BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO mendefinisikan infeksi sebagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba (WHO, 2014). Sejak ditemukannya bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus) resisten terhadap penisilin pada tahun 1945 maka resitensi bakteri terhadap antibiotik menjadi masalah pelik yang harus dipecahkan (Wainwright dan Swan, 1986). Resistensi antibiotik pada bakteri terjadi karena target antibiotik berubah, inaktivasi antibiotik oleh enzim secara langsung, menghambat uptake seluler, mengaktivasi efflux pump serta adanya pembentukan biofilom (Mah, 2012). S.aureus merupakan bakteri normal pada kulit dan selaput lendir yang dapat menyebabkan infeksi jaringan atau alat tubuh baik pada manusia dan hewan dengan tanda khas yaitu peradangan, nekrosis, abses dan nanah. Bakteri ini juga merupakan bakteri utama pada infeksi nosokomial (Otto, 2008; Brooks dkk., 2007; Gupte, 1990). S.aureus yang dapat menginfeksi kulit sering sekali memproduksi hemolisin dan enzim hyaluronidase yang dapat mendegradasi hyaluronat pada kulit yang terinfeksi (McDonald, 2006). Pembentukan biofilm merupakan salah satu mekanisme pertahanan bakteri dari ancaman dan keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan (Jefferson, 2004; Stewart dan Costerton, 2001). S.aureus bersama dengan S.epidermidis merupakan dua jenis bakteri yang paling sering berkolonisasi dan membentuk biofilm pada biomaterial dan implan medis, yang dimungkinkan karena bakteri tersebut merupakan bakteri umum yang ada di mukus dan kulit sehingga probabilitas untuk menginfeksi lebih besar (Jarvis dan Martone, 1992). Infeksi 1 pada implan oleh S.aureus lebih susah di atasi daripada S.epidermidis sehingga probabilitas penggantian implan jauh lebih sering dilakukan (Otto, 2008). Isolat klinis S.aureus dilaporkan dapat membentuk biofilm secara invitro (Brady dkk., 2006; Hassan dkk., 2011). Saat ini pencarian agen dalam upaya untuk pengatasan masalah biofilm sedang banyak dilakukan terutama menggunakan sumber daya alam dari tumbuhan (Limsuwan dan Voravuthikunchai, 2008; Quave dkk., 2008). Indonesia merupakan negara dengan keanekargaman hayati yang besar dan diperkirakan sebanyak 9.600 jenis tumbuhan obat di Indonesia memiliki khasiat sebagai obat serta 300 diantaranya telah dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi oleh industri obat tradisional (Depkes, 2007; Nugroho, 2010). Sehingga proses standardisasi diperlukan untuk mengetahui spesifikasi dan mejamin produk akhir yang dapat berupa obat, ekstrak atau produk ekstrak agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (Depkes, 2000). Senyawa golongan fenolik dan kuinon merupakan beberapa dari senyawa alam yang mempunyai efek antimikroba (Arora dkk., 2012; Daglia, 2012; Gibbons, 2004; Karpe dkk., 2011; Koyama, 2006; Riffel dkk., 2002). Telah banyak hasil penelitian yang melaporkan adanya senyawa turunan fenolik dan kuinon pada umbi Eleutherine americana Merr. (E. americana) (Hara dkk., 1997; Hegnauer, 1963; Ieyama dkk., 2011; Mahabusarakam dkk., 2010; Zhengxiong dkk., 1984). E. americana merupakan salah satu tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat, terutama umbinya. Masyarakat Indonesia mengenal umbi berwarna merah ini dengan nama bawang tiwai (Kalimantan Timur), bawang sabrang (Jawa Barat), bawang kapal (Sumatera) dan saat ini populer disebut di masyarakat 2 dengan nama bawang berlian atau bawang dayak. Secara tradisional E. americana dimanfaatkan sebagai obat peluruh muntah, diuretika, pencahar, diare berdarah, penyakit kelamin, penyakit kuning (Heyne, 1950), mengobati nyeri pada saat haid, sebagai agen antifertilitas (Alves dkk., 2003) serta digunakan untuk pengobatan luka luar (Upadhyay dkk., 2013). Ekstrak etanolik umbi E. americana mempunyai efek sebagai antibakteri pada beberapa bakteri gram positif dan jamur (Ifesan dkk., 2010). Ekstrak etanolik dan hexan dari E.americana juga terbukti sebagai antibakteri pada S.aureus isolat makanan yang memproduksi enterotoksi (Ifesan, 2009a). Ekstrak etanolik umbi E.americana juga terbukti dapat menghambat pembentukan biofilm pada Streptococcus pyogenes dan sebagai inhibitor quorum sensing pada Chromobacterium violaceum (Limsuwan dkk.,2008). Ekstrak etanolik, fraksi larut hexan, fraksi larut diklorometan dan fraksi larut metanol umbi E.americana juga dilaporkan sebagai antibakteri pada methicillin-resistant S.aureus (Ifesan dkk., 2009b) dengan kemungkinan mekanisme antibakteri dari ekstrak etanolik umbi E.americana adalah dengan merusak dinding sel bakteri (Ifesan dkk., 2009c). Berdasarkan laporan penelitian diatas telah banyak dibuktikan aktivitas ekstrak etanolik dan beberapa fraksi umbi E.americana sebagai antibakteri dan ekstrak etanoliknya sebagai antibiofilm. Penelitian aktivitas antibakteri dan antibiofilm dari ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E.americana terhadap S.aureus isolat klinis sejauh pengetahuan penulis masih belum pernah dilaporkan. 3 1. Rumusan Masalah Berdasarkan informasi yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E. americana yang mengandung gol senyawa naftokinon dan dengan kadar fenolik total tertentu dapat berefek sebagai antibakteri dan antibiofilm terhadap S. aureus isolat klinis. 2. Bagaimana komponen relatif golongan senyawa naftokuinon tertentu pada ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E. americana yang berefek sebagai antibakteri dan antibiofilm 3. Apakah profil kromatogram lapisan tipis ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E. americana dapat ditentukan spesifikasinya dengan penentuan Rx atau hRx terhadap senyawa pembanding Lawson? 2. Keaslian Penelitian Telah dilaporkan sebelumnya oleh Ifesan dkk (2010) bahwa ekstrak E. americana berfungsi sebagai antibakteri dengan potensi penghambatan terbesar untuk gram positif termasuk di antaranya adalah Bacillus licheniformis, Bacillus cereus, S. aureus dan Streptococcus spp. Aktivitas ekstrak etanolik E. americana dapat menghambat terbentuknya biofilm pada bakteri Streptococcus pyogenes serta telah diketahui juga aktivitasnya dalam menghambat pembentukan violacein pada Chromobacterium violaceum (Limsuwan dan Voravuthikunchai, 2008). Sejauh ini penelitian yang dilakukan terkait tentang aktivitas antibakteri ekstrak dan beberapa fraski E. americana adalah terhadap bakteri S. aureus isolat dari 4 makanan yang membentuk enterotoksin sehingga dimungkinkan ekstrak berperan sebagai pengawet makanan alami (Ifesan, 2009a). Sejauh ini tidak ada penelitian yang melaporkan aktivitas antibakteri ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E. americana terhadap bakteri S.aureus isolat klinis serta aktivitasnya dalam menghambat pembetukan dan degradasi biofilm pada S.aureus. Dan belum ada pula yang melaporkan nilai Rx ataupun hRx senyawa yang terdeteksi naftokuinon pada KLT dengan pembanding lawson sebagai parameter kualitas dari ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi tersebut. B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui spesifikasi ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E.americana yang didapat dengan mengidentifikasi golongan senyawa naftokinon menggunakan metode KLT. 2. Mengetahui potensi antibakteri ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol dengan kadar fenolik total dan komponen relatif golongan naftokinon tertentu pada umbi E. americana pada S. aureus ATCC 25923 dan 6 bakteri S. aureus isolat klinis. 3. Mengetahui efek penghambatan pembentukan biofilm dan degradasi biofilm dari ekstrak etanolik dan fraksi larut metanol umbi E. americana terhadap bakteri S. aureus ATCC 25923 dan 6 bakteri S. aureus isolat klinis. 5