BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi saluran

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi saluran reproduksi, termasuk infeksi menular seksual masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara-negara
berkembang (World Health Organization, 2007a). Infeksi Chlamydia
trachomatis merupakan infeksi menular seksual yang paling sering terjadi,
namun sebagian besar infeksi ini tidak menunjukkan gejala sama sekali
(asimptomatik) sehingga infeksi ini tidak diketahui maupun disadari oleh
penderita (Bebear, 2009).
Meskipun demikian keluhan yang paling sering dari infeksi ini
adalah adanya cairan yang keluar dari vagina yang disebut vaginal
discharge.
Keluhan
vaginal
discharge
inilah
yang
paling
sering
menyebabkan wanita datang berobat atau memeriksakan dirinya (Kore, et
al, 2003). Sekitar 20-30% wanita yang datang berobat ke poli ginekologi
memiliki keluhan vaginal discharge dan leukorrhoe (Sabir dan Hassan,
2010). Beberapa infeksi genital lainnya yang juga dapat menyebabkan
adanya keluhan vaginal discharge yang patologis ini, antara lain bacterial
vaginosis, candidiasis, trichomoniasis, dan gonorrhoeae (Sabir dan
Hassan, 2010; WHO, 2007a; WHO, 2007b; Romoren, et al, 2007; Kore, et
al, 2003).
Infeksi Chlamydia dan gonorrhoea dapat menyebabkan gangguan
saat kehamilan (Romoren, et al, 2007). Di negara-negara maju hampir
Universitas Sumatera Utara
seluruh populasi wanita yang diteliti menunjukkan bahwa prevalensi
infeksi Chlamydia lebih banyak daripada infeksi gonorrhoe. Pada wanita
tempat infeksi Chlamydia yang paling sering adalah pada endocerviks (AlSharif, 2011).
Pada wanita hamil infeksi Chlamydia ini dapat menyebabkan
ketuban pecah dini (Premature Ruptura of Membrane/PROM), yang
berarti juga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada bayi.
Chlamydia trachomatis dapat menyebabkan kerusakan organ reproduksi.
Pada
wanita
infeksi
Chlamydia
ini
dapat
menyebabkan
pelvic
inflammatory disease (PID) yang pada akhirnya dapat menimbulkan tubal
occlusion sehingga terjadi infertilitas pada wanita (Debra, 2008; Gracia, et
al, 2006; Karmila, 2001; Malik, et al, 2006).
Menurut WHO, hampir 70%-80% infeksi Chlamydia pada wanita
tidak menunjukkan gejala. Pada pria 30%-50% infeksi Chlamydia ini juga
tidak menunjukkan gejala (WHO, 2007b). Hal ini merupakan tantangan
besar dalam strategi pengendalian infeksi Chlamydia, dimana individuindividu
yang terinfeksi ini dapat menjadi sumber penularan pada
pasangan seksualnya dan wanita lebih sering mengalami infeksi
Chlamydia yang berulang (Black, 1997). Adanya infeksi Chlamydia juga
dapat menjadi petunjuk kemungkinan adanya
infeksi menular seksual
lainnya terutama HIV/AIDS (WHO, 2007b).
Data mengenai prevalensi maupun insidensi infeksi Chlamydia di
Indonesia maupun di Kota Medan khususnya masih sangat terbatas.
Angka prevalensi infeksi Chlamydia di Indonesia lebih banyak terfokus
Universitas Sumatera Utara
pada kelompok-kelompok yang berperilaku risiko tinggi (pekerja seksual,
anak jalanan perempuan, pengungsi).
Dari berbagai penelitian angka
prevalensinya di Indonesia antara tahun 1990-2000 sangat bervariasi
yaitu sebesar 8% – 73,7%. Penelitian Departemen Kesehatan tahun 2003
di tujuh kota di Indonesia mendapat prevelensi Chlamydia pada wanita
pekerja seksual 12% - 55%, dimana di Kota Medan prevalensinya
mencapai 44%. Sedangkan data infeksi Chlamydia pada ibu-ibu yang
mendatangi klinik kesehatan ibu dan anak, ibu hamil, ibu peserta KB
sebagai kelompok perilaku risiko rendah, prevalensinya berkisar 3,6% –
12% (Depkes, 2004;Putra, 2010).
Untuk menunjukkan adanya infeksi genital oleh Chlamydia.
trachomatis bahan pemeriksaan harus diambil uretra atau cerviks dengan
menggunakan swab kapas dengan tangkai metal. Berbagai metode
pemeriksaan dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi Chlamydia ini,
diantaranya test DNA Chlamydia dengan teknik amplifikasi nukleat yaitu
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Ligase Chain Reaction
(LCR). Test ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun biaya
pemeriksaannya relatif mahal dan hanya dapat dilakukan pada sarana
pelayanan kesehatan dengan fasilitas laboratorium yang lengkap.
Akibatnya pelayanan kesehatan terhadap keluhan vaginal discharge
tersebut menjadi kurang adekuat karena penegakkan diagnosisnya yang
sulit sehingga tindakan kuratif juga tidak adekuat diberikan.
Upaya
pelayanan
kesehatan
masyarakat
harus
bersifat
komprehensif meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjalankan upaya pelayanan yang komprehensif terhadap infeksi
Chlamydia ini baik sebagai infeksi menular seksual maupun infeksi
saluran reproduksi diperlukan data-data epidemiologi yang lebih detail
mengenai frekuensi dan penyebarannya di suatu populasi serta kaitannya
dengan berbagai faktor risiko terjadinya infeksi Chlamydia tersebut.
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis infeksi Chlamydia ini,
berbagai pendekatan melalui penelitian-penelitian telah dilakukan untuk
mendapatkan cara yang terbaik dalam menegakkan diagnosa dengan
pendekatan yang sederhana dan tanpa pemeriksaan laboratorium yang
sulit
dan
mahal
seperti
yang
implementasinya hasilnya kurang
dijelaskan
diatas,
namun
dalam
memuaskan. Penelitian di India,
menggunakan pendekatan secara algoritme berdasarkan adanya keluhan
vaginal discharge, risiko pasangan dan penilaian discharge ternyata tidak
bermanfaat dalam memprediksi infeksi Chlamydia karena sensitivitasnya
hanya 5% meskipun spesifisitasnya 93% (Vishwanath et al., 2000).
Sedangkan penelitian di Peru, skreening untuk Chlamydia dan atau
gonorrhoe dengan menggunakan pendekatan syndromic management
yang meliputi keluhan dysuria dan atau genital discharge pada wanita,
memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 48,1% dan
44,4% (Clark et al., 2009). Beberapa penelitian menunjukkan vaginal
discharge sebagai dasar untuk menegakkan diagnosa infeksi Chlamydia,
namun belum ada penelitian yang menilai karakteristik discharge tersebut
dengan infeksi Chlamydia (Pavlin et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut dan spesifik untuk
menegakkan diagnosa infeksi Chlamydia tersebut melalui pendekatan
syndromic management lainnya yang lebih praktis, mudah, dan memiliki
nilai diagnostik yang tinggi.
Dengan
adanya
pendekatan
diagnostik
yang
baik
dana
diperolehnya data-data epidemiologis serta faktor-faktor risiko terjadinya
infeksi Chlamydia maka intervensi kesehatan terhadap penanganan kasus
Chlamydia dapat dilaksanakan, terutama pada daerah-daerah yang
sarana
pelayanan
kesehatan,
tenaga
kesehatan
dan
fasilitas
laboratoriumnya yang masih terbatas.
Pendekatan analisis spasial juga dapat dimanfaatkan dalam
menggambarkan secara lebih akurat atribut-atribut suatu penyakit
berdasarkan wilayah atau geografis. Pendekatan ini merupakan suatu
perangkat
untuk
mengumpulkan,
menyimpan,
menampilkan
dan
mengkorelasikan data spasial fenomena geografis untuk dianalisis dan
hasilnya
dapat
digunakan
untuk
keperluan
pelayanan
kesehatan
komprehensif (Budiyanto, 2010; Prahasta, 2009). Perangkat tersebut
dapat menggambarkan sebaran prevalensi suatu penyakit di suatu
daerah,
dan
mengidentifikasi
sebaran
faktor-faktor
risiko
yang
memberikan kontribusi terhadap kejadian atau prevalensi penyakit
(Cromley and McLafferty, 2002). Dengan pemanfaatan analisis spasial ini,
tenaga kesehatan dapat menentukan daerah yang menjadi prioritas dalam
melakukan upaya preventif dan kuratif terhadap kasus infeksi Chlamydia
yang terjadi di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Infeksi Chlamydia trachomatis merupakan infeksi menular seksual
yang paling sering terjadi, namun sebagian besar infeksi tidak
menunjukkan gejala sama sekali (asimptomatik) ataupun infeksi ini tidak
disadari oleh penderita. Pada wanita pre-pubertas gejala Chlamydia dapat
berupa adanya vaginal discharge dan berbau (vaginitis). Pada wanita post
pubertas juga dapat dijumpai adanya discharge dan bau yang berasal dari
cerviks yang terinfeksi. Gejala dapat timbul dalam 3 minggu setelah
terinfeksi, berupa sakit perut bawah yang menetap, discharge yang mild,
milky, yellow mucus-like discharge dari vaginal, mual dan demam, sakit
sewaktu buang air kecil, sakit sewaktu melakukan hubungan seksual, dan
spotting diluar haid.
Secara klinis infeksi Chlamydia dapat menyebabkan cervicitis,
endometritis, salphingitis, pelvic inflammatory disease, infertilitas ataupun
kehamilan ektopik. Sekitar 5-13% wanita yang terinfeksi Chlamydia akan
mengalami cervicitis.
Penegakkan
diagnosa
adanya
infeksi Chlamydia
ini
dapat
dilakukan dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
sebagai baku emas, karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
sangat tinggi, akan tetapi pemeriksaan ini sangat mahal. Penelitian di
India terhadap wanita yang berobat jalan pada poliklinik ginekologi,
mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan PCR
terhadap Chlamydia trachomatis masing-masing sebesar 98,4% dan
Universitas Sumatera Utara
97,1% (Patel et al., 2010). Pemeriksaan PCR ini di Kota Medan saat ini
masih sangat terbatas untuk dilakukan di pelayanan kesehatan rumah
sakit apalagi di puskesmas, karena keterbatasan tenaga dan fasilitas
laboratorium serta biayanya yang sangat mahal.
Seperti yang telah disebutkan diatas, data mengenai prevalensi
maupun insidensi infeksi Chlamydia pada kelompok perilaku risiko rendah
di Indonesia maupun di Kota Medan khususnya masih sangat terbatas.
Prevalensi infeksi Chlamydia pada ibu-ibu yang mendatangi klinik
kesehatan ibu dan anak, ibu hamil, ibu peserta KB sebagai kelompok
perilaku risiko rendah, prevalensinya berkisar 3,6% – 12% (Depkes, 2004;
Putra, 2010). Bila dibandingkan dengan data hasil penelitian pada ibu
hamil yang mengunjungi poliklinik obstetri dan ginekologi di RS Adam
Malik, RS Pirngadi dan Klinik Fertilitas di Medan, angka proporsi pada
kelompok perilaku risiko rendah ini ternyata cukup tinggi yaitu 23%
(PPKRM, 2011). Infeksi Chlamydia yang dikategorikan tinggi ini juga
dilaporkan di Manila 23.3%, Cebu, Philippines 37% dan India 23% (Patel
et al, 2010).
Tingginya proporsi infeksi Chlamydia ini menunjukkan adanya
masalah kesehatan masyarakat di Kota Medan. Di satu sisi penegakkan
diagnosa infeksi Chlamydia masih sulit karena umumnya bersifat
asimptomatik dan penyakit-penyakit seksual lainnya dapat memberikan
gejala yang hampir sama dengan infeksi Chlamydia. Sedangkan
pemeriksaan PCR sebagai baku emas terhadap adanya infeksi Chlamydia
masih terbatas karena biaya yang mahal dan keterbatasan tenaga dan
Universitas Sumatera Utara
fasilitas laboratorium. Infeksi Chlamydia ini merupakan infeksi menular
seksual, dimana kemungkinan pasangan ibu berpotensi menyebarkan
penyakit ini dan dapat mencetuskan re-infeksi pada ibu jika pasangannya
tidak diobati. Infeksi Chlamydia sering tidak disadari oleh penderitanya, ini
menunjukkan suatu fenomena gunung es, bahwa yang tampak di
permukaan hanya sedikit tetapi sebenarnya jumlah kasusnya cukup tinggi,
sehingga
perlu
diidentifikasi
faktor-faktor
risiko
yang
mungkin
berhubungan dengan terjadinya infeksi tersebut.
Oleh karena besarnya masalah kesehatan sehubungan infeksi
Chlamydia ini, diperlukan suatu penelitian yang komprehensif yang dapat
memberikan informasi lebih lengkap tentang infeksi Chlamydia ini,
sehingga dapat menemukan suatu pendekatan diagnostik syndromic
management dan dapat memperkirakan besarnya risiko infeksi Chlamydia
pada seorang ibu serta memperkirakan besarnya kemungkinan infeksi
Chlamydia pada suatu wilayah melalui pendekatan analisis spasial. Pada
penelitian ini subjek yang akan diteliti adalah ibu yang datang ke rumah
sakit dengan keluhan vaginal discharge. Vaginal discharge merupakan
salah satu gejala yang mudah dikenali. Gejala ini juga yang sering
menyebabkan ibu datang untuk berobat.
Berdasarkan
uraian
diatas,
maka
peneliti
dapat
merumuskan
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran besarnya infeksi Chlamydia trachomatis
pada ibu yang mengalami vaginal discharge di Kota Medan?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana gambaran faktor-faktor risiko pada ibu-ibu yang
mengalami vaginal discharge yang terinfeksi Chlamydia di Kota
Medan?
3. Bagaimana distribusi infeksi Chlamydia serta kaitannya dengan
faktor risiko berdasarkan analisa spasial di Kota Medan?
4. Apakah faktor vaginal discharge dapat digunakan sebagai model
pendekatan syndromic management untuk menegakkan diagnosa
infeksi Chlamydia?
5. Faktor-faktor risiko apakah yang berperan dalam model prediksi
untuk memperkirakan besarnya infeksi Chlamydia pada ibu dengan
vaginal discharge di Kota Medan?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui model pendekatan syndromic management dan pendekatan
analisis spasial terhadap infeksi Chlamydia pada ibu yang mengalami
vaginal discharge di Kota Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui proporsi infeksi Chlamydia pada ibu yang mengalami
vaginal discharge di Kota Medan berdasarkan pemeriksaan
Polimerase Chain Reaction (PCR).
Universitas Sumatera Utara
b. Mengetahui perbandingan pendekatan syndromic management
terhadap infeksi Chlamydia dengan pemeriksaan Polymerase
Chain Reaction.
c. Mengetahui nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktik positif dan
nilai prediktif negatif dari pendekatan syndromic management
terhadap infeksi Chlamydia pada ibu yang mengalami vaginal
discharge.
d. Mengetahui
faktor-faktor
resiko
yang
berhubungan
dengan
terjadinya infeksi Chlamydia di Kota Medan.
e. Menggambarkan peta penyebaran infeksi Chlamydia pada ibu yang
mengalami vaginal discharge di Kota Medan.
f.
Menggambarkan peta penyebaran infeksi Chlamydia berdasarkan
faktor vaginal discharge dan karakteristik wilayah di Kota Medan.
g. Menggambarkan peta distribusi fasilitas kesehatan dan kaitannya
dengan aksesibilitas pasien dengan infeksi Chlamydia di Kota
Medan.
h. Membuat suatu pemodelan berdasarkan analisis apasial untuk
menentukan tingkat kerawanan suatu wilayah di Kota Medan
terhadap kemungkinan terjadinya infeksi Chlamydia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
Universitas Sumatera Utara
1. Data hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pola
penyebaran infeksi Chlamydia yang sekaligus mencerminkan
penyebaran infeksi menular seksual di masyarakat.
2. Data hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai data dasar
dalam menentukan proporsi infeksi Chlamydia pada ibu yang
memiliki gejala vaginal discharge.
3. Data hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar prediksi
infeksi Chlamydia berdasarkan faktor-faktor risiko yang berperan
pada host dan lingkungannya.
4. Data hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai panduan
dalam menegakkan diagnosa infeksi Chlamydia berdasarkan
pendekatan syndromic management.
5. Berdasarkan hasil mapping penelitian ini, departemen kesehatan
ataupun dinas kesehatan dapat melakukan promosi kesehatan,
pencegahan penyakit maupun tindakan pengobatan pada wilayah
yang diduga memiliki proporsi infeksi Chlamydia yang tinggi
sehingga hal ini akan memutus rantai penularannya.
6. Bermanfaat bagi petugas puskesmas dalam menyusun strategi
pelayanan kesehatan pada wanita usia reproduksi maupun ibu
hamil di wilayah kerjanya dalam rangka pelayanan infeksi menular
seksual.
7. Hasil penelitian ini dapat dijadikan suatu model kajian epidemiologi
terhadap kasus-kasus infeksi atau penyakit menular lainnya
maupun penyakit tidak menular.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual pada penelitian ini adalah:
1. Menemukan model yang komprehensif dalam prediksi infeksi
Chlamydia.
2. Menemukan dan menetapkan pola penyebaran infeksi Chlamydia
di Kota Medan
3. Menemukan suatu pendekatan diagnostik syndromic management
yang dapat diaplikasikan dalam praktek pelayanan kesehatan
primer oleh dokter puskesmas, dokter keluarga maupun dokter
praktek swasta lainnya.
4. Menemukan model spasial analisis terhadap infeksi Chlamydia
berdasarkan model klinis di suatu wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Download