I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus avian influenza (AI) di Provinsi Aceh pertama kali muncul pada tahun 2004, dengan ditemukannya kasus pertama pada ayam bukan ras (buras) di kota Banda Aceh dan mewabah hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Sampai saat ini Provinsi Aceh termasuk salah satu daerah yang endemis AI, walaupun jumlah kematian ternak unggas masih tergolong rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia (Din Keswannak Aceh, 2013). Menurut Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Provinsi Aceh, kematian ternak unggas yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 di Aceh masih terus terjadi. Berdasarkan data pemeriksaan yang dilakukan oleh Laboratorium Veteriner Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh, maka kasus kematian ternak unggas yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 dapat ditemukan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Aceh, dengan kematian ternak lebih dari 20.000 ekor. Data ini umumnya diperoleh berdasarkan pemeriksaan atau diagnosis gejala klinis di lapangan, isolasi virus, rapid test dan pemeriksaaan patologi anatomi, dan juga uji secara molekuler. Kasus kematian ternak unggas yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1 sampai dengan tahun 2015 telah ditemukan pada 20 dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh (Din Keswannak Aceh, 2013). Sehubungan dengan kondisi perternakan di provinsi Aceh yang umumnya merupakan 1 peternakan sektor 4, maka kemungkinan besar virus AI secara terus menerus bersirkulasi di alam. Penyakit avian influenza, merupakan penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh virus AI tipe A, yang termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae. Hampir semua spesies unggas peka terhadap infeksi virus AI. Selain mampu menginfeksi berbagai jenis unggas, virus AI tipe A juga menginfeksi banyak spesies hewan, antara lain mamalia dan manusia (Easterday et al., 1997; Swayne and Halvorson, 2003). Virus AI subtipe H5N1, juga pernah dilaporkan menginfeksi babi (Takano et al., 2009), anjing dan kucing (Songserm et al., 2006-a; Songserm et al., 2006-b), leopard, dan harimau (Keawacharoen et al., 2004). Hospes alami dari virus influenza A adalah burung liar dan unggas air, dimana pada hospes tersebut virus ini berada dalam keadaan seimbang dan tidak menimbulkan penyakit (Keawcharoen et al., 2011). Ternak unggas peliharaan seperti ayam, puyuh, dan kalkun sangat rentan terhadap virus ini dan dapat menimbulkan sakit hingga kematian. Secara periodik virus influenza disebarkan/ditularkan ke hospes lain, termasuk mamalia, dan menyebabkan infeksi yang sifatnya sementara dan kadang-kadang menimbulkan kematian dengan gejala penyakit yang bervariasi dari ringan sampai berat (Spackman et al., 2007). Berdasarkan bentuknya virus avian influenza atau virus influenza A subtipe H5N1 memiliki bentuk spherical dengan diameter 100-200 nm dan terdiri atas 8 segmen atau gen dengan untai tunggal RNA negative-sense. Virus AI 2 memiliki mRNA yang bersifat monosistronik yang mengkode 10 protein. Genome RNA dari virus AI terdiri atas gen nukleoprotein (NP) dan 3 subunit RNA polimerase kompleks yaitu polymerase basic 1 (PB1), polymerase basic 2 (PB2), dan polymerase acidic (PA) yang memiliki peranan penting di dalam proses replikasi dan bergabung bersama dengan komplek ribonukleoprotein (RNP). Bagian dalam kapsul terdiri atas protein Matriks (M1) dan chanel ion protein M2, selain itu, juga terdapat protein non-struktural yaitu protein NS2 dan NS1. Protein NS2 memiliki peranan yang penting dalam mengambil Ribonucleoprotein complex (RNP) dari nukleus dan berinteraksi dengan protein M1. Protein NS1 memiliki berbagai peranan antara lain mengatur pemisahaan dan pengambilan bahan-bahan yang dibutuhkan dari nukleus menuju messenger RNA (mRNA) seluler dan memiliki peranan yang penting dalam menstimulasi terjadinya translasi untuk umpan balik terhadap aktifitas interferon pada hospes (Suzuki, 2005; Urbaniak and Markowska, 2014). Protein Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA) yang terletak pada permukaan virus memiliki peranan dalam proses perlekatan, penggabungan dan masuk ke dalam sel hospes, serta perkembangbiakan virus dari sel hospes yang terinfeksi oleh virus flu burung. Selain itu, protein HA dan NA merupakan dua protein yang bertanggung jawab secara langsung terhadap mekanisme netralisasi antibodi oleh respon imun yang dihasilkan oleh hospes yang terinfeksi oleh virus H5N1 (Suzuki, 2005; Urbaniak and Markowska, 2014). Penentuan patogenesitas virus AI secara molekuler dilakukan berdasarkan adanya susunan asam amino basa pada hemagglutinin cleavage site 3 (HCS). Virus highly pathogenic avian influenza (HPAI), mempunyai susunan asam amino basa yang bersifat multiple, terutama arginin (R) dan lisin (K), sedangkan low pathogenic avian influenza (LPAI) hanya memiliki arginin tunggal pada daerah HCS tersebut (Horimoto and Kawaoka, 1997; Horimoto and Kawaoka, 2001). Hemaglutinin sebagai glikoprotein permukaan utama virus influenza ditranslasi sebagai protein tunggal (HA0), yang kemudian dibagi menjadi HA1 dan HA2 agar virus teraktivasi. Protein HA1 akan berikatan dengan reseptor pada sel hospes dan merupakan target utama untuk respon imun, sedangkan protein HA2 dengan bagian fusigenik di ujungnya akan memfasilitasi fusi antara amplop virus dengan membran endosomal sel hospes. Oleh karena itu, aktivasi proteolitik protein HA merupakan faktor penting untuk infektivitas dan penyebaran virus ke seluruh tubuh. Perbedaan kepekaan protein HA VAI terhadap protease hospes akan berhubungan dengan tingkat virulensi (Puthavathana et al., 2005; Steven et al., 2006). Patogenesitas virus AI bersifat multigenik, meskipun dominan ditentukan oleh gen HA. Gen HA tersebut mempunyai domain yang berperan penting dalam proses infeksi, yaitu fragmen cleavage site, fussion site, dan receptor binding site (RBS) (Stevens et al., 2006). Proses infeksi virus AI ditentukan oleh kemampuan virus tersebut berikatan dengan reseptor sel hospes. Kemampuan perlekatan reseptor ini dapat terjadi apabila tapak perlekatan reseptor (TPR) pada virus memiliki kesesuaian dengan reseptor yang ada pada permukaan sel hospesnya (Steven et al., 2006). Reseptor ini sendiri berbeda pada masing-masing spesies 4 hospes (Perez et al., 2003). Terjadinya delesi maupun insersi beberapa asam amino pada daerah-daerah tersebut, telah menyebabkan beberapa perubahan sifat pada virus AI. Terbentuknya clade dan subclade virus juga tidak terlepas dari peran susunan asam amino pada daerah HAC (Eisfeld et al., 2014). Diantara unggas darat, puyuh berperan penting dalam proses evolusi virus influenza A dengan bertindak sebagai tempat reassortment dari virus Avian Influenza (AI) asal berbagai burung yang dijual di pasar burung sehingga virus AI dapat menjadi lebih patogen dan menular ke spesies hewan lainnya. Virus AI sangat cepat bereplikasi pada puyuh dibandingkan pada spesies lain (Perez et al., 2003); puyuh juga mempunyai 2 macam reseptor, yaitu sialic acid 2,3-galactose (Sa α 2,3-gal) yang terdapat pada sel epitel saluran pernapasan ayam, dan sialic acid 2,6-galactose (Sa α 2,6-gal) yang merupakan reseptor pada manusia (Wan and Perez, 2006; Guo, et al., 2007). Hewan lain yang memiliki 2 macam reseptor adalah babi, yaitu N-acetylneuraminic acid 2,3galactose linkage ( 2,3 linkage) dan N-acetylneuraminic acid 2,6-galactose linkage ( 2,6 linkage) sehingga virus AI dari unggas dan manusia dapat bertemu di dalam tubuh babi yang selanjutnya dapat mengalami perubahan konfigurasi genetik (genetic reassortment) yang memungkinkan muncul strain virus baru (Yamada, et al., 2011). Puyuh memainkan peran penting dalam evolusi virus influenza dengan bertindak sebagai host intermediate, dimana virus AI dapat menjadi lebih patogen setelah mengalami reassortment dan dapat ditularkan ke spesies hewan lainnya, bahkan pada manusia (Thontiravong et al., 2012). Jeong et al. (2009), melaporkan 5 bahwa sampel swab orofaring menunjukkan titer virus AI yang lebih tinggi daripada swab kloaka pada itik, ayam, dan puyuh. Virus AI yang berasal dari itik dapat dengan mudah beradaptasi pada puyuh, sehingga puyuh dapat berperan sebagai host perantara infeksi virus AI untuk menghasilkan virus reassortant baru. Dalam suatu percobaan yang dilakukan oleh Thontiravong et al. (2012), ternyata bahwa semua (100%) puyuh yang diinfeksi dengan virus H1N1 asal babi dan virus LPAI H3N2 asal itik secara bersamaan, menghasilkan virus reassortant. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perez et al. (2003) menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada gen HA virus AI asal bebek selama adaptasi pada puyuh memungkinkan virus AI tersebut dapat menimbulkan infeksi antar spesies sehingga menginfeksi unggas darat, seperti ayam. Keberadaan virus influenza A dalam tubuh unggas air, itik, entok, dan angsa memberikan suatu risiko kesehatan yang sangat serius terhadap spesies hewan lain. Sebagian besar virus AI yang ditemukan pada unggas air adalah virus LPAI, sedangkan virus HPAI biasanya dideteksi pada unggas air bersamaan dengan terjadinya wabah AI pada unggas peliharaan. Unggas air liar merupakan reservoir yang unik untuk virus AI dikarenakan burung air, terutama unggas air merupakan reservoir semua subtipe H dan N virus AI. Virus AI berkembang biak dalam jumlah besar di dalam saluran pencernaan unggas air tanpa menimbulkan gejala klinis (Olsen et al., 2006). Meskipun beberapa subtipe virus influenza A yang terdapat dalam tubuh inang alami bersifat tidak patogen atau tidak virulen, tetapi keberadaannya 6 menyebabkan inang alami tersebut dapat menjadi reservoir virus AI selama beratus-ratus tahun (Wahlgren, 2007). Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kejadian AI yang terus menerus di Indonesia adalah akibat dari penanganan virus AI yang belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari pola distribusi unggas di pasar unggas tradisional yang tidak terkontrol, rendahnya biosekuriti pada perternakan unggas, terutama pada sektor 3 dan 4, penyebaran virus AI yang berasal dari unggas air liar dan juga masih lemahnya strategi vaksinasi. Vaksin AI yang efektif harus mampu mencegah terjadinya infeksi virus AI dan penyakit yang ditimbulkannya. Idealnya, vaksin yang efektif adalah vaksin yang mempunyai homologi genetik dan antigenik yang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan. Virus AI yang berasal dari kelompok atau subkelompok di suatu wilayah, idealnya menggunakan vaksin yang mengandung antigen dari masing-masing kelompok atau subkelompok tersebut (Zheng et al., 2012). Penelitian-penelitian yang sedang dan terus dikembangkan saat ini pada umumnya melakukan analisis terhadap gen HA, khususnya pada daerah HAC. Analisis gen HA terus dilakukan untuk memperoleh perangkat diagnostik dan vaksin yang spesifik terhadap berbagai clade atau subclade virus AI sub tipe H5N1 baru. Informasi genetik strain virus AI sub tipe H5N1 yang baru ditemukan di suatu wilayah, dapat digunakan untuk memproduksi vaksin jenis baru yang dapat menangkal strain baru dari virus AI sub tipe H5N1 tersebut (Basuno, 2008). 7 Beberapa strain baru virus AI subtipe H5N1 adalah subclade baru pada itik di Indonesia. Kasus infeksi virus AI pada bulan September-Nopember 2012, meliputi kematian yang tinggi pada itik di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Wabah ini diidentifikasi sebagai virus AI subtipe H5N1 subclade 2.3.2 (Wibawa et al., 2012). Penelitian karakterisasi genetik virus subclade 2.3.2 secara lengkap pada delapan segmen gen dari virus AI oleh Dharmayanti (2013), memperlihatkan bahwa virus subclade 2.3.2 merupakan introduksi dari luar Indonesia. Penelitian tersebut juga memperlihatkan patogenisitas virus subclade 2.3.2 dan subclade 2.1.3 adalah sama karena dapat menyebabkan kematian itik pada 3-6 hari post infeksi, gejala klinis dan shedding virus juga tidak terdapat perbedaan antara virus AI subclade 2.3.2 dengan subclade 2.1.3. Fakta menarik yang terungkap dari peneliti terdahulu adalah itik yang hidup tidak mengalami shedding virus dan ketika shedding tidak terdeteksi, titer antibodi mulai muncul, sehingga data ini kemungkinan dapat digunakan sebagai salah satu dasar program vaksinasi pada itik (Dharmayanti dkk., 2013). Diagnosis dan karakterisasi virus AI dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik secara konvensional maupun metode modern yang telah banyak dikembangkan dewasa ini. Karakterisasi secara konvensional virus AI meliputi uji serologis, yang dapat dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), uji hemagglutination inhibiton (HI), immunofluorescence assay (IFA), enzyme immuno assay (EIA), imunohistokimia (IHK), dan uji neutralisasi (Noyola et al., 2000). 8 Identifikasi dan karakterisasi virus AI pada tingkat genom dapat dilakukan dengan metode Reverse Transcriptase–Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), multipleks RT-PCR dan Real Time RT-PCR, sequencing, nucleic acid sequence-base amplification (NASBA), teknik micro array, (Spackman et al., 2002; Payungporn et al., 2004; Tsukamoto et al., 2008), dan kloning gen penyandi protein penyusun virion virus AI (Abubakar et al., 2011). Kloning gen merupakan metode yang dilakukan untuk menyisipkan DNA gen target ke dalam plasmid berupa produk hasil PCR. Plasmid merupakan vektor pengekspresi yang paling umum digunakan dalam proses kloning gen. Plasmid yang saat ini umum digunakan sebagai vektor kloning adalah pET yang mampu menghasilkan 15-60 kopi dalam tiap sel. Plasmid ini juga memiliki replikon, suatu daerah pada DNA plasmid yang terdiri dari origin of replication (ORI) dan cis-acting control elements. Salah satu vektor kloning pET yang sering digunakan adalah pET SUMO cloning vector (Rosano and Ceccarelli, 2014). Vektor ekspresi pET SUMO mengandung beberapa elemen yang penting seperti gen lacI yang mengkode protein lac repressor, promoter T7 yang hanya spesifik dengan T7 RNA polimerase. Vektor pET SUMO merupakan vektor ekspresi yang didesain untuk dapat dilakukan kloning dan ekspresi tanpa memerlukan enzim restriksi, karena vektor pET SUMO memiliki residu 3’ deoxythymidine (T) tunggal yang dapat berikatan dengan deoxyadenosine (A) tunggal dari produk PCR sehingga memungkinkan penyisipan produk PCR secara langsung (Invitrogen, 2010). 9 Berbagai penelitian yang berhubungan dengan isolasi, karakterisasi dan kloning virus AI di Indonesia telah, sedang, dan akan dilakukan untuk mengkaji berbagai aspek yang berkaitan dengan metode maupun kit diagnostik untuk mendukung program pencegahan dan pengendalian wabah virus AI. Membuat perangkat diagnostik cepat AI untuk keperluan dalam negeri sangat layak dilakukan karena permintaan yang sangat besar. Permintaan yang tinggi terhadap diagnosis cepat tersebut bukan saja terjadi di dalam negeri, tetapi juga secara global. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya kit diagnostik cepat yang telah diproduksi oleh perusahaan-perusahaan multi nasional. Pengembangan vaksin isolat lokal juga merupakan suatu investasi penelitian jangka panjang, khususnya bagi Indonesia karena investasi tersebut merupakan keuntungan yang akan dicapai sebagai bentuk pengurangan penggunaan dana atas pemasukan vaksin impor, dan juga dapat menghindari ketergantungan vaksin impor dalam mengendalikan masalah penyakit unggas. Begitu pesat kemajuan teknologi dan industri peternakan, sehingga kebutuhan vaksin harus diproduksi secara massal. Metode pembuatan vaksin yang terus berkembang, jenis-jenis vaksin yang dibutuhkan juga bertambah macamnya, penemuan cara baru harus terus digali untuk menggantikan metode konvensional yang lebih mahal dan memakan waktu lama. Penelitian tentang virus AI di Provinsi Aceh masih sangat jarang dilakukan, bahkan belum ada laporan tentang studi karakterisasi virus AI baik pada unggas maupun pada hewan lainnya. Kasus kematian ternak unggas oleh virus AI akan tetap terjadi setiap tahunnya; hal ini tidak terlepas dari pola 10 penyebaran virus AI di Aceh yang diduga masih terpusat di pasar-pasar unggas hidup. Berdasarkan penelitian Helmi dan Panjaitan (2011), pada beberapa titik kritis cemaran virus AI di pasar tradisional, ayam hidup yang berada dalam kandang penampungan sementara merupakan titik yang paling berpotensi sebagai sumber penyebaran dan penularan virus AI ke lingkungannya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada kenyataan-kenyataan tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika perkembangan, karakteristik, dan tingkat patogenesitas virus AI subtipe H5N1 isolat asal puyuh dari Provinsi Aceh. 2. Bagaimana hubungan kekerabatan antara virus AI subtipe H5N1 yang pernah mewabah di Provinsi Aceh melalui analisis filogenetik full-length gen HA virus subtipe H5N1 isolat asal puyuh. 3. Bagaimana tingkat keberhasilan kloning dan ekspresi full-length gen HA virus AI subtipe H5N1 isolat puyuh pada vektor Champion™ pET SUMO Protein Expression System, dan diekspresikan pada Escherichia coli BL21(DE3). C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan karakterisasi gen hemaglutinin (HA) virus HPAI subtipe H5N1 isolat asal puyuh dari Aceh. 11 2. Melakukan sekuensing full-length gen HA virus HPAI subtipe H5N1 isolat asal puyuh, untuk menambah pustaka genetik (database) virus AI asal Aceh. 3. Mempelajari tingkat virulensi dan patogenesitas virus AI, dan untuk melihat kekerabatan dengan virus HPAI yang pernah terjadi di Aceh atau daerah lain di Indonesia berdasarkan data yang telah ada di Genebank. 4. Melakukan kloning dan ekspresi gen HA virus AI subtipe H5N1 isolat puyuh asal Aceh, untuk mendapatkan protein rekombinan HA yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kit diagnostik dan vaksin rekombinan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang: 1. Sifat dan karakteristik serta peranan full-length gen HA virus subtipe H5N1 isolat puyuh dalam menentukan aktivitas biologi virus, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pencegahan dan pengendalian virus AI di Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh. 2. Material genetik hasil kloning full-length gen HA virus subtipe H5N1 isolat puyuh asal Aceh, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kit diagnostik, dan juga untuk pembuatan vaksin rekombinan yang dapat digunakan dalam program pencegahan dan pemberantasan penyakit AI pada unggas, termasuk puyuh di Indonesia, khususnya di Provinsi Aceh. 12 E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai identifikasi dan karakterisasi gen H5 dan N1 virus AI khususnya di Indonesia sejak tahun 2005 sampai sekarang telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Penelitian karakter virus AI isolat Indonesia gelombang ke dua oleh Dharmayanti et al. (2005), menyatakan bahwa virus AI Indonesia membentuk satu kelompok sendiri walaupun masih dalam satu kelompok dengan isolat Indonesia yang diisolasi pada wabah Oktober 2003-Oktober 2004, sedangkan pada pemetaan genetik virus AI subtipe H5N1 pada tahun 2010 telah memperlihatkan antigenic drift yang telah meluas hampir ke seluruh pulau Jawa dan sebagian Sumatera (Dharmayanti dkk., 2012). Penelitian Karakterisasi virus AI isolat Indonesia lainnya pernah dilaporkan oleh Nidom et al. (2012), yang menunjukkan bahwa virus AI yang bersirkulasi di Indonesia masih dalam subclade 2.1.3 berdasarkan klasifikasi WHO/OIE. Berdasarkan penelitian Andesfha et al. (2013), analisis filogenetik isolat virus AI dari ayam pada monitoring tahun 2011, termasuk dalam subclade 2.1.3. Isolat itik, entok dan puyuh yang diambil dari outbreak kematian itik tahun 2012 termasuk dalam subclade 2.3.2. Hasil analisis keragaman sekuen isolat subclade 2.3.2 memiliki tingkat homologi yang tinggi, yaitu 99,0%-99,5% terhadap virus reference subclade 2.3.2 yang berasal dari Vietnam. Hasil keragaman sekuen antara isolat subclade 2.1.3 dan isolat subclade 2.3.2 memiliki tingkat keragaman yang rendah yaitu 90,4%-90,9%, ini menunjukkan bahwa virus isolat dari itik ini termasuk virus H5N1 subclade 2.3.2 yang merupakan varian baru di Indonesia (Andesfha et al., 2013). 13 Penelitian kloning dan karakterisasi gen penyandi HA1 virus AI subtipe H5N1 isolat Indonesia pernah dilakukan oleh Rosmelati dkk, (2008), penelitian tersebut menggunakan pET101 ID-TOPO sebagai vektor kloning dan di transpormasikan pada E.coli TOP10. Protein rekombinan HA1 yang diperoleh diekspresikan dalam hospes E.co/i 81-27 star (Rosmelati dkk, 2008). Penelitian kloning dan karakterisasi full-length gen HA isolat virus HPAI subtipe H5N1 isolat puyuh asal Aceh dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari patogenisitas, tingkat virulensi dan hubungan kekerabatan dengan virus HPAI yang pernah diisolasi di Aceh atau daerah lain di Indonesia berdasarkan analisis filogenetik. Analisis sekuen full-length gen HA isolat puyuh melalui kloning pada vektor Champion™ pET SUMO Protein Expression System, akan memberikan informasi urutan nukleotida dan asam amino whole gen HA virus AI. Informasi urutan nukleotida dan asam amino ini sangat bermanfaat dalam mempelajari aktivitas biologi virus HPAI subtipe H5N1, baik patogenesitas maupun tingkat virulensi yang sangat berguna dalam program pencegahan dan pemberantasan virus AI. Sekuen full-length fragmen gen HA virus HPAI subtipe H5N1 yang diperoleh, selanjutnya digunakan dalam evaluasi adanya mutasi, delesi, maupun insersi pada nukleotida ataupun pada tingkat urutan asam amino virus HPAI subtipe H5N1, serta dapat mengetahui hubungan kekerabatan dan jarak genetik gen HA virus HPAI subtipe H5N1 dari isolat yang diteliti dengan isolat lainnya yang telah ada di Genebank. 14 Isolat virus AI subtipe H5N1 asal puyuh dari Provinsi Aceh yang dipakai dalam penelitian ini belum pernah dilaporkan oleh peneliti lain, dan penelitian tentang karakterisasi dan analisis dengan metode kloning full-length gen HA virus HPAI subtipe H5N1 pada vektor Champion™ pET SUMO Protein Expression System, sejauh peneliti ketahui belum pernah dilakukan pada isolat-isolat virus AI di Indonesia, khususnya pada virus HPAI subtipe H5N1 isolat asal Aceh. 15