RACUN DUNIA PENDAHULUAN Pada kasus intoksikasi melalui makanan, tidak ada kasus yang lebih berbahaya dibandingkan dengan botulisme. Penyebabnya adalah Clostridium botulinum. Botulisme ini sudah menyebar hampir ke seluruh dunia. Bakteri ini menghasilkan racun yang sangat berbahaya; 1 ons racun yang dihasilkan mampu mebunuh semua penduduk Amerika Serikat! Botulisme biasa terjadi karena mengonsumsi makanan yang sudah terkontaminasi Clostridium botulinum. Botulisme dapat dihindari dengan memanaskan makanan sebelum dikonsumsi. Kasus – kasus yang terjadi selalu berkaitan dengan mengonsumsi makanan dingin. Contohnya, kasus terbesar di Michigan, Amerika Serikat pada tahun 1977 ketika 58 orang menderita botulisme setelah memakan makanan kaleng di sebuah restoran. Pada tahun 1982, seorang pria Belgia meninggal karena botulisme setelah makan makanan yang terbuat dari daging salmon kaleng yang telah terkontaminasi Clostridium botulinum. Botulisme juga dapat terjadi pada bayi tapi, hal ini jarang terjadi. Hal ini tejadi sejak masa kehamilan enam bulan pertama. Selain itu, terdapat pula botulisme pada luka yang merupakan analog dari tetanus. Namun, botulisme pada luka ini sangat langka. KLASIFIKASI Kingdom : Bacteria Divisi : Firmicutes Kelas : Clostridia Ordo : Clostridiales Famili : Clostridiaceae Genus : Clostridium Species : Clostridium botulinum SEJARAH Penyakit botulisme, mirip seperti penyakit tetanus, sudah dikenal dalam waktu yang lama sebelum etiologinya dapat dijelaskan. Pada tahun 1820, Justinus Kerner menamakan toksin botulinum sebagai “sausage poison” atau racun sosis. Justinus Kerner merupakan orang yang pertama kali mengemukakan penggunaan racun botulinum sebagai alat terapi. Pada tahun 1897, van Ermengem mempublikasikan penemuan dari penelitiannya tentang penyakit botulisme yang mendadak menyerang warga di Ellezelles, Belgia. Ia menunjukkan bahwa penyakit yang diderita berasal dari racun yang terdapat di dalam makanan. Racun tersebut diproduksi oleh bakteri anaerob yang diisolasinya. Bakteri tersebut kemudian diberi nama Bacillus Botulinus. Sebelum tahun 1880, organisme ini diklasifikasikan dalam genus Bacillus karena bentuknya yang silindris. Namun, pada tahun 1880, ada sebuah genus baru yaitu Clostridium, yang dideskripsikan oleh Prazmowski sebagai organisme anaerob dan menghasilkan spora. Bacillus Botulinus ini kemudian berganti nama menjadi Clostridium botulinum. ASPEK BIOLOGI Morfologi Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran bakteri. Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm hingga 1,2 μm. Pada pengecatan Gram, C. botulinum yang mengandung spora bersifat Gram positif, sedangkan C. botulinum yang tidak mengandung spora bersifat Gram negatif. Namun, C. botulinum termasuk bakteri Gram positif. Spora yang dihasilkan oleh sel Clostridium secara struktural sangat berbeda dengan sel pada spesies itu sendiri, tapi yang terkenal adalah spora pada Clostridia yang bersifat patogen. Lapisan paling luar spora disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing – masing species, terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum. Lapisan di bawah exosporium disebut dengan membran spora, terdiri atas protein yang strukturnya tidak biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora, ribosom, enzim, dan kation. Kandungan logam pada spora C. botulinum berbeda dari kandungan metal pada Bacillus. Strain proteolitik C. Botulinum dapat menghasilkan spora yang sangat resisten dengan pemanasan tinggi. C. botulinum merupakan bakteri anaerob yang tidak dapat tumbuh di lingkungan anaerob. Hasil uji pertumbuhan pada media agar aerob adalah negatif. C. botulinum bersifat motil atau dapat bergerak dengan flagel yang berbentuk peritirik. Motilitas C. botulinum ini umumnya sulit ditunjukkan, terutama pada strain yang sudah cukup lama ditanam. C. botulinum merupakan bakteri Gram positif yang memiliki kandungan peptidoglikan antara 80 – 90% dari komponen dinding sel. C. botulinum tidak dapat membentuk kapsula maupun plasmid. Bakteriofag pada genus Clostridium dapat diasosiasikan dengan neurotoksisitas dari C. botulinum tipe C dan D. Toksin C. botulinum p menghasilkan toksin yang disebut neurotoksin atau BoNT (botulinum neurotoxin). Neurotoksin ini merupakan eksotoksin karena toksin dikeluarkan oleh bakteri ke lingkungan. Toksin botulinum ini memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan toksin tetanus. Namun, toksin botulinum mempengaruhi syaraf periferi karena memiliki afinitas untuk neuron pada persimpangan otot syaraf. Terdapat tujuh macam toksin yang berbeda – beda yang dihasilkan oleh C. botulinum, yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Toksin tipe A, B, dan E 9 (dan kadang – kadang F) merupakan toksin yang menyebabkan penyakit botulisme pada manusia. Tujuh macam toksin yang dihasilkan oleh C. botulinum ini telah diidentifikasi dan sudah dapat disintesis sebagai polipeptida rantai tunggal dengan bobot molekul 150.000 dalton yang kurang toksik. Setelah dipotong dengan protease, akan terbentuk dua rantai polipeptida, yaitu rantai ringan atau sub unit A dengan bobot molekul 50.000 dalton dan rantai berat atau sub unit B dengan bobot molekul 100.000 dalton. Kedua rantai ini dihubungkan oleh ikatan disulfida. Sub unit A merupakan toksin yang paling toksik yang pernah diketahui. Beberapa strain C. botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakterifaga yang dapat menginfeksi straun lain yang nontoksin dan mengubahnya menjadi toksigenik. PENYEBARAN DAN SIKLUS HIDUP Penyebaran bakteri C. botulinum melalui spora yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Spora C. botulinum dapat ditemukan di saluran pencernaan manusia, ikan, burung, dan hewan ternak. Selain itu, spora C. botulinum juga dapat ditemukan di tanah, pupuk organik, limbah, dan hasil panen. Spora tersebut dapat berakhir di usus hewan yang memakan hewan atau tumbuhan yang terkontaminasi spora tersebut kemudian memasuki rantai makanan manusia. Jika spora memasuki lingkungan yang anaerob, misalnya pada kaleng makanan, spora – spora tersebut akan tumbuh menjadi bakteri yang dapat menghasilkan neurotoksin. Pada makanan yang tertutup dan pH nya rendah (lebih dari 4,6) merupakan tempat pertumbuhan bakteri C. botulinum yang kemudian dapat memproduksi racun. Faktor lain yang mendukung tumbuhnya spora menjadi sel vegetatif adalah kadar garam yang di bawah 7%, kandungan gula di bawah 50%, temperatur 4oC – 49oC (suhu kamar), kadar kelembapan tinggi, serta sedikitnya kompetensi dengan bakteri flora. PENYAKIT Botulisme adalah suatu penyakit neurologik akut dan dapat menyebebkan kematian karena neuroparalisis yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh C. Botulinum. Terdapat empat macam botulisme, yaitu : Botulisme yang disebabkan mengonsumsi makanan yang terkontaminasi C. botulinum Botulisme pada luka; toksin akan dihasilkan pada luka yang telah terinfeksi dan ditumbuhi oleh C. botulinum Botulisme pada bayi Botulisme yang disebabkan oleh kolonisasi C. botulinum pada anak – anak dan dewasa Gejala dimulai 18 – 24 jam setelah makan makanan yang terkontaminasi C. botulinum. Gejala – gejalanya yaitu : bibir kering, gangguan penglihatan (inkoordinasi otot – otot mata, penglihatan ganda), ketidakmampuan menelan, sulit berbicara; tanda – tanda paralisis bulbar berlangsung secara progresif, dan kematian terjadi karena paralisis pernapasan atau henti jantung. Gejala – gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sampai segera sebelum mati. Pada siklus yang normal, asetilkolin neurotransmitter akan dilepaskan oleh vesikel di junction pada ujung serabut saraf. Asetilkolin akan memasuki sinapsis dan memfasilitasi transfer impuls saraf dengan membuat jembatan pada gap antara ujung serabut saraf dengan sel reseptor otot sehingga komunikasi sel dapat berlangsung. Pada orang yang mengalami keracunan akibat toksin botulisme, racun akan memasuki deaerah membran sel ujung serabut saraf. Molekul – molekul toksin tersebut akan menutupi permukaan bagian dalam dari membran sel tersebut sehingga menghalangi vesikel yang akan melepaskan asetilkolin. Terjadi paralisis. Botulisme pada bayi cukup sering terjadi di Amerika Serikat. Botulisme ini disebabkan karena bayi menelan bakteri C. botulinum, bukan racunnya. Usia bayi yang mengalami botulisme adalah 3 minggu hingga 363 hari. Spora yang mungkin terdapat pada madu dan dikonsumsi oleh bayi menjadi penyebab botulisme ini. Botulisme pada bayi ini disebabkan kolonisasi baktei C. botulinum pada saluran pencernaan bayi. Spora yang masuk ke saluran pencernaan dan tumbuh di sana membentuk sel vegetatif yang mampu mrnghasilkan neurotoksin. Gejala – gejala botulisme ini adalah bayi – bayi pada bulan pertama awal kehidupannya menjadi tidak mau makan, lemah, dan ada tanda – tanda paralisis. Botulisme pada bayi ini menyebabkan kematian mendadak kematian pada bayi – bayi. Botulisme pada anak – anak dan dewasa juga disebabkan menelan bakteri C. botulinum secara tidak sengaja. Namun, anak – anak dan dewasa jarang terkena efeknya karena sistem kekebalan tubuh dapat menghancurkan spora sebelum tumbuh menjadi sel vegetatif dan mengeluarkan racun. PENGOBATAN Botulisme termasuk jenis intoksikasi (keracunan), maka antibiotik tidak berguna dalam terapi pada pasien. Tetapi, antitoksin dalam dosis tinggi dapat digunakan untuk menetralisir racun pada botulisme yang terjadi karena mengonsumsi makanan yang tekontaminasi C. botulinum. Antitoksin ini adalah antitoksin trivalen (A, B, E). Penggunaan antitoksin trivalen ini disebabkan tipe penyebab pada suatu kasus biasanya tidak diketahui. Tes laboraturium memerlukan waktu yang cukup lama. Selain itu, dapat juga digunakan Chloroquine dalam pengobatan botulisme ini. Pada kasus botulisme pada luka, dapat digunakan antibiotik, yaitu Penicillin G (Pfizerpen), Chloramphenicol (Chloromycetin), dan Clindamycin (Cleocin). Pada kasus botulisme pada bayi, sebagian besar bayi sembuh hanya dengan terapi suportif. PUSTAKA Pustaka Jurnal : Anonim, 2003, Botulism (Clostridium botulinum), http://www.usmef.org /FoodSafety/Clostridium_Botulinum.pdf, diakses tanggal 13 Mei 2008 Bachmeyer, C., 2001, Interaction of Clostridium botulinum C2 toxin with lipid bilayer membranes and Vero cells: inhibition of channel function by chloroquine and related compounds in vitro and intoxification in vivo, http://www.fasebj.org/cgi/content/full/15/9/ 1658, diakses tanggal 13 Mei 2008 Pustaka Internet : Anonim, 2008, Botulism, http://www.cdc.gov/nczved/dfbmd/disease_ listing/botulism_gi.html, diakses tanggal 13 Mei 2008 Chan, K.M., 2006, Botulism, http://www.emedicine.com/MED/topic238. htm, diakses tanggal 13 Mei 2008 Kharistya, 2006, Mekanisme Botulinum Toksin, http://kharistya. wordpress.com/2006/06/24/mekanisme-botulinum-toksin/, diakses tanggal 15 Mei 2008 Pustaka Buku : Alcamo, I. E., 1997, Fundamentals of Microbiology, Edisi 5, 228 – 230, The Benjamin / Cumming, New York Collier, L., et all., 1998, Topley Wilson’s Microbiology and Microbial Infections : Systematic Bacteriology, Edisi 9, 731, 732, 734 – 738, 739, 741, 742, 754, 755, Oxford University Press, Inc., New York Jawetz, E., et all., 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, 197 – 199, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Murray, P.R., et all., 1999, Manual of Clinical Microbiology, Edisi 7, 654, 658, 659, 664, ASM Press, Washington