BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Return Saham Return merupakan hasil yang diperoleh dari suatu investasi yang terdiri dari deviden dan capital gain/loss. Menurut Jogiyanto Hartono (2010:205) menyatakan bahwa “Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi”. Return dapat berupa Return realisasi (Realized Return) atau Return ekspektasian (Expected Return). Return realisasi merupakan Return yang telah terjadi yang dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi sangat penting karena dapat digunakan sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan. Return ekspektasian adalah Return yang diharapkan akan diperoleh investor dimasa mendatang, jadi Return ekspektasian sifatnya belum terjadi. Semakin besar return yang diharapkan akan diperoleh dari investasi, semakin besar pula risikonya, sehingga dikatakan bahwa return ekspektasi memiliki hubungan positif dengan risiko. Risiko yang lebih tinggi biasanya dikorelasikan dengan peluang untuk mendapatkan return yang lebih tinggi pula (high risk high return, low risk low return). Tetapi return yang tinggi tidak selalu harus disertai dengan investasi yang berisiko. Hal ini bisa saja terjadi pada pasar yang tidak rasional. Return yang diterima oleh investor di pasar modal dibedakan menjadi dua jenis yaitu current income (pendapatan lancar) dan capital 9 10 gain/capital loss (keuntungan selisih harga). Current income adalah keuntungan yang didapat melalui pembayaran yang bersifat periodik seperti dividen. Ke untungan ini biasanya diterima dalam bentuk kas atau setara kas sehingga dapat diuangkan secara cepat. Misalnya dividen saham yaitu dibayarkan dalam bentuk saham yang bisa dikonversi menjadi uang kas dengan cara menjual saham yang diterimanya, sedangkan Capital gain (loss) merupakan selisih laba (rugi) yang dialami oleh pemegang saham karena harga saham sekarang relatif lebih tinggi (rendah) dibandingkan harga saham sebelumnya. Jika harga saham sekarang (Pt) lebih tinggi dari harga saham periode sebelumnya (Pt-1) maka pemegang saham mengalami capital gain. Jika yang terjadi sebaliknya maka pemegang saham akan mengalami capital loss. Return saham menurut Tandelilin (2010,dalam Fahmi, 2011) adalah salah satu faktor yang memotivasi investor berinvestasi dan juga merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung risiko atas investasi yang dilakukannya. Sedangkan return saham menurut Samsul (2006) adalah pendapatan yang dinyatakan dalam persentase dari modal awal investasi. Menghitung return total suatu investasi dengan menjumlahkan yield dan capital gain/loss yang diperoleh dari suatu investasi. Sumber-sumber return investasi menurut Eduardus Tandelilin (2010,dalam Fahmi,2011) terdiri dari dua komponen utama yaitu: Yield, merupakan komponen return yang mencerminkan aliran kas atau pendapatan yang diperoleh secara periodik dari suatu investasi, dan capital 11 gain (loss), merupakan komponen kedua dari return sebagai kenaikan atau penurunan harga suatu surat berharga (bisa saham maupun surat hutang jangka panjang), yang bisa memberikan keuntungan atau kerugian bagi investor. Menurut Ang (1997), komponen return saham terdiri dari 2 jenis, yaitu capital gain (keuntungan selisih harga saham) dan current income (pendapatan lancar). Capital gain merupakan keuntungan yang diterima karena adanya selisih nilai antara harga jual dan harga beli saham dari suatu instrumen investasi. Current income adalah keuntungan yang diperoleh melalui pembayaran yang bersifat periodik, misalnya pembayaran bunga deposito, deviden, bunga obligasi, dan sebagainya. Menurut Iswardono (1999, dalam Sugeng, 2004), kenaikan tingkat suku bunga akan berakibat terhadap penurunan return saham dan begitu juga sebaliknya. Dalam menghadapi kenaikan tingkat suku bunga, para pemegang saham akan menahan sahamnya sampai tingkat suku bunga kembali pada tingkat yang dianggap normal. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga jangka panjang meningkat maka pemegang saham cenderung menjual sahamnya karena harga jualnya tinggi. Tandelilin (2001) menyebutkan bahwa pada saat perekonomian dalam keadaan stabil terjadi penurunan tingkat suku bunga, sebaliknya pada saat kondisi perekonomian tidak stabil maka tingkat suku bunga menjadi tinggi. (Reilly dan Brown,2003: 421) mengemukakan hubungan antara tingkat suku bunga dengan harga saham adalah tidak langsung dan konsisten. Alasannya 12 adalah bahwa cash flow dari saham dapat berubah bersama-sama dengan tingkat suku bunga, dan tidak dapat ditentukan apakah perubahan cash flow ini akan menambah atau mengurangi perubahan tingkat suku bunga. Besarnya tingkat suku bunga bervariatif sesuai dengan kemampuan debitur dalam memberikan tingkat pengembalian kepada kreditur. Tingkat suku bunga dapat menjadi pedoman investor dalam pengambilan keputusan investasi pada pasar modal. Pasar modal sebagai wahana alternatif investasi menawarkan suatu tingkat pengembalian (return) pada tingkat risiko tertentu. Perbandingan antara tingkat keuntungan dan risiko pada pasar modal dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan sektor keuangan, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi investor untuk memutuskan bentuk investasi yang mampu menghasilkan keuntungan yang optimal. Tingkat suku bunga sektor keuangan yang lazim digunakan sebagai panduan investor disebut juga suku bunga bebas resiko (risk free), yaitu meliputi tingkat suku bunga bank sentral dan tingkat suku bunga deposito. Dalam beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang kontradiktif pada pengaruh tingkat suku bunga terhadap return saham seperti penelitian Gudono (1999), Nurdin (1999) serta Mudji Utami dan Mudjilah Rahayu (2003) yang menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap return saham namun dalam penelitian Tandelin (1997) menunjukkan bahwa tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap resiko sistematis. Selain inflasi dan tingkat suku bunga, faktor lain dalam 13 ekonomi makro yang mempengaruhi return saham adalah nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Beberapa bukti empris mengenai pengaruh nilai tukar Rupiah/US Dollar terhadap return saham menunjukkan hasil yang kontradiktif yaitu dengan penelitian Wahyudi (2004) dan Ahmad et al. (2010) yang mengungkapkan bahwa kenaikan tingkat suku bunga akan berakibat terhadap penurunan return saham. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan Manara (2001) yang menyatakan bahwa variabel suku bunga menunjukkan hubungan positif terhadap return saham namun tidak signifikan, juga dengan Pudyastuti (2000) yang menemukan bahwa suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Penelitian Suyanto (2007) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan suku bunga berpengaruh negatif terhadap return saham namun tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap return saham. 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Return Saham Informasi yang tersedia di pasar modal memiliki peranan yang penting untuk mempengaruhi segala macam bentuk transaksi perdagangan di pasar modal tersebut. Hal ini disebabkan karena para pelaku di pasar modal akan melakukan analisis lebih lanjut terhadap setiap pengumuman atau informasi yang masuk ke bursa efek tersebut. Informasi atau pengumuman-pengumuman yang diterbitkan oleh emiten akan mempengaruhi para (calon) investor dalam mengambil keputusan untuk memilih portofolio investasi yang efisien. 14 Menurut Jogiyanto (2000: 351), para pelaku pasar modal akan mengevaluasi setiap pengumuman yang diterbitkan oleh emiten, sehingga hal tersebut akan menyebabkan beberapa perubahan pada transaksi perdagangan saham, misalnya adanya perubahan pada volume perdagangan saham, perubahan pada harga saham, proporsi kepemilikan, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pengumuman yang masuk ke pasar memiliki kandungan informasi, sehingga direaksi oleh para pelaku di pasar modal. Suatu pengumuman memiliki kandungan informasi jika pada saat transaksi perdagangan terjadi, terdapat perubahan terutama perubahan harga saham. Berubahnya harga saham akan mempengaruhi return saham yaitu semakin tinggi harga saham berarti semakin meningkat return yang diperoleh investor. Menurut Alwi (2003: 87) bahwa pergerakan naik-turun harga saham dari suatu perusahaan go public menjadi fenomena umum yang sering dilihat di lantai bursa efek yang tidak banyak orang yang mengerti atau banyak yang masih bingung mengapa harga saham suatu perusahaan bisa berfluktuasi secara drastis pada periode tertentu. Sebagai salah satu instrumen ekonomi ada faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham di suatu bursa efek, baik harga saham individual maupun harga saham gabungan misalnya IHSG dan indeks LQ45, yaitu faktor internal (lingkungan mikro) dan eksternal (lingkungan makro). 15 Lingkungan mikro yang mempengaruhi harga saham antara lain (Alwi, 2003): 1. Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti pengiklanan, rincian kontrak, produk baru, perubahan harga, penarikan produk baru, laporan produksi,laporan keamanan produk dan laporan penjualan. 2. Pengumuman pendanaan (financing announcements), seperti pengumuman yang berhubungan dengan ekuitas dan hutang, sekuritas yang hybrid, leasing,kesepakatan kredit, pemecahan saham, penggabungan saham, pembelian saham, joint venture dan lainnya. 3. Pengumuman badan direksi manajemen (management board of director announcements), seperti perubahan dan penggantian direksi, manajemen dan struktur organisasi. 4. Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan laba sebelum akhir tahun dan setelah akhir tahun fiskal, earning per share, price earning ratio, net profit margin, return on asset, return on equity, dan lain-lain. Sedangkan lingkungan makro yang mempengaruhi harga saham antara lain (Alwi, 2003: 88): 1. Pengumuman dari pemerintah, seperti perubahan suku bunga tabungan dan deposito, kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai regulasi dan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. 16 2. Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan karyawan terhadap perusahaan atau terhadap manajernya dan tuntutan perusahaan terhadap manajernya. 3. Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti laporan pertemuan tahunan, insider trading, volume/harga saham perdagangan, pembatasan/penundaan trading. 4. Gejolak sosial politik dalam negeri dan fluktuasi nilai tukar juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan pada terjadinya volatilitas harga saham di bursa efek suatu negara. 5. Berbagai issue, baik dari dalam dan luar negeri, seperti issue lingkungan hidup, hak asasi manusia, kerusuhan massal, yang berpengaruh terhadap perilaku investor. B. Pengertian Inflasi Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian (Sukirno,2004: 27). Adapun karakteristik umum inflasi adalah : 1. Terdapat kecenderungan harga-harga untuk meningkat artinya mungkin saja terjadi peningkatan atau penurunan tingkat harga pada suatu waktu, tetapi tetap menunjukan adanya kecenderungan meningkat. 2. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus tidak pada waktu tertentu saja. 17 3. Mencakup pengertian tingkat harga umum (general price level), yaitu kenaikan tingkat harga bukan saja untuk satu atau berbagai komoditi, tetapi mencakup seluruh komponen indeks aggregat atau GNP deflator. A.P. Lerner : Inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. G. Cowt Hrey : Inflasi adalah suatu keadaan dari nilai uang turun terus-menerus dan harga naik terus. Hawtry : Inflasi adalah suatu keadaan karena terlalu banyak uang beredar. Meskipun definisi diatas berbeda-beda,tetapi ada satu yang sama, yaitu Inflasi adalah kecenderungan dari tingkat harga-harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus. Tingkat inflasi antara negara yang satu dengan lainnya berbedabeda,seperti inflasi di Indonesia dalam keadaan normal biasanya dibawah 10% pertahun. Tetapi tingkat itu dapat berubah-ubah, seperti ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia, tingkat inflasinya mencapai kurang lebih 80. Tingkat inflasi setinggi ini juga pernah terjadi di negara-negara lain, bahkan negara negara Amerika Latin seperti Meksiko dan Brasil, pernah mengalami hiperinflasi (tingkat inflasi yang tinggi) yaitu di atas 100%. 1. Jenis Inflasi a. Sukirno (2005:11) membedakan beberapa macam inflasi yaitu: 1) Inflasi Merayap (inflasi yang terjadi sekitar 2-3 persen per tahun) 18 2) Inflasi Sederhana (inflasi yang terjadi sekitar 5-8 persen pertahun) 3) Hiperinflasi (inflasi yang tingkatnya sangat tinggi yang menyebabk an tingkat harga menjadi dua kali lipat atau lebih dalam tempo satu tahun. b. Nanga (2005: 247) dilihat dari tingkat keparahannya, inflasi dapat dipilah dalam tiga kategori: 1) Inflasi sedang (moderate inflation) Yaitu inflasi yang ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara lambat, dan tidak terlalu menimbulkan distorsi pada pendapatan dan harga relatif. 2) Inflasi ganas (galloping inflation) Yaitu inflasi yang mencapai antara dua atau tiga digit seperti 20, 100 atau 200 persen pertahun dan dapat menimbulkan gangguan-gangguan serius dalam perekonomian. 3) Hyperinflasi (Hyperinflation) Yaitu tingkat inflasi yang sangat parah, bisa mencapai ribuan bahkan milyar persen pertahun, merupakan jenis yang mematikan. c. Jenis inflasi dilihat dari faktor-faktor penyebab timbulnya (Nanga, 2005: 245): 1) Inflasi tarikan permintaan Inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan agregat (AD) yangterlalu besar atau pesat dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat. 19 2) Inflasi dorongan biaya Inflasi yang terjadi sebagai akibat adanya kenaikan biaya produksi yang pesatdibandingkan dengan produktivitas dan efisiensi perusahaan. 3) Inflasi struktural Inflasi yang terjadi akibat dari berbagai kendala atau kekakuan struktural yang menyebabkan penawaran menjadi tidak responsif terhadap permintaan yang meningkat. d. Menurut Asalnya (Waluyo, 2007: 176) 1) Domestic Inflation yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti kenaikan konsumsi masyarakat, ekspansi moneter dan lain sebagainya. 2) Imported Inflation yaitu inflasi yang berasal dari luar negeri, seperti kenaikan harga - harga barang di negara- negara langganan dagang kita, mekanismenya baik melalui impor ataupun ekspor 2. Dampak Inflasi Dampak inflasi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat Dampak Positif : a. Peredaran dan perputaran barang lebih cepat b. Produksi barang-barang bertambah karena keuntungan pengusaha bertambah c. Kesempatan kerja bertambah kerena terjadinya investasi Dampak Negatif : a. Harga barang-barang dan jasa naik. 20 b. Nilai dan kepercayaan terhadap uang akan turun atau berkurang. c. Menimbulkan tindakan spekulasi. d. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar. e. Kesadaran menabung masyarakat berkurang. Pihak pihak yang Mendapatkan Keuntungan dan yang Menderita Kerugian Akibat Terjadinya Inflasi Pihak-pihak yang diuntungkan : a. Para pengusaha, yang pada saat sebelum terjadinya inflasi, telah memiliki stock/persediaan produksi barang yang siap dijual dalam jumlah besar. b. Para pedagang, yang dengan terjadinya inflasi menggunakan kesempatan memainkan harga barang. Cara yang dipakai adalah dengan menaikkan harga, karena ingin mendapatkan laba/keuntungan yang besar. c. Para spekulan, yaitu orang-orang atau badan usaha yang mengadakan spekulasi, dengan cara menimbun barang sebanyakbanyaknya sebelum terjadinya inflasi dan menjualnya kembali pada saat inflasi terjadi, sehingga terjadinya kenaikan harga sangat menguntungkan mereka. d. Para peminjam, karena pinjaman telah diambil sebelum harga barang-barang naik, sehingga nilai riil-nya lebih tinggi daripada 21 sesudah inflasi terjadi, tetapi peminjam membayar kembali tetap sesuai dengan perjanjian yang dibuat sebelum terjadi inflasi. Pihak-pihak yang dirugikan: a. Para konsumen, karena harus membayar lebih mahal, sehingga barang yang diperoleh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya inflasi. b. Mereka yang berpenghasilan tetap, karena dengan penghasilan tetap, naiknya harga barang-barang dan jasa, mengakibatkan jumlah barang-barang dan jasa yang dapat dibeli menjadi lebih sedikit, sehingga pendapatan riil/nyata berkurang, sedangkan kenaikan penghasilan atau pendapatan pada saat terjadi inflasi sulit diharapkan. c. Para pemborong atau kontraktor, karena harus mengeluarkan tambahan biaya agar dapat menutup pengeluaran-pengeluaran yang diakibatkan terjadinya inflasi dan mengakibatkan berkurangnya keuntungan yang diperoleh dari proyek yang dikerjakan. d. Para pemberi pinjaman/kreditor, karena nilai riil dari pinjaman yang telah diberikan menjadi lebih kecil sebagai akibat terjadinya inflasi. Misalnya, sebelum inflasi, pinjaman Rp 500.000,00 = 25 gram emas, sesudah inflasi = 20 gram emas. e. Para penabung, karena pada saat inflasi bunga yang diperoleh dari tabungan dirasakan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga yang terjadi. Di samping itu akibat naiknya harga barang- 22 barang dan jasa, nilai uang yang ditabung menjadi lebih rendah/turun, jika dibandingkan dengan sebelum terjadi inflasi. C. Tingkat Suku Bunga Tingkat suku bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau harga dari penggunaan uang saat ini dan akan dikembalikan pada masa mendatang (Herman,2003). Menurut Karl dan Fair (2001,635) Suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman dalam bentuk presentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah : 1. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan. 2. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. 3. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian. Menurut Prasetiantono (2000) mengenai suku bunga adalah : jika suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih suka menyimpan dananya di 23 bank karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank. Faktor – faktor yang mempengaruhi besar kecilnya penetapan suku bunga (pinjaman dan simpanan) menurut (Kasmir, 2008 : 137-140) adalah sebagai berikut. 1. Kebutuhan dana Apabila bank kekurangan dana, sementara pemohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat terpenuhi dengan meningkat kan suku bunga simpanan. Peningkatan bunga simpanan secara atomatis akan meninkat pula bunga pinjaman. 2. Persaingan Dalam memperebutkan dana simpanan, maka disamping faktor promosi, yang paling utama pihak perbankan harus memerhatikan pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16%, maka jika hendak membutuhkan dana cepat sebaiknya bunga simpanan kita naikkan diatas 24 bunga pesaing misalnya 16%. Namun sebliknya untuk bunga pinjaman kita harus berada dibawa bunga pesaing. 3. Kebijakan pemerintah Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman kita tidak boleh melebihi bunga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. 4. Harga laba yang di inginkan Sesuai dengan target yang diinginkan, jika laba yang diinginkan besar, maka bunga ikut besar dan sebaliknya. 5. Jangka waktu Semakin panjang jangka waktu pinjaman, akan semakin tinggi bunganya, hal ini disebabkan besar kemungkinan resiko dimasa akan datang. 6. Kualitas jaminan Semakin likuid jaminan yang diberikan, semakin rendah bunga kredit yang dibebankan dan sebaliknya. 7. Reputasi perusahaan Bonafiditas suatu perusahaan yang akan memperoleh kredit sangat menentukan tingkat suku bunga yang akan dibebankan nantinya, karena biasanya perusahaan yang bonafid kemungknan risik macet kredit dimasa mendatang relatif kecil dan sebaliknya. 8. Produk yang kompetitif Produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran. 25 9. Hubungan baik. Biasanya bank menggolongkan nasabahnya antara nasabah utama (primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan keaktifan dan loyaritas nasabah yang bersangkutan dengan pihak bank. Nasabah utama biasanya mempunya hubungan yang baik denga pihak bank sehingga dalam penentuan suku bunganya pun berbeda dengan nasabah biasa. 10. Jaminan pihak ketiga Dalam hal ini pihak yang memberikan jaminan kepada penerima kredit.biasanya jika pihak yang memberikan jaminan bonafid, baik dari segi kemampuan membayar , nama baik maupun loyaritasnya terhadap bank, maka bunga yang dibebankanpun berbeda. D. Nilai Tukar (Kurs) Menurut Musdholifah & Tony (2007),nilai tukar atau kurs adalah perbandingan antara harga mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Menurut Triyono (2008), kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. Heru (2008) menyatakan bahwa nilai tukar mencerminkan keseimbangan permintaan dan penawaran terhadap mata uang dalam negeri maupun mata uang asing. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pun mempunyai pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal. 26 Dalam perdagangan internasional pertukaran antara satu mata uang dengan mata uang negara lain menjadi hal yang terpenting untuk mempermudah proses transaksi jual beli barang dan jasa. Dari pertukaran ini terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut dan inilah yang disebut dengan nilai tukar atau kurs. Jadi, secara umum kurs atau nilai tukar dapat diartikan sebagai harga suatu mata uang asing atau harga mata uang luar negeri terhadap mata uang domestik. Dalam mekanisme pasar, kurs dari suatu mata uang akan selalu mengalami fluktuasi (perubahan-perubahan) yang berdampak langsung pada harga barang-barang ekspor dan impor. Perubahan-perubahan yang dimaksud antara lain : 1) Apresiasi, yaitu peristiwa menguatnya nilai tukar mata uang secara otomatis akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan atas mata uang yang bersangkutan dalam sistem pasar bebas. Sebagai akibat dari perubahan kurs ini adalah harga pokok negara itu bagi pihak luar negeri makin mahal, sedangkan harga impor bagi penduduk domestik menjadi lebih murah. 2) Depresiasi, yaitu peristiwa penurunan nilai tukar mata uang secara otomatis akibat bekerjanya kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan atas mata uang yang bersangkutan dalam sistem pasar bebas. Sebagai akibat dari perubahan kurs ini adalah harga produk negara itu bagi pihak luar negeri menjadi lebih murah, sedangkan harga impor bagi penduduk domestik menjadi lebih mahal. 27 Nilai tukar suatu mata uang sebenarnya merupakan harga mata uang suatu negara terhadap mata uang asing lainnya. Nilai tukar mata uang tersebut merupakan hasil interaksi antara kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang terjadi di pasar valuta asing. Menurut Appleyord dalam Adria (2004), pasar valuta asing adalah: “Foreign exchange market is the world wide network of market and institution, that handle the exchange of foreign currencies (Pasar valuta asing adalah suatu jaringan kerja pasar dari institusi yang menangani pertukaran mata uang asing). Aliran valuta asing yang besar dan cepat untuk memenuhi tuntutan perdagangan, investasi dan spekulasi dari suatu tempat yang surplus ke tempat yang defisit dapat terjadi karena adanya berbagai faktor dan kondisi yang berbeda sehingga mempengaruhi kurs valuta asing di masing-masing tempat. Penentuan kurs rupiah terhadap valuta asing merupakan hal yang penting bagi pelaku pasar modal di Indonesia. Karena kurs valuta asing sangat mempengaruhi jumlah biaya yang harus dikeluarkan. Serta besarnya biaya yang akan diperoleh dalam transaksi saham dan surat berharga di bursa pasar modal. Fluktuasi kurs yang tidak stabil akan dapat mengurangi tingkat kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Yang selanjutnya akan menimbulkan dampak negatif terhadap perdagangan saham di pasar modal, bagi investor asing akan cenderung melakukan penarikan modal sehingga terjadi Capital of Flow dan hal ini 28 akan berimbas pada menurunnya IHSG, jika IHSG menurun maka hal ini akan mengakibatkan tingkat return yang akan dibagikan akan menurun. E. Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Inflasi terhadap Return Saham Penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan return saham seperti yang dilakukan oleh Widjojo (dalam Almilia, 2003) yang menyatakan bahwa makin tinggi inflasi akan semakin menurunkan tingkat profitabilitas perusahaan. Turunnya profit perusahaan adalah informasi yang buruk bagi para trader di bursa saham dan dapat mengakibatkan turunnya harga saham perusahaan tersebut. Paramithasari (2009) meneliti tentang Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Return Saham. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan dari variabel inflasi terhadap return saham. Hasil penelitian yang dikalakukan oleh Winarsih (2009) menunjukkan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Hal ini membuktikan bahwa tingkat inflasi tidak mempengaruhi minat investor dalam melakukan investasi di pasar modal. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Utami dan Rahayu (2003) membuktikan secara empiris pengaruh inflasi terhadap harga saham, semakin tinggi tingkat inflasi semakin rendah return saham. Penelitian tersebut juga dilakukan oleh Adams et al (2004) yang menemukan secara signifikan pengaruh negatif inflasi terhadap return saham. Inflasi yang 29 tinggi bagi perusahaan properti akan menurunkan profitabilitas perusahaan sehingga return saham pun dapat terpengaruh. Dari paparan di atas dapat diajukan hipotesis berikut: H1 : Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham sektor properti. 2. Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Return Saham Suku bunga yang tinggi akan mendorong orang-orang untuk menanamkan dananya di bank daripada menginvestasikannya pada sektor properti yang risikonya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan menanamkan uang di bank. Tingkat bunga merupakan faktor yang signifikan dalam melakukan investasi, tingkat investasi yang diinginkan akan menjadi lebih rendah bila tingkat suku bunga semakin tinggi. Menurut Atmadja (2002), tingkat suku bunga adalah harga yang dibayarkan untuk dana atau modal. Fabozzi (1999) menyatakan bahwa perubahan suku bunga dapat mempengaruhi harga saham secara terbalik (ceteris paribus). Artinya, jika suku bunga naik maka harga saham turun, sebaliknya jika suku bunga turun maka harga saham akan naik dan hal ini akan sejalan dengan return investasi yang juga akan naik. Tingkat suku bunga ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran akan dana. Jika suku bunga terus meningkat maka ada kecenderungan pemilik dana akan 30 mengalihkan dananya ke bank dan tentunya akan berakibat negatif terhadap harga saham. Kejadian ini akan mengakibatkan investor tidak akan tertarik menanamkan modalnya di pasar modal karena imbalan yang akan diterima dari saham lebih kecil dibandingkan dengan imbalan yang akan diterima dari bunga jika menyimpan uangnya di bank. Akibatnya harga saham di pasar modal akan mengalami penurunan secara drastis. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh terhadap return saham. Albeta (2006) meneliti tentang pengaruh suku bunga terhadap IHSG di BEJ. Berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa hanya variabel suku bunga yang secara parsial terbukti berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hal ini membuktikan bahwa tingginya suku bunga mempengaruhi minat investor dalam berinvestasi di pasar modal. Kaitan antara suku bunga dan return saham dikemukakan pula oleh Boedie et al (1995) yang menyatakan bahwa perubahan harga saham dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah suku bunga. Hal tersebut didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Rahayu (2003) yang menemukan secara empiris pengaruh suku bunga terhadap harga saham selama masa krisis di Indonesia. Dari paparan di atas dapat diajukan hipotesis berikut: H2 : Tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham sektor properti. 31 3. Hubungan Nilai Tukar Uang Terhadap Return Saham Secara teori ada dua sudut pandang tentang keterkaitan antara harga saham dan nilai tukar. Di satu sisi, para pendukung model ‘portfolio-balance” meyakini bahwa harga saham mempengaruhi nilai tukar uang secara negatif (Saini dkk., 2002). Equitas yang merupakan bagian dari kekayaan (wealth) perusahaan dapat mempengaruhi nilai tukar uang melalui permintaan uang. Sebagai contoh semakin tinggi harga saham akan menyebabkan semakin tinggi permintaan uang dengan tingkat bunga yang semakin tinggi pula. Sehingga, hal ini akan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya dan hasilnya terjadi apresiasi terhadap mata uang domestik. Selanjutnya, harga saham juga mempengaruhi nilai tukar uang melalui permintaan uang (money demand equation), yang membentuk suatu basis model alokasi portofolio dan moneter dari determinasi nilai tukar uang. Pada kondisi tertentu yang mencerminkan aktivitas ekonomi riil, perubahan harga saham menyebabkan peningkatan permintaan uang riil dan nilai mata uang domestik (Ajayi, Ibrahim, 2000). Solnik (dalam Ibrahim, 2000) menyatakan bahwa harga saham dapat mencerminkan variabel makroekonomi, karena menunjukkan ekspektasi pasar terhadap aktivitas ekonomi riil. Semenjak model nilai tukar uang semisal model moneter mengkorelasikan nilai tukar tersebut terhadap variabel makro ekonomi, maka perubahan dalam harga saham dapat menyebabkan efek dari nilai tukar. Solnik (dalam Ibrahim, 2000) 32 juga menemukan hubungan positif yang lemah antara perbedaan return saham (domestik dikurangi luar negeri) dengan perubahan dalam nilai tukar riil. Bahmani-Oskooee dan Sohrabian (1992) menawarkan penjelasan lain dari efek harga saham terhadap nilai tukar dimana hasil kenaikan dalam keseimbangan riil akan menghasilkan kenaikan tingkat bunga. Sehingga, aset financial domestik akan menjadi lebih atraktif. Sebagai hasilnya, para investor akan menyesuaikan portofolio aset dalam dan luar negeri melalui permintaan lebih banyak aset domestik. Penyesuaian portofolio dari perusahaan tersebut akan menghasilkan apresiasi mata uang domestik, karena mereka membutuhkan mata uang domestik untuk traksaksi tersebut. Qiao (dalam Ibrahim, 2002) juga menegaskan bahwa perubahan dalam harga saham dapat mempengaruhi aliran masuk dan aliran keluar dari modal, yang akan menghasilkan perubahan dalam nilai mata uang. Ibrahim (2002) menemukan bahwa dalam pengujian multivlariat ada kausalitas satu arah (uni-directional) dari indeks pasar saham (stock market index) terhadap nilai tukar. Selanjutnya, nilai tukar dan indek pasar saham dipengaruhi oleh suplay uang dan begitu pula sebaliknya. Pancawati Hadiningsih,dkk (2002) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Faktor Fundamental dan Resiko Ekonomi terhadap Return Saham di Bursa Efek Jakarta” hasil penelitian ini menyebutkan bahwa secara empiris terbukti bahwa secara parsial semua variabel 33 dependen berpengaruh positif terhadap return saham kecuali nilai tukar Rupiah/US Dollar berpengaruh negatif terhadap return saham. Dari paparan di atas dapat diajukan hipotesis berikut: H3 : Nilai Tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham sektor properti. F. Kerangka Pemikiran Berdasarkan dengan uraian pada landasan teoritis yaitu pengaruh inflasi,tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah terhadap return saham maka berikut adalah kerangka pemikirannya. X1 X2 X3 Y 34 Berdasar model penelitian tersebut dapat diidentifikasi bahwa variabel independen terdiri dari inflasi (X1), tingkat suku bunga (X2) dan nilai tukar Rupiah (X3) sedangkan variabel dependentnya yaitu return saham.