BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai
teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan
dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan
kesayangannya (Soeharsono, 2002).
Hewan kesayangan seperti kucing yang hidup akrab dengan pemiliknya
dapat
menularkan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
protozoa,
misalnya
Toxoplasmosis dan Giardiasis. Toxoplasmosis merupakan infeksi protozoa
umumnya bersifat asimtomatik pada manusia, tetapi pada infeksi congenital dapat
menyebabkan lesi otak yang serius, sedangkan pada kucing dapat terjadi diare.
Giardiasis adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh organisme
protozoa Giardia sp. Manusia yang menderita Giardiasis terjadi sakit dan
peregangan perut, terjadi pengeluaran gas dan diare disertai lemak yang berkala
dan akhirnya diikuti dengan penurunan berat badan. Pada kucing yang terinfeksi
Giardia sp umumnya terjadi diare dan penurunan berat badan (Bell et al, 1995).
Toxoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
(T.gondii), merupakan penyakit zoonosis klasik yang dapat menyerang manusia,
berbagai jenis mamalia termasuk hewan kesayangan seperti anjing, kucing dan
burung serta hewan peliharaan seperti sapi, kambing, domba, babi dan hewan
berdarah panas lainnya (Jones et al., 2003). Infeksi T.gondii tersebar luas dan
1
sebagian besar berlangsung asimtomatis, meskipun penyakit ini belum
digolongkan sebagai penyakit parasiter yang diutamakan pemberantasannya oleh
pemerintah, tetapi beberapa penelitian telah dilakukan di beberapa tempat untuk
mengetahui derajat distribusi dan prevalensinya. Indonesia sebagai negara tropik
merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut. Keadaan ini
ditunjang oleh beberapa faktor seperti sanitasi lingkungan dan banyak sumber
penularan terutama kucing dan sebangsanya (Felidae) (Adyatma, 1980 ; Levine,
1990).
Kejadian toxoplasmosis pada manusia dan hewan sudah banyak
dilaporkan. Manusia dewasa di Amerika serikat terdeteksi seropositif terhadap
T.gondii sebesar 40%, sedangkan di Perancis dan Jerman masing-masing sebesar
80% (Sciammarella, 2002). Di Indonesia, Pusponegoro dan Boedjang (1990)
melaporkan adanya 29 kasus toxoplasmosis kongenital di RSCM Jakarta antara
tahun 1983-1990.
Kerugian yang diakibatkan parasit T.gondii baik secara langsung atau tidak
langsung sangat besar. Beberapa peneliti Amerika Serikat melaporkan
toxoplasmosis pada manusia telah menyebabkan kerugian ekonomi yang meliputi
peningkatan biaya medis dan perawatan bagi penderita karena mengalami
gangguan keterbelakangan mental (Robert dan Frenkel, 1990). Kerugian ekonomi
lain akibat toxoplasmosis adalah kehilangan pendapatan akibat penyakit, kematian
anak dan penurunan partisifasi kerja (Shulman et al., 1994).
Diagnosa terhadap toxoplasmosis umumnya hanya berdasarkan pada
antibodi terhadap T.gondii. Hewan yang terdeteksi seropositif terhadap T.gondii
belum tentu menderita toxoplasmosis walaupun pernah terinfeksi T.gondii.
Salah satu cara untuk mengetahui adanya toxoplasma di dalam tubuh dengan
mendeteksi antigen langsung dari sampel sel yang terinfeksi atau produk
ekskresi-sekresi parasit dari hewan terinfeksi (aswadi, 2009). Salah satu metode
deteksi keberadaan T.gondii pada sampel dari ternak adalah menggunakan metode
preparat jaringan atau organ yang dicat dengan H.E (Johnson et al., 1988 dalam
Oka et al., 2006).
Keberadaan
T.gondii
pada
kucing
perlu
diteliti
dan
diamati
perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada berbagai organnya. Data
toxoplasmosis pada kucing ini diharapkan akan membuat masyarakat paham dan
berhati-hati
terhadap
permasalahan
ini
dilapangan
sehingga
penularan
toxoplasmosis di masyarakat luas dapat dicegah.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu bagaimana perubahan histopatologi organ kucing (Felis
silvestris catus) yang terinfeksi Toxoplasma gondii.
1.3.
Tujuan Pcnelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan
histopatologi
organ
Toxoplasma gondii.
kucing
(Felis
silvestris
catus)
yang
terinfeksi
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
perubahan histopatologi organ kucing (Felis silvestris catus) yang terinfeksi
Toxoplasma gondii.
1.5.
Kerangka Pemikiran
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii, yang dapat menginfeksi semua hewan termasuk
manusia dengan pola penyebaran yang luas di hampir semua negara di
dunia. T.gondii menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag
yang seharusnya berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi patogen
(Ahn et al., 2006).
Toxoplasma gondii dapat menyebabkan berbagai gejala pada kucing, pada
kejadian serius bisa menyebabkan kematian. Gejala-gejala pada kucing yang
terinfeksi berupa demam, batuk, tidak nafsu makan, kelemahan, depresi,
keluarnya cairan dari mata dan hidung, selaput lendir pucat, sesak nafas,
kelahiran prematur dan keguguran. Infeksi T.gondii dapat didiagnosa dengan
menemukan ookista yang ada di dalam feses kucing atau kista bradizoit pada
jaringan (Levine, 1994)
Kucing sebagai hospes definitif dapat juga berperan sebagai hospes
intermedier. Toxoplasma gondii pada kucing memiliki dua fase dalam siklus
hidupnya yaitu fase enteroepitelial dan fase ekstraintestinal. Fase enteroepitelial
secara gametogoni yang pada akhirnya memproduksi ookista, sedangkan fase
ekstraintestinal terdiri dari bentuk takizoit dan kista jaringan (Habib, 2008).
Fase enteroepitelial, fase ini berlangsung di dalam usus kucing. Diawali
jika kucing memakan daging, tikus atau mencit yang mengandung kista
Toxoplasma gondii. Kista yang tertelan kucing akan mengalami lisis di dalam
usus sehingga bradizoit keluar, selanjutnya bradizoit akan menembus sel epitel
usus halus, kemudian berkembang secara skizogoni sehingga terbentuk 4-29
takizoit. Sel epitel yang penuh takizoit akan pecah dan takizoit akan keluar,
kemudian akan masuk ke dalam sel epitel usus yang lain terjadi perkembangan
seperti diatas dan ada yang berkembang menjadi mikrogametosit dan
makrogametosit.
makrogametosit
Mikrogametosit
menghasilkan
akan
menghasilkan
makrogamet,
mikrogamet
mikrogamet
akan
dan
mencari
makrogamet dan terjadilah perkawinan. Hasil perkawinan mikrogamet dan
makrogamet menghasilkan zigot. Zigot setelah melengkapi diri dengan selubung
kista akan keluar bersama feces yang dikenal sebagai ookista (Levine, 1995)
Fase ekstraintestinal. Fase ekstraintestinal dimulai ketika kucing atau
hospes intermedier lainnya memakan ookista yang infektif atau kista bradizoit, di
dalam usus halus hospes, sporozoit melepaskan diri dari sporokista dan bradizoit
akan terbebas, selanjutnya akan menembus mukosa dan menyebar ke berbagai
jaringan melalui aliran darah dan limfe, kemudian akan melakukan multiplikasi
secara endodiogeni dan menghasilkan 8 hingga 16 bradizoit. Jaringan yang paling
awal terserang adalah nodus limfatikus, hati, paru – paru dan organ lain termasuk
otak dan akhirnya melindungi diri dan terbentuklah kista bradizoit. (Addante et al.,
2002).
Download