Kebijakan Dividen Yang Membonsai BUMN

advertisement
Republika : Selasa, 06 Mei 2008
Kebijakan Dividen Yang Membonsai BUMN
Oleh :
Bin Nahadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Kenaikan harga minyak dunia lebih dari 115 dolar AS per barel (jauh di atas asumsi APBN-P 2008 95
dolar AS per barel) serta harga komoditas pangan dunia memberikan dampak bagi perekonomian
Indonesia. Dalam konteks APBN, berimbas pada postur APBN-P 2008, baik dari sisi penerimaan, belanja
negara, maupun defisit APBN.
Pemerintah pun tidak tinggal diam. Pemerintah antara lain menyiapkan sembilan langkah untuk
mengamankan APBN. Salah satu dari sembilan langkah pengamanan adalah optimalisasi pendapatan
negara, baik dari sisi perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang di dalamnya terdapat
komponen dividen BUMN. Dalam konteks ini, dividen BUMN menjadi salah satu tumpuan untuk
menopang APBN 2008.
Becermin pada pengalaman 2007 dengan realisasi setoran dividen Rp 23,18 triliun, lebih besar dibanding
target APBN-P Rp 21,8 triliun, memberikan alasan bagi pemerintah (yang juga diamini oleh DPR) untuk
membebani BUMN pada 2008 ini dengan target dividen lebih besar. Target sebelumnya Rp 23,4 triliun
dinaikkan menjadi Rp 31,24 triliun atau naik 33,5 persen.
Sepanjang sejarah, ini tambahan target terbesar yang pernah dibebankan pada BUMN. Pemerintah
memilih langkah ini karena dipandang lebih praktis, sedikit resistensi bila dibandingkan langkah lain,
seperti penghematan belanja melalui beragam program penghematan dan efisiensi.
Kebijakan dividen
Kalau kita telusuri lebih jauh, dari Rp 23,18 triliun setoran dividen BUMN 2007, Pertamina menyumbang
hampir 50 persennya dan sisanya kontribusi dari 70 BUMN, sedangkan 30 BUMN laba tapi tidak
menyetor dividen karena berbagai sebab, seperti regulasi, akumulasi rugi, dan investasi. Kedudukannya
sebagai milik negara menyebabkan BUMN selalu berada dalam posisi tawar yang lemah.
Ketika negara sebagai pemilik mengambil haknya yang berupa dividen kapan pun dalam jumlah berapa
pun, BUMN harus siap dengan cara apa pun. Ketika negara kurang profesional dan proporsional
mengambil haknya, itu dapat membahayakan BUMN. Akibatnya, BUMN sebagai korporasi, apa yang
dilakukan pemerintah secara tidak sadar adalah upaya ke arah pengerdilan BUMN.
Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dalam kebijakan dividen BUMN. Pertama, karena penetapan
dividen berdasarkan state budget approach. Selama ini penetapan target dividen lebih banyak ditentukan
oleh kebutuhan APBN. Berapa pun besarannya yang dibutuhkan APBN, besaran itu pula yang harus
disetor oleh BUMN, baik mampu atau tidak mampu.
APBN adalah proses politik yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif. Di dalamnya ada proses
negosiasi, lobi, dan kompromi yang sering mengabaikan kondisi-kondisi objektif BUMN. Dengan posisi
tawar yang sangat lemah, state budget approach akan menyebabkan BUMN selalu berada dalam posisi
objek penderita bukan sebagai subjek penentu.
Idealnya penentuan dividen dengan menggunakan pendekatan korporasi. Dalam pendekatan ini setiap
BUMN diberi ruang cukup untuk menentukan besaran dividen, tetapi terlebih dahulu mengukur
kebutuhan investasi. Dengan pendekatan ini kesinambungan usaha akan lebih terjamin dan kontribusi
jangka panjangnya terhadap APBN dapat lebih diharapkan.
Kondisi BUMN saat ini adalah ibarat sapi perah yang terus-menerus diambil susunya tanpa perlu
diberikan asupan yang cukup. Akibatnya, tubuhnya makin kurus, sakit-sakitan, dan akhirnya mati.
Celakanya ketika sapi tersebut sakit dan minta disuntik dengan infus, opini yang muncul adalah BUMN
dalam jamaknya selalu tergantung, tidak efisien, dan cap-cap buruk lainnya.
Tarik-menarik kepentingan antara pemilik dan pengelola adalah masalah klasik yang dalam manajemen
disebut dengan agency theory. Namun, dalam kasus ini konflik kepentingan antara BUMN dan negara
sepertinya tidak dalam posisi yang seimbang.
Kedua, kebijakan dividen BUMN selalu didasarkan pada laba akuntansi. Penentuan besaran dividen
selalu didasarkan pada aspek laba akuntansi dengan mengabaikan aspek aliran kas. Secara akuntansi
laba adalah pembukuan yang sifatnya accrual. Bukan isu baru accounting profit sering mengandung
unsur manipulasi baik melalui proses smoothing atau financial engineering untuk memoles kinerja
manajemen.
Akibatnya, ada beberapa BUMN yang kesulitan likuiditas ketika harus membayar utang dividen yang
sudah ditetapkan. Indikatornya, banyak BUMN terlambat atau mengajukan penetapan jatuh tempo
pembayaran dividen. Tragisnya lagi ada beberapa BUMN yang harus membayar dividen dengan
meminjam dana dari bank karena cash flow tidak memungkinkan.
Ketiga, kebijakan dividen interim. Dividen interim adalah dividen yang diambil lebih awal dari yang
seharusnya. Normalnya dividen diambil dari laba dibagi dari kinerja BUMN tahun sebelumnya bukan
tahun berjalan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan menarik bagian laba
pemerintah di muka (baca: dari kinerja laba tahun berjalan) untuk menutup defisit APBN.
Data menunjukkan tren penarikan dividen interim menunjukkan grafik meningkat. Bahkan, untuk
memenuhi kenaikan target dividen dari Rp 23,4 triliun pada APBN 2008 menjadi Rp 31, 24 triliun pada
APBN-P 2008, pemerintah berencana mengambil dari dividen interim, yakni masing-masing Rp 6 triliun
dari Pertamina dan Rp 2 triliun dari BUMN non-Pertamina. Dividen interim biasanya diambil dari BUMN
dengan laba besar, seperti Pertamina dan Telkom.
Dividen interim ini ibarat sistem ijon. Di dalamnya mengandung ketidakpastian yang tinggi. Apa jadinya
jika laba yang sebagiannya sudah dibayarkan kepada pemegang saham ternyata tidak tercapai.
Selanjutnya, kebijakan dividen interim yang selama ini diterapkan kepada beberapa BUMN besar juga
menjadi salah satu faktor pengganggu likuiditas. Kas yang semestinya digunakan untuk operasi tahun
berjalan namun harus dibayarkan kepada negara.
Normalnya sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No 41/PMK.02/2005, jatuh tempo pembayaran
dividen satu bulan setelah RUPS atau BUMN dapat mengajukan penetapan jatuh tempo. Terhadap
keterlambatan pembayaran akan dikenakan denda sebesar dua persen sebulan dan bagian dari bulan
dihitung satu bulan.
Salah satu contoh korban kebijakan ini adalah PT Istaka Karya yang masih harus menanggung utang
dividen Rp 6,3 miliar yang terdiri dari Rp 3,8 miliar dividen tahun buku 2003 dan Rp 2,5 miliar yang
merupakan denda/bunga atas keterlambatan pembayaran dividen tersebut. Ironisnya sejak saat itu
BUMN itu merugi.
Perlu consensus
Kebijakan dividen merupakan resultansi dari keterlibatan banyak stakeholders BUMN, bukan hanya
Kementerian Negara BUMN, tetapi juga Departemen Keuangan, bahkan DPR. Konsensus
penyempurnaan kebijakan dividen BUMN yang adil juga harus mencakup semua pihak. Konsensus
Depkeu bisa diwujudkan dengan cara mencari alternatif pembiayaan untuk menutup defisit APBN.
Tambahan setoran dividen mestinya menjadi pilihan terakhir. Penulis berpendapat terlalu mahal ongkos
yang harus dibayar oleh negara bila karena kenaikan harga minyak dunia, harus membayarnya dengan
mengeksploitasi seluruh sumber daya yang kita miliki yang seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat
secara maksimal.
DPR seharusnya memiliki political will yang sama untuk memberi kesempatan kepada BUMN tumbuh
lebih pesat meski harus dengan konsekuensi menurunnya setoran dividen BUMN dalam jangka pendek.
Kemauan politik ini juga dapat diperkuat dengan argumen bahwa BUMN yang sehat dan kuat akan lebih
dapat memberikan kontribusi dengan bentuk yang lebih luas dan dengan tingkat kesinambungan yang
lebih tinggi.
Minimal BUMN yang sehat tidak akan menjadi beban APBN. Pada sisi lain keterlibatan DPR dalam
penetapan dividen semestinya tidak melebihi posisinya sebagai legislator.
Ikhtisar:
- Ada kebijakan yang salah dalam penetapan kebijakan dividen.
- Masih terjadi salah kelola pada banyak BUMN.
Download