wawasan

advertisement
wawasan
REPUBLIKA RABU, 7 DESEMBER 2011
28
FOTO-FOTO: AMUHAMMAD FAKHRUDDIN/REPUBLIKA
PROF FIRMANZAH PHD
GURU BESAR TERMUDA UI
Guru Besar
Harus Turun
ke Bawah
lmu harus bisa diamalkan. Prinsip inilah yang selalu dicamkan Prof Firmanzah
PhD, dalam dirinya ataupun untuk ditularkan kepada mahasiswanya. Citra guru
besar yang kolot dan selalu berada di atas menara gading coba diubahnya. Seorang akademisi apa pun tingkatannya, harus dapat membantu dan menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat.
Dalam wawancara dengan wartawan Republika Muhammad Fakhruddin, Firmanzah banyak menyampaikan gagasannya, terkait dengan kesiapan menghadapi ASEAN
Single Market. Berikut petikan wawancaranya.
I
Apa yang ingin Anda terapkan di
dunia pendidikan di Indonesia?
Pendidikan yang mengangkat nilai-nilai tanggung jawab. Sering saya
sampaikan kepada mahasiswa dan
rekan dosen bahwa tanggung jawab,
peran, dan tugas kita tidak hanya dibatasi oleh dinding-dinding kampus.
Tapi, se-Indonesia ini menjadi tanggung jawab bersama. Kita mengampu
universitas yang ada di daerah, kita
ada desa binaan, Dan, salah satu yang
tengah kami rintis adalah bekerja
sama dengan pesantren-pesantren. Ini
juga bagian dari dakwah.
Dakwah seperti apa yang dimaksud?
Dakwah menurut saya caranya
bermacam-macam. Menjadi pedagang
yang jujur juga bagian dari dakwah.
Menjadi pendidik kalau kita niatkan
untuk berdakwah, paling tidak harapannya lapisan grassroot bisa terangkat. Kita punya kerja sama dengan
Harvard, tapi kami juga pingin kerja
sama dengan pesantren. Menurut
saya, ini harus menjadi program nasional. Pemerintah dan seluruh universitas yang ada di Indonesia harus
masuk ke situ.
Mengapa pesantren yang dipilih?
Karena pesantren itu struktur masyarakat asli kita. Pesantren juga merupakan buffer yang tidak masuk ke
pendidikan formal. Kalau pesantren
tidak kita bekali untuk masuk ke
dunia kerja, pilihan santri untuk masuk ke dunia kerja semakin terbatas.
Pesantren ini struktur yang belum
tersentuh.
Saya rasa KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) itu belum
menyentuh masyarakat pesantren.
Kita jangan melupakan struktur asli
kita. Kalau ditinggalkan, kita akan
terasing dari masyarakat kita sendiri.
Kita banyak mengadopsi pemikiran
ekonomi dari Amerika, Eropa, dan
Australia, padahal lapisan
masyarakat kita berbeda sama sekali
dengan di sana.
Praktiknya seperti apa?
Ini menjadi tanggung jawab kita
bersama. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, misalnya, akan bekerja
sama dengan Nahdlatul Ulama untuk
melatih kewirausahaan di kalangan
pesantren. Saya membayangkan di
pesantren itu ada balai latihan kerja,
misalnya servis handphone, radio,
buka salon, dan pelatihan tata boga.
Saya juga ingin mengajak kampus
lain.
Di tengah gempuran ekonomi regional
dan global, apakah bangsa kita masih
memiliki daya saing?
Kita masih bersyukur, Badan Pusat
Statistik (BPS) mengeluarkan rilis
terakhir pada triwulan ke-3 ini yang
menyatakan perekonomian kita bisa
tumbuh 6,5 persen. Meskipun
demikian, kontribusi
pertumbuhannya lebih banyak dari
sektor perdagangan, hotel, restoran,
dan jasa. Tetapi, jika dibandingkan
dengan negara lain, kita masih bisa
bersyukur dengan pertumbuhan
ekonomi tersebut walaupun masih
ada sejumlah pekerjaan rumah. Antara lain, perlu adanya pemerataan
ekonomi sebab pertumbuhan ekonomi
masih tetap terpusat di Pulau Jawa.
Selain itu, lapisan entrepreneur kita
juga perlu dibesarkan.
Bagaimana menjaga agar perekonomian kita tetap tumbuh sehingga dapat
mengantisipasi pertumbuhan ekonomi
regional?
Sebenarnya, saya sangat fokus
pada perubahan Otoritas Jasa keuangan (OJK). OJK ini tidak main-main.
Penggabungan antara Direktorat Pengawasan Perbankan Bank Indonesia
dan Bapepam LK menjadi Otoritas
Jasa Keuangan harus kita kawal
bersama. Karena kapitalisasi di pasar
modal dan dana pihak ketiga yang
ada di perbankan, luar biasa besarnya. Praktis, ini menjadi urat nadi
perekonomian kita. Saat ini kita tengah berbenah diri, kalau tidak ada
persiapan pada masa transisi ini,
khawatir pada 2015 ketika OJK itu
diterapkan maka akan kedodoran di
Industri. Selain itu juga, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang baru disahkan kemarin perlu
dikawal karena implementasi BPJS
itu juga bukan perkara mudah.
Politik di Indonesia sudah mulai memanas menjelang Pemilu 2014, akan banyak agenda politik yang akan menyita
perhatian, apakah pembangunan ekonomi dapat terabaikan?
Jangan sampai hiruk-pikuk dan
kegundahan politik mengurangi kinerja pembangunan ekonomi, baik di
pusat maupun daerah. Tahun depan,
rasanya akan banyak deklarasi calon
presiden, tapi bagaimana pembangunan ekonomi ini tetap jalan. Banyak agenda nasional untuk tiga
tahun ke depan, yakni OJK, BPJS.
Dengan adanya pemilu, energi kita
akan terbagi-bagi. Padahal, persiapan
untuk penerapan OJK waktunya sa-
Kuncinya Banyak Membaca
enjadi dekan termuda, kemudian menjadi guru besar
termuda di Universitas Indonesia merupakan prestasi
akademik yang dicapai Firmanzah (35 tahun). Menjadi
guru besar pada usia 34 tahun, tetap membuatnya
rendah hati dan mau menerima masukan dari siapa pun, terutama mahasiswa.
Ketika Republika menemui di kantornya di ruang Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Fiz –panggilan akrab Firmanzah – sedang menandatangani sertifikat pelatihan entrepreneurship untuk mahasiswanya. Bagi wisudawan teladan Departemen
Manajemen, FE UI tahun 1998 ini, waktunya kini dihabiskan untuk
mengabdi kepada almamater, bangsa, dan negaranya.
Peraih gelar doctor dari University of Pau et Pays de I’ Adour,
Prancis, ini tidak pernah membayangkan bisa menjadi dekan,
apalagi guru besar universitas ternama di Indonesia, di usia mudanya. Meski demikian, persoalan usia muda bukanlah titik jual
mengapa ia terpilih. Dia memiliki pengalaman praksis yang solid
dengan catatan akademiknya yang baik.
Selepas lulus program doktoralnya, Fiz kembali ke Indonesia
atas permintaan Dekan FE UI saat itu, Prof Bambang Permadi
Soemantri Brodjonegoro. Tiga tahun setelahnya, tepatnya pada
14 April 2008, Fiz mengukir sejarah di almamaternya. Dia terpilih
sebagai dekan FE UI menggantikan Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Dengan begitu, Fiz menjadi dekan termuda
di Universitas Indonesia.
Pria kelahiran 7 Juli 1976 ini merupakan anak kedelapan dari
sembilan bersaudara. Dia terlahir di keluarga sederhana dengan
ibu Kusweni yang buta huruf dan ayah Abdul Latief. Bagi alumnus
SMPN 12 Surabaya ini, banyak membaca merupakan cara untuk
mencari jawaban dan menyejajarkan diri dengan guru besar yang
lebih senior darinya. “Kuncinya banyak membaca,” kata Fiz.
Karena itu, Fiz menjadikan perpustakaan sebagai tempat favoritnya. Terlebih ketika dia masih kuliah Prancis. ‘’Saya menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua saya. Saya belajar,
makan, minum, dan tidur di sana,’’ kata Fiz.
Bahkan, di perpustakaan, Fiz sering membawa kasur gulung.
‘’Kasur itu saya bawa kalau saya bosan tidur di sofa,’’ kisahnya.
Di perpustakaan itu, pria yang hobi membaca tersebut pernah
menginap hingga tiga hari. Hanya untuk membaca, mengetik, dan
M
mengerjakan tugas kuliah. ‘’Saya hanya keluar untuk mandi,
makan, dan ibadah,’’ terangnya.
Tidak heran, dengan segala perjuangan kerasnya itu, Fiz mampu menyelesaikan program S-2 dan S-3 sekaligus dalam waktu
3,5 tahun. Setahun sebelum kembali ke Tanah Air, Fiz mengajar
S-3 di University of Pau et Pays de l’Adour, Prancis.
Pria yang gemar menonton film tersebut mengatakan, kebiasaan membaca itu terbawa hingga sekarang. Selain membaca,
Fiz gemar menulis artikel dan buku. Sudah puluhan artikel yang
termuat di media masa. Selain itu, sudah tujuh buku yang diterbitkan. Di antaranya, The Spirit of Change yang terbit pada 2006;
Globalisasi: Sebuah Proses Dialektika Sistemis pada 2007; Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas pada 2007, Mengelola Partai Politik: Persaingan dan Positioning Ideologi Politik
pada 2008, dan terakhir, Greem Marketing: Konsep, Penerapan,
dan tantangan untuk Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
■ muhammad fakhruddin ed: joko sadewo
ngat sempit sampai 2015.
Masa transisi ini jadi krusial karena banyak persoalan internal yang
harus diselesaikan. Misalnya,
bagaimana harmonisasi kebijakan sistem prosedur kepegawaian antara
Bapepam LK dan Bank Indonesia.
Sistem penggajian, remunerasi, dan
pembagian kerja. Selain itu,
penyiapan sistem database, kemudian
harmonisasi kebijakan dan peraturan
yang pernah dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan BI dan kebijakan
yang pernah dikeluarkan oleh
Bapepam LK.
Apakah proses pembenahan ini bisa
berjalan mulus dan tidak terpengaruh iklim politik yang mulai memanas ini?
Pengalaman di korporasi, misalnya, merger antara Bank Mandiri dan
Bapindo saja prosesnya cukup melelahkan. Yang terakhir, marger antara
Bank Niaga dan Bank Lippo yang
belum semuanya terintegrasi, masih
ada kerjaan yang belum terselesaikan.
Nah itu yang steril dari kekuatan
politik. Idealnya, harus steril dari
kekuatan politik, tetapi apa iya bisa?
Mudah-mudahan penggabungan antara Diretorat Pengawasan BI dan
Bapepam LK bisa steril dari kekuatan
politik, paling tidak aktor-aktor politiknya bisa melihat tujuan yang lebih
strategis dan keamanan investor
harus lebih terlindungi dan stabilitas
politik juga perlu tetap dijaga.
Saat ini bangsa kita tengah berada
dalam masa transisi, apa sumbangsih
kalangan akademisi untuk mengawal
masa transisi ini?
Produk yang dihasilkan dari kalangan akademisi adalah hasil penelitian dan kajian. Kita memberikan
masukan berdasarkan hasil studi, misalnya bagaimana struktur organisasi
OJK dan BPJS yang efektif dan
efisien.
Kemudian, arsitektur pengelolaan
jasa keuangan ke depannya untuk
menghadapi ASEAN Single Market
pada 2015. Jangan sampai energi nasional habis untuk aktivitas politik saja. Kalau fokus pada politik saja kita
bisa prediksi dari sekarang. Tahun depan sudah deklarasi capres, kemudian
2013 full untuk pendataan calon legislatif di pusat dan daerah, sementara
pemilukada di sejumlah daerah tetap
jalan. Kalau pada 2014 presiden baru
terpilih dan dua bulan kemudian
kabinet dilantik, persiapan kabinet
baru untuk menghadapi ASEAN Single Market hanya tinggal dua bulan.
Yang harus menjadi peringatan
bahwa jangan sampai ketidaksiapan
kita saat ASEAN+China Free Trade
Agreement pada Januari 2010 terulang lagi. DPR ketika itu baru teriakteriak tentang ASEAN+China Free
Trade Agreement sejak Desember
2009, akhirnya pada Januari-Februari, asosiasi mengeluhkan. Belajar
dari situ, mulai sekarang kita harus
menyadari ada pekerjaan besar selain
pekerjaan politik.
Belum lagi liberalisasi pasar tenaga kerja yang juga diterapkan pada
2015. Akuntan, dokter, dan perawat
nantinya merupakan profesi yang
akan diliberalisasi. Jangan sampai
ketika pasar tenaga kerja dibuka kemudian tenaga kerja asal Malaysia,
Singapura, dan Filipina menggeruduk
ke sini, kita baru sadar. Karena itu,
mumpung masih tiga tahun lagi, kita
harus mengantisipasinya.
Apa yang perlu dipersiapkan menghadapi ASEAN Single Market?
Kesiapan menghadapi ASEAN
Single Market harus mulai dari
tingkat nasional, industri, perusahaan, hingga tingkat individu. Di
tingkat nasional, infrastruktur harus
terus dibenahi, misalnya pelabuhan,
jalan, dan ketersediaan listrik. Selain
itu, juga pembangunan infrastruktur
nonfisik, seperti pembuatan peraturan, pembenahan, dan perizinan.
Bagaimana kesiapan kita?
Kementerian Perindustrian dan
Kementerian Perdagangan harus
duduk bersama, apalagi menterinya
baru diganti. Sebab, kedua kementerian ini saling berkaitan. Industri ada
di hulu, sedangkan perdagangan ada
di hilir. Perlu ada buka tutup, mana
komoditas yang dibuka keran ekspor
dan impornya sangat bergantung
kedua kementerian ini. Kapan impor
garam kita buka dan kapan impor
garam kita tutup, bergantung dari
industri.
Jadi, perdagangan tidak bisa berjalan sendirian, begitu juga perindustrian sebab pasokan row materialnya
sangat bergantung kebijakan di
perdagangan.
Bagaimana sinergi ini juga
berdampak luas bagi usaha kecil dan
menengah?
Idealnya, Kementerian Perindustrian menggandeng Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
agar kemitraan antara industri besar,
menengah, dan kecil itu bisa terjalin.
Kemitraan ini sebenarnya sudah terjalin, tetapi belum pada skala yang
masif dan produktif. Saya katakan
belum masif karena belum menjadi
gerakan nasional. Belum produktif
karena banyak dana bina lingkungan
atau corporate social responsibility
(CSR) hanya bersifat charity atau kedermawanan saja. Padahal, yang diharapkan adalah bagaimana perusahaan besar membina yang menengah
dan kecil untuk terlibat dalam proses
produksi. Misalnya, membina industri
kecil untuk bisa mereparasi pendingin
ruangan dalam instalasi pabrik atau
kantor. Sehingga keterampilan itu
bisa terus dipakai.
■ muhammad fakhruddin ed: joko sadewo
Download