lay out gereja kolonial belanda di jakarta

advertisement
LAY OUT GEREJA KOLONIAL BELANDA DI JAKARTA
Studi Kasus Gereja Immanuel dan Gereja Paulus
Oleh: Barbara
Dosen Pembimbing: Han Awal
Program Studi Arsitektur Interior
Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Bangsa Eropa, khususnya Belanda dengan durasi tinggal yang lebih lama, merupakan bangsa
yang membawa agama Kristen ke Indonesia, khususnya Jakarta. Pendirian gereja-gereja di
Jakarta pun berawal dari pembangunan gereja yang mereka laksanakan. Tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui pembentukan dan penggunaan pola susunan ruang pada gereja kolonial.
Metode penelitian diawali dengan penelitian sejarah tentang gereja di Jakarta, dilanjutkan dengan
penelitian terhadap dua gereja kolonial yaitu Gereja Immanuel dan Gereja Paulus dan diakhiri
dengan penyimpulan yang menjawab tujuan penulisan tersebut. Kedua gereja ini dapat
menjawab kebutuhan umat Kristen Protestan dengan inti ibadahnya yang berupa persekutuan
jemaat dan khotbah.
Kata kunci: gereja, sejarah, Hindia Belanda, Kristen Protestan, persekutuan jemaat, khotbah
ABSTRACT
The European, especially The Dutch with longer duration of dwell, are nation who bring
Christianity to Indonesia, especially Jakarta. The development of churches in Jakarta is also
started by their development of churches. This script is purposed to find the formation and the
use of the Dutch colonial churches’ lay outs. The research method begun with the research of
history of churches in Jakarta, continued by the research of two Dutch colonial churches
specifically Gereja Immanuel and Gereja Paulus and ended with a conclusion which answered
the purpose of this script. These two churches can provide needs of the Protestants with the
gathering and the preach as the core of the worship.
Key words: church, history, Dutch East Indies, Protestant Christians, fellowship of people,
preach
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
I.
LATAR BELAKANG
Kedatangan Belanda ke Indonesia pada abad ke-17 tidak hanya membawa semangat
dalam pengumpulan harta dan kejayaan. Namun sebagai negara kerajaan yang adalah
penganut Kristen Protestan yang taat, pewartaan agama juga menjadi tujuan Belanda. Kristen
Protestan adalah agama besar yang dianut oleh Belanda. Kristen Protestan sendiri baru
berumur sekitar seratus tahun ketika Belanda membawanya ke Indonesia, umur yang relatif
muda untuk sebuah agama. Dengan semangat muda tersebut dan semangat konter-reformasi,
yang terjadi pada akhir abad ke-16, Belanda dengan giat menyiarkan agama Kristen
Protestan.
Pembangunan gereja pada masa kolonial merupakan suatu bentuk dari motif tersebut.
Durasi kependudukan bangsa Eropa di Indonesia, khususnya Jakarta, dan jumlah pemeluk
agama Kristen yang bertambah banyak akibat persebaran agama yang dilakukan oleh bangsa
Eropa menunjukkan keperluan mereka untuk menyediakan sarana yang menunjang
kehidupan mereka, tidak terkecuali bangunan untuk beribadah. Beberapa gereja dibangun di
lokasi-lokasi tertentu untuk menunjang kebutuhan tersebut.
Gereja merupakan tempat ibadah umat Kristiani. Oleh sebab itu, segala aspek
keterbangunan dari gereja tersebutpun harus mendukung keberdirian iman dari umat Nasrani.
Gereja sebagai rumah iman turut membentuk pemikiran jemaat tentang isi Alkitab sehingga
pola susunan ruang dan alur gerak dari gerejapun tidak lepas dari tanggung jawab tersebut.
Sebagai gereja yang dibangun oleh pembawa agama Kristen Protestan, gereja kolonial
memiliki peranan sebagai contoh dan tolak ukur untuk jemaat dan pembangunan gereja yang
berdiri pada zaman setelahnya. Pola susunan ruang yang menjadi saksi bisu tata ibadah dan
keperluannya pun menjadi penting karena membawa jejak perjalanan gereja kolonial
tersebut.
Pola susunan ruang ini selain dirancang sesuai dengan kebutuhan ibadah pada zaman
kolonial juga membawa kebiasaan ibadah dan rancang bangunan dari Belanda. Dari aliran
yang diikuti di Belanda, yang belum tentu sama, beberapa gereja kemudian dipakai oleh
gereja dengan aliran tertentu yang belum tentu memiliki tata ibadah yang sama.
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Berdasarkan hal tersebut, dibuatlah lingkup penelitian untuk penulisan ini yaitu lay
out gereja kolonial Belanda yang dipakai oleh Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(GPIB) di Jakarta Pusat. Unsur-unsur arsitektural yang lainnya akan dibahasa secara umum
saja. Sejarah masuknya agama Kristen Protestan ke Jakarta, sejarah gereja di Jakarta,
persebaran umat Kristen di Jakarta, bangunan lain yang seangkatan dan pedoman-pedoman
arsitektur akan disinggung untuk melengkapi lingkup pembahasan tesebut.
Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui pembentukan dan penggunaan
pola sususan ruang pada gereja kolonial. Dengan begitu, dapat diketahui hal-hal apa saja
yang perlu dan tidak perlu ada di ruang ibadah. Berdasarkan hasil penulisan ini akan
diketahui efektif atau tidaknya pola susunan ruang pada gereja kolonial.
II.
SEJARAH DAN PANDUAN PEMBANGUNAN GEREJA DI JAKARTA
2. 1. MASUKNYA AGAMA KRISTEN DAN GEREJA DI JAKARTA
Kapal-kapal dagang Belanda sudah masuk ke Jakarta pada tahun 1596. Belanda, seperti
bangsa-bangsa Eropa yang datang sebelumnya, datang untuk membeli bahan makanan
dan rempah-rempah. Juga seperti bangsa-bangsa lain yang datang ke Jakarta dan melihat
segala yang disodorkan, Belanda pun berminat untuk menetap atau memiliki tempat
khusus di kota ini. Belanda mendapatkan izin untuk membangun gudang dan beberapa
rumah di seberang bank sebelah Timur pada tahun 1610 untuk membangun gudang dan
beberapa rumah dengan bahan kayu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah setempat
mungkin hanya memberi izin bangun bangunan tidak permanen saja. Hanya tiga tahun
setelah izin dikeluarkan, Belanda mengganti material bangunan, bahkan juga membuat
bangunan dua lantai yang kemudian, tepatnya di tahun 1618, berubah menjadi benteng.
(Heuken, 1982: 19) Penggantian material ini menjadi salah satu tanda bangsa Belanda
ingin tinggal lebih lama atau secara permanen di Jakarta. Namun motif Belanda lebih
besar dari itu, bangsa tersebut ingin menguasai Jakarta. Pasukan Belanda kemudian
menyerang kota Jayakarta. Belanda yang berhasil menduduki kota ini mengganti nama
kota tersebut menjadi Batavia pada tahun 1619. (Heuken, 1982: 12)
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Bangsa Belanda, seperti bangsa-bangsa lain yang tinggal di Jakarta, membawa identitas
dari tempat asalnya. Agama menjadi salah satu identitas yang mereka bawa. Dalam
menjalani hidup di tempat baru, di Jakarta, para pendatang ini tetap menjalankan aktifitas
keagamaannya. Aktifitas keagamaan itu diserap oleh pribumi sehingga tidak jarang
pribumi berpindah agama ke agama yang dipeluk oleh para pendatang.
Gereja pertama yang dibangun di
Jakarta terletak di dalam dinding
Kasteel
Batavia
dengan
denah
berbentuk segi delapan. Gereja yang
kemudian dibangun adalah Gereja
Salib, yang kemudian dirobohkan
lalu di atas bidang yang sama
dibangun Gereja Kubah yang pada
zaman
Daendels,
kesehatan,
gereja
dengan
alasan
Gereja Salib
(Sumber: Gereja-gereja Bersejarah di Jakarta)
tersebutpun
dirobohkan.
Dengan alasan kesehatan pula, pembangunan kota diarahkan ke Selatan yang membuat
daerah Selatan kota membangun peradaban baru, lengkap dengan sarana-sarana yang
menunjang kehidupan sehari-hari mereka, tidak terkecuali tempat ibadah. Tahun 1839
diresmikanlah Gereja Immanuel yang berlokasi di lingkar Lapangan Banteng. Sekitar
seratus tahun kemudian, dibangunlah Gereja Paulus di daerah Menteng.
2. 2. DEFINISI LAY OUT GEREJA
Lay out adalah pola susunan grafis yang kerap dikaitkan dalam pengerjaan visual dalam
berbagai bidang. Dalam arsitektur, frase lay out kerap disebutkan untuk menunjuk pola
susunan ruang yang juga sering disebut denah. Kata gereja, berasal dari bahasa Portugis
igreja, yang berarti suatu perkumpulan. Kata igreja juga dikaitkan dengan kata ekklesia
dari Bahasa Yunani, bahasa yang dipakai dalam penulisan mayoritas Kitab Perjanjian
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Baru. Kata ekklesia sendiri berarti jemaat. Namun dalam penggunaan sehari-harinya kata
gereja dipakai untuk menyebutkan nama tempat ibadah umat Kristen, baik Katholik
maupun Protestan. Dari dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa lay out gereja
dapat diartikan sebagai pola susunan ruang pada tempat ibadah umat Kristen.
2. 3. FIRMAN DAN PERKUMPULAN SEBAGAI DASAR JEMAAT PROTESTAN
Perkumpulan jemaat adalah pusat dari kegiatan bergereja. Sehingga dapat dikatakan
gereja tersebut, dalam iman Kristen, adalah umat itu sendiri. Sejak zaman Yesus, khotbah
dilakukan tidak pada bangunan-bangunan tertentu melainkan di rumah-rumah atau di area
terbuka. Pada Alkitab juga tertulis khotbah-khotbah yang dilakukan Yesus sendiri
dilakukan di bukit, di rumah kerabat dan lainnya.
Beberapa saat setelah kenaikan Yesus, seperti pesannya kepada para rasulnya untuk
pergi, menjadikan semua bangsa muridnya dan membaptis mereka, para rasul tersebutpun
menjalankan tugas itu. Mereka mulai mewartakan firman dan menjaring umat. Dengan
pelaksanaan tugas ini, para rasul berhasil memperoleh umat-umat di banyak empat.
Paulus, yang hidup pada zaman setelahnya, telah mendapati adanya umat-umat. Paulus
kemudian tetap mengajarkan firman tuhan kepada umat-umat ini dan menjaring umat di
tempat-tempat lain. Semasa hidupnya Paulus banyak menghabiskan waktunya di dalam
penjara. Dalam keadaan seperti ini ia harus tetap mewartakan firman kepada jemaatjemaat yang dilayaninya. Pewartaan firman ini tetap dilakukannya dari dalam penjara
melalui surat-surat. Beberapa surat Paulus disisipkan dalam Alkitab, di antaranya surat
Paulus untuk jemat di Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, Tesalonika dan Roma.
Pada zaman Para Rasul, struktur kepemimpinann yang muncul hampir selalu berubah.
Menjelang akhir abad ke-I, pola yang standar muncul di mana pun gereja dibangun. Di
setiap kota satu orang uskup mengambil kepemimpinan secara keseluruhan atas
komunitas Kristen. (Collins, 2006: 39) Dalam tugasnya ia dibantu oleh para penatua
yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan imam. Sejak masa ini kepemimpinan secara
hirarki dikenal dalam gereja. Kepemimpinan ini dianut dengan taat oleh umat Katolik.
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Pada awal abad ke-16 dalam gereja terjadi praktek tak bermoral yaitu memperdagangkan
jabatan dan indulgensi demi mendapatkan kehidupan abadi di Surga. Selain itu gereja
pun menjadi komersil dengan pemungutan jumlah uang tertentu untuk pengakuan dosa
sehingga yang bisa melakukannya hanya orang-orang yang mampu saja. Umat kemudian
berpikir bahwa yang diampuni hanya orang-orang mampu itu saja sehingga mereka saja
yang punya hak untuk masuk surga. Praktek ini menuai protes dari masyarakat kelas
bawah yang terdiri dari kaum tani. Pada abad ini sejumlah orang Kristen berinisiatif
untuk mereformasi gereja. Pemikiran ini memiliki tokoh Desiderius Erasmus (Collins,
2006: 130).
Reformasi gereja meletus pada 31 Oktober 1517 oleh Martin Luther, seorang professor
dan imam paroki, yang menolak dengan keras praktek jual-beli indulgensi. Luther
mengumumkan Sembilan Pulih Lima Tesis di pintu gereja instana di Wittenberg.
Reformasi ini pun mengembalikan gereja pada dasarnya. Yaitu yang terjadi pada masa
Para Rasul dan Paulus dengan inti ibadah perkumpulan jemaat dan khotbah yang
diberikan. Pada gereja-gereja Protestan yang dibangun kemudian, bentuk-bentuk
imajiner, seperti gambar-gambar dan patung, dihilangkan sehingga bentuk-bentuk
tersebut tidak menjadi berhala bagi umat.
2. 4. PENGGUNAAN BUKU III DAN IV DARI TEN BOOKS ON ARCHITECTURE
SEBAGAI ACUAN PEMBANGUNAN GEREJA
Mempertimbangkan gaya Gereja Immanuel yang berada pada masa Neoklasik yang merujuk pada
era Klasik yang berasal dari Romawi dan Yunani, buku-buku ini dipakai karena dianggap
fundamental terhadap gaya Klasik. (Han Awal, 2012)
Peletakan bangunan publik tentu memiliki pertimbangan tertentu sehingga bangunan
publik akan dibangun di tempat-tempat yang dianggap tepat. Menurut Vitruvius,
peletakan bangunan publik tidak lepas dari dimana ‘kota’ yang dimaksud berada.
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Jakarta juga memiliki beberapa gereja yang terletak di lingkar utama kota. Gereja
Immanuel, Gereja Immanuel, dan Katedral misalnya. Ketiganya terletak di pinggir
bundaran yang merupakan tanda kota Jakarta.
Letak Gereja Immanuel di Lingkar Medan Merdeka Jakarta Pusat tahun 1897
(sumber: http://bataviadigital.pnri.go.id)
Letak Gereja Paulus Menteng di Lingkar Utama Menteng
(sumber: Architectuur & Stedebouw in Indonesie)
Arah hadap ibadah pun dipertimbangkan oleh Vitruvius dimana tempat ibadah sebaiknya
menghadap Barat sehingga orang akan masuk dari sana dan akan menghadap dewanya
dan mengantarkan persembahan kepada dewa yang berada di Timur, di tempat matahari
terbit.1
1
Vitruvius pada Buku IV Bab V Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Altar sebaiknya menghadap ke Timur dan harus berada lebih rendah dari patung-patung
yang berada di dalam ruang ibadah sehingga umat yang berdoa harus menghadap ke atas
ke arah Tuhan.
Gereja Immanuel mengarah ke Barat, mungkin masih mengadaptasi sistem yang
diterapkan buku ini dan kebiasaan yang ada. Namun lain halnya dengan Gereja Paulus,
yang menghadap Timur dan tidak lagi mengikuti aturan ini.
Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
2. 5. KIBLAT IBADAH PADA GEREJA
Pada masa Perjanjian Lama, terdapat kebiasaan untuk beribadah menghadap ke Bait Allah,
sebuah bangunan yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Salomo, yang mewarisi kerajaan
dari Raja Daud, yang dipakai untuk beribadah dan untuk mempersembahkan kurban. Bangunan
ini dibangun untuk menggantikan Kemah Suci yang dipakai sejak masa pembebasan bangsa
Israel dari Mesir yang dapat dipindahkan. Kebiasaan ini mungkin didapatkan untuk merasakan
ibadah di Bait Allah dan berhadapan langsung dengan-Nya.
Daniel yang adalah salah satu dari nabi besar pada masa Perjanjian Lama pun melakukan hal
yang sama seperti yang tertulis pada Daniel 6:11, “Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah
itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka
ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa
dilakukannya.”
Kebiasaan ini konon dilakukan pula pada gereja-gereja Katholik tua, yang mungkin juga
membawa kebiasaan ini dari para pendahulunya. Gereja-gereja Katholik di Eropa konon memiliki
bangunan yang menghadap ke Tenggara, tempat dimana kota Yerusalem berada.
III.
PEMBAHASAN
Gereja Immanuel terletak di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Gereja ini
merupakan gereja yang diresmikan pada tahun 1839 dan dirancang oleh JH Horst. Gereja
ini dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sampai tahun 1948 gereja ini
dikenal dengan sebutan Willemskerk. Gereja ini dahulu merupakan pusat Indische Kerk,
cikal bakal Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), dan sekarang dipakai
sebagai tempat ibadat utama GPIB.
Gereja ini berdiri di atas panggung batu setinggi tiga meter. Bagian mukanya menghadap
taman besar Koningsplein. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan pembangunan
yang terjadi seturutnya, Gereja kini menghadap Stasiun Gambir. Gereja ini mengarah ke
Barat.
v Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Karena kemiripannya dengan Villa Capra “La Rotonda” karya Palladio dan Pantheon,
kedua bangunan ini akan sering disebut sebagai pembanding.
Villa Capra “La Rotonda”
(sumber: http://www.rome-tours.org)
Pantheon
(sumber: http://www.villas-in-italy.net )
3. 1. GEREJA IMMANUEL
Denah Gereja Immanuel berbentuk bulat. Bentuk bulat ini terlihat seperti kebiasaan yang
dibawa dari Gereja Kubah. Denah yang sama bentuk ini mungkin juga dikarenakan Gereja
Immanuel dibangun juga dengan maksud menggantikan Gereja Kubah yang sebelumnya
menjadi pusat umat Kristen di Jakarta.
Bentuk bulat ini juga dapat ditemukan di Pantheon yang juga berfungsi sebagai tempat
peribadatan. Pantheon dibangun pada abad kedua sehingga untuk menghasilkan sebuah
bidang luas tanpa pilar dalam ruangan diperlukan bidang kubah sebagai batas atas karena
bidang ini memiliki titik pusat beban yang tersebar secara merata di semua sisi lingkaran.
Lay out bangunan yang lebih mirip ditunjukkan oleh Villa Capra “La Rotonda” yang juga
memiliki empat “tangan” dari titik pusat lingkaran bidang alas. Keempat sisi ini
mempunyai panjang yang sama besar dan tidak terhubung satu dengan yang lainnya.
Bangunan inipun memiliki perbedaan tinggi dengan bidang alasnya sehingga bangunan
memiliki tangga di setiap akses masuknya. Bangunan ini juga memiliki kubah yang di
tengah bangunan. Kubah ini ditopang oleh susunan tembok yang dibuat menyerupai
lingkaran yang terdapat di bagian tengah bangunan.
vi Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Denah Pantheon
(Sumber: http://www.greatbuildings.com)
Denah Villa Rotunda
(Sumber: http://www.greatbuildings.com)
Bentuk bulat ini membuat umat dalam gedung gereja bisa merasakan kebersamaan antar
warga jemaat. Dilengkapi dengan posisi duduk yang melingkar pada sisi dalam tembok
gereja, warga jemaat dapat melihat satu dengan yang lainnya. Hal ini penting karena
Kristen Protestan mengutamakan persekutuan dalam jemaat sehingga jemaat diharapkan
memiliki hubungan satu dengan yang lain dan dapat saling menguatkan dalam iman.
vii Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Denah Furniture Gereja Immanuel
(sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur)
Posisi duduk yang bundar ini juga membuat seisi gereja dapat melihat pengkhotbah dengan
baik. Khotbah dalam Kristen Protestan pun merupakan elemen yang penting karena dari
pengkhotbah firman Tuhan dibagikan untuk direnungkan dan menambah pertumbuhan
iman warga jemaat dan menjadi dasar untuk warga jemaat dalam kegiatan sehari-harinya.
Posisi duduk yang memungkinkan untuk melihat ke pengkhotbah membuat umat lebih
fokus dalam mendengarkan firman. Untuk ibadah-ibadah tertentu, tempat duduk ini
dikhususkan untuk paduan-paduan suara. Dengan posisi duduk yang baik ini pun
diharapkan firman Tuhan dapat lebih diresapi oleh warga jemaatnya.
viii Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Letak Aksis Utama Gereja Immanuel
(Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur)
Selain posisi duduk yang melingkar terdapat pula posisi duduk berbaris pada bagian tengah
ruang ibadah. Walaupun berada pada posisi berbaris, jemaat masih dapat melihat ke
pendeta dan majelis jemaat karena pendeta dan majelis jemaat berada pada bidang yang
lebih tinggi. Pada barisan kursi ini terdapat aksis utama yang dikosongkan, yaitu dari pintu
di bawah orgel menuju ke mimbar. Aksis ini sengaja dikosongkan karena dalam tata ibadah
terdapat prosesi masuk dan keluarnya pelayan jemaat yang terdiri dari pendeta, penatua dan
diaken.
Posisi mimbar sendiri tadinya berada di bagian barat dalam gereja, tepatnya dibawah orgel.
Posisi ini berada tepat di bagian dalam dinding muka gereja. Posisi mimbar khotbah disini
dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan tata ibadah GPIB karena mimbar ini diapit
oleh dua pintu masuk sehingga ruang untuk pelayan yang bertugas tidak optimal dan tidak
ix Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
kondusif. Posisi kemudian digeser ke bagian Timur dalam gereja karena ruang lebih besar
dan lebih dekat dari ruang konsistori.
Letak Mimbar
(Sumber: Pusat Dokumentasi Arsitektur)
Letak Jejak Mimbar
Letak Mimbar Sekarang
Selain aksis tersebut, terdapat pula aksis yang melintang dari utara ke selatan bagian dalam
gereja. Aksis tersebut pun tidak diisi tempat duduk karena merupakan jalur sirkulasi peserta
ibadah. keberadaan kedua aksis ini membuat gereja terlihat seperti memiliki lambang salib.
Lambang ini merupakan lambang penderitaan Kristus untuk dunia. Tanda salib pada denah
gereja pun ditemukan pada denah Gereja Kubah dan terkaan denah Gereja Salib dilihat dari
tampak bangunan.
x Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Terdapat balkon pada lantai atas yang menempel pada tembok gereja. Pada ibadah minggu
balkon ini tidak dibuka. Balkon ini hanya dibuka dalam ibadah-ibadah khusus ketika lantai
bawah tidak mencukupi kapasitas yang diperlukan. Balkon ini berukuran kecil mengingat
pada awal pembangunan gereja balkon ini diperuntukkan untuk band marinir yang bertugas
untuk mengiringi ibadah. Band ini ditugaskan demikian karena orgel dalam gereja baru
didatangkan beberapa saat setelah gereja selesai dibangun.
Gereja Immanuel
(Sumber: http://www.matanews.com)
Pada masa pembangunan gereja ini, konstruksi tiang beton belum dikenal. Gereja ini masih
memakai dinding pemikul ubtuk konstruksinya. Demikian pula untuk kubahnya. Kubah
sendiri memiliki titik massa yang berpusat pada titik puncanknya sehingga massa kubah
disebarkan ke sisi-sisi kubah. Dengan begitu ruang di bawah kubah tidak memerlukan
kolom-kolom dan hanya memerlukan kolom di sisi-sisi kubah saja. Pemakaian kubah disini
dapat dikatakan baik karena di bawahnya jemaat dapat berkumpul dengan baik di
bawahnya.
xi Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
3. 2. GEREJA PAULUS
Menteng merupakan salah satu hasil pembangunan ke arah selatan yang dilakukan pada
masa Hindia Belanda. Untuk melengkapi pembangunan tersebut, pada area Menteng
ditempatkan sebuah gereja Katholik yaitu gereja Santa Theresia, dan sebuah gereja
Protestan, yaitu Gereja Paulus. Gereja Paulus dibangun sekitar seratus tahun setelah Gereja
Immanuel. Gereja Paulus dahulu dikenal dengan sebutan Nassaukerk, sesuai dengan nama
jalan dimana gereja ini ditempatkan yaitu Nassau Boulevaard, yang sekarang lebih dikenal
dengan nama Jalan Imam Bonjol. Gereja ini memiliki lokasi yang prestisius yaitu tepat di
sisi Taman Suropati yang berada tepat di tengah Menteng.
Keberadaan Gereja Paulus pada posisi tersebut mengindikasikan pentingnya posisi gereja
pada suatu wilayah. Pola ini juga dapat dilihat pada letak Gereja Immanuel yang berada di
sisi taman kota Jakarta, Medan Merdeka, yang menjadi pusat pemerintahan kota Jakarta
dengan adanya gedung-gedung pemerintahan kelas satu di sisi-sisinya.
Gereja Paulus memiliki denah yang berbentuk kotak. Namun begitu, dalam denah juga
terlihat adanya bentuk salib imajiner dengan empat tangan yang sama panjang. Adanya
bentuk ini juga mengingatkan pada denah gereja-gereja di Jakarta yang dibangun
sebelumnya.
xii Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Denah Gereja Paulus yang berbentuk kotak membuat jemaat berbaris rapih dalam ibadah.
Walaupun jemaat berada pada barisan-barisan, jemaat tetap dapat melihat pengkhotbah
dengan baik. Dalam ruang ibadah terdapat beberapa kolom yang menjadi tumpuan balkon.
Namun keberadaan kolom-kolom ini tidak membuat peserta ibadah terhalangi dalam
melihat satu dengan yang lain.
Gereja ini dibangun sekitar seratus tahun setelah Gereja Immanuel. Pada masa
pembangunan Gereja Paulus, kolom beton sudah dikenal. Penggunaan kolom beton ini
memungkinkan pembuatan ceiling yang berbentuk limas. Dengan adanya limas pada batas
atas ruang ibadah, jemaat juga dapat menikmati kebersamaan di dalam bentang luas
walaupun tidak lagi berbentuk kubah. Limas yang tinggi ini membuat ruangan terasa
lapang. Tembok-tembok pada sisi-sisi limas memiliki bukaan-bukaan cahaya yang tertutupi
kaca patri sehingga jemaat dapat merasakan pengalaman ruang dengan permainan cahaya
dari luar.
Perkembangan konstruksi ini pun membuat Gereja Paulus dalam pembangunanannya
dimungkinkan untuk membuat balkon. Balkon dalam gereja Paulus memiliki bentang yang
lebih besar dari Gereja Immanuel. Balkon Gereja Paulsu dapat diisi empat baris tempat
duduk sedangkan pada Gereja Immanuel hanya terdapat dua baristempat duduk saj. Selain
berkaitan dengan konstruksi, balkon pada Gereja Paulus pun lebih besar karena
diperuntukkan untuk fungsi yang berbeda. Balkon pada Gereja Paulus dipakai untuk
menampung jemaat.
Interior Gereja Paulus
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012)
xiii Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Jemaat pada balkon gereja dapat tentunya dapat melihat ke mimbar dengan baik. Hal ini
bijak jika dibandingkan dengan menaruh jemaat pada area yang lebih luas dengan jumlah
kapasistas yang sama. Cara ini membuat jemaat yang berada pada radius yang lebih jauh
dari mimbar tidak dapat melihat pendeta dan pelayan yang bertugas dengan baik. Dengan
tidak dapat melihat pelayan firman dengan baik besar kemungkinan konsentrasi peserta
ibadah mudah teralihkan.
IV.
KESIMPULAN
Gereja merupakan tempat ibadah umat Kristen yang ternyata tidak saja dipakai pada hari
Minggu. Untuk Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), gereja dipakai hampir
setiap hari untuk kegiatan kepengurusan harian gereja, ibadah pelayanan khusus, ibadah
rutin rumah tangga, persiapan sekolah minggu, pendidikan Katekisasi, dan latihan paduan
suara. Hal inipun terjadi pada masa Hindia Belanda dimana gereja menjadi tempat rapat
para pengurus gereja dan menjadi tempat perkumpulan untuk aksi sosial.
Gereja Protestan memiliki pertimbangan fokus ke perkumpulan jemaat dan sabda sehingga,
dapat dilihat dari dua studi kasus, kedua gereja memiliki ornamen yang lebih minim dari
gereja Katolik. Pertimbangan terhadap minimnya ornamen ini pun juga menghindari
pemakaian patung sebagai benda yang disembah. Minimnya ornamen juga membuat warga
gereja lebih fokus pada ibadah karena tidak lagi perlu ada yang dilihat selain perkumpulan
jemaatnya dan menerima khotbah dengan baik.
Gereja kolonial memiliki layout yang cenderung radier sehingga seisi ruang ibadah dapat
melihat satu dengan yang lain dan dapat merasa berada dalam satu perkumpulan.
Khususnya pada Gereja Immanuel, tempat duduk di sisi dalam tembok gereja dibuat
melingkar sesuai dengan denah gereja sehingga yang duduk di sana dapat melihat ke seisi
ruang ibadah. Ditambah dengan adanya balkon yang walau tidak ditujukan untuk tempat
duduk jemaat namun juga menunjang perasaan bersekutu jemaat ketika duduk disitu.
Namun secara garis besar, balkon bukanlah hal yang sangat diperlukan karena jumlah kursi
yang disediakan pada lantai bawah ditambah dengan adanya lebih dari tiga jam ibadah pada
xiv Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
setiap hari Minggu membuat balkon tidak dipakai. Penggunaan balkon kemudian
dilanjutkan oleh gereja Paulus yang dibangun setelahnya dengan pertimbangan teknologi
dan efisiensi ruang.
Terdapat bagian luar gereja yang terbuka sehingga jemaat dapat berkumpul sebelum dan
sesudah ibadah dilaksanakan. Gereja Immanuel memiliki teras yang besar sehingga jemaat
dapat bercengkrama satu dengan yang lain. Terdapatnya teras pada gereja Immanuel dan
Gereja Paulus karena pada GPIB terdapat prosesi sambut jemaat sebelum ibadah dimulai
dan bersalaman dengan pendeta dan perwakilan majelis. Prosesi ini membuat jemaat
merasa disambut untuk masuk ke dalam ibadah dan persekutuan dan keluar dengan
diundang untuk datang lagi. Mengingat pentingnya persekutuan dalam jemaat, tempat
pertemuan antar jemaat menjadi penting karena di sanalah terjadi interaksi sosial antar
jemaat.
Dalam ibadah Kristen, khotbah merupakan hal penting karena dalam khotbah, pendeta
menyampaikan renungan firman yang diharapkan diresapi oleh jemaat. Oleh sebab itu
jemaat akan merasa lebih nyaman ketika dapat melihat pembicaranya. Dengan melihat
pembicaranya, jemaat dapat merasa dekat dan merasakan bahwa pendeta menceritakan
langsung renungan firman sehingga dapat diresapi dengan baik oleh jemaat. Sehubungan
dengan denah dua gereja yang cenderung radier, jemaat dapat melihat ke mimbar khotbah
dengan baik. Jemaat yang duduk di deret paling belakang pun dapat melihat ke mimbar
khotbah tanpa ‘menonton’ punggung jemaat yang duduk di deret-deret depannya.
Terlihat bentuk salib pada denah gereja Immanuel dan Gereja paulus. Bentuk ini sendiri
mungkin merupakan kebiasaan yang dibawa dari Eropa karena denah Bentuk Salib telah
digunakan sejak masa arsitektur Romanesque. Bentuk imajiner salib Kristus ini merupakan
kebiasaan umat Katholik, umat pendahulunya, yang memimikri bentuk dan gambaran yang
tertulis di Alkitab ke bentuk dan gambaran yang nyata sehingga dapat ‘dibaca’ secara
visual oleh jemaat yang pada saat itu masih buta huruf.
xv Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Tingginya batas ruang membuat ruangan terasa luas. Ketinggian kedua ruang ibadah ini
pun membuat jemaat merasakan keesaan Tuhan dan merasa dekat dengan Tuhan. Sensasi
ini terlebih didapat di Gereja Immanuel yang memiliki lubang cahaya di bagian atas
kubahnya sehingga jemaat bisa menikmati cahaya yang datang dari atas sebagai berkat
yang datang dari Tuhan.
V.
KEPUSTAKAAN
Akihary, Huib. 1990. Architectuur & Stedebouw in Indonesie. Zutpher: De Walburg Pers.
Ching, Francis. 1999. Arsitektur: Bentuk Ruang dan Susunannya. (Paulus Hanoto Adjie,
penerjemah). Jakarta: Erlangga.
Collins, Michael dan Price, Matthew A. 2006. Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Heuken, Adolf SJ. 1982. Historical Sites of Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Heuken, Adolf SJ dan Pamungkas, Grace. 2001. Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Heuken, Adolf SJ. 2003. Gereja-gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka.
Heuken, Adolf SJ. 2008. Merdan Merdeka: Jantung Ibukota RI. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka.
Heuken, Adolf SJ. 2009. Gereja-gereja Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Snyder, James C dan Anthony J. Catanese. 1984. Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya (Abad
XVII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya.
xvi Lay out..., Barbara, FT UI, 2013.
Download