BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman dahulu masyarakat dari berbagai belahan dunia telah menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai obat. Kini saat penemuan obatobatan modern kian bertambah, banyak anggota masyarakat yang beralih pada pengobatan herbal untuk meningkatkan status kesehatannya. Seiring waktu, pengembangan obat herbal semakin banyak dan sudah mulai digunakan untuk pengobatan penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif kronik diantaranya adalah penyakit kardiovaskuler, diabetes, dan kegemukan. Diabetes adalah gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik yang dapat mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang dapat berpengaruh pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya (WHO, 1999). Berdasarkan data statistik terakhir dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 12.191.056 orang usia 15 tahun ke atas. Hal tersebut menempatkan peringkat Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan jumlah kasus diabetes. Indonesia memiliki banyak tanaman obat yang diyakini dapat menurunkan kadar gula darah. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Ness) dan mimba (Azadirachta indica A.Juss) merupakan contoh dari dua tanaman obat di Indonesia yang berkhasiat dalam membantu menurunkan kadar gula darah. Salah satu produsen obat tradisional bekerja sama dengan Fakultas Farmasi UGM memproduksi produk GD yang berisi campuran ekstrak herba 1 2 sambiloto dan daun mimba yang memiliki aktivitas dalam membantu menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes. Andrografolid pada sambiloto (A. paniculata) dapat meningkatkan penggunaan glukosa otot pada tikus yang dibuat diabetes dengan menggunakan STZ melalui stimulasi transporter GLUT-4 yang berarti bahwa andrografolid dapat meningkatkan penggunaan glukosa otot untuk menurunkan kadar glukosa dalam plasma pada tikus (hewan uji) (Yu et al., 2003). Senyawa andrografolid juga dapat menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan insulin, dan merangsang GLUT-4 pada tikus diabetes dengan menggunakan aloksan (Zhang et al., 2009). Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk. (2009) tentang evaluasi potensi spermisida pada sambiloto menunjukkan bahwa pada konsentrasi 200 µg/ml menyebabkan kematian sperma. Azadirachta indica merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes (Bhat dkk., 2009; Sudha, 2011). Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa ekstrak daun mimba memiliki efek sebagai antidiabetes dengan menghambat aktivitas α-amilase dan α-glukosidase yang merupakan enzim yang berperan penting dalam absorbsi glukosa ( Kazeem dkk., 2013). Uji farmakologi pada campuran ekstrak etanolik sambiloto (Andrographis paniculata) dan ekstrak etanolik mimba (Azadirachta indica) telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dan telah menunjukkan aktivitas penurun kadar glukosa darah yang poten pada tikus wistar yang dinduksi aloksan. Kombinasi ekstrak etanolik sambiloto (A. paniculata) dan ekstrak etanolik mimba (A. indica) 3 memberikan efek yang optimum sebagai anti hiperglikemik pada dosis 800 mg/kgBB (Nugroho dkk., 2014). Pengembangan suatu obat baru harus dipastikan keamanannya. Untuk menjamin keamanan salah satunya perlu dilakukan uji toksisitas. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai ketoksikan akut terdahulu melaporkan bahwa ekstrak etanolik daun mimba menunjukkan tidak ada kematian hingga dosis 4 g/kg serta tidak menunjukkan gejala yang berhubungan toksisitas ( Akter, 2013). Pada penelitian sebelumnya juga telah dilakukan uji toksisitas akut pada kombinasi ekstrak herba sambiloto dan ekstrak daun mimba yang menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak tersebut tidak berefek toksik terhadap gambaran histopatologis organ hati, jantung, lambung, paru-paru, pankreas, limfa, ginjal, dan usus (Marceila, 2014). Penelitian mengenai toksisitas subkronis campuran ekstrak herba sambiloto (Andrographidis Paniculatae Herbae Extractum) dan ekstrak daun mimba (Azadirachtae Indicae Folii Extractum) bertujuan untuk melindungi masyarakat dari efek negatif yang mungkin merugikan. Toksisitas subkronis ini dilakukan, dikaitkan dengan penggunaan obat antidiabetes umumnya dibutuhkan waktu yang relatif lama. Selain itu, pelaksanaan toksisitas subkronis ini bertujuan untuk mengidentifikasi lebih jauh paparan toksikan dari berbagai macam komponen senyawa aktif bahan uji terhadap parameter darah atau hematologi untuk mengetahui keadaan fisiologis dan patologis tubuh secara sistemik, meliputi 4 kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk., 2007). B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini: 1. Bagaimanakah gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba secara berulang selama 90 hari pada tikus jantan galur Wistar? 2. Bagaimanakah pengaruh pemejanan campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba secara berulang terhadap PKBP, asupan makanan dan asupan minuman hewan uji selama 90 hari masa perlakuan dan 28 hari masa reversibilitas ? 3. Bagaimanakah pengaruh pemejanan campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba secara berulang terhadap parameter hematologi pada hewan uji selama masa perlakuan (90 hari) dan reversibilitas (28 hari)? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba secara berulang selama 90 hari pada tikus jantan galur Wistar. 2. Mengetahui pengaruh pemejanan campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba terhadap PKBP, asupan makanan dan 5 asupan minuman hewan uji selama 90 hari masa perlakuan dan 28 hari masa reversibilitas. 3. Mengetahui pengaruh pemejanan produk campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg ekstrak daun mimba terhadap parameter hematologi pada hewan uji selama masa perlakuan (90 hari) dan reversibilitas (28 hari). D. Manfaat penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya pada bidang uji praklinik dan pengetahuan tentang uji ketoksikan subkronis. 2. Sebagai bahan informasi dan tambahan masukan untuk percobaan selanjutnya dalam meneliti masalah toksisitas subkronis dari produk campuran ekstrak herba sambiloto dan daun mimba. E. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan botani a. Tanaman Sambiloto 1) Kandungan sambiloto Kandungan aktif dari ekstrak etanolik atau metanolik dari bagian keseluruhan tanaman, daun, dan batang sambiloto adalah lebih dari 20 diterpen dan lebih dari 10 flavonoid. Bagian herba mengandung diterpenoid, flavonoid, dan polifenol sebagai kandungan utama. Andrografolid merupakan diterpenoid utama dan metabolit sekunder dengan kadar paling tinggi (Li dkk., 2007; Chao dan Lin, 2010). Andrografolid merupakan diterpen lakton dengan kadar di herba, 6 batang, dan daun sambiloto berturut-turut 4 %, 0,8-2,1 %, dan 0,5-6 % (Cui dkk., 2004). Andrografolid memiliki aktivitas farmakologi yang beragam. Penelitian Yu dkk. (2013) melaporkan bahwa pemberian andrografolid pada dosis 1,5 mg/kgBB secara peroral menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin dengan meningkatkan penggunaan glukosa dan mnstimulasi transkripsi glucose transporter subtype 4 (GLUT4). Andrografolid juga dilaporkan meningkatkan jumlah sel β dan kadar insulin pankreas pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin (Nugroho dkk., 2014). 2) Kegunaan sambiloto Herba sambiloto telah banyak digunakan di indonesia secara tradisional untuk mengobati beberapa macam penyakit. Manfaat herba sambiloto yang telah diketahui adalah untuk mengobati kencing manis, radang tonsil, kena racun, tifus, demam, gatal-gatal, dan lain-lain. Penggunaannya bisa dalam bentuk tunggal maupun sebagai bagian dari suatu ramuan (Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso, 1996 ) Secara farmakologi sambiloto memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi, anti diabetes, antioksidan, anti diare, anti bakteri, anti fungi, imunostimulator, anti diare, anti malaria, dan hepatoprotektif (Niranjan dkk., 2010). b. Tanaman mimba 1) Kandungan mimba Kandungan dari tanaman mimba dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu isoprenoid dan non isoprenoid. Isoprenoid yaitu diterpenoid dan 7 triterpenoid seperti protomeliacin, limonoid, azadiron dan turunannya, gedunin dan turunannya, dan C-secomeliacins seperti nimbin, salanin, dan azadirachtin. Non isoprenoid diantaranya protein, karbohidrat, senyawa sulfur, polifenol seperti flavonoid, dihidrokalkon, kumarin, tannin (Biswas dkk., 2004). Kandungan pada ekstrak daun mimba yang berfungsi sebagai antidiabetes adalah Quercetin-3-O-b-D-glucoside, Quercetin-3-O-rutinoside, Myricetin-3-O-rutinoside, Kaempferol-3-O-rutinoside, Kaempferol-3-O-b-D- glucoside, Quercetin-3-O-a-L-rhamnoside. Senyawa-senyawa yang terdapat ekstrak daun mimba tersebut membantu dalam pelepasan insulin (Chattopadhyay, 1999) 2) Kegunaan mimba Tanaman mimba mempunyai beberapa kegunaan. Di India tanaman ini disebut “the village pharmacy”, dimana mimba digunakan untuk penyembuhan penyakit kulit, antiinflamasi, demam, antibakteri, antidiabetes, penyakit kardiovaskular, dan insektisida (McCaleb, 1986). Ekstrak daun mimba memiliki aktivitas antipiretik, imunostimulan, antihiperglikemik, antimalaria, antifungi, antibakteri, antivirus, hepatoprotektif, dan antioksidan (Biswas dkk., 2004). Kandungan minyak pada biji mimba menunjukkan efek toksik akut pada tikus dan kelinci dengan LD50 14 ml/kg dan 24 ml/kg, kemungkinan target organ yang terkena efek toksik adalah sistem saraf pusat dan paru-paru (Biswas, 2004). 2. Produk GD Produk GD diproduksi oleh produsen yang bekerjasama dengan Fakultas Farmasi UGM. Produk GD terdiri dari campuran ekstrak herba sambiloto dan 8 daun mimba yang berfungsi dalam membantu menurunkan kadar gula darah. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya kombinasi dari ekstrak herba sambiloto dan daun mimba pada dosis 200 mg/kgBB mampu memberikan efek sinergis dalam menurunkan kadar gula darah pada tikus yang dinduksi aloksan. Dan memberikan efek optimum pada dosis 800 mg/kgBB. Produk GD memiliki komposisi 100 mg ektrak daun mimba dan 50 mg ektrak herba sambiloto dalam satu kapsul. Untuk terapi penggunaannya, diminum 3 x sehari satu kapsul. 3. Toksikologi a. Definisi toksikologi Toksikologi menurut Loomis (1978) adalah ilmu yang mempelajari aksi berbagai zat kimia atau sistem biologi. Menurut pendapat pakar lainnya, yaitu Hodgson (2004) toksikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan racun yang merupakan suatu zat yang memberikan efek berbahaya bagi organisme apabila terpejani secara sengaja atau tidak sengaja. Perkembangan toksikologi sendiri dimulai ketika Paracelcus (1493-1541) menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun; tidak ada satu pun yang bukan racun. Hal yang membedakan antara racun dan obat adalah takaran (dosis) (Doull & Bruce, 1986). Pernyataan ini mengarah pada perkembangan toksikologi modern yaitu toksikologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001). 9 b. Asas umum toksikologi Asas umum toksikologi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya efek toksik. Selain itu, asas umum toksikologi juga digunakan untuk mengevaluasi timbulnya efek toksik, keberbahayaan suatu zat, serta menentukan dan memperkirakan batas keamanan suatu zat (Priyanto, 2009). Berdasarkan peristiwa timbulnya efek toksik, terdapat empat asas utama dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut terdiri dari kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2001). 1) Kondisi efek toksik Kondisi efek toksik merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi suatu senyawa di dalam tubuh yang akan mempengaruhi zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran yang dapat mempengaruhi efek toksiknya (Priyanto, 2009). Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan adalah semua faktor yang menentukan keberadaan suatu senyawa di tempat aksi tertentu dan akan mempengaruhi jumlah serta lama tinggal racun tersebut di dalam tubuh. Sedangkan kondisi makhluk hidup akan mempengaruhi keefektifan antara aksi zat beracun dengan sel sasaran. Pemahaman tentang kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup akan mempermudah dalam mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa (Donatus, 2001). 10 2) Mekanisme efek toksik Keberadaan zat kimia dalam tubuh dapat menimbulkan efek toksik melalui 2 cara, berinteraksi secara langsung (toksik intrasel) dan secara tidak langsung (toksik ekstrasel). Toksik intrasel adalah toksisitas yang diawali dengan interaksi langsung antara zat kimia atau metabolitnya dengan reseptornya. Toksisitas ekstrasel terjadi secara tidak langsung dengan mempengaruhi lingkungan sel sasaran teatapi dapat berpengaruh pada sel sasaran (Priyanto, 2009). Mekanisme efek toksik berguna untuk mengetahui penyebab timbulnya efek toksik yang berkaitan dengan wujud dan sifat efek toksik (Donatus, 2001). 3) Wujud efek toksik Wujud efek toksik suatu racun dapat meliputi perubahan biokimia, fisiologi dan struktural. Perubahan-perubahan tersebut memiliki sifat yang khas yaitu terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Donatus, 2001). Respon perubahan biokimia merupakan perubahan kimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan (Priyanto, 2009). Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor yang terbalikkan, sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2001). Sedangkan perubahan struktural merupakan akibat dari perubahan fungsional atau biokimia (Priyanto, 2009). 4) Sifat efek toksik Sifat efek toksik dapat dibedakan menjadi dua yaitu terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam reseptor tertentu telah habis maka reseptor 11 akan kembali pada keadaan semula, efek toksik yang ditimbulkan akan kembali pada kondisi normal (Priyanto, 2009). Ciri yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga dapat terjadi penumpukan efek toksik ( Priyanto, 2009). Wujud dan sifat efek toksik berguna untuk memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif ketoksikan suatu senyawa dapat dengan mudah dihayati dengan memahami kekerabatan (hubungan erat) antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2001). c. Toksisitas Pengetahuan toksisitas sangat penting dalam pengembangan suatu obat baru guna memastikan keamanannya sebelum dipasarkan dan dikonsumsi oleh konsumen (Donatus, 2001). Ketoksikan dapat dibagi menjadi dua, yakni ketoksikan tak khas dan ketoksikan khas. Ketoksikan tak khas adalah ketoksikan untuk mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis hewan uji. Ketoksikan tak khas dalam hal ini meliputi toksisitas akut, subkronis, dan kronis. Ketoksikan khas adalah ketoksikan untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk ketoksikan khas ini adalah uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji prenatal dan paska natal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku (Loomis, 1978). 12 4. Toksisitas subkronis Toksisitas subkronis adalah ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis bertingkat secara berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Ketoksikan ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spektrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001). Hewan uji yang digunakan paling tidak satu jenis hewan dewasa sehat, baik jantan maupun betina. Jumlah hewan uji yang digunakan, paling tidak 10 ekor untuk masing-masing jenis kelamin dalam setiap kelompok takaran dosis yang diberikan. Takaran dosis yang diberikan dibuat peringkat dosis. Takaran dosis subjek uji tersebut, diberikan sekali sehari selama kurun waktu uji ketoksikan subkronis berlangsung, melalui jalur pemberian sesuai dengan yang akan digunakan oleh manusia (Donatus, 2001). Toksisitas subkronis biasanya digunakan tiga level dosis. Dosis tertinggi yaitu yang dapat menimbulkan ketoksikan namun tidak menimbulkan kematian, sedangkan dosis terendah adalah yang tidak menimbulkan ketoksikan (NOEL) (Hodgson, 2004). Faktor lingkungan kemungkinan dapat berpengaruh pada evaluasi toksisitas, baik secara langsung atau tidak berefek pada kesehatan hewan uji. Suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat menyebabkan reaksi stres. Stres juga disebabkan karena pengelompokkan lebih dari satu hewan uji dalam satu kandang (Hodgson, 2010). Pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan dari ketoksikan subkronis meliputi : 13 1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali. 2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali. 3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari. 4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba. 5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba. 6. Analisis urin paling tidak sekali. 7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba (Loomis, 1978). Hasil ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang tentang efek utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh informasi tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati pada ketoksikan akut, kekerabatan antara kadar senyawa pada darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik (Donatus, 2001). 5. Ketoksikan Subkronis Metode OECD 408 OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) adalah sebuah lembaga multinasional yang bekerjasama di bidang ekonomi dan pembangunan internasional. OECD secara bertahap dan melalui proses revisi secara periodik telah menghasilkan guideline OECD untuk prosedur penelitian. Guideline OECD ditujukan untuk terbentuknya sebuah standar operasional prosedur dalam sebuah penelitian. Adanya guideline yang terstandar maka hasil- 14 hasil penelitian dari berbagai negara dapat dikumpulkan dan dibahas dalam kongres internasional OECD sehingga data-data yang didapat dari penelitian dapat digunakan untuk mendapatkan informasi baru ataupun tambahan untuk revisi data sebelumnya (Anonim, 2008). Guideline OECD 408 menjelaskan secara spesifik mengenai tatalaksana prosedur uji ketoksikan subkronis pemberian dosis 90 hari secara berulang pada tikus yang dapat dipakai sebagai acuan metode penelitian uji ketoksikan, termasuk sebagai acuan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini. Guideline OECD 408 ini dilakukan revisi terbaru pada 21 September 1998 dan memuat informasi yang lebih spesifik berkaitan dengan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ketoksikan subkronis dibandingkan metode uji ketoksikan sebelumnya (Anonim, 2012). Metode OECD 408 mensyaratkan jangka waktu pemejanan bahan uji selama 90 hari dengan hewan uji sejumlah 10/jenis kelamin/kelompok. Jumlah kelompok yang digunakan empat, tiga kelompok dipejani bahan uji dan satu kelompok digunakan sebagai kontrol. Informasi yang dapat diperoleh adalah efek toksik mayor, target organ yang dicurigai, kemungkinan akumulasi, dan estimasi No Observed Effect Level (NOEL). 6. Hematologi Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6-8 %dari berat badan total. Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengatur suhu, dan pemeliharaa keseimbangan cairan asam dan basa (Widmann, 1989). 15 Hematologi merupakan cabang keilmuan yang mengkaji komponen seluler darah dan kelainan fungsional yang terjadi pada sel-sel tersebut. Pemeriksaan hematologi menghasilkan suatu gambaran fungsi organ dan status fisiologinya. Hasilnya dapat digunakan dalam mendiagnosis kelainan maupun kerusakan pada fungsi jaringan atau organ. Adanya kerusakan jaringan atau organ akibat pemejanan suatu zat kimia akan mempengaruhi komponen darah ( Ganong, 1999). Pemeriksaan hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH, MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputineutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Menurut beberapa tenaga kesehatan, tidak semua parameter darah penting untuk diperiksa, hanya beberapa parameter saja yang lebih diutamakan dalam pemeriksaan tertentu ( Feldman dkk., 2000; Ciesla, 2007). a. Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah (RBC) merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Eritrosit mempunyai bentuk bikonfaf memberikan ukuran permukaan yang luas (Underwood, 1999). Fungsi utama dari eritrosit adalah transport oksigen dan karbondioksida untuk ditukarkan dalam kapiler paru-paru (pertukaran gas). Selain itu, fungsi lain dari eritrosit antara lain adalah transport glukosa, homeostasis kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T, dan aktivitas antimikrobial (Morera & MacKenzie, 2011). 16 b. Leukosit Leukosit atau sel darah putih (WBC) merupakan komponen dari sel darah yang berinti pada darah tepi yang berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh dan melindungi tubuh dari infeksi (Underwood, 1999). Pemeriksaan jumlah leukosit penting untuk melihat respon tubuh terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, alergi, imunodefisiensi dan kanker (leukimia dan limfoma). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memonitor respon terhadap kemoterapi, growth factors dan terapi immunosupresif. Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang lebih dari normal disebut leukositosis. Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas pada sel punca seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik. Leukositosis dapat muncul sebagai respon dari infeksi, stress, gangguan inflamasi, atau produksi berlebihan karena leukemia (Naushad & Wheeler, 2012). c. Platelet Platelet merupakan sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak proses fisiologi tubuh seperti hemostasis (pembekuan darah), konstriksi dan perbaikan pembuluh darah, inflamasi pada pembentukan atherosklerosis, bahkan perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Ukurannya yang kecil menyebabkan platelet dapat dengan mudah menuju ujung dari pembuluh 17 darah sasaran dan menempatkan diri pada tempat yang optimal dalam pembuluh darah (Harrison, 2005). Abnormalitas dari jumlah platelet dapat menimbulkan 2 kondisi, yaitu trombositosis apabila jumlahnya melebihi normal, dan trombositopenia apabila jumlahnya kurang dari normal. Berdasarkan penyebabnya, trombositosis dibagi menjadi 2, yaitu trombositosis primer, apabila penyebabnya terletak pada abnormalitas hematopoiesis, dan trombositosis sekunder, apabila penyebabnya merupakan penyebab eksternal seperti xenobiotik, inflamasi kronis, kanker, defisiensi zat besi, dan rebound setelah splenectomy (Skoda, 2009). Penyebab dari trombositopenia lebih banyak dibandingkan trombositosis, antara lain adalah autoimun, obat-obatan seperti heparin dan aspirin, kemoterapi, infeksi dan/atau sepsis, dan splenomegali (Sekhon & Roy, 2005). d. Hemoglobin Hb merupakan molekul protein yang terdapat di dalam eritrosit. Fungsi utama dari Hb adalah pertukaran gas dalam tubuh. Hb berfungsi untuk transport oksigen dari paru-paru menuju seluruh jaringan dalam tubuh. Selain itu, Hb juga dapat mengikat karbon dioksida dari jaringan dan dibawa menuju paru-paru untuk ditukarkan dengan oksigen kembali (Loukopoulos, 2003). Abnormalitas bawaan pada Hb disebut juga hemoglobinopati. Hemoglobinopati ada 2, yaitu anemia sel sabit dan talasemia. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya abnormalitas pada pembentukan senyawa Hb. Pada anemia sel sabit, terdapat abnormalitas pada rantai β dari Hb yang mengakibatkan perubahan struktur dari Hb. Perubahan ini mengakibatkan tekanan oksigen 18 menurun atau peningkatan pH darah kemudian Hb akan membentuk kristal berbentuk sabit dalam eritrosit. Sel sabit ini dapat menyebabkan sumbatan dalam pembuluh darah terutama pada ujung-ujung kapiler darah. Pada talasemia, abnormalitas terletak pada defisiensi sintesis rantai α atau β molekul Hb. Hal ini akan mengakibatkan anemia mikrositik (ukuran eritrosit lebih kecil dari normal) dan hipokromik (jumlah Hb lebih sedikit dari normal). Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit bawaan dan dapat diturunkan (Greenberg & Glick, 2003). e. Hematokrit Hematokrit (Hct) atau PCV menunjukkan presentase sel darah merah terhadap volume darah total. Penurunan nilai hematokrit merupakan indikator anemia, reaksi hemolitik, leukimia, sirosis, dan kehilangan banyak darah. Nilai hematokrit meningkat pada eritrositosis, polisitemia, dehidrasi, syok, dan gangguan paru-paru kronik. Adanya infeksi oleh bakteri juga dapat mempengaruhi nilai hematokrit. Adanya gangguan pada hati, gagal ginjal kronik dan tukak lambung dapat mempengaruhi kadar hematokrit (Anonim, 2011). f. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin & Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration Mean corpuscular volume atau MCV merupakan suatu nilai yang menunjukkan rata-rata dari volume eritrosit. MCV menunjukkan kenormalan ukuran sel darah merah tunggal. MCV dihitung dengan membagi nilai hematokrit (%) dengan jumlah eritrosit kemudian dikalikan 10. Nilai normal MCV pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson dan Pincus, 2011). Nilai MCV rendah mengindikasikan mikrositik (ukuran eritrosit kecil), nilai MCV normal 19 mengindikasikan normositik (ukuran eritrosit normal), dan nilai MCV tinggi mengindikasikan makrositik (ukuran eritrosit besar) (Curry & Staros, 2012). Mean corpuscular hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang menunjukkan berat Hb rata-rata didalam sel darah merah. MCH tidak diukur secara langsung tetapi dihitung dengan membagi konsentrasi Hb dan eritrosit dengan rumus : MCH = Hb (g/L) / RBC (1012/L) (Anonim,2011). Nilai MCH normal pada manusia dewasa sehat adalah 27-33 pg (MCPherson & Pincus, 2011). MCH dapat digunakan untuk menentukan tipe anemia hipokromik (nilai Hb rendah), normokromik (nilai Hb normal) dan hiperkromik (nilai Hb tinggi). Nilai MCH dapat berubah tergantung dari nilai MCV karena volume sel dapat mempengaruhi konten dari Hb yang terdapat dalam sel (Litchman dkk., 2010). Mean corpuscular hemoglobin concentration atau MCHC merupakan suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu volume eritrosit. Nilai MCHC dihitung dengan menggunakan konsentrasi Hb dan Hct dengan rumus : MCHC = Hb (g/dL) / Hct (L/L). Nilai normal MCHC pada manusia dewasa sehat adalah 33-36 g/dL (McPherson & Pincus, 2011). MCV, MCH dan MCHC merupakan indikator dari eritrosit yang umum digunakan untuk diagnosis diferensial dari anemia (Lichtman dkk., 2006). Secara umum, anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi menjadi 3,yaitu anemia mikrositik-hipokromik (nilai MCV dan MCH rendah), anemia makrositik (nilai MCV tinggi), dan anemia normositik-normokromik (nilai MCV dan MCH normal). Penyebab dari ketiga penyakit tersebut berbeda-beda. Penyebab umum dari anemia mikrositik-hipokromik antara lain defisiensi besi, penyakit kronis, 20 talasemia dan anemia sideroblastik. Penyebab umum dari anemia makrositik antara lain defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, penyakit liver, anemia hemolitik, hipotiroidisme, peminum alkohol berat, anemia aplastik dan sindrom myelodisplastik. Penyebab umum dari anemia normositik-normokromik antara lain penyakit kronik, pendarahan akut, anemia hemolitik, penyakit ginjal, dan anemia aplastik (McPherson & Pincus, 2011). Selain karena penyebab-penyebab penyakit di atas, nilai MCV, MCH dan MCHC dapat berubah karena faktor lain. Nilai MCV dapat meningkat karena adanya aglutinasi eritrosit atau hiperglikemia yang menyebabkan eritrosit mengalami peningkatan volume. Nilai MCH dan MCHC dapat berubah karena adanya hiperlipidemia yang dapat mengganggu pengukuran kedua parameter tersebut (Greer dkk., 2009). F. Landasan Teori Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai adanya hiperglikemik kronis yang dapat mengganggu metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang dapat mempengaruhi sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (WHO, 1999). Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Ness) dan Mimba (Azadirachta indica A.Juss) merupakan dua tanaman obat di Indonesia yang berkhasiat sebagai antidiabetes. Kandungan pada sambiloto yang berfungsi sebagai antidiabetes adalah andrografolid, sedangkan pada mimba yaitu kandungan flavonoid. Pada mimba memiliki kandungan zat toksik yaitu azadirachtin yang ditemukan pada minyak biji mimba. Namun pada penelitian 21 yang dilakukan oleh Kumar dkk. (2009) tentang evaluasi potensi spermisida pada sambiloto menunjukkan bahwa adanya 14-deoxyandrographolide yang merupakan turunan andrographolide, pada konsentrasi 200 µg/mL menyebabkan kematian sperma. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan uji farmakologi pada kombinasi ekstrak herba sambiloto dan daun mimba terhadap tikus yang diinduksi dengan aloksan. Hasil penlitian menunjukkan terjadi penurunan kadar gula darah yang bermakna. Kombinasi kedua ekstrak tersebut dilakukan untuk meningkatkan efek farmakologinya (Nugroho, 2014). Potensi ketoksikan akut telah diketahui dari hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi ekstrak tersebut tidak toksik sampai pada rentang batas keamanan 5000mg/kgBB. Perlu dilakukan uji toksisitas subkronis berkaitan dengan terapi diabetes dibutuhkan waktu yang relatif lama dan juga berkaitan dengan hasil peneletian terdahulu yang menunjukkan adanya potensi menyebabkan kematian sperma. Evaluasi toksisitas subkronis ini bertujuan untuk mengetahui potensi ketoksikan kombinasi eksrtak herba sambiloto dan daun mimba setelah 90 hari masa perlakuan, dan untuk melihat paparan lebih jauh dilihat dari parameter hematologi. 22 G. Hipotesis Produk GD yang berisi campuran 50 mg ekstrak herba sambiloto dan 100 mg daun mimba mengandung senyawa andografolid dan flavonoid yang berkhasiat sebagai antidiabetes dan diduga tidak toksik dalam hal ketoksikan subkronis pada tikus jantan Wistar selama 90 hari perlakuan ditinjau parameter purata kenaikan berat badan (PKBP), asupan makanan dan minuman, serta parameter hematologi.