4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat dan Abu Tak Larut Asam E. acoroides Lamun memiliki kandungan nutrisi seperti protein, lemak, mineral dan karbohidrat. Kandungan nutrisi awal lamun Enhalus acoroides dilakukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya kandungan air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam dan karbohidrat. Kadar karbohidrat lamun Enhalus acoroides diketahui dengan perhitungan secara by difference. Perhitungan analisis proksimat lamun Enhalus acoroides dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis komposisi proksimat dan abu tak larut asam dari lamun Enhalus acoroides dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji proksimat dan abu tak larut asam lamun Enhalus acoroides Komponen Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Karbohidrat (by difference) Kadar abu tidak larut asam Nilai (%) 84,38 ± 0,06 2,10 ± 0,84 0,88 ± 0,97 1,09 ± 0,23 11,57 ± 1,77 0,10 ± 0,14 Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan dan merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Air tipe III atau biasa disebut air bebas merupakan air yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa lamun Enhalus acoroides mengandung kadar air yang cukup besar yaitu sebesar 84,38%. Kadar air yang cukup tinggi ini menyebabkan lamun Enhalus acoroides mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani secara benar. Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Analisis kadar abu berfungsi untuk mengetahui kandungan mineral dalam suatu bahan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahanbahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar abu lamun Enhalus acoroides mengandung kadar abu sebesar 2,10% atau sebesar 13,45% apabila dikonversi dalam bobot kering. Nilai kadar abu ini jauh lebih rendah dibandingkan kadar abu pada Enhalus acoroides yang diteliti oleh (Setyati et al. 2005) sebesar 68,14% yang dihitung dalam bobot kering. Perbedaan nilai kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup serta perbedaan kemampuan dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral dari masing-masing spesies lamun. Lemak pada umumnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarutpelarut organik seperti etil eter, karbon tetraklorida, benzen dan proteleum eter (Muchtadi 1989). Menurut Poedjiadi (1994), lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Fungsi utama lemak dalam tubuh adalah sebagai sumber energi. Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 g lemak dapat menghasilkan 9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh 1 g protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K) (Winarno 2008). Hasil pengujian menunjukkan bahwa lamun Enhalus acoroides mengandung lemak sebesar 0,88% atau sekitar 5,63% dalam bobot kering. Hasil análisis proksimat untuk kadar lemak ini tidak berbeda jauh dibandingkan dengan kadar lemak Enhalus acroides yang diteliti oleh Setyati et al. (2005) yaitu sebesar 6,13% dalam bobot kering. Kandungan lemak Enhalus acoroides ini lebih rendah dibandingkan kandungan lemak pada lamun dari spesies Cymodocea serrulata yaitu sebesar 7,81% dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kandungan lemak lamun dari spesies Syrngodium isoetifolium sebesar 4,71% (Setyati et al. 2005). Kadar lemak yang cukup rendah ini dapat disebabkan oleh kandungan air lamun Enhalus acoroides sangat tinggi, yaitu mencapai 84% sehingga persentase kadar lemak akan turun secara drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998 dalam Apriandi 2010). Protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur dalam tubuh, mengganti bagian tubuh yang rusak, serta mempertahanakan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu, protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh apabila energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak tidak mencukupi (Muchtadi 1989). Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa Enhalus acoroides memiliki protein sebesar 1,07% (bb) atau sebesar 6,97% (bk). Nilai ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar protein pada Enhalus acoroides yang diteliti oleh Setyati et al. (2005) yaitu sebesar 7,65% (bk). Nilai ini juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar protein pada lamun dari spesies Cymodocea serrulata yaitu sebesar 9,39% (bk) dan lebih tinggi dari lamun spesies Sryngodium isoetifolium sebesar 5,52% (bk). Karbohidrat dalam bahan pangan dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu karbohidrat yang dapat dicerna dan karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Karbohidrat yang dapat dicerna mempunyai fungsi sebagai sumber energi bagi tubuh, sedangkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna memiliki fungsi mencegah berbagai penyakit (Muchtadi 1989). Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008). Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference menunjukkan bahwa lamun Enhalus acoroides mengandung karbohidrat sebesar 11,57% (bb) atau sebesar 74,05% (bk). Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003). Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa lamun Enhalus acoroides mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,10%. Nilai kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) dalam Basmal et al. (2003). Kadar abu tak larut asam diduga berasal dari material-material yang terdapat dari perairan tempat lamun Enhalus acoroides hidup, seperti pasir, lumpur, silika dan batu-batuan yang masih menempel pada sampel saat preparasi. 4.2 Kandungan Serat Pangan Lamun Enhalus acoroides Dietary fibre merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis dalam lambung dan usus kecil (Van Der Kamp 2004). Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buahbuahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi dan mucilage. Dietary fibre pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida.berbagai jenis makanan pada umumnya mengandung dietary fibre (Winarno 2008). Serat pangan yang diuji dalam penelitian ini meliputi serat pangan tak larut air atau insoluble dietary fibre (IDF), serat pangan larut air atau soluble dietary fibre (SDF) dan serat pangan total atau total dietary fibre (TDF). Hasil pengujian serat pangan pada lamun Enhalus acoroides dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan serat pangan pada lamun Enhalus acoroides Jenis serat Serat pangan tak larut (IDF) Serat pangan larut (SDF) Total serat pangan (TDF) Nilai (g/100 g) 6,73 ± 0,23 7,93 ± 0,08 14,67 ± 0,31 Perhitungan kandungan serat pangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Jumlah serat pangan yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa adalah 20-35 g/hari (Almatsier 2006). Serat pangan merupakan bagian bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh cairan pencernaan (enzim), sehingga tidak menghasilkan energi/ kalori. Serat pangan tak larut contohnya adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang-kacangan dan sayuran. Serat pangan larut contohnya adalah gum, pektin dan musilage (Muchtadi 2001). Kandungan polisakarida yang tinggi pada suatu bahan menunjukkan kandungan SDF dan IDF yang tinggi pula (Ortiz et al. 2006). Makanan serat tinggi cenderung mengandung energi rendah sehingga dapat membantu menurunkan berat badan. Ortiz et al. (2006) telah meneliti kandungan dietary fibre pada rumput laut jenis Ulva lactuca dengan nilai SDF, IDF dan TDF dihitung dengan berat kering masing-masing sebesar 33,3%, 27,2% dan 60,5%. Nilai ini sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar dietary fibre yang terkandung dalam lamun Enhalus acoroides yang memiliki nilai SDF, IDF dan TDF dalam berat kering masing-masing sebesar 43,09%, 50,77% dan 93,92%. Kandungan serat pangan larut air (SDF) yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi kesehatan bagi orang yang membutuhkan untuk pengobatan (Ortiz et al. 2006). Kandungan serat pangan pada lamun Enhalus acoroides ini juga lebih tinggi dibandingkan pada buah-buahan seperti mangga, anggur, lemon dan jeruk yang memiliki kandungan serat pangan sekitar 28,05-78,20% (Borchani et al. 2011). Perbedaan kadar serat pangan pada suatu bahan dipengaruhi oleh cuaca, iklim, lokasi geografis dan metode ekstraksi (Borchani et al. 2011). 4.3 Rendemen Ekstrak Lamun (Enhalus acoroides) Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen zat aktif suatu bahan dengan menggunakan pelarut tertentu. Tujuan dari proses ini adalah untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponenkomponen aktif (Harbone 1987). Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi, karena cara ini merupakan metode yang mudah dilakukan dan menggunakan alat-alat sederhana dengan merendam sampel dalam pelarut (Andayani et al. 2008). Ekstraksi lamun dilakukan melaui maserasi tipe pelarut tunggal. Pelarut tersebut dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu metanol yang bersifat polar, etil asetat yang bersifat semipolar dan n-heksana yang bersifat nonpolar. Pemilihan ketiga pelarut tersebut didasarkan pada tujuan untuk mengetahui rendemen dan identifikasi komponen aktif dari lamun yang masih belum diketahui kepolarannya. Semua filtrat yang diperoleh dari hasil ekstraksi diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kasar lamun dengan karakteristik yang berbeda. Ketiga ekstrak tersebut berbentuk pasta dan memiliki warna yang berbeda. Ekstrak metanol berwarna hijau tua dan pekat, ekstrak etil asetat berwarna coklat tua dan pekat sedangkan ekstrak n-heksana memiliki warna hijau muda kekuningan. Hasil ekstraksi dengan tiga jenis pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda akan menghasilkan rendemen ekstrak yang berbeda pula. Rendemen adalah persentase perbandingan antara berat bagian bahan yang dapat dimanfaatkan dengan berat total bahan. Nilai rendeman digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif. Rendemen dihitung dengan cara membagi berat akhir ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak (25 g) (Lampiran 4). Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengukur efektivitas jenis pelarut untuk mengekstrak komponen yang terkandung dalam lamun (Tensiska 2007). Perhitungan rendemen lamun yang dilarutkan dalam pelarut metanol, etil asetat dan n-heksana dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai rendemen ekstrak kasar dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Gambar 5. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap rendemen Gambar 5 Rendemen ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana Hasil analisis ragam terhadap rendemen ekstrak lamun berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap rendemen ekstrak Enhalus acoroides yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa pelarut metanol menghasilkan rendemen ekstrak tertinggi dan berbeda nyata dengan pelarut lainnya. Berdasarkan hasil ini juga dapat diketahui bahwa semakin polar suatu ekstrak, maka rendemennya juga semakin banyak. Metanol memiliki rendemen ekstrak yang paling tinggi yaitu sebesar 6,14%, kemudian diikuti rendemen ekstrak etil asetat sebesar 0,41%. Rendemen ekstrak n-heksana paling kecil yaitu sebesar 0,09%. Nilai rendemen yang dihasilkan oleh ketiga ekstrak lamun ini tidak berbeda jauh dengan rendemen dari ekstrak rumput laut jenis Caulerpa lentilifera yang juga menghasilkan rendemen tertinggi pada ekstrak metanol. Besarnya nilai rendemen ekstrak metanol disebabkan karena pelarut metanol yang bersifat polar sehingga dapat melarutkan hampir semua senyawa organik yang ada pada sampel, baik senyawa polar maupun nonpolar (Andayani et al. 2008). Metanol mudah menguap sehingga mudah dibebaskan dari ekstrak (Andayani et al. 2008). 4.4 Kandungan Total Fenol Ekstrak Enhalus acoroides Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Pengukuran total fenol dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi. Reagen folin terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungsat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi malibdenum-tungsen. Reaksi ini membentuk kompleks warna biru. Semakin tinggi kadar fenol pada sampel, semakin banyak molekul kromagen (biru) yang terbentuk akibatnya nilai absornasi akan meningkat. Senyawasenyawa fenol ditemukan pada berbagai organisme mulai dari mikroorganisme sampai tumbuhan tingkat tinggi dan hewan (Lenny 2006). Senyawa-senyawa fenolat dapat menangkap radikal-radikal peroksida dan dapat mengkelat logam besi yang mengkatalisa peroksida lemak (Andayani et al. 2008). Berdasarkan hal diatas maka dilakukan penelitian ini untuk menentukan kandungan fenol total dari lamun. Penentuan kadar fenol total digunakan metode Folin-Ciocalteu dan sebagai pembanding digunakan asam galat (Yangthong et al. 2009; Andayani et al. 2008). Konsentrasi larutan sampel dapat ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan cara mengukur absorban sampel kemudian kadar total fenol dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier. Perhitungan nilai total fenol dapat dilihat pada (Lampiran 5). Kandungan total fenol dalam ekstrak kasar metanol, etil asetat dan n-heksana dapat dilihat pada Gambar 6. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b,c) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol Gambar 6 Kandungan total fenol ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana Hasil analisis ragam terhadap kandungan total fenol pada lamun Enhalus acoroides berdasarkan pelarut (Lampiran 5a) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 5b) menunjukkan hasil bahwa ekstrak metanol (polar) memiliki kandungan total fenol paling tinggi yaitu sebesar 542,56 mg GAE/1000 g sampel, diikuti oleh ekstrak etil asetat (semipolar) sebesar 66,95 mg GAE/1000 g sampel dan ekstrak n-heksana (nonpolar) sebesar 2,90 mg GAE/1000 g sampel. Nilai ini sesuai dengan penelitian Febrianti (2010) yang menunjukkan bahwa ekstrak buah pedada paling tinggi adalah ekstrak metanol (polar) sebesar 29,18 mg TAE/g sampel diikuti oleh ekstrak etil asetat (semipolar) sebesar 14,89 mg TAE/g sampel dan ekstrak kloroform (nonpolar) sebesar 5,87 mg TAE/g sampel. Kandungan total fenol yang tinggi pada ekstrak metanol ini menunjukkan bahwa senyawa fenol cenderung larut dalam pelarut polar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa senyawa fenol cenderung larut dalam pelarut polar. Kandungan senyawa fenol pada bahan berperan menentukan adanya kandungan antioksidan pada bahan tersebut (Susanti 2008). Kandungan senyawa fenol yang terdapat dalam lamun Enhalus acoroides meliputi flavonoid, fenol hidrokuinon dan tanin. Hasil penelitian Dumay et al. (2004), konsentrasi senyawa fenol pada lamun jenis Posidonia oseanica akan berkurang seiring dengan umur daun. Senyawa fenol biasanya terkonsentrasi di bagian pertumbuhan lamun yang memiliki metabolisme tinggi (Dumay et al. 2004). 4.5 Senyawa Fitokimia Ekstrak Enhalus acoroides Ekstrak kasar hasil ekstraksi dari lamun Enhalus acoroides menggunakan pelarut metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar) kemudian diuji komponen bioaktifnya dengan menggunakan uji fitokimia. Uji fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Fitokimia mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan (Sirait 2007). Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid, triterpenoid, tanin dan saponin. Hasil uji fitokimia ekstrak lamun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides Jenis pelarut Uji Fitokimia Standar (warna) Metanol Etil asetat n-heksana a. Dragendorf - - - Endapan merah atau jingga b. Meyer - - - Endapan putih kekuningan c. Wagner - - - Endapan coklat +++ ++ ++ Lapisan berwarna hijau + ++ + ++ +++ ++ Perubahan dari menjadi biru/ hijau - ++ + Perubahan warna menjadi merah ++ - - Perubahan warna menjadi merah tua + - - Terdapat busa Alkaloid Flavonoid Fenol hidrokuinon Steroid Triterpenoid Tanin Saponin Keterangan : + ++ +++ amil merah/ alkohol kuning/ Warna hijau/ hijau biru merah = tidak ada = lemah = kuat = sangat kuat Hasil uji fitokimia pada Tabel 3. menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki kandungan senyawa bioaktif yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etil asetat dan ekstrak n-heksana. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak metanol meliputi flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid, tanin dan saponin. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat dan ekstrak n-heksana meliputi flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid dan triterpenoid. Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulant uterus dan anaestetika lokal (Sirait 2007). Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae seperti paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987). Alkaloid pada ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides tidak terdapat pada ekstrak metanol, etil asetat maupun n-heksana. Bioaktif jenis alkaloid ini umunya larut pada pelarut organik nonpolar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa. Alkaloid biasanya dalam kadar kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari bagian tumbuhan (Lenny 2006). Flavonoid umumnya terdapat dalam bahan-bahan alami seperti tumbuhan, buah dan sayuran (Helgmeier dan Zidorn 2010). Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan akar (Sirait 2007). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, oleh karena itu larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit sekunder tumbuhan adalah flavonoid dengan struktur kimia dan peran biologi yang sangat beragam (Setyawan dan Darusman 2008). Hasil uji fitokimia menunjukkan hasil bahwa ketiga ekstrak lamun Enhalus acoroides mengandung komponen bioaktif flavonoid. Komponen bioaktif flavonoid yang paling banyak terkandung pada ekstrak metanol. Penelitian Helgmeier dan Zidorn (2010) juga menunjukkan bahwa pada lamun jenis Posidonia oceanica terdapat kandungan flavonoid pada bagian daun. Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Lenny 2006). Penelitian Bitam et al. (2010) juga menemukan terdapat kandungan flavonoid pada lamun Halophila stipulacea. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Hasil uji fitokimia menunjukkan hasil bahwa ketiga ekstrak lamun Enhalus acoroides mengandung fenol hidrokuinon dengan jumlah terkuat pada ekstrak etil asetat. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1987). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen triterpenoid terdeteksi ekstrak etil asetat (semipolar) dan ekstrak n-heksana (nonpolar), sedangkan pada ekstrak metanol komponen bioaktif triterpenoid tidak terdeteksi. Hasil uji fitokimia pada komponen bioaktif steroid terdeteksi pada ketiga ekstrak. Hal ini diduga karena prekursor dari pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat nonpolar (Harborne 1987), sehingga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut organik (nonpolar). Hal ini menunjukkan bahwa wajar apabila triterpenoid/ steroid terdeteksi pada ekstrak kasar lamun Enhalus acaroides pelarut nonpolar seperti n-heksana ataupun pada pelarut semipolar seperti etil asetat. Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah (Linggawati et al. 2002). Tanin diharapkan mampu mensubtitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehid untuk mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan. Hasil uji fitokimia komponen bioaktif pada ketiga ekstrak lamun menunjukkan hasil bahwa komponen bioaktif tanin hanya terdapat pada ekstrak kasar metanol. Tanin, polifenol dan flavonoid merupakan senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan karena ketiga senyawa tersebut adalah senyawasenyawa fenol, yaitu senyawa dengan gugus –OH yang terikat pada cincin aromatik. Senyawa-senyawa ini terstabilkan secara resonansi dan tidak reaktif dibandingkan dengan kebanyakan radikal bebas yang lain (Jati 2008). Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa molekul besar dan kegunaan yang luas (Bogoriani et al. 2008). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Saponin bisa juga sebagai prekursor hormon steroid (Sirait 2007). Saponin dapat menimbulkan rasa pahit pada bahan pangan nabati. Hasil uji fitokimia komponen bioaktif saponin menunjukkan hasil bahwa saponin hanya terdeteksi pada ekstrak kasar metanol, sedangkan pada ekstrak etil asetat dan n-heksana saponin tidak terdeteksi. 4.6 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Enhalus acoroides dengan Metode DPPH Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi 2007). Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metode serapan radikal DPPH karena merupakan metode yang sederhana, mudah dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani et al. 2005). Ekstrak kasar lamun dari hasil ekstraksi tunggal menggunakan pelarut metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar) dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi yang berbeda. Pelarut metanol dan etil asetat dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 31,25; 62,5; 125; 250 dan 500 ppm. Pelarut n-heksana dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 600, 700, 750, 800, 850 dan 900 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif. BHT dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut etanol dengan konsentrasi 0,24; 0,48; 0,97; 1,95; 3,90; 7,81 dan 15,625 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut etanol dengan konsentrasi 1 mM (Lampiran 6). Aktivitas antioksidan dari ekstrak lamun Enhalus acoroides ini dinyatakan dalam persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH. Persentase inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan elisa reader. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani et al. 2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi (Molyneux 2004). Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme donasi atom hidrogen dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning yang diukur pada panjang gelombang 517 nm (Salazar-Aranda 2009). Perhitungan persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengujian antioksidan menunjukkan bahwa BHT memiliki nilai IC50 sebesar 15,95 ppm. Semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas antioksidan akan semakin tinggi. BHT merupakan antioksidan sintetik. Antioksidan sintetik biasa dicampurkan dalam bahan pangan karena efektif menghambat aktivitas radikal bebas dan bersifat sinergis dengan antioksidan lainnya. Penggunaan antioksidan memiliki kadar batas maksimum yaitu 200 ppm, penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan (Ketaren 1986). Nilai IC50 BHT ini berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005) dalam penelitiannya yaitu sebesar 3,81 ppm, namun tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (<50 ppm) menurut klasifikasi Molyneux (2004). Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa ekstrak lamun Enhalus acoroides juga memiliki aktivitas antioksidan seperti BHT walaupun aktivitasnya lebih rendah. Ketiga ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides ini memiliki kekuatan penghambatan yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Pengujian aktivitas antioksidan dari masing-masing ekstrak kasar yang digunakan ini akan menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides dengan persen inhibisinya. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata kemampuan persen inhibisi terendah untuk ekstrak metanol dan etil asetat adalah pada konsentrasi 31,25 ppm dengan persen inhibisi masing-masing 20,68% dan 23,02%. Rata-rata kemampuan persen inhibisi terendah untuk ekstrak n-heksana adalah pada konsentrasi 650 ppm dengan persen inhibisi 6,08%. Rata-rata kemampuan penghambatan radikal bebas tertinggi untuk ekstrak metanol terdapat pada konsentrasi 500 ppm dengan nilai persen inhibisi sebesar 80,36%. Rata-rata kemampuan penghambatan radikal bebas untuk ekstrak etil asetat pada konsentrasi 500 ppm dengan nilai persen inhibisi sebesar 64,29%. Rata-rata kemampuan persen inhibisi tertinggi untuk ekstrak n-heksana adalah pada konsentrasi 900 ppm yaitu sebesar 51,61%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andayani et al. (2008) yang menyatakan bahwa pengujian aktivitas antioksidan pada berbagai konsentrasi, ternyata pada konsentrasi yang lebih tinggi menunjukkan aktivitas antioksidan lebih tinggi pula. Salah satu parameter yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan DPPH adalah dengan nilai IC50 (inhibition concentration 50 value). Nilai IC50 adalah konsentrasi ekstrak yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH (Molyneux 2004). Nilai IC50 yang semakin rendah akan menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas yang semakin kuat. Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Gambar 7. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan aktivitas antioksidan Gambar 7 Nilai rata-rata IC50 ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana Antioksidan alami banyak dihasilkan dari tumbuhan. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Andayani et al. 2008). Hal ini didukung oleh Trilaksani (2003) yang menyatakan bahwa antioksidan alami umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin dan tokoferol. Hasil analisis ragam terhadap aktivitas antioksidan lamun Enhalus acoroides berdasarkan jenis pelarut (Lampiran 6a) menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Uji Duncan (Lampiran 6b) menunjukkan bahwa metanol memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi, dimana 50 % radikal bebas DPPH berhasil dihambat aktivitasnya pada konsentrasi 115,79 ppm. Hasil ini juga menunjukkan bahwa ekstrak metanol (polar) berbeda nyata dengan ekstrak n-heksana pada konsentrasi 937,61 ppm. Semakin rendah nilai IC50 menunjukkan semakin tinggi aktivitas antioksidan yang dimilikinya. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004). Berdasarkan nilai ini, ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan sedang dengan IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml yaitu sebesar 115,79 ppm. Ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antioksidan lemah yaitu sebesar 153,39 ppm atau berkisar diantara 0,15-0,20 mg/ml. ekstrak n-heksana memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah karena memiliki nilai sebesar 937,61 ppm atau lebih dari 0,20 mg/ml. Nilai jauh berbeda dibandingkan dengan aktivitas antioksidan BHT yang sangat kuat karena memiliki nilai IC50 kurang dari 0,50 mg/ml atau kurang dari 50 ppm. Ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan lebih baik dibandingkan ekstrak etil asetat dan ekstrak n-heksana. Hal ini sesuai dengan penelitian Maulida (2007) yang menyatakan bahwa aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol pada Caulerpa lentilifera memiliki nilai tertinggi sebesar 5090,39 ppm. Kadar total fenol dalam ekstrak metanol juga menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan ekstrak etil asetat dan ekstrak n-heksana. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan dan kandungan total fenol berkorelasi positif. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides. Hal ini terjadi diduga karena ekstrak lamun Enhalus acoroides yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar (crude), meskipun begitu Enhalus acoroides memiliki potensial aktivitas antioksidan yang kuat (Kannan 2010). Komponen bioaktif flavonoid yang terdapat pada ketiga ekstrak menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kemungkinan masih memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Senyawasenyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.