BEBERAPA PENGERTIAN Sebelum kita membahas lebih jauh

advertisement
BEBERAPA PENGERTIAN
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang etika Islam (Ilmu Akhlak), kita perlu
pengertiannya terlebih dahulu.
1. Ilmu Akhlak
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab jama’ dari “Khuluqun” yang menurut
loghat diartikan : budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun”
yang berarti : kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq” yang berarti : pencipta,
dan “makhluk” yang berarti : yang diciptakan. Perumusan pengertian “Akhlak” timbul
sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dan makhluk
dan antara makhluk dan makhluk. Perkataan ini bersumber dari kalimat yang tercantum
dalam QS. Al-Qalam (68) : 4, juga dari HR. Ahmad : “ Aku diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”.
Adapun pengertian sepanjang terminologi yang dikemukakan oleh Ulama Akhlak
antara lain sebagai berikut :
a. Ilmu Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang
terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan bathin.
b. Ilmu Akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan
buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka
yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
c. Prof.Dr. Ahmad Amin dalam bukunya “Al- Akhlaq” merumuskan pengertian akhlak
sebagai berikut :
“ Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harud diperbuat “.
d. Menurut Imam Ghazali, di dalam kitabnya “ Ihya Ulumuddin “memberikan
pengertian akhlak sebagai berikut :
“ Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari
padanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah, tanpa mempergunakan
pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Apabila yang tinbul daripadanya adalah
perbuatan-perbuatan yan baik, terpuji menurut akal dan syara’ maka disebut akhlak
yang baik. Sebaliknya, apabila yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan
yang jelek maka dinamakan akhlak yang buruk “.
e. Ibnu Maskawaih di dalam kitabnya “Tahdzibul Akhlak wa Tathirul-‘Araq
memberikan ta’rif yang tidak berbeda dengan d) di atas, yaitu : “Keadaan jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan, tanpa melalui
pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
f. Dr. M. Abdullah Diroz di dalam kitab “Kalimatun fi Nabadi il Akhlaq memberikan
pengertian, bahwa : “Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap
(kekuatan yang di dorong oleh emosi jiwa, bukan karena tekanan dari luar, serta
sudah menjadi kebiasaan), kekuatan dan kehendak yang saling kombinasi sehingga
membawa kecenderungan pada penilaian pihak yang benar (sebagai akhlak baik) dan
pihak yang jahat/ salah (akhlak jahat/buruk)”.
2. Etika
Selain istilah “Akhlaq”, juga lazim dipergunakan istilah “Etika”. Perkataan ini
berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti : adat kebiasaan. Dalam pelajaran
filsafat etika merupakan bagian dari padanya. Dimana para ahli memberikan ta’rif dalam
reaksi kalimat yang berbeda-beda, antara lain :
1. Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang di sistimatisir
tentang tindakan moral yang betul (Websters Dict).
2. Bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan, hujjah-hujjahnya
dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan (Ensiklopedi Winkler Prins).
3. Ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi mengenai nilai-nilai, tidak
mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karena itu bukan ilmu yang
positif tetapi ilmu yang formatif (New American Encyl).
4. Ilmu tentang moral / prinsip-prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan
kelakuan (A.S. Hornby Dict).
Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengertian Etika menurut “Filsafat”
dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran”.
Ada orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang
ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan
etika dalam pandangan filsafat adalah mendapat ide yang sama bagi seluruh manusia di
setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang
dapat diketahui oleh akal fikiran manusia. Akan tetapi dalam mencapai tujuan itu, etika
mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang
baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai
konsepsi sendiri-sendiri.
Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari
agama. Disinilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam
pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana
yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika
Islam sesuai dengan fitrah dan akal fikiran yang lurus. Untuk menghilangkan kesamaran
tersebut, maka kiranya perlulah diketahui karakteristik etika Islam yang membedakannya
dengan etika filsafat, yaitu sebagai berikut :
a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya
perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT. (Al Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya
(Sunnah).
c. Etika Islam bersifat universal, dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia di segala waktu dan tempat.
d. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal
fikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh
umat manusia.
e. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlaq yang luhur
dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT
menuju keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah
manusia dari fikiran-fikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.
3. Moral
Perkataan “moral” berasal dari bahasa latin “mores” kata jama’ dari “mos” yang
berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia moral diterjemahkan dengan arti susila.
Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang
tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan
oleh umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dengan
demikian jelaslah persamaan etika dan moral, namun ada pula perbedaannya, yakni etika
lebih banyak bersifat teori, sedang moral lebih banyak bersifat praktis.
Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang perilaku perbuatan
manusia secara universal (umum), sedang moral secara local. Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu.
Pengarang Abul A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam
bukunya : “Ethiqal Viewpoin of Islam” dan memberikan garis tegas antara moral sekuler
dan moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang
beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan dan petunjuk Allah
dalam Al Qur’an.
4. Istilah-istilah Lain
Dalam bahsa Indonesia, selain menerima perkataan akhlaq, etika dan moral yang
masing-masing berasal dari bahasa Arab, Yunani dan Latin, juga dipergunakan beberapa
perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan perkataan akhlak
ialah : susila, kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, adab,
perangai, tingkah laku, perilaku dan kelakuan.
5. Nilai dan Norma
Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterikatan maupun perilaku. Oleh karena itu sistem nilai dapat merupakan standar umum
yang diyakini, yang diserap dari pada keadaan objektif maupun diangkat dari keyakinan,
sentiment (perasaan umum) maupun identitas yang diberikan atau diwahyukan oleh Allah
SWT yang pada giliannya merupakan sentiment (perasaan umum), kejadian umum,
identitas umum yang oleh karenanya menjadi syari’at umum.
Sistem nilai adalah merupakan ketentuan umum yang merupakan pendekatan
kepada hakekat filosofi dari ketiga hal tersebut diatas (keyakinan, sentiment, dan
identitas). Oleh karena itu sistem nilai ada yang bersifat Ilahi dan normative, dan yang
bersifat mondial (duniawi) yang dirumuskan sebagai keyakinan, sentiment, maupun
identitas dari atau yang dipandang sebagai suatu kenyataan yang berlaku dalam tempat
dan waktu tertentu atau dalam alam semesta dan karenanya bersifat deskriptif.
Di dalam suatu budaya atau kultur suatu bangsa, sistem nilai merupakan landasan
atau tujuan daripada kegiatan sehari-hari yang menentukan dan mengarahkan bentuk,
corak, identitas, kelenturan (fleksibel), perilaku seseorang atau sekelompok orang,
sehingga menghasilkan bentuk-bentuk produk materi seperti benda-benda budaya,
maupun bentuk-bentuk yang bersifat non materi, kegiatan-kegiatan kebudayaan dan
kesenian, atau pola dan konsep berfikir yang keseluruhannya disebut budaya atau kultur.
Kalau nilai merupakan keyakinan, sentiment atau identitas yang bersifat umum
atau strategis, maka penjabarannya dalam bentuk formula, peraturan, atau ketentuan
pelaksanaannya disebut norma. Dengan perkataan lain norma adalah merupakan
penjabaran dari nilai sesuai dengan sifat tata nilai. Demikian juga tata norma ada yang
bersifat standar atau Ilahi dan karenanya normatif dan ada yang bersifat kekinian atau
berlaku sekarang dan disebut juga bersifat deskriptif artinya sesuatu norma yang
dirumuskan berdasarkan kenyataan yang berlaku.
Pengaruhnya terhadap tingkah laku
Sistem nilai dan norma pengaruhnya kepada perilaku sangat tergantung kepada :
1. Keyakinan yang menyeluruh terhadap sistem nilai dan norma
2. Daya serap dari pada individu dan masyarakat dalam penggunaan sistem nilai dan
norma
3. Ada atau tidak adanya pengaruh interdependensi dari sistem nilai dan norma yang
lain
4. Kondisi pisiologis seseorang
5. Kondisi psikologis
6. Kondisi fisik
7. Halangan karena tidur
Sebagai contoh :
1. Seseorang mungkin melaksanakan shalat tetapi tidak mengeluarkan zakat, walaupun
sudah nisab, atau mungkin seseorang puasa tapi tidak shalat dan sebagainya.
2. Kemampuan untuk melaksanakan nilai sistem, menyeluruh atau tidak, benar atau
salah, sangat tergantung kepada kecerdasannya, umpamanya melaksanakan makan
dan minum yang halal dan baik, bagi orang yang mengerti bukan asal makan saja
tetapi diperhitungkan juga mengenai gizinya, tapi bagi orang yang tidak mengerti
mungkin asal makan saja.
3. Pelaksanaan nilai agama adakalanya dipengaruhi oleh nilai setempat seperti
pemahaman tentang ayat-ayat suci jauh sebagaimana mestinya, umpamanya
pengertian Tuhan yang mengurus seluruh alam dipersonipikasikan bahwa Tuhan ada
dimana-mana (imanensi) bahkan sampai menganggap Tuhan menyatu dengan dirinya
“Ana al-haq”. Atau dalam upacara mendo’a untuk kebaikan sesuatu atau
menghindari sesuatu dilakukan demikian rupa sambil membakar kemenyan yang
merupakan tata cara kebiasaan Hindu.
4. Seseorang ada kemungkinan untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan yang sesuai
dengan system nilai,bukan karena tidak mau melakukan tapi karena kekeliruan atau
lupa. Baik lupa yang bersifat sementara maupun sama sekali kehilangan
kepercayaannya/ kemampuannya untuk mengingat sesuatu (amnesia) yang
disebabkan karena gangguan fisiologis.
5.
Karena ada gangguan mental seperti gila sementara dan gila yang tetap dan kurang
keyakinan akan dirinya sendiri atau takut, malu dan sebagainya.
6. Karena cacat fisik maka tidak dapat melakukan. Tidak dapat melaksanakan puasa
karena sakit, tidak dapat menyempurnakan haji karena cacat, dan sebagainya.
7. Orang yang tidur tidak dituntut untuk melakukan kewajiban shalat sampai ia bangun
Diantara faktor-faktor pelaksanaan ini pada dasarnya merupakan kewajiban yang mutlak
kecuali dengan beberapa gangguan ini yang tidak dapat dihindari. Penolakan
pelaksanaan prilaku (ibadah) yang disebabkan karena penolakan secara sadar, maka
orang tersebut tergolong kepada kafir yang tertutup hatinya dan akan memperoleh
siksa yang besar. QS. Al-Baqarah (2) : 7.
ْ‫ﺧَ ﺘَﻢَ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻗـُﻠُﻮﺑِﻬِ ﻢْ وَ ﻋَﻠَﻰ ﺳَ ﻤْ ﻌِﻬِ ﻢْ وَ ﻋَﻠَﻰ أَﺑْﺼَﺎرِﻫِ ﻢْ ﻏِ ﺸَﺎوَ ةٌ وَ ﻟَﻬُ ﻢ‬
ٌ‫ﻋَﺬَابٌ ﻋَﻈِﻴﻢ‬
Artinya : Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Download