5 hasil dan pembahasan

advertisement
27
ditemukan di TWA Madapangga. Kriteria penilaian tingkat pengetahuan
responden yang digunakan adalah kriteria tingkat pengetahuan menurut Arikunto
(2006) yaitu:
Baik : Responden mengetahui 76-100% pemanfaatan dari keseluruhan jenis
tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga
Cukup : Responden mengetahui 50-75% pemanfaatan dari keseluruhan jenis
tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga
Kurang: Responden mengetahui < 50% pemanfaatan dari keseluruhan jenis
tumbuhan pangan dan obat yang ditemukan di TWA Madapangga
Persamaan yang digunakan dalam Chi-Square adalah sebagai berikut:
(
)
Keterangan:
X²hit = Nilai Chi-Square
Oi = frekuensi Observasi/pengamatan
Ei = Frekuensi harapan
Hipotesa yang diuji:
H0 = Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan
dan obat antar kelas umur responden
H1 = Ada perbedaan tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan
obat antar kelas umur responden
Kriteria uji:
Jika X² hitung > X² (0.05;db); maka terima H1
Jika X² hitung ≤ X² (0.05;db); maka terima H0
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pangan dan Obat
Tumbuhan Pangan
Hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan pada ketiga blok pengelolaan di
TWA Madapangga Kabupaten Bima ditemukan tumbuhan pangan yang juga
berkhasiat sebagai obat sebanyak 36 jenis dari 20 famili. Famili dengan jumlah
jenis terbanyak yaitu Anacardiaceae dan Leguminosae masing-masing 4 jenis
(Gambar 5). Jenis dari famili Anacardiaceae yang ditemukan yaitu
Dracontomelon dao, A.occidentale, S.dulcis dan Mangifera sp. Jenis dari famili
Leguminosae yang ditemukan yaitu T.indica, Gliricidia maculata, Leucaena
leucocephala dan Sesbania grandiflora. Jenis-jenis dari famili Anacardiaceae dan
Leguminosae dapat ditemukan pada ketiga blok pengelolaan di TWA
Madapangga. Namun jenis-jenis dari kedua famili tersebut ditemukan dalam
jumlah individu yang berbeda pada masing-masing blok. Hal ini menunjukan
28
Jumlah jenis
bahwa kondisi lingkungan pada masing-masing blok sangat mempengaruhi
keberadaan jenis-jenis dari kedua famili tersebut.
5
4
3
2
1
0
4
4
3
3
3
2
2
1
Famili
Gambar 5 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan famili.
Jumlah jenis
Berdasarkan habitus, tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA
Madapangga dibedakan ke dalam 4 habitus yang terdiri atas pohon, perdu, herba
dan liana (Gambar 6). Tumbuhan pangan yang berhabitus pohon ditemukan
dengan jumlah jenis terbanyak yaitu 25 jenis, sedangkan perdu dan liana masingmasing hanya ditemukan 1 jenis. Bagian-bagian tumbuhan berhabitus pohon yang
biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan sebagian besar berupa buah, daun muda
dan biji, sedangkan bunga relatif jarang dimanfaatkan. Pemanfaatan tersebut
dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan secara turun temurun berdasarkan
pengalaman. Semua jenis tumbuhan pangan berhabitus pohon tersebut hanya
berfungsi sebagai pangan pelengkap yaitu sebagai buah-buahan, sayuran dan
lalapan (Kuncari 2011).
30
25
20
15
10
5
0
25
9
1
Pohon
1
Perdu
Herba
Liana
Habitus
Gambar 6 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus.
Berdasarkan bagian yang dimanfaatkan, tumbuhan pangan yang ditemukan
pada kawasan tersebut dibedakan ke dalam 7 bagian yaitu buah, daun, biji, bunga,
umbi, batang dan seluruh bagian tumbuhan (Gambar 7). Bagian tumbuhan yang
ditemukan dengan jumlah jenis pemanfaatan terbanyak yaitu bagian buah (25
jenis) dan daun (18 jenis). Bagian buah diketahui banyak dimanfaatkan sebagai
buah-buahan, sedangkan bagian daun khususnya daun muda dimanfaatkan
sebagai sayuran. Pemanfaatan terhadap kedua bagian tersebut harus dilakukan
secara lestari. Apabila pemanfaatan dilakukan secara berlebihan akan mengancam
29
Jumlah jenis
keberadaan dan kelestarian jenis-jenis tumbuhan pangan tersebut. Salah satu
alternatif dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pemanfaatan dan
kelestariannya diperlukan usaha budidaya.
30
25
20
15
10
5
0
25
18
4
Buah
Daun
Biji
3
2
2
1
Bunga
Umbi
Batang
Seluruh
bagian
Bagian yang dimanfaatkan
Gambar 7 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan bagian yang
dimanfaatkan.
Jumlah jenis
Berdasarkan kategori pemanfaatan, tumbuhan pangan yang ditemukan pada
kawasan tersebut dibedakan menjadi 5 kelompok pemanfaatan yaitu sebagai
buah-buahan, sayuran, lalapan, bumbu masak dan sumber karbohidrat (Gambar
8). Kelompok pemanfaatan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu sebagai buahbuahan (17 jenis) dan sayuran (15 jenis), sedangkan terendah sebagai sumber
karbohidrat (3 jenis). Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan pangan yang ditemukan
di TWA Madapangga sebagian besar berfungsi sebagai bahan pangan pelengkap
(buah-buahan, sayuran, bumbu masak dan lalapan). Pemanfaatan sebagai buahbuahan dan sayuran merupakan kelompok pemanfaatan hasil hutan non kayu
tertinggi bagi masyarakat sekitar kawasan hutan dan pada musim tertentu dapat
memberikan tambahan penghasilan (Sunarti et al. 2007).
20
17
15
15
10
5
5
5
3
0
Buah
Sayur
Lalapan
Bumbu
masak
Sumber
karbohidrat
Kelompok pemanfaatan
Gambar 8 Jumlah jenis tumbuhan pangan berdasarkan kelompok pemanfaatan.
Daftar jenis tumbuhan pangan yang ditemukan di TWA Madapangga
disajikan pada Lampiran 2, sedangkan
bagian yang digunakan serta
pemanfaatannya disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis data kenekaragaman
spesies tumbuhan pangan pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga
disajikan pada Lampiran 6 sampai 8. Rekapitulasi indeks keanekaragaman
tumbuhan pangan disajikan pada Gambar 9.
Nilai indeks
30
7
6
5
4
3
2
1
0
6.09
4.2
2.77
2.88
3.12
2
0.7
BP
0.88
BPT
0.88
Kekayaan jenis
Keragaman jenis
Kemerataan jenis
BPI
Ket: BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Pemanfaatan terbatas) dan
BPI(Blok Pemanfaatan Intensif)
Gambar 9 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok
pengelolaan di TWA Madapangga.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui jumlah jenis tumbuhan pangan
yang ditemukan pada blok pemanfaatan intensif 34 jenis, blok pemanfaatan
terbatas 26 jenis dan blok perlindungan 18 jenis. Kekayaan jenis tumbuhan
pangan tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan intensif dengan nilai indeks
kekayaan Margalef yaitu 6.09 dan terendah pada blok perlindungan yaitu 2.27.
Keragaman jenis tumbuhan pangan tertinggi diketahui juga terdapat pada blok
pemanfaatan intensif dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 3.12
dan terendah pada blok perlindungan yaitu 2.
Tingginya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok
pemanfaatan intensif menunjukan banyaknya jenis tumbuhan pangan yang
ditemukan pada blok tersebut dibandingkan dengan dua blok lainnya. Hal ini
disebabkan karena kondisi habitat blok tersebut dapat menyediakan berbagai
kebutuhan yang mendukung kelangsungan hidup tumbuhan seperti penyinaran,
hidrologi dan kesuburan tanah. Kondisi habitat pada blok tersebut relatif datar,
cenderung terbuka, didominasi vegetasi semak belukar dan terdapat banyak
sumber air. Blok pemanfaatan intensif telah mengalami perubahan akibat adanya
kegiatan pengelolaan dan aktifitas wisata. Perubahan tersebut diduga juga
mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman jenis komunitas didalamnya.
Komunitas yang mengalami gangguan secara teratur dan acak akan mempunyai
indeks keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas yang
cenderung stabil (Setiadi 2005).
Kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pengelola kawasan yang
mempengaruhi beragamnya jenis tumbuhan pangan pada blok tersebut yaitu
pengayaan jenis. Tumbuhan pangan yang ditemukan hasil pengayaan jenis yaitu
Limonia acidissima, Mangifera sp., Annona muricata, Artocarpus communis dan
S.aqueum. Selain itu, blok pemanfaatan intensif juga berada pada bagian pinggir
kawasan yang berdekatan dengan sawah, kebun dan tegalan masyarakat.
Kemungkinan jenis-jenis budidaya yang terdapat pada kebun dan tegalan
masyarakat secara tidak sengaja disebarkan oleh hewan dan manusia ke dalam
kawasan sehingga jenis-jenis pada blok tersebut menjadi beragam.
Kekayaan dan keragaman jenis tumbuhan pangan terendah terdapat pada
blok perlindungan. Nilai indeks kekayaan Margalef pada blok tersebut yaitu 2.77
dan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 2. Rendahnya nilai indeks
kekayaan dan keragaman jenis pada blok perlindungan menunjukan bahwa jumlah
jenis tumbuhan pangan yang ditemukan pada blok tersebut sedikit yaitu 18 jenis.
31
Kondisi habitat pada blok tersebut didominasi oleh jenis-jenis pohon yang cukup
rapat dan cenderung homogen sehingga menyebabkan terjadinya persaingan antar
tumbuhan dalam mendapatkan berbagai kebutuhan yang dibutuhkannya. Adanya
persaingan tersebut berpengaruh terhadap keberadaan dari jenis-jenis tertentu di
suatu habitat. Hanya jenis-jenis yang mempunyai kemampuan adaptasi terhadap
kondisi habitat pada blok tersebut yang dapat tumbuh dengan baik. Selain itu,
blok kondisi blok perlindungan tidak mengalami gangguan yang berarti sehingga
komunitas tumbuhan didalamnya cenderung stabil. Komunitas yang cenderung
stabil dan mendekati klimaks akan mempunyai indeks keanekaragaman lebih
rendah dibandingkan komunitas yang telah mengalami gangguan akibat bencana
alam maupun adanya intervensi manusia (Barbour et al. 1987).
Tumbuhan pangan berhabitus pohon yang ditemukan antara lain
P.javanicum, S.oleosa, S.cumini, S.dulcis, Ficus ribes dan Z.mauritiana;
sedangkan jenis semak dan herba yaitu A.variabilis, S.indicum dan L.camara.
Jenis-jenis tersebut diduga memiliki karakteristik yang sesuai dengan kondisi
habitat pada blok perlindungan sehingga mampu tumbuh dan beradaptasi dengan
baik. Hasil penelitian Wiriadinata (2008) juga menunjukan bahwa A.variabilis
dan S.indicum banyak ditemukan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh
masyarakat sekitar kawasan Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.
Kemerataan jenis tumbuhan pangan pada ketiga blok pengelolaan di TWA
Madapangga cenderung tinggi dengan nilai evenness berkisar antara 0.7-0.88.
Kisaran nilai evenness yang semakin mendekati angka 1 mengindikasikan
komposisi penyebaran individu dari tiap jenis pada ketiga blok pengelolaan
tersebut cenderung tersebar merata (tidak terdapat jenis tertentu yang
mendominasi). Hal ini diduga juga dipengaruhi oleh kondisi habitat yang sesuai
dengan karakteristik jenis-jenis tumbuhan yang ada pada blok tersebut sehingga
mampu beradaptasi dengan baik.
Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan pangan di TWA Madapangga
berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 10.
Berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya, kekayaan jenis tumbuhan
pangan tertinggi terdapat pada habitus pohon yaitu tingkat pancang dengan nilai
indeks kekayaan Margalef yaitu 3.87 dan terendah pada habitus epifit dan parasit.
Keragaman jenis tertinggi juga terdapat pada tingkat pancang dengan nilai indeks
keragaman Shannon-Wiener yaitu 2.53 dan terendah pada habitus epifit, liana dan
parasit. Kemerataan jenis tertinggi pada tingkat pancang dengan nilai evenness
0.81 dan terendah pada habitus epifit, liana dan parasit.
Nilai indeks
5
4
Kekayaan jenis
3
Keragaman jenis
2
Kemerataan jenis
1
0
Semai Pancang Tiang
Pohon T.bawah Epifit
Liana
Parasit
Habitus dan tingkat pertumbuhannya
Gambar 10 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan berdasarkan habitus
dan tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga.
32
Tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pangan pada tingkat
pancang menunjukan kondisi populasi tumbuhan pada kawasan tersebut cukup
baik, terbukti dengan banyaknya jenis yang ditemukan pada tingkat permudaan.
Hal ini diduga dipengaruhi oleh karakteristik jenis-jenis yang tumbuh sesuai
dengan kondisi habitat pada kawasan tersebut. Berbagai sumberdaya yang
dibutuhkan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhannya cukup tersedia.
Sumberdaya yang dimaksud seperti ruang, cahaya, air dan unsur hara. Kondisi
tersebut memungkinkan permudaan tumbuhan berlangsung baik (Vickery 1984).
Hal yang sama juga terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dimana
keanekaragaman jenis pada tingkat permudaan tumbuhan di kawasan tersebut
cukup tinggi. Sebagian besar jenis vegetasi yang mendominasi ada pada tingkat
pertumbuhan semai dan pancang (Putri & Allo 2009).
Tumbuhan Obat
Jumlah jenis
Tumbuhan obat ditemukan sebanyak 76 jenis dari 40 famili. Famili dengan
jumlah jenis terbanyak yaitu Leguminosae sebanyak 7 jenis dan Euphorbiaceae
sebanyak 6 jenis (Gambar 11). Jenis dari famili Leguminosae yang ditemukan
yaitu T.indica, G.maculata, Cassia alata, Cassia tora, L.leucocephala, Mimosa
pudica dan S.grandiflora. Jenis-jenis dari famili ini ditemukan pada blok
pemanfaatan terbatas dan blok pemanfaatan intensif, khususnya pada areal-areal
yang cenderung terbuka dan bagian pinggir kawasan TWA Madapangga. Pada
kondisi tersebut jenis C.alata, C.tora dan M.pudica ditemukan melimpah. Hal ini
menunjukan bahwa jenis-jenis tersebut dapat beradaptasi dengan kondisi habitat
yang cenderung terbuka dan intensitas penyinaran yang cukup tinggi.
8
7
6
5
4
3
2
1
0
7
6
4
4
4
3
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
Famili
Gambar 11 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan famili.
Jenis-jenis dari famili Euphorbiaceae yang ditemukan yaitu J.curcas,
A.moluccana, Phyllanthus acidus, Jatropha gossipifolia, Phyllanthus urinaria dan
Euphorbia hirta. Jenis J.curcas dan A.moluccana dapat ditemukan pada ketiga
blok pengelolaan. Kedua jenis ini ditemukan mendominasi pada petak-petak
contoh yang berdekatan dengan ladang dan tegalan masyarakat. Jenis P.acidus,
J.gossipifolia dan E.hirta ditemukan pada blok pemanfaatan terbatas dan blok
pemanfaatan intensif, khususnya pada areal yang cenderung terbuka. Hal ini
sesuai dengan karakteristik kedua jenis tersebut yaitu mudah tumbuh pada tempattempat terbuka dengan intensitas penyinaran yang cukup tinggi (Heyne 1987).
33
Jumlah jenis
Jenis P.urinaria hanya ditemukan pada blok pemanfaatan intensif. Jenis ini
ditemukan pada petak-petak contoh yang berada di sekitar sungai atau sumber air.
Hal ini sesuai dengan karakteristik P.urinaria yang dapat tumbuh di tempat
lembab pada dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter dpl (Heyne 1987).
Berdasarkan habitus, tumbuhan obat yang ditemukan di TWA Madapangga
dibedakan ke dalam 6 habitus yang terdiri atas pohon, perdu, herba, liana, epifit
dan parasit (Gambar 12). Tumbuhan pangan berhabitus pohon ditemukan dengan
jumlah jenis terbanyak yaitu 38 jenis, sedangkan epifit dan parasit masing-masing
hanya ditemukan 1 jenis. Bagian-bagian tumbuhan berhabitus pohon yang biasa
dimanfaatkan sebagai obat sebagian besar berupa daun, kulit kayu, buah, biji dan
akar. Seperti halnya pada tumbuhan pangan, pemanfaatan tumbuhan obat oleh
masyarakat sekitar hutan juga dilakukan secara tradisional dan bersifat turun
temurun berdasarkan pengalaman.
38
40
30
20
10
0
23
10
Pohon
Perdu
Herba
3
1
1
Liana
Epifit
Parasit
Habitus
Gambar 12 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus.
Jumlah jenis
Berdasarkan bagian yang dimanfaatkan, tumbuhan obat yang ditemukan
pada kawasan TWA Madapangga dibedakan ke dalam 10 bagian yaitu daun, kulit
kayu, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit buah, umbi dan seluruh bagian
tumbuhan (Gambar 13). Bagian tumbuhan yang ditemukan dengan jumlah jenis
pemanfaatan terbanyak yaitu bagian daun (48 jenis), kulit kayu (24 jenis) dan biji
(21 jenis). Pemanfaatan bagian daun, kulit kayu dan biji dari tumbuhan obat
secara berlebihan harus dihindari karena akan berpengaruh terhadap keberadaan
dan kelestariannya di alam. Upaya budidaya perlu dilakukan terhadap jenis-jenis
tumbuhan obat yang memiliki tingkat pemanfaatan tinggi agar dapat
dimanfaatkan secara lestari.
60
50
40
30
20
10
0
48
24
21
19
17
11
8
2
2
2
Bagian yang dimanfaatkan
Gambar 13 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan bagian yang dimanfaatkan.
34
Jumlah jenis
Berdasarkan kategori pemanfaatan, tumbuhan obat yang ditemukan pada
kawasan tersebut dibedakan ke dalam 15 kelompok penyakit/penggunaan
(Gambar 14). Pemanfaatan tumbuhan obat tertinggi terdapat pada kelompok
penyakit kulit (42 jenis), pencernaan (38 jenis), saluran pembuangan (34 jenis),
otot dan persendian (33 jenis) dan penyakit khusus wanita (30 jenis). Hal ini
menunjukan bahwa kelompok-kelompok penyakit tersebut dapat diobati dengan
banyak jenis tumbuhan obat. Umumnya jenis tumbuhan obat yang ditemukan
dalam kawasan TWA Madapangga memiliki lebih dari satu khasiat dalam
pemanfaatannya. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut tidak boleh dilakukan secara
berlebihan serta harus dibarengi dengan usaha budidaya agar dapat terus
dimanfaatkan dan kelestariannya tetap terjaga.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
42 38
34
33
30
24
21
19
13
12
12
11
9
8
8
Kelompok penyakit/penggunaan
Gambar 14 Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan kelompok
penyakit/penggunaan.
Daftar jenis tumbuhan obat yang ditemukan di TWA Madapangga disajikan
pada Lampiran 3, sedangkan bagian yang digunakan serta pemanfaatannya
disajikan pada Lampiran 5. Hasil analisis data kenekaragaman spesies tumbuhan
obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga disajikan pada Lampiran
9 sampai 11. Rekapitulasi indeks keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat
disajikan pada Gambar 15.
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan seperti pada tumbuhan
pangan, diketahui kekayaan jenis tumbuhan obat tertinggi terdapat pada blok
pemanfaatan intensif dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 10.29.
Keragaman jenis tumbuhan obat tertinggi diketahui juga terdapat pada blok
pemanfaatan intensif dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener yaitu 3.66.
Tingginya nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis pada blok pemanfaatan
intensif diduga akibat adanya kesesuaian antara kondisi habitat dengan
karakteristik jenis-jenis tumbuhan obat yang tumbuh pada kawasan tersebut.
Selain itu, blok pemanfaatan intensif merupakan bagian dari kawasan TWA
Madapangga yang dikelola secara intensif untuk kepentingan wisata. Kegiatan
pengelolaan tersebut dapat merubah kondisi kawasan. Terdapat jenis-jenis
introduksi yang sengaja ditanam oleh pengelola untuk tujuan pengayaan jenis
termasuk jenis-jenis yang berkhasiat sebagai obat. Tumbuhan obat berhabitus
semak dan herba ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan jenis
yang berhabitus pohon. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik semak dan herba
yang dapat tumbuh baik pada kondisi habitat yang cenderung terbuka dengan
35
Jumlah jenis
intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi (Abdiyani 2008). Jenis herba yang
banyak ditemukan pada blok tersebut yaitu Ageratum conyzoides, C.alata, C.tora
dan M.pudica. Jenis-jenis tersebut juga ditemukan melimpah pada areal-areal
terbuka di Cagar Alam Tangale Gorontalo (Rugayah et al. 2009).
12
10
8
6
4
2
0
10.29
7.7
Kekayaan jenis
4.97
2.66
3.46
0.88
0.87
0.74
BP
3.66
BPT
Keragaman jenis
Kemerataan jenis
BPI
Ket:BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Perlindungan Terbatas),
BPI(Blok Perlindungan Intensif)
Gambar 15 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada ketiga blok
pengelolaan di TWA Madapangga.
Kekayaan dan keragaman jenis tumbuhan obat terendah terdapat pada blok
perlindungan dengan nilai indeks kekayaan Margalef yaitu 4.97 dan nilai indeks
keragaman Shannon-Wiener yaitu 2.66. Rendahnya nilai indeks kekayaan dan
keragaman jenis pada blok perlindungan menunjukan bahwa jumlah jenis
tumbuhan obat yang ditemukan pada blok tersebut sedikit (36 jenis) dibandingkan
dua blok lainnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi komunitas pada blok
tersebut cenderung stabil dan mendekati klimaks serta didominasi oleh jenis-jenis
pohon yang cukup rapat dan relatif homogen. Komunitas yang cenderung stabil
dan mendekati klimaks akan mempunyai nilai indeks keanekaragaman jenis yang
lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang telah mengalami gangguan
baik itu akibat bencana alam maupun aktifitas manusia. Tumbuhan obat
berhabitus pohon, semak dan herba ditemukan sedikit pada blok perlindungan.
Jenis-jenis tumbuhan obat berhabitus pohon yang ditemukan yaitu A.scholaris,
S.ligustrina, A.spectobilis, H.tiliaceus, Aegle marmelos dan C.pentandra;
sedangkan jenis semak dan herba yaitu Z.aromaticum, J.gendarussa, A.aspera,
dan C.tora. Jenis-jenis semak dan herba tersebut diketahui mampu tumbuh pada
tempat lembab dan ternaungi (toleran) (Heyne 1987).
Kemerataan jenis tumbuhan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA
Madapangga cenderung tinggi dengan nilai evenness berkisar antara 0.74-0.88.
Kisaran nilai evenness yang semakin mendekati angka 1 mengindikasikan
komposisi penyebaran individu dari setiap jenis pada ketiga blok pengelolaan
tersebut cenderung tersebar merata (tidak terdapat jenis tertentu yang
mendominasi). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di kawasan
TWA Madapangga mampu menyediakan berbagai kebutuhan tumbuhan. Faktor
lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan seperti penyinaran, hidrologi dan
kesuburan tanah diduga cukup tersedia dalam kawasan tersebut sehingga berbagai
jenis tumbuhan dapat tumbuh dengan baik termasuk yang berpotensi sebagai obat.
Indeks keanekaragaman spesies tumbuhan obat di TWA Madapangga berdasarkan
habitus dan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 16.
36
6
Jumlah jenis
5
4
Kekayaan jenis
3
Keragaman jenis
2
Kemerataan jenis
1
0
Pohon
Tiang Pancang Semai T.bawah Epifit
Liana
Parasit
Habitus dan tingkat pertumbuhannya
Gambar 16 Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan obat berdasarkan habitus dan
tingkat pertumbuhannya di TWA Madapangga.
Berdasarkan habitus dan tingkat pertumbuhannya, kekayaan jenis tumbuhan
obat tertinggi terdapat pada habitus pohon yaitu tingkat pancang dengan nilai
indeks kekayaan Margalef yaitu 4.97; sedangkan terendah pada habitus epifit dan
parasit. Keragaman jenis tertinggi juga terdapat pada tingkat pancang dan pohon
dengan nilai indeks keragaman Shannon-Wiener masing-masing 2.7 dan terendah
pada habitus epifit, liana dan parasit. Kemerataan jenis tertinggi pada tingkat
pohon dengan nilai evenness 0.84 dan terendah pada habitus epifit, liana dan
parasit.
Tingginya nilai indeks keanekaragaman spesies tumbuhan obat pada tingkat
pertumbuhan pancang di TWA Madapangga menunjukan kondisi populasi
tumbuhan pada kawasan tersebut cukup baik, terbukti dengan banyaknya
ditemukan jenis pada tingkat permudaan. Hal ini diduga juga dipengaruhi oleh
kesesuaian kondisi habitat dengan karakteristik jenis-jenis yang tumbuh pada
kawasan tersebut. Kondisi tersebut memungkinkan permudaan tumbuhan
berlangsung baik karena berbagai kebutuhan yang dibutuhkan cukup tersedia
(Arif 1997).
Selain itu, terbatasnya aktifitas manusia yang dilakukan dalam kawasan
tersebut diduga juga sangat mempengaruhi keberadaan tumbuhan dan tingkat
pertumbuhannya. Kawasan TWA Madapangga diketahui sangat dijaga keaslian
dan kelestariannya. Pengelola ketat mengawasi pihak-pihak luar yang bermaksud
melakukan kegiatan yang dapat merubah atau merusak kondisi kawasan tersebut.
Dominansi Jenis
Peranan suatu jenis dalam suatu komunitas dapat dilihat dari besarnya
indeks nilai penting (INP), dimana jenis yang mempunyai INP tertinggi
merupakan jenis dominan. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis tersebut
mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi
dibandingkan jenis yang lain. Suatu jenis dikatakan berperan jika memiliki INP
pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang
dan pohon lebih besar dari 15% (Sutisna 1981). Secara ekologi dapat
dikemukakan bahwa indeks nilai penting (INP) yang diperlihatkan oleh setiap
jenis merupakan indikasi bahwa jenis yang bersangkutan dianggap dominan di
37
tempat tersebut jika mempunyai nilai kerapatan, frekuensi dan dominansi lebih
tinggi dibandingkan jenis lain (Soerianegara & Indrawan 1988).
Daftar indeks nilai penting (INP) tumbuhan pangan dan obat di seluruh
lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 12 sampai 13. Rekapitulasi lima jenis
tumbuhan pangan dan obat yang memiliki INP tertinggi secara keseluruhan di
TWA Madapangga disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8 Rekapitulasi lima jenis tumbuhan pangan yang memiliki INP tertinggi
secara keseluruhan di TWA Madapangga
Habitus danTingkat
Pertumbuhannya
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
Tumbuhan bawah
Liana
Jenis
INP(%)
Protium javanicum
79.08
Shcleicera oleosa
73.27
Ziziphus mauritiana
27.45
Syzygium cumini
26.77
Tamarindus indica
18.17
Ziziphus mauritiana
96.69
Protium javanicum
81.97
Shcleicera oleosa
71.55
Ficus ribes
9.20
Aleurites moluccana
6.19
Protium javanicum
64.40
Ziziphus mauritiana
47.05
Shcleicera oleosa
37.09
Psidium guajava
32.17
Glyricidia maculata
28.23
Aleurites moluccana
35.79
Protium javanicum
29.30
Shcleicera oleosa
25.33
Moringa oleifera
23.50
Ziziphus mauritiana
19.10
Lantana camara
59.41
Ocimum sanctum
55.96
Amorphophallus variabilis
41.37
Amaranthus spinosus
17.79
Solanum indicum
10.02
Momordica charantia
200.00
38
Tabel 9 Rekapitulasi lima jenis tumbuhan obat yang memiliki INP tertinggi
secara keseluruhan di TWA Madapangga
Habitus danTingkat
Pertumbuhannya
Jenis
INP(%)
Protium javanicum
49.72
Shcleicera oleosa
46.10
Alstonia scholaris
29.57
Ficus benjamina
26.89
Ziziphus mauritiana
17.48
Ziziphus mauritiana
76.40
Protium javanicum
64.69
Shcleicera oleosa
56.48
Lagerstroemia speciosa
21.34
Alstonia scholaris
12.44
Alstonia spectabilis
90.08
Protium javanicum
30.48
Ziziphus mauritiana
22.23
Shcleicera oleosa
17.59
Strychnos ligustrina
17.12
Alstonia spectabilis
65.28
Protium javanicum
23.62
Shcleicera oleosa
21.38
Strychnos ligustrina
20.04
Alstonia scholaris
10.25
Zingiber aromaticum
47.12
Achyanthes aspera
19.95
Justicia gendarussa
19.36
Lantana camara
18.75
Amorphophallus variabilis
17.90
Epifit
Asplenium nidus
200.00
Liana
Momordica charantia
96.90
Piper retrofractum
85.71
Tinospora crispa
17.39
Dendropthoe sp.
200.00
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
Tumbuhan bawah
Parasit
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diatas, diketahui tumbuhan pangan
berhabitus pohon yang ditemukan mendominasi pada kawasan TWA Madapangga
yaitu
T.indica, Z.mauritiana, S.oleosa, P.javanicum, P.guajava, S.cumini, dan
A.moluccana sedangkan tumbuhan obat terdiri atas A.scholaris, S.ligustrina,
A.spectabilis, L.speciosa dan J.curcas (Gambar 17). Jenis-jenis tersebut
ditemukan hampir diseluruh petak-petak contoh (80%). Hal ini mengindikasikan
jenis-jenis tersebut memiliki karakteristik tahan terhadap kekeringan dan mampu
beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan (Heyne 1987). Jenis T.indica,
Z.mauritiana, S.oleosa, P.javanicum dan S.cumini juga banyak ditemukan pada
kawasan-kawasan konservasi lain di daerah Nusa Tenggara Barat. Jenis
39
S.ligustrina hanya ditemukan pada tingkat pancang dan semai, namun tidak
ditemukan pada tingkat pohon dan tiang. Hal ini diduga terjadi karena adanya
kegiatan ilegal logging yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan pada
awal reformasi. Jenis ini banyak ditebang untuk diambil kayunya sebagai bahan
pembuatan simplisia obat yang kemudian dijual ke pulau Jawa. Akibatnya
kondisi populasi jenis S.ligustrina semakin menurun dan sekarang jarang dijumpai
pada tingkat pohon. Selain itu jenis ini juga diketahui memiliki regenerasi yang
lambat (BKSDA NTB 2010). Jenis-jenis budidaya yang tergolong tumbuhan
pangan dan obat yang ditemukan dalam kawasan TWA Madapangga yaitu
A.occidentale, A.moluccana, A.squamosa, M.oleifera, C.aurantifolia, A.communis
dan L.acidissima.
c
b
a
d
Gambar 16 Jenis-jenis pohon yang ditemukan mendominasi di TWA Madapangga
(a) S.oleosa, (b) S.cumini, (c) S.ligustrina dan (d) T.indica.
Tumbuhan pangan berhabitus semak dan herba yang ditemukan
mendominasi antara lain S.indicum, A.spinosus, P.oleracea, O.sanctum dan
L.camara. Jenis-jenis tersebut ditemukan pada areal yang cenderung terbuka dan
bagian pinggir kawasan. Jenis L.camara dan S.indicum juga ditemukan
mendominasi pada areal-areal terbuka di kawasan Cagar Alam Pegunungan
Cyclops Papua (Uji 2005), Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka Margasatwa
Lambusango Pulau Buton Sulawesi Tenggara (Uji & Windadri 2007). Tumbuhan
obat berhabitus semak dan herba yang ditemukan mendominasi yaitu
Z.aromaticum, A.aspera, J.gendarussa, S.indicum dan A.variabilis (Gambar 18).
Jenis-jenis tersebut ditemukan tumbuh pada areal-areal cenderung yang ternaungi.
Jenis J.gendarussa dan Z.aromaticum juga banyak dijumpai dan dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar Cagar Alam Tangale Gorontalo (Rugayah et al. 2009).
a
b
c
Gambar 18 Jenis-jenis herba yang mendominasi di TWA Madapangga
(a) Z.aromaticum, (b) J.gendarussa dan (c) S.indicum.
Tumbuhan pangan berhabitus liana (non woody) yang ditemukan di lokasi
penelitian yaitu jenis M.charantia, sedangkan tumbuhan obat terdiri atas T.crispa
40
dan P.retrofractum (Gambar 19). Jenis M.charantia dan T.crispa sering dijumpai
pada areal yang terbuka maupun yang ternaungi. Hal ini menunjukan bahwa
kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai
kondisi lingkungan di TWA Madapangga. Menurut Jacob (1988) dan Rukmana
(1997), kepadatan dari jenis M.charantia tergantung dari kondisi habitatnya.
Pada hutan-hutan yang tidak terganggu, jenis ini penyebarannya sangat bervariasi
dan dapat dijumpai pada berbagai tipe vegetasi.
a
b
c
Gambar 19 Jenis-jenis liana yang mendominasi di TWA Madapangga
(a) M.charantia, (b) T.crispa dan (c) P.retrofractum.
Tumbuhan obat berhabitus epifit hanya ditemukan A.nidus, sedangkan
parasit hanya ditemukan jenis Dendropthoe sp. Pada kawasan TWA Madapangga,
tumbuhan inang dari A.nidus dan Dendropthoe sp. yaitu F.benjamina, A.scholaris,
Mangifera sp., C.pentandra, A.marmelos dan B.racemosa. Tumbuhan inang dari
kedua jenis ini di Kebun Raya Purwodadi yaitu dari famili Anacardiaceae
(M.indica), Bombacaceae (C.pentandra), Lecythidaceae (B.asiatica), Moraceae
(F.fistulosa), Rutaceae (A.marmoles), Verbenaceae (Tectona grandis L.F.) dan
Apocynaceae (Kopsia arborea Blume.) (Sunaryo et al. 2006).
Jenis Dendropthoe sp. ditemukan hanya enam individu di lokasi penelitian.
Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh penyebarannya yang hanya diketahui dibantu
oleh burung (ornithokori). Apabila burung memakan buah Dendropthoe sp. dan
bijinya menempel pada dahan pohon yang sesuai, kemungkinan akan
berkecambah dan tumbuh. Menurut Van Leeuwen (1954) dan Pitojo (1996),
penyebaran biji-biji dari jenis Dendropthoe sp. diketahui dilakukan oleh burungburung dari famili Dicacidae khususnya dari jenis Dicaeum spp. atau burung
cabe. Penyebarannya juga sangat terbantu oleh sifat biji yang dapat melekat
karena mengandung zat kimia viscin.
Dominasi jenis-jenis di atas diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
pada masing-masing blok yang relatif sesuai dengan karakteristik jenis-jenis
dominan tersebut sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi kawasan TWA
Madapangga. Hal ini menunjukan bahwa jenis-jenis dominan tersebut
mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi terhadap lingkungan daripada jenis
lainnya pada tempat tumbuh yang sama. Setiadi (2005) juga menyatakan bahwa
kemampuan suatu jenis untuk hidup pada suatu habitat sangat tergantung pada
kemampuannya beradaptasi terhadap kondisi lingkungan di tempat tersebut.
Lingkungan sangat berperan dalam menyeleksi jenis untuk dapat bertahan pada
suatu habitat.
41
Pola Sebaran
Berdasarkan analisis pola sebaran yang dilakukan menunjukan bahwa
tumbuhan pangan dan obat pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga
sebagian besar (76.32%) memiliki pola sebaran mengelompok (Lampiran 14).
Pola sebaran yang mengelompok adalah pola yang paling umum dijumpai di alam
sebagai akibat dari adanya faktor pembatas terhadap keberadaan jenis atau
populasi tertentu (Ludwig & Reynold 1988). Hal ini disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang jarang sekali seragam walaupun dalam areal yang sempit
(Indriyanto 2006). Selain faktor lingkungan, pola sebaran mengelompok juga
dipengaruhi oleh karakteristik jenis-jenis tumbuhan yang bereproduksi dengan biji
atau dengan rimpang yang menghasilkan anakan dekat dengan induknya (Barbour
et al. 1987).
Pola sebaran seragam juga terjadi pada beberapa jenis tumbuhan pangan dan
obat di TWA Madapangga. Pola sebaran seragam dihasilkan dari interaksi negatif
antar individu seperti adanya kompetisi terhadap makanan dan ruang (Ludwig &
Reynolds 1988). Pola sebaran seragam juga diduga terjadi karena pengaruh
kelerengan dan adanya peranan satwa sebagai agen penyebar biji. Kelerengan
yang tinggi dengan penutupan tajuk yang tidak terlalu rapat memungkinkan
buah/biji yang telah tua dan kering tertiup oleh angin sebelum jatuh ke tanah
sehingga berada jauh dari pohon induknya. Penyebaran buah/biji yang dilakukan
oleh satwa terjadi pada spesies-spesies yang merupakan pakan bagi satwa.
Penyebaran biji yang dilakukan oleh satwa memberikan keuntungan ekologis bagi
tumbuhan. Biji yang tersebar mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk
terbebas dari persaingan yang selalu terjadi di bawah naungan pohon induk. Hal
tersebut memberikan kesempatan bagi jenis tumbuhan untuk menyebar ke habitathabitat baru (Peter 1994). Jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki
pola sebaran seragam disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rekapitulasi jenis tumbuhan pangan dan obat yang memiliki pola
sebaran seragam di TWA Madapangga
Habitus
Pohon
Nama ilmiah
Pola sebaran
Ficus benjamina
Phyllanthus acidus
Citrus hystrix
Seragam
Seragam
Seragam
Ceiba pentandra
Limonia acidissima
Spondias dulcis
Swietenia mahagoni
Aegle marmelos
Melia azederach
Seragam
Seragam
Seragam
Seragam
Seragam
Seragam
Epifit
Asplenium nidus
Seragam
Liana
Piper retrofractum
Momordica charantia
Seragam
Seragam
Parasit
Dendropthoe sp.
Seragam
42
Pada ketiga blok pengelolaan di TWA Madapangga juga ditemukan jenisjenis tumbuhan pangan dan obat yang masing-masing hanya dijumpai 1 individu,
sehingga pola sebarannya tidak dapat dianalisa karena tidak dapat
menggambarkan kondisi penyebarannya. Jenis-jenis yang ditemukan hanya 1
individu tersebut yaitu A.bilimbi, A.catechu, A.communis, Celasio argentea dan
P. urinaria.
Kesamaan Komunitas
Hasil analisis data kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat antar
blok pengelolaan di TWA Madapangga disajikan pada Gambar 20.
Nilai IS
0,8
0,6
0.69
0.64 0.64
0.59
0,4
Tumbuhan Obat
Tumbuhan Pangan
0.29 0.29
0,2
0
BP - BPT
BP -BPI
BPT - BPI
Ket: BP(Blok Perlindungan), BPT(Blok Pemanfaatan Terbatas),
BPI(Blok Pemanfaatan Intensif)
Gambar 20 Indeks kesamaan komunitas antar blok pengelolaan
di TWA Madapangga.
Kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan
dan blok pemanfaatan terbatas cukup tinggi dengan nilai IS yaitu 0.69 dan 0.59.
Kecenderungan yang sama terjadi pada komunitas blok pemanfaatan terbatas dan
blok pemanfaatan intensif dengan nilai IS yaitu masing-masing 0.64. Sebaliknya,
nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan
intensif rendah dengan nilai IS masing-masing 0.29.
Nilai IS tumbuhan obat tertinggi terdapat pada blok perlindungan dan blok
pemanfaatan terbatas yaitu 0.69. Kondisi ini menunjukan adanya kecenderungan
kesamaan jenis tumbuhan obat antar blok perlindungan dan blok pemanfaatan
terbatas. Hal ini diduga karena kondisi habitat pada blok perlindungan dan blok
pemanfaatan terbatas tidak jauh berbeda sehingga jenis-jenis yang sama dapat
beradaptasi dengan baik. Kedua blok tersebut memiliki kondisi vegetasi yang
cukup rapat dan sebagian besar arealnya curam dengan kelerengan 25-40% dan
ketinggian antara 400-600 m dpl. Jenis-jenis pohon yang sama yang ditemukan
pada kedua blok tersebut yaitu S.oleosa, P.javanicum, A.spectabilis, S.ligustrina,
Z.mauritiana dan A.scholaris; sedangkan jenis semak dan herba yaitu
Z.aromaticum, A.aspera, J.gendarussa, A.variabilis dan L.camara.
Nilai IS tumbuhan pangan tertinggi terdapat pada blok pemanfaatan terbatas
dan blok pemanfaatan intensif yaitu 0.64. Kondisi ini juga menunjukan adanya
kecenderungan kesamaan jenis tumbuhan pangan antar blok pemanfaatan terbatas
dan blok pemanfaatan intensif. Hal ini diduga juga disebabkan kondisi habitat
pada kedua blok tersebut hampir mirip sehingga jenis-jenis yang sama dapat
tumbuh dengan baik. Umumnya areal pada blok pemanfaatan intensif dan
sebagian blok pemanfaatan terbatas cenderung terbuka dan relatif datar dengan
43
kelerengan kurang dari 20%. Jenis-jenis pohon yang sama yang ditemukan pada
kedua blok tersebut yaitu S.oleosa, P.javanicum, Z.mauritiana, A.moluccana,
P.guajava, L.leucocephala dan G.maculata; sedangkan jenis semak dan herba
yaitu L.camara, M.pudica, A.variabilis dan S.indicum.
Kesamaan komunitas tumbuhan pangan dan obat terendah terdapat pada
blok perlindungan dan blok pemanfaatan intensif dengan nilai IS masing-masing
yaitu 0.29. Rendahnya nilai IS tumbuhan pangan dan obat antar kedua blok
tersebut mengindikasikan rendahnya tingkat kesamaan jenis-jenis tumbuhan yang
ada didalamnya. Hal ini diduga karena adanya variasi tanggap yang berbeda dari
setiap jenis tumbuhan terhadap kondisi habitatnya.
Keanekaragaman Jenis Berdasarkan Pengetahuan Lokal Masyarakat
Tumbuhan Pangan
Hasil analisis data wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat Desa
Ndano dan Monggo, diketahui bahwa tumbuhan pangan yang ditemukan dalam
kawasan TWA Madapangga dikelompokkan ke dalam 3 kategori pemanfaatan
yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 13 jenis, jenis-jenis
yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai ekonomi (sudah dijual ke
pasar) sebanyak 10 jenis, serta jenis-jenis yang berpotensi untuk dikembangkan
sebanyak 13 jenis. Daftar jenis-jenis tumbuhan pangan yang termasuk dalam tiga
kategori tersebut disajikan pada Tabel 11-13.
Tabel 11 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang jarang dimanfaatkan
(minor) oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
Amaranthus spinosus
Bagian yang
dimanfaatkan
Daun dan batang
Celasio argentea
Daun
Dracontomelon dao
Daun dan buah
Jenis
Lokasi pemungutan
Sayuran
Sawah dan kebun
Sayuran
Sayuran dan buahbuahan
Sawah dan kebun
Hutan sekitar TWA
Sayuran
Kebun dan sekitar
rumah
Kebun dan sawah
Daun dan buah
Daun muda dan
buah
Seluruh bagian
tanaman
Bumbu masak
Sayuran dan buahbuahan
Hutan sekitar TWA
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Sayuran
Sawah dan kebun
Leucaena leucocephala
Biji
Lalapan
Talinum triangulare
Amorphophallus
variabilis
Daun
Sayuran
Sayuran dan
sumber karbohidrat
Lantana camara
Buah
Buah-buahan
Solanum indicum
Buah
Lalapan
Glyricidia maculata
Celasio cristata
Citrus hystrix
Ficus ribes
Portulaca oleracea
Daum muda dan
bunga
Daun
Pemanfaatan
Batang dan umbi
Sayuran
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Sawah dan kebun
Sawah, kebun dan
hutan sekitar TWA
Kebun, sekitar rumah
dan hutan sekitar TWA
Sawah, kebun dan
hutan sekitar TWA
44
Tumbuhan pangan seperti A.spinosus, C.argentea, C.cristata dan
P.oleracea hanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan sebagai sayuran
pada musim hujan, dimana jenis-jenis tersebut tumbuh melimpah. Terutama
ketika mereka tinggal di kebun atau di ladang untuk menjaga tanaman
pertaniannya. Jenis-jenis seperti D.dao, F.ribes, A.variabilis, S.indicum dan
T.triangulare dimanfaatkan oleh masyarakat pada musim kemarau untuk
menghadapi kondisi kekurangan pangan. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut sebagai
sayur yaitu daun mudanya. Jenis A.variabilis dimanfaatkan sebagai sumber
karbohidrat yaitu umbinya, sedangkan batangnya sebagai sayur. Rugayah et al.
(2009) menyatakan bahwa masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Tangale
Gorontalo juga memanfaatkan jenis A.spinosus, S.indicum, P.oleracea dan D.dao
sebagai bahan pangan. Daun muda dari jenis-jenis A.spinosus, P.oleracea dan
D.dao dimanfaatkan sebagai sayur. Buah dari jenis S.indicum dimanfaatkan
sebagai campuran sambal mentah dan lalapan. Buah matang dari jenis D.dao
dapat dimakan sebagai buah segar.
Bagi masyarakat sekitar, kawasan TWA Madapangga merupakan penyedia
sumber plasma nutfah tumbuhan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan
untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan-kegiatan
pengelolaan diharapkan dapat mengakomodir akses pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat terhadap jenis-jenis tertentu yang dapat dimanfaatkan secara lestari.
Hal ini tentu harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat oleh pengelola
kawasan. Peran pengelola juga sangat dibutuhkan dalam memotivasi masyarakat
untuk melakukan konservasi, dengan melibatkannya dalam berbagai kegiatan
pengelolaan kawasan.
Tabel 12 Daftar sepuluh (10) jenis tumbuhan pangan yang sering dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
Jenis
Tamarindus indica
Bagian yang
dimanfaatkan
Daun muda dan
daging buah
Pemanfaatan
Lokasi pemungutan
Sayur dan bumbu
masak
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Kebun dan sekitar
rumah
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Syzygium aqueum
Buah
Buah-buahan
Psidium guajava
Buah
Buah-buahan
Anacardium occidentale
Daun muda dan buah
Lalapan dan buahbuahan
Citrus aurantifolia
Daun dan buah
Bumbu masak
Moringa oleifera
Daun, bunga dan
buah
Sayuran
Aleurites moluccana
Buah
Bumbu masak
Mangifera sp.
Buah
Buah-buahan
Momordica charantia
Daun dan buah
Sayuran
Annona squamosa
Buah
Buah-buahan
Kebun
Sekitar rumah dan
kebun
Sekitar rumah dan
kebun
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Sekitar rumah dan
kebun
Kebun dan hutan
sekitar TWA
Kebun
Tumbuhan pangan seperti T.indica, M.charantia, M.oleifera dan P.guajava
diketahui tumbuh secara alami dan banyak ditemukan baik di kebun, ladang,
hutan sekitar desa maupun di dalam kawasan TWA Madapangga. Apabila jenis-
45
jenis tersebut tumbuh pada kebun atau ladang masyarakat, maka pemilik kebun
atau ladang itulah yang berhak memanfaatkannya. Jenis S.aqueum, A.occidentale,
C.aurantifolia, A.moluccana, Mangifera sp. dan A.squamosa merupakan jenis
budidaya yang sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat sekitar kawasan
TWA Madapangga. Jenis-jenis tersebut dibudidayakan di kebun, ladang maupun
pekarangan telah memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebagian besar hasil
panen akan di jual ke pasar atau pembeli yang mendatangi kebun atau ladang
untuk langsung memanennya sendiri. Hasil penelitian Rahayu & Prawiroatmodjo
(2005), pada masyarakat Lampeapi Pulau Wawoni Sulawesi Tenggara juga
menunjukan bahwa jenis-jenis A.squamosa, A.occidentale, S.aqueum, Mangifera
sp. dan C.aurantifolia merupakan jenis yang telah banyak dibudidayakan di
pekarangan dan sekitar pemukiman. Jenis-jenis tersebut umumnya dimanfaatkan
untuk memenuhi keperluan masyarakat secara pribadi. Namun, jika hasil panen
melimpah maka dijual ke pasar.
Tabel 13 Daftar tiga belas (13) jenis tumbuhan pangan yang berpotensi untuk
dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
Jenis
Bagian yang
dimanfaatkan
Averrhoa bilimbi
Buah
Ziziphus mauritiana
Daun muda dan
buah
Phyllanthus acidus
Buah
bumbu masak, lalapan dan sirup
penyegar
Buah matangnya sebagai buah
segar, sari buah, manisan serta
daunnya muda sebagai sayur
Buah segar, rujak dan asinan
Canna edulis
Umbi
Sumber karbohidrat
Syzygium cumini
Buah
Buah segar, sari buah dan
manisan
Limonia acidissima
Buah
Spondias dulcis
Daun muda dan
buah
Shcleicera oleosa
Daun muda dan
buah
Protium javanicum
Daun muda dan
buah
Annona muricata
Buah
Annona squamosa
Buah
Artocarpus
communis
Buah
Sesbania
grandiflora
Daun muda dan
bunga
Potensi pemanfaatan
Buah segar, rujak, dodol,
manisan dan sirup
Buah matangnya dimakan segar,
selai, jeli, sari buah.
buah mentah (rujak dan acar)
serta daun mudanya sebagai
sayur dan lalapan
Buah matangnya sebagai buah
segar dan manisan serta daun
mudanya sebagai sayur
Buah matangnya sebagai buah
segar dan manisan serta daun
muda sebagai sayur, lalapan dan
campuran sambal mentah
Buah segar, jus, sirup, dodol,
dan sebagainya
Buah segar, jus, sirup, dodol,
dan sebagainya
Sumber karbohidrat dan
penganan seperti gorengan,
keripik, kue dan sebagainya
Sayuran dan lalapan
Lokasi
pemungutan
Sekitar rumah
dan kebun
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Sekitar rumah
Sekitar rumah
dan kebun
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Sekitar rumah
dan kebun
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Sekitar rumah
dan kebun
Sekitar rumah
dan kebun
Sekitar rumah
dan kebun
Sekitar rumah
dan kebun
46
Tumbuhan pangan pada Tabel 13 merupakan jenis multi guna. Selain
berpotensi sebagai bahan pangan yaitu bagian buah dan daun mudanya, jenis-jenis
tersebut juga berkhasiat sebagai obat yang dapat mengobati berbagai macam
penyakit. Jenis-jenis yang diketehui tumbuh secara alami yaitu Z.mauritiana,
P.guajava, S.cumini, S.dulcis, S.oleosa dan P.javanicum. Keberadaan jenis-jenis
tersebut dikhawatirkan menjadi terancam dengan semakin berkurangnya luasan
hutan saat ini, bahkan bisa menyebabkan kelangkaan dan akhirnya punah kalau
tidak disertai dengan usaha budidaya. Oleh karena itu, pengelola kawasan
diharapkan mampu mengarahkan dan memotivasi masyarakat sekitar kawasan
untuk mulai membudidayakan jenis-jenis tersebut pada lahan miliknya.
Jenis-jenis yang mulai dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan miliknya
yaitu jenis A.bilimbi, P.acidus, C.edulis, L.acidissima, A.muricata, A.squamosa,
A.communis dan S.grandiflora. Kegiatan budidaya terhadap jenis-jenis tersebut,
selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga merupakan salah
satu wujud aksi konservasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan
tersebut. Jenis-jenis tersebut ditanam di sekitar pekarangan, kebun maupun ladang
sehingga apabila sewaktu-waktu dibutuhkan mereka dapat dengan mudah
memperolehnya.
Selain untuk pemanfaatan sendiri, sebagian masyarakat sekitar kawasan
TWA Madapangga mengumpulkan tumbuhan pangan tersebut untuk dijual ke
pasar guna menambah penghasilan keluarga seperti buah dari jenis T.indica,
Z.mauritiana, P.guajava, S.cumini, L.acidissima, A.communis, A.occidentale,
S.dulcis, M.oleifera dan C.aurantifolia serta sayur dan lalapan dari daun muda
jenis S.oleosa, P.javanicum, M.charantia dan M.oleifera (Gambar 21).
a
e
b
c
d
f
g
h
Gambar 21 Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dijual ke pasar (a) L.acidissima,
(b) P.oleracea, (c) A.communis, (d) daun S.oleosa, (e) S.cumini,
(f) Z.mauritiana, (g) M.charantia, (h) M.oleifera.
Kegiatan pemungutan jenis-jenis tersebut biasanya dilakukan pada musim
kemarau yang disesuaikan dengan musim berbuah dari jenis-jenis tersebut. Lokasi
pemungutannya yaitu di kebun atau tegalan mereka yang berada di sekitar
kawasan TWA Madapangga. Namun untuk buah dari T.indica, Z.mauritiana,
P.guajava, dan S.cumini serta daun muda dari jenis S.oleosa, dan P.javanicum
kadang-kadang mereka pungut dalam kawasan. Sebagian besar hasil yang
47
diperoleh dijual ke pasar yang tidak jauh dari kawasan TWA Madapangga yaitu
pasar tradisional Sila. Apabila hasil pungutan yang diperoleh cukup banyak maka
akan dijual kepada tengkulak di pasar tradisional Bima. Keuntungan yang
diperoleh dari penjualan dapat mencapai Rp 30 000,- tiap kali pemungutan.
Keuntungan tersebut dapat berkurang jika banyak masyarakat lain juga ikut
memungut.
Tumbuhan Obat
Hasil analisis data wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat Desa
Ndano dan Monggo, diketahui bahwa tumbuhan obat yang ditemukan dalam
kawasan TWA Madapangga juga dikelompokkan ke dalam 3 kategori
pemanfaatan yaitu jenis-jenis yang jarang dimanfaatkan (minor) sebanyak 57
jenis, jenis-jenis yang sering dimanfaatkan dan telah memiliki nilai ekonomi
(sudah dijual ke pasar) sebanyak 12 jenis, serta jenis-jenis yang berpotensi untuk
dikembangkan sebanyak 8 jenis.
Tumbuhan obat yang jarang dimanfaatkan (minor) sebagian besar
berhabitus semak dan herba yaitu 30 jenis, 22 jenis berhabitus pohon, masingmasing 2 jenis epifit dan liana serta 1 jenis parasit. Pemanfaatan jenis-jenis
tersebut disesuaikan dengan penyakit yang diderita dan berdasarkan pengetahuan
tradisional yang sifatnya turun temurun. Masyarakat sekitar pada dua desa
penelitian tidak banyak yang memanfaatnya, kecuali bagi tabit dan dukun. Hal ini
disebabkan karena jenis-jenis minor tersebut tidak dimanfaatkan dalam
pengobatan penyakit-penyakit yang umum diderita oleh masyarakat. Jenis-jenis
tersebut dapat ditemukan tumbuh liar baik di sekitar pekarangan, sawah, kebun
maupun di kawasan TWA Madapangga dan sekitarnya. Rekapitulasi jenis
tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA
Madapangga disajikan pada Tabel 14.
Jenis-jenis pada Tabel 14 diketahui mempunyai lebih dari satu khasiat, oleh
karena itu tingkat pemanfaatannya cukup tinggi. Masyarakat sekitar kawasan
mendapatkan jenis-jenis tersebut dari kebun, ladang dan areal hutan sekitar tempat
tinggal mereka termasuk dari dalam kawasan TWA Madapangga. Jenis-jenis
tumbuhan obat yang biasa diperoleh dari dalam kawasan seperti S.ligustrina,
P.retrofractum, A.scholaris dan Z.aromaticum. Jenis S.ligustrina dan
P.retrofractum akhir-akhir ini sudah jarang dijumpai. Kedua jenis tersebut hanya
bisa ditemukan pada kawasan hutan yang kondisinya masih bagus seperti
kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung.
Khusus di TWA Madapangga, S.ligustrina hanya ditemukan pada tingkat
pancang dan semai. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya illegal logging yang
dilakukan oleh masyarakat pada awal era reformasi (1998-2002). Usaha budidaya
yang dilakukan oleh pengelola kawasan maupun masyarakat terhadap jenis
tersebut belum ada sampai saat ini. Jenis-jenis seperti A.moluccana, T.indica,
A.catechu dan P.guajava juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Dayak
Tunjung Kalimantan Timur (Setyowati 2010). Masyarakat Suku Sasak di Lombok
Barat juga diketahui memanfaatkan jenis A.scholaris yaitu getah batangnya
sebagai obat diare, rebusan kulit batang sebagai tonikum dan obat haid tidak
lancar pada wanita. Jenis J.curcas daunya dimanfaatkan sebagai obat luka, obat
cacing dan perut kembung (Riswan & Andayaningsih 2008).
48
Selain untuk pemanfaatan sendiri, sebagian masyarakat mengumpulkan
tumbuhan obat tersebut untuk dijual ke pasar guna menambah penghasilan
keluarga seperti buah dari jenis S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica,
A.moluccana, dan C.aurantifolia serta kulit kayu dari jenis A.scholaris. Kegiatan
pemungutan tersebut biasanya dilakukan pada musim kemarau yang disesuaikan
musim berbuah jenis-jenis tersebut. Tumbuhan obat yang diperoleh biasanya
dijual ke pasar tradisional seperti halnya yang mereka lakukan terhadap tumbuhan
pangan hutan yaitu pasar tradisional Sila dan Bima. Terutama untuk jenis
S.ligustrina dan P.retrofractum, pada musim berbuah keuntungan yang dapat
diperoleh dari hasil penjualannya dapat mencapai Rp 50 000,- tiap kali
pemungutan.
Tabel 14 Daftar sepuluh (12) jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga Kabupaten Bima
Bagian yang
dimanfaatkan
Daun muda kulit
batang dan daging
buah
Kelompok
penyakit/penggunaannya
Pencernaan, khusus wanita,
mulut, perawatan rambut,
muka dan kulit serta tonikum
Strychnos ligustrina
Daun, buah kult
batang dan kayu
Malaria, pencernaan, kulit,
serta otot dan persendian
Tinospora crispa
Batang
Malaria, pencernaan dan sakit
kepala dan demam
Piper retrofractum
Daun, buah dan
akar
Perawatan kehamilan dan
persalinan, pencernaan,
khusus wanita serta tonikum
Psidium guajava
Daun,buah dan
kulit batang
Pencernaan, khusus wanita
serta tonikum
Jatropha curcas
Daun segar, getah
dan biji
Mengobati luka, kulit dan gigi
Jenis
Tamarindus indica
Achyranthes aspera
Daun,biji dan akar
Aleurites moluccana
Daun,bunga,
buah, biji dan
kulit batang
Zingiber aromaticum
Rimpang
Areca catechu
Biji,daun dan
kulit buah (sabut)
Alstonia scholaris
Hibiscus tiliaceus
Daun,kulit dan
akar
Daun,bunga, akar
dan kulit batang
Malaria, pencernaan, khusus
wanita, penawar racun, sakit
kepala dan demam serta
saluran pembuangan
Pencernaan, khusus wanita,
kulit, mulut, sakit kepala dan
demam serta perawatan
rambut, muka dan kulit
Malaria, pencernaan, saluran
pembuangan serta perawatan
kehamilan dan persalinan
Khusus wanita, kulit,gigi,
pencernaan, saluran
pembuangan serta perawatan
kehamilan dan persalinan
Pencernaan, kulit, saluran
pembuangan serta perawatan
kehamilan dan persalinan
Pencernaan, saluran
pembuangan, khusus wanita
serta otot dan persendian
Lokasi
pemungutan
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Hutan sekitar
dan kawasan
TWA
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Hutan sekitar
dan kawasan
TWA
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Sekitar rumah
dan kebun
Sekitar rumah
dan kebun
Kebun dan
hutan sekitar
TWA
Hutan sekitar
dan kawasan
TWA
Sekitar rumah,
sawah dan
kebun
Hutan sekitar
dan kawasan
TWA
Sekitar
rumah,kebun
dan hutan
sekitar TWA
49
Jenis tumbuhan obat di TWA Madapangga dan sekitarnya yang berpotensi
untuk
dikembangkan
yaitu
S.ligustrina,
P.retrofractum,
T.crispa,
A.scholaris, A.catechu, T.indica dan A.moluccana. Jenis-jenis tersebut juga
merupakan jenis yang memiliki lebih dari satu khasiat dan masih tumbuh secara
alami dan belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Pemanfaatan yang
cukup tinggi tanpa dibarengi dengan usaha budidaya, dapat menyebabkan jenisjenis tersebut sulit diperoleh bahkan dapat punah. Teknik budidaya yang sesuai
diharapkan dapat menunjang kegiatan konservasi dan pemanfaatannya. Beberapa
jenis tumbuhan obat yang di jual ke pasar oleh masyarakat sekitar kawasan hutan
disajikan pada Gambar 22.
c
b
a
d
e
Gambar 22 Jenis-jenis tumbuhan obat yang dijual ke pasar (a) T.indica,
(b) S.ligustrina dan A.moluccana, (c) A.catechu, (d) P.retrofractum,
(e) kulit kayu A.scholaris.
Jenis-jenis Tumbuhan Pangan dan Obat Potensial
Tumbuhan potensial yang dimaksud adalah spesies tumbuhan yang ada
dalam kawasan TWA Madapangga yang menurut studi literatur memiliki berbagai
potensi untuk dimanfaatkan tetapi saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal
oleh masyarakat sekitar. Kriteria yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis
tumbuhan pangan dan obat potensial tersebut yaitu: (1) jenis-jenis tumbuhan
pangan dan obat tersebut dapat ditemukan di kawasan TWA Madapangga dan
sekitarnya, (2) teknik perbanyakannya sudah diketahui, (3) memiliki nilai
ekonomi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan menjadi sebuah usaha
baik skala kecil/rumahan maupun industri, dan (4) relevan dengan kebutuhan
masyarakat sekitar kawasan, masyarakat Bima serta masyarakat Indonesia
umumnya. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa jenis tumbuhan
pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan TWA
Madapangga dan berpotensi untuk dikembangkan:
50
C.edulis merupakan tumbuhan tahunan dari famili cannaceae yang tumbuh
berumpun dan menghasilkan rhizoma/umbi yang mengandung pati. Nama lokal
jenis ini di Bima adalah kalodana. Umbi C.edulis dapat dikonsumsi sebagai
sumber karbohidrat setelah dikukus dan dibuat tepung untuk berbagai macam
pengaman yang bergizi. Jenis ini cukup potensial sebagai sumber karbohidrat
yang dapat dikembangkan untuk penganekaragaman pangan pokok (Margono et
al. 1993). Jenis C.edulis di TWA Madapangga ditemukan pada blok pemanfaatan
intensif yaitu pada petak-petak contoh yang berdekatan dengan sumber air. Jenis
ini diketahui tahan terhadap naungan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan
iklim sehingga mudah dikembangkan termasuk di TWA Madapangga dan
sekitarnya.
A.communis merupakan tumbuhan multi guna dari famili Moraceae. Nama
lokal jenis ini di Bima adalah karara. Jenis berpotensi sebagai penghasil buah dan
kayu yang bernilai ekonomi. Buah dari jenis ini dapat memberi kontribusi
terhadap upaya global dalam menjamin ketahanan pangan karena mengandung
gizi dan kalori yang tinggi (Adinugraha & Kartikawati 2004). Dalam bidang
kehutanan, A.communis adalah salah satu jenis pohon yang dipilih dalam kegiatan
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Jenis ini di TWA
Madapangga ditemukan pada blok pemanfaatan intensif yaitu pada petak-petak
contoh yang berada di bagian pinggir kawasan, yang diduga merupakan salah satu
jenis yang ditanam dalam usaha pengkayaan jenis pada kawasan tersebut.
A.variabilis merupakan tumbuhan herba tahunan dari famili Araceae yang
toleran terhadap naungan dan dapat beradaptasi pada berbagai kondisi iklim.
Nama lokal jenis ini di Bima adalah kamaja. Pemanfaatan jenis ini telah lama
dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Umbi Jenis ini bermanfaat
sebagai sumber karbohidrat karena mengandung pati. Umbi dapat dikonsumsi
setelah dikukus dan dibuat tepung untuk berbagai penganan seperti kue basah, kue
kering, dan sebagainya. Daun muda dan bunga dari jenis ini sering dimanfaatkan
masyarakat sekitar hutan sebagai sayur (Utomo & Antarlina 1997). A.variabilis di
TWA Madapangga dapat ditemukan pada ketiga blok pengelolaan. Jenis ini dapat
dikembangkan menjadi salah satu alternatif dalam usaha penganekaragaman
bahan pangan, karena mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek yang
menjanjikan untuk usaha kecil maupun industri.
S.oleosa merupakan jenis dari famili Sapindaceae ditemukan tumbuh di
daratan rendah yang beriklim kering sampai ketinggian 600 m dpl. Jenis ini
mampu hidup pada suhu maksimum 35-47.5oC dan suhu minimum -2,5oC.
S.oleosa tumbuh pada tanah kering hingga tanah yang berawa (Hanum & van der
Maesen 1997). Nama lokal jenis ini di Bima adalah sambi. Di daerah Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, jenis ini mudah dijumpai karena pada
awalnya ditanam sebagai tanaman penghijauan yang cocok untuk daerah-daerah
kering. S.oleosa merupakan jenis yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Bima
sebagai jenis multi guna antara lain kulit kayunya digunakan sebagai obat kudis
dan penyakit kulit lainnya, daun muda dimanfaatkan sebagai sayur, buahnya yang
matang dapat dimakan segar, dibuat manisan maupun asinan. Di India, air perasan
dari kulit kayu kesambi berkhasiat sebagai obat penyakit kuning, penyakit tulang
dan persendian, penyakit kulit dan radang telinga (Heyne 1987; Mohanta et al.
2006; Rout et al. 2009).
51
P.javanicum merupakan salah satu jenis dari famili Burseraceae. Jenis ini
biasa ditanam untuk tujuan reboisasi dan rehabilitasi lahan. P.javanicum juga
diketahui sebagai jenis yang potensial sebagai penghasil alat perkakas rumah
tangga (Soekotjo 2002). Nama lokal jenis ini di Bima adalah loa. Masyarakat
Bima umumnya memanfaatkan daun mudanya sebagai lalapan, campuran sambal
mentah dan sayur sedangkan buahnya yang matang dapat dimakan segar, dibuat
manisan dan asinan. Heyne (1987) juga melaporkan bahwa daun muda ketimus
dapat dijadikan sayur, juga sebagai obat sakit perut dan obat batuk. Buahnya yang
masak dapat dimakan dengan rasa manis dan agak asam.
S.dulcis merupakan jenis yang berasal dari famili Anacardiaceae. S.dulcis
berasal dari Asia selatan dan Asia tenggara serta telah tersebar ke seluruh daerah
tropik. Di Jawa, jenis ini hanya dibudidayakan di dataran rendah dan daerah
pengunungan rendah terutama dibagian barat. S.dulcis memiliki buah yang
apabila telah matang rasanya lezat (Heyne 1987). Nama lokal jenis ini di Bima
adalah kedondo. Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan Bima
umumnya memanfaatkan buah mentahnya sebagai rujak dan buah matang dapat
dimakan segar. Widyastuti et al. (1993) juga menyatakan bahwa buah S.dulcis
yang matang dapat dimakan dalam keadaan segar, diolah menjadi selai, jeli, dan
sari buah. Buah mentahnya banyak digunakan dalam rujak dan sayur serta untuk
dibuat acar (sambal kedondong). Daun mudanya yang dikukus dijadikan lalapan.
S.dulcis dikenal di berbagai pelosok dunia dengan berbagai manfaat obat dari
buah, daun dan kulit batangnya. Hasil-hasil penelitian di beberapa negara
dilaporkan adanya pengobatan seperti borok, kulit perih dan luka bakar dari daun
dan kulit kayu kedondong (Verheij & Coronel 1992).
Z.mauritiana merupakan jenis dari famili Rhamnaceae yang berasal dari
Asia selatan dan tengah serta Cina yang dinaturalisasi ke sejumlah negara tropis
dan subtropis. Nama umum bagi jenis ini adalah bidara atau widara dan di daerah
Bima disebut rangga. Jenis ini sangat tahan terhadap kekeringan maupun
genangan air dan umumnya ditemukan tumbuh sampai ketinggian 1000 m dpl
dengan kisaran suhu 7-50º C (Joker 2003). Z.mauritiana merupakan tanaman
multiguna yang menyediakan buah, pakan ternak dan bahan bakar. Buah matang
biasanya dimakan segar, dibuat manisan/asinan atau digunakan untuk membuat
jus dengan kandungan vitamin C tinggi dan sangat bergizi. Di Indonesia daun
muda dimasak sebagai sayur (Kaaria 1998; Tweddle & Dickie 2003). Buah
Z.mauritiana dapat juga dibuat menjadi mentega, tepung, pasta, permen serta
digunakan sebagai bumbu dan acar (Orwa et al. 2009). Masyarakat sekitar
kawasan TWA Madapangga memanfaatkan kulit kayu sebagai campuran jamu
untuk perawat kehamilan dan pasca persalinan serta obat luka akibat bisul.
Daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antidemam. Buah matangnya dimakan
sebagai buah segar. Pada musim Z.mauritiana berbuah, buah dari jenis ini banyak
dijual di pasar-pasar tradisional. Menurut Morton (1987), berbagai kegunaan
Z.mauritiana dalam pengobatan tradisional misalnya daun digunakan dalam
pengobatan penyakit hati, asma dan demam. Buah digunakan pada pengobatan
luka, borok, penyakit paru, demam, rematik, menghentikan mual, muntah dan
perut nyeri pada kehamilan serta sebagai pencahar ringan. Kulit kayu digunakan
untuk menghentikan diare, disentri dan meredakan radang gusi. Akar digunakan
sebagai obat penurun panas, meringankan asam urat dan rematik. Msonthi et al.
(1983) juga melaporkan bahwa akar dari jenis digunakan dalam pengobatan
52
epilepsi. Daunnya juga digunakan dalam pengobatan diare, luka, abses,
pembengkakan dan kencing nanah (Michel 2002).
S.cumini berasal dari famili Myrtaceae, merupakan jenis asli kawasan IndoMalaysiana termasuk Indonesia. Nama lokal S.cumini di Bima adalah duwe.
Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan Bima umumnya
memanfaatkan kulit kayunya sebagai obat kencing manis/diabetes mellitus, luka
akibat bisul serta batuk. Di India, dalam pengobatan tradisional masyarakat etnis
Unani menggunakan abu dari daun S.cumini sebagai obat dalam memperkuat gigi
dan gusi. Bijinya sebagai antringen, diuretik dan obat diabetes. Kulit kayunya
dapat digunakan untuk mengobati luka akibat bisul (Murugandan et al. 2008).
Beberapa bagian S.cumini juga diketahui memiliki efek farmakologi seperti
antibakteri, anti diare dan dapat menghambat perkembangan virus HIV (Bhuiyan
et al. 1996; Kusumoto et al. 1995; Indira & Mohan 1993; Ravi et al. 2004). Selain
berkhasiat sebagai obat, buah S.cumini yang telah matang dapat dimakan segar,
dibuat manisan dan jus. Di Filipina daging buahnya digunakan untuk membuat
selai, jeli, jus, cuka dan puding. Buah dari jenis ini juga telah diolah dalam skala
industri untuk membuat anggur (Chowdhury 2007).
A.moluccana berasal dari famili Euphorbiaceae. Nama lokal A.moluccana di
Bima adalah kaleli. Jenis ini merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah
dibudidayakan secara luas di dunia. Di Indonesia, jenis ini telah lama ditanam,
baik untuk tujuan komersial maupun subsisten untuk menunjang kehidupan
masyarakat sehari-hari terutama bagi masyarakat Indonesia bagian timur. Hampir
semua bagian dari A.moluccana seperti daun, buah, kulit kayu, kayu, akar, getah
dan bunganya dapat dimanfaatkan baik untuk obat-obatan tradisional, penerangan,
bahan bangunan, bahan pewarna, bahan makanan, dekorasi maupun berbagai
kegunaan lainnya (Heyne 1987). Pada tempat terbuka, jenis ini umumnya hanya
dapat mencapai ketinggian pohon 10-15 m. Jenis A.moluccana juga dapat tumbuh
pada daerah yang kering seperti di Nusa Tenggara Timur serta sebagian daerah di
Nusa Tenggara Barat dan bahkan di tempat yang basah seperti di Jawa Barat
(Ginoga et al. 1989). Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga dan
masyarakat Bima memanfaatkan kulit kayunya untuk mengobati sakit perut dan
bijinya digunakan untuk mengobati gatal-gatal atau luka bekas cacar. Selain
berkhasiat sebagai obat, bijinya juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
bumbu masak. Menurut Orwa et al. (2009), biji kemiri yang telah ditumbuk halus
dapat dimakan sebagai saus. Di Pulau Jawa, kulit pohon A.moluccana
dimanfaatkan sebagai obat diare dan disentri. Di Jepang, bagian kulitnya
digunakan untuk obat tumor. Di Sumatera, bijinya digunakan untuk obat sembelit.
Di Malaysia, daun A.moluccana direbus dan dimanfaatkan sebagai obat untuk
sakit kepala, demam, bisul, bengkak pada persendian dan kencing nanah. Di
Hawai, bunga dan getah segarnya yang baru saja disadap digunakan untuk obat
sariawan pada anak-anak (Scott & Craig 2000).
T.indica merupakan jenis dari famili Leguminosae, diduga berasal dari
Afrika tropis yang kemudian menyebar ke India dan banyak ditanam di daerah
tropis lainnya. Jenis ini sering dijumpai di daerah dataran rendah dan mampu
hidup pada daerah kering dengan musim kemarau yang panjang. Nama lokal
T.indica di Bima adalah mangge. Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
memanfaatkan daunnya sebagai obat demam, batuk dan cacingan. Selain
berkhasiat sebagai obat daun mudanya juga dimanfaatkan sebagai sayur. Daging
53
buahnya digunakan sebagai obat sariawan, mual dan muntah sewaktu hamil serta
kurang nafsu makan. Kulit kayunya digunakan untuk mengatasi masalah haid
tidak lancar. Daun muda T.indica juga digunakan sebagai obat penyakit kulit serta
bisul, sedangkan daging buahnya dimanfaatkan untuk bumbu masak, membuat
manisan, selai dan sirup (Heyne 1987). Masyarakat Suku Dayak Tunjung juga
diketahui sering memanfaatkan asam jawa sebagai obat untuk mengobati
berbagai penyakit (Setyowati 2010). Menurut Dalimarta (2006), daun T.indica
bekhasiat sebagai penurun panas, pereda nyeri dan antiseptik. Daging buahnya
bekhasiat sebagai pencahar, pereda demam, antiseptik dan meningkatkan nafsu
makan. Kulit kayunya berkhasiat sebagai tonik dan astringen. Di Thailand, bunga
dan daun muda asam dimanfaatkan sebagai sayuran, sedangkan sari daging buah
dimanfaatkan untuk membuat permen (Phakruschaphan 1982). Buah T.indica juga
dianggap dapat melancarkan pencernaan, sebagai karminatif, pencahar,
ekspektoran dan tonik (Komutarin et al. 2004). Biji asam dilaporkan mengandung
fenolik antioksidan yang baik bagi kesehatan (Tsuda et al. 1994).
S.ligustrina merupakan jenis dari famili Loganiaceae dan tersebar di daerahdaerah tropis. Di Jawa jenis ini dikenal dengan nama dara laut atau dara putih, di
Sumatra dan Timor dikenal dengan nama kayu ular dan di Bima dikenal dengan
nama songga. S.ligustrina umumnya tumbuh sampai ketinggian pohon hingga 12
meter, lebih banyak dijumpai di hutan-hutan primer (jauh dari pemukiman) (de
Padua et al. 1999). Masyarakat Bima umumnya memanfaatkan daun, buah dan
kulit kayu jenis ini sebagai obat malaria, diabetes, hipertensi dan demam. Batang
dan akar dari jenis ini digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia untuk
mengobati demam, gigitan ular dan luka. Batang juga digunakan dalam komponen
jamu pengatur haid. Akarnya dapat digunakan untuk mengobati diabetes
sedangkan daun dan buahnya digunakan sebagai racun ikan di Australia
(Praswanto et al. 1996, Rahayu & Walujo 1996, de Padua et al. 1999).
P.retrofractum merupakan salah satu tanaman dari famili Piperaceae dan
penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia (Heyne 1987). Nama lokal
P.retrofractum di Bima adalah sabia. Jenis ini dapat tumbuh baik pada ketinggian
tempat 1-600 m dpl, temperatur 20-30oC, curah hujan 1200-3000 mm/tahun dan
kelembaban udara 40-80% (Djauhariya dan Rosman 2008). Daerah sentra
produksi P.retrofractum yang terkenal adalah Madura, Lamongan dan Lampung.
Beberapa tahun belakangan usaha budidaya cabe jawa mulai menyebar ke Jawa
Tengah dan Nusa Tenggara Barat seperti Lombok Barat dan Lombok Timur
(Kemala et al. 2003). Masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga
memanfaatkan buahnya sebagai campuran jamu perawatan kehamilan dan pasca
melahirkan dan dapat menambah nafsu makan. Secara tradisional buah cabe jawa
digunakan untuk obat beri-beri, kejang perut, masuk angin dan obat kuat lelaki
(aprodisiak) (Haryudin & Rostiana 2009). Januwati dan Yuhono (2003) juga
mengemukan bahwa buah P.retrofractum digunakan untuk mengatasi tekanan
darah rendah, beri-beri, masuk angin, lemah syahwat dan juga untuk
membersihkan rahim setelah melahirkan.
T.crispa merupakam jenis dari famili Menispermaceae. Umumnya jenis ini
ditemukan tumbuh liar di hutan dan menyukai tempat terbuka yang terkena sinar
matahari. Nama lokal T.crispa di Bima adalah humpa pa’i. J Jenis ini ditemukan
tumbuh pada bagian pinggir kawasan TWA Madapangga yang cenderung terbuka.
Batang merupakan bagian yang banyak dimanfaatkan sebagai obat malaria,
54
pereda demam (antipiretik), merangsang nafsu makan dan mengobati kencing
manis (diabetes mellitus). Secara tradisional umumnya masyarakat Indonesia
memanfaatkan T.crispa untuk pengobatan penyakit malaria (Heyne 1987). Hasil
penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa T.crispa memiliki dua
alkaloid senyawa yang ampuh sebagai antimalaria (Elfita et al. 2011). T.crispa
merupakan salah satu jenis obat herbal terstandar (OHT) yang sudah diakui oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Muhtadi 2008). Di Malaysia dan
Thailand seluruh bagian dari jenis ini digunakan secara tradisional sebagai obat
untuk penyakit diabetes mellitus (Chavalittumrong et al. 1997).
A.scholaris termasuk famili Apocynaceae, tersebar di seluruh nusantara dari
dataran rendah sampai ketinggian 900 m dpl. Nama lokal A.scholaris di Bima
adalah rida. Jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh kawasan TWA
Madapangga. Masyarakat Bima umumnya memanfaatkan kulit kayunya sebagai
bahan campuran jamu untuk mengobati beberapa penyakit seperti gangguan
pencernaan dan perawatan kehamilan dan persalinan. Masyarakat Lombok
memanfaatkan daun dan kulit kayu A.scholaris untuk mengobati penyakit malaria
(Hadi & Bremner 2001). Menurut Harini et al. (2000), masyarakat sekitar Taman
Nasional Ujung Kulon memanfaatkannya untuk mengobati malaria dan perut
kembung. Masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Besowo dan Manggis
Kabupaten Kediri memanfaatkan kulit kayu A.scholaris untuk mengobati penyakit
sipilis (kencing nanah) atau untuk mengobati malnutrisi. Akarnya digunakan
dengan campuran pohon pinang (Arenga sp.) untuk mengobati sakit tulang dan
sakit di bagian dada. Ekstrak kulit kayu digunakan untuk mengobati sakit perut,
masalah lambung, demam, perawatan wanita sehabis melahirkan, cacingan,
diabetes, malaria, usus buntu, dan wasir (Setyawati 2009).
H.tiliaceus tumbuh liar di hutan, ladang dan kadang ditanam dipekarangan
dan tepi jalan sebagai pohon peneduh. Nama lokal H.tiliaceus di daerah Bima
adalah wau. Masyarakat Bima banyak memanfaatkan daun dan kulit kayunya
sebagai obat demam, batuk, radang tenggorokan, berak darah dan lendir pada
balita sedangkan akarnya digunakan untuk mengatasi masalah terlambat haid.
Dalimartha (2000) juga menyatakan bahwa daun H.tiliaceus berkhasiat sebagai
antiradang, peluruh dahak dan peluruh kencing sedangkan akarnya bekhasiat
sebagai penurun panas dan peluruh haid. Di Filipina, pepagan H.tiliaceus
digunakan untuk mengobati disentri. Di Papua Nugini, rebusan daunnya dipakai
untuk radang tenggorokan, paru-paru basah, batuk, TBC dan diare. Daun dan
akarnya bila ditumbuk dan dicampur dengan air, dapat digunakan untuk
memperlancar proses kelahiran (Van Valkenburg & Bunyapraphatsara 2002).
Smith (1981) juga melaporkan, di Hawai getah berlendir bagian dalam dari kulit
kayunya digunakan sebagai pencahar dan bunganya dianggap dapat membantu
memperlancar pencernaan. Di Fiji jepang, daunnya yang telah dihaluskan
digunakan untuk mengobati patah tulang dengan cara melilitkannya pada anggota
badan yang mengalami patah tulang. Kulit kayunya juga digunakan untuk
mengobati borok. Chen et al. (2006) juga melaporkan bahwa senyawa skopoletin
(hibiscusin), amida (hibiscusamide) dan sebelas senyawa lainnya yang diisolasi
dari kulit kayunya berkhasiat sebagai antikanker.
55
Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Secara umum masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga memiliki
karakter sosial budaya dan kondisi lingkungan yang sama sehingga kondisi Desa
Ndano dan Monggo tidak jauh berbeda. Sebagian besar masyarakat (lebih dari
90%) di dua desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai petani
pemilik, petani penggarap maupun sebagai buruh tani. Selain bekerja di bidang
pertanian khususnya usaha tani, masyarakat juga memelihara ternak besar dan
kecil serta unggas diantaranya sapi, kerbau, kuda, kambing, ayam, itik, bebek dan
lain-lain. Kondisi ini menyebabkan akses masyarakat ke dalam hutan dan
pemanfaatan tumbuhan cukup tinggi. Tingginya tingkat pemanfaatan tumbuhan
khususnya sebagai bahan pangan, obat dan pakan ternak mengindikasikan
tingginya tingkat pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan.
Tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat masyarakat sekitar
kawasan TWA Madapangga berdasarkan kelas umur responden disajikan pada
Tabel 15.
Tabel 15 Tingkat pengetahuan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat
berdasarkan kelas umur responden
Kelas Umur
Pengetahuan Pemanfaatan
Total
Baik
Cukup
Kurang
Remaja (13-19 tahun)
Dewasa (20-60 tahun)
Tua( > 60 tahun)
Total
2
12
15
29
8
5
3
16
10
3
2
15
20
20
20
60
Hasil analisis data pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat di Desa Ndano
dan Monggo menunjukan bahwa 48.33% responden memiliki tingkat pengetahuan
tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat baik. Sebanyak 26.67%
responden memiliki tingkat pengetahuan tentang pemanfaataan tumbuhan pangan
dan obat cukup dan 25% responden memiliki tingkat pengetahuan pemanfaatan
tumbuhan pangan dan obat kurang. Responden dengan tingkat pengetahuan yang
tergolong baik mengindikasikan banyaknya pengalaman mereka dalam
memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar tempat tinggalnya baik sebagai
bahan pangan maupun obat. Sebaliknya responden yang memiliki tingkat
pengetahuan yang tergolong kurang mengindikasikan sedikitnya pengalaman
mereka dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan pangan maupun obat.
Letak desa yang berdekatan dengan kawasan hutan dan mata pencaharian mereka
yang sebagian besar sebagai petani juga diduga mempengaruhi tingkat
pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat.
Berdasarkan kelas umur, responden tua (umur > 60 tahun) dan responden
dewasa (umur 20 – 60 tahun) cenderung memiliki tingkat pengetahuan baik yaitu
masing-masing sekitar 75% dan 60%. Responden remaja (umur 13 – 19 tahun)
hanya 10% yang memiliki tingkat pengetahuan baik (remaja yang orang tuanya
berprofesi sebagai tabib).
Terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan responden
tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat dengan kelas umur responden
56
(X2 hitung = 6.100 dan X2 (0.05;2) = 5.991) (Lampiran 15). Hal ini mengindikasikan
bahwa umur sangat berkaitan dengan pengalaman. Semakin tua umur responden
maka semakin banyak pengalamannya dalam memanfaatkan tumbuhan pangan
dan obat. Pengalaman tersebut kemudian diwariskan turun temurun ke generasi
penerusnya. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan modernisasi,
pengetahuan tradisional tersebut mulai terkikis pada kalangan generasi muda di
dua desa penelitian. Generasi muda cenderung terpengaruh oleh munculnya
produk-produk modern sehingga sering menyepelekan kearifan tradisional dalam
pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Hal yang
sama juga terjadi pada masyarakat Desa Cikedung Kecamatan Mancak Serang
Banten. Pengetahuan tradisional masyarakat mengenai pemanfaatan tumbuhan di
lingkungan sekitarnya semakin terabaikan dan bahkan hilang akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sulistiyarini 2009).
Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat
Selama ini pengembangan sumberdaya hutan khususnya tumbuhan pangan
dan obat belum mendapat perhatian secara serius. Hal ini disebabkan karena
pemanfaatan potensinya belum dilakukan secara optimal, sehingga peranannya
belum tampak dalam meningkatkan roda perekonomian daerah maupun nasional.
Padahal secara tradisional sudah sejak lama masyarakat sekitar hutan
memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan pangan dan obat untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Bahkan beberapa komoditas pangan dan obat yang
dihasilkan oleh industri, bahan bakunya berasal dari kawasan hutan. Perlu
tindakan nyata dari berbagai pihak baik pemerintah, akademisi, LSM dan swasta
untuk mengembangkan potensi tersebut sehingga dapat memberikan nilai positif
bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan Kawasan Saat Ini
Pengelolaan TWA Madapangga berada dibawah koordinasi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Barat yang dalam pelaksanaan
dilakukan oleh Seksi Konservasi Wilayah III Bima. Seksi Konservasi Wilayah
mempunyai tugas melakukan: (1) pengelolaan kawasan konservasi, (2)
pengamanan dan pengendalian kebakaran hutan, (3) perlindungan dan
pengamanan kawasan, pemberantasan penebangan dan peredaran kayu secara
illegal, (4) pengendalian pemanfaatan TSL, (5) melaksanakan kegiatan
pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, serta (6)
penyuluhan, bina cinta alam dan pemberdayaan masyarakat.
Pengelolaan kawasan TWA Madapangga selama lima tahun terakhir
dilakukan untuk memotivasi masyarakat agar melakukan konservasi dengan aspek
pemanfaatan yang masih minim. Hal tersebut masih menganut paradigma lama
yang belum sepenuhnya mengakomodir pemanfaatan sumberdaya hutan untuk
masyarakat sekitar. Kegiatan pengelolaan kawasan masih diarahkan pada upaya
mengalihkan perhatian masyarakat dari pemanfaatan dengan menutup akses
terhadap pemanfaatan yang tidak lestari seperti: (1) pengambilan kayu bahan
57
bangunan, kayu bakar, daun pandan dan rotan, (2) penebangan liar jenis-jenis
kayu komersil seperti songga/S.ligustrina, (3) perburuan ayam hutan dan lain-lain.
Kegiatan yang telah dilakukan untuk memotivasi masyarakat agar melakukan
konservasi yaitu kegiatan penyuluhan, sosialisasi batas kawasan, temu kader
konservasi, pembentukan kelompok-kelompok pecinta alam, lomba lintas alam
dan bakti sosial pada desa-desa sekitar kawasan (Gambar 23).
a
b
Gambar 23 Kegiatan pengelolaan kawasan TWA Madapangga (a) penyuluhan
dan (b) patroli pengamanan.
Kegiatan pengamanan kawasan TWA Madapangga dilakukan oleh polisi
hutan (Polhut) dan tenaga pengaman hutan mandiri atau lebih dikenal dengan Pam
Swakarsa. Pam Swakarsa adalah tenaga pengaman hutan yang berasal dari
masyarakat desa sekitar kawasan. Untuk kawasan TWA Madapangga jumlahnya 2
orang yang berasal dari Desa Ndano. Polhut dan Pam Swakarsa bertugas menjaga
kawasan tersebut dan melaporkan setiap pelanggaran hukum baik berupa
pencurian hasil hutan maupun perambahan kawasan untuk dijadikan lahan
pertanian. Untuk menguatkan atau memperjelas batas antara lahan milik
masyarakat dengan kawasan TWA Madapangga, maka dilakukan kegiatan tata
batas kawasan yang ditandai dengan pembuatan Pal batas. Tujuannya adalah agar
masyarakat tidak mengganggu kawasan hutan pada batas yang telah disepakati
dan hanya boleh memanfaatkan sumberdaya hutan secara terbatas untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Pengelolaan kawasan juga diarahkan untuk mengetahui potensi dan
memperbaiki kondisi kawasan. Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung tujuan
ini yaitu: (1) merehabilitasi kawasan yang telah rusak karena perambahan oleh
masyarakat, (2) pengayaan tanaman pada lahan-lahan terbuka dengan jenis-jenis
khas dari kawasan tersebut serta jenis budidaya seperti A.Moluccana,
A.occidentale, A.communis, A.muricata, S.dulcis, M.oleifera dan lain-lain, (3)
penelitian dan pengembangan untuk menambah informasi potensi serta
melakukan pembaruan terhadap data dasar flora dan fauna, (4) pembuatan
demplot jenis-jenis tumbuhan berpotensi dan (5) penangkaran terhadap jenis
satwa endemik dan berstatus dilindungi dengan maksud untuk dilepaskan kembali
ke alam apabila telah berkembang biak.
58
Kondisi Masyarakat Sekitar Kawasan
Sebagian besar masyarakat sekitar kawasan TWA Madapangga (> 90%)
bermata pencaharian sebagai petani baik sebagai petani pemilik, petani penggarap
maupun sebagai buruh tani. Selain bekerja di bidang pertanian khususnya usaha
tani, masyarakat juga memelihara ternak dan unggas seperti sapi, kuda, kambing,
ayam, itik, bebek dan lain-lain. Bentuk-bentuk aktifitas masyarakat sekitar TWA
Madapangga adalah berupa pemanfaatan lahan, sumber daya hutan dan sumber
mata air.
Bentuk pemanfaatan lahan berupa aktifitas usaha tani tanaman pangan,
usaha tani tanaman keras dan penggembalaan ternak. Usaha tani tanaman pangan
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga sebagian besar
merupakan usaha tani lahan kering, yaitu berupa ladang dan kebun yang
dilakukan secara tradisional dengan cara tumpangsari. Luas lahan berupa ladang
dan kebun milik masyarakat di sekitar kawasan TWA Madapangga sekitar 175
hektar. Pemilik lahan tersebut adalah sebagian besar masyarakat Desa Ndano dan
Monggo. Tanaman yang ditanam biasanya jenis tanaman palawija, padi gogo dan
sayur-sayuran. Bentuk usaha tani lahan basah berupa sawah yang terletak di
sekitar desa dengan mengandalkan irigasi yang airnya berasal dari dalam kawasan
TWA Madapangga (Gambar 24).
Luas lahan berupa sawah sekitar 96 hektar yang dimiliki oleh masyarakat
Desa Ndano, Monggo dan Dena. Namun, penggarapan sawah tersebut dilakukan
oleh petani penggarap dari Desa Ndano dan Monggo dengan sistem bagi hasil.
Pemilik sawah dan petani penggarap mendapatkan bagian masing-masing 50%
dari hasil panen. Tanaman yang ditanam di sawah berupa padi, kedelai, kacang
hijau dan kacang tanah. Usaha tani tanaman keras yang dilakukan oleh
masyarakat sebagian besar berada pada ladang dan kebun yang diusahakan secara
tradisional dan sebagian besar masih merupakan usaha sambilan. Tanaman keras
yang ditanam antara lain A.moluccana, A.occidentale, Mangifera sp., A.squamosa,
M.oleifera dan A.communis. Hasil yang diperoleh selain untuk pemanfaatan
sendiri juga dijual ke pasar untuk menambah penghasilan keluarga.
a
b
Gambar 24 Lahan pertanian di sekitar TWA Madapangga (a) sawah dan
(b) ladang.
Usaha ternak yang dilakukan oleh masyarakat sekitar TWA Madapamgga
berupa pemanfaatan rumput yang ada dalam kawasan yang dilakukan secara
komunal untuk penggembalaan ternak secara tradisional. Hal ini dilakukan karena
59
terbatasnya padang pengembalaan terutama pada musim hujan, dimana hampir
seluruh lahan milik masyarakat telah ditanami dengan berbagai tanaman
pertanian. Ternak yang digembalakan seperti sapi, kerbau, kuda dan kambing.
Bentuk pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat sekitar TWA yaitu
pengambilan hasil hutan kayu dan nonkayu. Hasil hutan kayu yang dimanfaatkan
biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan. Jenis-jenis kayu
yang teridentifikasi digunakan untuk bahan bangunan pada umumnya jenis-jenis
pohon yang besar dan berada di dalam hutan. Namun, ketatnya pengawasan
terhadap akses ke dalam kawasan TWA Madapangga tidak memungkinkan bagi
masyarakat sekitar untuk memanfaatkan jenis-jenis kayu yang ada dalam
kawasan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan tersebut mereka
mengambil dari hutan lindung sekitar desa atau membeli di pasar. Penggunaan
utamanya adalah untuk tiang dan papan bangunan rumah karena batangnya yang
lurus, kuat, keras dan terkadang dengan tekstur yang bagus.
Hasil hutan nonkayu yang dimanfaatkan pada umumnya berupa semak yang
menghasilkan cabang banyak, tumbuhan menjalar, akar-akar pohon, herba, rotan,
daun pandan, alang-alang, umbi-umbian, buah-buahan, sayur-sayuran, madu dan
berburu ayam hutan. Biasanya, hasil hutan nonkayu tersebut digunakan sebagai
bahan tali temali, kerajinan, kayu bakar, pangan dan obat-obatan. Kegiatan
pemanfaatan hasil hutan nonkayu tersebut, selain untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari juga dijual ke pasar untuk tambahan pendapatan keluarga.
Bentuk pemanfaatan sumber air oleh masyarakat sekitar TWA Madapangga
berupa pemanfaatan mata air sebagai objek wisata, kolam pemandian, sumber air
bersih dan pengairan lahan pertanian. Air yang berasal dari kawasan tersebut
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun irigasi oleh
masyarakat sekitar yaitu Desa Ndano, Monggo dan Dena. Selain itu, air dari
kawasan tersebut juga digunakan sebagai sumber air minum oleh PDAM yang
dialirkan ke wilayah Kecamatan Bolo (Gambar 25).
Gambar 25 Salah satu sumber mata air di TWA Madapangga.
Pengelolaan kawasan TWA Madapangga perlu diarahkan pada upaya
memanfaatkan potensi lokal yang ada. Supaya kehidupan masyarakat sekitar
menjadi lebih baik. Untuk itu, dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan
dukungan masyarakat. Pengelola kawasan harus melibatkan masyarakat sekitar
dalam kegiatan pengelolaan (Gambar 26). Pentingnya pelibatan masyarakat
sekitar dapat berdampak positif dalam memperoleh dukungan terhadap pelestarian
kawasan TWA Madapangga. Pelibatan masyarakat sekitar mutlak dilakukan,
60
mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan.
Dengan dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan, rasa memiliki masyarakat sekitar
terhadap kawasan tersebut dapat direalisasikan. Adanya partisipasi masyarakat
diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka secara ekonomi
dan menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Kegiatan pengelolaan kawasan juga harus memperhatikan kearifan
tradisional dan kekhasan daerah agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan
kondisi sosial budaya setempat. Kearifan tradisional masyarakat sekitar TWA
Madapangga dapat dilihat dari pola pemanfaatan lahan, pemanfaatan sumberdaya
hutan dan ragam tanaman yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhannya.
Kegiatan pengelolaan yang disiapkan harus dapat diterima oleh masyarakat dan
membantu meningkatkan kesejahteraan. Kegiatan tersebut diharapkan
berkesinambungan dengan selalu mengantisipasi kegiatan masyarakat di dalam
kawasan.
Selain itu perlu dilakukan pembinaan masyarakat dengan melibatkan
akademisi, LSM dan pihak swasta. Kegiatan pembinaan dimaksudkan agar
masyarakat menjadi lebih mandiri dan tidak selalu bergantung pada hasil hutan
dalam memenuhi kebutuhannya. Adanya pembinaan yang intensif dapat
menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi
masyarakat sekitar kawasan. Program kegiatan yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan hal tersebut yaitu pelatihan pembuatan kompos sebagai pupuk
organik, pembentukan koperasi konservasi dan pembinaan pengrajin tradisional.
Harapan
Masyarakat
Aktifitas Pengelolaan
Kawasan
Kesesuaian Aktifitas dan Harapan
Gambar 26 Hubungan antara pengelola dan masyarakat dalam usaha
pengembangan potensi TWA Madapangga.
Rekomendasi Pengembangan Potensi Tumbuhan Pangan dan Obat
Konservasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kegiatan konservasi sumber daya hayati secara keseluruhan. Konservasi sumber
daya hayati adalah upaya pengelolaan sumber daya hayati yang senantiasa
memperhatikan kelangsungan persediaannya dengan tetap memelihara serta
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan konservasi tersebut
adalah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hayati dan keseimbangan
ekosistemnya, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut 1990).
61
Berdasarkan potensi kawasan, kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar TWA Madapangga, terdapat
beberapa kegiatan yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan potensi
tumbuhan pangan dan obat. Adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat
memaksimalkan pemanfaatan potensi yang ada guna meningkatkan kapasitas
kawasan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Beberapa kegiatan yang
direkomendasikan untuk pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat
adalah sebagai:
Pengembangan Secara Insitu dan Eksitu
Tumbuhan pangan dan obat merupakan plasma nutfah yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga kegiatan
konservasi terhadapnya tidak hanya dengan melakukan perlindungan dan
pengawetan tetapi juga diharapkan dapat dilakukan pemanfaatan secara lestari.
Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai keperluan manusia perlu
diimbangi dengan upaya konservasinya, baik secara insitu maupun eksitu agar
tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya (Zuhud & Haryanto
1994). Kegiatan pemanfaatan hendaknya harus senantiasa memperhatikan
kelangsungan dari fungsi perlindungan di habitat plasma nutfah tersebut. Oleh
karena itu kegiatan pengelolaan terhadap potensi yang dimiliki oleh TWA
Madapangga sebagai kawasan konservasi harus mengakomodir ketiga tujuan
tersebut. Kegiatan pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat secara insitu
yang direkomendasikan adalah:
1. Tetap mempertahankan keaslian kondisi habitat terutama dari kegiatan
perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut
direkomendasikan karena kawasan tersebut merupakan habitat berbagai jenis
tumbuhan, termasuk jenis tumbuhan pangan diantaranya jenis P.javanicum,
S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana serta habitat bagi tumbuhan obat endemik
yaitu S.ligustrina dan jenis tumbuhan obat lainnya seperti A.scholaris,
A.spectabilis, F.benjamina dan S.mahagoni
2. Pengayaan jenis pada areal-areal yang cenderung terbuka dengan
menggunakan jenis-jenis lokal maupun introduksi yang diketahui memiliki
potensi tetapi kondisi populasinya di dalam kawasan tersebut kecil seperti
A.communis, S.cumini, S.grandiflora, A.bilimbi, C.histrix, A.muricata,
S.ligustrina, P.retrofractum, A.marmoles dan A.scholaris
3. Pembuatan jalur-jalur wisata alam dengan menampilkan jenis-jenis endemik
dari kawasan tersebut. Kegiatan ini bermaksud memberikan edukasi tentang
keanekaragaman hayati kepada para pengunjung khususnya bagi pelajar dan
mahasiswa
4. Pembuatan kebun bibit oleh pengelola yang akan menyediakan bibit-bibit
tumbuhan yang berpotensi dan khas dari kawasan tersebut sehingga dapat
dijadikan souvenir dan oleh-oleh bagi pengunjung
Pengembangan potensi tumbuhan pangan dan obat yang terdapat dalam
kawasan tersebut juga harus dilakukan secara eksitu. Hal ini dimaksudkan sebagai
antisipasi dan cadangan plasma nutfah apabila kondisi terburuk terjadi terhadap
kawasan tersebut, seperti kepunahan akibat bencana alam. Selain itu,
pengembangan secara eksitu juga dapat memberikan peluang usaha bagi
62
masyarakat dengan memaksimalkan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan pangan
dan obat. Pemanfaatan yang dilakukan secara maksimal akan berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Gambar 27 diketahui kawasan TWA Madapangga dikelilingi
oleh lahan milik masyarakat dan hutan lindung Sampalu. Lahan milik masyarakat
berupa sawah, kebun dan ladang, sedangkan hutan lindung telah mengalami
perambahan sehingga perlu upaya rehabilitasi. Kondisi ini menunjukan bahwa
TWA Madapangga merupakan kawasan yang berfungsi sebagai sumber plasma
nutfah bagi daerah sekitarnya. Potensi tumbuhan pangan dan obat yang dimiliki
kawasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk konservasi eksitu. Kegiatan
pengembangan tumbuhan pangan dan obat secara eksitu yang direkomendasikan
yaitu kegiatan budidaya jenis-jenis yang ditemukan dalam kawasan TWA
Madapangga pada lahan milik masyarakat dan penggunaan jenis-jenis tersebut
untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung Sampalu.
Sawah
Ladang
Hutan Lindung
Gambar 27 Kondisi TWA Madapangga dan sekitarnya.
Kegiatan budidaya jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang terdapat
dalam kawasan TWA Madapangga ke lahan-lahan milik masyarakat dilakukan
dapat dalam bentuk agroforestri. Selama ini, masyarakat sekitar kawasan masih
memanfaatkan tumbuhan pangan dan obat yang dipungut langsung dari hutan.
63
Upaya budidaya terhadap jenis-jenis yang dimanfaatkan tersebut belum
dilakukan. Melalui sistem agroforestri, penanaman jenis-jenis tumbuhan pangan
dan obat dapat dipadukan dengan tanaman palawija maupun tanaman perkebunan
lainnya. Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dapat digunakan untuk agroforestri
yaitu T.indica, A.communis, S.grandiflora, A.bilimbi, C.histrix, C.aurantifolia,
A.muricata, A.squamosa, P.acidus, S.aqueum, P.guajava, A.occidentale,
L.acidissima, M.oleifera, S.dulcis, Mangifera sp. dan A.moluccana; sedangkan
tumbuhan obat yaitu A.scholaris, S.ligustrina, P.retrofractum dan A.cathecu. Agar
pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan yang ditanam berlangsung baik, perlu
pemeliharaan dan pemberian pupuk. Pupuk yang diberikan sebaiknya adalah
pupuk kompos yang dapat diperoleh dengan mudah yaitu memanfaatkan kotoran
ternak milik masyarakat. Penggunaan pupuk organik tersebut tidak berdampak
negatif terhadap lingkungan dan diharapkan mampu meningkatkan produktifitas
jenis-jenis tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut harus terintegrasi agar dapat
memberikan hasil yang maksimal.
Setelah beberapa tahun, masyarakat dapat memanfaatkan hasil panen yang
diperoleh untuk memenuhi kebutuhannya. Upaya di atas dimaksudkan agar
masyarakat tidak selalu bergantung pada sumberdaya yang ada di dalam kawasan
hutan, sehingga populasi tumbuhan pangan dan obat di alam tetap lestari. Jenisjenis tumbuhan yang masyarakat butuhkan dapat diperoleh dari hasil budidaya
pada lahan miliknya. Hasil yang diperoleh dari usaha budidaya tersebut, selain
untuk pemanfaatan sendiri juga dapat dijual untuk menambah pendapatan
keluarga. Masyarakat mempunyai peluang untuk mengembangkannya menjadi
sebuah usaha yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraannya.
Selain upaya budidaya, pengembangan tumbuhan pangan dan obat secara
eksitu juga dapat dilakukan dengan penggunaan jenis-jenis berpotensi dan
endemik dari dalam kawasan TWA Madapangga untuk kegiatan rehabilitasi hutan
lindung Sampalu. Hutan lindung tersebut kondisinya sangat memprihatinkan,
sehingga perlu dilakukan kegiatan rehabiltasi. Hal ini dimaksudkan agar kondisi
populasi tumbuhan pada hutan lindung kembali pulih dan menjadi beragam.
Pemerintah, khususnya Dinas Kehutanan Kabupaten Bima bersama pengelola
kawasan TWA Madapangga diharapkan dapat bekerja sama untuk merehabilitasi
hutan lindung tersebut. Jenis-jenis tumbuhan pangan yang dapat digunakan untuk
kegiatan tersebut yaitu P.javanicum, S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana, S.cumini,
S.grandiflora, S.aqueum, P.guajava, S.dulcis, Mangifera sp. dan A.moluccana;
sedangkan tumbuhan obat yaitu A.scholaris, S.ligustrina, P.retrofractum,
S.mahagoni A.marmoles, F.benjamina, B.racemosa, H.tiliaceus, L.leucocephala,
T.grandis, dan C.pentandra. Kegiatan rehabilitasi tersebut harus diikuti dengan
pemeliharaan dan pengawasan agar jenis-jenis yang ditanam dapat tumbuh
dengan baik.
64
Pelibatan Masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi Sebagai Mitra Dalam
Pengelolaan Kawasan
Kegiatan pengembangan tumbuhan pangan dan obat yang dilakukan secara
insitu maupun eksitu akan terlaksana dengan baik apabila pengelola mendapat
dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat sekitar serta adanya kerjasama
dengan LSM dan perguruan tinggi. Dukungan dan partisipasi dari pihak-pihak
tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan setiap kegiatan yang direncanakan.
Terutama dukungan dan partisipasi masyarakat sekitar kawasan hutan.
Keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan dapat memberikan andil
yang besar bagi kelestarian hutan. Masyarakat dapat dimotivasi untuk tetap
menjaga keaslian kondisi kawasan dengan tidak melakukan perambahan,
memanen hasil hutan secara lestari dan membudidayakan jenis-jenis tumbuhan
yang dimanfaatkan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Dengan harapan,
kondisi populasi jenis-jenis tumbuhan pangan dan obat yang ada dalam kawasan
tetap terjaga karena kebutuhannya akan jenis-jenis tersebut dapat terpenuhi dari
hasil budidaya.
LSM dan perguruan tinggi dapat dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan
pengembangan kawasan baik dalam aspek ekologi, ekonomi maupun sosial.
Selama ini, kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di TWA
Madapangga masih sangat terbatas. Padahal kawasan tersebut memiliki berbagai
potensi baik itu panorama alam yang cukup indah dan masih alami, sumber mata
air yang dijadikan kolam pemandian serta keanekaragaman tumbuhan dan satwa
yang dapat dikembangkan untuk wisata maupun usaha pemanfaatan hasil hutan
secara lestari.
Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran Konservasi Masyarakat
Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan
terhadap sumberdaya hayati, khususnya tumbuhan menyebabkan akses
masyarakat ke dalam hutan menjadi cukup tinggi. Kondisi ini apabila dibiarkan
terus berlangsung, dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian tumbuhan. Oleh
karena itu diperlukan suatu kegiatan pengelolaan yang tepat untuk mengantisipasi
ancaman tersebut. Salah satu strategi konservasi sumber daya hayati yang
dikembangkan pada era otonomi daerah saat ini adalah pemberdayaan masyarakat
yang berada di sekitar kawasan hutan.
Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dilakukan dengan
membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya hayati. Kegiatan tersebut
dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan (Sudarmadji 2002).
Melalui kegiatan penyuluhan, pengelola perlu mengarahkan dan menggerakkan
masyarakat dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat dalam
setiap kegiatan pengelolaan. Upaya tersebut diharapkan dapat menumbuhkan dan
meningkatkan sadar konservasi di kalangan masyarakat. Selain itu, perlu
ditanamkan pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini pada generasi
muda baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal.
65
Pemanfaatan Tumbuhan Pangan dan Obat Secara Lestari
Kegiatan eksploitasi sumber daya hayati secara berlebihan akan berdampak
secara ekologis. Besarnya dampak yang ditimbulkan tergantung pada komposisi
sumber daya yang tereksploitasi. Misalnya pada spesies tumbuhan, dampak awal
yang dapat terjadi jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan adalah
pertumbuhan dan perkembangannya menjadi terhambat. Jika sebagian besar
bagian tumbuhan tersebut telah dipungut untuk dimanfaatkan maka dapat
menyebabkan kematian. Sampai saat ini, umumnya masyarakat sekitar kawasan
hutan masih memungut sumberdaya yang dibutuhkan termasuk tumbuhan pangan
dan obat dari dalam hutan. Pada tumbuhan pangan bagian yang umum dipungut
adalah daun, buah, biji dan umbi. Tumbuhan obat bagian yang umum dipungut
adalah daun, bunga, buah, biji, akar, rimpang dan kulit batang. Pemanfaatan tiap
bagian dari suatu jenis tidak boleh berlebihan, apalagi menyebabkan kepunahan
pada jenis tersebut.
Pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat secara lestari dapat dilakukan
dengan cara memungut bagian-bagian tumbuhan tersebut sesuai yang dibutuhkan.
Terhadap jenis-jenis yang diketahui populasinya sudah mulai langka dan sulit
ditemukan di alam, maka diupayakan usaha budidaya. Pembudidayaannya dapat
dilakukan di sekitar lingkungan tempat tinggal, kebun atau sawah baik untuk
tujuan konsumsi sendiri maupun untuk di jual. Di TWA Madapangga, ditemukan
jenis-jenis tumbuhan pangan yang potensial untuk dimanfaatkan secara lestari
antara lain S.oleosa, T.indica, Z.mauritiana, S.cumini dan P.javanicum. Selain itu,
di kawasan tersebut juga ditemukan jenis tumbuhan obat endemik yaitu
S.ligustrina yang memiliki khasiat sebagai obat malaria serta jenis tumbuhan obat
lainnya. Potensi tersebut harus dikelola dengan baik, sehingga dapat memberikan
kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan tersebut.
Meningkatkan Nilai Ekonomi Tumbuhan Pangan dan Obat
Sumber daya hutan memiliki berbagai manfaat baik secara ekologi,
ekonomi maupun sosial budaya. Manfaat ekologi antara lain sebagai daerah
penyedia air serta udara segar, habitat bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan.
Manfaat ekonomi sebagai penyedia sumber pangan, sandang dan papan. Manfaat
sosial budaya sebagai tempat ritual adat, penyedia tumbuhan dan satwa ritual adat.
Salah satu sumberdaya hutan yang memiliki segudang manfaat adalah tumbuhan.
Tumbuhan yang ditemukan di TWA madapangga memiliki nilai ekonomi
baik sebagai sumber pangan, obat, pakan ternak, bahan bangunan dan sebagainya.
Khusus untuk tumbuhan pangan, jenis-jenis yang umum dimanfaatkan antara lain
T.indica, Mangifera sp., M.charantia, L.acidissima, A.occidentale, C.aurantifolia,
P.guajava, A.moluccana, A.squamosa dan M.oleifera; sedangkan tumbuhan obat
antara lain S.ligustrina, P.retrofractum, T.indica, T.tuberculata, Z.mauritiana,
J.curcas, A.moluccana, A.scholaris, A.catechu, H.tiliaceus, A.aspera dan
Z.aromaticum. Jenis-jenis tersebut umumnya sudah ada yang sudah dijual ke
pasar tradisional baik dalam bentuk segar maupun berupa simplisia. Namun harga
jualnya masih cukup rendah, sehingga diperlukan kreatifitas untuk meningkatkan
nilai jual jenis-jenis tersebut maupun produk olahannya. Agar nilai jual menjadi
lebih tinggi jenis-jenis tersebut harus diolah secara higienis, dikemas dengan
Download