layanan strata II. Jenis layanan untuk HIV berupa layanan rawat jalan dan layanan rawat inap. 3. Sarana Layanan Kesehatan Strata I Layanan kesehatan strata I merupakan layanan kesehatan dasar yang biasanya diselenggarakan oleh puskesmas dan atau layanan kesehatan berbasis masyarakat. Biasanya terkait dengan perawatan berbasis masyarakat atau perawatan berbasis rumah. Diharapkan bahwa rumah-rumah singgah untuk ODHA memiliki hubungan dan berjejaring dengan puskesmas setempat. Letaknya sangat dekat dengan masyarakat. Pengembangan puskesmas sebagai tempat PDP HIV-AIDS strata I hanay akan terbatas di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, seperti di sekitar pemukiman, kegiatan seks komersial dan lain-lain. Paket yang diselenggarakan di layanan strata I tersebut berupa paket kegiatan dan layanan pendukung untuk puskesmas, perawatan berbasis komunitas/rumah (Depkes RI,2007). 2.5.2 Rumah Sakit Rujukan ODHA Rumah Sakit Rujukan ODHA bertugas: 1. Menyusun Standar Prosedur Operasional 2. Menjamin ketersediaan obat Anti Retroviral (ARV) yang secara langsung didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur khusus yang berlaku dan obat infeksi oportunistik tertentu. 3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai denga pedoman. 4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis kesehatan, konselor dan manajer kasus 5. Membentuk tim kelompok kerja/ pokja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS, dan 6. Melaporkan pelaksanaan pelayanan bagi ODHA kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Kepmenkes, 2012). Rumah sakit rujukan ODHA bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. Monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan bagi ODHA dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya (KEPMENKES, 2012). Rumah Sakit Rujukan ODHA berada pada strata III dan strata II. a. Rumah Sakit Rujukan strata III Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan maupun layanan rawat inap. Untuk layanan rawat inap secara umum digambarkan sebagai berikut: 1) Ketenagaan Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS yang melibatkan tenaga dan bagian yang terkait dan dipimpin oleh seorang ketua ; (2) Tenaga klinis yang berpengalaman di bidang HIV-AIDS (dokter, perawat) atau telah dilatih PDP (dasar dan lanjutan); (3) Konselor; (4) Pekerja sosial; (5) Teknisi laboratorium yang terlatih termasuk untuk tes CD4, pemeriksaan kimia darah yang canggih dan bila mungkin untuk pemeriksaan viral load; (6) Tenaga ahli laboratorium; (7) Tenaga ahli farmasi; (8) Tenaga khusus untuk pencatatan dan pelaporan yang sudah dilatih dalam bidang pemantauan dampak ART (ART monitoring). 2) Paket Layanan dan Kegiatan Canggih Paket layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Tatalaksana klinis dan medis HIV; (2) Diagnosis dan tatalaksana efek samping obat; (3) Penilaian dan pemeriksaan kemungkinan adanya kegagalan terapi atau resisten terhadap terapi ARV dan pemberian terapi ARV; (4) Dukungan kepatuhan berobat; (5) Rujukan balik ke rumah sakit sasaran layanan di bawahnya untuk tindak lanjut perawatan kronis. 3) Obat, Sarana Laboratorium, dan sumber daya lain Obat, sarana laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Sarana laboratorium canggih seperti: pemeriksaan CD4, pemeriksaan serologi (HBV, HCV, sifilis), kimia darah (tes fungsi hati, ginjal), pemeriksaan mikrobiologi; (2) Ketersediaan obat ARV dan obat untuk terapi infeksi opportunistik yang rumit atau pada penyakit tahap lanjut; (3) Formulir rujukan untuk menajga kesinambungan perawatan kronik HIV. b. Rumah Sakit Rujukan strata II Layanan Rumah Sakit strata II terdiri dari rawat jalan, rawat inap, laboratorium, farmasi dan radiologi. Dilengkapi dengan mekanisme rujukan ke program lain seperti klinik TB, klinik KIA, klinik IMS, klinik KB, dan sebagainya. 1) Ketenagaan Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS atau seorang koordinator yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi dari perawatan dan pengobatan HIV dengan melibatkan ODHA yang terpilih atau petugas kesehatan untuk mengkoordinasikan kegiatan pertemuan berkala dengan berbagai pihak, seperti misalnya pertemuan klien, pertemuan klinik, dsb; (2) Untuk tatalaksana klinis diperlukan tenaga dokter, perawat, konselor, manajer kasus, tenaga farmasi (apoteker), analis laboratorium yang telah dilatih dan juga harus memiliki ODHA yang berfungsi sebagai pendukung kepatuhan makan obat dan kelompok dukungan sebaya. 2) Layanan dan Kegiatan Layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Pemberdayaan daan koordinasi pada para pelaku utama, termasuk ODHA; (2) Konseling dan test HIV; (3) Layanan klinis dan terapi ARV; (4) Dukungan psikologis dan sosioekonomi; (5) Pencegahan HIV 3) Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Test HIV; (2) Pemeriksaan klinis yaitu peralatan laboratorium; (3) Obat: Obat untuk terapi dan profilaksis Infeksi Opportunistik, obat ARV (Zidovudine, lamivudin, Nevirapine dan Efavirenz), dan obat untuk terapi substitusi (metadon, buprenorfin); (4) Pencegahan: kondom, paket peralatan suntik steril yaitu jarum suntik dan semprit, usapan alkohol, pasokan obat untuk kewaspadaan universal; (5) Monitoring dan Evaluasi: Formulir catatan medis (kartu pasien, ikhtiar perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral (ARV), follow-up perawatan pasien dan terapi ARV, register pra ART, register ART, laporan bulanan dan laporan kohort), kartu atau formulir rujukan pasien (Depkes RI, 2007). Infeksi Opportunistik dan penyakit yang ditangani di Rumah Sakit rujukan strata II meliputi: 1. Pernafasan: TB, Pneumonia 2. Neurologis: Toksoplasmosis, Kiptokokosis, Meningitis 3. Kulit dan Mukosa: Kandidiosis, Herpes Simpleks, Herpes Zoster, Dermatitis Seboroik 4. Diare 5. Demam: Septisemia 6. Infeksi virus sitomegali 7. Kanker leher rahim 2.6 Perawatan Penderita AIDS Bila kasus AIDS semakin banyak ada baiknya dipikirkan membuat Unit AIDS tersendiri. Keuntungan dan kerugian membuat unit tersebut, dibandingkan dengan merawat penderita di unit-unit lain yang tersedia, adalah sebagai berikut: Unit AIDS tersendiri: 1. Koordinasi lebih mudah. Smeua sarana, termasuk sarana administrasi dapat direncanakan berada di suatu tempat. 2. Penderita-penderita dapat bergaul baik satu dengan yang lain. 3. Staf yang berpengalaman dan betul-betul berminat merawat penderita AIDS dapat dipusatkan di satu unit. 4. Rumah sakit dapat menghemat biaya pendidikan dan pelatihan untuk staf yang lain dan dapat menghindari masalah dengan staf yang tidak bersedia merawat. 5. Memperkuat rasa persatuan antar staf. 6. Pelayanan penderita menjadi lebih baik. Sarana dan tenaga terlatih dapat dipusatkan untuk daerah dengan jumlah kasus rendah. 7. Memudahkan riset di daerah yang kasusnya banyak. Pasien dirawat di unit yang sudah ada di rumah sakit: 1. Penderita-penderita penyakit lain di ruang yang sama merasa keberatan 2. Semua staf rumah sakit mendapat kesempatan merawat penderita AIDS dan kecemasan serta ketakutan staf dapat dikurangi. 3. Memudahkan penderita mendapatkan pelayanan medik khusus di unit lain seperti hematologi, onkologi dan jantung. 4. Memudahkan penderita berkumpul dengan sanak saudara dan teman yang berkunjung, terutama di daerah yang kasusnya masih amat jarang. 5. Tidak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak. (Murni, 2009) Dianjurkan untuk membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa dokter, perawat dan pekerja sosial. Tim ini bertugas mengorganisir seluruh pelayanan AIDS di rumah sakit. Penderita AIDS rawat inap akan dirawat oleh dokter yang ada di unit-unit seperti tersebut diatas, yang bergabung dalam Tim Dokter Khusus. Bila ada kesulitan akan dikonsultasikan kepada dokter-dokter yang tergabung dalam Tim Konsultasi Multidisiplin (Murni, 2009). 2.7 Konseling HIV Konseling adalah hubungan kerjasama antara konselor dan klien untuk membantu klien memecahkan masalah yang dihadapinya. Konseling mencakup bantuan kepada klien mengenal perilakunya yang memudahkannya tertular HIV. Konseling juga bertujuan menolong klien membuat keputusan untuk mengubah perilaku tersebut dengan perilaku sehat yang bertanggung jawab, dan membantu klien mempertahankan perilaku yang baru (Djoerban, 2001). Lapisan masyarakat yang memerlukan konseling HIV, yaitu: a. Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita AIDS b. Saudara kandung, orangtua, sahabat dan kenalan serta suami, isteri ataupun pacar ODHA c. Orang yang minta pemeriksaan darah terhadap HIV, karena khawatir terinfeksi d. Orang yang baru saja tes HIV, baik hasilnya positif ataupun negatif e. Aktivis LSM Peduli AIDS yang aktif memberikan bantuan dan dukungan kepada ODHA f. Dokter, perawat, pegawai laboratorium dan lain-lain yang memeriksa dan mengobati ODHA atau spesimen darah ataupun spesimen lain yang berasal dari ODHA, dan g. Orang-orang yang ingin menghindarkan diri terinfeksi HIV, atau ingin membantu agar orang lain tidak terinfeksi HIV (Djoerban, 2001). Konseling HIV dilakukan sebelum dan sesudah Testing HIV. 2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV Konseling sebelum tes diberikan kepada orang yang sedang mempertimbangkan dirinya untuk test HIV. Konseling pra test mencakup pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV, serta kemungkinan dampak yang terjadi untuk seseorang yang terinfeksi HIV atau untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan, hukum, medis dan personal. Pemberian informasi diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan yang terbaru. Dalam konseling test HIV dibahas sebagai suatu tindakan yang positif dan dikaitkan dengan perubahan perilaku untuk menurunkan resiko tertular HIV (Djoerban, 2001). Topik Konseling Pra Test Konseling pra test seharusnya menekankan pembahasan pada dua topik utama, yaitu, pertama riwayat pribadi klien dan resiko terpapar HIV. Kedua penilaian tentang pemahaman klien mengenai HIV AIDS dan pengalaman di masa lampau sewaktu menghadapi krisis (Djoerban, 2001). Konseling awal sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil test HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling juga bertujuan memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi resiko tertular HIV (Djoerban, 2001). 2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV Jenis konseling sesudah testing HIV tergantung hasil test: 1) Konseling untuk hasil test HIV negative Kabar tentang hasil test HIV negative biasanya dirasakan oleh klien sebagai rasa nyaman atau euphoria (senang berlebihan). Tetapi ada beberapa hal yang harus ditekankan: a. Masa jendela. Setelah seseorang terinfeksi HIV, maka di dalam darahnya HIV segera bereplikasi dalam jumlah yang besar sekali. Namun pada saat tersbut antibody belum terbentuk, sehingga test darah hasilnya negative. Untuk diketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test ketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test secara tidak langsung, yakni mendeteksi antibody. Bila antibodi terhadap HIV positif, berarti ada HIV dalam darahnya. Ada selang waktu sekitar tiga bulan sejak seseorang terinfeksi ketika test darah negatif tetapi sebetulnya sudah ada HIV dalam darahnya. Test negatif berarti tidak ada infeksi HIV sampai dengan 3 bulan sebelum test darah. b. Paparan HIV berikutnya hanya dapat dicegah dengan menghindari perilaku beresiko tinggi. Perlu dijelaskan dengan gambling tentang perlunya tidak melakukan hubungan seksual kecuali dnegan suami/isteri, menerapkan seks aman, atau menghindari pinjam-meminjam jarum suntik (Djoerban, 2001). 2) Konseling untuk hasil test positif Orang dengan hasil test positif harus diberitahu secepatnya. Diskusi awal membahas berita tersebut harus bersifat amat pribadi dan dirahasiakan. Setelah beberapa waktu yang diperlukan klien untuk menyesuaikan diri, klien dijelaskan arti dari HIV positif. Saat tersebut bukan saatnya membahas mengenai pengobatan dan berapa tahun harapan hidupnya. Yang lebih penting dibahas adalah pemahaman tentang shock akibat diagnosis positif terinfeksi HIV dan menawarkan dukungan. Juga penting untuk memberikan semangat dan harapan, bahwa berbagai masalah yang terbentang di depan klien dapat dipecahkan (Djoerban, 2001). Reaksi penerimaan penjelasan tentang infeksi HIV sangat individual tergantung beberapa hal: a. Keadaan kesehatan klien. Orang yang sedang sakit seringkali bereaksi lambat. Reaksi yang sebenarnya baru muncul setelah keadaan kesehatannya membaik. b. Persiapan klien menerima kabar. Orang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan mungkin reaksinya jauh berbeda dengan orang yang siap mendengar kabar bahwa ia terinfeksi HIV. c. Seberapa jauh dukungan masyarakat sekitarnya, dan seberapa mudah ia menelepon atau menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Beberapa faktor ikut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menerima kabar terinfeksi HIV, yaitu kepuasan kerja, kehidupan berkeluarga dan ikatan keluarga, serta kesempatan rekreasi. Reaksi ini bias menjadi semakin buruk bila ada factor riwayat social yang terisolir, kemiskinan, masa depan pekerjaan suram, dukungan keluarga minimal, dan tempat tinggal yang buruk. d. Kondisi psikologis dan kepribadian sebelum tes HIV. Bila ada tekanan kejiwaan sebelumnya, reaksi penerimaan mungkin berbeda dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. e. Nilai budaya dan agama yang berkaitan dengan AIDS, sakit dan kematian. Di masyarakat dengan keyakinan adanya kehidupan sesudah mati, atau suasana keagamaan yang kental, maka pemberian informasi bahwa seseorang teinfeksi HIV lebih mudah diterima dengan tenang (Djoerban, 2001). 2.8 Testing HIV Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma (Murni, 2009). Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesimen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilens, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis maupun manusia dan administratif. Petugas laboratorium (perawat) mengambil darah setelah klien menjalani konseling pra testing (Depkes RI, 2006). 2.9 Terapi Antiretroviral (ARV) Dahulu kita sering mendengar bahwa AIDS disebut sebagai penyakit yang tidak ada obatnya. Ini adalah istilah yang salah. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, bahkan dicegah, dengan obat yang tidak terlalu mahal dan tersebar luas. Dan sekarang ada obat yang lebih canggih yang dapat memperlambat kegiatan HIV menulari sel yang masih sehat. Obat ini disebut obat antiretroviral (Murni, 2009). Dalam pengobatan HIV, tidak boleh memakai satu jenis obat saja. Kita harus memakai kombinasi tiga macam obat ARV yang berbeda agar terapi ini efektif untuk jangka waktu yang lama. Terapi ini disebut terapi retroviral atau ART. ART dulu sangat mahal, tetapi sekarang tersedia gratis untuk semua orang di Indonesia dengan subsidi sepenuhnya oleh pemerintah, melalui sejumlah Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan ARV (Murni, 2009). ART hanya berhasil jika dipakai secara patuh, sesuai dengan jadwal, biasanya dua kali sehari, setiap hari. Kalau dosis terlupakan, keefektifan terapi akan cepat hilang. Beberapa orang akan mengalami efek samping ketika memakai ART, terutama pada minggu-minggu pertama penggunaannya. Penting sekali pengguna ART diawasi oleh dokter yang berpengalaman dengan terapi ini. (Murni, 2009). 2.10 Komite HIV-AIDS Menurut Loly, yang dikutip oleh Suzanna C Hutagalung (2011), Komite HIV-AIDS adalah salah satu organisasi peduli AIDS yang didirikan HKBP sebagai wujud perhatian gereja dalam penanganan HIV-AIDS. Komite ini dibentuk dengan tujuan : 1. Meningkatkan kualitas spiritual anggota gereja untuk mampu memelihara dirinya mencegah penularan HIV-AIDS sehingga tidak terinfeksi HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA. 2. Merawat, mengobati dan mendukung meningkatkan kualitas hidup ODHA dan penyalahgunaan NAPZA. 3. Mengupayakan Rumah Sakit HKBP Balige sebagai pusat rujukan penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA untuk daerah sekitarnya. 4. Memotivasi pelayan dan anggota gereja atau masyarakat bertekad menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) ditengah gereja dan masyarakat. 5. Mengembangkan fungsi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA di tingkat pusat dan Distrik dalam bentuk koordinasi. 6. Mengembangkan institusi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA HKBP untuk mandiri dalam sumber daya 2.10.1 Voluntary Counselling Test VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS. Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS berkelanjutan. a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan ARV. b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan risiko. 2.10.2 Prinsip Pelayanan VCT a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan. b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui. c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk untuk mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif. d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien (Anonim, 2014). 2.11 Kerangka Pikir Input • Tenaga Pelaksana • Biaya Operasional • Sarana dan prasarana Proses Output • Capacity Building • Komunikasi, Informasi dan Edukasi • Implementasi penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige Gambar 2.1 Kerangka Pikir Berdasarkan kerangka pikir tersebut diatas, dapat dirumuskan defenisi konsep sebagai berikut: 1. Input adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melakukan program HIV-AIDS. a. Tenaga Pelaksana Tenaga pelaksana program HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige sebagai rumah sakit rujukan adalah dokter ahli, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis laboratorium, konselor, manajer kasus dan tim pokja khusus HIV-AIDS. b. Biaya Operasional Biaya Operasional merupakan sumber dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan untuk mencegah penyakit. c. Sarana dan prasarana Sarana prasarana yang meliputi peralatan kesehatan untuk pemeriksaan klinis (Laboratorium test serum darah), pasokan obat ARV, perlengkapan untuk pencegahan (kondom, paket peralatan suntik steril, pasokan obat untuk kewaspadaan universal), dan perlengkapan untuk monitoring dan evaluasi (formulir catatan medis dan rujukan pasien). 2. Proses adalah serangkaian kegiatan yang dirancang dalam usaha meningkatkan kompetensi input demi menghasilkan output yang bermutu. a. Capasity Building Capasity Building meliputi pelayanan konseling, testing HIV, pengobatan ARV dan pendampingan ODHA. b. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), KIE meliputi mobile klinik, edukasi, advokasi dan pelatihan khusus anak sekolah. 3. Output adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu dengan menggunakan masukan/input yang telah ditetapkan yaitu implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige.