27 ditemukan di TWA Madapangga. Kriteria penilaian tingkat pengetahuan responden yang digunakan adalah kriteria tingkat pengetahuan menurut Arikunto (2006) yaitu: Baik : Responden mengetahui 76-100% pemanfaatan dari keseluruhan jenis tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga Cukup : Responden mengetahui 50-75% pemanfaatan dari keseluruhan jenis tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga Kurang: Responden mengetahui < 50% pemanfaatan dari keseluruhan jenis tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga Persamaan yang digunakan dalam Chi-Square adalah sebagai berikut: ( ) Keterangan: X²hit = Nilai Chi-Square Oi = frekuensi Observasi/pengamatan Ei = Frekuensi harapan Hipotesa yang diuji: H0 = Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat antar kelas umur responden H1 = Ada perbedaan tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat antar kelas umur responden Kriteria uji: Jika X² hitung > X² (0.05;db); maka terima H1 Jika X² hitung ≤ X² (0.05;db); maka terima H0 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat Tumbuhan Pangan Hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga Kabupaten Bima ditemukan tumbuhan pangan yang juga berkhasiat sebagai obat sebanyak 36 jenis dari 20 famili. Famili dengan jumlah jenis terbanyak yaitu Anacardiaceae dan Leguminosae masing-masing 4 jenis (Gambar 5). Jenis dari famili Anacardiaceae yang ditemukan yaitu Dracontomelon dao, A.occidentale, S.dulcis dan Mangifera sp. Jenis dari famili Leguminosae yang ditemukan yaitu T.indica, Gliricidia maculata, Leucaena leucocephala dan Sesbania grandiflora. Jenis-jenis dari famili Anacardiaceae dan Leguminosae dapat ditemukan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga. Namun jenis-jenis dari kedua famili tersebut ditemukan dalam jumlah individu yang berbeda pada masing-masing blok. Hal ini menunjukan 28 Jumlah jenis bahwa kondisi lingkungan pada masing-masing blok sangat mempengaruhi keberadaan jenis-jenis dari kedua famili tersebut. 5 4 3 2 1 0 4 4 3 3 3 2 2 1 Famili Gambar 5 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan famili. Jumlah jenis Berdasarkan habitus, tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA Madapangga dibedakan ke dalam 4 habitus yang terdiri atas pohon, perdu, herba dan liana (Gambar 6). Tumbuhan pangan yang berhabitus pohon ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu 25 jenis, sedangkan perdu dan liana masingmasing hanya ditemukan 1 jenis. Bagian-bagian tumbuhan berhabitus pohon yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagian besar berupa buah, daun muda dan biji, sedangkan bunga relatif jarang dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan secara turun temurun berdasarkan pengalaman. Semua jenis tumbuhan pangan berhabitus pohon tersebut hanya berfungsi sebagai pangan pelengkap yaitu sebagai buah-buahan, sayuran dan lalapan (Kuncari 2011). 30 25 20 15 10 5 0 25 9 1 Pohon 1 Perdu Herba Liana Habitus Gambar 6 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus. Berdasarkan bagian yang dimanfaatkan, tumbuhan pangan yang ditemukan pada kawasan tersebut dibedakan ke dalam 7 bagian yaitu buah, daun, biji, bunga, umbi, batang dan seluruh bagian tumbuhan (Gambar 7). Bagian tumbuhan yang ditemukan dengan jumlah jenis pemanfaatan terbanyak yaitu bagian buah (25 jenis) dan daun (18 jenis). Bagian buah diketahui banyak dimanfaatkan sebagai buah-buahan, sedangkan bagian daun khususnya daun muda dimanfaatkan sebagai sayuran. Pemanfaatan terhadap kedua bagian tersebut harus dilakukan secara lestari. Apabila pemanfaatan dilakukan secara berlebihan akan mengancam 29 Jumlah jenis keberadaan dan kelestarian jenis-jenis tumbuhan pangan tersebut. Salah satu alternatif dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pemanfaatan dan kelestariannya diperlukan usaha budidaya. 30 25 20 15 10 5 0 25 18 4 Buah Daun Biji 3 2 2 1 Bunga Umbi Batang Seluruh bagian Bagian yang dimanfaatkan Gambar 7 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan bagian yang dimanfaatkan. Jumlah jenis Berdasarkan kategori pemanfaatan, tumbuhan pangan yang ditemukan pada kawasan tersebut dibedakan menjadi 5 kelompok pemanfaatan yaitu sebagai buah-buahan, sayuran, lalapan, bumbu masak dan sumber karbohidrat (Gambar 8). Kelompok pemanfaatan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu sebagai buahbuahan (17 jenis) dan sayuran (15 jenis), sedangkan terendah sebagai sumber karbohidrat (3 jenis). Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA Madapangga sebagian besar berfungsi sebagai bahan pangan pelengkap (buah-buahan, sayuran, bumbu masak dan lalapan). Pemanfaatan sebagai buahbuahan dan sayuran merupakan kelompok pemanfaatan hasil hutan non kayu tertinggi bagi masyarakat sekitar kawasan hutan dan pada musim tertentu dapat memberikan tambahan penghasilan (Sunarti et al. 2007). 20 17 15 15 10 5 5 5 3 0 Buah Sayur Lalapan Bumbu masak Sumber karbohidrat Kelompok pemanfaatan Gambar 8 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan kelompok pemanfaatan. Daftar jenis tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA Madapangga disajikan pada Lampiran 2, sedangkan bagian yang digunakan serta pemanfaatannya disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis data kenekaragaman spesies tumbuhan pangan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga disajikan pada Lampiran 6 sampai 8. Rekapitulasi indeks keanekaragaman tumbuhan pangan disajikan pada Gambar 9. Nilai indeks 30 7 6 5 4 3 2 1 0 6.09 4.2 2.77 2.88 3.12 2 0.7 BP 0.88 BPT 0.88 Kekayaan jenis Keragaman jenis Kemerataan jenis BPI Ket: BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Pemanfaatan terbatas) dan BPI(Blok Pemanfaatan Intensif) Gambar 9 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga. Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui jumlah jenis tumbuhan pangan yang ditemukan pada blok pemanfaatan intensif 34 jenis, blok pemanfaatan terbatas 26 jenis dan blok perlindungan 18 jenis. Kekayaan jenis tumbuhan pangan tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan intensif dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 6.09 dan terendah pada blok perlindungan yaitu 2.27. Keragaman jenis tumbuhan pangan tertinggi diketahui juga terdapat pada blok pemanfaatan intensif dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 3.12 dan terendah pada blok perlindungan yaitu 2. Tingginya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok pemanfaatan intensif menunjukan banyaknya jenis tumbuhan pangan yang ditemukan pada blok tersebut dibandingkan dengan dua blok lainnya. Hal ini disebabkan karena kondisi habitat blok tersebut dapat menyediakan berbagai kebutuhan yang mendukung kelangsungan hidup tumbuhan seperti penyinaran, hidrologi dan kesuburan tanah. Kondisi habitat pada blok tersebut relatif datar, cenderung terbuka, didominasi vegetasi semak belukar dan terdapat banyak sumber air. Blok pemanfaatan intensif telah mengalami perubahan akibat adanya kegiatan pengelolaan dan aktifitas wisata. Perubahan tersebut diduga juga mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman jenis komunitas didalamnya. Komunitas yang mengalami gangguan secara teratur dan acak akan mempunyai indeks keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas yang cenderung stabil (Setiadi 2005). Kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pengelola kawasan yang mempengaruhi beragamnya jenis tumbuhan pangan pada blok tersebut yaitu pengayaan jenis. Tumbuhan pangan yang ditemukan hasil pengayaan jenis yaitu Limonia acidissima, Mangifera sp., Annona muricata, Artocarpus communis dan S.aqueum. Selain itu, blok pemanfaatan intensif juga berada pada bagian pinggir kawasan yang berdekatan dengan sawah, kebun dan tegalan masyarakat. Kemungkinan jenis-jenis budidaya yang terdapat pada kebun dan tegalan masyarakat secara tidak sengaja disebarkan oleh hewan dan manusia ke dalam kawasan sehingga jenis-jenis pada blok tersebut menjadi beragam. Kekayaan dan keragaman jenis tumbuhan pangan terendah terdapat pada blok perlindungan. Nilai indeks kekayaan Margalef pada blok tersebut yaitu 2.77 dan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 2. Rendahnya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok perlindungan menunjukan bahwa jumlah jenis tumbuhan pangan yang ditemukan pada blok tersebut sedikit yaitu 18 jenis. 31 Kondisi habitat pada blok tersebut didominasi oleh jenis-jenis pohon yang cukup rapat dan cenderung homogen sehingga menyebabkan terjadinya persaingan antar tumbuhan dalam mendapatkan berbagai kebutuhan yang dibutuhkannya. Adanya persaingan tersebut berpengaruh terhadap keberadaan dari jenis-jenis tertentu di suatu habitat. Hanya jenis-jenis yang mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi habitat pada blok tersebut yang dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, blok kondisi blok perlindungan tidak mengalami gangguan yang berarti sehingga komunitas tumbuhan didalamnya cenderung stabil. Komunitas yang cenderung stabil dan mendekati klimaks akan mempunyai indeks keanekaragaman lebih rendah dibandingkan komunitas yang telah mengalami gangguan akibat bencana alam maupun adanya intervensi manusia (Barbour et al. 1987). Tumbuhan pangan berhabitus pohon yang ditemukan antara lain P.javanicum, S.oleosa, S.cumini, S.dulcis, Ficus ribes dan Z.mauritiana; sedangkan jenis semak dan herba yaitu A.variabilis, S.indicum dan L.camara. Jenis-jenis tersebut diduga memiliki karakteristik yang sesuai dengan kondisi habitat pada blok perlindungan sehingga mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik. Hasil penelitian Wiriadinata (2008) juga menunjukan bahwa A.variabilis dan S.indicum banyak ditemukan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat sekitar kawasan Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Kemerataan jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga cenderung tinggi dengan nilai evenness berkisar antara 0.7-0.88. Kisaran nilai evenness yang semakin mendekati angka 1 mengindikasikan komposisi penyebaran individu dari tiap jenis pada ketiga blok pengelolaan tersebut cenderung tersebar merata (tidak terdapat jenis tertentu yang mendominasi). Hal ini diduga juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang sesuai dengan karakteristik jenis-jenis tumbuhan yang ada pada blok tersebut sehingga mampu beradaptasi dengan baik. Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan pangan di TWA Madapangga berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya, kekayaan jenis tumbuhan pangan tertinggi terdapat pada habitus pohon yaitu tingkat pancang dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 3.87 dan terendah pada habitus epifit dan parasit. Keragaman jenis tertinggi juga terdapat pada tingkat pancang dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 2.53 dan terendah pada habitus epifit, liana dan parasit. Kemerataan jenis tertinggi pada tingkat pancang dengan nilai evenness 0.81 dan terendah pada habitus epifit, liana dan parasit. Nilai indeks 5 4 Kekayaan jenis 3 Keragaman jenis 2 Kemerataan jenis 1 0 Semai Pancang Tiang Pohon T.bawah Epifit Liana Parasit Habitus dan tingkat pertumbuhannya Gambar 10 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga. 32 Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada tingkat pancang menunjukan kondisi populasi tumbuhan pada kawasan tersebut cukup baik, terbukti dengan banyaknya jenis yang ditemukan pada tingkat permudaan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh karakteristik jenis-jenis yang tumbuh sesuai dengan kondisi habitat pada kawasan tersebut. Berbagai sumberdaya yang dibutuhkan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhannya cukup tersedia. Sumberdaya yang dimaksud seperti ruang, cahaya, air dan unsur hara. Kondisi tersebut memungkinkan permudaan tumbuhan berlangsung baik (Vickery 1984). Hal yang sama juga terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dimana keanekaragaman jenis pada tingkat permudaan tumbuhan di kawasan tersebut cukup tinggi. Sebagian besar jenis vegetasi yang mendominasi ada pada tingkat pertumbuhan semai dan pancang (Putri & Allo 2009). Tumbuhan Obat Jumlah jenis Tumbuhan obat ditemukan sebanyak 76 jenis dari 40 famili. Famili dengan jumlah jenis terbanyak yaitu Leguminosae sebanyak 7 jenis dan Euphorbiaceae sebanyak 6 jenis (Gambar 11). Jenis dari famili Leguminosae yang ditemukan yaitu T.indica, G.maculata, Cassia alata, Cassia tora, L.leucocephala, Mimosa pudica dan S.grandiflora. Jenis-jenis dari famili ini ditemukan pada blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif, khususnya pada areal-areal yang cenderung terbuka dan bagian pinggir kawasan TWA Madapangga. Pada kondisi tersebut jenis C.alata, C.tora dan M.pudica ditemukan melimpah. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi habitat yang cenderung terbuka dan intensitas penyinaran yang cukup tinggi. 8 7 6 5 4 3 2 1 0 7 6 4 4 4 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 Famili Gambar 11 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan famili. Jenis-jenis dari famili Euphorbiaceae yang ditemukan yaitu J.curcas, A.moluccana, Phyllanthus acidus, Jatropha gossipifolia, Phyllanthus urinaria dan Euphorbia hirta. Jenis J.curcas dan A.moluccana dapat ditemukan pada ketiga blok pengelolaan. Kedua jenis ini ditemukan mendominasi pada petak-petak contoh yang berdekatan dengan ladang dan tegalan masyarakat. Jenis P.acidus, J.gossipifolia dan E.hirta ditemukan pada blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif, khususnya pada areal yang cenderung terbuka. Hal ini sesuai dengan karakteristik kedua jenis tersebut yaitu mudah tumbuh pada tempattempat terbuka dengan intensitas penyinaran yang cukup tinggi (Heyne 1987). 33 Jumlah jenis Jenis P.urinaria hanya ditemukan pada blok pemanfaatan intensif. Jenis ini ditemukan pada petak-petak contoh yang berada di sekitar sungai atau sumber air. Hal ini sesuai dengan karakteristik P.urinaria yang dapat tumbuh di tempat lembab pada dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter dpl (Heyne 1987). Berdasarkan habitus, tumbuhan obat yang ditemukan di TWA Madapangga dibedakan ke dalam 6 habitus yang terdiri atas pohon, perdu, herba, liana, epifit dan parasit (Gambar 12). Tumbuhan pangan berhabitus pohon ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu 38 jenis, sedangkan epifit dan parasit masing-masing hanya ditemukan 1 jenis. Bagian-bagian tumbuhan berhabitus pohon yang biasa dimanfaatkan sebagai obat sebagian besar berupa daun, kulit kayu, buah, biji dan akar. Seperti halnya pada tumbuhan pangan, pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar hutan juga dilakukan secara tradisional dan bersifat turun temurun berdasarkan pengalaman. 38 40 30 20 10 0 23 10 Pohon Perdu Herba 3 1 1 Liana Epifit Parasit Habitus Gambar 12 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus. Jumlah jenis Berdasarkan bagian yang dimanfaatkan, tumbuhan obat yang ditemukan pada kawasan TWA Madapangga dibedakan ke dalam 10 bagian yaitu daun, kulit kayu, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit buah, umbi dan seluruh bagian tumbuhan (Gambar 13). Bagian tumbuhan yang ditemukan dengan jumlah jenis pemanfaatan terbanyak yaitu bagian daun (48 jenis), kulit kayu (24 jenis) dan biji (21 jenis). Pemanfaatan bagian daun, kulit kayu dan biji dari tumbuhan obat secara berlebihan harus dihindari karena akan berpengaruh terhadap keberadaan dan kelestariannya di alam. Upaya budidaya perlu dilakukan terhadap jenis-jenis tumbuhan obat yang memiliki tingkat pemanfaatan tinggi agar dapat dimanfaatkan secara lestari. 60 50 40 30 20 10 0 48 24 21 19 17 11 8 2 2 2 Bagian yang dimanfaatkan Gambar 13 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan. 34 Jumlah jenis Berdasarkan kategori pemanfaatan, tumbuhan obat yang ditemukan pada kawasan tersebut dibedakan ke dalam 15 kelompok penyakit/penggunaan (Gambar 14). Pemanfaatan tumbuhan obat tertinggi terdapat pada kelompok penyakit kulit (42 jenis), pencernaan (38 jenis), saluran pembuangan (34 jenis), otot dan persendian (33 jenis) dan penyakit khusus wanita (30 jenis). Hal ini menunjukan bahwa kelompok-kelompok penyakit tersebut dapat diobati dengan banyak jenis tumbuhan obat. Umumnya jenis tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga memiliki lebih dari satu khasiat dalam pemanfaatannya. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihan serta harus dibarengi dengan usaha budidaya agar dapat terus dimanfaatkan dan kelestariannya tetap terjaga. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 42 38 34 33 30 24 21 19 13 12 12 11 9 8 8 Kelompok penyakit/penggunaan Gambar 14 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan kelompok penyakit/penggunaan. Daftar jenis tumbuhan obat yang ditemukan di TWA Madapangga disajikan pada Lampiran 3, sedangkan bagian yang digunakan serta pemanfaatannya disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis data kenekaragaman spesies tumbuhan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga disajikan pada Lampiran 9 sampai 11. Rekapitulasi indeks keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan seperti pada tumbuhan pangan, diketahui kekayaan jenis tumbuhan obat tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan intensif dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 10.29. Keragaman jenis tumbuhan obat tertinggi diketahui juga terdapat pada blok pemanfaatan intensif dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 3.66. Tingginya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok pemanfaatan intensif diduga akibat adanya kesesuaian antara kondisi habitat dengan karakteristik jenis-jenis tumbuhan obat yang tumbuh pada kawasan tersebut. Selain itu, blok pemanfaatan intensif merupakan bagian dari kawasan TWA Madapangga yang dikelola secara intensif untuk kepentingan wisata. Kegiatan pengelolaan tersebut dapat merubah kondisi kawasan. Terdapat jenis-jenis introduksi yang sengaja ditanam oleh pengelola untuk tujuan pengayaan jenis termasuk jenis-jenis yang berkhasiat sebagai obat. Tumbuhan obat berhabitus semak dan herba ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan jenis yang berhabitus pohon. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik semak dan herba yang dapat tumbuh baik pada kondisi habitat yang cenderung terbuka dengan 35 Jumlah jenis intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi (Abdiyani 2008). Jenis herba yang banyak ditemukan pada blok tersebut yaitu Ageratum conyzoides, C.alata, C.tora dan M.pudica. Jenis-jenis tersebut juga ditemukan melimpah pada areal-areal terbuka di Cagar Alam Tangale Gorontalo (Rugayah et al. 2009). 12 10 8 6 4 2 0 10.29 7.7 Kekayaan jenis 4.97 2.66 3.46 0.88 0.87 0.74 BP 3.66 BPT Keragaman jenis Kemerataan jenis BPI Ket:BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Perlindungan Terbatas), BPI(Blok Perlindungan Intensif) Gambar 15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga. Kekayaan dan keragaman jenis tumbuhan obat terendah terdapat pada blok perlindungan dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 4.97 dan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 2.66. Rendahnya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok perlindungan menunjukan bahwa jumlah jenis tumbuhan obat yang ditemukan pada blok tersebut sedikit (36 jenis) dibandingkan dua blok lainnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi komunitas pada blok tersebut cenderung stabil dan mendekati klimaks serta didominasi oleh jenis-jenis pohon yang cukup rapat dan relatif homogen. Komunitas yang cenderung stabil dan mendekati klimaks akan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang telah mengalami gangguan baik itu akibat bencana alam maupun aktifitas manusia. Tumbuhan obat berhabitus pohon, semak dan herba ditemukan sedikit pada blok perlindungan. Jenis-jenis tumbuhan obat berhabitus pohon yang ditemukan yaitu A.scholaris, S.ligustrina, A.spectobilis, H.tiliaceus, Aegle marmelos dan C.pentandra; sedangkan jenis semak dan herba yaitu Z.aromaticum, J.gendarussa, A.aspera, dan C.tora. Jenis-jenis semak dan herba tersebut diketahui mampu tumbuh pada tempat lembab dan ternaungi (toleran) (Heyne 1987). Kemerataan jenis tumbuhan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga cenderung tinggi dengan nilai evenness berkisar antara 0.74-0.88. Kisaran nilai evenness yang semakin mendekati angka 1 mengindikasikan komposisi penyebaran individu dari setiap jenis pada ketiga blok pengelolaan tersebut cenderung tersebar merata (tidak terdapat jenis tertentu yang mendominasi). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di kawasan TWA Madapangga mampu menyediakan berbagai kebutuhan tumbuhan. Faktor lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan seperti penyinaran, hidrologi dan kesuburan tanah diduga cukup tersedia dalam kawasan tersebut sehingga berbagai jenis tumbuhan dapat tumbuh dengan baik termasuk yang berpotensi sebagai obat. Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan obat di TWA Madapangga berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 16. 36 6 Jumlah jenis 5 4 Kekayaan jenis 3 Keragaman jenis 2 Kemerataan jenis 1 0 Pohon Tiang Pancang Semai T.bawah Epifit Liana Parasit Habitus dan tingkat pertumbuhannya Gambar 16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga. Berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya, kekayaan jenis tumbuhan obat tertinggi terdapat pada habitus pohon yaitu tingkat pancang dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 4.97; sedangkan terendah pada habitus epifit dan parasit. Keragaman jenis tertinggi juga terdapat pada tingkat pancang dan pohon dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener masing-masing 2.7 dan terendah pada habitus epifit, liana dan parasit. Kemerataan jenis tertinggi pada tingkat pohon dengan nilai evenness 0.84 dan terendah pada habitus epifit, liana dan parasit. Tingginya nilai indeks keanekaragaman spesies tumbuhan obat pada tingkat pertumbuhan pancang di TWA Madapangga menunjukan kondisi populasi tumbuhan pada kawasan tersebut cukup baik, terbukti dengan banyaknya ditemukan jenis pada tingkat permudaan. Hal ini diduga juga dipengaruhi oleh kesesuaian kondisi habitat dengan karakteristik jenis-jenis yang tumbuh pada kawasan tersebut. Kondisi tersebut memungkinkan permudaan tumbuhan berlangsung baik karena berbagai kebutuhan yang dibutuhkan cukup tersedia (Arif 1997). Selain itu, terbatasnya aktifitas manusia yang dilakukan dalam kawasan tersebut diduga juga sangat mempengaruhi keberadaan tumbuhan dan tingkat pertumbuhannya. Kawasan TWA Madapangga diketahui sangat dijaga keaslian dan kelestariannya. Pengelola ketat mengawasi pihak-pihak luar yang bermaksud melakukan kegiatan yang dapat merubah atau merusak kondisi kawasan tersebut. Dominansi Jenis Peranan suatu jenis dalam suatu komunitas dapat dilihat dari besarnya indeks nilai penting (INP), dimana jenis yang mempunyai INP tertinggi merupakan jenis dominan. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan jenis yang lain. Suatu jenis dikatakan berperan jika memiliki INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih besar dari 15% (Sutisna 1981). Secara ekologi dapat dikemukakan bahwa indeks nilai penting (INP) yang diperlihatkan oleh setiap jenis merupakan indikasi bahwa jenis yang bersangkutan dianggap dominan di 37 tempat tersebut jika mempunyai nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi lebih tinggi dibandingkan jenis lain (Soerianegara & Indrawan 1988). Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan pangan dan obat di seluruh lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 12 sampai 13. Rekapitulasi lima jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki INP tertinggi secara keseluruhan di TWA Madapangga disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8 Rekapitulasi lima jenis tumbuhan pangan yang memiliki INP tertinggi secara keseluruhan di TWA Madapangga Habitus danTingkat Pertumbuhannya Pohon Tiang Pancang Semai Tumbuhan bawah Liana Jenis INP(%) Protium javanicum 79.08 Shcleicera oleosa 73.27 Ziziphus mauritiana 27.45 Syzygium cumini 26.77 Tamarindus indica 18.17 Ziziphus mauritiana 96.69 Protium javanicum 81.97 Shcleicera oleosa 71.55 Ficus ribes 9.20 Aleurites moluccana 6.19 Protium javanicum 64.40 Ziziphus mauritiana 47.05 Shcleicera oleosa 37.09 Psidium guajava 32.17 Glyricidia maculata 28.23 Aleurites moluccana 35.79 Protium javanicum 29.30 Shcleicera oleosa 25.33 Moringa oleifera 23.50 Ziziphus mauritiana 19.10 Lantana camara 59.41 Ocimum sanctum 55.96 Amorphophallus variabilis 41.37 Amaranthus spinosus 17.79 Solanum indicum 10.02 Momordica charantia 200.00 38 Tabel 9 Rekapitulasi lima jenis tumbuhan obat yang memiliki INP tertinggi secara keseluruhan di TWA Madapangga Habitus danTingkat Pertumbuhannya Jenis INP(%) Protium javanicum 49.72 Shcleicera oleosa 46.10 Alstonia scholaris 29.57 Ficus benjamina 26.89 Ziziphus mauritiana 17.48 Ziziphus mauritiana 76.40 Protium javanicum 64.69 Shcleicera oleosa 56.48 Lagerstroemia speciosa 21.34 Alstonia scholaris 12.44 Alstonia spectabilis 90.08 Protium javanicum 30.48 Ziziphus mauritiana 22.23 Shcleicera oleosa 17.59 Strychnos ligustrina 17.12 Alstonia spectabilis 65.28 Protium javanicum 23.62 Shcleicera oleosa 21.38 Strychnos ligustrina 20.04 Alstonia scholaris 10.25 Zingiber aromaticum 47.12 Achyanthes aspera 19.95 Justicia gendarussa 19.36 Lantana camara 18.75 Amorphophallus variabilis 17.90 Epifit Asplenium nidus 200.00 Liana Momordica charantia 96.90 Piper retrofractum 85.71 Tinospora crispa 17.39 Dendropthoe sp. 200.00 Pohon Tiang Pancang Semai Tumbuhan bawah Parasit Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diatas, diketahui tumbuhan pangan berhabitus pohon yang ditemukan mendominasi pada kawasan TWA Madapangga yaitu T.indica, Z.mauritiana, S.oleosa, P.javanicum, P.guajava, S.cumini, dan A.moluccana sedangkan tumbuhan obat terdiri atas A.scholaris, S.ligustrina, A.spectabilis, L.speciosa dan J.curcas (Gambar 17). Jenis-jenis tersebut ditemukan hampir diseluruh petak-petak contoh (80%). Hal ini mengindikasikan jenis-jenis tersebut memiliki karakteristik tahan terhadap kekeringan dan mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan (Heyne 1987). Jenis T.indica, Z.mauritiana, S.oleosa, P.javanicum dan S.cumini juga banyak ditemukan pada kawasan-kawasan konservasi lain di daerah Nusa Tenggara Barat. Jenis 39 S.ligustrina hanya ditemukan pada tingkat pancang dan semai, namun tidak ditemukan pada tingkat pohon dan tiang. Hal ini diduga terjadi karena adanya kegiatan ilegal logging yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan pada awal reformasi. Jenis ini banyak ditebang untuk diambil kayunya sebagai bahan pembuatan simplisia obat yang kemudian dijual ke pulau Jawa. Akibatnya kondisi populasi jenis S.ligustrina semakin menurun dan sekarang jarang dijumpai pada tingkat pohon. Selain itu jenis ini juga diketahui memiliki regenerasi yang lambat (BKSDA NTB 2010). Jenis-jenis budidaya yang tergolong tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga yaitu A.occidentale, A.moluccana, A.squamosa, M.oleifera, C.aurantifolia, A.communis dan L.acidissima. c b a d Gambar 16 Jenis-jenis pohon yang ditemukan mendominasi di TWA Madapangga (a) S.oleosa, (b) S.cumini, (c) S.ligustrina dan (d) T.indica. Tumbuhan pangan berhabitus semak dan herba yang ditemukan mendominasi antara lain S.indicum, A.spinosus, P.oleracea, O.sanctum dan L.camara. Jenis-jenis tersebut ditemukan pada areal yang cenderung terbuka dan bagian pinggir kawasan. Jenis L.camara dan S.indicum juga ditemukan mendominasi pada areal-areal terbuka di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cyclops Papua (Uji 2005), Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka Margasatwa Lambusango Pulau Buton Sulawesi Tenggara (Uji & Windadri 2007). Tumbuhan obat berhabitus semak dan herba yang ditemukan mendominasi yaitu Z.aromaticum, A.aspera, J.gendarussa, S.indicum dan A.variabilis (Gambar 18). Jenis-jenis tersebut ditemukan tumbuh pada areal-areal cenderung yang ternaungi. Jenis J.gendarussa dan Z.aromaticum juga banyak dijumpai dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Cagar Alam Tangale Gorontalo (Rugayah et al. 2009). a b c Gambar 18 Jenis-jenis herba yang mendominasi di TWA Madapangga (a) Z.aromaticum, (b) J.gendarussa dan (c) S.indicum. Tumbuhan pangan berhabitus liana (non woody) yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu jenis M.charantia, sedangkan tumbuhan obat terdiri atas T.crispa 40 dan P.retrofractum (Gambar 19). Jenis M.charantia dan T.crispa sering dijumpai pada areal yang terbuka maupun yang ternaungi. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungan di TWA Madapangga. Menurut Jacob (1988) dan Rukmana (1997), kepadatan dari jenis M.charantia tergantung dari kondisi habitatnya. Pada hutan-hutan yang tidak terganggu, jenis ini penyebarannya sangat bervariasi dan dapat dijumpai pada berbagai tipe vegetasi. a b c Gambar 19 Jenis-jenis liana yang mendominasi di TWA Madapangga (a) M.charantia, (b) T.crispa dan (c) P.retrofractum. Tumbuhan obat berhabitus epifit hanya ditemukan A.nidus, sedangkan parasit hanya ditemukan jenis Dendropthoe sp. Pada kawasan TWA Madapangga, tumbuhan inang dari A.nidus dan Dendropthoe sp. yaitu F.benjamina, A.scholaris, Mangifera sp., C.pentandra, A.marmelos dan B.racemosa. Tumbuhan inang dari kedua jenis ini di Kebun Raya Purwodadi yaitu dari famili Anacardiaceae (M.indica), Bombacaceae (C.pentandra), Lecythidaceae (B.asiatica), Moraceae (F.fistulosa), Rutaceae (A.marmoles), Verbenaceae (Tectona grandis L.F.) dan Apocynaceae (Kopsia arborea Blume.) (Sunaryo et al. 2006). Jenis Dendropthoe sp. ditemukan hanya enam individu di lokasi penelitian. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh penyebarannya yang hanya diketahui dibantu oleh burung (ornithokori). Apabila burung memakan buah Dendropthoe sp. dan bijinya menempel pada dahan pohon yang sesuai, kemungkinan akan berkecambah dan tumbuh. Menurut Van Leeuwen (1954) dan Pitojo (1996), penyebaran biji-biji dari jenis Dendropthoe sp. diketahui dilakukan oleh burungburung dari famili Dicacidae khususnya dari jenis Dicaeum spp. atau burung cabe. Penyebarannya juga sangat terbantu oleh sifat biji yang dapat melekat karena mengandung zat kimia viscin. Dominasi jenis-jenis di atas diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada masing-masing blok yang relatif sesuai dengan karakteristik jenis-jenis dominan tersebut sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi kawasan TWA Madapangga. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis dominan tersebut mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi terhadap lingkungan daripada jenis lainnya pada tempat tumbuh yang sama. Setiadi (2005) juga menyatakan bahwa kemampuan suatu jenis untuk hidup pada suatu habitat sangat tergantung pada kemampuannya beradaptasi terhadap kondisi lingkungan di tempat tersebut. Lingkungan sangat berperan dalam menyeleksi jenis untuk dapat bertahan pada suatu habitat. 41 Pola Sebaran Berdasarkan analisis pola sebaran yang dilakukan menunjukan bahwa tumbuhan pangan dan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga sebagian besar (76.32%) memiliki pola sebaran mengelompok (Lampiran 14). Pola sebaran yang mengelompok adalah pola yang paling umum dijumpai di alam sebagai akibat dari adanya faktor pembatas terhadap keberadaan jenis atau populasi tertentu (Ludwig & Reynold 1988). Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang jarang sekali seragam walaupun dalam areal yang sempit (Indriyanto 2006). Selain faktor lingkungan, pola sebaran mengelompok juga dipengaruhi oleh karakteristik jenis-jenis tumbuhan yang bereproduksi dengan biji atau dengan rimpang yang menghasilkan anakan dekat dengan induknya (Barbour et al. 1987). Pola sebaran seragam juga terjadi pada beberapa jenis tumbuhan pangan dan obat di TWA Madapangga. Pola sebaran seragam dihasilkan dari interaksi negatif antar individu seperti adanya kompetisi terhadap makanan dan ruang (Ludwig & Reynolds 1988). Pola sebaran seragam juga diduga terjadi karena pengaruh kelerengan dan adanya peranan satwa sebagai agen penyebar biji. Kelerengan yang tinggi dengan penutupan tajuk yang tidak terlalu rapat memungkinkan buah/biji yang telah tua dan kering tertiup oleh angin sebelum jatuh ke tanah sehingga berada jauh dari pohon induknya. Penyebaran buah/biji yang dilakukan oleh satwa terjadi pada spesies-spesies yang merupakan pakan bagi satwa. Penyebaran biji yang dilakukan oleh satwa memberikan keuntungan ekologis bagi tumbuhan. Biji yang tersebar mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk terbebas dari persaingan yang selalu terjadi di bawah naungan pohon induk. Hal tersebut memberikan kesempatan bagi jenis tumbuhan untuk menyebar ke habitathabitat baru (Peter 1994). Jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki pola sebaran seragam disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Rekapitulasi jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki pola sebaran seragam di TWA Madapangga Habitus Pohon Nama ilmiah Pola sebaran Ficus benjamina Phyllanthus acidus Citrus hystrix Seragam Seragam Seragam Ceiba pentandra Limonia acidissima Spondias dulcis Swietenia mahagoni Aegle marmelos Melia azederach Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Epifit Asplenium nidus Seragam Liana Piper retrofractum Momordica charantia Seragam Seragam Parasit Dendropthoe sp. Seragam 42 Pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga juga ditemukan jenisjenis tumbuhan pangan dan obat yang masing-masing hanya dijumpai 1 individu, sehingga pola sebarannya tidak dapat dianalisa karena tidak dapat menggambarkan kondisi penyebarannya. Jenis-jenis yang ditemukan hanya 1 individu tersebut yaitu A.bilimbi, A.catechu, A.communis, Celasio argentea dan P. urinaria. Kesamaan Komunitas Hasil analisis data kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat antar blok pengelolaan di TWA Madapangga disajikan pada Gambar 20. Nilai IS 0,8 0,6 0.69 0.64 0.64 0.59 0,4 Tumbuhan Obat Tumbuhan Pangan 0.29 0.29 0,2 0 BP - BPT BP -BPI BPT - BPI Ket: BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Pemanfaatan Terbatas), BPI(Blok Pemanfaatan Intensif) Gambar 20 Indeks kesamaan komunitas antar blok pengelolaan di TWA Madapangga. Kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas cukup tinggi dengan nilai IS yaitu 0.69 dan 0.59. Kecenderungan yang sama terjadi pada komunitas blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif dengan nilai IS yaitu masing-masing 0.64. Sebaliknya, nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan intensif rendah dengan nilai IS masing-masing 0.29. Nilai IS tumbuhan obat tertinggi terdapat pada blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas yaitu 0.69. Kondisi ini menunjukan adanya kecenderungan kesamaan jenis tumbuhan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas. Hal ini diduga karena kondisi habitat pada blok perlindungan dan blok pemanfaatan terbatas tidak jauh berbeda sehingga jenis-jenis yang sama dapat beradaptasi dengan baik. Kedua blok tersebut memiliki kondisi vegetasi yang cukup rapat dan sebagian besar arealnya curam dengan kelerengan 25-40% dan ketinggian antara 400-600 m dpl. Jenis-jenis pohon yang sama yang ditemukan pada kedua blok tersebut yaitu S.oleosa, P.javanicum, A.spectabilis, S.ligustrina, Z.mauritiana dan A.scholaris; sedangkan jenis semak dan herba yaitu Z.aromaticum, A.aspera, J.gendarussa, A.variabilis dan L.camara. Nilai IS tumbuhan pangan tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif yaitu 0.64. Kondisi ini juga menunjukan adanya kecenderungan kesamaan jenis tumbuhan pangan antar blok pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif. Hal ini diduga juga disebabkan kondisi habitat pada kedua blok tersebut hampir mirip sehingga jenis-jenis yang sama dapat tumbuh dengan baik. Umumnya areal pada blok pemanfaatan intensif dan sebagian blok pemanfaatan terbatas cenderung terbuka dan relatif datar dengan 43 kelerengan kurang dari 20%. Jenis-jenis pohon yang sama yang ditemukan pada kedua blok tersebut yaitu S.oleosa, P.javanicum, Z.mauritiana, A.moluccana, P.guajava, L.leucocephala dan G.maculata; sedangkan jenis semak dan herba yaitu L.camara, M.pudica, A.variabilis dan S.indicum. Kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat terendah terdapat pada blok perlindungan dan blok pemanfaatan intensif dengan nilai IS masing-masing yaitu 0.29. Rendahnya nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar kedua blok tersebut mengindikasikan rendahnya tingkat kesamaan jenis-jenis tumbuhan yang ada didalamnya. Hal ini diduga karena adanya variasi tanggap yang berbeda dari setiap jenis tumbuhan terhadap kondisi habitatnya. Keanekaragaman Jenis Berdasarkan Pengetahuan Lokal Masyarakat Tumbuhan Pangan Hasil analisis data wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat Desa Ndano dan Monggo, diketahui bahwa tumbuhan pangan yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga dikelompokkan ke dalam 3 kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 13 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai ekonomi (sudah dijual ke pasar) sebanyak 10 jenis, serta jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 13 jenis. Daftar jenis-jenis tumbuhan pangan yang termasuk dalam tiga kategori tersebut disajikan pada Tabel 11-13. Tabel 11 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang jarang dimanfaatkan (minor) oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga Amaranthus spinosus Bagian yang dimanfaatkan Daun dan batang Celasio argentea Daun Dracontomelon dao Daun dan buah Jenis Lokasi pemungutan Sayuran Sawah dan kebun Sayuran Sayuran dan buahbuahan Sawah dan kebun Hutan sekitar TWA Sayuran Kebun dan sekitar rumah Kebun dan sawah Daun dan buah Daun muda dan buah Seluruh bagian tanaman Bumbu masak Sayuran dan buahbuahan Hutan sekitar TWA Kebun dan hutan sekitar TWA Sayuran Sawah dan kebun Leucaena leucocephala Biji Lalapan Talinum triangulare Amorphophallus variabilis Daun Sayuran Sayuran dan sumber karbohidrat Lantana camara Buah Buah-buahan Solanum indicum Buah Lalapan Glyricidia maculata Celasio cristata Citrus hystrix Ficus ribes Portulaca oleracea Daum muda dan bunga Daun Pemanfaatan Batang dan umbi Sayuran Kebun dan hutan sekitar TWA Sawah dan kebun Sawah, kebun dan hutan sekitar TWA Kebun, sekitar rumah dan hutan sekitar TWA Sawah, kebun dan hutan sekitar TWA 44 Tumbuhan pangan seperti A.spinosus, C.argentea, C.cristata dan P.oleracea hanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan sebagai sayuran pada musim hujan, dimana jenis-jenis tersebut tumbuh melimpah. Terutama ketika mereka tinggal di kebun atau di ladang untuk menjaga tanaman pertaniannya. Jenis-jenis seperti D.dao, F.ribes, A.variabilis, S.indicum dan T.triangulare dimanfaatkan oleh masyarakat pada musim kemarau untuk menghadapi kondisi kekurangan pangan. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut sebagai sayur yaitu daun mudanya. Jenis A.variabilis dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat yaitu umbinya, sedangkan batangnya sebagai sayur. Rugayah et al. (2009) menyatakan bahwa masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Tangale Gorontalo juga memanfaatkan jenis A.spinosus, S.indicum, P.oleracea dan D.dao sebagai bahan pangan. Daun muda dari jenis-jenis A.spinosus, P.oleracea dan D.dao dimanfaatkan sebagai sayur. Buah dari jenis S.indicum dimanfaatkan sebagai campuran sambal mentah dan lalapan. Buah matang dari jenis D.dao dapat dimakan sebagai buah segar. Bagi masyarakat sekitar, kawasan TWA Madapangga merupakan penyedia sumber plasma nutfah tumbuhan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan-kegiatan pengelolaan diharapkan dapat mengakomodir akses pemanfaatan tradisional oleh masyarakat terhadap jenis-jenis tertentu yang dapat dimanfaatkan secara lestari. Hal ini tentu harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat oleh pengelola kawasan. Peran pengelola juga sangat dibutuhkan dalam memotivasi masyarakat untuk melakukan konservasi, dengan melibatkannya dalam berbagai kegiatan pengelolaan kawasan. Tabel 12 Daftar sepuluh (10) jenis tumbuhan pangan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga Jenis Tamarindus indica Bagian yang dimanfaatkan Daun muda dan daging buah Pemanfaatan Lokasi pemungutan Sayur dan bumbu masak Kebun dan hutan sekitar TWA Kebun dan sekitar rumah Kebun dan hutan sekitar TWA Syzygium aqueum Buah Buah-buahan Psidium guajava Buah Buah-buahan Anacardium occidentale Daun muda dan buah Lalapan dan buahbuahan Citrus aurantifolia Daun dan buah Bumbu masak Moringa oleifera Daun, bunga dan buah Sayuran Aleurites moluccana Buah Bumbu masak Mangifera sp. Buah Buah-buahan Momordica charantia Daun dan buah Sayuran Annona squamosa Buah Buah-buahan Kebun Sekitar rumah dan kebun Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Kebun Tumbuhan pangan seperti T.indica, M.charantia, M.oleifera dan P.guajava diketahui tumbuh secara alami dan banyak ditemukan baik di kebun, ladang, hutan sekitar desa maupun di dalam kawasan TWA Madapangga. Apabila jenis- 45 jenis tersebut tumbuh pada kebun atau ladang masyarakat, maka pemilik kebun atau ladang itulah yang berhak memanfaatkannya. Jenis S.aqueum, A.occidentale, C.aurantifolia, A.moluccana, Mangifera sp. dan A.squamosa merupakan jenis budidaya yang sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga. Jenis-jenis tersebut dibudidayakan di kebun, ladang maupun pekarangan telah memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebagian besar hasil panen akan di jual ke pasar atau pembeli yang mendatangi kebun atau ladang untuk langsung memanennya sendiri. Hasil penelitian Rahayu & Prawiroatmodjo (2005), pada masyarakat Lampeapi Pulau Wawoni Sulawesi Tenggara juga menunjukan bahwa jenis-jenis A.squamosa, A.occidentale, S.aqueum, Mangifera sp. dan C.aurantifolia merupakan jenis yang telah banyak dibudidayakan di pekarangan dan sekitar pemukiman. Jenis-jenis tersebut umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan masyarakat secara pribadi. Namun, jika hasil panen melimpah maka dijual ke pasar. Tabel 13 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang berpotensi untuk dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga Jenis Bagian yang dimanfaatkan Averrhoa bilimbi Buah Ziziphus mauritiana Daun muda dan buah Phyllanthus acidus Buah bumbu masak, lalapan dan sirup penyegar Buah matangnya sebagai buah segar, sari buah, manisan serta daunnya muda sebagai sayur Buah segar, rujak dan asinan Canna edulis Umbi Sumber karbohidrat Syzygium cumini Buah Buah segar, sari buah dan manisan Limonia acidissima Buah Spondias dulcis Daun muda dan buah Shcleicera oleosa Daun muda dan buah Protium javanicum Daun muda dan buah Annona muricata Buah Annona squamosa Buah Artocarpus communis Buah Sesbania grandiflora Daun muda dan bunga Potensi pemanfaatan Buah segar, rujak, dodol, manisan dan sirup Buah matangnya dimakan segar, selai, jeli, sari buah. buah mentah (rujak dan acar) serta daun mudanya sebagai sayur dan lalapan Buah matangnya sebagai buah segar dan manisan serta daun mudanya sebagai sayur Buah matangnya sebagai buah segar dan manisan serta daun muda sebagai sayur, lalapan dan campuran sambal mentah Buah segar, jus, sirup, dodol, dan sebagainya Buah segar, jus, sirup, dodol, dan sebagainya Sumber karbohidrat dan penganan seperti gorengan, keripik, kue dan sebagainya Sayuran dan lalapan Lokasi pemungutan Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Sekitar rumah Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Kebun dan hutan sekitar TWA Kebun dan hutan sekitar TWA Sekitar rumah dan kebun Sekitar rumah dan kebun Sekitar rumah dan kebun Sekitar rumah dan kebun 46 Tumbuhan pangan pada Tabel 13 merupakan jenis multi guna. Selain berpotensi sebagai bahan pangan yaitu bagian buah dan daun mudanya, jenis-jenis tersebut juga berkhasiat sebagai obat yang dapat mengobati berbagai macam penyakit. Jenis-jenis yang diketehui tumbuh secara alami yaitu Z.mauritiana, P.guajava, S.cumini, S.dulcis, S.oleosa dan P.javanicum. Keberadaan jenis-jenis tersebut dikhawatirkan menjadi terancam dengan semakin berkurangnya luasan hutan saat ini, bahkan bisa menyebabkan kelangkaan dan akhirnya punah kalau tidak disertai dengan usaha budidaya. Oleh karena itu, pengelola kawasan diharapkan mampu mengarahkan dan memotivasi masyarakat sekitar kawasan untuk mulai membudidayakan jenis-jenis tersebut pada lahan miliknya. Jenis-jenis yang mulai dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan miliknya yaitu jenis A.bilimbi, P.acidus, C.edulis, L.acidissima, A.muricata, A.squamosa, A.communis dan S.grandiflora. Kegiatan budidaya terhadap jenis-jenis tersebut, selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga merupakan salah satu wujud aksi konservasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut. Jenis-jenis tersebut ditanam di sekitar pekarangan, kebun maupun ladang sehingga apabila sewaktu-waktu dibutuhkan mereka dapat dengan mudah memperolehnya. Selain untuk pemanfaatan sendiri, sebagian masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga mengumpulkan tumbuhan pangan tersebut untuk dijual ke pasar guna menambah penghasilan keluarga seperti buah dari jenis T.indica, Z.mauritiana, P.guajava, S.cumini, L.acidissima, A.communis, A.occidentale, S.dulcis, M.oleifera dan C.aurantifolia serta sayur dan lalapan dari daun muda jenis S.oleosa, P.javanicum, M.charantia dan M.oleifera (Gambar 21). a e b c d f g h Gambar 21 Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dijual ke pasar (a) L.acidissima, (b) P.oleracea, (c) A.communis, (d) daun S.oleosa, (e) S.cumini, (f) Z.mauritiana, (g) M.charantia, (h) M.oleifera. Kegiatan pemungutan jenis-jenis tersebut biasanya dilakukan pada musim kemarau yang disesuaikan dengan musim berbuah dari jenis-jenis tersebut. Lokasi pemungutannya yaitu di kebun atau tegalan mereka yang berada di sekitar kawasan TWA Madapangga. Namun untuk buah dari T.indica, Z.mauritiana, P.guajava, dan S.cumini serta daun muda dari jenis S.oleosa, dan P.javanicum kadang-kadang mereka pungut dalam kawasan. Sebagian besar hasil yang 47 diperoleh dijual ke pasar yang tidak jauh dari kawasan TWA Madapangga yaitu pasar tradisional Sila. Apabila hasil pungutan yang diperoleh cukup banyak maka akan dijual kepada tengkulak di pasar tradisional Bima. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan dapat mencapai Rp 30 000,- tiap kali pemungutan. Keuntungan tersebut dapat berkurang jika banyak masyarakat lain juga ikut memungut. Tumbuhan Obat Hasil analisis data wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat Desa Ndano dan Monggo, diketahui bahwa tumbuhan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga juga dikelompokkan ke dalam 3 kategori pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 57 jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai ekonomi (sudah dijual ke pasar) sebanyak 12 jenis, serta jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan sebanyak 8 jenis. Tumbuhan obat yang jarang dimanfaatkan (minor) sebagian besar berhabitus semak dan herba yaitu 30 jenis, 22 jenis berhabitus pohon, masingmasing 2 jenis epifit dan liana serta 1 jenis parasit. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut disesuaikan dengan penyakit yang diderita dan berdasarkan pengetahuan tradisional yang sifatnya turun temurun. Masyarakat sekitar pada dua desa penelitian tidak banyak yang memanfaatnya, kecuali bagi tabit dan dukun. Hal ini disebabkan karena jenis-jenis minor tersebut tidak dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit-penyakit yang umum diderita oleh masyarakat. Jenis-jenis tersebut dapat ditemukan tumbuh liar baik di sekitar pekarangan, sawah, kebun maupun di kawasan TWA Madapangga dan sekitarnya. Rekapitulasi jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga disajikan pada Tabel 14. Jenis-jenis pada Tabel 14 diketahui mempunyai lebih dari satu khasiat, oleh karena itu tingkat pemanfaatannya cukup tinggi. Masyarakat sekitar kawasan mendapatkan jenis-jenis tersebut dari kebun, ladang dan areal hutan sekitar tempat tinggal mereka termasuk dari dalam kawasan TWA Madapangga. Jenis-jenis tumbuhan obat yang biasa diperoleh dari dalam kawasan seperti S.ligustrina, P.retrofractum, A.scholaris dan Z.aromaticum. Jenis S.ligustrina dan P.retrofractum akhir-akhir ini sudah jarang dijumpai. Kedua jenis tersebut hanya bisa ditemukan pada kawasan hutan yang kondisinya masih bagus seperti kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung. Khusus di TWA Madapangga, S.ligustrina hanya ditemukan pada tingkat pancang dan semai. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat pada awal era reformasi (1998-2002). Usaha budidaya yang dilakukan oleh pengelola kawasan maupun masyarakat terhadap jenis tersebut belum ada sampai saat ini. Jenis-jenis seperti A.moluccana, T.indica, A.catechu dan P.guajava juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Dayak Tunjung Kalimantan Timur (Setyowati 2010). Masyarakat Suku Sasak di Lombok Barat juga diketahui memanfaatkan jenis A.scholaris yaitu getah batangnya sebagai obat diare, rebusan kulit batang sebagai tonikum dan obat haid tidak lancar pada wanita. Jenis J.curcas daunya dimanfaatkan sebagai obat luka, obat cacing dan perut kembung (Riswan & Andayaningsih 2008). 48 Selain untuk pemanfaatan sendiri, sebagian masyarakat mengumpulkan tumbuhan obat tersebut untuk dijual ke pasar guna menambah penghasilan keluarga seperti buah dari jenis S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica, A.moluccana, dan C.aurantifolia serta kulit kayu dari jenis A.scholaris. Kegiatan pemungutan tersebut biasanya dilakukan pada musim kemarau yang disesuaikan musim berbuah jenis-jenis tersebut. Tumbuhan obat yang diperoleh biasanya dijual ke pasar tradisional seperti halnya yang mereka lakukan terhadap tumbuhan pangan hutan yaitu pasar tradisional Sila dan Bima. Terutama untuk jenis S.ligustrina dan P.retrofractum, pada musim berbuah keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil penjualannya dapat mencapai Rp 50 000,- tiap kali pemungutan. Tabel 14 Daftar sepuluh (12) jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga Kabupaten Bima Bagian yang dimanfaatkan Daun muda kulit batang dan daging buah Kelompok penyakit/penggunaannya Pencernaan, khusus wanita, mulut, perawatan rambut, muka dan kulit serta tonikum Strychnos ligustrina Daun, buah kult batang dan kayu Malaria, pencernaan, kulit, serta otot dan persendian Tinospora crispa Batang Malaria, pencernaan dan sakit kepala dan demam Piper retrofractum Daun, buah dan akar Perawatan kehamilan dan persalinan, pencernaan, khusus wanita serta tonikum Psidium guajava Daun,buah dan kulit batang Pencernaan, khusus wanita serta tonikum Jatropha curcas Daun segar, getah dan biji Mengobati luka, kulit dan gigi Jenis Tamarindus indica Achyranthes aspera Daun,biji dan akar Aleurites moluccana Daun,bunga, buah, biji dan kulit batang Zingiber aromaticum Rimpang Areca catechu Biji,daun dan kulit buah (sabut) Alstonia scholaris Hibiscus tiliaceus Daun,kulit dan akar Daun,bunga, akar dan kulit batang Malaria, pencernaan, khusus wanita, penawar racun, sakit kepala dan demam serta saluran pembuangan Pencernaan, khusus wanita, kulit, mulut, sakit kepala dan demam serta perawatan rambut, muka dan kulit Malaria, pencernaan, saluran pembuangan serta perawatan kehamilan dan persalinan Khusus wanita, kulit,gigi, pencernaan, saluran pembuangan serta perawatan kehamilan dan persalinan Pencernaan, kulit, saluran pembuangan serta perawatan kehamilan dan persalinan Pencernaan, saluran pembuangan, khusus wanita serta otot dan persendian Lokasi pemungutan Kebun dan hutan sekitar TWA Hutan sekitar dan kawasan TWA Kebun dan hutan sekitar TWA Hutan sekitar dan kawasan TWA Kebun dan hutan sekitar TWA Sekitar rumah dan kebun Sekitar rumah dan kebun Kebun dan hutan sekitar TWA Hutan sekitar dan kawasan TWA Sekitar rumah, sawah dan kebun Hutan sekitar dan kawasan TWA Sekitar rumah,kebun dan hutan sekitar TWA 49 Jenis tumbuhan obat di TWA Madapangga dan sekitarnya yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu S.ligustrina, P.retrofractum, T.crispa, A.scholaris, A.catechu, T.indica dan A.moluccana. Jenis-jenis tersebut juga merupakan jenis yang memiliki lebih dari satu khasiat dan masih tumbuh secara alami dan belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Pemanfaatan yang cukup tinggi tanpa dibarengi dengan usaha budidaya, dapat menyebabkan jenisjenis tersebut sulit diperoleh bahkan dapat punah. Teknik budidaya yang sesuai diharapkan dapat menunjang kegiatan konservasi dan pemanfaatannya. Beberapa jenis tumbuhan obat yang di jual ke pasar oleh masyarakat sekitar kawasan hutan disajikan pada Gambar 22. c b a d e Gambar 22 Jenis-jenis tumbuhan obat yang dijual ke pasar (a) T.indica, (b) S.ligustrina dan A.moluccana, (c) A.catechu, (d) P.retrofractum, (e) kulit kayu A.scholaris. Jenis-jenis Tumbuhan Pangan dan Obat Potensial Tumbuhan potensial yang dimaksud adalah spesies tumbuhan yang ada dalam kawasan TWA Madapangga yang menurut studi literatur memiliki berbagai potensi untuk dimanfaatkan tetapi saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat sekitar. Kriteria yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat potensial tersebut yaitu: (1) jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat tersebut dapat ditemukan di kawasan TWA Madapangga dan sekitarnya, (2) teknik perbanyakannya sudah diketahui, (3) memiliki nilai ekonomi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan menjadi sebuah usaha baik skala kecil/rumahan maupun industri, dan (4) relevan dengan kebutuhan masyarakat sekitar kawasan, masyarakat Bima serta masyarakat Indonesia umumnya. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa jenis tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan berpotensi untuk dikembangkan: 50 C.edulis merupakan tumbuhan tahunan dari famili cannaceae yang tumbuh berumpun dan menghasilkan rhizoma/umbi yang mengandung pati. Nama lokal jenis ini di Bima adalah kalodana. Umbi C.edulis dapat dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat setelah dikukus dan dibuat tepung untuk berbagai macam pengaman yang bergizi. Jenis ini cukup potensial sebagai sumber karbohidrat yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman pangan pokok (Margono et al. 1993). Jenis C.edulis di TWA Madapangga ditemukan pada blok pemanfaatan intensif yaitu pada petak-petak contoh yang berdekatan dengan sumber air. Jenis ini diketahui tahan terhadap naungan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan iklim sehingga mudah dikembangkan termasuk di TWA Madapangga dan sekitarnya. A.communis merupakan tumbuhan multi guna dari famili Moraceae. Nama lokal jenis ini di Bima adalah karara. Jenis berpotensi sebagai penghasil buah dan kayu yang bernilai ekonomi. Buah dari jenis ini dapat memberi kontribusi terhadap upaya global dalam menjamin ketahanan pangan karena mengandung gizi dan kalori yang tinggi (Adinugraha & Kartikawati 2004). Dalam bidang kehutanan, A.communis adalah salah satu jenis pohon yang dipilih dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Jenis ini di TWA Madapangga ditemukan pada blok pemanfaatan intensif yaitu pada petak-petak contoh yang berada di bagian pinggir kawasan, yang diduga merupakan salah satu jenis yang ditanam dalam usaha pengkayaan jenis pada kawasan tersebut. A.variabilis merupakan tumbuhan herba tahunan dari famili Araceae yang toleran terhadap naungan dan dapat beradaptasi pada berbagai kondisi iklim. Nama lokal jenis ini di Bima adalah kamaja. Pemanfaatan jenis ini telah lama dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Umbi Jenis ini bermanfaat sebagai sumber karbohidrat karena mengandung pati. Umbi dapat dikonsumsi setelah dikukus dan dibuat tepung untuk berbagai penganan seperti kue basah, kue kering, dan sebagainya. Daun muda dan bunga dari jenis ini sering dimanfaatkan masyarakat sekitar hutan sebagai sayur (Utomo & Antarlina 1997). A.variabilis di TWA Madapangga dapat ditemukan pada ketiga blok pengelolaan. Jenis ini dapat dikembangkan menjadi salah satu alternatif dalam usaha penganekaragaman bahan pangan, karena mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek yang menjanjikan untuk usaha kecil maupun industri. S.oleosa merupakan jenis dari famili Sapindaceae ditemukan tumbuh di daratan rendah yang beriklim kering sampai ketinggian 600 m dpl. Jenis ini mampu hidup pada suhu maksimum 35-47.5oC dan suhu minimum -2,5oC. S.oleosa tumbuh pada tanah kering hingga tanah yang berawa (Hanum & van der Maesen 1997). Nama lokal jenis ini di Bima adalah sambi. Di daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, jenis ini mudah dijumpai karena pada awalnya ditanam sebagai tanaman penghijauan yang cocok untuk daerah-daerah kering. S.oleosa merupakan jenis yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Bima sebagai jenis multi guna antara lain kulit kayunya digunakan sebagai obat kudis dan penyakit kulit lainnya, daun muda dimanfaatkan sebagai sayur, buahnya yang matang dapat dimakan segar, dibuat manisan maupun asinan. Di India, air perasan dari kulit kayu kesambi berkhasiat sebagai obat penyakit kuning, penyakit tulang dan persendian, penyakit kulit dan radang telinga (Heyne 1987; Mohanta et al. 2006; Rout et al. 2009). 51 P.javanicum merupakan salah satu jenis dari famili Burseraceae. Jenis ini biasa ditanam untuk tujuan reboisasi dan rehabilitasi lahan. P.javanicum juga diketahui sebagai jenis yang potensial sebagai penghasil alat perkakas rumah tangga (Soekotjo 2002). Nama lokal jenis ini di Bima adalah loa. Masyarakat Bima umumnya memanfaatkan daun mudanya sebagai lalapan, campuran sambal mentah dan sayur sedangkan buahnya yang matang dapat dimakan segar, dibuat manisan dan asinan. Heyne (1987) juga melaporkan bahwa daun muda ketimus dapat dijadikan sayur, juga sebagai obat sakit perut dan obat batuk. Buahnya yang masak dapat dimakan dengan rasa manis dan agak asam. S.dulcis merupakan jenis yang berasal dari famili Anacardiaceae. S.dulcis berasal dari Asia selatan dan Asia tenggara serta telah tersebar ke seluruh daerah tropik. Di Jawa, jenis ini hanya dibudidayakan di dataran rendah dan daerah pengunungan rendah terutama dibagian barat. S.dulcis memiliki buah yang apabila telah matang rasanya lezat (Heyne 1987). Nama lokal jenis ini di Bima adalah kedondo. Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan Bima umumnya memanfaatkan buah mentahnya sebagai rujak dan buah matang dapat dimakan segar. Widyastuti et al. (1993) juga menyatakan bahwa buah S.dulcis yang matang dapat dimakan dalam keadaan segar, diolah menjadi selai, jeli, dan sari buah. Buah mentahnya banyak digunakan dalam rujak dan sayur serta untuk dibuat acar (sambal kedondong). Daun mudanya yang dikukus dijadikan lalapan. S.dulcis dikenal di berbagai pelosok dunia dengan berbagai manfaat obat dari buah, daun dan kulit batangnya. Hasil-hasil penelitian di beberapa negara dilaporkan adanya pengobatan seperti borok, kulit perih dan luka bakar dari daun dan kulit kayu kedondong (Verheij & Coronel 1992). Z.mauritiana merupakan jenis dari famili Rhamnaceae yang berasal dari Asia selatan dan tengah serta Cina yang dinaturalisasi ke sejumlah negara tropis dan subtropis. Nama umum bagi jenis ini adalah bidara atau widara dan di daerah Bima disebut rangga. Jenis ini sangat tahan terhadap kekeringan maupun genangan air dan umumnya ditemukan tumbuh sampai ketinggian 1000 m dpl dengan kisaran suhu 7-50º C (Joker 2003). Z.mauritiana merupakan tanaman multiguna yang menyediakan buah, pakan ternak dan bahan bakar. Buah matang biasanya dimakan segar, dibuat manisan/asinan atau digunakan untuk membuat jus dengan kandungan vitamin C tinggi dan sangat bergizi. Di Indonesia daun muda dimasak sebagai sayur (Kaaria 1998; Tweddle & Dickie 2003). Buah Z.mauritiana dapat juga dibuat menjadi mentega, tepung, pasta, permen serta digunakan sebagai bumbu dan acar (Orwa et al. 2009). Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga memanfaatkan kulit kayu sebagai campuran jamu untuk perawat kehamilan dan pasca persalinan serta obat luka akibat bisul. Daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antidemam. Buah matangnya dimakan sebagai buah segar. Pada musim Z.mauritiana berbuah, buah dari jenis ini banyak dijual di pasar-pasar tradisional. Menurut Morton (1987), berbagai kegunaan Z.mauritiana dalam pengobatan tradisional misalnya daun digunakan dalam pengobatan penyakit hati, asma dan demam. Buah digunakan pada pengobatan luka, borok, penyakit paru, demam, rematik, menghentikan mual, muntah dan perut nyeri pada kehamilan serta sebagai pencahar ringan. Kulit kayu digunakan untuk menghentikan diare, disentri dan meredakan radang gusi. Akar digunakan sebagai obat penurun panas, meringankan asam urat dan rematik. Msonthi et al. (1983) juga melaporkan bahwa akar dari jenis digunakan dalam pengobatan 52 epilepsi. Daunnya juga digunakan dalam pengobatan diare, luka, abses, pembengkakan dan kencing nanah (Michel 2002). S.cumini berasal dari famili Myrtaceae, merupakan jenis asli kawasan IndoMalaysiana termasuk Indonesia. Nama lokal S.cumini di Bima adalah duwe. Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan Bima umumnya memanfaatkan kulit kayunya sebagai obat kencing manis/diabetes mellitus, luka akibat bisul serta batuk. Di India, dalam pengobatan tradisional masyarakat etnis Unani menggunakan abu dari daun S.cumini sebagai obat dalam memperkuat gigi dan gusi. Bijinya sebagai antringen, diuretik dan obat diabetes. Kulit kayunya dapat digunakan untuk mengobati luka akibat bisul (Murugandan et al. 2008). Beberapa bagian S.cumini juga diketahui memiliki efek farmakologi seperti antibakteri, anti diare dan dapat menghambat perkembangan virus HIV (Bhuiyan et al. 1996; Kusumoto et al. 1995; Indira & Mohan 1993; Ravi et al. 2004). Selain berkhasiat sebagai obat, buah S.cumini yang telah matang dapat dimakan segar, dibuat manisan dan jus. Di Filipina daging buahnya digunakan untuk membuat selai, jeli, jus, cuka dan puding. Buah dari jenis ini juga telah diolah dalam skala industri untuk membuat anggur (Chowdhury 2007). A.moluccana berasal dari famili Euphorbiaceae. Nama lokal A.moluccana di Bima adalah kaleli. Jenis ini merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan secara luas di dunia. Di Indonesia, jenis ini telah lama ditanam, baik untuk tujuan komersial maupun subsisten untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari terutama bagi masyarakat Indonesia bagian timur. Hampir semua bagian dari A.moluccana seperti daun, buah, kulit kayu, kayu, akar, getah dan bunganya dapat dimanfaatkan baik untuk obat-obatan tradisional, penerangan, bahan bangunan, bahan pewarna, bahan makanan, dekorasi maupun berbagai kegunaan lainnya (Heyne 1987). Pada tempat terbuka, jenis ini umumnya hanya dapat mencapai ketinggian pohon 10-15 m. Jenis A.moluccana juga dapat tumbuh pada daerah yang kering seperti di Nusa Tenggara Timur serta sebagian daerah di Nusa Tenggara Barat dan bahkan di tempat yang basah seperti di Jawa Barat (Ginoga et al. 1989). Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan masyarakat Bima memanfaatkan kulit kayunya untuk mengobati sakit perut dan bijinya digunakan untuk mengobati gatal-gatal atau luka bekas cacar. Selain berkhasiat sebagai obat, bijinya juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bumbu masak. Menurut Orwa et al. (2009), biji kemiri yang telah ditumbuk halus dapat dimakan sebagai saus. Di Pulau Jawa, kulit pohon A.moluccana dimanfaatkan sebagai obat diare dan disentri. Di Jepang, bagian kulitnya digunakan untuk obat tumor. Di Sumatera, bijinya digunakan untuk obat sembelit. Di Malaysia, daun A.moluccana direbus dan dimanfaatkan sebagai obat untuk sakit kepala, demam, bisul, bengkak pada persendian dan kencing nanah. Di Hawai, bunga dan getah segarnya yang baru saja disadap digunakan untuk obat sariawan pada anak-anak (Scott & Craig 2000). T.indica merupakan jenis dari famili Leguminosae, diduga berasal dari Afrika tropis yang kemudian menyebar ke India dan banyak ditanam di daerah tropis lainnya. Jenis ini sering dijumpai di daerah dataran rendah dan mampu hidup pada daerah kering dengan musim kemarau yang panjang. Nama lokal T.indica di Bima adalah mangge. Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga memanfaatkan daunnya sebagai obat demam, batuk dan cacingan. Selain berkhasiat sebagai obat daun mudanya juga dimanfaatkan sebagai sayur. Daging 53 buahnya digunakan sebagai obat sariawan, mual dan muntah sewaktu hamil serta kurang nafsu makan. Kulit kayunya digunakan untuk mengatasi masalah haid tidak lancar. Daun muda T.indica juga digunakan sebagai obat penyakit kulit serta bisul, sedangkan daging buahnya dimanfaatkan untuk bumbu masak, membuat manisan, selai dan sirup (Heyne 1987). Masyarakat Suku Dayak Tunjung juga diketahui sering memanfaatkan asam jawa sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit (Setyowati 2010). Menurut Dalimarta (2006), daun T.indica bekhasiat sebagai penurun panas, pereda nyeri dan antiseptik. Daging buahnya bekhasiat sebagai pencahar, pereda demam, antiseptik dan meningkatkan nafsu makan. Kulit kayunya berkhasiat sebagai tonik dan astringen. Di Thailand, bunga dan daun muda asam dimanfaatkan sebagai sayuran, sedangkan sari daging buah dimanfaatkan untuk membuat permen (Phakruschaphan 1982). Buah T.indica juga dianggap dapat melancarkan pencernaan, sebagai karminatif, pencahar, ekspektoran dan tonik (Komutarin et al. 2004). Biji asam dilaporkan mengandung fenolik antioksidan yang baik bagi kesehatan (Tsuda et al. 1994). S.ligustrina merupakan jenis dari famili Loganiaceae dan tersebar di daerahdaerah tropis. Di Jawa jenis ini dikenal dengan nama dara laut atau dara putih, di Sumatra dan Timor dikenal dengan nama kayu ular dan di Bima dikenal dengan nama songga. S.ligustrina umumnya tumbuh sampai ketinggian pohon hingga 12 meter, lebih banyak dijumpai di hutan-hutan primer (jauh dari pemukiman) (de Padua et al. 1999). Masyarakat Bima umumnya memanfaatkan daun, buah dan kulit kayu jenis ini sebagai obat malaria, diabetes, hipertensi dan demam. Batang dan akar dari jenis ini digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia untuk mengobati demam, gigitan ular dan luka. Batang juga digunakan dalam komponen jamu pengatur haid. Akarnya dapat digunakan untuk mengobati diabetes sedangkan daun dan buahnya digunakan sebagai racun ikan di Australia (Praswanto et al. 1996, Rahayu & Walujo 1996, de Padua et al. 1999). P.retrofractum merupakan salah satu tanaman dari famili Piperaceae dan penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia (Heyne 1987). Nama lokal P.retrofractum di Bima adalah sabia. Jenis ini dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat 1-600 m dpl, temperatur 20-30oC, curah hujan 1200-3000 mm/tahun dan kelembaban udara 40-80% (Djauhariya dan Rosman 2008). Daerah sentra produksi P.retrofractum yang terkenal adalah Madura, Lamongan dan Lampung. Beberapa tahun belakangan usaha budidaya cabe jawa mulai menyebar ke Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat seperti Lombok Barat dan Lombok Timur (Kemala et al. 2003). Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga memanfaatkan buahnya sebagai campuran jamu perawatan kehamilan dan pasca melahirkan dan dapat menambah nafsu makan. Secara tradisional buah cabe jawa digunakan untuk obat beri-beri, kejang perut, masuk angin dan obat kuat lelaki (aprodisiak) (Haryudin & Rostiana 2009). Januwati dan Yuhono (2003) juga mengemukan bahwa buah P.retrofractum digunakan untuk mengatasi tekanan darah rendah, beri-beri, masuk angin, lemah syahwat dan juga untuk membersihkan rahim setelah melahirkan. T.crispa merupakam jenis dari famili Menispermaceae. Umumnya jenis ini ditemukan tumbuh liar di hutan dan menyukai tempat terbuka yang terkena sinar matahari. Nama lokal T.crispa di Bima adalah humpa pa’i. J Jenis ini ditemukan tumbuh pada bagian pinggir kawasan TWA Madapangga yang cenderung terbuka. Batang merupakan bagian yang banyak dimanfaatkan sebagai obat malaria, 54 pereda demam (antipiretik), merangsang nafsu makan dan mengobati kencing manis (diabetes mellitus). Secara tradisional umumnya masyarakat Indonesia memanfaatkan T.crispa untuk pengobatan penyakit malaria (Heyne 1987). Hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa T.crispa memiliki dua alkaloid senyawa yang ampuh sebagai antimalaria (Elfita et al. 2011). T.crispa merupakan salah satu jenis obat herbal terstandar (OHT) yang sudah diakui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Muhtadi 2008). Di Malaysia dan Thailand seluruh bagian dari jenis ini digunakan secara tradisional sebagai obat untuk penyakit diabetes mellitus (Chavalittumrong et al. 1997). A.scholaris termasuk famili Apocynaceae, tersebar di seluruh nusantara dari dataran rendah sampai ketinggian 900 m dpl. Nama lokal A.scholaris di Bima adalah rida. Jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh kawasan TWA Madapangga. Masyarakat Bima umumnya memanfaatkan kulit kayunya sebagai bahan campuran jamu untuk mengobati beberapa penyakit seperti gangguan pencernaan dan perawatan kehamilan dan persalinan. Masyarakat Lombok memanfaatkan daun dan kulit kayu A.scholaris untuk mengobati penyakit malaria (Hadi & Bremner 2001). Menurut Harini et al. (2000), masyarakat sekitar Taman Nasional Ujung Kulon memanfaatkannya untuk mengobati malaria dan perut kembung. Masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Besowo dan Manggis Kabupaten Kediri memanfaatkan kulit kayu A.scholaris untuk mengobati penyakit sipilis (kencing nanah) atau untuk mengobati malnutrisi. Akarnya digunakan dengan campuran pohon pinang (Arenga sp.) untuk mengobati sakit tulang dan sakit di bagian dada. Ekstrak kulit kayu digunakan untuk mengobati sakit perut, masalah lambung, demam, perawatan wanita sehabis melahirkan, cacingan, diabetes, malaria, usus buntu, dan wasir (Setyawati 2009). H.tiliaceus tumbuh liar di hutan, ladang dan kadang ditanam dipekarangan dan tepi jalan sebagai pohon peneduh. Nama lokal H.tiliaceus di daerah Bima adalah wau. Masyarakat Bima banyak memanfaatkan daun dan kulit kayunya sebagai obat demam, batuk, radang tenggorokan, berak darah dan lendir pada balita sedangkan akarnya digunakan untuk mengatasi masalah terlambat haid. Dalimartha (2000) juga menyatakan bahwa daun H.tiliaceus berkhasiat sebagai antiradang, peluruh dahak dan peluruh kencing sedangkan akarnya bekhasiat sebagai penurun panas dan peluruh haid. Di Filipina, pepagan H.tiliaceus digunakan untuk mengobati disentri. Di Papua Nugini, rebusan daunnya dipakai untuk radang tenggorokan, paru-paru basah, batuk, TBC dan diare. Daun dan akarnya bila ditumbuk dan dicampur dengan air, dapat digunakan untuk memperlancar proses kelahiran (Van Valkenburg & Bunyapraphatsara 2002). Smith (1981) juga melaporkan, di Hawai getah berlendir bagian dalam dari kulit kayunya digunakan sebagai pencahar dan bunganya dianggap dapat membantu memperlancar pencernaan. Di Fiji jepang, daunnya yang telah dihaluskan digunakan untuk mengobati patah tulang dengan cara melilitkannya pada anggota badan yang mengalami patah tulang. Kulit kayunya juga digunakan untuk mengobati borok. Chen et al. (2006) juga melaporkan bahwa senyawa skopoletin (hibiscusin), amida (hibiscusamide) dan sebelas senyawa lainnya yang diisolasi dari kulit kayunya berkhasiat sebagai antikanker. 55 Tingkat Pengetahuan Masyarakat Secara umum masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga memiliki karakter sosial budaya dan kondisi lingkungan yang sama sehingga kondisi Desa Ndano dan Monggo tidak jauh berbeda. Sebagian besar masyarakat (lebih dari 90%) di dua desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai petani pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Selain bekerja di bidang pertanian khususnya usaha tani, masyarakat juga memelihara ternak besar dan kecil serta unggas diantaranya sapi, kerbau, kuda, kambing, ayam, itik, bebek dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan akses masyarakat ke dalam hutan dan pemanfaatan tumbuhan cukup tinggi. Tingginya tingkat pemanfaatan tumbuhan khususnya sebagai bahan pangan, obat dan pakan ternak mengindikasikan tingginya tingkat pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan. Tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga berdasarkan kelas umur responden disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat berdasarkan kelas umur responden Kelas Umur Pengetahuan Pemanfaatan Total Baik Cukup Kurang Remaja (13-19 tahun) Dewasa (20-60 tahun) Tua( > 60 tahun) Total 2 12 15 29 8 5 3 16 10 3 2 15 20 20 20 60 Hasil analisis data pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat di Desa Ndano dan Monggo menunjukan bahwa 48.33% responden memiliki tingkat pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat baik. Sebanyak 26.67% responden memiliki tingkat pengetahuan tentang pemanfaataan tumbuhan pangan dan obat cukup dan 25% responden memiliki tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat kurang. Responden dengan tingkat pengetahuan yang tergolong baik mengindikasikan banyaknya pengalaman mereka dalam memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar tempat tinggalnya baik sebagai bahan pangan maupun obat. Sebaliknya responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong kurang mengindikasikan sedikitnya pengalaman mereka dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan pangan maupun obat. Letak desa yang berdekatan dengan kawasan hutan dan mata pencaharian mereka yang sebagian besar sebagai petani juga diduga mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat. Berdasarkan kelas umur, responden tua (umur > 60 tahun) dan responden dewasa (umur 20 – 60 tahun) cenderung memiliki tingkat pengetahuan baik yaitu masing-masing sekitar 75% dan 60%. Responden remaja (umur 13 – 19 tahun) hanya 10% yang memiliki tingkat pengetahuan baik (remaja yang orang tuanya berprofesi sebagai tabib). Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan responden tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat dengan kelas umur responden 56 (X2 hitung = 6.100 dan X2 (0.05;2) = 5.991) (Lampiran 15). Hal ini mengindikasikan bahwa umur sangat berkaitan dengan pengalaman. Semakin tua umur responden maka semakin banyak pengalamannya dalam memanfaatkan tumbuhan pangan dan obat. Pengalaman tersebut kemudian diwariskan turun temurun ke generasi penerusnya. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan modernisasi, pengetahuan tradisional tersebut mulai terkikis pada kalangan generasi muda di dua desa penelitian. Generasi muda cenderung terpengaruh oleh munculnya produk-produk modern sehingga sering menyepelekan kearifan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Desa Cikedung Kecamatan Mancak Serang Banten. Pengetahuan tradisional masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuhan di lingkungan sekitarnya semakin terabaikan dan bahkan hilang akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sulistiyarini 2009). Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat Selama ini pengembangan sumberdaya hutan khususnya tumbuhan pangan dan obat belum mendapat perhatian secara serius. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan potensinya belum dilakukan secara optimal, sehingga peranannya belum tampak dalam meningkatkan roda perekonomian daerah maupun nasional. Padahal secara tradisional sudah sejak lama masyarakat sekitar hutan memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan pangan dan obat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bahkan beberapa komoditas pangan dan obat yang dihasilkan oleh industri, bahan bakunya berasal dari kawasan hutan. Perlu tindakan nyata dari berbagai pihak baik pemerintah, akademisi, LSM dan swasta untuk mengembangkan potensi tersebut sehingga dapat memberikan nilai positif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Kawasan Saat Ini Pengelolaan TWA Madapangga berada dibawah koordinasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat yang dalam pelaksanaan dilakukan oleh Seksi Konservasi Wilayah III Bima. Seksi Konservasi Wilayah mempunyai tugas melakukan: (1) pengelolaan kawasan konservasi, (2) pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, (3) perlindungan dan pengamanan kawasan, pemberantasan penebangan dan peredaran kayu secara illegal, (4) pengendalian pemanfaatan TSL, (5) melaksanakan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta (6) penyuluhan, bina cinta alam dan pemberdayaan masyarakat. Pengelolaan kawasan TWA Madapangga selama lima tahun terakhir dilakukan untuk memotivasi masyarakat agar melakukan konservasi dengan aspek pemanfaatan yang masih minim. Hal tersebut masih menganut paradigma lama yang belum sepenuhnya mengakomodir pemanfaatan sumberdaya hutan untuk masyarakat sekitar. Kegiatan pengelolaan kawasan masih diarahkan pada upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari pemanfaatan dengan menutup akses terhadap pemanfaatan yang tidak lestari seperti: (1) pengambilan kayu bahan 57 bangunan, kayu bakar, daun pandan dan rotan, (2) penebangan liar jenis-jenis kayu komersil seperti songga/S.ligustrina, (3) perburuan ayam hutan dan lain-lain. Kegiatan yang telah dilakukan untuk memotivasi masyarakat agar melakukan konservasi yaitu kegiatan penyuluhan, sosialisasi batas kawasan, temu kader konservasi, pembentukan kelompok-kelompok pecinta alam, lomba lintas alam dan bakti sosial pada desa-desa sekitar kawasan (Gambar 23). a b Gambar 23 Kegiatan pengelolaan kawasan TWA Madapangga (a) penyuluhan dan (b) patroli pengamanan. Kegiatan pengamanan kawasan TWA Madapangga dilakukan oleh polisi hutan (Polhut) dan tenaga pengaman hutan mandiri atau lebih dikenal dengan Pam Swakarsa. Pam Swakarsa adalah tenaga pengaman hutan yang berasal dari masyarakat desa sekitar kawasan. Untuk kawasan TWA Madapangga jumlahnya 2 orang yang berasal dari Desa Ndano. Polhut dan Pam Swakarsa bertugas menjaga kawasan tersebut dan melaporkan setiap pelanggaran hukum baik berupa pencurian hasil hutan maupun perambahan kawasan untuk dijadikan lahan pertanian. Untuk menguatkan atau memperjelas batas antara lahan milik masyarakat dengan kawasan TWA Madapangga, maka dilakukan kegiatan tata batas kawasan yang ditandai dengan pembuatan Pal batas. Tujuannya adalah agar masyarakat tidak mengganggu kawasan hutan pada batas yang telah disepakati dan hanya boleh memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengelolaan kawasan juga diarahkan untuk mengetahui potensi dan memperbaiki kondisi kawasan. Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung tujuan ini yaitu: (1) merehabilitasi kawasan yang telah rusak karena perambahan oleh masyarakat, (2) pengayaan tanaman pada lahan-lahan terbuka dengan jenis-jenis khas dari kawasan tersebut serta jenis budidaya seperti A.Moluccana, A.occidentale, A.communis, A.muricata, S.dulcis, M.oleifera dan lain-lain, (3) penelitian dan pengembangan untuk menambah informasi potensi serta melakukan pembaruan terhadap data dasar flora dan fauna, (4) pembuatan demplot jenis-jenis tumbuhan berpotensi dan (5) penangkaran terhadap jenis satwa endemik dan berstatus dilindungi dengan maksud untuk dilepaskan kembali ke alam apabila telah berkembang biak. 58 Kondisi Masyarakat Sekitar Kawasan Sebagian besar masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga (> 90%) bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai petani pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Selain bekerja di bidang pertanian khususnya usaha tani, masyarakat juga memelihara ternak dan unggas seperti sapi, kuda, kambing, ayam, itik, bebek dan lain-lain. Bentuk-bentuk aktifitas masyarakat sekitar TWA Madapangga adalah berupa pemanfaatan lahan, sumber daya hutan dan sumber mata air. Bentuk pemanfaatan lahan berupa aktifitas usaha tani tanaman pangan, usaha tani tanaman keras dan penggembalaan ternak. Usaha tani tanaman pangan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga sebagian besar merupakan usaha tani lahan kering, yaitu berupa ladang dan kebun yang dilakukan secara tradisional dengan cara tumpangsari. Luas lahan berupa ladang dan kebun milik masyarakat di sekitar kawasan TWA Madapangga sekitar 175 hektar. Pemilik lahan tersebut adalah sebagian besar masyarakat Desa Ndano dan Monggo. Tanaman yang ditanam biasanya jenis tanaman palawija, padi gogo dan sayur-sayuran. Bentuk usaha tani lahan basah berupa sawah yang terletak di sekitar desa dengan mengandalkan irigasi yang airnya berasal dari dalam kawasan TWA Madapangga (Gambar 24). Luas lahan berupa sawah sekitar 96 hektar yang dimiliki oleh masyarakat Desa Ndano, Monggo dan Dena. Namun, penggarapan sawah tersebut dilakukan oleh petani penggarap dari Desa Ndano dan Monggo dengan sistem bagi hasil. Pemilik sawah dan petani penggarap mendapatkan bagian masing-masing 50% dari hasil panen. Tanaman yang ditanam di sawah berupa padi, kedelai, kacang hijau dan kacang tanah. Usaha tani tanaman keras yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar berada pada ladang dan kebun yang diusahakan secara tradisional dan sebagian besar masih merupakan usaha sambilan. Tanaman keras yang ditanam antara lain A.moluccana, A.occidentale, Mangifera sp., A.squamosa, M.oleifera dan A.communis. Hasil yang diperoleh selain untuk pemanfaatan sendiri juga dijual ke pasar untuk menambah penghasilan keluarga. a b Gambar 24 Lahan pertanian di sekitar TWA Madapangga (a) sawah dan (b) ladang. Usaha ternak yang dilakukan oleh masyarakat sekitar TWA Madapamgga berupa pemanfaatan rumput yang ada dalam kawasan yang dilakukan secara komunal untuk penggembalaan ternak secara tradisional. Hal ini dilakukan karena 59 terbatasnya padang pengembalaan terutama pada musim hujan, dimana hampir seluruh lahan milik masyarakat telah ditanami dengan berbagai tanaman pertanian. Ternak yang digembalakan seperti sapi, kerbau, kuda dan kambing. Bentuk pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar TWA yaitu pengambilan hasil hutan kayu dan nonkayu. Hasil hutan kayu yang dimanfaatkan biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan. Jenis-jenis kayu yang teridentifikasi digunakan untuk bahan bangunan pada umumnya jenis-jenis pohon yang besar dan berada di dalam hutan. Namun, ketatnya pengawasan terhadap akses ke dalam kawasan TWA Madapangga tidak memungkinkan bagi masyarakat sekitar untuk memanfaatkan jenis-jenis kayu yang ada dalam kawasan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan tersebut mereka mengambil dari hutan lindung sekitar desa atau membeli di pasar. Penggunaan utamanya adalah untuk tiang dan papan bangunan rumah karena batangnya yang lurus, kuat, keras dan terkadang dengan tekstur yang bagus. Hasil hutan nonkayu yang dimanfaatkan pada umumnya berupa semak yang menghasilkan cabang banyak, tumbuhan menjalar, akar-akar pohon, herba, rotan, daun pandan, alang-alang, umbi-umbian, buah-buahan, sayur-sayuran, madu dan berburu ayam hutan. Biasanya, hasil hutan nonkayu tersebut digunakan sebagai bahan tali temali, kerajinan, kayu bakar, pangan dan obat-obatan. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan nonkayu tersebut, selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dijual ke pasar untuk tambahan pendapatan keluarga. Bentuk pemanfaatan sumber air oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga berupa pemanfaatan mata air sebagai objek wisata, kolam pemandian, sumber air bersih dan pengairan lahan pertanian. Air yang berasal dari kawasan tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun irigasi oleh masyarakat sekitar yaitu Desa Ndano, Monggo dan Dena. Selain itu, air dari kawasan tersebut juga digunakan sebagai sumber air minum oleh PDAM yang dialirkan ke wilayah Kecamatan Bolo (Gambar 25). Gambar 25 Salah satu sumber mata air di TWA Madapangga. Pengelolaan kawasan TWA Madapangga perlu diarahkan pada upaya memanfaatkan potensi lokal yang ada. Supaya kehidupan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Untuk itu, dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan dukungan masyarakat. Pengelola kawasan harus melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan pengelolaan (Gambar 26). Pentingnya pelibatan masyarakat sekitar dapat berdampak positif dalam memperoleh dukungan terhadap pelestarian kawasan TWA Madapangga. Pelibatan masyarakat sekitar mutlak dilakukan, 60 mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan. Dengan dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan, rasa memiliki masyarakat sekitar terhadap kawasan tersebut dapat direalisasikan. Adanya partisipasi masyarakat diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka secara ekonomi dan menjaga lingkungan agar tetap lestari. Kegiatan pengelolaan kawasan juga harus memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat. Kearifan tradisional masyarakat sekitar TWA Madapangga dapat dilihat dari pola pemanfaatan lahan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan ragam tanaman yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan pengelolaan yang disiapkan harus dapat diterima oleh masyarakat dan membantu meningkatkan kesejahteraan. Kegiatan tersebut diharapkan berkesinambungan dengan selalu mengantisipasi kegiatan masyarakat di dalam kawasan. Selain itu perlu dilakukan pembinaan masyarakat dengan melibatkan akademisi, LSM dan pihak swasta. Kegiatan pembinaan dimaksudkan agar masyarakat menjadi lebih mandiri dan tidak selalu bergantung pada hasil hutan dalam memenuhi kebutuhannya. Adanya pembinaan yang intensif dapat menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan. Program kegiatan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut yaitu pelatihan pembuatan kompos sebagai pupuk organik, pembentukan koperasi konservasi dan pembinaan pengrajin tradisional. Harapan Masyarakat Aktifitas Pengelolaan Kawasan Kesesuaian Aktifitas dan Harapan Gambar 26 Hubungan antara pengelola dan masyarakat dalam usaha pengembangan potensi TWA Madapangga. Rekomendasi Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat Konservasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber daya hayati adalah upaya pengelolaan sumber daya hayati yang senantiasa memperhatikan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan konservasi tersebut adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut 1990). 61 Berdasarkan potensi kawasan, kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar TWA Madapangga, terdapat beberapa kegiatan yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat. Adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan potensi yang ada guna meningkatkan kapasitas kawasan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Beberapa kegiatan yang direkomendasikan untuk pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat adalah sebagai: Pengembangan Secara Insitu dan Eksitu Tumbuhan pangan dan obat merupakan plasma nutfah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga kegiatan konservasi terhadapnya tidak hanya dengan melakukan perlindungan dan pengawetan tetapi juga diharapkan dapat dilakukan pemanfaatan secara lestari. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasinya, baik secara insitu maupun eksitu agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto 1994). Kegiatan pemanfaatan hendaknya harus senantiasa memperhatikan kelangsungan dari fungsi perlindungan di habitat plasma nutfah tersebut. Oleh karena itu kegiatan pengelolaan terhadap potensi yang dimiliki oleh TWA Madapangga sebagai kawasan konservasi harus mengakomodir ketiga tujuan tersebut. Kegiatan pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat secara insitu yang direkomendasikan adalah: 1. Tetap mempertahankan keaslian kondisi habitat terutama dari kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut direkomendasikan karena kawasan tersebut merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan, termasuk jenis tumbuhan pangan diantaranya jenis P.javanicum, S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana serta habitat bagi tumbuhan obat endemik yaitu S.ligustrina dan jenis tumbuhan obat lainnya seperti A.scholaris, A.spectabilis, F.benjamina dan S.mahagoni 2. Pengayaan jenis pada areal-areal yang cenderung terbuka dengan menggunakan jenis-jenis lokal maupun introduksi yang diketahui memiliki potensi tetapi kondisi populasinya di dalam kawasan tersebut kecil seperti A.communis, S.cumini, S.grandiflora, A.bilimbi, C.histrix, A.muricata, S.ligustrina, P.retrofractum, A.marmoles dan A.scholaris 3. Pembuatan jalur-jalur wisata alam dengan menampilkan jenis-jenis endemik dari kawasan tersebut. Kegiatan ini bermaksud memberikan edukasi tentang keanekaragaman hayati kepada para pengunjung khususnya bagi pelajar dan mahasiswa 4. Pembuatan kebun bibit oleh pengelola yang akan menyediakan bibit-bibit tumbuhan yang berpotensi dan khas dari kawasan tersebut sehingga dapat dijadikan souvenir dan oleh-oleh bagi pengunjung Pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat yang terdapat dalam kawasan tersebut juga harus dilakukan secara eksitu. Hal ini dimaksudkan sebagai antisipasi dan cadangan plasma nutfah apabila kondisi terburuk terjadi terhadap kawasan tersebut, seperti kepunahan akibat bencana alam. Selain itu, pengembangan secara eksitu juga dapat memberikan peluang usaha bagi 62 masyarakat dengan memaksimalkan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat. Pemanfaatan yang dilakukan secara maksimal akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Gambar 27 diketahui kawasan TWA Madapangga dikelilingi oleh lahan milik masyarakat dan hutan lindung Sampalu. Lahan milik masyarakat berupa sawah, kebun dan ladang, sedangkan hutan lindung telah mengalami perambahan sehingga perlu upaya rehabilitasi. Kondisi ini menunjukan bahwa TWA Madapangga merupakan kawasan yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah bagi daerah sekitarnya. Potensi tumbuhan pangan dan obat yang dimiliki kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk konservasi eksitu. Kegiatan pengembangan tumbuhan pangan dan obat secara eksitu yang direkomendasikan yaitu kegiatan budidaya jenis-jenis yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga pada lahan milik masyarakat dan penggunaan jenis-jenis tersebut untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung Sampalu. Sawah Ladang Hutan Lindung Gambar 27 Kondisi TWA Madapangga dan sekitarnya. Kegiatan budidaya jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang terdapat dalam kawasan TWA Madapangga ke lahan-lahan milik masyarakat dilakukan dapat dalam bentuk agroforestri. Selama ini, masyarakat sekitar kawasan masih memanfaatkan tumbuhan pangan dan obat yang dipungut langsung dari hutan. 63 Upaya budidaya terhadap jenis-jenis yang dimanfaatkan tersebut belum dilakukan. Melalui sistem agroforestri, penanaman jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat dapat dipadukan dengan tanaman palawija maupun tanaman perkebunan lainnya. Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dapat digunakan untuk agroforestri yaitu T.indica, A.communis, S.grandiflora, A.bilimbi, C.histrix, C.aurantifolia, A.muricata, A.squamosa, P.acidus, S.aqueum, P.guajava, A.occidentale, L.acidissima, M.oleifera, S.dulcis, Mangifera sp. dan A.moluccana; sedangkan tumbuhan obat yaitu A.scholaris, S.ligustrina, P.retrofractum dan A.cathecu. Agar pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan yang ditanam berlangsung baik, perlu pemeliharaan dan pemberian pupuk. Pupuk yang diberikan sebaiknya adalah pupuk kompos yang dapat diperoleh dengan mudah yaitu memanfaatkan kotoran ternak milik masyarakat. Penggunaan pupuk organik tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan diharapkan mampu meningkatkan produktifitas jenis-jenis tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut harus terintegrasi agar dapat memberikan hasil yang maksimal. Setelah beberapa tahun, masyarakat dapat memanfaatkan hasil panen yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhannya. Upaya di atas dimaksudkan agar masyarakat tidak selalu bergantung pada sumberdaya yang ada di dalam kawasan hutan, sehingga populasi tumbuhan pangan dan obat di alam tetap lestari. Jenisjenis tumbuhan yang masyarakat butuhkan dapat diperoleh dari hasil budidaya pada lahan miliknya. Hasil yang diperoleh dari usaha budidaya tersebut, selain untuk pemanfaatan sendiri juga dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga. Masyarakat mempunyai peluang untuk mengembangkannya menjadi sebuah usaha yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraannya. Selain upaya budidaya, pengembangan tumbuhan pangan dan obat secara eksitu juga dapat dilakukan dengan penggunaan jenis-jenis berpotensi dan endemik dari dalam kawasan TWA Madapangga untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung Sampalu. Hutan lindung tersebut kondisinya sangat memprihatinkan, sehingga perlu dilakukan kegiatan rehabiltasi. Hal ini dimaksudkan agar kondisi populasi tumbuhan pada hutan lindung kembali pulih dan menjadi beragam. Pemerintah, khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Bima bersama pengelola kawasan TWA Madapangga diharapkan dapat bekerja sama untuk merehabilitasi hutan lindung tersebut. Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dapat digunakan untuk kegiatan tersebut yaitu P.javanicum, S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana, S.cumini, S.grandiflora, S.aqueum, P.guajava, S.dulcis, Mangifera sp. dan A.moluccana; sedangkan tumbuhan obat yaitu A.scholaris, S.ligustrina, P.retrofractum, S.mahagoni A.marmoles, F.benjamina, B.racemosa, H.tiliaceus, L.leucocephala, T.grandis, dan C.pentandra. Kegiatan rehabilitasi tersebut harus diikuti dengan pemeliharaan dan pengawasan agar jenis-jenis yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. 64 Pelibatan Masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi Sebagai Mitra Dalam Pengelolaan Kawasan Kegiatan pengembangan tumbuhan pangan dan obat yang dilakukan secara insitu maupun eksitu akan terlaksana dengan baik apabila pengelola mendapat dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat sekitar serta adanya kerjasama dengan LSM dan perguruan tinggi. Dukungan dan partisipasi dari pihak-pihak tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan setiap kegiatan yang direncanakan. Terutama dukungan dan partisipasi masyarakat sekitar kawasan hutan. Keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan dapat memberikan andil yang besar bagi kelestarian hutan. Masyarakat dapat dimotivasi untuk tetap menjaga keaslian kondisi kawasan dengan tidak melakukan perambahan, memanen hasil hutan secara lestari dan membudidayakan jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Dengan harapan, kondisi populasi jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang ada dalam kawasan tetap terjaga karena kebutuhannya akan jenis-jenis tersebut dapat terpenuhi dari hasil budidaya. LSM dan perguruan tinggi dapat dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan baik dalam aspek ekologi, ekonomi maupun sosial. Selama ini, kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di TWA Madapangga masih sangat terbatas. Padahal kawasan tersebut memiliki berbagai potensi baik itu panorama alam yang cukup indah dan masih alami, sumber mata air yang dijadikan kolam pemandian serta keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang dapat dikembangkan untuk wisata maupun usaha pemanfaatan hasil hutan secara lestari. Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran Konservasi Masyarakat Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap sumberdaya hayati, khususnya tumbuhan menyebabkan akses masyarakat ke dalam hutan menjadi cukup tinggi. Kondisi ini apabila dibiarkan terus berlangsung, dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian tumbuhan. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan pengelolaan yang tepat untuk mengantisipasi ancaman tersebut. Salah satu strategi konservasi sumber daya hayati yang dikembangkan pada era otonomi daerah saat ini adalah pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dilakukan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya hayati. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Sudarmadji 2002). Melalui kegiatan penyuluhan, pengelola perlu mengarahkan dan menggerakkan masyarakat dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan. Upaya tersebut diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi di kalangan masyarakat. Selain itu, perlu ditanamkan pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini pada generasi muda baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal. 65 Pemanfaatan Tumbuhan Pangan dan Obat Secara Lestari Kegiatan eksploitasi sumber daya hayati secara berlebihan akan berdampak secara ekologis. Besarnya dampak yang ditimbulkan tergantung pada komposisi sumber daya yang tereksploitasi. Misalnya pada spesies tumbuhan, dampak awal yang dapat terjadi jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan adalah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi terhambat. Jika sebagian besar bagian tumbuhan tersebut telah dipungut untuk dimanfaatkan maka dapat menyebabkan kematian. Sampai saat ini, umumnya masyarakat sekitar kawasan hutan masih memungut sumberdaya yang dibutuhkan termasuk tumbuhan pangan dan obat dari dalam hutan. Pada tumbuhan pangan bagian yang umum dipungut adalah daun, buah, biji dan umbi. Tumbuhan obat bagian yang umum dipungut adalah daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang dan kulit batang. Pemanfaatan tiap bagian dari suatu jenis tidak boleh berlebihan, apalagi menyebabkan kepunahan pada jenis tersebut. Pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat secara lestari dapat dilakukan dengan cara memungut bagian-bagian tumbuhan tersebut sesuai yang dibutuhkan. Terhadap jenis-jenis yang diketahui populasinya sudah mulai langka dan sulit ditemukan di alam, maka diupayakan usaha budidaya. Pembudidayaannya dapat dilakukan di sekitar lingkungan tempat tinggal, kebun atau sawah baik untuk tujuan konsumsi sendiri maupun untuk di jual. Di TWA Madapangga, ditemukan jenis-jenis tumbuhan pangan yang potensial untuk dimanfaatkan secara lestari antara lain S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana, S.cumini dan P.javanicum. Selain itu, di kawasan tersebut juga ditemukan jenis tumbuhan obat endemik yaitu S.ligustrina yang memiliki khasiat sebagai obat malaria serta jenis tumbuhan obat lainnya. Potensi tersebut harus dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut. Meningkatkan Nilai Ekonomi Tumbuhan Pangan dan Obat Sumber daya hutan memiliki berbagai manfaat baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Manfaat ekologi antara lain sebagai daerah penyedia air serta udara segar, habitat bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan. Manfaat ekonomi sebagai penyedia sumber pangan, sandang dan papan. Manfaat sosial budaya sebagai tempat ritual adat, penyedia tumbuhan dan satwa ritual adat. Salah satu sumberdaya hutan yang memiliki segudang manfaat adalah tumbuhan. Tumbuhan yang ditemukan di TWA madapangga memiliki nilai ekonomi baik sebagai sumber pangan, obat, pakan ternak, bahan bangunan dan sebagainya. Khusus untuk tumbuhan pangan, jenis-jenis yang umum dimanfaatkan antara lain T.indica, Mangifera sp., M.charantia, L.acidissima, A.occidentale, C.aurantifolia, P.guajava, A.moluccana, A.squamosa dan M.oleifera; sedangkan tumbuhan obat antara lain S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica, T.tuberculata, Z.mauritiana, J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, A.catechu, H.tiliaceus, A.aspera dan Z.aromaticum. Jenis-jenis tersebut umumnya sudah ada yang sudah dijual ke pasar tradisional baik dalam bentuk segar maupun berupa simplisia. Namun harga jualnya masih cukup rendah, sehingga diperlukan kreatifitas untuk meningkatkan nilai jual jenis-jenis tersebut maupun produk olahannya. Agar nilai jual menjadi lebih tinggi jenis-jenis tersebut harus diolah secara higienis, dikemas dengan