8. PEMBAHASAN UMUM Marka mikrosatelit merupakan marka genetik yang dapat digunakan dalam mempelajari keragaman genetik seperti yang telah dilaporkan oleh Qian et al., (2001) pada tanaman padi juga pada apel dan pear (Yamamoto, 2001); mempelajari kemiripan genetik seperti pada kultivar gandum (Bohn, 1999); mempelajari struktur genetik seperti pada kakao dan padi (Goran, 2000 dan Gao, 2002); mempelajari sistem perkawinan seperti pada Caryocar brasiliense (Collevati, 2001); dan gene flow seperti pada Gliricidia sepium (Dawson, 1997) dan Caryocar brasiliense Collevati, 2001). Dalam mempelajari struktur genetik serta aspek genetik lainnya pada tanaman jati marka mikrosatelit merupakan marka yang sangat informatif dan mempunyai resolusi yang tinggi melengkapi marka genetik lainnya seperti isoenzim yang sudah sering digunakan misal pada tanaman jati, namun demikian penggunaan marka mikrosatelit membutuhkan biaya yang mahal dan membutuhkan waktu untuk pengembangan primer yang spesifik. Hasil resolusi yang tinggi yang ditunjukan oleh marka mikrosatelit sangat menakjubkan, karena setiap individu dalam famili half-sib memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari pohon induk benih, dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas mana progeni yang melakukan penyerbukan sendiri dan mana yang melakukan penyerbukan silang. Keunggulan lainnya penggunaan marka mikrosatelit adalah memiliki tingkat polimofisme yang tinggi 76% dan mempunyai banyak alel seperti pada lokus AG16 dan AAG10 memiliki enam alel dengan rata-rata jumlah alel 4.6. Sedangkan jumlah alel pada marka isoenzim memiliki jumlah alel yang terbatas seperti yang telah dilakukan pada tanaman jati hanya mempunyai dua alel (Dewi, 2003) dan rata-rata jumlah alel per lokus 1.8 (Kertadikara dan Prat, 1995). Bayangan genetik dari tanaman yang diambil secara acak dari pengunduhan beberapa tanaman masih memperlihatkan keragaman genetik yang masih cukup tinggi antar individu dan antar populasi bila dibandingkan dengan tanaman dewasa populasi asalnya. Dengan demikian pengunduhan yang berasal dari bulk 13-19 famili akan memberikan informasi keragaman genetik yang kurang lebih sama dengan populasi tanaman dewasa awalnya. Namun yang menjadi pertimbangan saat ini setelah penebangan hutan secara besar-besaran 78 menyebabkan sumber serbuk sari tidak melimpah lagi, sehingga benih yang diperoleh dari pengunduhan hanya dari beberapa pohon mungkin akan menyebabkan terjadinya peristiwa inbreeding dan penghanyutan genetik. Startegi yang dapat dilakukan adalah dengan bulk dari pengunduhan hasil banyak tanaman dan dari banyak lokasi sehingga dapat menjaga pembangunan keragaman genetik populasi tanaman hutan selanjutnya. Masih tingginya keragaman genetik dari tanaman semai yang diunduh kemungkinan disebabkan melimpahnya sumber serbuk sari serta besarnya aliran informasi genetik via serbuk sari dan serta tingginya derajat peyerbukan silang pada jati yaitu di atas 95%. Keragaman genetik yang ditunjukan oleh nilai heterosigositas aktual dan harapan (Ha dan He) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata heteozigositas aktual (Ha) selalu lebih kecil dari nilai heterozigositas harapan (He) pada kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg, hal ini berarti pada setiap populasi cenderung terjadi defisit heterozigositas, hasil ini juga diperkuat dari nilai indek fiksasi yang diperoleh terutama pada populasi dari kabupaten Muna yang bernilai positif sehingga stuktur genotipe akan mengarah pada peningkatan homozigositas. Sedangkan pada populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa) cenderung terjadi kelimpahan heterozigositas. Defisit heterozigositas dalam suatu populasi dapat terjadi karena adanya hambatan aliran gen dalam keseluruhan populasi dan meningkatnya hubungan kekerabatan antar individu pohon yang bertetangga (Gregorius dan Namkoong, 1983 dalam Kertadikara dan Prat, 1995). Dari nilai indek fiksasi antar tanaman dalam populasi, nilai rata-rata FIS untuk populasi Dolok dan Warangga bernilai positif hal ini berarti terjadi defisit heterozigositas, nilai negatif ditemukan pada lokus CPIMS, AGT10, dan AC44 hal ini berarti pada lokus tersebut ditemukan kelimpahan heterozigot. Nilai FIS yang positif disebabkan terjadinya silang dalam yang meningkat, terdapat seleksi yang memihak homozigot serta efek wahlund dengan adanya migrasi (Lowe, 2004). Namun dalam penelitian ini FIS positif mungkin lebih disebabkan meningkatnya silang dalam yang ditunjukkan adanya biparental inbreeding dan parental inbreeding dalam analisis sistem perkawinan. Sedangkan hasil diferensiasi genetik FST (11%) memberikan hasil yang lebih kecil dari hasil perhitungan AMOVA (14%) diferensiasi antar group (Muna dengan Buton) yang dipisahkan 79 oleh lautan cukup besar dengan tingkat keragaman sekitar 9% dan di dalam group hanya 5% Hasil penelitian menunjukkan transportasi informasi genetik melalui serbuk sari terjadi secara acak dari segala arah, hal ini menunjukan transportasi serbuk sari dibantu oleh vektor serangga (zoophily). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Finkeldey (2005) menyatakan bahwa bunga jati banyak didatangi oleh serangga, kecuali kumbang dan kemungkinan lalat adalah penyerbuk utamanya. Hasil penelitian terhadap sistem perkawinan menunjukan bahwa jati merupakan tanaman yang menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan silang di atas 95%. Kebanyakan serbuk sari diangkut ke pohon tetangga saja mencapai 30% yaitu pada jarak 0-20 m, hasil ini sejalan dengan penelitian sistem perkawinan yang menyatakan terjadinya biparental inbreeding yang disebabkan perkawinan dari tetangga terdekat. Sedangkan hasil penelitian Finkeldey (2005) menggunakan lokus gen isoenzim hanya mencapai 20% saja. Hasil penelitian menunjukan pula semakin rapat populasi maka persentase serbuk sari dibawa ke tetangga terdekat semakin besar pula, kecilnya persentase transportasi serbuk sari yang menyebar jauh dibawa oleh polinator sampai ratusan meter namun demikian mungkin viabilitas serbuk sari tersebut sudah hilang. Aliran informasi genetik via serbuk sari yang lebih efisien dibanding via benih, karena via serbuk sari dapat mencapai jarak yang jauh dengan bantuan serangga sebagai vektor. Finkeldey (2005) menyatakan tidak efisiennya transportasi informasi genetik terutama via benih akan menyebabkan terbentuk struktur famili yaitu antar pohon tetangga akan lebih mirip satu sama lain secara genetik. Namun pada tanaman jati yang ditanam secara monokultur struktur famili ini tidak terlihat hal ini ditunjukan oleh rp yang rendah. Hasil analisis sistem perkawinan menunjukan jati adalah tanaman yang menyerbuk silang dengan persentase di atas 95% dengan demikian struktur genotipik keturunannya akan membawa alelik-alelik yang ada di populasi Hasil pendugaan derajat penyerbukan silang yang nilainya lebih besar dari satu hal ini disebabkan tidak terpenuhinya asumsi seperti terbentuknya zigot yang berasal dari penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang harus terjadi secara acak, kerapatan tanaman yang rendah namun tanaman jati yang ditanam secara 80 monokultur mungkin tidak berlaku. Kemungkinan yang lain yaitu adanya tanaman jati yang disinyalir oleh beberapa peneliti lain menpunyai mekanisme self incopatibilitas sehingga secara nyata akan meningkatkan peristiwa penyerbukan silang. Dengan demikian pendugaan derajat penyerbukan silang berdasarkan pada rata-rata beberapa lokus gen (multilokus) lebih disukai karena dapat memberikan dugaan yang lebih akurat (Ritland dan Jain, 1981) serta cenderung lebih resisten terhadap asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dibandingkan dengan lokus tunggal (Shaw dan Allard, 1979). Nilai derajat penyerbukan silang populasi Dolok berbeda dengan populasi lainnya perbedaan ini disebabkan oleh adanya pebedaan dari level gangguan akibat aktifitas manusia, seperti yang diteliti oleh Liengsiri et al (1998) memperlihatkan bahwa perbedaan derajat penyerbukan silang yang tampak di antara 11 populasi dari Pterocarpus macrocarpus mempunyai derajat gangguan habitat, densitas dan distribusi dari pembungaan pohon. Dalam penelitian ini derajat gangguan akibat aktifitas manusia dan kerapatan populasi cenderung mempengaruhi sistem perkawinan. Populasi dengan level gangguan yang lebih besar dan memiliki kerapatan individu yang tinggi cenderung akan terjadi proses silang dalam berupa biparental inbreeding hal ini ditunjukan oleh nilai rp yang rendah.