PRESENTASI KASUS MENINGOENSEFALITIS VIRUS Oleh: Ayesya Nasta Lestari 0906507371 Narasumber: dr. Atilla Dewanti P, SpA(K) MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT ANAK BUNDA HARAPAN KITA JAKARTA 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS IDENTITAS Nama : An. SMK Umur : 8 tahun Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 13 Juli 2005 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SD Status Pernikahan : Belum menikah Alamat : Jatipulo No. RM : 817187 Tanggal Masuk : 24 Maret 2014 Tanggal Pemeriksaan : 25 Maret 2014 ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan ibu pasien) Keluhan Utama : Kejang sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang : 4 hari SMRS, pasien mengeluhkan nyeri kepala. Pasien diberikan obat panadol oleh ibu pasien dan disuruh istirahat, tidak ada perbaikan. Ibu pasien tidak mengetahui karakteristik nyeri kepala pasien. 3 hari SMRS, nyeri kepala yang dirasakan pasien kian memberat, pasien mulai mengeluhkan demam. Demam tidak diukur. Pasien masih bisa bicara dan beraktivitas, tetapi nafsu makan mulai berkurang. Pasien juga mengeluhkan sering haus dan terus-menerus ingin minum. Pasien diberikan obat sirup penurun panas, demam sedikit menurun. 2 hari SMRS, demam makin memberat, tidak menurun dengan obat penurun panas. Pasien juga mulai mengalami muntah-muntah setiap kali diberi makan sehingga pasien tidak mau makan. Muntah 4x sehari, berisi makanan dan air, tidak ada darah dan tidak berwarna hijau. Pasien merasa semakin lemas, jika berjalan sempoyongan, aktivitas terbatas. Pada malam hari pasien bicara meracau dan tidak bisa tidur. 1 hari SMRS, demam lebih memberat dari sebelumnya. Pasien tidak bisa menahan BAK dan BAB. Pasien juga mengalami diare 3x sehari, BAB cair warna kemerahan, pasien diberikan obat cacing. Pasien juga bertambah lemas. Pasien tidak mampu bangkit dari tempat tidur, jika diberdirikan maka pasien langsung jatuh. 8 jam SMRS, pasien mulai mengalami kejang. Kejang di seluruh tubuh, mata pasien mendelik ke atas, seluruh tubuh kaku dan tersentak-sentak. Kejang berulang hingga 5x, masing-masing selama kurang-lebih 15 menit, dengan interval 1-3 jam di antaranya. Keluarga pasien menunda mengantarkan pasien ke dokter karena tidak ada kendaraan. Sebelum masuk RSHK, pasien sempat dibawa ke dokter di klinik seberang rumah, pasien diberikan dua tablet penurun panas yang dimasukkan melalui anus. Pasien kemudian dibawa ke RS Bakti Mulya, karena di sana kurang alat maka pasien dirujuk ke RSHK. Riwayat batuk, pilek, dan sesak disangkal. BAK pasien normal. Riwayat trauma kepala, konsumsi obat-obatan dan alkohol, serta keringat dingin dan gemetar disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Riwayat asma dan alergi disangkal. Pasien tidak pernah sakit berat atau dirawat di rumah sakit. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluhan yang sama pada keluarga/orang-orang di sekitar pasien disangkal. Riwayat asma dan alergi dalam keluarga disangkal. Riwayat Sosial : Pasien adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini pasien duduk di kelas 2 SD. Ayah pasien adalah penjual bakso keliling sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Pembayaran pasien menggunakan BPJS. Pasien gemar mengonsumsi mie instan dan pop ice. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : Ibu pasien hamil dengan pasien saat berusia 24 tahun. Selama hamil rutin kontrol di bidan, rajin mengonsumsi tablet tambah darah yang diberikan bidan. Ibu pasien mengaku tidak menderita sakit dan tidak mengonsumsi obat-obatan lain selama hamil. Pasien lahir saat usia kehamilan 9 bulan 10 hari, lahir spontan di dukun beranak, berat lahir 3.000 g, panjang lahir tidak ingat. Saat lahir pasien langsung menangis, tidak ada biru, tidak ada kuning, tidak ada pucat. Riwayat Imunisasi : Pasien sudah imunisasi BCG pada usia 1 bulan, imunisasi DPT, polio, dan hepatitis B pada usia 2, 3, dan 4 bulan, imunisasi campak pada usia 9 bulan. Riwayat Tumbuh Kembang : Pasien sudah dapat tengkurap bolak balik pada usia 3 bulan, duduk pada usia 6 bulan, berdiri pada usia 11 bulan, berjalan pada usia 12 bulan, lari pada usia 18 bulan. Pasien dapat berbicara “mama” “papa” “dada” pada usia 12 bulan. Riwayat Nutrisi : Pasien minum susu formula sejak lahir hingga usia 1 tahun karena ASI ibu kering. Mulai usia 4 bulan diberikan bubur saring. Usia 6 bulan mulai diberikan biskuit bayi, 8 bulan diberikan nasi tim, 11 bulan diberikan nasi biasa. Saat ini pasien biasanya mengonsumsi nasi dengan lauk-pauk seperti daging, ikan, dan tempe beserta sayur seperti bayam, kangkung, dan sawi tiga kali sehari. Kesan asupan nutrisi adekuat. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran : somnolens Keadaan Umum : tampak sakit berat Tekanan Darah : 105/66 mmHg Nadi : 103x/menit, kuat, equal, isi cukup Suhu : 37,60C Pernapasan : 36x/menit, kedalaman cukup, tidak ada retraksi dada Status Generalis : Kulit : Sawo matang, turgor baik Kepala : Normosefal, fontanel tertutup, datar Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, persebaran merata Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, mata tidak cekung, pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+ Telinga : Tidak ada deformitas, tidak ada sekret, membran timpani intak Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada septum deviasi, mukosa tidak hiperemis Tenggorokan : Sulit dinilai (anak tidak bisa membuka mulut) Leher : KGB tidak teraba membesar Jantung : Bunyi jantung S1-S2 reguler, murmur dan gallop tidak ada Paru : Vesikuler + / +, rhonki dan wheezing tidak ada Abdomen : Datar, lemas, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus (+) normal Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema tidak ada Pemeriksaan Antropometri : Berat badan: 22 kg Tinggi badan: 126,5 cm (TB ideal: 131,5 cm) TB/U: 126,5/131,5 x 100% = 96,2% (normal) Height age: 7 ¾ tahun BB ideal: 25 kg BB/TB: 22/25 x 100% = 88% (mild to moderate malnutrition) Pemeriksaan Neurologi : GCS : E2M4V2 (GCS 8) Saraf pusat : Sulit dinilai Motorik : Sulit dinilai Sensorik : Sulit dinilai Refleks physiologis : Biseps +2/+2, Triseps +2/+2, Patella +2/+2, Achilles +2/+2 Refleks pathologis : -/- TRM : Kaku kuduk positif, Brudzinski I&II negatif, Kernig >135o / >135o, Laseque >70o / >70o PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (24/03/14) DPL: 11,8 / 35,9 / 20.170 / 366.000 Hitung Jenis: 0,1 / 0,0 / 0,0 / 62,9 / 28,7 / 8,3 Na: 133 / K: 4,5 / Cl: 104 / Ca: 9,0 PT: 13,2 (11,4) / APTT: 39,2 (30,3) / INR: 1,15 SGOT: 41 / SGPT: 29 hs-CRP Kuantitatif: 6,9 Protein Total: 8,80 / Albumin: 4,10 Ureum: 45 / Kreatinin: 1,7 / eGFR: 46,6 GDS: 168 Glukosa urin: negatif IT Ratio: 0,05 DIAGNOSIS 1. Meningoensefalitis ec susp viral infection 2. Gizi kurang RENCANA TATA LAKSANA Rencana diagnosis 1. CT Scan otak 2. Pungsi lumbal Rencana terapi 1. Acyclovir 3 x 250 mg IV 2. Dexamethason 3 x 4 mg IV 3. Vitamin C 1 x 200 mg IV 4. Paracetamol (jika demam) 3 x 200 mg IV BAB II TINJAUAN PUSTAKA Meningoensefalitis adalah proses inflamasi akut yang menyerang meninges dan jaringan otak. Infeksi ini relatif umum terjadi dan memiliki beragam penyebab. Etiologi Sebagian besar kasus meningoensefalitis disebabkan oleh infeksi virus. Sebanyak kurang-lebih 80% kasus meningoensefalitis disebabkan oleh enterovirus. Selain itu dapat juga disebabkan arbovirus yang biasanya menyerang pada musim panas dan ditularkan melalui gigitan nyamuk atau kutu. Meningoensefalitis yang disebabkan West-Nile virus juga banyak ditemukan di Barat. HSV-1 biasanya menyebabkan meningoensefalitis berat dan sporadis dengan keterlibatan otak yang fokal dan dapat menyebabkan koma hingga kematian pada 70% kasus yang tidak mendapatkan terapi antivirus. Sedangkan HSV-2 biasanya menyebabkan meningoensefalitis berat dengan gangguan otak difus, dan biasanya ditularkan dari ibu ke bayi atau menyertai infeksi herpes genital pada dewasa muda yang aktif secara seksual. Virus varicella zoster (VZV) dapat menyebabkan infeksi bersamaan dengan cacar air, dengan manifestasi paling umum berupa ataksia serebelar dan manifestasi terparah berupa ensefalitis akut. Mumps merupakan patogen yang umum menyebabkan meningoensefalitis di daerah-daerah yang tidak memberlakukan imunisasi terhadap mumps, dan mungkin menyebabkan ketulian akibat kerusakan nervus kranial VIII. Selain virus, beberapa jenis bakteri seperti tuberkulosis (TB), mycoplasma, listeria, Lyme disease, Bartonella henselae, leptospira, brucella, legionella, dan neurosifilis juga dapat menyebabkan meningoensefalitis. Penyebab meningoensefalitis fungal antara lain cryptococcosis, coccidiomycosis, histoplasmosis, North American blastomycosis, dan candidiasis. Terdapat pula jenis meningoensefalitis yang langka tapi memiliki angka mortalitas tinggi, yaitu primary amoebic meningoencephalitis (PAM) yang disebabkan oleh Naegleria fowleri atau Balamuthia mandrillaris. Patologi dan Patogenesis Virus memasuki sistem limfatik melalui penelanan enterovirus, melalui membran mukosa oleh rubella, campak, VZV, dan HZV, atau hematogen dari gigitan nyamuk dan serangga lain. Di tempat tersebut terjadi multiplikasi dan memasuki aliran darah sehingga menginfeksi beberapa organ. Pada stadium ini (fase ekstraneural) terjadi sakit demam dan gejala sistemik, tetapi jika terjadi multiplikasi lebih lanjut pada organ yang ditempati maka dapat terjadi penyebaran sekunder sehingga menginvasi SSP dengan bukti klinis gangguan neurologis. Diduga virus mencapai otak dengan penyebaran melalui akson saraf. Kerusakan neurologis yang terjadi biasanya disebabkan oleh invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang aktif membelah atau respon imun tubuh terhadap virus. Biasanya infeksi virus menyebabkan kerusakan neuron, sementara respon imun menyebabkan demielinasi serta destruksi vaskular dan perivaskular. Gambaran jaringan otak akan menunjukkan kongesti meningeal dan infiltrasi PMN, perivascular cuff dari limfosit dan sel plasma, nekrosis jaringan perivaskular dengan pemecahan mielin, dan disrupsi neuron. Manifestasi Klinis Sebagian besar pasien dengan meningoensefalitis virus akan menampakkan gejala meningitis (demam, nyeri kepala, kaku leher, muntah), diikuti gangguan kesadaran, kejang, dan terkadang gejala neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala berat, vertigo, mual, kejang, bingung), atau gejala psikiatrik. Awitan penyakit biasanya akut, didahului dengan demam nonspesifik selama beberapa hari. Manifestasi yang umum terjadi pada anak yang lebih besar adalah hiperestesia dan nyeri kepala, sedangkan pada infant adalah iritabilitas dan letargi. Demam, mual muntah, fotofobia, dan nyeri di leher, punggung, dan kaki umum terjadi. Jika suhu tubuh terus meningkat, dapat terjadi penurunan kesadaran disertai kejang. Gejala neurologi fokal dapat menetap, progresif, atau naik turun. Kehilangan kontrol BAB dan BAK serta gangguan emosi tanpa pemicu mungkin terjadi. Progresi dan keparahan penyakit berbeda-beda tergantung keterlibatan jaringan parenkim otak dan meninges. Kelainan Laboratorium CSF mengandung hingga beberapa ribu sel per milimeter kubik. Pada awal penyakit, sel yang ditemukan kebanyakan PMN, kemudian beralih menjadi mononuklear dalam 8-12 jam. Kadar protein cenderung normal atau sedikit naik, tapi mungkin bisa meningkat drastis pada kondisi kerusakan otak luas misalnya pada infeksi HSV. Kadar glukosa biasanya normal. Cairan spinal harus dibiakkan untuk virus, bakteri, jamur, dan mikobakteria. Untuk mengisolasi virus, paling baik pada awal perjalanan penyakit, dan dapat dibantu juga dengan pengambilan biakan dari tempat lain seperti usapan bronkiolus, tinja, dan urin. Jika tidak berhasil mengambil sampel pada awal penyakit, dapat diambil 2-3 minggu kemudian untuk pemeriksaan serologis. Uji serologis paling baik untuk meningoensefalitis nonenterovirus karena enterovirus banyak sekali serotipenya. Teknik diagnostik terbaru untuk kecurigaan meningoensefalitis virus adalah mendeteksi DNA atau RNA virus dalam CSF menggunakan PCR, tapi secara klinis belum tersedia. Diagnosis Diagnosis meningoensefalitis virus ditegakkan berdasarkan gejala prodromal nonspesifik yang diikuti kelainan SSP progresif. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan CSF yang biasanya menunjukkan dominansi sel-sel mononuklear. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan adalah elektroensefalogram (EEG) yang biasanya menunjukkan aktivitas slowwave yang difus, biasanya tanpa perubahan fokal. Pemeriksaan radiologi seperti CT dan MRI biasanya menunjukkan pembengkakan dari parenkim otak. Diagnosis Banding Kondisi klinis apapun yang menyebabkan inflamasi SSP dapat menyerupai meningoensefalitis virus. Agen penginfeksi lain yang paling umum menyebabkan meningoensefalitis adalah bakteri, dengan gejala klinis yang lebih berat dibandingkan infeksi virus. Infeksi bakteri parameningeal seperti abses otak atau empiema subdural atau epidural mungkin memberikan gejala yang mirip. Analisis CSF dan tes serologi penting untuk membedakan kelainan-kelainan tersebut. Infeksi jamur, parasit, protozoa, dan lain-lain juga dapat dimasukkan sebagai diagnosis banding tergantung dari gejala penyerta, lokasi geografis, dan kondisi imun penderita. Penyakit noninfeksi yang bermanifestasi mirip dengan infeksi SSP antara lain keganasan, penyakit kolagen vaskular, perdarahan intrakranial, dan riwayat pajanan obat atau toksin. Tata Laksana Tata laksana meningoensefalitis viral kebanyakan suportif, kecuali penggunaan acyclovir untuk meningoensefalitis HSV. Sakit kepala dan hiperestesia dapat diatasi dengan analgesik yang tidak mengandung aspirin. Asetaminofen direkomendasikan jika ada demam. Kodein, morfin, dan fenotiazin mungkin dibutuhkan untuk nyeri dan muntah, tapi sebaiknya penggunaannya dibatasi pada anak karena dapat menimbulkan tanda dan gejala yang rancu. Cairan intravena dapat diberikan jika intake oral sulit. Jika penyakit yang terjadi berat, mungkin membutuhkan opname atau perawatan intensif. Penting untuk mengantisipasi dan bersiap menangani kejang, edema otak, hiperpireksia, pernapasan tidak adekuat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, aspirasi dan asfiksia, serta henti napas dan henti jantung. Karena itu, pasien dengan meningoensefalitis berat harus dimonitor secara ketat. Jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, perlu dipasang pressure transducer di ruang epidural. Cairan, elektrolit, dan obat harus diberikan secara parenteral. SIADH umum terjadi pada infeksi SSP, karena itu perlu monitor ketat konsentrasi sodium dalam serum untuk deteksi dini. Kadar glukosa, magnesium, dan kalsium darah yang normal juga perlu dijaga untuk mencegah kejang. Prognosis Terapi suportif dan rehabilitatif sangat dibutuhkan setelah pasien sembuh. Inkoordinasi motorik, gangguan kejang, ketulian total atau parsial, dan gangguan perilaku mungkin dapat terjadi akibat infeksi virus. Infeksi sequelae juga mungkin dapat terjadi. Dibutuhkan evaluasi perkembangan saraf dan audiologi untuk anak-anak yang baru sembuh. Prognosis tergantung pada keparahan penyakit, penyebab, dan usia anak. Sebagian besar anak sembuh sepenuhnya dari infeksi SSP, tetapi jika penyakit sangat berat disertai keterlibatan parenkim yang substansial, maka prognosis menjadi buruk, dengan defisit pada intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik, visual, dan auditori. BAB III PEMBAHASAN Meningoensefalitis Virus Pasien dibawa ke rumah sakit dengan keluhan utama kejang berulang sejak 8 jam smrs. Kejang yang dialami pasien berulang sampai 5 kali dengan durasi 15 menit dan interval 1-3 jam, dan di antara kejang tersebut pasien tidak sadarkan diri. Kondisi yang dialami pasien adalah status epileptikus. Etiologi status epileptikus antara lain, intoksikasi obat, alcohol abuse, hipoglikemia, gangguan elektrolit (hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesemia), trauma kepala akut, ensefalitis, meningitis, stroke iskemik, perdarahan intrakranial, dan tumor otak. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengonsumsi obat-obatan dan alkohol, tidak gemetar dan tidak berkeringat dingin sehingga hipoglikemia dapat disingkirkan, tidak ada riwayat trauma kepala. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah normal sehingga stroke dapat disingkirkan. Diagnosis yang masih belum dapat dipastikan antara lain gangguan elektrolit, infeksi SSP, perdarahan intrakranial, dan tumor otak. Pasien memiliki riwayat diare dan muntah, pemeriksaan elektrolit darah juga menunjukkan tanda-tanda hiponatremia, karena itu status epileptikus mungkin dapat berasal dari gangguan elektrolit. Kemungkinan perdarahan intrakranial atau tumor otak juga belum dapat disingkirkan sebab muntah dan nyeri kepala yang dialami pasien bisa jadi merupakan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, oleh karena itu masih diperlukan pemeriksaan CT Scan kepala untuk menyingkirkannya. Namun sebenarnya gejala yang paling mencolok pada pasien ini adalah demam, penurunan kesadaran, kejang, tidak mampu menahan BAB dan BAK sehingga kecurigaan terutama mengarah pada infeksi SSP. Dari perjalanan penyakit pasien, diketahui bahwa keluhan diawali dengan nyeri kepala, kemudian berlanjut menjadi demam yang tidak terlalu tinggi namun makin meningkat pada hari-hari selanjutnya, diikuti muntah, gejala psikiatrik berupa bicara meracau, tidak mampu menahan BAB dan BAK, serta akhirnya terjadi kejang dan penurunan kesadaran. Riwayat perjalanan penyakit ini sesuai dengan gambaran meningoensefalitis. Adanya kejang dan penurunan kesadaran menunjukkan bahwa kelainan terdapat di parenkim otak. Selain itu dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk positif, sehingga menunjukkan keterlibatan meningens. Dari gejala-gejala tersebut diambil diagnosis kerja meningoensefalitis. Meningoensefalitis dapat disebabkan virus atau bakteri. Meningoensefalitis bakterial biasanya didahului infeksi saluran napas atas atau pencernaan. Pada pasien awalnya tidak ditemukan batuk dan pilek sehingga kemungkinan besar pasien tidak menderita infeksi saluran napas atas. Namun ada riwayat muntah dan diare yang mungkin mengindikasikan pasien sebelumnya menderita infeksi saluran pencernaan. Penyebab lain yang belum dapat disingkirkan adalah meningoensefalitis akibat virus. Karena pada pasien terjadi gejala fokal hingga penurunan kesadaran, diduga virus yang menyebabkannya adalah HSV. Diagnosis kerja yang ditegakkan saat ini adalah meningoensefalitis HSV dengan diagnosis banding meningoensefalitis bakterialis. Untuk dapat menentukan etiologi pastinya, perlu dilakukan pemeriksaan CSF pasien. Jika penyebabnya adalah bakteri, hasil analisa CSF akan menunjukkan jumlah sel 10010.000/uL, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear yang dominan, protein 200-500 mg/dL, glukosa < 40 mg/dL. Sedangkan jika penyebabnya virus, leukositnya jarang lebih dari 1.000 sel/uL, protein 50-200, glukosa biasanya normal. Untuk diagnosis yang lebih pasti, harus dilakukan kultur CSF untuk bakteri dan PCR untuk memeriksa DNA virus. Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien berupa acyclovir 3 x 250 mg IV. Acyclovir merupakan terapi kausatif untuk meningoensefalitis yang disebabkan HSV. Dosisnya 30 x 22 = 660 ≈ 750 mg yang dibagi dalam 3 dosis. Acyclovir harus diberikan selama 14-21 hari. Selain itu pasien diberikan paracetamol 3 x 200 mg untuk mengurangi demam. Dosis paracetamol untuk anak adalah 10-15 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Oleh karena itu, dosis untuk pasien seharusnya 3 x 220-330 mg/hari sehingga dosis paracetamol yang diberikan masih kurang. Vitamin C 1 x 200 mg IV diberikan kemungkinan besar untuk meningkatkan sistem imun pasien dan membantu proses penyembuhan penyakit. Pasien juga mendapatkan dexamethasone 3 x 4 g IV, kemungkinan untuk menurunkan inflamasi di sistem saraf pusat tapi belum jelas apa indikasi pemberian dexamethasone pada pasien ini. selain pengobatan yang sudah disebutkan, sebaiknya pasien juga diberikan antibiotik seperti ceftriaxone karena diagnosis meningoensefalitis bakterial belum dapat disingkirkan. Dosis ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis, karena itu pada pasien ini seharusnya mendapatkan 2200 mg yang dibagi dua dosis setiap harinya. Gizi Kurang 1. Penilaian status gizi: Berat badan: 22 kg Tinggi badan: 126,5 cm (TB ideal: 131,5 cm) TB/U: 126,5/131,5 x 100% = 96,2% (normal) Height age: 7 ¾ tahun BB ideal: 25 kg BB/TB: 22/25 x 100% = 88% Kesimpulan: Gizi kurang 2. Kebutuhan nutrisi Height age: 7 ¾ tahun RDA = 80 kkal/kg Berat badan ideal 25 kg Kebutuhan kalori = 25 x 80 = 2000 kkal 3. Rute pemberian Kesadaran pasien menurun dan pasien tidak mau membuka mulut.Pemberian nutrisi sebaiknya melalui NGT jika dipastikan pasien tidak ada masalah pencernaan. 4. Formula Pasien sedang dalam fase stabilisasi, karena itu diberikan F75. Volume = 2000/0,75 = 2666,67 ml Frekuensi setiap 3 jam 8 x 333,33 ≈ 8 x 300 ml 5. Monitoring Pantau kenaikan berat badan.