dampak kebijakan pembangunan pertanian

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
TRI WAHYU NUGROHO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam tesis saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA”,
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2006
Tri Wahyu Nugroho
NRP. A151030091 / EPN
ABSTRAK
TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian
terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua
dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Kebijakan pemerintah yang diterapkan di sektor pertanian memberikan
peluang bagi peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan para pelaku
yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Dampak
kebijakan pembangunan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan selama
ini perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil kebijakan
pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah
tingginya tingkat kemiskinan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan
pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk
menjawab tujuan tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun
model sistem persamaan simultan dengan pendugaan menggunakan metode 2SLS.
Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi
skenario kebijakan yang relevan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan di
perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil,
peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan belanja pemerintah di sektor jasa
dan peningkatan stok pangan nasional. Hasil parameter dugaan menunjukkan
pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Sementara
itu, kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan kebijakan
peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja pemerintah
di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian, sedangkan
inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh posit if terhadap peningkatan angka
kemiskinan di pedesaan.
Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit
pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2 persen
merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap
pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini
membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan,
yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi
sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.
Kata kunci : pertanian, pembangunan, kebijakan dan kemiskinan
ABSTRACT
TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Impact of Agricultural Development Policy on
Poverty Reduction in Indonesia (ARIEF DARYANTO as Chairman, and D.S.
PRIYARSONO as Members of the Advisory Committe)
Government policy applied in agricultural sectors, giving opportunity for
welfare improvement and poverty reduction of all perpetrator in concerned
agricultural sector directly and also indirectly. Impact of agriculture development
policy on poverty reduction during the time it is important to know and evaluated, so
that necessary action can be taken a strategic agriculture development policy and able
to become solution about height problem of poverty level.
This study aims at analyzing the impact of agricultural development policy on
poverty reduction in Indonesia. To reach this objective, a simultaneous equations
model is constructed and estimated using the 2SLS method. Simulations of a set of
policy scenarios are undertaken based on estimeted parameters of the model.
The result of this research show that urban poverty can to reduced by
improvement policy of real wage rate, improvement of economic growth, goverment
expenditure in service sector and improvement of nasional food stock. Furthermore,
rural poverty can be depressed by improvement of real wage rate, economic growth,
goverment expenditure on agriculture, price of agriculture commodity and
improvement of agricultural production. While for the economic crisis and inflation
give positive influence to poorness number improvement in rural.
Policy combination to increase of areal agriculture and credit improvement
each 10 percent, and also degrade rate of interest equal to 2 percent representing
policy combination giving biggest influence to poverty reduction, that is equal to 4.30
percent. This Policy combination bring influence for poverty reduction in rural, that is
equal to 4.66 percent. This policy combination also able to push production of equal
to 5.01 percent and repair of agriculture commodity price equal to 1.97 percent.
Keywords : agriculture, development, policy and poverty
DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Oleh :
TRI WAHYU NUGROHO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul Penelitian
: Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia
Nama
: Tri Wahyu Nugroho
Nomor Pokok
: A. 151030091
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.
Ketua
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS.
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.
Tanggal Ujian : 18 Mei 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus : ........................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian
dengan judul : Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Secara umum studi ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan
kemiskinan. Hasil penelitian ini mampu mendeteksi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga
diperoleh hasil pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis
khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
Arief Daryanto, M.Ec. dan
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan yang konstruktif.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Isang Gonarsyah selaku
penguji dan Prof. Bonar M. Sinaga selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian yang telah memberikan arahan yang membangun. Di samping itu,
ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan juga kepada kedua
Orang Tua, Kakak dan Adik atas do’a, restu dan kasih sayangnya. Serta tak lupa
kepada dik Haning, terima kasih atas kesetiaan dan kesabaranmu menunggu.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada rekan-rekan Tim Hibah
Pascasarjana, teman-teman EPN angkatan 2003, serta semua pihak yang telah
membantu dalam bentuk bahan pendukung penelitian, saran dan waktu untuk
berd iskusi, sehingga karya ini bisa terselesaikan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2006
Tri Wahyu Nugroho
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 18 Mei 1979 sebagai anak ketiga
dari empat bersaudara, anak pasangan Koesnanto, SPd. dan Astuti Hariniwati.
Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati, Magetan, Jawa
Timur dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Pada
tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (jenjang
Magister) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis aktif
di Forum Wacana Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Pada saat ini penulis
menjadi staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Brawijaya Malang.
© Hak cipta milik Tri Wahyu Nugroho, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... IV
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. V
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. VI
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah Penelitian ............................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 9
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11
2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian ....................................................... 11
2.1.1. Kebijakan Harga.......................................................................... 12
2.1.2. Kebijakan Pasar ........................................................................... 16
2.1.3. Kebijakan Input ........................................................................... 16
2.1.4. Kebijakan Perkreditan ................................................................. 19
2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ................................................. 19
2.1.6. Kebijakan Reformasi Agraria...................................................... 20
2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian ................................................... 22
2.1.8. Kebijakan Irigasi ......................................................................... 23
2.2. Kemiskinan ........................................................................................... 23
2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi.................................................... 30
2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional .......................................... 30
2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga................................................... 35
2.3.3. Ekspor – Impor............................................................................ 36
2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter .................................................... 40
2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan .41
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu .................................................................... 43
III.
METODE PENELITIAN............................................................................ 45
3.1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 45
3.2. Hipotesis P enelitian ............................................................................... 47
3.3. Sumber Data .......................................................................................... 48
3.4. Spesifikasi Model.................................................................................. 48
3.5. Prosedur Analisis .................................................................................. 64
3.5.1. Identifikasi Model ....................................................................... 64
3.5.2. Metode Pendugaan Model........................................................... 66
3.5.3. Validasi Model ............................................................................ 67
3.5.4. Simulasi Model ........................................................................... 68
IV. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN ............................. 71
4.1. Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia........................................... 71
4.1.1. Masa Orde Lama......................................................................... 72
4.1.2. Masa Orde Baru .......................................................................... 74
4.1.3. Masa Orde Reformasi ................................................................. 79
4.2. Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia ..................... 81
4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian.................................... 81
4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian ............................................. 87
4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian .............. 89
4.2.4. Kontribusi Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap
Pembangunan Ekonomi .............................................................. 98
4.3. Kemiskinan di Indonesia..................................................................... 100
4.4. Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan ...................... 102
V.
ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN
PENGENTASAN KEMISKINAN ............................................................ 105
5.1. Analisis Umum Pendugaan Model...................................................... 105
5.2. Dugaan Parameter Persamaan Stuktural............................................. 107
5.2.1. Produksi Pertanian .................................................................. 107
5.2.2. Investasi Pertanian .................................................................. 109
5.2.3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian ............................................... 111
5.2.4. Harga Komoditas Pertanian .................................................... 112
ii
5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian .................................................. 114
5.2.6. Impor Komoditas Pertanian .................................................... 115
5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan ........................................................ 117
5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan ......................................................... 119
5.2.9. Stok Pangan Nasional ............................................................. 121
5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ................................. 122
5.2.11. GDP Sektor Pertanian............................................................. 123
5.2.12. Penerimaan Pemerintah .......................................................... 125
5.2.13. Pajak Total .............................................................................. 126
5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian .................................................... 127
5.2.15. Penawaran Uang ..................................................................... 128
5.2.16. Inflasi...................................................................................... 129
5.2.17. Kemiskinan Total ................................................................... 131
5.2.18. GDP Total............................................................................... 131
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ...................................................... 133
6.1. Validasi Model .................................................................................... 133
6.2. Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan
Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ..... 135
6.3. Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian
dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan
Kemiskinan .................................................................................... .....141
VII.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................... 147
7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 147
7.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................ 150
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 152
LAMPIRAN ............................................................................................... 156
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Indikator Kemiskinan Indonesia ....................................................................7
2.
Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001....................... 71
3.
Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian ........................................ 88
4.
Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V
(Tahun 1992) .............................................................................................. 92
5.
Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia .................... 99
6.
Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya............... 102
7.
Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian ........................................ 107
8.
Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian ......................... 109
9.
Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian...................111
10.
Hasil Pendugaan Para meter Harga Komoditas Pertanian .......................... 112
11.
Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian ......................... 114
12.
Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian .......................... 115
13.
Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan .............................. 117
14.
Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan ............................... 119
15.
Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional ................................... 121
16.
Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ........ 122
17.
Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian ................................... 123
18.
Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah................................. 125
19.
Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total .................................................... 126
20.
Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian........................... 127
21.
Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang ........................................... 128
22.
Hasil Pendugaan Parameter Inflasi ............................................................ 130
23.
Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan
Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan ........................................... 134
24.
Dampak Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan
Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata
Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003........................................... 136
25.
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian
dan Beberapa Indikator Ekonomi Lainnya Terhadap Perubahan Nilai
Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003 .............................. 142
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 .............................................. 5
2.
Dampak Stabilisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap
Kesejahteraan................................................................................................14
3.
Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap
Hasil Panen Padi.......................................................................................... 17
4.
Kurva Kuznets Berbentuk “U” Terbalik ...................................................... 28
5.
Keterkaitan Beragam Faktor dalam Lingkaran Setan Kemiskinan .............. 29
6.
Keseimbangan Perekonomian ...................................................................... 32
7
Dampak Tarif Impor.................................................................................... 38
8
Pengenaan Pajak Ekspor.............................................................................. 39
9.
Alur Pemikiran Penelitian ............................................................................ 46
10.
Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian...................................................63
11.
Tahapan : Langkah-langkah dan Umpan Balik dalam Penelitian
Ekonometrika .............................................................................................. 65
12.
Garis Waktu Peramalan................................................................................ 68
13.
Jumlah Penduduk Indonesia di Bawah Garis Kemiskinan .........................101
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Program Model Pembangunan Pertanian dan Peng entasan Kemiskinan
di Indonesia ................................................................................................ 157
2.
Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia....................................................... 160
3.
Program Validasi Model dan Simulasi Dasar............................................ 176
4.
Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar........................................ 178
vi
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang komplek s, karena
melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara
berkembang modifikasi kebijakan telah dilakukan secara besar-besaran.
Kebijakan merupakan kontrol pemerintah, dan besarnya intervensi dari kebijakan
tersebut merupakan keleluasaan pemerintah atas hajat hidup orang banyak,
khususnya terhadap mata pencaharian masyarakat (Ellis, 1992).
Indonesia
sebagai
negara
yang
sebagian
besar
penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani, sudah selayaknya mengarahkan kebijakan
pembangunan untuk meningkatkan dan memperkokoh sektor pertanian. Modal
sumberdaya manusia di sektor peretanian yang melimpah di Indonesia seharusnya
mampu dijadikan sebagai modal penting dalam pembangunan ekonomi yang
berbasiskan pertanian. Trasformasi struktural dalam pembangunan ekonomi
Indonesia yang diarahkan pada pembangunan industri berbasis teknologi tinggi
sebagai sektor unggulan, mengakibatkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian
terserap ke sektor industri dan jasa, meskipun tenaga kerja yang dipakai tersebut
adalah tenaga kerja yang tidak siap pakai untuk sektor industri. Maka, hal ini
berakibat semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian (Prawira, 2004).
Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini
tentunya membawa pengaruh terhadap perekonomian sebagian besar masyarakat.
Pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pemerintah selama ini,
tentunya membawa konsekuensi baik yang positif maupun negatif. Secara umum
2
apabila kita cermati kebijakan pemerintah sejak masa orde baru, maka seharusnya
pertanian merupakan sektor penopang dalam pembangunan perekonomian secara
menyeluruh, namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama satu dekade tarakhir
sektor pertanian mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan
sektor jasa dan manufaktur. Proses transformasi struktural yang diharapkan
dengan meletakkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian justru
ditinggalkan.
Jumlah penduduk Indonesia menurut Rajasa (2002), cenderung meningkat
dari 206 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2002,
dapat menimbulkan beberapa permasalahan pokok seperti ketersediaan pangan,
papan, jaminan kesehatan, dan kelestarian sumberdaya alam. Khusus dalam
bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi
pangan/pertanian yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga
masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di
pasar lokal maupun internasional, dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang
jauh dari memadai.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa sektor pertanian kita belum menjadi
primadona atau andalan dalam proses pembangunan bangsa demi kesejahteraan
rakyat banyak. Maksudnya adalah bahwa sektor pertanian kita belum memiliki
kemampuan
untuk
mengembangkan
atau
mendayagunakan
keunggulan
komparatif yang dimilikinya.
Dalam paradigma ekonomi pembangunan, sebenarnya telah diketahui
secara luas bahwa terdapat paradoks pembangunan (development paradox) yang
sangat mengganggu. Negara-negara maju, yang mengandalkan industri, yang
3
berteknologi tinggi, yang memiliki tingkat penghasilan per kapita sangat besar
umumnya memproteksi petaninya, yang hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan
negara-negara miskin yang berbasis pertanian seperti Indonesia justru tidak
berp ihak terhadap petaninya sendiri, sehingga kemiskinan yang terjadi khususnya
di sektor pertanian menjadi semakin bertambah.
Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah
menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia, yang berlangsung sekitar 30 tahun telah
berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara signifikan. Mulai tahun
1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 50
persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai pertengahan 1997, angka
kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus prestasi tersebut, dan membuat
upaya pengentasan kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk
dilaksanakan dengan serius (Sumarto, et al, 2004).
Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti
buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan modal,
kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebab kan masyarakat miskin
hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit
untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat
ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang memiliki
4
resiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan
keberlanjutannya.
Tingginya jumlah pekerja di sektor kurang produktif berakibat pada
rendahnya pendapatan, sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada
pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (nearly poor). Data
Sakernas menunjukkan tingginya angka setengah pengangguran (bekerja kurang
dari 35 jam per minggu) yang mencapai 31.4 persen pada tahun 2003.
Berdasarkan sektor usaha, pekerja setengah pengangguran tersebut sebagian besar
bekerja di sektor pertanian yang terdapat di perdesaan. Jumlah pekerja informal
terus meningkat sejak adanya krisis, dari 58.5 juta pada tahun 2001 meningkat
sebesar 1.5 juta (1 juta d i daerah perdesaan dan 0.5 juta di perkotaan) sehingg a
pada tahun 2002 menjadi 60 juta. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 1.2 juta (0.5
juta di daerah perdesaan dan 0.7 juta perkotaan) sehingga jumlah total menjadi
61.2 juta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya pangsa lapangan kerja di
sektor pertanian dari 40.1 persen tahun 1997 menjadi 43.3 persen tahun 2001,
disertai dengan menurunnya pangsa lapangan kerja bergaji dari 35.5 persen tahun
1997 menjadi 33.3 persen tahun 2002, dan menurunnya lapangan kerja di sektor
manufaktur dari 2.8 persen pada periode 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada
periode 1998-2001 (Bappenas, 2005).
Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa
saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya
posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang
merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan
yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat
5
lemah dalam hal terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan.
Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya
perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.
Tidak Bekerja (%)
Bekerja di Industri (%)
Bekerja di bidang Jasa (%)
Bekerja di Pertanian (%)
41.1
42.7
57.1
3.2
37.9
26.9
30.3
53.7
39.8
30.6
55.0
45.8
26.1
58.5
57.4
55.5
25.8
30.4
58.6
55.5
26.4
26.3
58.9
29.2
45.2
20%
33.2
64.0
77.5
89.7
40%
84.9
60%
59.6
22.0
22.6
65.9
65.2
22.4
26.5
67.2
66.3
17.4
21.4
68.6
67.5
17.7
22.4
68.7
20.6
19.1
73.7
73.2
69.7
16.1
16.9
75.5
74.3
16.0
18.5
80%
75.6
9.1
7.2
100%
Ri
Su
au
ma
ter
Ka a Se NAD
lim lata
an
n
tan
Ba
rat
M
a
Ka luku NTB
lim
an Utar
tan a
Tim
Ka
ur
lim
an
tan Ja
Se mb
lat i
Ja an
Su wa
m Tim
ate
ra ur
U
Ja
wa tara
Su Te
m nga
ate h
ra
Ba
rat
DI
Yo
g
Ba ya Bali
ng kar
ka ta
Be
litu
ng
Ba
Ja nte
wa n
B
DK arat
IJ
ak
art
a
NT
M T
al
Go uku
ron
Ka
t
lim La alo
an mp
tan un
Te g
ng
Su
ah
law
es Ben
iT
g
Su eng kulu
law ga
es ra
i
Su Ten
law gah
Su es
law i U
es tara
iS
ela
tan
Pa
pu
a
0%
Sumber : Bappenas, 2005
Gambar 1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang
ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Oleh karena
itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya
tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Melihat dari diagram di atas kita bisa mencermati bahwa
distribusi penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian. Maka
dari itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap dampak kebijakan pembangunan
pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan,
sehingga diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi penentuan kebijakan
pembangunan pertanian ke depan.
6
1.2.
Perumusan Masalah Penelitian
Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai
modifikasi. Mulai dari program penyaluran kredit usaha tani yang telah
mengalami beberapa kali perubahan format dalam penyalurannya. Selain itu
masalah subsidi pupuk mengalami penurunan dari 4.4 persen dari total investasi
pertanian pada tahun 1985 menjadi 0.7 persen pada tahun 2000, kemudian
masalah penentuan harga dasar gabah serta proteksi perdagangan komoditas
pertanian juga mengalami fluktuasi yang dinamis pada beberapa tahun terakhir.
Sementara itu kebijakan terhadap penguasaan lahan petani semakin lama semakin
menipis, hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat ketidakpastian dalam
berusahatani. Dengan semakin tingginya tingkat ketidakpastian tersebut,
mengakibatkan semakin rendahnya insvestasi di sektor pertanian yang pada
akhirnya akan menurunkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi sebesar 57.1
persen pada tahun 1965 menjadi 17 persen pada tahun 2000 (Arifin, 2004).
Semakin menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional, akan mengancam pada semakin tingginya angka
kemiskinan yang terjadi di sektor ini, sementara itu sektor industri dan jasa tidak
mampu menampung suplai tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada kondisi
ketidakmampuan sektor industri dan jasa dalam menampung limpahan tenaga
kerja dari sektor pertanian, maka akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh.
Pengentasan kemiskinan merupakan agenda utama dalam pembangunan
ekonomi khususnya berkaitan dengan pemerataan distribusi pendapatan dan
7
pemenuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut juga merupakan agenda utama
bagi pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang tercantum dalam poin
pertama Millenium Development Goals yaitu pengentasan kemiskinan dan
penghapusan kelaparan. Sementara itu, melihat proporsi tingkat kemiskinan yang
terjadi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tajam saat krisis ekonomi
dan sampai saat ini belum mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut bisa
ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Indikator Kemiskinan Indonesia
Indikator
1990
Proporsi penduduk di bawah garis 15.08
kemiskinan (P0)
Indeks Jurang Kemiskinan (P1)
2.68
Indeks Kerentanan (P2)
0.74
Rasio
jurang
kemiskinan
(P1/P0*100)
17.77
Kontribusi orang miskin dalam 9.25
konsumsi nasional
Proporsi populasi di bawah tingkat 69.50
minimum terhadap konsumsi
energi makanan
Sumber : Susenas Consumption Module 2002
1993
13.67
1996
17.55
1999
23.43
(%)
2002
18.20
3.85
1.11
1.75
0.42
4.33
1.23
3.01
0.79
28.16
9.05
9.97
8.73
18.48
9.62
16.54
9.10
71.70
68.09
73.86
64.58
Dalam mengkaji masalah kemiskinan yang terjadi kita perlu mengetuhui
faktor-faktor penyebab timbulnya kemiskinan, sehingga dari pendeteksian
terhadap faktor penyebab tersebut, kita bisa mengetahui langkah atau kebijakan
yang harus diambil ke depan khususnya berkaitan dengan strategi pengentasan
kemiskinan.
Dalam proses pembangunan ekonomi, keterlibatan pemerintah sebagai
pengambil kebijakan sangatlah penting. Pengaturan tingkat harga, pemberian
subsidi dan insentif bagi sektor produksi sangat menunjang peningkatan produksi
nasional. Begitu pula di sektor pertanian, peran pemerintah sangatlah diperlukan
8
khususnya guna mengatur kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana
produksi bagi petani misalnya melalui subsidi pupuk dan bibit. Peran pemerintah
diperlukan dalam mengendalikan harga komoditas pertanian baik harga atap
maupun harga dasar. Selain itu , peran pemerintah juga sangat vital dalam
memproteksi komoditas pertanian produksi dalam negeri terhadap maraknya
produk pertanian impor. Sementara itu, masih banyak lagi kebijakan pemerintah
yang bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan sektor
pertanian.
Keterlibatan
pemerintah
dalam
mengintervensi
sektor
pertanian
memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku yang terlibat di
sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Namun intervensi yang
berwujud kebijakan yang telah dilakukan selama ini mengindikasikan adanya
ketimpangan dalam pendistribusian peluang bagi pemerataan kesejahteraan.
Sektor pertanian yang mendominasi proporsi golongan tenaga kerja miskin,
ternyata sampai saat ini belum mampu bergerak secara signifikan dalam
meningkatkan kesejahteraan petani. Dampak kebijakan di sektor pertanian
terhadap pengentasan kemiskinan perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke
depan dapat diambil beberapa kebijakan pembangunan pertanian yang strategis
dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan
khususnya di sektor pertanian.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk merespon persoalan persoalan yang telah diuraikan di atas. Secara khusus akan mengkaji bagaimana
peran kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah mampu mendorong secara
9
optimal sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun
suatu kerangka berfikir yang dituangkan dalam model persamaan simultan yang
mengkaji dan memformulasikan interaksi antara kebijakan pembangunan
pertanian dengan variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam suatu sistem
yang dinamis.
Dari uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang
akan dikaji, yaitu :
1. Bagaimana dinamika kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia serta
kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan.
2. Faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemiskinan di perkotaan dan
pedesaan.
3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa
variabel perekonomian lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia.
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan permasalahan penelitian di atas, maka
dirumuskan beberapa tujuan penelitian yaitu :
1. Mendeskripsikan
kebijakan pembangunan pertanian dan
pengentasan
kemiskinan d i Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di
perkotaan dan pedesaan.
3. Menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa
variabel ekonomi terhadap p engentasan kemiskinan di Indonesia.
10
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemahaman
yang menyeluruh dan terarah terhadap peran atau kontribusi yang diberikan sektor
pertanian terhadap pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut masalah
pengentasan kemiskinan, baik ditinjau dari peningkatan pendapatan perkapita
maupun kemampuan pemenuhan konsumsi untuk pangan . Dari penelitian ini juga
bisa dideteksi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi
di Indonesia. Selain itu hasil simulasi kebijakan diharapkan akan mampu
memperoleh pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya
berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini kebijakan pembangunan pertanian yang dimaksudkan
adalah antara lain kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan
penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan,
kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian
pertanian. Selain kebijakan di sektor pertanian ini juga dikaji mengenai kebijakan
makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal dan moneter.
Sub sektor yang akan dimasukkan dalam variabel penelitian ini khususnya
adalah sub sektor pertanian tanaman pangan, kar ena sebagian besar petani miskin
berada pada sub sektor ini, yaitu sekitar 23.77 persen, sedangkan dalam sektor
peternakan, perikanan dan kehutanan rata-rata jumlah orang miskin berada di
bawah 5 persen. Kebijakan pembangunan pertanian yang akan dianalisis lebih
banyak menyangkut pada sub sektor pertanian tanaman pangan, sehingga dampak
langsung dari penerapan kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan
kemiskinan dapat lebih mudah dideteksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Pembangunan Pertanian
Secara umum alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui
anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat
penting untuk membuat berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian.
Beberapa hal yang menyangkut format anggaran sektor pertanian merupakan
investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan
untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan
transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan
perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program
pembelian dari
petani dengan harga mahal dan
melakukan penjualan ke
konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung
lainnya (Norton, 2004).
Sementara itu menurut Ellis (1992), kebijakan pembangunan pertanian
diidentifikasi
menggunakan pendekatan pengaruh yang dirancang khususnya
terhadap sistem pertanian mikro. Kebijakan pertanian di sini dikaitkan dengan
masalah output dan input pertanian, kebijakan tersebut antara lain : kebijakan
harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan perkreditan, kebijakan
mekanisasi, kebijakan reformasi agraria, kebijakan penelitian, dan kebijakan
irigasi.
12
2.1.1. Kebijakan Harga
Kebijakan harga di sini adalah kebijakan harga output pertanian. Secara
umum kebijakan harga output pertanian ini memiliki tiga fungsi utama di dalam
sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut antara lain : (1) untuk mengalokasikan
sumberdaya pertanian secara merata, (2) untuk mendistribusikan pendapatan, dan
(3) mendorong investasi dan formasi modal di sektor pertanian (Mellor dan
Ahmed, 1988). Selain itu fungsi dari kebijakan harga output pertanian juga bisa
dideskripsikan sebagai isyarat, insentif dan instrumen untuk alokasi sumberdaya
dan pendapatan secara merata.
Tiga tujuan utama dari kebijakan harga output pertanian adalah : pertama,
untuk mempengaruhi output pertanian; kedua, untuk mencapai perubahan pada
sisi distribusi pendapatan; dan yang ketiga adalah untuk mempengaruhi kontribusi
sektor pertanian pada semua proses pembangunan ekonomi (Norton, 2004).
Sementara itu Ellis (1992), juga menyebutkan bahwa instrumen dari
kebijakan harga ini merupakan intervensi pemerintah yang bisa dilakukan dengan
berbagai jalan. Instrumen disini dikelompokkan mengarah pada masing-masing
tipe dampak pada tingkat dan stabilitas harga pertanian. Deskripsi dari instrumen
kebijakan harga diikuti oleh beberapa observasi yang dikonsentrasikan pada
interaksi antar instrumen, dan hubungan antara instrumen dengan tujuan.
Instrumen tersebut antara lain adalah
instrumen kebijakan harga itu sendiri,
kebijakan nilai tukar, kebijakan pajak dan subsidi dan kebijakan atau intervensi
langsung yaitu seperti memberikan batasan harga dasar pada komoditas pertanian
tertentu pada saat panen.
13
Kebijakan
harga dalam bidang pertanian berkaitan erat dengan
kebijaksanaan dagang. Langkah-langkah yang diambil dalam perdagangan luar
negeri dapat mempengaruhi baik harga di dalam maupun di luar negeri,
sebaliknya kebijakan harga produk pertanian dapat mempengaruhi volume dan
komposisi dagang. Kecuali untuk pembayaran defisit, bantuan ekspor diperlukan
untuk menunjang harga produsen di negara-negara surplus, sedangkan dukungan
impor diperlukan apabila harga konsumen harus dilindungi dari keadaan
kekurangan pangan.
Jenis pokok dari kebijakan harga dalam pertanian masuk dalam dua
kategori, yaitu stabilitas harga dan penetapan tingkat harga (perlindungan harga),
kebijakan akhir-akhir ini ditujukan untuk mendukung kelompok tertentu
(produsen dan konsumen) pada sasaran produksi, anggaran atau akumulasi devisa
tertentu.
Stabilisasi harga menurut Ellis (1992) adalah salah satu hal yang akan
dijadikan alasan umum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pada pasar
pertanian, dan hal ini merupakan ciri yang sangat kuat adanya suatu kebijakan
pertanian baik yang ada di negara maju maupun di negara berkembang. Intervensi
pada pasar pertanian ini dilakukan karena pasar bebas pada produk pertanian
terkenal cenderung memiliki harga yang fluktuatif.
Analisis sederhana dari stabilisasi harga dapat dijelaskan menggunakan
keseimbangan parsial yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :
14
P
S2
D
Se
S1
P2
a
b
Pe
c
d
e
f
P1
0
Q2
Qe
Q1
Q
Gambar 2 . Dampak Stabisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap
Kesejahteraan
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. Jika terjadi kekurangan penawaran, yang biasa terjadi ada musim paceklik
maka penawaran akan turun menuju S2. Hal tersebut mengakibatkan harga
meningkat
menjadi
P2.
Penjualan
dari
stok
penyangga
akan
mengembalikan menuju Pe.
Consumer surplus gain = a + b
Producer surplus loss = a
Buffer stock income
= d + g (dari hasil penjualan)
2. Jika terjadi kelebihan penawaran, yang biasa terjadi saat panen maka
penawaran akan bergeser menuju S1 dan harga akan jatuh menuju P1.
Penjualan yang dilakukan oleh stok penyangga akan mengembalikan harga
pada Pe.
Consumer surplus loss = c + d + e
Producer surplus gain = c + d + e + f
15
Buffer stock costs
= e + f + h (dari biaya pembelian)
3. Posisi akhir pada keseimbangan antara kesejahteraan dan perubahan
sumberdaya adalah sebagai berikut :
Buffer stock cancels out : d + g = e + f + h
Consumer surplus loss : d (sebab c + e = a + b)
Producer surplus gain
:d+e+f
Net welfare gain
: e + f (pertambahan untuk produsen)
Kebijakan harga barang hasil pertanian yang tepat memegang peranan
kunci dalam pembangunan suatu perekonomian yang terbelakang. Harga barang
pertanian sangat rawan terhadap keadaan permintaan dan penawaran. Karena
output pertanian merupakan 50 persen dari produk nasional, maka tingkat harga
pada umumnya ditentukan oleh perilaku harga barang pertanian. Kebijakan harga
barang pertanian tersebut harus bertujuan mengurangi fluktuasi harga, sehingga
mengurangi kerugian produsen akibat jatuhnya harga secara tajam karena hasil
panen yang melimpah, dan meminimumkan konsumen akibat naiknya harga
secara tajam karena kegagalan panen atau kelangkaan persediaan. Untuk
kebijakan harga harus serba mencakup berbagai tindakan sejak produksi hasil
pertanian sampai pada distribusinya. Tujuan penting dari kebijakan pertanian
adalah untuk menentukan harga minimum dan maksimum semua barang hasil
pertanian untuk kebutuhan pangan pokok. Kebijakan harga yang baik juga
mencakup pengadaan cadangan penyangga dan pengoperasian melalui penjualan
dan pembelian serupa harus diusahakan oleh negara dan organ -organnya (Jhingan,
2002).
16
2.1.2. Kebijakan Pasar
Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian
tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan
pemasaran swasta/individu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara
lain : (1) untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat
menghisap, (2) untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat
petani, (3) untuk mengurangi margin pemasaran, (4) untuk meningkatkan kualitas
dan memberikan standar minimum, dan (5) untuk meningkatkan ketahanan
pangan (Ellis, 1992).
Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai
pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak
mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu,
pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk
membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah
juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian
pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar.
2.1.3. Kebijakan Input
Variabel kebijakan input memiliki tiga dimensi utama. Pertama, adalah
pengendalian tingkat harga pada variabel input, dan kebijakan ini difokuskan
untuk mempengaruhi harga yang harus dibayarkan oleh petani untuk keperluan
input usahataninya, seperti untuk membeli pupuk dan pestisida. Kedua, adalah
mengenai
sistem
distribusi
variabel
input,
jenis
kebijakan
ini
lebih
dikonsentrasikan pada modifikasi sistem aliran / distribusi input kepada petani.
17
Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas,
dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani.
Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat
diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi
serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki
dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang
lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu
meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi
7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang
pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen (Urea) dan bibit unggul pada
peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan
penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih
tinggi (Ellis, 1992).
Hasil padi (ton/ha)
8
7
Varietas unggul
6
5
4
3
Varietas tradisional
2
1
0
100
200
300
400
500
600
Pupuk nitrogen (kg/ha)
Gambar 3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul
Terhadap Hasil Panen Padi
18
Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani
untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan
kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum
didominasi oleh kebijakan masalah pupuk.
Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani
dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti
semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian
yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan
produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah
selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian .
Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam
pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak
untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang
diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk,
sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat
dilakukan.
Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengurangi atau bahkan
mencabut secara keseluruhan terhadap pupuk maka akan berakibat semakin
lemahnya produksi pangan nasional. Hal tersebut disebabkan petani akan
mengambil keputusan untuk beralih profesi, karena berusahatani akan semakin
tidak menguntungkan. Maka secara tidak langsung akan mengakibatkan
rendahnya produktivias pangan nasional (Simatupang, 2004).
19
2.1.4. Kebijakan Perkreditan
Bagian penting dari kebijakan kredit pertanian yang paling sering ditemui
di negara-negara berkembang ialah kebijakan penetapan tingkat bunga yang
rendah, yang biasanya berhubungan erat dengan kebijaksanaan harga dan pajak
usahatani. Tingkat bunga yang rendah pada umumnya menunjukkan pengaruh
yang negatif. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, tingkat bunga yang
rendah menimbulkan kesulitan untuk merangsang simpanan deposito. Hal ini
menghambat bank untuk menambah modal yang dimilikinya dan mendorong
lembaga-lembaga menjadi semakin bergantung pada subsidi pemerintah.
Pertumbuhan kredit menurun dan efektifitas bank terhambat.
Sehubungan dengan alokasi sumber-sumber dana, tingkat bunga yang
rendah akan menurunkan standar pemilihan dan menyebabkan investasi dengan
produktivitas yang semakin lebih rendah. Secara keseluruhan ini mengakibatkan
pengurangan produktivitas. Bahkan rendahnya tingkat bunga mengubah rasio
faktor harga demi kepentingan modal, ini akan mendorong usaha produksi dan
teknologi yang padat modal dan mempunyai pengaruh negatif terhadap
pengurangan serta perkembangan teknologi yang tepat (Heinz, 1988).
2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian
Kebijakan mekanisasi pertanian ini merupakan bentuk kebijakan
kepedulian dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Kegiatan
mekanisasi ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan ditunjang mesin
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi energi manusia dalam mengolah
lahan pertaniannya.
20
Mekanisasi pertanian ini lebih lanjut dibedakan menjadi bentuk yaitu
mekanisasi bergerak dan tidak bergerak. Mekanisasi yang bergerak yang
dimaskud di sini seperti traktor pengolah lahan, sedangkan mekanisasi yang tidak
bergerak dicontohkan seperti pompa air. Kebijakan mekanisasi pertanian ini pada
intinya adalah memberikan efisiensi terhadap komponen tenaga kerja, sehingga
petani akan lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih cepat (Ellis, 1992).
2.1.6. Kebijakan Reformasi Agra ria
Pengertian reformasi agraria/landreform secara luas mencakup pengaturan
hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi,
dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004).
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah
pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga
masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas
dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :
1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak
terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas
lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas,
usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi
pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi
pendapatan masyarakat.
2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat
memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).
21
3. Pengaturan hubungan pemilik-penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain).
4. Penyebaran
informasi/peraturan
yang
menyangkut
pertanahan
kepada
masyarakat.
5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.
6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri,
pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain).
Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan
pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan
produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan
pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan
dari landreform, yaitu :
1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat.
Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani
menjadi pemilik tanah.
2. Industri berkembang.
3. Secara multiplier akan meningkatkan GNP.
Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di
Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan
luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan (S ilitonga, et al, 1995).
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan
sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan
pangan semakin bermasalah. Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa
penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah
menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan pemukiman.
22
Konversi
lahan
ini,
terutama
Jawa
sebagai
gudang
pangan
nasional,
menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi
lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas
penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset
pertanian bernilai tinggi. Akhir-akhir ini berkembang kecenderungan yang
menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi
akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan
“kehilangan produksi pangan” akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting.
Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan
non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Atas pertimbangan
itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian
yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi
produksi pangan (Irawan, 2001).
2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian
Kebijakan penelitian ini adalah kebijakan mengenai peraturan pemerintah
di dalam melakukan pendekatan alternatif
untuk mengembangkan dan
menyebarkan teknologi pertanian yang baru kepada rumah tangga petani.
Ada beberapa dimensi yang termasuk dalam pengertian kebijakan
penelitian ini. Pengembangan teknologi pertanian yang baru merupakan faktor
utama untuk menunjang inovasi. Hal ini masuk dalam penetuan kekuatan topik
penelitian, lembaga penelitian, pengalokasian sumberdaya dalam penelitian,
manajemen penelitian dan hasil penelitian.
23
Penyebaran teknologi pertanian baru yang menjadi faktor utama dalam
ukuran keberhasilannya adalah tingkat adopsi teknologi ditingkatan petani. Hal
ini termasuk berkaitan dengan tingkatan lahan dan hambatan perekonomian yang
juga ikut mempengaruhi adopsi teknologi (Ellis, 1992).
2.1.8. Kebijakan Irigasi
Dalam proses budidaya yang berkesinambungan tentunya tidak bisa
dilepaskan dari irigasi. Kebijakan pembangunan sarana irigasi merupakan
jawaban untuk adanya efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usahatani,
sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada alam yang berupa hujan. Dengan
adanya irigasi yang lancar maka akan memungkinkan petani untuk berproduksi di
berbagai musim.
Dengan membangun sarana irigasi yang baik dan tertata juga akan
menunjang
keseimbangan
lingkungan
yang
baik.
Akan
tetapi
apabila
pembangunan sarana irigasi tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem maka
akan merusak habitat alami, seperti misalnya konstruksi sistem irigasi akan
menyebabkan kekeringan dan bahkan banjir pada area-area baru. Namun
demikian, kerana kebutuhan akan pangan semakin tinggi maka tidak ada pilihan
lain untuk tetap memprioritaskan pada pem enuhan permintaan pangan, maka dari
itu pembangunan sarana irigasi sangatlah diperlukan (Norton, 2004).
2.2.
Kemiskinan
Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lak i-laki
24
dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak
dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik lakilaki maupun perempuan, mempunyai hak -hak dasar yang sama dengan anggota
masyarakat
lainnya.
Kemiskinan
tidak
lagi
dipahami
hanya
sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin
sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak
yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui
secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi
satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi
pemenuhan hak lainnya.
Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan
dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak
terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas
daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin
terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang
dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini
25
memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati,
melindungi d an memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi
dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah
dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan
permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat
lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar
dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin
itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan
ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan surv ei (Bappenas, 2005).
Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah
penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di
Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data
SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan
berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan
maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka
waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan
diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang
disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan
tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara
menjumlahkan:
26
1.
biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita
per hari; dan
2.
biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti
pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan
Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan,
ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di
bawah 1 $ US / hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi
kalori per hari yaitu sebanyak 2100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu
pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di
plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan
terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu
adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan (Kelompok Kerja Pro penas ,
2002).
Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan
kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus
dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya
pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus
ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis dan bencana alam.
Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan
mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga
menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh
perlakuan diskriminatif, perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan
27
fatalistis. Dalam kaitan itu, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan
upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok
dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat
meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz,
1988).
Secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama
yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat
yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan
kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu
masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan
mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan
mencegah terjadinya kemiskinan baru.
Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator
keberhasilan pembangunan suatu negara ternyata terkadang menyesatkan.
Menurut Kuznets mengemukakan bahwa pola pertumbuhan historis negara maju
pada
tahap -tahap
awal
pertumbuhannya
mengalami
penurunan
tingkat
kesejahteraan, namun pada akhirnya akan membaik secara perlahan dan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Observasi inilah yang dikenal secara luas
sebagai kurva Kuznetz “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari
bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan
(yang diukur dengan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita
(Todaro, 1999).
28
Koefisien Gini
0,75
0,50
0,35
0,25
0
GNP Per Kapita
Gambar 4. Kurva Kuznets Berbetuk “U” Terbalik
Kemiskinan berdampak pada kondisi keadaan kurang gizi dan tingkat
kesakitan (morbiditas), dan hal ini merupakan suatu lingkaran setan yang akan
membuat kondisi suatu bangsa semakin terpuruk. Masih relatif tingginya masalahmasalah gizi masyarakat itu menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi
(daya beli) berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi
masyarakat, disamping adanya faktor kurang sadar gizi, kondisi lingkungan
sanitasi dan keterbatasan akses bagi golongan masyarakat yang kurang mampu.
Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah itu tidak terlepas dari faktor
keterbatasan lapangan kerja, termasuk keterbatasan dalam hal kemampuan
psikomotorik dan kognitif yang dapat dikembangkan untuk memperluas peluang
mendapatkan tambahan pendapatan. Berikut ini gambaran keterkaitan beragam
faktor dalam lingkaran setan kemiskinan, dimana faktor kekurangan gizi masuk di
dalamnya (Todaro, 1999).
Dampak dari kondisi kurang gizi pada jangka waktu lama akan tercermin
pada beragam maslaah gizi masyarakat dan pada gilirannya menyangkut langsung
pada sumberdaya insani yang memprihatinkan, yakni rendahnya produktivitas
fisik, mental (ketahanan menerima stres) dan intelektual (kecerdasan) (Sitorus,
1996).
29
Cadangan
dana/sumber daya
terbatas
Pendidikan rendah
Kemampuan kognitif
dan psikomotorik
rendah
Miskin gizi, kesehatan
dan asset
Kelahiran tinggi :
future security
Akses terhadap
pekerjaaan rendah
Status gizi dan
kesehatan rendah
Produktifitas (fisik,
mental dan
intelektual) rendah
Pendapatan rendah
Keterjaminan pangan
(food security) rendah
Gambar 5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam “Lingkaran Setan” Kemiskinan
Kelaparan kronis menyebabkan kemunduran intelektual, menghalangi
pertumbuhan produktifitas dan menjadi penyebab utama timbulnya penyakit,
sehingga orang atau komonitas menjadi tidak mampu untuk merealisasikan
potensi yang dimilikinya. Kelaparan dan kekurangan nutrisi/gizi mikro
diperkirakan akan menurunkan kapasitas belajar sampai dengan lebih dari 10%.
Untuk keluarga miskin, kelaparan yang dihubungkan dengan kondisi sakit
merupakan biaya yang tinggi bagi rumah tangga dan meningkatkan beban
terhadap kesehatan anggota keluarga. Penyakit merupakan tambahan beban
kesulitan yang sangat berarti.
Ada
dua
indikator
yang
direkomendasikan
dalam
memonitor
keberlangsungan pencapaian target untuk mengurangi kelaparan, yaitu meratanya
bobot yang rendah pada anak-anak berusia di bawah lima tahun dan proporsi dari
30
populasi di bawah tingkat minimum menu konsumsi energi (Kelompok Kerja
Propenas, 2002).
2.3.
Keterkaitan Variabel Makroekonomi
2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional
Keseimbangan pendapatan nasional dicerminkan oleh keseimbangan
internal dan eksternal secara simultan. Keseimbangan internal terjadi apabila
dalam pasar barang dan pasar uang terjadi keseimbangan. Sedangkan
keseimbangan eksternal terjadi jika neraca perdagangan sama dengan neraca
modal asing (net capital flow).
Secara teoritis proses terbentuknya keseimbangan pendapatan nasional
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan nasional yang dihitung
berdasarkan sisi pengeluaran didefinisikan sebagai penjumlahan dari pengeluaran
konsumsi rumah tangga, ditambah pengeluaran investasi swasta, ditambah
pengeluaran pemerintah, dan ditambah ekspor neto. Sedangkan pendapatan yang
siap dibelanjakan (disposible income) adalah pendapatan nasional dikurangi pajak
(Glahe, 1977). Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :
Y
= C + I + G + ( X – M ) ................................................................(1)
YD
= Y – T ..........................................................................................(2)
dimana :
Y
C
I
G
X
I
YD
T
= Pendapatan nasional
= Pengeluaran konsumsi rumah tangga
= Pengeluaran investasi swasta
= Pengeluaran Pemerintah
= Ekspor
= Impor
= Pendapatan yang siap dibelanjakan
= Penerimaan Pajak
31
Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai
pendapatan yang siap dibelanjakan dikurangi tabungan rumah tangga (S), secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut :
C
= YD – S .......................................................................................(3)
Sedangakan dari sisi penerimaan secara matematis dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Y
= C + S + T ...................................................................................(4)
Keseimbangan umum terjadi apabila persamaan (1) sama dengan persamaan (4),
yaitu :
C + I + G + X – M = C + S + T atau I + G + X = S + T + M ...................(5)
Persamaan (5) merupakan persamaan keseimbangan di pasar barang.
Keseimbangan tersebut membentuk kurva IS yang ditunjukkan pada gambar 6d.
Pada Gambar 6d juga terdapat kurva LM yang menunjukkan keseimbangan di
pasar uang yang terbentuk dari keseimbangan permintaan uang (MD) dan
penawaran uang (MS) (Gambar 6e).
Berdasarkan teori Keynes permintaan uang adalah mempunyai tiga motif
atau tujuan, yaitu : (1) permintaan uang untuk tujuan trans aksi, (2) permintaan
uang untuk tujuan berjaga-jaga, dan (3) permintaan uang untuk tujuan spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan transak si dan berjaga merupakan fungsi dari
pendapatan, sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi merupakan fungsi
dari tingkat suku bunga yang secara teoritis dapat ditulis sebagai berikut :
Mt
= f (Y) ...........................................................................................(6)
Mj
= f (Y) ...........................................................................................(7)
Msp
= f (r) .............................................................................................(8)
32
S, T, M
S+T+M
S+T+M
450
Y
Y
(a)
r
(b)
r
r
MS
LM
EB
MD
IS
Y
M
(e)
I+G+X
(d)
P
AS
EB
AD
Y
Y
(f)
P
Y=f(N)
N
(h)
450
(g)
Y
W
NS
ND
(i)
N
Gambar 6. Keseimbangan Perekonomian
(c)
I+G+X
33
MD
= Mt + Mj + Msp ..........................................................................(9)
Keseimbangan terjadi apabila :
MS
= MD .........................................................................................(10)
dimana :
Mt
Mj
Msp
MD
MS
Y
r
= Permintaan uang untuk transaksi
= Permintaan uang untuk berjaga-jaga
= Permintaan uang untuk spekulasi
= Total permintaan uang
= Total penawaran uang
= Pendapatan nasional
= Tingkat suku bunga
Persamaan (10) merupakan keseimbangan di pasar uang dan membentuk
kurva LM. Keseimbangan internal terjadi apabila terjadi keseimbangan di pasar
barang dan pasar uang atau (IS = LM) yang akan menentukan tingkat pendapatan
nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yang ditunjukkan oleh kurva
permintaan agregat (Gambar 6f).
Perubahan-perubahan
dalam
aktivitas
konsumsi,
tabungan,
pajak,
investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor akan merubah kurva IS yang
selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Begitu pula perubahan -perubahan
dalam aktivitas moneter baik dari sisi permintaan maupun penawaran uang akan
merubah kurva LM yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat.
Keseimbangan dalam pasar barang dan pasar uang ini akan menentukan
tingkat bunga. Kebijakan fiskal dicerminkan oleh pergeseran kurva IS, sedangkan
kebijakan pemerintah dari segi moneter dicerminkan pada kurva LM.
Pendekatan
pendapatan
nasional
tersebut
didasarkan
pada
sisi
pengeluaran, sehingga sulit digunakan untuk mengevaluasi perubahan -perubahan
dalam sisi produksi. Pendapatan Nasional apabila diukur dari sisi produksi
34
ditunjukkan pada Gambar 6h. Dalam teori makro Glahe (1977), fungsi produksi
agregat didefinis ikan sebagai berikut :
Y
= f ( K, L, T, N) ..........................................................................(11)
dimana :
Y
K
L
T
N
= Pendapatan nasional
= Modal
= Lahan
= Teknologi
= Tenaga Kerja
Dalam jangka pendek diasumsikan bahwa K, T, L adalah tetap sehingga
hanya N yang menjadi variabel input. Oleh karena itu fungsi produksi agregat
dituliskan menjadi :
Y
= f (N) .........................................................................................(12)
Mengacu pada teori makro ekonomi dan mengasumsikan pen awaran
tenaga kerja elastis sempurna (perfectly elastic) pada upah W dan harga produk
perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan dapat disajikan
sebagai berikut :
p
= (P.Y) – (W.N) ..........................................................................(13)
Keuntungan maksimum terjadi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan
adalah nol, sehingga dp/dN = P.dY/dN – W = 0, dengan asumsi turunan kedua
terpenuhi. Oleh karena dY/dN = MPn adalah produk marginal dari tenaga kerja,
maka :
W
= P.MPn ......................................................................................(14)
Persamaan (14) ini merupakan permintaan tenaga kerja yang digambarkan
sebagai kurva permintaan tenaga kerja (ND) dalam Gambar 6i. Perubahan harga
(P) akan menyebabkan pergeseran pada kurva permintaan tenaga kerja (ND). Jika
35
diasumsikan bahwa upah tenaga kerja (W) bersifat kaku terhadap perubahan harga
dalam jangka pendek sebagaimana asumsi Keynes, maka adanya perubahan harga
(P) akan terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja akibatnya akan terjadi
perubahan permintaan tenaga kerja, sehingga akan menyebabkan perubahan
jumlah produksi. Begitu pula apabila terjadi perubahan tenaga kerja akibat
naiknya jumlah penduduk dan angkatan kerja, juga akan menyebabkan perubahan
permintaan tenaga kerja.
Penempatan kurva keseimbangan eksternal (EB) pada Gambar 6d dan 6f,
maka akan diperoleh keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal
dan eksternal pada Gambar 6d adalah EB = IS = LM, dimana jika EB > (IS =LM)
menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB <
(IS=LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit, yang umumnya
dilakukan dalam evaluasi jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang
keseimbangan internal dan eksternal ditunjukkan dalam Gambar 6f yaitu AS =AD
= EB, dimana jika EB > (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan
surplus, sebaliknya jika EB < (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam
keadaan defisit (Glahe, 1977).
2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga
Asnawi (2005), dalam tulisannya menyatakan bahwa secara garis besar
perhitungan pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Q) dirumuskan sebagai
penjumlahan dari nilai produksi sektor dan sub sektor (Qij) :
Q=
dimana : Q
Qij
? Qij ............................................................................................(15)
= Total produksi
= Produksi dari sektor i dan subsektor j
36
Masing-masing produksi Qij dianggap respon terhadap perubahan harganya,
modal, dan tenaga kerja, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
Qij
= f (Pij, Kij, Nij)..........................................................................(16)
dimana :
Pij
Kij
Nij
= Indeks harga dari sektor i dan subsektor j
= Modal di sektor i dan subsektor j
= Penggunaan tenaga kerja di sektor i dan subsektor j
Kekuatan harga domestik tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar
dalam negeri saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar internasional. Oleh
karena itu secara empiris besarnya harga domestik sangat dipengaruhi oleh
produksi, konsumsi, harga impor dan ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap US
dollar. Secara matematis dapat dirumuskan seb agai berikut :
Pij
= f ( Qij, Cij, PXij, PM ij, NT) ...................................................(17)
dimana :
Pij
Qij
Cij
PXij
PMij
NT
= Harga
= Produksi
= Konsumsi
= Harga ekspor
= Harga impor
= Nilai tukar rupiah
2.3.3. Ekspor – Impor
Total ekspor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor atau sub
sektor. Sementara total impor merupakan penjumlahan dari masing-masing sektor
atau sub sektor. Besarnya ekspor dari masing-masing sektor dan sub sektor
dipengaruhi oleh harga dunia, indeks harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap
dollar US, harga domestik, produksi domestik dan pajak ekspor. Sedangkan
37
besarnya impor dari masing -masing sektor dan sub sektor dipengaruhi oleh pajak /
tarif impor, indeks harga impor, harga dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar
US, harga domestik, dan produksi domestik (Asnawi, 2005). Sedangkan mengenai
dampak pengenaan tarif impor dan pajak ekspor dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)
Pengenaan Tarif Impor
Pengenaan
tarif
sebagai
pajak
menyebabkan
biaya
perdagangan
meningkat, harga barang-barang impor di negara pengimpor mengalami kenaikan,
harga yang lebih rendah untuk barang-barang ekspor dan menurunnya volume
perdagangan. Tarif dapat mengurangi pendapatan dunia, tetapi memberikan
keuntungan bagi kelompok-kelompok tertentu dalam negara pengekspor dan
pengimpor. Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor sama dengan pengenaan
tarif impor, karena pajak ekspor akan meningkatkan biaya ekspor dan mengurangi
volume ekspor. Untuk negara-negara kecil, harga dunia tidak terpengaruh dan
harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak yang dikenakan (Caves dan
Jones, 1981).
Pengenaan tarif impor akan menguntungkan kepada produsen di negaranegara pengimpor karena harga produk domestik menjadi relatif lebih murah
dibandingkan produk sejenis yang berasal dari impor. Tarif impor merupakan
penerimaan bagi pemerintah yang merupakan pembayaran transfer dari sektor
swasta ke pemerintah. Tarif akan mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam
perekonomian, yaitu apabila tarif menaikkan harga domestik dari barang -barang
yang diimpor maka penggunaan tenaga kerja dalam sektor yang diproteksi akan
mengalami kenaikan. Selanjutnya apabila sektor pengimpor dan sektor
pengekspor mempekerjakan faktor produksi dalam proporsi yang berbeda, maka
38
tarif akan menggeser permintaan faktor relatif dan harga faktor relatif. Tarif impor
memberikan efek yang berlawanan terhadap konsumen domestik dengan
menaikkan harga barang-barang impor. Konsumen yang selalu mengkonsumsi
barang-barang impor akan mentransfer pendapatannya kepada produsen domestik
dengan membeli barang-barang domestik. Efek ekonomi dari pengenaan tarif
impor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.
P
D
S
6
7
E
P1
1
A
PW
F
3
2
B
4
D
C
D
D
0
Q2
Q4
Q3
Q1
Gambar 7. Dampak Tarif Impor
Permintaan domestik sebelum dik enakan tarif impor adalah sebesar 0Q1,
yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q 2 dan impor sebesar Q2Q1. Setelah
pemerintah mengenakan tarif sebesar PWP1 per unit, maka permintaan domestik
akan berubah menjadi 0Q 3, yaitu terdiri dari produksi domestik sebesar 0Q4 dan
impor sebesar Q4Q3.
Dimana PW merupakan harga dunia, sedangkan P 1 merupakan harga
domestik setelah diberlakukan tarif. Dengan adanya tarif, maka surplus produsen
39
bertambah dari sebesar luas area 5 menjadi sebesar 5 + 1, sedangkan surplu s
konsumen berkurang dari sebesar luas area 1 + 2 + 3 + 4 + 6 + 7 menjadi sebesar
luas area 6 + 7, dan penerimaan pemerintah dari tarif sebesar luar area 3. Dengan
adanya tarif, maka telah terjadi deadweigh loss sebesar luas area 2 + 4, yaitu pada
area 2 adalah inefisiensi akibat penambahan produksi domestik, sedangkan area 4
ditangkap oleh konsumen luar negeri.
2)
Pengenaan Pajak Ekspor
Efek ekonomi dari pengenaan pajak ekspor adalah sama dengan
pengenaan tarif impor. Pengenaan pajak ekspor meningkatkan biaya ekspor dan
mengurangi volume ekspor. Untuk negara kecil maka harga dunia tidak
terpengaruh dan harga domestik lebih rendah sebesar jumlah pajak ekspor yang
dikenakan (Gambar 6).
Harga Q
QS
Harga Ekspor
E2s=E1s + t
E1s
P1
A
P2
B
C
E
D
QD
01
Q2
Q4
Q3
Q1
02
E2
Gambar 8. Pengenaan Pajak Ekspor
E1
Ed
40
Apabila keseimbangan mula-mula pada titik E, tingkat harga adalah 02A =
01P1 dan volume ekspor 02E1. Pajak ekspor menggeser kurva penawaran ekspor
naik ke E2s mengurangi ekspor ke 02E2. Harga domestik turun ke 02B = 01P2,
produksi turun ke 0 1Q3 dan konsumsi naik ke 0 1Q4. Pajak ekspor akan
menurunkan harga baik untuk produsen domestik maupun konsumen. Pajak
ekspor merupakan penerimaan bagi pemerintah (Caves dan Jones, 1981).
2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter
Permasalahan utama dalam makroekonomi selalu dihubungkan dengan
permasalahan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal yang banyak
menyangkut masalah pajak dan belanja pemerintah merupakan alat kebijakan
yang diperankan oleh pemerintah eksekutif. Sedangkan kebijakan moneter
dipegang oleh bank sentral selaku pemegang stok uang (Ekelund dan Tollison,
1996).
Komponen kebijakan fiskal meliputi penerimaan pajak, pengeluaran
pemerintah, dan investasi. Penerimaan pajak terdiri dari pajak ekspor yang
besarnya tergantung dari nilai ekpsor, tarif impor yang besarnya tergantung dari
nilai impor, pajak penghasilan yang besarnya tergantung dari pendapatan
nasional, dan pajak lainnya. Sedangkan pengeluaran pemerintah adalah
pengeluaran total yang besarnya tergantung dari total penerimaan pemerintah
yang melaui pajak dan bukan pajak, dan kondisi perekonomian secara makro
termasuk inflasi.
Investasi secara teoritis merupakan fungsi dari tingkat bunga, selain itu
investasi juga bergantung dari besarnya modal dan pendapatan disposibel. Secara
41
tidak langsung harga juga turut mempengaruhi tingkat invesatsi, karena dengan
naik dan turunnya harga akan memberikan pengaruh terhadap perilaku investasi.
Sektor moneter bisa didekati berdasarkan perilaku permintaan dan
penawaran uang. Berdasarkan teori Keynes, permintaan uang mempunyai tiga
tujuan, yaitu : (1) tujuan transaksi, (2) tujuan berjaga-jaga, dan (3) tujuan
spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga besarnya
ditentukan oleh tingkat bunga, sehingga banyaknya permintaan uang banyak
dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan juga tingkat inflasi.
Sementara itu, jumlah penawaran uang sangat ditentukan oleh tingkat
bunga pasar, inflasi, nilai tukar, dan intervensi pemerintah berupa giro wajib
minimum atau cadangan wajib bank komersial. Oleh karena itu tingkat suku
bunga dalam keseimbangan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran
uang (Asnawi, 2005).
2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan
Mengurangi kemiskinan dapat dipandang sebagai salah satu tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa secara berkeadilan. Untuk mencapai hal ini,
secara simultan, beberapa indikator pembangunan yang relevan seperti
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin
hendaklah ditargetkan secara tepat. Pada propenas 2000-2004 ditetapkan bahwa
pertumbuhan
ekonomi
mencapai
6-7
persen
secara
bertahap,
tingkat
pengangguran menurun menjadi 5.1 persen, dan jumlah penduduk miskin
menurun menjadi 14 persen pada tahun 2004. Upaya untuk meningkatkan angka
pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen perlu dilakukan, mengingat angka
kemiskinan serta tingkat pengangguran akan sulit ditekan apabila tingkat
42
pertumbuhan masih relatif rendah, yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen pada
tahun 2004.
Keadaan ekonomi riil, khususnya pengangguran dan kemiskinan, hingga
akhir-akhir ini belum menunjukkan perkembangan yang cukup baik, Sebelum
krisis, jumlah penduduk miskin dibawah 16 persen, namun ketika krisis datang
pada pertengahan 1997, meningkat menjadi 40 persen. Hingga tahun 1999, angk a
tersebut masih 23.4 persen dan pada tahun 2002 sekitar 18.2 persen. Pada tahun
2003, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar yakni mencapai
37 juta jiwa atau 17 persen dari julah penduduk. Diprediksikan dalam Propenas
2000-2004 bahwa angka kemiskinan tahun 2004 kemungkina hanya bisa ditekan
hingga 16 persen. Komitmen untuk mengurangi utang luar negeri, yang akan
membawa
konsekuensi
terhadap
berkurangnya
dana-dana
pembiayaan
pembangunan, mengurangi dana untuk penanggulangan kemiskinan.
Upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan memerlukan
kebijakan-kebijakan yang komprehensif. Kebijakan moneter yang diterapkan
setelah diberlakukannya UU No. 23/1999, yang hanya memfokuskan pada
pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah, sulit diharapkan secara langsung dapat
menekan pengangguran dan kemiskinan. Dengan kata lain, stimulus ekonomi
melalui kebijakan moneter sulit dilakukan. Kebijakan fiskal lebih efektif untuk
merangsang perekonomian.
Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada
dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Tenaga
kerja yang memiliki kemampuan rendah, yang biasanya merupakan tenaga kasar,
akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki
peluang yang relatif tinggi menjadi pengangguran. Tenaga kerja terampil dan
43
berpendidikan memiliki kerentanan yang relatif kecil untuk menjadi penganguran
(Yudhoyono, 2004).
2.4.
Hasil Penenelitian Terdahulu
Kemiskinan di pedesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran
pemerintah untuk pertanian, pertumbuhan ekonomi, tingkat upah, serta rezim
pemerintahan.
Masing-masing
pengeluaran
pemerintah
untuk
pertanian,
pertumbuhan ekonomi dan upah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di
pedesaan, menunjukkan peningkatan tiap-tiap variabel ini dapat mengurangi
kemiskinan di pedesaan secara nyata. Sementara kemiskinan di perkotaan secara
nyata dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pertumbuhan
ekonomi, rezim pemerintahan dan desentralisasi (Yudhoyono, 2004).
Sementara Simatupang (2000), mengungkapkan bahwa salah satu
keunggulan sektor pertanian ialah dalam hal pengentasan kemiskinan yang
merupakan
tujuan
utama
pembangunan
ekonomi
nasional.
Dari
hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertan ian sangat efektif
dalam pengentasan kemiskinan, nilai peningkatan pendapatan perkapita dan
penurunan harga makanan khususnya harga beras. Penurunan harga beras sangat
efektif menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan maupun di perkotaan.
Peningakatan pendapatan per kapita sektor pertanian terutama berpengaruh nyata
terhadap jumlah penduduk miskin di pedesaan.
Kontribusi langsung sektor primer dalam PDB memang cenderung
menurun dan tidak lagi menduduki peringkat utama, sementara kontribusi
langsung sektor industri cenderung meningkat dan telah meraih peringkat utama.
44
Namun sesungguhnya, sebagian besar PDB sektor industri ternyata berasal dari
sub sektor agroindustri yang pada dasarnya sebagian terbesar merupakan
kontribusi dari sektor pertanian. Oleh kar ena itu, apabila kontribusi melalui
subsektor industri diperhitungkan maka kontribusi langsung sektor pertanian
dalam PDB masih tetap yang terbesar dalam perekonomian Indonesia.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi literatur dan logika yang digunakan, analisis dampak
kebijakan di sektor pertanian
terhadap pengentasan kemiskinan melibatkan
peubah-peubah yang saling mempengaruhi satu sama lain. Peubah-peubah
tersebut berkontribusi dalam perancangan model yang akan digunakan. Dalam
penelitian ini peubah-peubah yang digunakan selain peubah jenis kebijakan
pertanian dan kemiskinan, juga melibatkan peubah kebijakan ekonomi makro
seperti belanja pemerintah, GDP Nasional, pajak, inflasi, nilai tukar dan lain-lain.
Kerangka pemikiran analisis dampak kebijakan sektor pertanian terhadap
pengentasan
kemiskinan
menunjukkan
hubungan
antar
aspek
kebijakan
pembangunan ekonomi melalui sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan
dengan ditunjukkan adanya pengurangan angka kemiskinan. Setiap kebijakan
yang diambil tentunya memiliki target yang ingin dicapai. Dari beberapa
kebijakan pembangunan di sektor pertanian yang antara lain adalah kebijakan
harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan
pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi
pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian akan dianalisis untuk
melihat seberapa besar pengaruh dari masing-masing kebijakan yang telah
diambil tersebut terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya kerangka umum penelitian
ini dapat dilihat pada diagram berikut :
46
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan Pertanian
-
Penyedia bahan pangan
Penyedia bahan baku primer
Penghasil devisa
Kebijakan di sektor pertanian
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
kebijakan harga,
kebijakan pasar,
kebijakan input,
kebijakan penguasaan lahan,
kebijakan pembangunan sarana irigasi,
kebijakan perkreditan,
kebijakan mekanisasi pertanian dan
Ø kebijakan pengembangan penelitian pertanian
Peningkatan Produksi dan
Perbaikan Distribusi
Ketersediaan
Pangan
Peningkatan Pendapatan
Petani
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat
Pengentasan Kemiskinan
Gambar 9. Alur Pemikiran Penelitian
47
3.2.
Hipotesis Penelitian
Dari tujuan yang telah ditentukan, dapat diperkirakan hipotesis yang akan
ditentukan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara umum antara
lain adalah faktor peningkatan anggaran pemerintah, peningkatan tingkat
upah, peningkatan produksi pertanian, dan pertumbuhan ekonomi, sementara
faktor inflasi dan krisis ekonomi akan semakin meningkatkan angka
kemiskinan.
2. Kebijakan pembangunan sarana irigasi, mekanisasi, proteksi harga, penelitian
pertanian, dan penambahan penguasaan lahan akan mengurangi tingkat
kemiskinan. Kebijakan pada peubah makro ekonomi lainnya yang dapat
mengurangi tingkat kemiskinan adalah penurunan suku bunga dan
peningkatan upah riil.
Pemilihan peubah
yang
mampu
mengurangi
tingkat
kemiskinan
didasarkan pada hasil penelitian Yudhoyono (2004) yang menyatakan bahwa
angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan peningkatan anggaran pemerintah
atau kebijakan fiskal, pertuimbuhan ekonomi dan tingkat upah. Peningkatan
produksi pertanian akan mampu menjamin peningkatan stok pangan nasional,
sehingga akan memberikan jaminan pangan bagi masyarakat dan kemiskinan
dapat dikurangi. Tingginya angka inflasi dan terjadinya krisis ekonomi yang
pernah melanda Indonesia diduga sebagai faktor penyebab meningkatnya angka
kemiskinan di Indonesia, karena menyebabkan mahalnya faktor produksi
sehingga banyak industri yang rugi dan memunculkan pengangguran baru, serta
hal tersebut menyebabkan semakin menurunnya daya beli masyarakat.
48
Menurut Mitchel (1985), dalam perumusan model pembangunan pertanian
di Korea, kebijakan pembangunan pertanian yang berupa pengadaan sarana
irigasi, mekanisasi, proteksi harga, dan peningkatan penguasaan lahan akan
meningkatkan jumlah produksi dan memperbaiki harga khususnya ditingkat
petani. Penelitian di sektor pertanian diduga mampu meningkatkan kualitas dan
kuantitas hasil produksi pertanian, sehingga akan meningkatkan daya saing
komoditas pertanian itu sendiri. Peubah makro ekonomi peningkatan upah riil
yang proporsional akan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, serta
penurunan tingkat suku bunga secara teori akan mendorong tingkat investasi,
yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
3.3.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series tingkat nasional
(Indonesia) tahun 1984 – 2003. Data ini bersumber dari Biro Pusat Statistik
(BPS), Bank Indonesia, Departemen Pertanian, dan berbagai intansi terkait
lainnya. Data yang didapatkan tersebut digunakan untuk melakukan pendugaan
parameter berdasarnya model yang telah dibangun.
3.4.
Spesifikasi Model
Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses. Model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari model
aljabar, yaitu suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih
peubah pengganggu (Intriligator, 1978).
49
Model ekonometrika merupakan gambaran hubungan dari masing-masing
peubah penjelas (explanatory variables) dan peubah endogennya (endogen ous
variables). Model yang baik adalah model yang memenuhi kriteria ekonomi
khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (sign and magnitud e) dari
penduga parameter yang sesuai dengan harapan teoritis (theoretically meaningful)
secara apriori, kriteria statistik yang bisa dilihat dari suatu derajat ketepatan
(goodness of fit ), dan kriteria ekonometrika yang menetapkan suatu taksiran
memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, efficiency, sufficiency,
dan consistency (Koutsoyiannis, 1977).
Spesifikasi model yang dirumuskan dalam studi ini adalah sangat
terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model kemiskinan Indonesia
dalam konteks pembangunan ekonomi. Model yang dibangun adalah model
persamaan simultan.
Secara umum kebijakan pembangunan pertanian ditujukan untuk
meningkatkan produksi dan memperbaiki harga di tingkat petani, sehingga
kecukupan pangan dapat terpenuhi dan petani pada umumnya memperoleh
pendapatan yang lebih baik. Menurut Mitchel (1985), menyebutkan bahwa
kelompok kebijakan pembangunan pertanian merupakan peubah eksogen yang
mempengaruhi secara langsung pada produksi dan harga komoditas pertanian.
Untuk mengetahui keterkaitan dampak kebijakan pertanian dengan kemiskinan di
Indonesia disajikan dalam persamaan yang terbentuk dari pemodelan sebagai
berikut :
50
1.
Produksi Pertanian
Besarnya produksi pertanian tergantung pada luasan lahan yang
digunakan, jumlah lahan yang beririgasi, besaran modal yang didapatkan melalui
kredit, tingkat subsidi pupuk yang diberikan, mekanisasi yang digunakan,
investasi, dan besaran dana penelitian.
Penentuan peubah-peubah yang mempengaruhi produksi pertanian
didasarkan pada perumusan model ekonometrika yang dilakukan Asnawi (2005),
yang menyebutkan bahwa produksi pertanian dipengaruhi oleh luas lahan
pertanian, luas areal intensifikasi, dana penelitian, kredit pertanian, modal dan
investasi pada sektor pertanian. Menurut Darmansyah (2003), produksi pertanian
khususnya padi sawah banyak dipengaruhi oleh peubah pupuk. Selanjutnya
persamaan yang tebentuk dapat ditulis sebagai berikut :
PROAt = a0 + a1LA t + a2 IRI t + a3CREt + a4SUBF t + a5MEC t + a6INVAt
+ a 7 RIS t + a8PROAt-1 + U1 ................................................. (18)
diharapkan : a1, a2, a3, a4, a5, a6, a7 > 0 dan 0 < a8 < 1
Keterangan :
PROAt
LAt
IRIt
CREt
SUBF t
MEC
INVAt
RIS t
PROAt-1
U1
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Lahan Pertanian (ribu Ha)
= Luasan Lahan Irigasi (ribu Ha)
= Kredit Pertanian (milyar rupiah)
= Subsidi Pupuk (milyar rupiah)
= Mekanisasi Pertanian (unit)
= Investasi Pertanian (milyar rupiah)
= Penelitian (milyar rupiah)
= Lag Produksi pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
51
2.
Investasi Pertanian
Investasi di sektor pertanian banyak dipengaruhi oleh tingkat harga
komoditas pertanian yang berlaku, selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan
tenaga kerja di sektor pertanian. Pendapatan masyarakat yang siap dibelanjakan
juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap investasi di sektor pertanian.
Kemudian, dua faktor penting yang turut mempengaruhi investasi sektor pertanian
adalah tingkat suku bunga dan krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia.
Penentuan peubah pada persamaan investasi di sektor pertanian merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayawinata (2005), yang menyebutkan
bahwa penurunan suku bunga dan peningkatan harga mampu mendorong
peningkatan investasi. Selanjutnya Asnawi (2005), menyebutkan bahwa investasi
mampu didorong dengan peningkatan pendapatan. Jumlah tenaga kerja yang
melimpah dan upah tenaga kerja di sektor pertanian yang relatif murah akan
mampu meningkatkan pilihan investasi di sektor pertanian. Dalam persamaan ini
juga dimasukkan peubah krisis ekonomi, yang mengindikasikan bahwa dengan
adanya krisis semakin memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Selanjutnya
persamaan yang tebentuk dapat ditulis sebagai berikut :
INVAt = b 0 + b 1PA t + b 2LABA t + b3YD t + b 4IRD t + b 5DK t +
b 6INVAt-1 + U2 ....................................................................... (19)
diharapkan : b1, b 2, b3, > 0 ; b 4, b 5 < 0 dan 0 < b 6 < 1
Keterangan :
INVAt
PAt
LABAt
YDt
IRDt
= Investasi Pertanian (milyar rupiah)
= Indeks Harga Pertanian
= Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang)
= Pendapatan Disposibel (miliar rupiah)
= Suku Bunga Domestik ( persen )
52
DKt
INVAt-1
U2
3.
= Dummy Krisis ekonomi
= Lag Investasi Pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
Tenaga Kerja Pertanian
Ketersediaan tenaga kerja di sektor pertanian menurut Asnawi (2005),
dipengaruhi oleh besarnya tingkat upah riil dan jumlah penduduk. Jumlah
penduduk di sini diduga memberikan pengaruh terhadap ketersediaan tenaga kerja
di sektor pertanian, karena sebagian besar penduduk bermukim di pedesaan dan
bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya persamaan yang tebentuk dapat ditulis
sebagai berikut :
LABAt = c0 + c 1WAGEt + c 2POP t + c 3LABAt-1 + U3 ........................... (20)
diharapkan : c1, c 2 > 0 dan 0 < c 3 < 1
keterangan :
LABAt
POPt
WAGEt
LABAt -1
U3
4.
= Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang)
= Jumlah Penduduk (juta orang)
= Tingkat Upah riil (rupiah)
= Lag Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang)
= Peubah Pengganggu
Harga Komoditas Pertanian
Pembentukan harga komoditas pertanian banyak dipengaruhi oleh
besarnya produksi pertanian yang dihasilkan, selain itu tingkat inflasi juga turut
mempengaruhi fluktuasi harga komoditas pertanian. Nilai tukar rupiah terhadap
dolar dan impor komoditas pertanian juga mempengaruhi pembentukan harga
komoditas pertanian.
Penentuan
peubah
yang
mempengaruhi tingkat
harga
komoditas
didasarkan pada penelitian Darmansyah (2003), yang menyebutkan bahwa harga
53
secara nyata dipengaruhi oleh impor, nilai tukar dan produksi pertanian.Inflasi
merupakan peubah yang cukup berpengaruh terhadap fluktuasi harga.
Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat ditulis sebagai berikut :
PAt
= d 0 + d 1PROAt + d 2INFt + d 3ERt + d 4IMAt + d 5PAt-1 + U4 ...... (21)
diharapakan : d 1, d4 < 0 ; d 2, d 3 > 0 dan 0 < d 5 < 1
keterangan :
PAt
PROAt
INFt
ERt
IMAt
PAt-1
U4
5.
= Indeks Harga Pertanian
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Inflasi ( persen)
= Nilai Tukar (Rp/US$)
= Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Lag Indeks Harga Pertanian
= Peubah Pengganggu
Ekspor Komoditas Pertanian
Besarnya nilai ekspor komoditas pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar
rupiah terhadap dolar, pajak ekspor, harga komoditas pertanian dunia, indeks
harga ekspor komoditas pertanian, tingkat harga komoditas pertanian domestik
dan banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan.
Penentuan peubah dalam persamaan ekpor komoditas pertanian merujuk
pada penelitian Sitepu (2002), yang menyebutkan bahwa ekspor dipengaruhi oleh
nilai tukar, produksi pertanian, dan harga dunia. Selanjutnya Asnawi (2005),
menyebutkan bahwa ekspor komoditas pertanian dipengaruhi secara nyata oleh
harga dan indeks harga ekspor komoditas pertanian serta pajak ekspor. P ersamaan
yang terbentuk dapat ditulis sebagai berikut :
EXAt = e0 + e1ERt + e2TAXEt + e3WPAt + e4 IHEA t + e5 PA t +
e6PROAt + e7EXAt -1 + U5 ....................................................... (22)
diharapkan : e1, e2, e5 < 0 ; e3, e4, e 6 > 0 dan 0 < e7 < 1
54
keterangan :
EXAt
ERt
TAXEt
WPAt
IHEA t
PAt
PROAt
EXAt-1
U5
6.
= Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Nilai Tukar (Rp/US$)
= Pajak Ekspor (Rp/ton)
= Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia
= Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian
= Indeks Harga Pertanian
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Lag Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
Impor Komoditas Pertanian
Besarnya nilai impor komoditas pertanian menurut Asnawi (2005),
dipengaruhi oleh nila tukar rupiah terhadap dollar, pajak impor komoditas
pertanian, dan indeks harga impor komoditas pertanian. Menurut Sitepu (2002),
impor dipengaruhi secara nyata oleh harga komoditas pertanian domestik harga
komoditas pertanian dunia. Jumlah stok pangan yang masih tersedia merupakan
peubah penting bagi pengambil kebijakan untuk menentukan besaran impor
khususnya untuk produk pangan seperti beras. Selanjutnya persamaan yang
terbentuk dapat ditulis sebagai berikut :
IMAt = f0 + f1ER t + f2TAXIt + f 3WPAt + f4 IHIA t + f 5 PA t + f6SPNt +
f7IMAt-1 + U6 .......................................................................... (23)
diharapkan : f1, f 5 > 0 ; f2, f3, f4, f 6 < 0 dan 0 < f7 < 1
Keterangan :
IMAt
ERt
TAXIt
IHIA t
PAt
SPNt
IMAt-1
U6
= Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Nilai Tukar (Rp/US$)
= Pajak / Tarif Impor (Rp/ton)
= Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian
= Indeks Harga Pertanian
= Stok Pangan Nasional (ribu ton)
= Lag Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
55
7.
Kemiskinan di Perkotaan
Kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingginya tingkat upah yang
diberikan, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor jasa dan
manufaktur, serta stok pangan. Selain itu, tingginya tingkat inflasi dan krisis
ekonomi yang pernah melanda Indonesia diduga juga ikut mempengaruhi
tingginya angka kemiskinan di perkotaan, karena menyebabkan semakin
melemahnya daya beli masyarakat, khususnya di perkotaan.
Penentuan peubah kemiskinan di perkotaan didasarkan pada penelitian
Yudhoyono (2004), yang menyebutkan bahwa kemikinan di perkotaan
dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan tingkat
upah. Keberadaan stok pangan sangat berpengaruh pada kemiskinan di perkotaan,
karena ketersediaan pangan untuk masyarakat perkotaan tidak bisa dihasilkan
sendiri dan sangat tergantung dari suplai pangan dari pedesaan dan stok pangan
nasional. Persamaan yang tebentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
UPOVt
= g0 + g 1WAGEt + g 2EGRO t + g3GES t + g4GEMt + g5SPNt +
g 6INF t + g7DKt + g8UPOVt-1 + U7.................................. (24)
diharapkan : g1, g 2,g3,g 4, g 5< 0 ; g6, g 7 >0 dan 0<g8< 1
keterangan :
UPOVt
WAGEt
EGRO t
GESt
GEMt
SPNt
INFt
DKt
UPOVt-1
U7
= Kemiskinan di Perkotaan (juta orang)
= Tingkat Upah riil (rupiah)
= Pertumbuhan Ekonomi Nasional ( persen)
= Belanja Pemerintah di Sektor Jasa (milyar rupiah)
= Belanja Pemerintah di Sektor Industri (milyar rupiah)
= Stok Pangan Nasional (ribu ton)
= Inflasi (persen )
= Dummy Krisis ekonomi
= Lag Kemiskinan di Perkotaan (juta orang)
= Peubah Pengganggu
56
8.
Kemiskinan di Pedesaan
Tingginya angka kemiskinan di pedesaan diduga banyak dipengaruhi oleh
besarnya tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor
pertanian, tingkat inflasi, serta krisis ekonomi. Selain beberapa peubah di atas,
peubah produksi dan tingkat harga komoditas pertanian juga diduga memberikan
pengaruh terhadap kemiskinan di pedesaan.
Penentuan peubah kemiskinan di pedesaan merujuk pada penelitian
Yudhoyono (2004), yang menyebutkan bahwa kemiskinan di pedesaan
dipengaruhi oleh belanja pemerintah di sektor pertanian, tingkat upah, dan
pertumbuhan ekonomi. Perbaikan harga komoditas pertanian di tingkat petani dan
peningkatan jumlah produksi komoditas pertanian tentunya akan semakin
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Selanjutnya persamaan yang
terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
RPOVt
= h 0 + h 1WAGEt + h 2EGROt + h3GEAt + h4INFt + h5PAt +
h 6PROAt + h7DKt + h8RPOVt-1 + U8 ..................................(25)
diharapkan : h1, h 2, h3, h 5, h 6 < 0; h4, h 7 > 0 dan 0 < h 8 < 1
keterangan :
RPOVt
WAGEt
EGRO t
GEAt
INFt
PAt
PROAt
DKt
RPOVt-1
U8
= Kemiskinan di Pedesaan (juta orang)
= Tingkat Upah riil (rupiah)
= Pertumbuhan Ekonomi Nasional (persen)
= Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Inflasi (persen )
= Indeks Harga Pertanian
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Dummy Krisis ekonomi
= Lag Kemiskinan di Pedesaan (juta orang)
= Peubah Pengganggu
57
9.
Kemiskinan Total
Kemiskinan total merupakan persamaan identitas yang diperoleh dari
penjulahan kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Selanjutnya persaaman
identitas tersebut dituliskan sebagai berikut :
TPOVt = UPOVt + RPOVt ....................................................................(26)
keterengan :
TPOVt
UPOVt
RPOVt
10.
= Kemiskinan Total (juta orang)
= Kemiskinan di Perkotaan (juta orang)
= Kemiskinan di Pedesaan (juta orang)
Stok Pangan Nasional
Stok pangan nasional merupakan persamaan struktural yang diduga
dipengaruhi oleh besarnya produksi pertanian, ek spor dan impor komoditas
pertanian. Penambahan tingkat populasi juga merupakan faktor yang ikut
mempengaruhi perilaku pemerintah dalam penyediaan stok pangan nasional.
Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
SPNt = i0 + i1PROAt + i2EXAt + i3IMAt + i4POPt + i 5SPNt-1 + U9......(27)
diharapkan : i1 , i3 > 0; i2, i4 < 0 dan 0 < h5 < 1
keterengan :
SPNt
PROAt
EXAt
IMAt
POPt
SPNt-1
U9
= Stok Pangan Nasional (ribu ton)
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Ekspor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Impor Komoditas Pertanian (milyar rupiah)
= Jumlah Penduduk (juta orang)
= Lag Stok Pangan Nasional (ribu ton)
= Peubah Pengganggu
58
11.
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Menurut Yudhoyono (2004), belanja pemerintah di sektor pertanian
merupakan persamaan struktural yang besarnya dipengaruhi oleh penerimaan
pemerintah, tingkat inflasi dan krisis ekonomi. Selanjutnya persamaan yang
terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
GEAt = j0 + j1INFt + j2GRt + j3DKt + j4GEAt-1 + U10 ...........................(28)
diharapkan : j1 , j3 < 0; j2 > 0 dan 0 < j4 < 1
Keterangan :
GEAt
INFt
GRt
DKt
GEAt-1
U10
12.
= Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Inflasi (persen )
= Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah)
= Dummy Krisis ekonomi
= Lag Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar
rupiah)
= Peubah Pengganggu
GDP Sektor Pertanian
GDP sektor pertanian merupakan persamaan struktural yang diduga
dipengaruhi oleh besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, belanja
pemerintah di sektor pertanian, modal sektor pertanian, investasi sektor pertanian
dan konsumsi sektor pertanian.
Penentuan peubah pada persamaan GDP sektor pertanian didasarkan pada
hasil penelitian Jayawinata (2005), yang menyatakan bahwa GDP pertanian
dipengaruhi secara nyata oleh jumlah tenaga kerja, investasi sektor pertanian, dan
model sektor pertanian. GDP sektor pertanian menurut Yudhoyono (2004),
59
dipengaruhi oleh belanja pemerintah di sektor pertanian dan faktor konsumsi.
Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
GDPAt = k0 + k1LABAt + k2GEAt + k3KAt + k4INVAt + k5FCONt +
k6GDPAt-1 + U11.......................................................................(29)
diharapkan : k1, k 2, k 3, k 4, k5 > 0 dan 0 < k5 < 1
Keterangan :
GDPAt
LABAt
GEAt
KAt
INVAt
FCONt
GDPAt-1
U11
13.
= GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Tenaga Kerja Pertanian (ribu orang)
= Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Modal Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Investasi Pertanian (milyar rupiah)
= Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Lag GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
GDP Total
GDP total merupakan persamaan identitas yang diperoleh dengan
menjumlahkan GDP sektor pertanian dan GDP non-pertanian. Selanjutnya
persamaan identitas tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
GDPT t = GDPAt + GDPNt ..................................................................... (30)
keterangan :
GDPT t
GDPAt
GDPNt
14.
= GDP Total (milyar rupiah)
= GDP Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= GDP Non-Pertanian (milyar rupiah)
Penerimaan Pemerintah
Menurut Jayawinata (2005), besarnya penerimaan pemerintah dipengaruhi
oleh stok hutang pemerintah, total pajak yang diterima pemerintah, serta
60
keuntungan dari sektor minyak dan gas khususnya yang diekspor, dalam hal ini
diproksikan dengan harga minyak dunia. Selanjutnya persamaan struktural yang
terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
GRt
= l0 + l1GDSt + l2TTAX t + l3WOILt + l4GR t-1 + U12 ..................(31)
diharapkan : l1 , l2, l3 > 0 dan 0 < l4 < 1
Keterangan :
GRt
GDSt
TTAXt
WOILt
GRt-1
U12
15.
= Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah)
= Stok Hutang Pemerintah (milyar rupiah)
= Pajak Total (milyar rupiah)
= Harga Minyak Dunia (US$/barrel)
= Lag Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
Pajak Total
Penentuan peubah besarnya pajak total yang diterima negara didasarkan
pada penelitian Yudho yono (2004), yang menyatakan bahwa pajak total diduga
banyak dip engaruhi oleh besarnya GDP dan investasi total, sementara itu Asnawi
(2005) juga melihat tren waktu sebagai salah satu peubah yang turut
mempengaruhi besarnya pajak . Selanjutnya persamaan yang terbentuk dapat
dituliskan sebagai berikut :
TTAX = m0 + m1GDPTt + m 2INVT t + m3TWt + m4TTAXt-1 + U13.......(32)
diharapkan : m1, m2, m3 > 0 dan 0 < m4 < 1
Keterangan :
TTAXt
GDPT t
INVTt
TWt
TTAXt-1
U13
= Pajak Total (milyar rupiah)
= GDP Total (milyar rupiah)
= Investasi Total (milyar rupiah)
= Tren Waktu
= Lag Pajak Total (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
61
16.
Konsumsi Sektor Pertanian
Besarnya konsumsi sektor pertanian menurut Asnawi (2005), dipengaruhi
oleh banyaknya produksi pertanian yang dihasilkan dan besarnya tingkat
pendapatan masyarakat yang siap dibelanjakan. Selanjutnya persamaan yang
terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
FCONt
= n0 + n1PROAt + n2YDt + n3FCONt-1 + U14 ..........................(33)
diharapkan : n 1, n 2 > 0 dan 0 < n 3 < 1
Keterangan :
FCONt
PROAt
YDt
FCONt-1
U14
17.
= Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Produksi Pertanian (milyar rupiah)
= Pendapatan Disposibel (miliar rupiah)
= Lag Konsumsi Sektor Pertanian (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
Penawaran Uang
Besarnya tingkat penawaran uang yang dilakukan menurut Jayawinata
(2005), dipengaruhi oleh tingkat suku bunga domestik, nilai tukar rupiah terhadap
dolar, dan GDP total. Hal serupa juga dikemukakan oleh Yudhoyono (2004), yang
menyebutkan penawaran uang juga dipengaruhi oleh GDP, nilai tukar dan suku
bunga, namun dalam penelitian tersebut juga ditambahkan peubah rezim
pemerintahan sebagai varabel dummy. Selanjutnya persamaan struktural yang
terbentuk dapat dituliskan sebagai berikut :
MS t
= o 0 + o 1IRDt + o 2ER t + o 3GDPT t + U15 .....................................(34)
diharapkan : o 1, o 2 < 0 ; o 3 > 0
62
Keterangan :
MS t
IRDt
ERt
GDPT t
U15
18.
= Penawaran Uang (milyar rupiah)
= Suku Bunga Domestik ( persen )
= Nilai Tukar (Rp/US$)
= GDP Total (milyar rupiah)
= Peubah Pengganggu
Inflasi
Tingkat inflasi yang terjadi diduga dipengaruhi oleh besarnya GDP total,
penawaran uang, nilai tukar dan kondisi krisis ekonomi. Penenutuan peubah yang
mempengaruhi tingkat inflasi tersebut didasarkan pada hasil penelitian
Yudhoyono (2005), yang menyebutkan bahwa inflasi dipengaruhi oleh GDP total,
penawaran uang dan nilai tukar. Selanjutnya persamaan struktural yang terbentuk
dapat dituliskan sebagai berikut :
INFt
= p 0 + p 1GDPT t + p 2MS t + p 3ER t + p 4DKt + U16 ....................... (35)
diharapkan : p 1, p 2, p 3, p 4 > 0
Keterangan :
INFt
GDPT t
MS t
ERt
DKt
U16
= Inflasi (persen )
= GDP Total (milyar rupiah)
= Penawaran Uang (milyar rupiah)
= Nilai Tukar (Rp/US$)
= Dummy Krisis ekonomi
= Peubah Pengganggu
54
Keterangan
:
= peubah eksogen
= peubah endogen
Gambar 10. Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian
64
Dalam membangun model ekonometrika diperlukan langkah -langkah atau
prosedur yang harus dilalalui sebagai pedoman . Dalam penelitian ini prosedurprosedur tersebut dapat disimak dalam Gambar 11.
3.5.
Prosedur Analisis
3.5.1. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar "order condition" sebagai syarat
keharusan
dan
"rank
condition"
sebagai
syarat
kecukupan.
Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural
berdasarkan order condition ditentukan oleh:
(K-M) > (G- 1) ............................................................... (36)
dimana:
K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah
predetermined.
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu
persamaan tertentu dalam model, dan
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam
model.
Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai
berikut.
(K –M) > (G–1)
= maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih
(overidentified)
(K–M ) = (G–1)
= maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara
tepat (exactly identified), dan
(K–M) < (G –1)
= maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi
(unidentified).
65
Penentuan masalah ekonomi
tertentu secara umum
A
Spesifikasi mensarikan masalah
secara lebih terperinci
Dasar teori yang melandasi
pembangunan model,
penggalian hipotesis
Telaah pustaka dan
penggalian pengalaman
penelitian sebelumnya
Penyusunan kerangka model
konsepsional (teori ekonomi)
Kerangka model operasional
Pengumpulan data empirik
B
Pendugaan parameter
Pengujian hipotesis
(verifikasi model)
Simulasi dan peramalan
model
Hasil-hasil peramalan
C
Kesimpulan dan
rekomendasi kebijakan
Keterangan :
A = Input (masukan) disertai dengan dugaan pemula dari peubah eksogen
B = Model ekonometrika (sistem persamaan simultan, jumlah persamaan sesuai
dengan jumlah peubah endogen yang terdapat dalam model
C = Solusi atau jawaban (nilai ramalan di masa depan)
Gambar 11. Tahapan Langkah-langkah dan Umpan Balik
dalam Penelitian Ekonometrika
66
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly
identified atau overidentifled untuk dapat menduga parameter -parameternya.
Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu
tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu
syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk
identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika
dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan
bukan nol pada order (G -1) dari parameter struktural peubah yang tidak
termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank
ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak
sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977).
Dalam penelitian ini, model yang dirumuskan terdiri dari 18 persamaan
atau 18 peubah endogen ( G ) dan 40 peubah predetermined variable s yang
terdiri dari 26 peubah eksogen dan 14 lag endogenous variables. Sehingga total
peubah dalam model (K) adalah 58 peubah, jumlah peubah dalam persamaan
(M ) paling banyak adalah 8 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition
maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
3.5.2. Metode Pendugaan Model
Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan overidentified .
Dalam penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS,
dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran
yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan
FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap
kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999;
Sumodiningrat, 1999).
67
Untuk mengetahui keragaman dan menguji apakah peubah penjelas secara
bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada
setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen,
maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t atau dengan melihat nilai
probabilitasnya.
3.5.3. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu
dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana
model tersebut dapat mewakili dunia nyata.
Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan
model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Mean Square s Percent Error
(RMSPE), Bias (UM) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and
Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
s
a
1 n  Ya − Yt

RMSPE =
∑
n t =1  Yt a
U =
(
1 n s
∑ Yt − Yt a
n t =1
( )
1 n
∑ Yt s
n t =1
2
+
2

 .............................................................. (37)

)
2
( )
1 n
∑ Yt a
n t =1
............................................................ (38)
2
dimana :
Yt s
Yt
n
a
= nilai hasil simulasi dasar dari peubah observasi
= nilai aktual peubah observasi
= jumlah periode observasi
68
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai
peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya
dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti
perkembangan nilai aktualnya.
Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk
analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika
U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif.
Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil's, maka pendugaan model
semakin baik.
3.5.4. Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka
model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat
dibedakan beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan
berdasarkan horizon waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante
forecasting dan backcasting, yang diilustrasikan pada Gambar 12.
forecasting
ex-post simulation or
backcasting
historical simulation
ex-post
ex-ante
forecasting
forecasting
Periode data dugaan
t1
Periode dugaan
t2
t3 (today)
Sumber: Mulyono, 2000.
Gambar 12. Garis Waktu Peramalan
Pada periode t 1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung
dengan data yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex -
69
post simulation atau historical simulation. Nilai historical series yang dimulai
tahun t1 dan berakhir tahun t2, digunakan untuk peubah eksogen, sedangkan nilai
historical dalam t1 merupakan keadaan awal dari peubah endogen.
Ex-post forecasting menunjukkan kalau periode dugaan t 2 < t3, maka
peramalan dapat dilakukan diakhir periode. Sedangkan pada ex-ante forecasting
yang dimulai dari t3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependent peubah yang
didasarkan pada peubah bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun
berikutnya, namun dalam penelitian ini tidak dilakukan. Analisis kebijakan
dilakukan untuk melihat dampak kebijakan ekonomi terhadap semua peubah
endogen. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana reaksi peubah
endogen terhadap perubahan peubah eksogen.
Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah di
sektor pertanian terhadap peubah-peubah endogen utamanya adalah untuk
mengetahui dampak terhadap pengentasan kemiskinan. Analisis simulasi
diterapkan untuk periode tahun 1984-2003. Karena mencakup periode yang sudah
lampau, maka simulasi dinamakan simulasi historis. Namun demikian, hal
tersebut masih relevan untuk mensimulasi dampak kebijakan pemerintah di sektor
pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dan beberapa peubah endogen
lainnya.
Simulasi kebijakan yang dilakukan terdiri dari kebijakan tunggal dan
kombinasi kebijakan. Simulasi kebijakan tunggal yang dilakukan yaitu :
1. Meningkatkan anggaran penelitian sebesar 20 persen.
2. Menambah luas areal sebesar 20 persen.
3. Meningkatkan nilai kredit sebesar 10 persen.
4. Mengurangi subsidi pupuk sebesar 25 persen.
70
5. Menambah areal lahan irigasi sebesar 10 persen.
6. Meningkatkan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen.
7. Mengurangi impor komoditas pertanian sebesar 50 persen.
8. Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen.
9. Meningkatkan belanja pemerintah sektor pertanian seb esar 20 persen.
10. Menaikkan pajak impor sebesar 25 persen.
11. Menurunkan pajak ekspor sebesar25 persen.
12. Meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen.
13. Menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen.
Alternatif kombinasi kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa
indikator ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan yaitu :
1. Menurunkan subsidi pupuk dan meningkatkan anggaran penelitian masingmasing sebesar 20 persen.
2. Menaikkan pajak impor dan menurunkan pajak ekpor masing -masing sebesar
25 persen.
3. Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen dan
meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen.
4. Meningkatkan anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian dan jasa
masing-masing sebesar 5 persen.
5. Meningkatkan luas areal, kredit pertanian masing-masing 10
persen dan
menurunkan suku bunga sebesar 2 persen.
6. Meningkatkan angggaran penelitian sebesar 20 persen, meningkatkan upah rill
sebesar 10 persen, serta menurunkan tingkat suku bunga sebesar 2 persen.
IV. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
4.1.
Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia
Dalam sejarah
modern
Indonesia,
pertumbuhan
sektor
pertanian
sebenarnya mencatat suatu kinerja yang tidak terlalu buruk. Sektor pertanian
tumbuh sekitar 3.73 persen rata-rata per tahun pada periode 1968-2001. Peran sub
sektor pangan dan tanaman perkebunan cukup dominan dalam struktur
pertumbuhan sektor pertanian tersebut sepanjang lebih dari tiga dasawarsa
tersebut. Demikian pula sub sektor peternakan dan perikanan juga berkontribusi
penting dan potensial dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam melakukan transformasi struktur
perekonomian juga merupakan refleksi dari prioritas dan strategi yang dipilih,
walaupun sering melupakan basis penting sektor pertanian dalam rumusan
kebijakan ekonomi makro pada umumnya (Arifin, 2004).
Tabel 2. Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001
(persen/tahun)
Fase
Uraian
PDB Pertanian
- Tanaman Pangan
- Perkebunan
- Peternakan
- Perikanan
Pro duksi Pertanian
- Produktivitas Lahan
- Produktivitas Tenaga
Kerja
Sumber : Arifin, 2004
Konsolidasi
1967-1978
Tumbuh
Tinggi
1978-1986
Dekonstruksi
1986-1997
Krisis
1997-2001
3.39
3.58
4.53
2.02
3.44
3.57
2.08
2.32
5.72
4.95
5.85
6.99
5.15
6.76
4.13
5.57
3.38
1.90
6.23
5.78
5.36
3.99
1.83
2.03
1.57
1.62
1.29
-1.92
5.45
-0.47
-1.45
-0.47
72
4.1.1. Masa Orde Lama
Selama revolusi fisik periode tahun 1945-1950, usaha yang telah
dilakukan pemerintah dalam kaitannya untuk meningkatkan produksi pangan
salah satunya dengan mencari sistem penyuluhan yang dapat menjamin
peningkatan produksi padi lebih besar dalam waktu yang lebih singkat. Pada
tahun 1947 pemerintah mengintesifkan penyuluhan pertanian melalui Balai
Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). BPMD merupakan tempat yang dikelilingi
oleh areal seluas kurang lebih 2 hektar yang diusahakan sebagai tempat
percontohan berkaitan dengan aktivitas pertanian. Pada tempat tersebut diadakan
kursus-kursus, pertemuan dan musyawarah untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan masyarakat dalam bidang tanaman pangan, perikanan, peternakan,
kehutanan, kerajinan, koperasi, pengairan dan lain-lain. Selain itu di BPMD ini
para petani dapat membeli alat-alat pertanian dan sarana yang diperlukan. Karena
revolusi fisik pada tahun 1949, maka rencana pembentukan BPMD ini baru dapat
terlaksana pada tahun 1950, padahal rencana tersebut telah dimasukkan dalam
rencana peningkatan produksi tiga tahun Kementrian Pertanian atau yang lazim
disebut Kasimo Plan (Silitonga, et al,1995).
Sementara itu, produksi padi dalam periode itu mengalami pertumbuhan
yang lambat, sehingga memaksa pemerintah terus -menerus mengimpor beras
untuk menutupi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat. Jika pada
tahun 1950 impor beras berjumlah 334 ribu ton maka pada tahun 1956 jumlah
impor meningkat menjadi 763 ribu. Selanjutnya pada tahun 1957 jumlah impor
berkurang menjadi 563 ribu ton. Namun pada tahun 1958 dan 1959 meningkat
kembali menjadi 681 ribu ton dan 800 ribu ton. Meningkatnya impor beras
73
merupakan beban berat bagi negara, karena menurunnya penerimaan devisa sejak
tahun 1950. Sementara itu konsumsi beras dari tahun ke tahun semakin
bertambah, seiring dengan kenaikan jumlah penduduk, pergeseran menu makanan
non beras ke beras dan naiknya konsumsi beras perkapita. Keadaan ini mendorong
usaha untuk menemukan cara-cara baru dalam peningkatan produksi pangan
secara massal dan terintegrasi.
Pada tahun 1959 pemerintah membentuk suatu badan hukum yang disebut
Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BMPT).
Badan tersebut bertugas meningkatkan produksi beras dengan tiga macam usaha,
yaitu : (1) intensifikasi produksi padi dilaksanakan oleh Bagian Perusahaan Padi
Sentra, (2) usaha produksi bahan makanan di tanah kering dan pembukaan tanah
secara mekanis diselenggarakan oleh Bagian Perusahaan Tanah Kering dan
Pembukaan Tanah, dan (3) pembukaan tanah pasang surut penyelenggaranya
diserahkan kepada Bagian Pembukaan Tanah Pasang Surut.
Usaha-usaha tersebut telah tercakup dalam “Rencana Tiga Tahun Produksi
Beras”. Selanjutnya untuk mempercepat gerak usaha tersebut di atas, pemerintah
membentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Pada awal usaha yang
dapat dengan segera dilaksanakan hanya intensifikasi produksi padi yang
dilaksanakan oleh padi sentra, sedangkan usaha yang lain masih harus dilakukan
penelitian dan persiapan lebih lanjut.
Pelaksanaan penyuluhan yang dilakukan padi sentra memperlihatkan
beberapa kelemahan antara lain : (1) terdapat tanggapan yang kurang baik dari
para petani karena seolah-olah terjadi ironi penerapan sistem "ijon" yang
seharusnya dicegah dalam pelaksanaan penggabungan tugas penyuluh dan badan
74
kredit yang berakhir dengan pengumpulan padi yang harganya dinilai relatif
rendah, (2) terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kredit akibat prosedur
kredit yang terlalu mudah dari penyuluh sebagai petugas kredit kepada petani
(penerima kredit) dan tidak melibatkan aparat perbankan, dan (3) beban yang
terlalu berat dipikul hanya oleh badan Padi Sentra yaitu tugas pendidikan/latihan
petani dan penyuluhan, dis tribusi pupuk dan sarana produksi lainnya serta
penyalur kredit. Semua ini mengakibatkan tugas yang diemban tidak dapat terlaksana dengan sempurna.
Pada kurun waktu 1963 - 1965 kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
program padi sentra dicoba diperbaiki. Namun dengan keadaan politik saat itu
yakni perebutan kembali Irian Barat dari tangan Belanda serta konfrontasi dengan
Malaysia yang banyak meminta dana dan pengorbanan lainnya, mendorong
Presiden untuk mengeluarkan gagasan "sistem ekonomi terpimpin". Sebaliknya
para cendekiawan berpendapat bahwa sebaiknya sistem perekonomian dibentuk
dengan bersendikan kepada sistem ekonomi pasar.
4.1.2. Masa Orde Baru
Menurut Arifin (2004), awal orde baru dikatakan sebagai fase konsolidasi,
pada fase tersebut sektor pertanian mengalami pertumbuhan sekitar 3.39 persen,
hal ini lebih banyak disebabkan kinerja sub sektor tanaman pangan dan
perkebunan yang tumbuh masing-masing 3.58 dan 4.53 persen. Produksi beras
sendiri pada tahun 1970-an mencapai lebih dari 2 juta ton, dan produktivitas
mencapai 2.5 ton per hektar atau sekitar dua kali lipat kinerja pada tahun 1963.
Tiga kebijakan penting yang perlu dicatat adalah (1) intensifikasi, (2)
75
ekstensifikasi, dan (3) diversifikasi yang mampu mendorong produksi dan
produktivitas sektor pertanian secara signifikan.
Kemudian pada fase tumbuh tinggi, yaitu antara tahun 1978-1986 adalah
fase yang cukup penting bagi ekonomi pertanian Indonesia, karena pada fase ini
sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 5.7 persen. Hal tersebut
disebabkan strategi pembangunan ekonomi memang berbasiskan pada sektor
pertanian. Peningkatan produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan
hampir semuany a tumbuh tinggi dan bahkan mencatat angka pertumbuhan
produksi 6.8 persen. Kontribusi riset atau ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
sektor pertanian telah mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian, terutama
bahan pangan, seperti beras, jagung, dan biji-bijian lainnya. Pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja pun mampu mengentaskan masyarakat Indonesia dari
kemiskinan karena tertolong tingginya pertumbuhan produktivitas lahan dan
peningkatan efisiensi usahatani.
Pada periode 1986-1997 sektor pertanian memang mengalami kontraksi
tingkat pertumbuhan di bawah 3.4 persen per tahun, hal ini bertolak belakang
dengan fase sebelumnya. Pada periode 1986-1997 ini sektor pertanian mengalami
penurunan, karena kurang mendapat perhatian dari perumus kebijakan dan bahkan
oleh para ekonom sendiri. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah
menimbulkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan bergulir dengan
sendirinya dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras yang terjadi pada
periode-periode sebelumnya. Indikasi fase buruk sektor pertanian sebenarnya
telah muncul pada awal tahun 1990-an ketika kebijakan teknokratik pembangunan
76
ekonomi yang mengarah pada strategi industrialisasi secara besar -besaran (Arifin,
2004).
Beberapa keberhasilan dan kegagalan pembangunan pertanian yang telah
dicatat pada masa orde baru tidak terlepas pada beberapa paket program kebijakan
yang telah dirumuskan, paket program kebijakan tersebut antara lain dijelaskan
sebagai berikut :
1.
Program Bimas
Khusus untuk program Bimas, nama yang berbeda-beda menunjukkan
perbedaan dalam hal-hal berikut ini : (1) latar belakang pembentukan atau
perubahannya, (2) pengorganisasian, (3) target dan realisasinya, (4) penyaluran
sarana produksinya, (5) pengembalian kredit, dan (6) sistem penyuluhannya.
Bimas Nasional disebut demikian karena untuk pertama kalinya program Bimas
diterapkan secara besar -besaran, sedang kan Bimas Gotong Royong merujuk
kepada penyelenggaraannya yang merupakan kerja sama antara pemerintah dengan
perusahaan swasta asing yang menghasilkan obat-obatan (untuk manusia, hewan
dan tanaman). Kerjasama ini terutama dalam pendanaannya karena keterbatasan
dana yang tersedia untuk mencapai target produksi. Oleh karena itulah dikenal
Bimas CIBA, Bimas COOPA, Bimas HOECHST dan Bimas MITSUBISHI.
Bimas Gotong Royong dimulai pada MT 1968/1969.
Mulai MT 1970/1971 mulai diselenggarakan Bimas Nasional yang
disempurnakan. Pada Bimas ini kelemahan-kelemahan yang terdapat pada Bimas
Gotong Royong dicoba diperbaiki. Penyempurnaan itu diantaranya adalah : (1)
penempatan tenaga penyuluh lapangan lulusan SPMA diperbanyak sehingga
setiap kecamatan memilikinya, seorang penyuluh mencakup areal 600 - 1000 ha
77
sawah yang biasa disebut wilayah unit desa, (2) pelayanan kredit melibatkan
aparat bank, dalam hal ini Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa dan Iangsung
diberikan kepada petani perorangan, (3) mendirikan kios-kios pelayanan sarana
produksi untuk setiap wilayah unit desa, dan (4) memperhatikan pengolahan hasil
dan pemasarannya. Keempat unsur ini biasa disebut catur sarana yang kemudian
ditampung dalam suatu badan usaha yang dikenal dengan Badan Usaha Unit Desa
(BUUD).
Dengan keberhasilan peningkatan produksi pangan terutama padi melalui
Bimas ini maka kemudian tahun 1969 dibentuk Badan Pengendali Bimas di
tingkat Departemen Pertanian. Untuk daerah tingkat satu dan dua masing-masing
dibentuk Badan Pembina Bimas dan Badan Pelaksana Bimas. Berkat kerja keras
yang lama maka pada tahun 1984 tercapailah swasembada beras. Intensifikasi
tanaman padi pun semakin luas arealnya sehingga muncul istilah Inmas disamping
Bimas itu sendiri. Periode tahun 1974 - 1985 areal Inmas terus meningkat dan
Bimas cenderung menurun (Silitonga, et al, 1995).
2.
Intensifikasi Khusus dan Supra Insus
Penerapan teknologi baru melalui Bimas telah berhasil mendobrak gejala
levelling off yang terjadi tahun 1979. Sejak itulah terdapat tiga macam program
intensifikasi padi sawah yang secara bersamaan dilaksanakan. Ketiga program
tersebut adalah Intensifikasi Massal, Intensifikasi Umum dan Intensifikasi Khusus
(Inmas, Inmum dan Insus). Intensifikasi khusus merupakan pelaksanaan Bimas
oleh petani penggarap sehamparan secara berkelompok agar lahan sawah dapat
dengan optimal dimanfaatkan. Kegiatan kelompok tani semuanya direncanakan,
78
mencari informasi dan menyebarkannya, memantau dan memimpin kegiatan
anggota serta berhubungan dengan pihak luar untuk kepentingan para anggotanya.
Tahun 1986 program Insus mengalami gejala kemandekan kenaikan produksi.
Pada saat itu areal Insus lebih dari setengah areal panen secara keseluruhan. Oleh
karenanya dilakukan program yang secara operasional dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas dengan memperbaiki mutu intensifikasi.
Pelaksanaan Insus dipusatkan pada wilayah yang memiliki potensi
sumberdaya yang terbaik untuk menjaga agar input dapat berjalan di wilayah
terbatas dan terpusat. Insus yang dilaksanakan di wilayah yang lebih luas dan
melibatkan lebih dari satu kelompok tani pelaksana Insus memerlukan rekayasa
sosial dan ekonomi baru yakni Supra Insus.
Dalam Supra Insus, perwilayahan pertanian diintegrasikan dengan
wilayah administratif. Hal ini terlihat pada organisasi penyelenggaraan Supra
Insus. Penyelenggaraan Supra Insus dikoordinasikan di bawah tanggung jawab
masing-masing kepala daerah selaku pembina/pelaksana Bimas. Penggerak
program tersebut adalah kepala wilayah atau daerah utama. Pelaksanaan Iainnya
dilakukan oleh Ketua Pembina/Pelaksana Harian Bimas sedangkan pelaksanaan
teknis administrasi dilaksanakan oleh Sekretariat Satuan Pemb ina/Pelaksana
Bimas. Unsur penggerak Supra Insus adalah kepala dinas/instansi yang menjadi
anggota satuan pembina/pelaksana Bimas, unsur pelaksananya terdiri dari
kelompok tani, KUD, penyuluh pertanian dan perbankan khuusunya Bank Rakyat
Indonesia (Silitonga, et al, 1995).
79
4.1.3. Masa Orde Reformasi
1.
Fase Krisis
Ketika sektor pertanian harus menanggung dampak krisis ekonomi untuk
menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor
pertanian tidak cukup kuat. Pada periode 1998-2000 sektor pertanian sempat
menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan lonjakan nilai tukar
dollar Amerika Serikat yang dinikmati komoditas ekspor sektor pertanian,
terutama perkebunan dan perikanan. Namun, ketika basis untuk membangun
kualitas pertumbuhan sektor pertanian dilupakan, maka sektor ini hanya
mengalami pertumbuhan sebersar 1.9 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan
sebesar itu tentu saja tidak mampu menciptakan lapangan kerja, apalagi jika harus
menyerap pertumbuhan tenaga kerja baru terutama di pedesaan.
Pada beberapa tahun terakhir ini sektor pertanian semakin kurang
mendapat perhatian. Hal tersebut bisa dicontohkan dengan keberadaan
infrastruktur penting seperti bendungan dan sarana irigasi tidak diperhatikan,
sehingga pada musim kemarau panjang banyak lahan pertanian yang tidak
mendapat pengairan yang layak. Kemudian, semakin mahalnya biaya transportasi
yang diakibatkan rusaknya jalan dan naiknya harga bahan bakar minyak,
mengakibatkan harga jual di tingkat konsumen menjadi melambung tinggi dan
harga di tingkat produsen nyaris tidak mengalami perubahan. Hal tersebut tidak
cukup menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan
produktivitasnya. Dengan kata lain, elastisitas transmisi harga dari produsen ke
konsumen sangat kecil sehingga petanilah yang harus menanggung perbedaan
harga di tingkat konsumen dan tingkat produsen tersebut.
80
Sektor pertanian jelas memerlukan langkah nyata untuk merangsang
investasi, meningkatkan nilai tambah dan mencari pasar-pasar baru di dalam
negeri dan luar negeri. Keseriusan upaya merangsang pertumbuhan tinggi di
sektor pertanian adalah suatu keharusan apabila sistem agribisnis yang
berkerakyatan lebih modern, mengikuti irama desentralisasi dan responsif
terhadap perubahan global memang akan dijadikan prioritas. Namun, kebijakan
desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang seharusnya membawa
kesejahteraan pada masyarakat, ternyata hanya menimbulkan euphoria politik
berupa perubahan kewenangan kelompok elite di daerah.
2.
Fase Transisi dan Desentraliasi
Fase transisi politik dan desentralisasi ekonomi saat ini memang tidak
terlalu jelas bagi segenap pelaku ekonomi Indonesia. Paket kebijakan
desentralisasi ekonomi yang tertuang dalam Undang-undang nomo r 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian direvisi dalam
Undang-undang nomor 32 dan 33 tahun 2004 masih menjadi teka-teki bagi sektor
pertanian Indonesia. Ketika kewenangan daerah menjadi besar, sementara
masyarakat di daerah masih mencari bentuk tatanan ekonomi, politik, dan sistem
kontrol belum terbangun dengan baik, maka kewenangan yang baru tersebut bisa
jadi justru akan membawa ke arah penurunan kinerja pembangunan.
Pembangunan
pertanian
pada
fase
desentralisasi
ekonomi
perlu
diterjemahkan menjadi peningkatan basis kemandirian daerah yang secara teoritis
dan empiris mampu mengalirkan dan bahkan menciptakan dampak ganda
aktivitas ekonomi yang lain di daerah. Otonomi daerah perlu diterjemahkan
sebagai kewenangan di daerah untuk lebih leluasa melakukan kombinasi strategi
81
pemanfaatan suatu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang ada di
suatu daerah otonom, khususnya dalam kerangka pembangunan pertanian dan
sektor ekonomi lain pada umumnya.
4.2.
Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia
4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian
Tujuan pembangunan pertanian pada masa orde lama lebih dititik beratkan
pada peningkatan produksi pangan dengan menggunakan instrumen penyuluhan
pertanian sebagai ujung tombak penerapan kebijakan. Sementara pada masa orde
baru secara konseptual dapat dilihat pada setiap Repelita. Apabila diperhatikan
secara seksama, unsur yang dikandung pada setiap Repelita mengalami
perkembangan sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan saat itu. Namun demikian dapat dilihat bahwa dalam lima Repelita
terakhir terdapat unsur-unsur tujuan yang d ipertahankan, yaitu meningkatkan
produksi pertanian, memperluas kesempatan kerja dan produksi yang berorientasi
kepada ekspor.
Selain dari ketiga unsur tujuan, pada masing-masing Repelita mengalami
peru bahan sebagai berikut
1.
Repelita
I tujuannya masih sangat sederhana yang berkisar pada
peningkatan produksi beras, melakukan diversifikasi tanaman ekspor dan
memperluas kesempatan kerja.
2.
Pada Repelita II tujuan pembangunan diperluas, yaitu selain ketiga unsur
di atas, ditambah juga dengan unsur lainnya meliputi peningkatan
kemampuan petani dan neIayan dalam berproduksi, meningkatkan bahan
pertanian yang dapat mendukung perkembangan industri dan meningkatkan
82
pemanfaatan sumber alam yang ada.
3.
Tujuan
pembangunan
pada
Repelita
berikutnya
(III) unsur
pembangunan pertanian selain meningkatkan hasil dan kesempatan
juga ditambah dengan usaha pemerataannya, peningkatan
tujuan
kerja,
produktivitas
tenaga kerja. Tujuan lainnya adalah memperluas areal irigasi dan
membuka areal pertanian baru.
4.
Pada Repelita IV unsur-unsur pembentukan devisa melalui ekspor makin
digalakkan,
adanya
perhatian
terhad ap
peningkatan
pendapatan,
pengkaitan dengan pembangunan pedesaan, serta telah dilakukan upaya
memelihara kelestarian sumberdaya manusia dan lingkungan hidup.
5.
Pada Repelita V tujuan pembangunan pertanian dilakukan juga antara lain
diversifikasi atau penganekaragaman hasil pertanian yang berorientasi pada
perluasan pasar. Unsur lain yang menjadi tujuan adalah peningkatan peran
serta petani dalam kelembagaan.
6.
Pada Repelita VI tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan
pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan, meningkatkan diversifikasi
usaha
dan
hasil
pertanian,
serta
meningkatkan
intensifikasi
dan
ekstensifikasi pertanian yang didukung oleh industri pertanian.
Swasembada beras dicapai pada tahun 1984. Tahap ini dipandang sebagai
tahap keberhasilan pembangunan pertanian, yaitu bangsa Indonesia telah berhasil
merubah dirinya dari negara pengimpor beras terbesar dunia menjadi negara yang
mampu menyediakan sebagian besar kebutuhan pangannya dengan hasil swadaya.
Sebagai contoh, pad a tahun 1980, Indonesia membeli beras sekitar 2 juta ton
dengan nilai devisa sebesar US$ 690 juta. Pencapaian swasembada beras
dimungkinkan oleh berhasil ditingkatkannya produksi padi dari 17.1 juta ton pada
tahun 1968 menjadi 38.1 juta ton pada 1984 dan 47.8 juta ton pada 1992.
83
Setelah swasembada beras terwujud, maka permasalahan berikutnya yang
dipandang besar oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana memperluas, menjaga
keman tapan dan melestarikan swasembada pangan. Strategi yang dinilai penting
adalah diangkatnya diversifikasi pertanian sebagai prioritas sejalan dengan atau
bahkan lebih dipentingkan dari intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.
Dengan menggunakan strategi diversifikasi maka pengertian swasembada pangan
menjadi makin luas.
Keberhasilan meningkatkan produksi padi selama ini telah berhasil
meningkatkan ketersediaan energi pangan dari 2.035 kilo kalori/kapita/hari pada
awal Repelita I menjadi 2.701 kilo kalori/kapita/hari pada tahun 1990 dimana
jumlah ini telah melampaui rata-rata energi yang d ibutuhkan oleh rata-rata orang
Indonesia, yaitu 2.150 kilo kalori/kapita/hari. Peranan beras dalam menyediakan
energi tersebut di atas adalah sekitar 58 persen pada 1986 - 1988, lebih tinggi dari
keadaan 1968 - 1970, yaitu 54.7 persen (Silitonga, et al, 1995).
Ketergantungan kepada beras yang tinggi juga berbahaya mengingat
lahan dan air serta input spesifik Iainnya untuk menghasil padi juga makin
torbatas. Oleh karena itu diversifikasi atau keanekaragaman konsumsi menjadi
demikian penting dalam upaya memperluas, menjaga kemantapan dan
melestarikan swasembada pangan di Indonesia.
Pembangunan pertanian lebih diarahkan pada pengembangan sistem
pertanian, dimana pangan merupakan salah satu subsistem, bukan pengembangan
agribisnis. Agribisnis dengan sendirinya sebagai sistem yang digerakkan oleh
sistem insentif melalui mekanisme pertukaran atau pasar. Hal ini berbeda dengan
pola yang dikembangkan pada tahap menuju swasembada beras, yaitu pada pola
ini tampak menonjol upaya mobilisasi sumberdaya untuk mencapai satu tujuan
84
yaitu peningkatan produksi padi, o leh karena itu pemerintah memposisikan
sebagai leader atau agent pembangunan.
Perkembangan selanjutnya dalam kebijaksanaan pangan ini adalah
dipertegasnya dimensi kebijaksanaan pangan yaitu : (1) kecukupan pangan (food
adequacy), (2) ketahanan pangan (food security), dan (3) keamanan pangan (food
safety). Aspek kecukupan pangan sering lebih ditafsirkan sebagai aspek kuantitas
dari ketersediaan pangan ; ketahanan pangan merupakan aspek ketahanan sistem
pangan dalam meredam atau mengatasi kejutan-kejutan (shocks) terhadap sistem
pangan seperti kekeringan atau gejolak harga ; dan keamanan pangan bukan hanya
merupakan dimensi kesehatan tetapi juga menyangkut aspek hubungan antara
keyakinan, kepercayaan atau asumsi dari golongan masyarakat terhadap pangan
yang d isediakan oleh pasar. Dalam hubungannya dengan hal ini, Menteri Pangan
dan Kabulog diberi kewenangan untuk mengkoordinasikan keseluruhan aspek
pangan di atas dan Menteri Pertanian lebih berperan dalam aspek ketersediaan
pangan.
Era pertanian pada masa datang dihadapkan pada suasana lingkungan
perekonomian dunia yang makin kompetitif. Sudut pandang pemikiran
pembangunan pertanian telah bergeser dari cara pandang yang melihat
pembangunan pertanian sebagai proses meansends scheme mechanism ke
pandangan yang melihat pertanian sebagai self regulating system. Dalam
pandangan meansends scheme mechanism keberadaan para pelaku ekonomi
diabstraksikan sehingga peubah yang keluar adalah target atau sasaran dan upaya
mencapai target. Unsur kepentingan individu atau kelompok baik dalam hal preferensi atau keuntungan kurang mendapat perhatian sebab sasaran utama dalam
pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi seperti tercermin dalam
program-program peningkatan produksi. Pandangan ini menghasilkan suatu
85
organisasi produksi pertanian, khususnya pangan, dimana peranan pemerintah
memegang peranan dan fungsi yang sangat tepat. Dalam banyak hal peranan dan
fungsi pemerintah dalam pembangunan pertanian bukan hanya sudah pada
tempatnya, melainkan pula memegang peranan yang sangat penting. Fungsi dan
peran pemerintah tersebut antara lain adalah dalam pengembangan infrastruktur
seperti irigasi, penelitian dan pengembangan pertanian, dan kebijaksanaan harga
output dan input pertanian.
Pendekatan
pembangunan
pertanian
perlu
lebih
diarahkan
pada
pembangunan yang mampu meningkatkan peran serta, efisiensi dan produktivitas
rakyat. Dengan perkataan lain, pendekatan pembangunan yang menekan peran
serta, prakarsa, dan kreativitas petani dan para pelaku ekonomi lainnya perlu
diganti oleh pendekatan baru. Untuk maksud tersebut pendekatan agribisnis
diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dalam pembangunan pertanian pada
masa yang akan datang.
Pendekatan agribisnis dapat ditafsirkan sebagai pendekatan yang
didasarkan atas pandangan kesisteman dimana sistem tersebut hanya akan bekerja
dan berjalan secara berkelanjutan apabila didasarkan atas hubungan kemitraan
antar para
pelaku
dalam
sistem
tersebut.
Pendekatan
agribisnis
juga
mementingkan peranan pasar dalam alokasi dan distribusi sumberdaya. Oleh
karena itu inisiatif dan peranan individu atau organiasasi ekonomi menjadi
demikian penting. Dengan demikian peranserta petani, dunia usaha, dan
masyarakat menjadi unsur utama dalam sistem agribisnis, sedangkan pemerintah
perannya menjadi terbatas pada aspek-aspek tertentu yang memang telah menjadi
tugas dan wewenang pemerintah seperti merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan, menyusun peraturan perundang -undangan dan mengembangkan
penelitian dan pengembangan pertanian. Ekonomi itu sendiri diprakarsai dan
86
digerakkan oleh masyarakat terutama petani dan dunia usaha.
Dalam
produksi
pendekatan
pertanian
agribisnis
melainkan
Iebih
sasarannya
bukanlah
menekankan
pada
meningkatnya
meningkatnya
kesejahteraan petani dan tangguhnya sektor pertanian secara keseluruhan. Oleh
karena itu, komoditas lebih dipandang sebagai instrumen, bukan tujuan, untuk
mewujudkan sasaran di atas. Pengertian komoditas menjadi sangat luas.
Komoditas apa yang diusahakan adalah tergantung pada keputusan para petani
dan pelaku ekonomi lainnya. Kebebasan petani memilih jenis tanaman dalam
usahataninya ini dijamin oleh UU No. 12 Tahun 1992.
Konsep agribisnis itu sendiri telah dipakai oleh para pakar pemasaran
hasil pertanian sejak tahun 1970-an, keadaan ini didorong oleh sifat natural dari
komoditas pertanian itu sendiri yaitu mudah rusak, bersifat musiman dan sulit
dikontrol oleh manusia. Dengan diaplikasikannya pendekatan agribisnis maka
simpul-simpul
usahatani,
agroindustri,
dan
pemasaran
diharapkan
dapat
berintegrasi dengan baik. Untuk melancarkan pelaksanaan sistem agribisnis di
Indonesia, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian telah
membentuk Badan Agribisnis molalui Kep pres No. 83 Tahun 1993. Adapun tugas
utama dari badan ini antara lain adalah meng koordinasikan, membina dan
melaksanakan pengembangan agribisnis sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Selain itu badan ini diharapkan dapat meciptakan suatu
keadaan yang dap at mencip takan sistem, pola dan struktur agribisnis secara
sistematis, sehingga perbaikan dalam sistem perekonomian di Indonesia dapat
segera tercapai, yaitu keadaan pertumbuhan yang seimbang antar sektor dalam
perekonomian Indonesia.
Badan agribisnis yang dibentuk tidak memiliki jaringan organisasi yang
berada di daerah. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan produk-produknya,
87
perlu koordinasi yang maksimal antar pihak yang berkepentingan. Konsekuensi
dari apa yang telah diuraikan diatas adalah perlunya menghilangkan hambatan
struktural yang seringkali dijumpai di lapangan. Salah satu upaya pemerintah
untuk menuju era industrialisasi adalah menciptakan sistem yang dapat
mengintegrasikan berbagai usaha yang
berorientasi
pada
semua
aspek
pembangunan pertan ian, mulai dari kegiatan di hulu hingga di hilir, termasuk
aspek konsumsi (Silitonga, et al, 1995).
4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian
Sektor pertanian memang memiliki peran penting dalam perekonomian
Indonesia, pekerja sektor pertanian, khususnya petani dari waktu ke waktu
cenderung menghad ap i permasalahan penurunan kesejahteraan. Salah satu
penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara nilai tukar produk pertanian yang
dihasilkan petani dengan produk non pertanian yang dibutuhkan petani, baik
untuk keperluan usahatani atau untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Adanya
kecenderungan turunnya kesejahteraan petani menyebabkan timbulnya tekanan
kepada petani untuk berpindah ke sektor lain yang menjanjikan pendapatan lebih
baik.
Gejala perpindahan pekerja pertanian ke sektor lain haruslah dicermati
dalam kaitannya dengan pembangunan sektor pertanian. Kendati pergeseran
struktur ketenagakerjaan sektoral merupakan konsekuensi proses pembangunan,
perlu diperhatikan untuk melihat kemungkinan karakteristik pekerja yang tetap
bertahan di sektor pertanian. Idealnya, pekerja pertanian yang tetap bertahan di
sektor pertanian adalah pekerja di usia muda, berpendidikan, memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi pertanian dan karakteristik karakteristik positif lainnya. Pekerja pertanian dengan ciri-ciri positif seperti ini
88
diharapkan akan mengembangkan potensi pertanian Indonesia yang belum
dikembangkan secara optimal (Prawira, 2004).
Kecenderungan pekerja meninggalkan sektor pertanian dapat dihitung
dengan cara membandingkan jumlah pekerja pertanian yang keluar dari sektor
pertanian dengan jumlah pekerja pertanian. Ukuran pekerja yang keluar sektor
pertanian dinyatakan dalam bentuk persentase yang menunjukkan banyaknya
pekerja pertanian yang keluar diband ingkan pekerja pertanian keseluruhan pada
tahun tertentu. Pada tabel berikut disajikan informasi tentang jumlah pekerja yang
keluar sektor pertanian dan jumlah pekerja sektor pertanian keseluruhan.
Tabel 3. Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian
Jumlah Pekerja
Pekerja Keluar Pertanian (orang)
Pekerja
Pertanian
tahun
sebelumnya (orang)
Persentase pekerja keluar sektor
pertanian (persen)
1990
1583103
32788289
Tahun
1995
1996602
32725156
2000
1036632
38378133
4.8
6.1
2.7
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 1990 terdapat sekitar 1.58 juta
pekerja keluar dari sektor pertanian, atau sekitar 4.8 persen dari total pekerja di
sektor pertanian. Sedangkan untuk tahun 1995 persentase pekerja yang keluar dari
sektor pertanian mengalami peningkatan menjadi 6.1 persen, hal ini diakibatkan
pada tahun 1995 merupakan masa keemasan industrialisasi di Indonesia, sehingga
mampu menarik tenaga kerja dari sektor pertanian lebih banyak. Pada tahun 2000
justru yang terjadi sebaliknya yaitu hanya terjadi pergeseran tenaga kerja keluar
dari sektor pertanian sebesar 2.7 persen. Meskipun tetap terjadi pergeseran tenaga
kerja, namun ternyata sektor pertanian menjadi pilihan tenaga kerja akibat adanya
krisis ekonomi. Terbukti sektor pertanian mampu menjadi penyelamat akibat
89
goncangan krisis ekonomi yang banyak menurunkan kinerja sektor industri
khususnya yang menggunakan komponen bahan baku impor.
4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian
Institusi mencakup bidang yang luas termasuk institusi formal (pemerintah
dan non pemerintah) dan informal, kelompok, asosiasi, dan interaksi antar
individu, rumah tangga, dan kelompok masyarakat pedesaan. Gerak pembangunan
pertanian di Indonesia tidak terlepas dari peran institusi-institusi. Peran institusi
dalam program pern bangunan pertanian sebenarnya saling terkait sulit untuk
dipilah-pilah. Oleh karena itu hilangnya peran dari salah satu misalnya institusi
akan menggoyahkan pelaksanaan atau bahkan menyebabkan kegagalan program.
Institusi formal yang diperkenalkan pemerin tah di tingkat desa dibuat untuk
membantu produsen pertanian dalam memecahkan masalah produksi dan
pemasaran termasuk di dalamnya lembaga penyuluhan, lembaga kredit, asosiasi
pemakai air, koperasi dan lembaga pemasaran.
Seperti telah disinggung sebelumnya, lembaga sosial ekonomi yang mempunyai peran dalam pembangunan pertanian sendiri berasal dari lembaga yang
dibentuk pemerintah maupun lembaga yang muncul dengan sendirinya di
masyarakat. Lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah misalnya KUD,
kelompok tani, kelompencapir dan lain -lain. Sedangkan lembaga yang muncul
sendiri di masyarakat adalah yang disebut dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).
Apabila dihubungkan dengan syarat pokok dan faktor pelancar yang
dikemukakan Mosher, orientasi pembentukan lembaga/institusi sosial ekonomi
dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi (syarat pokok maupun pelancar)
90
dalam pembangunan pertanian. Misalnya sebuah lembaga dapat mempunyai
fungsi sebagai penyedia input, pemberi kredit dan ikut memasarkan hasil
pertanian. Lembaga seperti ini misalnya dapat dilihat pada Koperasi Unit Desa
(KUD). Membentuk lembaga lembaga dengan banyak fungsi merupakan salah
satu upaya dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi syarat-syarat pokok
dan pelancar pembangunan pertanian secara efesien.
1.
Departemen Pertanian dan Penyuluhan Pertanian
Sebagai jajaran pemerintah yang mengurusi sektor pertanian, Departemen
Pertanian (pusat sampai daerah) merupakan lembaga yang mernpunyai tanggung
jawab untuk terlaksana dan berhasilnya pembangunan pertanian. Peranan
Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian mencakup berbagai bidang,
mulai dari pengembangan teknologi baru, mentransfer teknologi tersebut kepada
petani, pembangunan kelembagaan, pendidikan pembangunan sampai dengan
perencanaan pembangunan pertanian.
Salah satu tugas Departemen yang sangat dominan dalam pembangunan
pertanian adalah penyuluhan, yang berfungsi menjembatani sumber informasi dan
teknologi (lembaga penelitian dan lembaga Iainnya) dengan penggunanya
(petani). Penyuluhan pertanian merupakan program panting di Indonesia yang
terus disempurnakan guna mendapatkan sistem penyuluhan yang lebih efektif,
meskipun untuk memperkuat sistem tersebut di negara berkembang seperti
Indonesia merupakan masalah yang sulit dan kompleks (UNDP, 1991).
Unsur-unsur penyuluhan selalu ada dalam setiap program pembangunan
pertanian. Untuk mengukur berapa persen andil penyuluhan pertanian terhadap
peningkatan hasil pertanian di Indonesia memang sulit, namun tetap dipercaya
91
bahwa penyuluhan pertanian mernpunyai andil besar terhadap produksi pertanian
yang sekarang dicapai. Faktor yang masih dianggap masalah dalam penyuluhan
adalah dengan masih adanya gap produktivitas yang cukup besar antara potensi
hasil di tingkat penelitian dengan hasil aktual yang dicapai petani
Berkaitan dengan pentingnya penyuluhan, secara ekstrim Rogers (1983),
mengemukakan bahwa seandainya sistem penyuluhan pertanian mengalami
kegagalan maka dapat berarti teknologi baru hasil penelitian akan tidak berguna.
Meningkatnya jumlah penyuluh pertanian sebenarnya bukan semata-mata
karena digalakkannya pembangunan di sub sektor tanaman pangan (khususnya
padi), pertambahan tersebut juga karena makin dikembangkannya program
peningkatan produksi berbagai jenis komoditi (pekebunan, perikanan, peternakan
dan kehutanan). Pada sub sektor non tanaman pangan malah kegiatan penyuluhan
melibatkan juga pihak swasta, seperti pada PIR Perkebunan, PIR Unggas/Ternak
dan Tambak Inti Rakyat (TIR).
Hasil pembangunan pertanian yang telah dicapai sejak pertama kali Pelita
dijalankan sampai dengan Pelita V (1992) dapat dilihat pada Tabel 4 Tampak
bahwa tahun dalam produksi dapat dilihat yang penting adalah meningkatnya
produksi dan produktivitas berbagai komoditi. Pada Tabel 4 dapat dilihat
perbandingan produksi pada saat Pelita dilaksanakan dengan yang dicapai saat
akhir Pelita V (1992). Tampak bahwa secara umum semua produksi dari berbagai
jenis komoditi mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan sebesar
empat setengah kali lipat lebih. Ini menunjukkan bahwa pembangunan usah a
peningkatan produksi dilakukan untuk semua komoditi.
92
Tabel 4. Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V
(Tahun 1992)
Komoditi
1. Beras
2. Jagung
3. Ubikayu
4. Ubijalar
5. Kedele
6. Kacang tanah
7. Ikan laut
8. Ran darat
9. Daging
10. Telor
11. Susu
12. Karet
13. Kopi
14.Kelapa
15. Kelapa/kopra
16. Teh
17. Lada
18. Tembakau
19. Gula tebu
20. Kapas
1969
(ribu ton)
1992
(ribu ton)
Kenaikan
(persen)
12249
2292
10917
2260
389
267
785
429
309
36,3
28,9
778
175
189
1221
62
17
84
922
3
30741
6764
15280
1917
1476
674
2628
844
1130
535
382
1294
421
3162
2342
163
70
161
2316
30
251
295
140
-85
379
252
335
197
366
1466
1322
166
241
1673
192
263
412
192
251
1000
Sumber : Mubyarto. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta.
2.
Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Dalam seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan
pertanian hampir selalu melibatkan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Oleh karena itu
hasil yang telah dicapai dari pembangunan pertanian di Indonesia, tidak terlepas
dari peran BRI.
Peran BRI dalam pembangunan pertanian sendiri, dapat dilihat dari sejak
lahirnya tanggal 16 Desember 1895 dengan nama Hulpen Spaarkbank der
Inlansche Bestuurs Ambtemaren yang kemudian dikenal dengan Bank Perkreditan
Rakyat Pertama di Indonesia. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 21
93
tahun 1968, tugas BRI menjadi lebih ditegaskan lagi, yaitu diarahkan kepada
perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan ekonomi nasional, antara lain
dengan mengutamakan pemberian kredit kepada koperasi, petani dan nelayan.
Misinya sebagai agen pembangunan mulai terlihat dengan jelas semenjak
awal tahun 1969, yaitu dengan dicetuskannya Rencana Pembangunan Lima Tahun
Pertama (Repelita I) oleh pemerintah orde baru. Repelita I yang berlangsung dari
tahun 1969 - 1974 menjadikan sektor pertanian sebagai titik sentral pembangunan
nasional. Program pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian dan
mencapai swasembada pangan ini menjadi misi yang disandang BRI, dan
semenjak itu mulailah BRI ditugaskan untuk menyalurkan berbagai kredit
program pemerintah.
Sekitar tahun 1970, BRI menyalurkan kredit kepada peserta program
Bimas. Kredit Bimas yang meliputi padi dan palawija berkembang dengan pesat
dari tahun ke tahunnya, dan mencapai puncaknya pada tahun 1975/1976. Kredit
Bimas dihentikan pada tahun 1985 (1 April 1985) dan diganti dengan kredit
usahatani (KUT).
Jenis Kredit Program meliputi antara lain : Kredit Usaha Tani, Kredit Tebu
Rakyat Intensifikasi, Kredit Pengadaan Pangan, Kredit PIR Lokal, BULOG,
Kredit Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) dan
Kredit Pengadaan Pangan/Pupuk. Sedangkan Kredit Non Program yang dapat
diberikan adalah: Kredit Investasi Kecil/Kredit Kecil Modal Kerja (KIK/KKM),
Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), Kredit Kepada Golongan Berpenghasilan
Tetap (Kretap), Kredit Pensiun, Kredit Ekspor/Impor, Kredit Sindikasi, Kredit
Multi Guna (Kremuna), Kredit Investasi, Kredit dalam rangka Pengembangan
94
Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), dan Kredit tak
langsung melalui Badan Kredit Desa (BKD) dan Tempat Pelayanan Simpan Pin jam (TPSP).
Peran BRI dalam pembangunan pertanian juga bukan semata-mata
lembaga pemberi kredit, namun sekaligus memberi dukungan terhadap
pembangunan
kelembagaan
dan
sumberdaya
manusia
yang
mendukung
pembangunan pertanian. KUT misalnya merupakan salah satu kredit yang
disalurkan atas kerja sama yang saling menguntungkan antara koperasi (KUD),
petani dan BRI dan bermanfaat untuk pengembangan kelembagaan koperasi.
3.
Koperasi Unit Desa (KUD)
Koperasi merupakan salah satu sektor ekonomi yang d iharapkan akan
menjadi sokoguru perekonomian Indonesia bersama-sama dengan Badan Usaha
Milik Negara dan swasta. Dibentuknya Koperasi Unit Desa sebagai koperasi
pedesaan merupakan salah upaya pemerintah untuk memasyarakatkan koperasi.
Terbentuknya KUD adalah melalui suatu proses panjang sejak 1960 dengan
dikembangkannya Koperta yang kemudian diikuti dengan Inpres No. 4/1973,
Inpres No. 2/1978, dan Inpres 1984 (Nasution 1992). Di mana tujuan dibentuknya
KUD adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan peranan dan tanggung
jawab masyarakat pedesaan agar mampu mengurusi diri sendiri secara nyata serta
mampu memetik dan menikmati hasil pembangunan guna meningkatkan taraf
hidupnya.
KUD sebagai salah satu jenis koperasi di Indonesia, dibedakan dengan
koperasi non KUD. Hal ini dilakukan karena pembinaan KUD dikaitkan dengan
program pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonomi pedesaan.
95
Apabila koperasi non KUD hanya berpedoman pada UU No. 12/1967, maka
untuk KUD selain pada UU No. 12/1967 juga pada Inpres-Inpres seperti yang
telah disebutkan di atas.
Sebagai pusat pelayanan perkonomian pedesaan, KUD mem iliki fungsi
(Depdag dan Depkop 1985) : (1) perkreditan, (2) Penyediaan dan penyaluran
sarana-sarana produksi, (3) Pengolahan dan pemasaran hasil produksi, dan (4)
Kegiatan perekonomian lainnya. Pengkaitan program pembangunan dengan
pembinaan KUD ini dimaksudkan agar KUD selain dapat melaksanakan beragam
usaha juga dapat memupuk dana. Dana yang diperoleh digunakan untuk membuka
atau mendirikan usaha baru yang sesuai dengan kepentingan anggota/masyarakat
sebagai usaha yang mandiri.
Hasil dari kegiatan KUD dalam mendukung program peningkatan
produksi padi memang dapat dilihat dengan dicapainya swasembada beras pada
tahun 1984. KUD juga mempunyai jasa yang besar dalam mempertahankan
swasembada padi sampai sekarang ini, meskipun harus dibayar dengan biaya
mahal, khususnya kemacetan pengembalian kredit usaha tani (KUT) sebagai
kredit pendukung program tersebut.
Hasil lain yang dicapai KUD dalam mendukung pengembangan komoditi
non padi walaupun masih dalam skala yang terbatas jelas tidak dapat diabaikan.
Beberapa bukti keberhasilan misalnya diraih KUD sapi perah (susu), KUD lebah
madu dan lain-lain.
4.
Kelompok Tani
Pada saat swasembada beras dicapai pada tahun 1984, banyak par a ahli
perb erasan merasa heran karena memang terjadi di luar dugaan. Menurut
96
perkiraan ahli perberasan Leon A. Mears misalnya, sampai dengan tahun 1985
belum dapat dipastikan akan meraih swasembada. Bahkan Mears memberikan
indikasi bahwa swasembada itu hanya akan dicapai melalui perluasan areal
(Adjid , 1985).
Perkiraan para ahli yang meleset di atas antara lain didasari pemikiran
bahwa terdapatnya kesenjangan antara potensi teknologi untuk meningkatkan
hasil dan adopsi teknologi oleh petani. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh
adanya berbagai macam kendala yang sulit di atasi, meliputi sosial, ekonomi, dan
budaya. Hal ini diperkuat dengan keadaan intensifikasi (Bimas dan Inmas) yang
memperlihatkan gejala stagnasi.
Menurut pengalaman dalam melaksanakan intensifikasi diperoleh bahwa
partisipasi
merupakan
faktor
yang
paling
menentukan,
namun
dalam
pengembangan dan pembinaannya memerlukan cara yang cocok sesuai dengan
keadaan sosial budaya setempat. Diperlukan peran penyuluh yang handal,
sehingga mampu membentuk wawasan kognitif, efektif sebagai modal dalam
menyerap teknologi.
Kepercayaan terhadap pentingnya penerapan pola partisipasi dilengkapi
dengan konsep kelompok, sehingga muncul istilah partisipasi dalam kelompok.
Melalui partisipasi kelompok, sikap tanggap dan kemampuan suatu kelompok
masyarakat untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang diharapkan dan
yang merupakan bagian dari tindakan atau kegiatan masyarakat yang lebih luas,
Kelompok tani merupakan kekuatan sosial untuk menimbulkan partisipasi
terhadap sesuatu program pembangunan pertanian (Adjid, 1985).
Hasil dari model transformasi semacam itu hasilnya telah dapat dilihat
97
pada tahun 1979, 1980 dan 1981, di mana pada tahun-tahun tersebut produktivitas
usaha tani padi mengalami peningkatan pesat yaitu tahun 1979 sebesar 20.30 ton,
pada tahun 1982 menjadi 25,41 ton.
5.
Lembaga Swadaya Masyarakat
Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap pembangunan
pertanian terutama ditujukan melalui peningkatan taraf hidup masyarakat
berpenghasilan ren dah dengan memberi dorongan, bimbingan dan bantuan pada
usaha-usaha pengembangan sosial ekonomi dengan meningkatkan swadaya
mereka. LSM mempunyai misi pokok berpartisipasi dalam mengatasi kemiskinan
dan keterbelakangan secara langsung dan nyata. Dalam menjalankan fungsinya
tersebut lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai motivator, katalisator,
dinamisator dan fasilitator.
Sebagai lembaga operasional sebagian besar aktivitas LSM berupa
kegiatan-kegiatan praktis di bidang pelayanan, pembinaan dan pengembangan
usaha. Dari pengalaman praktis/empirisnya dihasilkan konklus i-konklusi, selfkoreksi, harapan-harapan yang memunculkan gagasan dan pemikiran -pemikiran.
Dengan demikian pemikiran -pemikiran dan gagasan-gagasan yang dihasilkan
tersebut tidak didasarkan pada hasil dalam bidang pengkajian dan teori, meskipun
belakangan mulai aktif dalam forum-forum pengkajian.
Menurut Mahasin (1989), dalam khasanah kepustakaan LSM telah muncul
istilah tentang berbagai generasi LSM. LSM generasi awal lebih merupakan
lembaga sukarela untuk memberikan bantuan dan santunan sosial. Generasi kedua
pada mulanya memperkenalkan pengembangan usaha swadaya lewat kelompok-
98
kelompok kecil dari masyarakat miskin. Semboyan mereka adalah "memberi kail
bukan sekedar ikan". Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan pembuat
kebijaksanaan, dan berperan sebagai semacam konsultan untuk berbagai program
yang
memerlukan
dukungan
swadaya
masyarakat.
Gen erasi
keempat
menggerakkan keprihatinan publik dengan melakukan kampanye tentang
lingkungan hidup, hak-hak konsumen atau hak-hak asasi manusia.
4.2.4. Kontribusi Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Pembangunan
Ekonomi
Menurut Herliana (2004), pembangunan sektor pertanian memberikan
dampak yang lebih besar dalam mendorong pertumbuhan produktivitas dan
penciptaan kapital terhadap perekonomian Indonesia, karena (1) pembangunan
sektor pertanian memberikan dampak paling besar terhadap gross output dan
value added, (2) sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan
peningkatan produksi sektor-sektor kegiatan produksi lainnya, dan (3) sektor
pertanian mempunyai pengaruh paling besar terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat, khsusunya yang berada di daerah pedesaan.
Dampak pembangunan di sektor pertanian terjadi secara langsung dan
tidak langsung. Dampak tidak langsung menunjukkan bahwa pembangunan di
sektor pertanian akan memiliki pengaruh terhadap kenaikan gross output, value
added, kegiatan produksi di sektor lainnya, dan pendapatan masyarakat, jika
pembangunan di sektor ini berjalan melalui proses dan kegiatan yang sinergis
dengan sektor-sektor lainnya.
Ada beberapa fakta empiris yang membuat para pelaku pasar selalu
undervalue terhadap sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh kontribusi atau
99
pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hampir diseluruh
negara mengalami penurunan. Di negara-negara miskin, data Bank Dunia
menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar
60 persen pada tahun 1965 menjadi sekitar 28 persen pada tahu 2000. Demikian
pula dengan kelompok negara middle-income, persentase di atas menurun dari 22
persen menjadi 16 persen atau negara maju, angka penurunannya tercatat dari 5
persen menjadi 2 persen untuk periode 1965-2000.
Di Indonesia, penurunan itu juga terekam dalam data Badan Pusat Statistik
(BPS) yang menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian juga mengalami
penurunan, dari sekitar 50 persen pada tahun 1960-an, 20.2 persen pada tahun
1988, turun menjadi 17.2 persen pada tahun 1996, dan hanya 17 persen pada
tahun 2000. Secara lebih lengkap bisa dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia
Struktur
Ekonomi
Pangsa
Tenaga Kerja
Pangsa
Perdagangan
Konsumsi
(persen PDB)
Investasi
Pertanian
Pertanian
Industri
Jasa
Pertanian
Sektor lain
Impor (makanan)
Ekspor (brg primer)
Konsumsi total
Pangsa bhn pangan
Subsidi pupuk
Pertanian irigasi
1965
57.1
12.5
31.4
11
65
-
1975
30.2
33.5
36.3
62
38
17
24
74
38
-
1985
22.9
35.3
42.8
56
44
11
16
72
30
4.4
18.1
1995
17.1
41.8
41.1
48
52
15
18
68
33
1.6
10.2
(persen)
2000
17.0
47.0
36.0
46
54
17
12
68
33
0.7
10.4
Penurunan pangsa itu merupakan fenomena alamiah biasa. Makin
berkembang suatu negara, maka akan makin kecil kontribusi sektor pertanian atau
100
sektor tradisional dalam PDB. Penjelasan tentang proses penurunan kontribusi ini
dapat dirunut pada Hukum Engle, yang mengatakan bahwa jika pendapatan
meningkat, maka proporsi pengeluaran terhadap bahan-bahan makanan yang
secara umum diproduksi sektor pertanian akan semakin menurun. Dalam istilah
ekonomi, elastisitas permintaan terhadap makanan lebih kecil dari satu (inelastis),
sehingga peningkatan permintaan terhadap bahan makanan tidaklah sebesar
permintaan terhadap barang -barang hasil sektor industri dan jasa (Arifin, 2004).
Namun, apabila penurunan pangsa di atas memunculkan persepsi bahwa
sektor pertanian menjadi tidak penting dalam proses pembangunan, maka
pendapat tersebut perlu ditinjau ulang. Apalagi pengembangan sektor industri dan
jasa yang sering diklaim sebagai representasi sektor modern dan masyarakat kota
itu dibangun dengan basis paradigma konglometarif. Maka, dengan meninggalkan
sektor pertanian akan berakibat semakin membuat keterpurukan kelompok miskin
khususnya di pedesaan.
4.3.
Kemiskinan di Indonesia
Mengulas tentang kemiskinan di Indonesia bisa dilihat dari tren umum
antar tahun. Bila dilihat dari perkembangan dan penyusutan jumlah orang miskin
dari sisi tren umumnya, dimulai dari tahun 1976 sampai tahun 2002. Antara tahun
tahun 1976-1996 tersebut, tingkat kemiskinan mengalami tren menurun.
Penurunan tingkat kemiskinan yang sangat cepat, terjadi antara tahun 1976 –
1980. Pada masa tahun tersebut, penurunan tingkat kemiskinan di desa lebih cepat
dari pada di kota. Sedangkan untuk tahun 1980-1996, penurunan tingkat
101
kemiskinan agak lambat, dan penurunan tingkat kemiskinan di desa lebih lambat
daripada di kota. Sementara itu, antara tahun 1996-1998 terjadi peningkatan angka
kemiskinan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi. Kemudian pada tahun 19982002 mengalami penurunan kembali, waktu tersebut merupakan masa pemulihan
dari krisis. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kemiskinan yang
terjadi merupakan fenomena pedesaan. Hal tersebut bisa dilihat pada Gambar 13
berikut.
60
juta orang
50
40
Kota
30
Desa
Desa+kota
20
10
0
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
tahun
Gambar 13. Jumlah Penduduk Indonesia di Bawah Garis Kemiskinan
Dinamika kemiskinan di Indonesia apabila ditinjau dari distribusi sektoral
(lapangan kerja utama) banyak didominasi oleh sektor pertanian. Dari kondisi
tersebut bisa dikatakan bahwa kemiskinan merupakan fenomena sektor pertanian.
Kemudian ditinjau dari sumber pendapatan, sebagian besar penduduk miskin yang
diindikasikan dengan pendapatan rendah juga terjadi di sektor pertanian. Berikut
ini dapat dilihat tabel jumlah penduduk miskin menurut sektor pekerjaan
utamanya.
102
Tabel 6. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya
Sektor
Tempat Kerja
Pertanian
1999
2000
25997
20109
(54.20)
(51.78)
Industri
6069
5380
(12.65)
(13.85)
Jasa
11840
9784
(24.68)
(25.29)
Tidak Bekerja
4063
3560
(8.47)
(9.17)
Total
47969
38833
Angka dalam kurung adalah pangsa (persen)
2001
23375
(62.99)
4401
(11.86)
6984
(18.82)
2349
(6.33)
37109
ribu orang
2002
20605
(57.69)
4471
(12.52)
7571
(21.20)
3072
(8.60)
35719
Sumber : BPS (2002)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sektor pertanian memiliki tenaga
kerja miskin paling banyak dan jumlahnya lebih dari 50 persen dari total pekerja
di sektor ini. Setelah sektor pertanian adalah sektor jasa yang memiliki tenaga
kerja miskin paling banyak, rata-rata di atas 20 persen dari total pek erja yang
bekerja di sektor jasa. Hal tersebut bisa terjadi karena di sektor jasa, khususnya di
perkotaan banyak didominasi oleh kelompok pekerjaan sektor informal perkotaan.
4.4.
Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan
Dalam mengulas sub bab ini, kita bisa cermati beberapa pendapat para
peneliti tentang dampak pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan, yaitu
antara lain menurut Ravallion dan Datt (1996), yaitu bahwa 85 persen
pengurangan kemiskinan di India didorong oleh pertumbuhan sektor pertanian.
Sementara itu Warr dan Wang (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan sektor
industri merupakan pendorong utama pengurangan kemiskinan di Taiwan.
Kemudian Quizon dan Binswanger (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan
103
sektor pertanian sebagai akibat Revolusi Hijau tidak memberikan keuntungan
terhadap orang miskin di pedesaan. Dan yang terakhir Timmer (1997),
mengemukakan bahwa dampak dari pertumbuhan sektor pertanian terhadap
pengentasan kemiskinan tergantung pada distribusi pendapatan.
Menyimak pernyataan yang dikemukakan oleh Ravallion dan Datt (1996)
di atas, kita bisa menilai bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang sama
dengan India. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian, dan penduduk miskin di Indonesia yang
bekerja di sektor pertanian lebih dari 50 persen. Maka, apabila ingin mengurangi
tingkat kemiskinan di Indonesia salah satu upaya yang harus ditempuh adalah
dengan memacu pertumbuhan di sektor pertanian.
Pembangunan pertanian yang menjadi basis hampir di seluruh negara di
dunia akan meningkatkan produktivitas tanaman, terutama bahan pangan, melalui
intensifikasi. Apabila pendapatan petanin ikut meningkat, meskipun tingkat harga
tidak berubah, maka ekonomi pedesaan akan berputar lebih baik, karena tingkat
pengeluaran
terhadap
Pembangunan
pertanian
produk-produk
menjadi
non
landasan
pertanian
utama
juga
meningkat.
menuju
modernisasi
pembangunan ekonomi, dengan tetap saling bersubtitusi antara sektor pertanian,
industri dan jasa.
Bagi Indonesia persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem
dengan lahan tidak sampai 0.5 hektar semakin lama semakin banyak. Hasil sensus
pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian
meningkat menjadi 25.4 juta dari sekitar 20.8 juta pada tahun 1993 atau
meningkat sebesar 2.2 persen per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut meningkat
104
dari 10.8 juta menjadi 13.7 juta rumah tangga. Sebagaimana dapat diduga,
sebagian besar dari petani gurem tersebut berada di Pulau Jawa karena 75 persen
petani Jawa tergolong petani gurem atau meningkat dari 70 persen pada tahun
1993. Maksudnya saat ini 25 persen dari seluruh petani di Jawa yang dapat
dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan (Arifin, 2005).
Lonjakan jumlah petani gurem yang terjadi yang tercatat pada sensus
pertanian tahun 2003, lebih dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi antara tahun
1997-1999. Pada saat krisis ekonomi yang menurunkan kinerja khususnya di
sektor industri dengan diindikasikan dengan banyaknya pemutusan hubungan
kerja, mengakibatkan banyaknya limpahan tenaga kerja yang menuju sektor
pertanian. Sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan,
karena mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri. Sektor
pertanian mampu menampung supla i tenaga kerja karena sektor ini masih mampu
meningkatkan produktivitasnya dengan penambahan tenaga kerja, selain itu sektor
pertanian ini memiliki karakteristik labor intensif.
V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN
DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
5.1.
Analisis Umum Pendugaan Model
Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini
mengalami beberapa modifikasi karena terjadi ketidakkonsistensian hasil dugaan
dengan teori yang ada, namun hal tersebut juga disesuaikan dengan kondisi
faktual. Model akhir yang diguanakan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam 16
dugaan persamaan struktural sebagai berikut :
1. PROA
= -6830.79 + 2.790628*LA – 14.8022*IRI + 0.705835*CRE 4.75941 *SUBF + 4.975E-7*MEC + 0.095814*INVA +
88.67491*RIS + 0.133007*LPROA........................................(39)
2.INVA
= -1394.14 + 7101.627*PA + 442.6767*LABA + 0.017501*YD 1725.93 *IRD - 21396.8*DK + 0.880448*LINVA.................(40)
3.LABA
= 15.48181 - 0.00001*WAGER + 0.005296*POP +
0.667044*LLABA ...................................................................(41)
4. PA
= 1.265338 - 0.00001*PROAR + 0.000275*INF - 6.4E-6*ER 0.00002*IMAR + 0.655699*LPA ..........................................(42)
5. EXA
= -272.388 + 0.013962*ER - 25.5735*TAXE +
0.610861*WPA - 0.10084*IHEA + 2.841887*PA +
0.014488*PROAR + 0.230864*LEXA ...................................(43)
6. IMA
= 879.4443 + 0.031060*ER + 0.033715*TAXIR –
0.65963*WPA - 13.8746*IHIA + 703.5177*PA 0.41307*SPN + 0.766733*LIMAR .........................................(44 )
7. UPOV
= 4.786854 - 2.72E-6*WAGER – 0.17378*EGRO 0.00007*GESR + 6.484E-7*GEMR - 0.00070*SPN +
0.043954*INF + 3.087323*DK + 0.358871*LUPOV.............(45)
8. RPOV
= 38.60594 – 0.00003*WAGER – 0.62783*EGRO 3.48965*GEAR + 0.03122*INF – 4.93143*PA - 8.55E-9*
*PROAR + 1.128666*DK + 0.369147*LRPOV.....................(46)
9. SPN
= 2382.569 + 0.012027*PROAR - 0.55683*EXAR 0.15496*IMAR - 8.09259*POP + 0.429035*LSPN...............(47)
106
10. GEAR
= 0.433816 – 0.01676*INF – 5.55E-7*GR – 0.07625*DK +
0.886760*LGEAR....................................................................(48)
11. GDPA
= 168296.3 + 1571.421 *LABA + 25820.63 *GEAR 0.292503 *KAR + 0.601478 *INVAR + 1.597047 *FCON +
0.117956*LGDPA...................................................................(49)
12. GR
= -63583.1 + 0.965320*GDS + 0.333305*TTAX +
0.970292*WOILR + 0.775121*LGR......................................(50)
13. TTAXR
= -12172.5 - 0.02700*GDPT + 0.174107*INVTR +
3850.828*TW + 0.257616*LTTAXR.....................................(51)
14. FCONR
= -7916.61 + 0.805522*PROAR + 0.016068*YD +
0.046631*LFCONR................................................................(52)
15. MSR
= -3228.80 - 461.775*IRD + 2.047949*ER + 0.133135*GDPT
.................................................................................................(53)
16. INF
= -6.41485 + 0.000349*GDPT - 0.00284*MSR + 0.005792*ER +
5.857520*DK .........................................................................(54 )
Hasil pendugaan parameter atas model memberikan nilai koefisien
determinasi (R 2) pada masing-masing persamaan cukup besar, yaitu berkisar
antara 0.55 hingga 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa peubah penjelas di dalam
model dapat menjelaskan fluktuasi setiap peubah endogen secara baik. Pada
masing-masing persamaan, peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap peubah endogen yang ditunjukkan dengan nilai statistik F berkisar
antara 5.64 hingga 394.74.
Model yang baik adalah model yang memberikan penanda parameter
sesuai dengan yang diharapkan baik secara teori maupun secara logika ekonomi.
Namun apabila terjadi perbedaan penanda bukanlah merupakan suatu kesalahan
yang pasti, karena goncangan ekonomi bisa menjadi alasan terjadinya perbedaan
penanda antara yang diharapkan dengan kenyataan. Dari hasil pendugaan model
yang dilakukan hampir setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter
107
dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori
ekonomi dengan dikaitkan pada kondisi realitas.
5.2.
Dugaan Parameter Persamaan Stuktural
Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya
diperoleh model kebijakan pembangunan pertanian dan kemiskinan di Indonesia
yang terdiri dari beberapa persamaan perilaku, yaitu sebagai berikut :
5.2.1. Produksi Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada produksi pertanian dapat dilihat pada
Tabel 7 dibawah ini.
Tabel 7. Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Pengalokasian Lahan
Luasan Lahan Irigasi
Kredit Pertanian
Subsidi Pupuk
Mekanisasi Pertanian
Investasi Pertanian
Penelitian
Lag Produksi pertanian
R2 = 0.98074
Parameter
Dugaan
-6830.79
2.790628
-14.8022
0.705835
-4.75941
4.975E-7
0.095814
88.67491
0.133007
F Hitung = 63.64
Nilai
Peluang
0.9183
0.0276
0.2260
0.0158
0.1875
0.5373
0.0285
0.0464
0.0005
Elastisitas
SR
LR
1.440854
-1.88004
0.904546
-0.05545
1.661898
-2.16846
1.043314
-0.06395
0.195642
0.089759
0.225655
0.103529
DW = 1.782879
Dari tabel hasil pendugaan parameter produksi pertanian dapat dilihat
bahwa respon produksi pertanian berhubungan positif dengan pengalokasian lahan
pertanian, kredit pertanian, mekanisasi, investasi di sektor pertanian, dan anggaran
penelitian. Sedangkan untuk peubah luas lahan irigasi dan subsidi pupuk memiliki
respon negatif. Luasan lahan irigasi memiliki respon negatif, hal ini diduga akibat
semakin berkurangnya lahan kelas A yang dikonversi untuk keperluan lain,
108
karena pada umumnya lahan yang beririgasi dan memiliki potensi tin ggi untuk
menghasilkan produksi pertanian adalah lahan kelas A. Sedangkan untuk subsidi
pupuk, hal ini diindikasikan dengan adanya jalur distribusi pupuk yang panjang
serta hampir 25 persen lebih anggaran subsidi pupuk dipakai untuk distribusi dan
pengawasan. Selain itu banyaknya kebocoran dan penyelundupan pupuk yang
bersubsidi sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat sasaran.
Dari hasil dugaan parameter pada persamaan produksi pertanian tersebut
juga diketahui bahwa kredit pertanian berpengaruh positif dan nyata dengan nilai
peluang sebesar 0.015 jauh dibawah 0.25 sebagai angka toleransi sehingga bisa
dikatakan berpengaruh nyata. Sedangkan peubah penelitian dapat dijelaskan
bahwa penambahan angg aran penelitian sebesar satu milyar rupiah akan
berpengaruh pada peningkatan produksi pertanian senilai 88.67 milyar rupiah.
Peningkatan luasan lahan akan memberikan respon positif pada produksi
pertanian, dengan respon elastis jangka pendek (1.44) dan elastis jangka panjang
(1.66), artinya bahwa penambahan lahan untuk pertanian sebanyak satu persen
akan meningkatkan hasil produksi pertanian sebesar 1.44 persen untuk jangka
pendek dan 1.66 persen untuk jangka panjang. Selain itu peningkatan luas lahan
untuk pertanian memiliki pengaruh nyata terhadap peningkatan hasil produksi
pertanian, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya nilai peluang sebesar 0.027.
Hasil estimasi parameter pada peubah luas lahan yaitu sebesar 2.79, artinya
dengan adanya penambahan seribu hektar luasan lahan untuk pertanian, maka
akan memberik an tambahan hasil produksi senilai 2.79 milyar rupiah.
Peubah lain yang juga memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap
peningkatan produksi pertanian adalah peubah investasi pertanian dengan nilai
109
peluang sebesar 0.03. Dari hasil perhitungan elastiasitas yang dilakukan, diperoleh
hasil respon inelastis sebesar 0.195 untuk jangka pendek, artinya dengan
penambahan investasi di sektor pertanian sebesar 1 persen akan berdampak pada
peningkatan hasil produksi sebesar 0.195 persen. Untuk jangka panjang memiliki
respon elastis sebesar 0.22, yang berarti dengan penambahan satu persen investasi
di sektor pertanian akan mampu meningkatkan hasil produksi pertanian sebesar
0.22 persen dalam jangka panjang.
Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah
penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan
dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan dengan nilai statistik
F Hitung = 63.64. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.2. Investasi Pertanian
Persamaan dan pendugaan parameter investasi di sektor pertanian akan
dijeskan pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian
Peubah Penjelas
Parameter
Dugaan
Intersep
Harga Komoditas Pertanian
Tenaga Kerja Pertanian
Pendapatan Disposibel
Suk u Bunga Domestik
Dummy Krisis Ekonomi
Lag Investasi Pertanian
R2 0.96728
-1394.14
7101.627
442.6767
0.017501
-1725.93
-21396.8
0.880448
F Hitung = 59.12
Nilai
Peluang
0.9878
0.8641
0.7109
0.7987
0.0064
0.1240
0.0011
Elastisitas
SR
LR
-0.28936
-0.28172
-2.42034
-2.35645
DW = 2.3386
Persamaan perilaku respon investasi di sektor pertanian tersebut dapat
dikatakan sangat baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.97 dan uji
110
statistik F Hitung = 59.12, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam
persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat
hubungan sebesar 97 persen.
Pada Tabel 8 dijelaskan bahwa harga komoditas pertanian, tenaga kerja
pertanian dan pendapatan disposibel memberikan pengaruh positif terhadap
tingkat investasi di sektor pertanian. Sedangkan untuk suku bunga domestik dan
adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1997
memberikan pengaruh yang negatif pada investasi di sektor pertanian. Secara
keseluruhan semua peubah penjelas yang ada dalam jangka pendek memberikan
respon inelastis pada tingkat investasi di sekor pertanian. Sedangkan dalam jangka
panjang semua peubah tersebut memberikan pengaruh atau respon yang positif.
Pada hasil pendugaan yang dilakukan bisa diketahui bahwa peningkatan
indeks harga komoditas pertanian satu level akan meningkatkan investasi
pertanian sebesar 7.1 trilyun rupiah. Sedangkan tenaga kerja di sektor pertanian di
Indonesia yang relatif murah ternyata juga menjadi pendorong tingkat investasi,
hal ini ditunjukkan dengan nilai parameter dugaan sebesar 442.68. Dari angka
tersebut bisa diartikan bahwa adanya peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian
sebanyak satu ribu orang akan mampu mendorong adanya inves tasi sebesar
442.68 milyar rupiah.
Suku bunga domestik dan adanya krisis ekonomi ternyata memberikan
pengaruh yang nyata terhadap penurunan investasi di sektor pertanian, dengan
ditunjukkan nilai peluang sebesar 0.006 dan 0.12. Untuk tingkat suku bunga
domestik nilai parameter dugaannya sebesar
-1725.93,
artinya
dengan
111
peningkatan tingkat suku bunga satu persen maka akan mengurangi tingkat
investasi sebesar 1725.93 milyar rupiah.
5.2.3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Persamaan dan pendugaan parameter tenaga kerja di sektor pertanian akan
dijelaskan pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian
Peubah Penjelas
Parameter
Dugaan
Intersep
Tingkat Upah
Populasi Penduduk
Lag Tenaga Kerja Pertanian
R2 = 0.55945
15.48181
-0.00001
0.005296
0.667044
F Hitung = 6.35
Nilai
Peluang
0.0471
0.0401
0.8437
0.0010
Elastisitas
SR
LR
-0.12017
-0.36091
DW = 2.858137
Dari hasil estimasi parameter yang dilakukan pada persamaan tenaga kerja
di sektor pertanian yang ditunjukkan pada Tabel 9 di atas, dapat diketahui bahwa
tingkat upah riil memberikan pengaruh yang negarif pada peubah endogen tenaga
kerja di sektor pertanian, hal ini bisa dimaklumi bahwa upah riil yang ada adalah
bias di perkotaan. Untuk respon elastisitas dari tingkat upah riil yang dihasilkan
baik jangka pendek dan jangka panjang semua memiliki respon inelastis terhadap
peubah tenaga kerja di sektor pertanian, yaitu masing -masing adalah (-0.12) untuk
jangka pendek dan (-0.36) untuk jangka panjang. Dari hasil nilai elastisitas
tersebut dapat diartikan bahwa peningkatan upah riil sebesar satu persen maka
akan membawa pengaruh penurunan tenaga kerja d i sektor pertanian sebesar 0.12
persen untuk jangka pendek dan 0.36 untuk jangka panjang. Dan dari hasil
pendugaan ini juga diketahui bahwa peubah penjelas ini memiliki pengaruh yang
nyata dengan nilai peluang sebesar 0.047.
112
Hasil estimasi untuk peubah populasi penduduk terhadap penyerapan
tenaga kerja di sektor pertanian memiliki pengaruh yang positif dengan nilai
parameter dugaan sebesar 0.005296. Hal tersebut bisa diartikan bahwa dengan
peningkatan satu juta penduduk maka akan memberikan tambahan tenaga kerja di
sektor pertanian sebanyak 5296 orang.
5.2.4. Harga Komoditas Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada harga komoditas pertanian dapat dilihat
pada Tabel 10 dibawah ini.
Tabel 10. Hasil Pendugaan Parameter Harga Komoditas Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Produksi Pertanian
Inflasi
Nilai Tukar
Impor Komoditas Pertanian
Lag Harga Komoditas Pertanian
R2 = 0.98385
Parameter
Dugaan
Nilai
Peluang
1.265338
-0.00001
0.000275
-6.4E-6
-0.00002
0.655699
F Hitung = 158.38
0.1150
0.1032
0.1887
0.7364
0.0931
0.0235
Elastisitas
SR
LR
-0.12934
0.000942
-0.37567
0.002736
-0.00667
-0.01936
DW = 1.631848
Dari Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa produksi pertanian, nilai tukar
dan impor komoditas pertanian memberikan respon yang negatif terhadap harga
komoditas pertanian. Sedangkan untuk peubah inflasi memberikan pengaruh yang
positif terhadap peningkatan harga komoditas pertanian. Secara keseluruhan
tingkat respon elastisitas dari masing-masing peubah penjelas terhadap harga
komoditas pertanian memberikan respon inelastis baik jangka panjang maupun
jangka pendek.
Peubah produksi pertanian memberikan respon elastisitas sebesar (-0.13)
dalam jangka pendek dan (-0.38) dalam jangka panjang, hal ini berarti dengan
113
peningkatan produksi pertanian sebanyak satu persen maka akan berakibat
menurunnya harga komoditas pertanian sebesar 0.13 persen dalam jangka pendek
dan 0.38 persen untuk jangka panjang. Peubah produksi pertanian dalam
persamaan ini memiliki pengaruh yang nyata terhadap harga komoditas pertanian
dengan nilai peluang 0.1 jauh dibawah 0.25 sebagai nilai toleransi.
Sementara itu untuk impor komoditas pertanian juga memiliki pengaruh
negatif terhadap harga komoditas pertanian dengan nilai elastisitas sebesar
(-0.007) untuk jangka pendek dan (-0.019) untuk jangka panjang. Hal ini berarti
dengan adanya peningkatan impor komoditas pertanian maka akan menurunkan
tingkat harga di dalam negeri sebesar 0.007 persen dalam jangka pendek dan
0.019 dalam jangka panjang. Dari hasil perhitungan elastisitas tersebut dapat
diketahui bahwa dengan adanya impor akan memberikan keuntungan pada
konsumen, namun disatu sisi akan merugikan produsen. Pada peningkatan satu
persen dari nilai impor hal ini masih bisa ditoleransi karena hanya memberikan
dampak elastisitas yang kecil terhadap harga, namun apabila perilaku impor
komoditas pertanian mengalami peningkatan yang sangat tinggi maka akan
merugikan petani selaku produsen, karena harga komoditas pertanian yang
dihasilkan akan jatuh.
Sedangkan untuk tingkat inflasi memberikan respon yang positif terhadap
peningkatan harga komoditas pertanian masing-masing dengan respon elastisitas
sebesar (0.0009) dalam jangka pendek dan (0.003), artinya dengan adanya
kenaikan inflasi satu persen maka akan berakibat pada meningkatnya harga
komoditas pertanian sebesar 0.0009 persen dalam jangka pendek dan 0.003 persen
dalam jangka panjang.
114
Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah
penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan
dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik
F Hitung = 158.38. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada ekspor komoditas pertanian dapat dilihat
pada Tabel 11 dibawah ini.
Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Nilai Tukar
Pajak Ekspor
Harga Pertanian Dunia
Indeks Harga Ekspor Pertanian
Harga Komoditas Pertanian
Produksi Pertanian
Lag Ekspor Komoditas Pertanian
R2 = 0.92888
Parameter
Dugaan
-272.388
0.013962
-25.5735
0.610861
-0.10084
2.841887
0.014488
0.230864
F Hitung = 20.52
Nilai
Peluang
0.7027
0.4515
0.1031
0.8039
0.8460
0.9883
0.1312
0.4379
Elastisitas
SR
LR
-0.15245
-0.19821
1.317774
1.713317
DW = 1.955595
Persamaan perilaku respon ekspor komoditas pertanian tersebut dapat
dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.93 dan uji
statistik F Hitung = 20.52, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam
persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat
hubungan sebesar 93 persen.
Dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan dapat diketahui bahwa
respon positif ekspor komoditas pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar, harga
pertanian dunia, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Sedangkan
115
pajak ekspor dan indeks harga ekspor pertanian memberikan respon yang negatif.
Secara umum hampir semua peubah penjelas yang ada menunjukkan nilai
elastis itas yang kecil atau inelastis dan tidak berpengaruh nyata karena memiliki
nilai peluang di atas 0.25, kecuali untuk peubah penjelas produksi pertanian selain
memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku ekspor komoditas pertanian sebesar
0.13, peubah ini juga memberikan respon yang elastis terhadap perilaku ekspor
komoditas pertanian.
Respon positif yang diberikan oleh peubah produksi pertanian terhadap
ekspor komoditas pertanian memiliki nilai elastisitas sebesar (1.31) dalam jangka
pendek dan (1.71) dalam jangka panjang. Artinya, dengan adanya penambahan
produksi pertanian sebesar satu persen maka akan berakibat pada peningkatan
nilai ekspor komoditas pertanian sebesar 1.31 persen dalam jangka pendek dan
1.71 persen dalam jangka panjang. Selain itu harga pertanian dunia juga
mendorong ekspor komoditas pertanian, meskipun hanya memberikan respon
yang inelastis.
5.2.6. Impor Komoditas Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada ekspor komoditas pertanian dapat dilihat
pada Tabel 12 dibawah ini.
Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Nilai Tukar
Pajak / Tarif Impor
Harga Pertanian Dunia
Indeks Harga Impor Pertanian
Harga Komoditas Pertanian
Stok Pangan Nasional
Lag Impor Pertanian
R2 = 0.84821
Parameter
Dugaan
879.4443
0.031060
0.033715
-0.65963
-13.8746
703.5177
-0.41307
0.766733
F Hitung = 8.78
Nilai
Peluang
0.7843
0.7921
0.7794
0.1744
0.4904
0.0969
0.4465
0.0588
Elastisitas
SR
LR
-0.13039
-0.55897
2.110645
9.048194
DW = 2.246432
116
Persamaan perilaku respon impor komoditas pertanian tersebut dapat
dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.85 dan uji
statistik F Hitung = 8.78, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam
persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat
hubungan sebesar 85 persen.
Dari Tabel 12 bisa diketahui bahwa respon positif
impor komoditas
pertanian dipengaruhi oleh nilai tukar, pajak impor, dan harga komoditas
pertanian dalam negeri. Sedangkan untuk harga pertanian dunia, indeks harga
impor komoditas pertanian dan stok pangan memberikan respon atau pengaruh
yang negatif.
Peubah penjelas harga komoditas pertanian memiliki nilai peluang 0.09
jauh di bawah 0.25 sebagai angka toleransi, selain itu peubah ini memiliki nilai
elastisitas sebesar (2.11) untuk jangka pendek dan (9.04) untuk jangka panjang,
hal ini berarti bahwa dengan adanya peningkatan harga komoditas pertanian satu
persen, maka akan memberikan respon elastis 2.11 persen dalam jangka pendek
dan respon elastis sebesar 9.04 persen dalam jangka panjang terhadap perilaku
impor komoditas pertanian. Hal ini menunjukkan kuatnya perilaku impor yang
dilakukan oleh importir dalam membaca peluang pasar di dalam negeri.
Sementara itu untuk tarif impor yang seharusnya memberikan pengaruh
negatif pada perilaku impor ternyata tidak mengurangi nilai impor, hal tersebut
diduga akibat margin keuntungan yang masih tinggi yang bisa diperoleh importir.
Namun yang menjadi kendala utama dalam mempengaruhi perilaku penurunan
nilai impor komoditas pertanian adalah tingginya harga pertanian dunia dan
indeks harga komoditas pertanian. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil dugaan
117
parameter yang negatif pada kedua peubah tersebut, dan khusus untuk peubah
indeks harga impor pertanian memiliki nilai elastisitas yang tinggi.
Sedangkan untuk peubah penjelas stok pangan nasional memberikan
respon yang negatif terhadap perilaku impor komoditas pertanian, hal ini sejalan
dengan teori dan kondisi aktual. Namun peubah stok pangan ini tidak memberikan
pengaruh nyata pada perilaku impor komoditas pertanian.
5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan
Hasil pendugaan parameter pada kemiskinan di perkotaan dapat dilihat
pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan
Peubah Penjelas
Parameter
Dugaan
Intersep
4.786854
Tingkat Upah
-2.72E-6
Pertumbuhan Ekonomi
-0.17378
Belanja Pemerintah di Sektor Jasa
-0.00007
Belanja Pemerintah di Sektor Industri
6.484E-7
Stok Pangan Nasional
-0.00070
Inflasi
0.043954
Dummy Krisis Ekonomi
3.087323
Lag Kemiskinan di Perkot aan
0.358871
R2 = 0.81869
F Hitung = 5.64
Nilai
Peluang
0.6235
0.1603
0.1186
0.1934
0.4180
0.8641
0.1391
0.2123
0.1379
Elastisitas
SR
LR
-0.11539
-0.05722
-2.5E-05
-0.17999
-0.08924
-3.9E-05
0.037978
0.270818
0.059236
0.422408
DW = 2.231885
Dari Tabel 13 dapat diduga bahwa respon negatif yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan
ekonomi, belanja pemerintah di sektor jas a dan stok pangan nasional. Sementara
itu, ternyata belanja pemerintah di sektor industri tidak mampu memberikan
respon yang negatif terhadap kemiskinan di perkotaan. Bersama-sama dengan
belanja pemerintah di sektor industri, peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi
118
memberikan pengaruh yang positif terhadap kemiskinan di perkotaan. Dari hasil
perhitungan
respon
elastisitas
tiap-tiap peubah penjelas masing-masing
memberikan respon inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
Untuk peubah tingkat upah menghasilkan nilai respon elastisitas sebesar
(-0.12) dalam jangka pendek dan (-0.18) untuk jangka panjang. Artinya, dengan
peningkatan upah sebesar satu persen maka akan mampu mengurangi tingkat
kemiskinan di perkotaan sebesar 0.12 persen dalam jangka pendek dan untuk
jangka panjang sebesar 0.18 persen.
Sementara itu dari hasil dugaan parameter pertumbuhan ekonomi yang
dikatahui sebesar -0.17378, memberikan intepretasi bahwa dengan pertumbuhan
ekonomi sebesar satu persen akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di
perkotaan sebesar 0.17378 persen. Sementara itu belanja pemerintah di sektor jasa
memiliki dampak yang cukup baik dalam mengurangi kemiskinan di perkotaan.
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor jasa layak dikembangkan di
perkotaan, dengan dibuktikan dengan nilai respon elastisitas terhadap kemiskinan
di perkotaan sebesar (-2.5E-05) dan (-3.9E-05) masing-masing untuk jangka
pendek dan jangka panjang.
Peubah stok pangan nasional memberikan respon negatif terhadap
kemiskinan di perkotaan, hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan dan
ketersediaan pangan merupakan salah satu kunci menekan kemiskinan. Untuk
peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi sesuai dengan teori dan kondisi aktual
yang menunjukkan adanya respon positif terhadap kemiskinan di perkotaan.
119
5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan
Hasil pendugaan parameter pada kemiskinan di pedesaan dapat dilihat
pada Tabel 14 berikut ini.
Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan
Peubah Penjelas
Intersep
Tingkat Upah
Pertumbuhan Ekonomi
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Inflasi
Harga Pertanian
Produksi Pertanian
Dummy Krisis Ekonomi
Lag Kemiskinan di Pedesaan
R2 = 0.94638
Parameter
Nilai
Dugaan
Peluang
38.60594
0.2488
-0.00003
0.0994
-0.62783
0.0314
-3.48965
0.2072
0.03122
0.7048
-4.93143
0.6499
-8.55E-9
0.0916
1.128666
0.6869
0.369147
0.1571
F Hitung = 22.06
Elastisitas
SR
LR
-0.5482
-0.08903
-0.5257
-0.86899
-0.14113
-0.83332
-1.2E-05
0.042645
-1.9E-05
0.067599
DW = 2.697835
Persamaan perilaku respon kemiskinan di pedesaan tersebut dapat
dikatakan cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.95 dan uji
statistik F Hitung = 22.06, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam
persamaan mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat
hubungan sebesar 95 persen.
Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa respon negatif kemiskinan di
pedesaan dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan ekonomi, belanja
pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian.
Sedangkan untuk inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif
terhadap kemiskinan di pedesaan.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa tingkat upah mampu
memberikan respon negatif terhadap tingkat kemiskinan di pedesaan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya respon elastisitas sebesar (-0.55) dan (-0.87) masing-
120
masing untuk respon elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Artinya,
dengan adanya peningkatan tingkat upah sebesar satu persen maka akan
memberikan respon pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan sebesar 0.55
persen untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang sebesar 0.87 persen. Hal
tersebut sama dengan pertumbuhan ekonomi yang juga mampu memberikan
respon baik terhadap pengurangan kemiskinan di pedesaan, masing-masing
memiliki respon elastisitas jangka pendek dan jangka panjang sebesar (-0.09) dan
(-0.14).
Belanja pemerintah di sektor pertanian ternyata mampu memberikan
respon yang negatif terhadap kemiskinan di pedesaan, artinya dengan peningkatan
belanja pemerintah di sektor pertanian sebesar satu persen, maka akan mampu
menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan sebesar 0.53 persen dalam jangka
pendek dan 0.83 persen dalam jangka panjang.
Hasil pendugaan parameter peubah penjelas harga komoditas pertanian
sebesar -4.93143, artinya dengan peningkatan indeks harga komoditas pertanian
sebesar satu level maka akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan
sebesar 4.9 persen. Untuk peubah produksi pertanian juga memberikan respon
yang negatif terhadap tingkat kemiskinan dipedesaan, meskipun nilai respon yang
diberikan cukup kecil.
Sementara itu, untuk peubah penjelas inflasi dan krisis ekonomi
memberikan respon positif
terhadap tingkat kemiskinan di pedesaan, hal ini
sesuai dengan teori dan kondisi yang ada. Kedua peubah penjelas ini memberikan
respon yang sama terhadap kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan.
121
5.2.9. Stok Pangan Nasional
Hasil pendugaan parameter pada stok pangan nasional dapat dilihat pada
Tabel 15 dibawah ini.
Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional
Peubah Penjelas
Intersep
Produksi Pertanian
Ekspor Komoditas Pertanian
Impor Komoditas Pertanian
Populasi Penduduk
Lag Stok Pangan Nasional
R2 = 0.90048
Parameter
Dugaan
2382.569
0.012027
-0.55683
0.15496
-8.09259
0.429035
F Hitung = 23.52
Nilai
Peluang
0.4933
0.0872
0.4718
0.1911
0.5669
0.2073
Elastisitas
SR
LR
0.349168
0.61154
-0.11593
-0.20305
DW = 1.857055
Persamaan perilaku respon stok pangan nasional tersebut dapat dikatakan
cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.90 dan uji statistik F
Hitung = 23.52, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan
mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan
sebesar 90 persen.
Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa respon positif stok pangan nasional
hanya dipengaruhi oleh produksi pertanian. Sementara itu untuk peubah penjelas
impor komoditas pertanian yang seharusnya memberikan respon positif ternyata
sebaliknya justru memberikan respon positif. Selain impor komoditas pertanian
peubah yang lain yang juga memberikan respon negatif adalah ekspor komoditas
pertanian dan populasi penduduk.
Produksi pertanian mampu memberikan pengaruh positif terhadap stok
pangan nasional dengan nilai dugaan parameter sebesar 0.012, hal ini berarti
dengan meningkatnya produksi pertanian senilai satu milyar, maka akan
menambah stok pangan nasional sebesar 12 ton. Peubah penjelas ini memiliki
122
respon inelastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, yaitu
masing-masing sebesar (0.35) dan (0.61).
Sementara itu respon negatif yang diperoleh stok pangan nasional juga
dipengaruhi oleh populasi penduduk. Sedangkan apabila dilihat dari angka
parameter dugaan, maka dengan peningkatan populasi penduduk sebesar satu juta
jiwa akan mengakibatkan berkurangnya sto k pangan nasional sebesar 8.09 ribu
ton. Apabila stok pangan nasional tidak segera diperbaiki maka akan berakibat
kerawan an pangan, hal ini disebabkan Indonesia termasuk dalam kategori negara
dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi.
5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada belanja pemerintah di sektor pertanian
dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini.
Tabel 16. Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Inflasi
Penerimaan Pemerintah
Dummy Krisis Ekonomi
Lag Belanja Pemerintah
Sektor Pertanian
R2 = 0.99121
di
Parameter
Dugaan
0.433816
-0.01676
-5.55E-7
-0.07625
0.886760
Nilai
Peluang
0.2101
0.0003
0.6218
0.7277
<.0001
F Hitung = 394.74
Elastisitas
SR
-0.0414
LR
-0.36564
DW = 2.670983
Dari Tabel 16 dapat kita lihat bahwa hanya krisis ekonomi yang
memberikan pengaruh paling besar atau respon positif yang cukup tinggi.
Sementara itu untuk respon negatif diakibatkan oleh peubah inflasi dan
penerimaan pemerintah. Semua peubah yang ada dalam persamaan ini
123
memberikan respon inelastis terhadap anggaran belanja pemerintah di sektor
pertanian.
Pada hasil pendugaan parameter krisis ekonomi, diperoleh nilai dugaan
parameternya sebesar -0.07625. Artinya, dengan adanya krisis ekonomi yang
terjadi di Indonesia, mengakibatkan berkurangnya anggaran pemerintah di sektor
pertanian sebesar 0.07 milyar rupiah. Hal tersebut cukup ironis, meskipun
pengurangan anggaran yang tidak terlalu signifikan, namun akan membawa
dampak yang kurang baik pada pemulihan krisis khususnya berkaitan dengan
penyelamatan dari kerawanan pangan, mengingat sektor pertanian merupakan
penghasil pangan.
5.2.11. GDP Sektor Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada GDP Sektor Pertanian dapat dilihat pada
Tabel 17 dibawah ini.
Tabel 17. Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Tenaga Kerja Pertanian
Belanja Pemerintah di Sektor
Pertanian
Modal Sektor Pertanian
Investasi Pertanian
Konsumsi sektor Pertanian
Lag GDP Sektor Pertanian
R2 = 0.96478
Parameter
Dugaan
168296.3
1571.421
25820.63
0.292503
0.601478
1.597047
0.117956
F Hitung = 54.78
Nilai
Peluang
0.0142
0.1916
<.0001
0.8587
0.0001
0.0769
0.3184
Elastisitas
SR
LR
0.529223
0.599996
0.861472
0.976677
0.382269
0.458687
0.433389
0.520028
DW = 2.517508
Persamaan perilaku respon GDP Sektor Pertanian tersebut dapat dikatakan
cukup baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.96 dan uji statistik F
Hitung = 54.78, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan
mampu menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan
sebesar 96 persen.
124
Respon positif terhadap GDP Sektor Pertanian dipengaruhi oleh tenaga
kerja sektor pertanian, belanja pemerintah di sektor pertanian, investasi pertanian,
modal sektor pertanian dan konsumsi sektor pertanian. Secara keseluruhan respon
inelastis diberikan oleh peubah penjelas, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
Respon positif terhadap GDP sektor pertanian yang dipengaruhi oleh
tenaga kerja sektor pertanian, memiliki angka dugaan parameter sebesar
1571.421. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan penambahan satu ribu tenaga
kerja di sektor pertanian maka akan mendorong tingkat GDP dari sektor pertanian
sebesar 1571.421 milyar rupiah. Sementara itu dengan penambahan satu persen
anggaran belanja pemerintah untuk sektor pertanian maka akan mendorong GDP
dari sektor pertanian sebesar 0.86 persen dalam jangka pendek dan 0.97 persen
dalam jangka panjang.
Sementara itu untuk peubah penjelas investasi di sektor pertanian
memberikan nilai respon elastisitas yang positif terhadap GDP sektor pertanian.
Hal tersebut ditunjukkan dengan angka elastisitas sebesar (0.38) dan (0.43)
masing-masing untuk jangka pendek dan jangka panjang. Selain memiliki
pengaruh yang positif terhadap GDP sektor pertanian, peubah ini juga memiliki
pengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar 0.0001.
125
5.2.12. Penerimaan Pemerintah
Hasil pendugaan parameter pada Penerimaan Pemerintah dapat dilihat
pada Tabel 18 dibawah ini.
Tabel 18. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah
Peubah Penjelas
Intersep
Stok Hutang Pemerintah
Pajak Total
Harga Minyak Dunia
Lag Penerimaan Pemerintah
R2 = 0.99028
Parameter
Dugaan
Nilai
Peluang
-63583.1
0.965320
0.333305
0.970292
0.775121
F Hitung = 356.76
0.0038
0.0118
0.3222
0.0015
<.0001
Elastisitas
SR
LR
0.178376
0.79321
7.78E-05
0.000346
DW = 2.572584
Dari Tabel 18 bisa dilihat bahwa secara keseluruhan peubah penjelas
memberikan respon yang positif terhadap penerimaan pemerintah, hal ini sesuai
dengan teori dan kondisi aktual yang ada. Namun hampir secara keseluruhan pula
semua peubah memiliki respon inelastis terhadap penerimaan pemerintah .
Untuk peubah penjelas stok hutang pemerintah memiliki respon yang
positif terhadap penerimaan pemerintah dengan angka parameter dugaan sebesar
0.965320, artinya dengan adanya penambahan hutang pemerintah satu milyar
rupiah maka akan menambah penerimaan pemerintah sebesar 0.97 milyar rupiah.
Sementara itu untuk respon harga minyak dunia memberikan nilai dugaan
parameter sebesar 0.970292, artinya dengan peningkatan harga minyak dunia
sebesar 1 dollar per barrel, maka akan menambah penerimaan pemerintah sebesar
0.97 milyar rupiah. Kedua peubah penjelas ini yaitu, stok hutang pemerin tah dan
harga minyak dunia masing-masing memiliki pengaruh yang nyata terhadap
penerimaan pemerintah, dengan masing-masing memiliki nilai peluang sebesar
0.0118 dan 0.0015 jauh dibawah 0.25 sebagai angka toleransi.
126
Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.99, artinya semua peubah
penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 99 persen sedangkan
satu persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik
F Hitung = 356.76. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.13. Pajak Total
Hasil pendugaan parameter pada pajak total dapat dilihat pada Tabel 19
dibawah ini.
Tabel 19. Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total
Peubah Penjelas
Intersep
GDP Total
Investasi Total
Trend Waktu
Lag Total Pajak
R2 = 0.93395
Parameter
Dugaan
-12172.5
-0.02700
0.174107
3850.828
0.257616
F Hitung = 49.49
Nilai
Peluang
0.2481
0.5854
0.1260
0.0415
0.3730
Elastisitas
SR
0.0898
0.338736
LR
0.120962
0.456281
DW = 1.346751
Persamaan perilaku respon pajak total tersebut dapat dikatakan cukup
baik, dimana nilai koefisien determinasinya R² = 0.93 dan uji statistik F Hitung =
49.49, artinya bahwa peubah penjelas yang ada dalam persamaan mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik dengan tingkat hubungan sebesar
93 persen. Secara keseluruhan peubah penjelas yang ada pada persamaan pajak
total memberikan respon inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang.
Dari Tabel 19 dapat diketahui bahwa respon perilaku pajak total
dipengaruhi secara positif oleh investasi total dan tren waktu, kedua peubah
127
penjelas ini memiliki memiliki nilai peluang 0.13 dan 0.04, artinya kedua peubah
tersebut memberikan pengaruh nyata. Hal tesebut bisa dimaklumi karena memang
tingkat investasi total yang ada di Indonesia didorong untuk menumbuhkan
sektor-sektor formal. Sementara untuk tren waktu diduga akibat semakin
meningkatnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.
Sedangkan GDP total memberikan dampak negatif terhadap pajak total.
Seharusnya peubah penjelas ini memberikan pengaruh yang positif terhadap total
penerimaan pajak, hal ini diduga akibat pertumbuhan ekonomi yang terjadi justru
banyak di sektor-sektor informal yang hak wajib pajaknya sulit untuk dideteksi.
5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian
Hasil pendugaan parameter pada konsumsi di sektor pertanian dapat
dilihat pada Tabel 20 dibawah ini.
Tabel 20. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian
Peubah Penjelas
Intersep
Produksi Pertanian
Pendapatan Disposibel
Lag Konsumsi untuk Pertanian
R2 = 0.95222
Parameter
Dugaan
-7916.61
0.805522
0.016068
0.046631
F Hitung = 99.65
Nilai
Peluang
0.2537
<.0001
0.0829
0.7108
Elastisitas
SR
0.872962
0.280248
LR
0.91566
0.293956
DW = 1.985057
Dari Tabel 20 dapat dik etahui bahwa respon perilaku pada konsumsi
sektor pertanian dipengaruhi secara positif oleh produksi pertanian dan
pendapatan disposibel (pendapatan yang langsung dibelanjakan), hal tesebut
berarti sejalan antara teori dan kondisi aktual yanga ada. Meskipun kedua peubah
penjelas tersebut memberikan respon inelastis terhadap konsumsi sektor
pertanian, namun kedua peubah penjelas tersebut memiliki pengaruh yang nyata.
128
Dari hasil perhitungan elastisitas didapatkan hasil bahwa dalam jangka
pendek produksi pertanian memberikan respon inelastis sebesar (0.87) dan (0.91)
untuk jangka panjang. Hal ini berarti bahwa dengan peningkatan produksi
pertanian satu persen, maka akan meningkatkan konsumsi sektor pertanian
sebesar 0.87 persen dalam jangka pendek dan 0.91 untuk jangka panjang. Untuk
peubah pendapatan disposibel meskipun memberikan pengaruh yang nyata namun
peubah ini memiliki nilai elastisitas yang cukup kecil, hal ini diduga karena
pendapatan disposibel banyak dialokasikan ke sektor lain.
Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.95, artinya semua peubah
penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 95 persen sedangkan
lima persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai
statistik F Hitung = 99.65. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.15. Penawaran Uang
Hasil pendugaan parameter pada penawaran uang dapat dilihat pada Tabel
21 dibawah ini.
Tabel 21. Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang
Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep
Suku Bunga Domestik
Nilai Tukar
GDP Total
R2 = 0.98106
-3228.80
-461.775
2.047949
0.133135
F Hitung = 258.95
Nilai Peluang
0.2108
<.0001
<.0001
<.0001
Elastisitas
-0.02989
0.097986
0.321729
DW = 1.638961
Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa respon perilaku penawaran uang
dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga domesatik. Sementara itu peubah
penjelas nilai tukar rupiah terhadap dolar dan GDP total memberikan pengaruh
129
yang positif terhadap respon perilaku penawaran uang. Ketiga peubah penjelas
yang digunakan dalam persamaan penawaran uang ini memberikan pengaruh yang
nyata dengan nilai peluang yang sangat kecil. Selain itu ketiga peubah tersebut
juga memberikan respon inelastis secara keseluruhan.
Suku bunga domestik memberikan pengaruh negatif terhadap penawaran
uang dengan nilai parameter dugaan sebesar -461.775. Hal tersebut berarti dengan
adanya peningkatan suku bunga domestik akan mengurangi penawaran uang
sebesar 461.775 milyar. Perilaku ini sesuai antara teori dengan kondisi aktual,
yaitu apabila terjadi peningkatan suku bunga maka pelaku ekonomi akan enggan
melakukan investasi dan lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank,
karena akan lebih menguntungkan.
Peubah penjelas nilai tukar yang seharusnya memberikan nilai negatif
terhadap penawaran uang ternyata memberikan pengaruh yang positif. Hal ini
diduga oleh tren karakteristik masyarakat yang semakin konsumtif, sehingga
antara peubah penjelas nilai tukar dan penawaran uang memiliki arah yang sama.
Jika dilihat dari besaran nilai statistik R2 = 0.98, artinya semua peubah
penjelas mampu menjelaskan peubah endogennya sebesar 98 persen sedangkan
dua persen lagi dijelaskan oleh faktor lain di luar persamaan, dengan nilai statistik
F Hitung = 258.95. Dengan kata lain, bahwa persamaan tersebut mampu
menjelaskan peubah endogennya dengan baik.
5.2.16. Inflasi
Hasil pendugaan parameter pada peubah endogen inflasi dapat dilihat pada
Tabel 22 berikut ini.
130
Tabel 22. Hasil Pendugaan Parameter Inflasi
Peubah Penjelas
Parameter Dugaan
Intersep
GDP Total
Penawaran Uang
Nilai Tukar
Dummy Krisis Ekonomi
R2 = 0.74327
-6.41485
0.000349
-0.00284
0.005792
5.857520
F Hitung = 10.13
Nilai Peluang
0.5253
0.0002
<.0001
0.0025
0.6116
Elastisitas
16.84375
-56.7197
5.534643
0.594672
DW = 2.898171
Dari Tabel 22 dapat diketahui bahwa respon positif tingkat inflasi
dipengaruhi oleh GDP total, nilai tukar dan krisis ekonomi. Sementara itu untuk
peubah penawaran uang justru memberikan pengaruh yang negatif terhadap
inflasi. Secara umum semua peubah penjelas yang ada memberikan pengaruh
yang nyata terhadap peubah endogennya kecuali krisis ekonomi, hal tersebut
ditunjukkan dengan nilai peluang yang sangat kecil. Sementara itu hampir secara
keseluruhan peubah penjelas memberikan respon elastis pada peubah endogen
inflasi, kecuali krisis ekonomi.
GDP total memberikan respon positif terhadap inflasi dengan nilai
elastisitas sebesar (16.84), artinya dengan peningkatan GDP total sebesar satu
persen maka akan mengakibatkan inflasi meningkat 16.84 persen. Begitu pula
dengan nilai tukar, peubah penjelas ini memberikan respon elastis sebesar (5.53),
artinya dengan peningkatan kemapuan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar
satu persen, maka akan mengakibatkan peningkatan inflasi sebesar 5.53 persen.
Hal tersebut sejalan dengan teori, bahwa dengan menguatnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar, secara proporsional akan meningkatkan harga, sehingga secara
otomatis akan mendorong meningkatnya inflasi.
131
Sementara itu untuk peubah penjelas penawaran uang justru memberikan
respon yang negatif terhadap inflasi. Hal ini diakibatkan karena kebijakan
penawaran uang tidak melihat tingkat inflasi yang terjadi pada tahun sebelumnya,
karena dari data yang ada tingkat inflasi bersifat fluktuatif, namun pen awaran
uang secara terus-menerus mengalami peningkatan. Selain itu diduga pula
disebabkan adanya goncangan ekonomi pada tujuh tahun terakhir yang
menyebabkan keseimbangan moneter menjadi goyah serta bersamaan dengan
lonjakan tingkat inflasi yang cukup tinggi. Hal tersebutlah yang membuat Bank
Indonesia menarik infestasi dengan meningkatkan suku bunga yang sangat tinggi.
5.2.17. Kemiskinan Total
Kemiskinan total dalam penelitian ini diduga dengan persamaan identitas,
dimana kemiskinan total ini merupakan penjumlahan dari kemiskinan di
perkotaan dan di pedesaan. Jadi apabila terjadi goncangan pada salah satunya dan
atau pada keduanya maka secara otomatis akan mempengaruhi tingkat kemiskinan
total. Secara matematis persamaan identitas dari kemiskinan total sudah ditulis
pada persamaan 9 yaitu sebagai berikut :
TPOVt = UPOVt + RPOVt
5.2.18. GDP Total
GDP total merupakan persamaan identitas dari penjumlahan GDP dari
sektor pertanian ditambah dengan GDP dari sektor yang lainnya. Sektor yang lain
disini yang dimaksud adalah sektor jasa, industri, pertambangan dan lain -lain.
132
Secara matematis persamaan identitas dari GDP total telah disamapaikan pada
persamaan 13 yaitu sebagai berikut :
GDPT t = GDPAt + GDPNt
Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan pada GDP
di sektor pertanian ataupun di sektor yang lain, maka akan mempengaruhi GDP
total. Selanjutnya perubahan GDP total akan memberikan pengaruh dan efek balik
kepada peubah endogen yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN
6.1.
Validasi Model
Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif
kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Akan tetapi sebelum
melakukan alternatif simulasi kebijakan terlebih perlu dilakukan validasi model
untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah
endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991).
Model kebijakan pertanian dan kemiskinan dalam penelitian ini telah diuji
dengan suatu simulasi dasar untuk periode sampel pengamatan 1984-2003. Indikator
validasi statisik yang digunakan adalah Root Mean Squares Percent Error
(RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen
hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau
dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. Selain itu
digunakan statistik proporsi bias (UM ), dan juga statistik Theil’s inequality
coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi
historis maupun peramalan (historical and ex-ante simulation). Pada dasarnya jika
makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s maka pendugaan model semakin baik.
Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model
sempurna, jika U =1, maka pendugaan model naif. Berikut ini disajikan hasil
validasi model dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan
kemiskinan di Indonesia seperti yang tertera pada Tabel 23.
134
Tabel 23. Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan
Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Nama Peubah
PROAR
INVAR
LABA
PA
EXAR
IMAR
UPOV
RPOV
SPN
GEAR
GR
TTAXR
FCONR
MSR
INF
TPOV
GDPT
GDPA
RMSPE
Bias
(UM)
U
8.3342
13.6387
5.0448
3.9731
17.1694
25.9386
11.7530
4.8423
8.1211
28.2129
27.7041
12.6745
12.5419
8.2903
280.6
3.4042
4.0751
13.3404
0.00
0.01
0.25
0.51
0.00
0.05
0.00
0.03
0.00
0.01
0.14
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.0246
0.0366
0.0234
0.0181
0.0560
0.0978
0.0504
0.0257
0.0360
0.1509
0.0714
0.0486
0.0468
0.0320
0.2442
0.0185
0.0168
0.0562
Dari table 23 dapat diketahui, 17 persamaan dalam model mempunyai nilai
RMSPE lebih kecil dari 30 persen, sementara itu ada satu persamaan yang
mempunyai RMSPE lebih besar dari 100 persen. Sedangkan berdasarkan kriteria
nilai U-Theil’s terdapat 17 persamaan dari 18 persamaan mempunyai nilai U lebih
kecil dari 0.20, dan 1 persamaan lagi mempunyai nilai U antara 0.21 sampai 0.25.
Nilai U-Theil’s tertinggi adalah 0.2442 yaitu pada persamaan inflasi dan
RMPSE nya 280.6, akan tetapi tidak terjadi bias sistematik, sebab nilai bias UM
adalah 0.00 jauh di bawah dari 0.20. Meskipun demikian jika dilihat secara
keseluruhan, model ini cukup baik digunakan sebagai model pendugaan, oleh karena
itu model struktural yang telah dirumuskan juga dapat digunakan untuk simulasi
alternatif kebijakan, pada simulasi historis untuk periode 1984-2003.
135
6.2.
Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan
Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menimbulkan
dampak positif maupun dampak negatif terhadap masing-masing peubah endogen
dan dapat juga tidak mempunyai dampak terhadap peubah endogen lainnya.
Simulasi yang dilakukan dalam studi adalah selain kebijakan pembangunan di sektor
pertanian juga dilakukan simulasi pada beberapa indikator ekonomi. Dampak dari
alternatif kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa indikator ekonomi lainnya
terhadap perubahan peubah endogennya dapat dilihat pada Tabel 24.
Simulasi kebijakan yang dilakukan yaitu :
1. Simulasi 1 : Meningkatkan anggaran penelitian sebesar 20 persen.
2. Simulasi 2 : Menambah luas areal sebesar 20 persen.
3. Simulasi 3 : Meningkatkan nilai kredit sebesar 10 persen.
4. Simulasi 4 : Mengurangi subsidi pupuk sebesar 25 persen.
5. Simulasi 5 : Menambah areal lahan irigasi sebesar 10 persen.
6. Simulasi 6 : Meningkatkan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen.
7. Simulasi 7 : Mengurangi impor komoditas pertanian sebesar 50 persen.
8. Simulasi 8 : Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen.
9. Simulasi 9 : Meningkatkan belanja pemerintah sektor pertanian sebesar 20
persen.
10. Simulasi 10 : Menaikkan pajak impor sebesar 25 persen.
11. Simulasi 11 : Menurunkan pajak ekspor sebesar25 persen.
12. Simulasi 12 : Meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen.
13. Simulasi 13 : Menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen.
137
Dari tabel 24 dapat dijelaskan bahwa kebijakan yang berdampak pada
penurunan angka kemiskinan total antara lain kebijakan peningkatan anggaran
penelitian sebesar 20 persen, kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25
persen, kebijakan penambahan luasan areal irigasi sebanyak 10 persen, peningkatan
mekanisasi pertanian sebesar 10 persen, pengurangan impor komoditas pertanian
sebesar 50 persen, peningkatan investasi sebesar 25 persen, peningkatan belanja
pemerintah disektor pertanian sebesar 20 persen, peningkatan pajak impor dan
peningkatan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen, peningkatan upah riil
sebesar 10 persen serta menurunkan suku bunga domestik sebesar 2 persen. Namun
untuk kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian, penambahan luas areal
dan kebijakan kredit sektor pertanian ternyata hanya mampu mengurangi kemiskinan
di pedesaan.
Kebijakan penelitian di sektor pertanian ternyata mampu memberikan
dampak yang cukup baik terhadap peningkatan produksi dan perbaikan harga. Dari
hasil peningkatan anggaran penelitian di sektor pertanian ternyata juga berdampak
pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 2.36 persen. Selain itu,
kebijakan tersebut juga mampu meningkatkan GDP sektor pertanian maupun total
masing-masing 0.51 persen dan 0.15 persen. Dengan adanya peningkatan anggaran
penelitian ini ternyata juga mampu mendorong investasi sebesar 1.05 persen.
Secara umum dampak kebijakan peningkatan anggaran penelitian ini membawa
dampak yang baik terhadap peningkatan pembangunan ekonomi, karena dari hasilhasil penelitian yang dilakukan akan menemukan produk-produk baru yang lebih
baik secara kualitas dan kuantitas sehingga memiliki daya saing yang cukup baik.
138
Sementara itu untuk hasil simulasi kebijakan penambahan luas areal dan
peningkatan kredit justru tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan baik di
pedesaan maupun di perkotaan. Hal tersebut diduga terjadi karena produksi yang
berlebih, sehingga berdampak pada penurunan harga. Sementara itu dari hasil
pendugaan parameter yang dilakukan memang tingkat kemiskinan khususnya di
pedesaan banyak dipengaruhi oleh pengaruh peningkatan harga.
Pengurangan subsidi pupuk yang dilakukan sebanyak 25 persen justru
mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebanyak 0.63 persen. Hal ini diakibatkan
karena petani akan lebih efisien dalam penggunaan pupuk dan terdorong untuk
mencari pupuk alternatif yang lebih murah. Di satu sisi hal ini juga membawa
pengaruh pengurangan anggaran pemerintah sehingga bisa dialokasikan untuk
kebutuhan anggaran yang lain. Tingkat penyelewengan pupuk yang tinggi, hal ini
yang mengakibatkan peningkatan subsidi pupuk tidak berpengaruh positif terhadap
produksi maupun dalam simulasi tidak mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Dari
hasil analisis simulasi yang dilakukan diduga yang menjadi penyebab pemerintah
mengambil kebijakan untuk menghapuskan subsidi pupuk.
Simulasi yang dilakukan terhadap peningkatan mekanisasi pertanian
sebanyak 10 persen ternyata mampu mngurangi tingkat kemiskinan, meskipun
simulasi ini juga membawa pengaruh pada penurunan produksi 0.88 persen. Karena
pada intinya, kegiatan mekanisasi ini dilakukan adalah untuk melakukan efisiensi
biaya produksi dan peningkatan kualitas produk, dan margin keuntungan yang
diperoleh petani akan jauh lebih besar akibat peningkatan mekanisasi pertanian ini.
Simulasi ini membawa pengaruh pada pengurangan kemiskinan sebesar 0.72
persen.
139
Pengurangan kebijakan impor komoditas pertanian sebanyak 50 persen
ternyata membawa dampak yang baik terhadap produksi pertanian, investasi sektor
pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, peningkatan harga pertanian
dan mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Kebijakan pengurangan impor
komoditas pertanian ini akan membawa pengaruh meningkatnya harga komoditas
pertanian, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan petani.
Perilaku impor komoditas pertanian yang dilakukan tentunya harus dipertimbangkan
secara matang, karena apabila hal ini tidak dibendung maka akan membawa dampak
buruk bagi daya saing komoditas pertanian lokal yang dihasilkan.
Kebijakan peningkatan investasi di sektor pertanian membawa pengaruh
yang positif terhadap pengentasan kemiskinan di pedesaan sebesar 2.18 persen.
Kebijakan ini secara bersama-sama juga membawa pengaruh pada peningkatan
produksi, penyerapan tenaga kerja, dan perbaikan tingkat harga, serta penguatan
stok pangan nasional. Kebijakan ini juga mampu mendorong peningkatan ekspor
komoditas pertanian sebesar 37.88 persen. Meskipun memiliki tingkat elastisitas
yang rendah namun investasi di sektor pertanian
membawa keberuntungan
tersendiri, karena di sektor pertanian memiliki potensi sumberdaya tenga kerja yang
cukup banyak.
Peningkatan anggaran pemerintah di sektor pertanian sebesar 20 persen akan
membawa pengaruh pada pengentasan kemiskinan sebesar 0.68 persen, meskipun
dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan anggaran belanja pemerintah ini
tidak memberikan dampak positif bagi pengentasan kemiskinan. Namun ternyata
simulasi dari kebijakan ini membawa dampak peningkatan produksi pertanian,
investasi di sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan harga
140
komoditas pertanian secara bersama-sama. Penting diperhatikan di sini bahwa
kebijakan belanja pemerintah di sektor pertanian harus mempertimbangkan pula
aspek perbaikan tingkat harga komoditas pertanian dan tidak hanya terfokus pada
peningkatan jumlah produksi secara kuantitas.
Simulasi kebijakan peningkatan tarif impor dan pengurangan pajak ekspor
sebesar masing-masing sebesar 25 persen membawa pengaruh yang hampir sama
pada pengurangan kemiskinan yaitu masing-masing sebesar 0.70 persen dan 0.73
persen. Dua simulasi kebijakan ini juga membawa pengaruh pada peningkatan
produksi pertanian, investasi di sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja, serta
peningkatan harga. Khusus untuk simulasi kebijakan pengurangan pajak ekspor
sebesar 25 persen membawa pengaruh yang cukup baik terhadap peningkatan
ekspor sebesar 4.56 persen.
Peningkatan tingkat upah riil ternyata membawa dampak yang positif
terhadap pengentasan kemiskinan secara signifikan, yaitu sebesar 2.36 persen.
Peningkatan upah riil ini memang di satu sisi membawa dampak rendahnya
perubahan investasi di sektor pertanian, karena harga tenaga kerja akan semakin
mahal yang pada akhirnya akan membawa pengaruh perubahan yang kecil pada
peningkatan produksi pertanian yang hanya sebesar 0.14 persen, namun simulasi ini
juga membuktikan adanya pengaruh peningkatan harga komoditas pertanian sebesar
2.65 persen. Kebijakan peningkatan upah riil ini membawa pengaruh pada
pemerataan pendapatan sehingga mampu mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
pada pengentasan kemiskinan.
Simulasi tunggal yang terakhir adalah penurunan suku bunga domestik
sebesar 2 persen, kebijakan ini ternyata membawa dampak yang sangat baik bagi
141
pengentasan kemiskinan dan beberapa indikator ekonomi yang lainnya. Simulasi
kebijakan ini membawa pengaruh pada pengentasan kemiskinan sebesar 1.11
persen. Dari simulasi kebijakan ini juga diperoleh peningkatan investasi di sektor
pertanian yang cukup tinggi yaitu sebesar 23.84 persen. Peningkatan produksi
sebesar 5.13 persen diimbangi dengan peningkatan harga sebesar 1.76 persen akan
membawa tingkat keuntungan yang cukup baik bagi petani. Selain itu kebijakan ini
juga membawa pengaruh pada perbaikan stok pangan nasional. Dengan pengurangan
tingkat suku bunga sebesar 2 persen ternyata juga membawa pengaruh pada
peningkatan GDP sektor pertanian dan GDP total masing-masing sebesar 7.01
persen dan 2.11 persen. Sementara itu tingkat inflasi mengalami penurunan yang
cukup signifikan yaitu sebesar 2.83 persen. Secara teori memang penurunan suku
bunga akan mampu meningkatkan investasi yang cukup baik di berbagai sektor,
namun yang juga perlu diperhatikan adalah tingkat penurunan tabungan yang cukup
tinggi pula. Maka dari itu hal ini perlu diikuti peningkatan konsumsi masyarakat
yang tidak terlalu tinggi, sehingga secara proporsional akan tetap mempertahankan
tingkat tabungan dan keseimbangan penawaran uang akan tetap terjaga.
6.3.
Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian
dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Alternatif kombinasi kebijakan pemerintah (mix government policy)
dibahas pada sub bab ini. Dampak dari alternatif kombinasi masing-masing
kebijakan terhadap peubah endogennya akan disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25.
Nama
Peubah
Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan
Beberapa Indikator Ekonomi Lainnya Terhadap Perubahan Nilai Ratarata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003
Satuan
Nilai
Dasar
Perubahan Simulasi (persen)
142
PROA
INVA
LABA
PA
EXA
IMA
UPOV
RPOV
SPN
GEA
GR
TTAX
FCON
MS
INF
TPOV
GDPT
GDPA
milyar
milyar
ribu orang
milyar
milyar
persen
persen
ribu ton
milyar
milyar
milyar
milyar
milyar
persen
persen
milyar
milyar
32436.4
98938.6
39.1037
2.3055
350.6
946.6
5.4728
11.3387
1582.4
3899
104074
46619.3
26359.8
50206.2
11.8368
16.8115
385759
116237
A
B
C
D
E
F
6.76
0.70
2.36
1.74
9.10
2.79
-0.67
-1.20
0.28
-2.69
7.79
-0.03
6.70
0.13
0.33
-1.03
0.19
0.64
0.22
0.85
2.36
2.62
4.56
7.59
-0.49
-0.87
-1.21
-2.69
7.79
-0.03
0.22
0.14
0.32
-0.75
0.14
0.46
0.14
0.55
0.64
2.65
0.26
4.86
-1.71
-2.83
-0.44
-2.70
7.79
0.00
0.14
0.01
0.44
-2.46
0.15
0.51
0.22
0.85
2.36
2.65
0.37
4.84
-0.41
-0.88
-0.44
7.79
-0.03
0.22
0.14
0.32
-0.72
0.14
0.46
5.01
1.70
2.36
1.97
6.76
3.32
-0.45
-4.66
0.09
-2.06
7.79
-0.04
4.97
0.73
-5.87
-4.30
0.21
0.71
5.43
2.06
1.79
1.91
7.33
3.18
-1.55
-2.47
0.14
-1.76
7.79
-0.04
5.39
0.97
-8.84
-2.17
0.21
0.70
Keterangan :
1. Simulasi A : Menurunkan subsidi pupuk dan meningkatkan anggaran
penelitian masing-masing sebesar 20 persen.
2. Simulasi B : Menaikkan pajak impor dan menurunkan pajak ekpor masingmasing sebesar 25 persen.
3. Simulasi C : Meningkatkan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen
dan meningkatkan tingkat upah riil sebesar 10 persen.
4. Simulasi D : Meningkatkan anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian
dan jasa masing-masing sebesar 5 persen.
5. Simulasi E : Meningkatkan luas areal, kredit pertanian masing-masing 10
persen dan menurunkan suku bunga sebesar 2 persen.
6. Simulasi F : Meningkatkan angggaran penelitian sebesar 20 persen,
meningkatkan upah rill sebesar 10 persen, serta menurunkan
tingkat suku bunga sebesar 2 persen.
143
Simulasi alternatif kombinasi kebijakan pembangunan pertanian dan
beberapa indikator ekonomi lainnya dilakukan untuk memperoleh kombinasi
kebijakan yang lebih relevan, sehingga diperoleh pilihan kebijakan yang mampu
mengoptimalkan output yang diharapkan.
Dari tabel 25 diketahui bahwa, semua kombinasi kebijakan memberikan
pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Artinya, semua kombinasi kebijakan
yang diambil mampu memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan.
Kombinasi kebijakan yang paling tinggi pengaruh perubahannya terhadap
pengentasan kemiskinan adalah alternatif kombinasi kebijakan E, C dan F. Dari
kombinasi kebijakan E, yaitu kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal 10
persen, meningkatkan kredit pertanian sebesar 10 persen dan menurunkan suku
bunga sebesar 2 persen membawa pengaruh yang cukup nyata terhadap pengurangan
jumlah orang miskin sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan C, yaitu kebijakan
peningkatan investasi di sektor pertanian sebesar 25 persen dan peningkatan tingkat
upah riil sebesar 10 persen membawa pengaruh perubahan yang signifikan terhadap
pengentasan kemiskinan sebesar 2.46 persen. Sedangkan untuk kombinasi kebijakan
F, yaitu kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, peningkatan
upah riil sebesar 10 persen, dan penurunan tingkat suku bunga sebesar 2 persen
mampu memberikan pengaruh perubahan sebesar 2.17 persen terhadap pengentasan
kemiskinan total.
Kombinasi kebijakan A setelah disimulasikan memperoleh gambaran
bahwa, kombinasi kebijakan penurunan subsidi pupuk dan peningkatan anggaran
penelitian masing-masing sebesar 20 persen memberikan pengaruh pada
peningkatan produksi pertanian sebesar 6.76 persen. Selain berpengaruh cukup baik
144
pada produksi pertanian, kombinasi kebijakan ini juga berpengaruh secara positif
terhadap peningkatan perubahan harga komoditas pertanian sebesar 1.74 persen,
serta mampu memberi perubahan yang cukup signifikan pula terhadap ekspor
komoditas pertanian sebesar 9.10 persen.
Selain berpengaruh pada beberapa peubah endogen di atas, kombinasi
kebijakan A ini juga memberikan pengaruh pada peningkatan stok pangan nasional
dan memberi pengaruh positif terhadap konsumsi sektor pertanian sebesar 6.70
persen.
Simulasi kebijakan yang dilakukan pada kombinasi B, yaitu menaikkan
pajak impor dan menurunkan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen.
Kombinasi kebijakan ini tidak begitu memberikan pengaruh perubahan pada
produksi dan investai di sektor pertanian. Namun kebijakan ini memberikan
pengaruh yang cukup berarti pada peningkatan harga komoditas pertanian sebesar
2.62 persen. Dan kombinasi kebijakan B ini memiliki pengaruh yang lebih baik
terhadap pengentasan kemiskinan sebesar 0.75 persen dibandingkan dengan
kombinasi kebijakan A.
Kombinasi kebijakan C seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa
kombinasi kebijakan ini mampu mereduksi tingkat kemiskinan yang cukup besar.
Namun di satu sisi, kombinasi kebijakan ini tidak begitu banyak memberikan
pengaruh terhadap perubahan peningkatan beberapa peubah endogen yang lain,
hanya saja kombinasi kebijakan ini mampu memberikan perubahan tingkat harga
komoditas pertanian sebesar 2.65 persen. Hal ini khususnya banyak dipengaruhi
oleh kebijakan peningkatan upah riil, yang selalu diikuti oleh peningkatan harga.
145
Kombinasi kebijakan D adalah kombinasi kebijakan meningkatkan anggaran
pemerintah di sektor pertanian dan jasa sebesr 5 persen, kombinasi kebijakan ini
tidak banyak memberikan pengaruh terhadap peubah endogen yang ada, namun
kombinasi ini cukup mampu memberikan dorongan pada perubahan peningkatan
harga sebesar 2.65 persen dan mampu mereduksi tingkat kemiskinan sebesar 0.72
persen.
Kombinasi kebijakan E merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan
pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen.
Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan
kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini
mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas
pertanian sebesar 1.97 persen.
Hasil simulasi yang dilakukan pada kombinasi kebijakan E ini cukup logis
apabila memberikan kontribusi yang cukup baik pada pengetasan kemiskinan di
pedesaan, karena kombinasi kebijakan ini memiliki bias pedesaan yang cukup kuat.
Penambahan luas areal pertanian merupakan kunci utama untuk meningkatkan
kinerja di sektor ini, karena lahan sampai saat ini masih merupakan penentu utama
banyaknya output yang mampu dihasilkan oleh sektor pertanian di Indonesia.
Pemberian pinjaman kredit untuk usahatani, ternyata masih memberikan pengaruh
pada pertumbuhan sektor pertanian. Kredit di sektor pertanian membawa pengaruh
pada kemampuan petani untuk menyediakan input bagi usahataninya. Kebijakan
penurunan suku bunga dilakukan untuk menumbuhkan iklim investasi yang lebih
baik, guna mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sektor pertanian.
146
Kombinasi kebijakan F adalah kombinasi peningkatan anggaran penelitian
sebesar 20 persen, peningkatan upah rill sebesar 10 persen, serta penurunan tingkat
suku bunga sebesar 2 persen. Kombinasi kebijakan ini termasuk kombinasi
kebijakan yang cukup baik, karena kombinasi kebijakan ini selain berpengaruh pada
pengentasan kemiskinan, kombinasi ini juga membawa pengaruh perubahan yang
cukup signifikan pada beberapa peubah endogen yang ada. Perubahan itu terjadi
diantaranya pada peningkatan produksi pertanian sebesar 5.43 persen, peningkatan
investasi sektor pertanian sebesar 2.06 persen, peningkatan harga komoditas
pertanian sebesar 1.91 persen, peningkatan ekspor sebesar 7.33 persen serta
mampu menurunkan tingkat inflasi sebesar 8.84 persen.
Kombinasi kebijakan F ini cukup logis dalam memberikan pengaruh
perubahan yang signifikan pada peubah endogennya, karena unsur penelitian disini
mampu memberikan pengaruh yang cukup baik pada peningkatan produksi secara
kualitas maupun kuantitas. Di sisi lain kombinasi kebijakan ini juga memiliki unsur
tingkat penurunan suku bunga, hal ini mampu mendorong meningkatnya investasi di
sektor pertanian. Dan unsur yang terakhir dari kombinasi kebijakan ini adalah
peningkatan upah riil, yang mendorong pada pemerataan pendapatan, yang pada
akhirnya mampu meningkatkan harga komditas pertanian, sehingga juga memberikan
dampak yang positif pada ekonomi di pedesaan.
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang dampak kebijakan
pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan diperoleh beberapa
kesimpulan yang dirumuskan berdasarkan tujuan yang telah ditentukan.
Menjawab tujuan pertama tentang ulasan deskriptif pembangunan pertanian di
Indonesia dan pengentasan kemikinan dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan, karena
mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri, hal ini dibuktikan
dengan penurunan angka yang cukup signifikan perpindahan tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor yang lainnya pada tahun 2000, yaitu sekitar 2.7
persen, sedangkan pada tahun 1995 sebesar 6.1 persen dari total pekerja di
sektor pertanian. Sektor pertanian mampu menampung suplai tenaga kerja
karena sektor ini masih mampu meningkatkan produktivitasnya dengan
penambahan tenaga kerja, selain itu sektor pertanian ini memiliki karakteristik
labor intensif.
2. Meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, namun
sektor ini tidak boleh ditinggalkan, karena hal tersebut merupakan kejadian
yang alamiah. Selain itu sektor pertanian merupakan sektor yang akan
melindungi kelompok miskin khususnya yang ada di pedesaan.
148
Tujuan yang kedua dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Hasil
analisis pendugaan parameter yang dilakukan, khususnya pada persamaan
kemiskinan di perkotaan dan pedesaan memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan
kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan
belanja pemerintah di sektor jasa dan peningkatan stok pangan nasional.
Karena dari hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif
terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan.
2. Kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan
kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan
belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan
produksi pertanian. Karena dari hasil parameter dugaan menunjukkan
pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di pedesaan.
Sedangkan untuk inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif
terhadap peningkatan angka kemiskinan di pedesaan.
Dari hasil pendugaan parameter yang dilakukan juga diperoleh beberapa
hasil penting yang berkaitan dengan tujuan utama penelitian, yaitu tentang harga
komoditas pertanian, produksi pertanian dan investasi di sektor pertanian. Harga
komoditas pertanian merupakan faktor penting dalam menekan angka kemiskinan
di pedesaan. Sementara itu, dari parameter dugaan diperoleh hasil bahwa harga
komoditas pertanian secara positif hanya dipengaruhi oleh inflasi. Namun harga
komoditas ini dipengaruhi secara negatif oleh produksi pertanian yang berlebih,
nilai tukar dan impor komoditas pertanian. Maka dari itu, kebijakan impor
149
komoditas pertanian yang tidak diperhitungkan secara matang, justru akan
menambah angka kemiskinan khususnya di pedesaan.
Pada persamaan produksi pertanian, dari hasil pendugaan parameter yang
dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa produksi pertanian d ipengaruhi secara
positif dari peubah penelitian, kredit, pengalokasian lahan untuk pertanian,
mekanisasi dan peningkatan investasi di sektor pertanian. Pada persamaan
tersebut subsidi pupuk justru berpengaruh negatif terhadap produksi pertanian, hal
ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyelewengan dalam pro ses distribusi
pupuk bersubsidi dan penggunaan pupuk di tingkat petani sudah melebihi ambang
batas yang ditetapkan.
Investasi pertanian secara positif dipengaruhi oleh harga komoditas
pertanian, tenaga kerja pertanian dan pendapatan disposibel, sedangkan tingginya
suku bunga domestik dan adanya krisis ekonomi terbukti memberikan dampak
yang negatif terhadap investasi di sektor pertanian.
Tujuan yang ketiga dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak
kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap
pengentasan kemiskinan di Indonesia. Dari hasil simulasi kebijakan yang
dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan penting yaitu sebagai berikut :
1. Kebijakan yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan total antara
lain adalah kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen,
kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25 persen, kebijakan
penambahan luasan areal irigasi sebanyak 10 persen, peningkatan mekanisasi
pertanian sebesar 10 persen, pengurangan impor komoditas pertanian sebesar
50 persen, peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 25 persen,
150
peningkatan belanja pemerintah disektor pertanian sebesar 20 persen,
peningkatan pajak impor dan peningkatan pajak ekspor masing-masing
sebesar 25 persen, peningkatan upah riil sebesar 10 persen serta menurunkan
suku bunga domestik sebesar 2 persen. Namun untuk kebijakan peningkatan
investasi di sektor pertanian, penambahan luas areal dan kebijakan kredit
sektor pertanian ternyata hanya mampu mengurangi kemiskinan di pedesaan.
2. Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit
pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2
persen merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling
besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi
kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan
kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini
mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga
komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.
7.2.
Implikasi Kebijakan
1. Dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu diperhatikan beberapa faktor
ekonomi yang sensitif terhadap peningkatan pendapatan dan upaya
pemenuhan kebutuhan pangan. Apabila ingin melakukan sebuah strategi
penanggulangan kemiskinan, maka yang perlu diperhatikan adalah masalah
pengendalian harga dan tidak hanya terfokus pada target peningkatan jumlah
produksi pertanian.
2. Peningkatan anggaran riset perlu dilakukan, karena dengan peningkatan riset
akan diperoleh hasil produksi pertanian yang lebih baik secara kuantitas
151
maupun kualitas, sehingga hasil produksi pertanian lokal memiliki daya saing
yang tinggi di pasar domestik maupun internasional.
3. Sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan perlu dilakukan pendekatan
multisektor yang saling terkait. Kebijakan pengendalian stabilitas moneter dan
fiskal juga harus diperhatikan, guna menghindari adanya goncangan ekonomi
secara mendadak, sehingga upaya penanggulangan kemiskinan di pedesaan
maupun di perkotaan, baik melalui kebijakan perbaikan produksi, harga,
investasi dan kebijakan lainnya bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adjid,
A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan
Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Shakti, Bandung.
Dalam
Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia . Penerbit Kompas,
Jakarta.
_______ . 2005. Pembangunan Pertanian, Paradigma Kebijakan dan Strategi
Revitalisasi. Grasindo, Jakarta.
Asnawi. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Kinerja Sektor
Pertanian di Indonesia . Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005.
Penanggulangan Kemiskinan. Bappenas, Jakarta.
Strategi
Nasional
Caves, R.E. dan R. W. Jones. 1981. World Trade and Payments : An
Introduction. Little, Brawn and Company, Boston.
Darmansyah, S. 2003. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Kinerja
Ekonomi Tanaman Pangan Indonesia : Suatu Pendekatan Multi
Komoditi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ekelund R.B. dan R.D. Tollison. 1996. Economics : Private Markets and
Public Choice. Addison-Wesley Publishing Company, Inc ., New York.
Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Development Countries. Cambridge
University Press, Cambridge.
Glahe, F.R. 1977. Macroeconomics : Theory and Policy. Harcourt Brace
Jovanovich, Inc ., New York.
Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Heinz, K. 1988. Politik dan Kebijakan Pembangunan
Obor Indonesia, Jakarta.
Pertanian.
Yayasan
Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia
Analisis Dekomposisi Sis tem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis
Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Intriligator, M. D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications.
Prentice Hall Inc., New Jersey.
153
Irawan, B. 2001. Pencadangan Lahan Pertanian di Jawa. Bulletin Agro
Ekonomi, 1(2) : 1-6.
Jayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Ketahanan
Pangan Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Jhingan, M. L. 2002. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan.
Rajawali Pers, Jakarta.
Kelompok Kerja Propenas. 2002. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan.
Kelompok Kerja Propenas , Jakarta
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition
of Econometric Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd .,
London.
Mahasin, A. 1989. Pola Gerakan Pinggiran. Lembaga Pendidikan, Penelitian,
dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Mellor, J.W. dan R. Ahmed. 1988. Agricultural Price Policy for Developing
Countries. The Johns Hopkins University Press, London.
Mitchel, M. 1985. Agricultural and Policy : Methodology for The Analysis
Developing Country Agricultural Sectors . The Abdul Hameed Shoman,
Amman by Ithaca Press, London.
Mubyarto. 1986. Pengantar Ekono mi Pertanian. Lembaga Pendidikan,
Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Mulyono . 2000 . Peramalan Bisnis dan Ekonometrika. Edisi Pertama. Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta.
Nasution, M. 1992. Keragaan Koperasi Unit Desa Sebagai Organisasi
Ekonomi Pedesaan. Inkop No. 10 Tahun 1992. Badan Penelitian dan
Pengembangan Koperasi, Departemen Koperasi, Jakarta.
Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy. Food and Agriculture
Organization dan John Wiley and Son, Chichester.
Prawira, S.M. 2004. Pergeseran Tenaga Kerja Sektor Pertanian. Makalah
Workshop “Upaya strategis mengurangi kemiskinan di pertanian” Pusat
Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic
Forecast. Third Edition. McGraw-Hill Inc., New York.
154
Quizon, J. dan H. Binswanger.1999. Modeling the Impact of Agricultural
Growth and Government Policy on Income Distribution in India.
World Bank Economic Review, 1(1): 103 -148.
Rajasa, H. 2002. Sambutan Menteri Riset dan Teknologi pada Seminar
Nasional Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. Malang 3-4 Mei
2002, Malang.
Ravallion, M. dan G. Datt. 1996. Farm Productivity and Rural Poverty In
India . Food Consumption and Nutrition Division, International Food
Policy Research Institute, Washington, D.C.
Rogers, M. 1983. Diffusion of
Macmillan Publisher. London.
Innovations.
Third
Edition.
Collier
Sanim, B. 1996. Transformasi Pertanian Tradisional Menuju Pertanian
Industri Menghadapi Pasar Bebas. Prosiding Diskusi Panel Media
Massa dan Pertanian, November 1996, Jakarta.
Sanim, B. dan A. Satria. 1995. Agribusiness and Agroindustry Approach :
Supporting Sustainable Regional Development and Transmigration
Settlements in Indonesia. Departemen Transmigrasi dan PPH, Jakarta.
Silitonga, C., D.J. Rachbini, M.H. Sawit dan A. Pakpahan. 1995.
Perkembangan
Ekonomi
Pertanian
Nasional
1969-1994.
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta.
Simatupang, P. 1999. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Kembali
Perekonomian Indonesia. Workshop Konsep dan Program
Restrukturisasi
Perbankan dan Koperasi dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia, Jakarta.
____________. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan
Pembangunan Ekonomi Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pertanian, Bogor.
____________. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk Kepada Petani. Harian
Kompas, 19 Mei 2004, Jakarta.
Sitepu,
R.K. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi
Perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di
Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sitorus, F. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan
PT. Grasindo, Jakarta.
di Indonesia.
155
Sumarto, S., A. Suryahadi, dan A. Arifianto. 2004. Tata Kelola Pemerintah dan
Penanggulangan Kemiskinan, Bukti-Bukti Awal Desentralisasi di
Indonesia. Kertas Kerja Semeru, Jakarta.
Sumodiningrat, G. 1999. Ekonometrika : Pengantar. Badan Penerbitan Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta.
Timmer, C. 1997. How Well do the Poor Connect to the Growth Process.
CAER Discussion Paper No. 178, Harvard Institute for International
Development, Cambridge.
Todaro, M.P. 1999. Pembangunan Ekonomi Negara Dunia Ke Tiga.
Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
UNDP. 1991. Agriculture Extension : Program Advisory Note. United Nation
Development Program, New York.
United Nation. 2002. Sustainable Social Development in a Period of Rapid
Globalization. United Nation, New York.
Warr, P.G. dan W.T. Wang. 1999. Poverty, Inequality and Economic Growth
in Taiwan. The Political Economy of Development in Taiwan, Essays in
Memory of John C. H. Fei. Edward Elgar, London.
Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai
Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis
Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
157
Lampiran 1. Program Model Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia
/* **************************************** */
/*
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN */
/*
PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN
*/
/*
KEMISKINAN BERAS DI INDONESIA
*/
/*
DIOLAH DENGAN PROGRAM SAS V.8.2
*/
/* **************************************** */
OPTION NODATE NONUMBER;
DATA ANALISIS;
SET ANALISIS;
/* **************************************** */
/* Proses Pembuatan Nama Peubah Baru dan
*/
/*
lag endogenous variabel
*/
/* **************************************** */
PROAR=(PROA/IHK)*100;
INVAR =(INVA/IHK)*100;
EXAR =(EXA/IHK)*100;
IMAR =(IMA/IHK)*100;
GEAR =(GEA/IHK)*100;
MSR
=(MS/IHK)*100;
KAR
=(KA/IHK)*100;
WOILR =((WOIL*ER)/IHK)*100;
CRER =(CRE/IHK)*100;
RISR =(RIS/IHK)*100;
SUBFR =(SUBF/IHK)*100;
WPAR =(WPA/IHKD)*100;
TAXIR =(TAXI/IHK)*100;
INVTR =(INVT/IHK)*100;
TAXER =(TAXE/IHK)*100;
WAGER =(WAGE/IHK)*100;
GESR =(GES/IHK)*100;
TTAXR =(TTAX/IHK)*100;
GEMR =(GEM/IHK)*100;
FCONR =(FCON/IHK)*100;
TPOV = UPOV+RPOV;
GDPT = GDPA+GDPN;
LPROAR = LAG(PROAR);
LINVAR = LAG(INVAR);
LLABA = LAG(LABA);
LPA
= LAG(PA);
LEXAR = LAG(EXAR);
LIMAR = LAG(IMAR);
LUPOV = LAG(UPOV);
LRPOV = LAG(RPOV);
LSPN = LAG(SPN);
LGEAR = LAG(GEAR);
LGDPA = LAG(GDPA);
LTTAXR = LAG(TTAXR);
LGR
= LAG(GR);
LFCONR = LAG(FCONR);
158
/* Cara Pembuatan Nama Pada Peubah */
Label
PROAR = 'Produksi Pertanian'
PA
= 'Indeks Harga Pertanian'
LA
= 'Pengalokasian Lahan Pertanian'
IRI
= 'Luasan Lahan Irigasi'
CRER = 'Kredit Pertanian'
MEC
= 'Mekanisasi Pertanian'
SUBFR = 'Subsidi Pupuk'
LABA = 'Tenaga Kerja Pertanian'
INVAR = 'Investasi Pertanian'
RISR = 'Penelitian'
PA
= 'Indeks Harga Pertanian'
WPAR = 'Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia'
IRD
= 'Suku Bunga Domestik'
WAGER = 'Tingkat Upah'
INF
= 'Inflasi'
DK
= 'Dummy Krisis Ekonomi'
ER
= 'Nilai Tukar'
TAXIR = 'Pajak / Tarif Impor'
IMAR = 'Impor Komoditas Pertanian'
EXAR = 'Ekspor Komoditas Pertanian'
TAXER = 'Pajak Ekspor'
IHEA = 'Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian'
IHIA = 'Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian'
WOILR = 'Harga Minyak Dunia'
KAR
= 'Modal Sektor Pertanian'
INVTR = 'Investasi Total'
TW
= 'Trend Waktu'
UPOV = 'Kemiskinan di Perkotaan'
EGRO = 'Pertumbuhan Ekonomi Nasional'
GESR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Jasa'
GEMR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Industri'
SPN
= 'Stok Pangan Nasional'
POP
= 'Populasi Penduduk'
RPOV = 'Kemiskinan di Pedesaan'
GEAR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian'
TPOV = 'Kemiskinan Total'
GR
= 'Penerimaan Pemerintah'
GDS
= 'Stok Hutang Pemerintah'
TTAX = 'Pajak Total'
GDPT = 'GDP Total'
GDPA = 'GDP Pertanian'
GDPN = 'GDP Non-Pertanian'
FCONR = 'Konsumsi untuk Pertanian'
MSR
= 'Penawaran Uang'
YD
= 'Pendapatan Disposibel'
LPROAR= 'Produksi Pertanian t-1'
LINVAR= 'Investasi Pertanian t-1'
LLABA = 'Tenaga Kerja Pertanian t-1'
LPA
= 'Indeks Harga Pertanian t-1'
LSPN = 'Stok Pangan Nasional t-1'
LEXAR = 'Ekspor Komoditas Pertanian t-1'
LIMAR = 'Impor Komoditas Pertanian t-1'
LUPOV = 'Kemiskinan di Perkotaan t-1'
LRPOV = 'Kemiskinan di Pedesaan t-1'
LGEAR = 'Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian t-1'
159
LGDPA =
LGR
=
LTTAXR=
LFCONR=
'GDP Sektor Pertanian t-1'
'Penerimaan Pemerintah t-1'
'Total Pajak t-1'
'Konsumsi untuk Pertanian t-1';
PROC SYSLIN DATA=ANALISIS 2SLS;
ENDOGENOUS PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR FCONR
MSR INF TTAXR TPOV GDPT GDPA;
INSTRUMENTS LA IRI CRER RISR MEC SUBFR WPAR IRD ER TAXIR TAXER IHEA
IHIA WAGER EGRO GESR GEMR INVTR TW WOILR KAR
POP GDS GDPA GDPN YD LPROAR LINVAR LLABA LPA LEXAR
LIMAR LUPOV LRPOV
LSPN LGEAR LGR LGDPA LTTAXR LFCONR;
MODEL PROAR = LA IRI CRER SUBFR MEC INVAR RISR LPROAR/DW;
MODEL INVAR = PA LABA YD IRD DK LINVAR/DW;
MODEL LABA = WAGER POP LLABA/DW;
MODEL PA = PROAR INF ER IMAR LPA/DW;
MODEL EXAR = ER TAXER WPAR IHEA PA PROAR LEXAR/DW;
MODEL IMAR = ER TAXIR WPAR IHIA PA SPN LIMAR/DW;
MODEL UPOV = WAGER EGRO GESR GEMR SPN INF DK LUPOV/DW;
MODEL RPOV = WAGER EGRO GEAR INF PA PROAR DK LRPOV/DW;
Model SPN = PROAR EXAR IMAR POP LSPN/DW;
MODEL GEAR = INF GR DK LGEAR/DW;
MODEL GDPA = LABA GEAR KAR INVAR FCONR LGDPA/DW;
MODEL GR = GDS TTAXR WOILR LGR/DW;
MODEL TTAXR = GDPT INVTR TW LTTAXR/DW;
MODEL FCONR = PROAR YD LFCONR/DW;
MODEL MSR = IRD ER GDPT/DW;
MODEL INF = GDPT MSR ER DK/DW;
IDENTITY TPOV = TPOV;
IDENTITY GDPT = GDPT;
RUN;
160
Lampiran 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
PROAR
PROAR
Produksi Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
8
10
18
3.2955E9
64731351
3.3602E9
4.1194E8
6473135
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
2544.23565
32436.3813
7.84377
F Value
Pr > F
63.64
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.98074
0.96532
Parameter Estimates
Variable
Intercept
LA
IRI
CRER
SUBFR
MEC
INVAR
RISR
LPROAR
Parameter Standard
Variable
DF Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
1
1
1
1
1
1
1
1
1
-6830.79
2.790628
-14.8022
0.705835
-4.75941
4.975E-7
0.095814
88.67491
0.133007
64920.80
1.082890
11.47249
0.243188
3.364273
7.788E-7
0.037477
39.03601
0.225112
-0.11
2.58
-1.29
2.90
-1.41
0.64
2.56
2.27
5.03
0.9183
0.0276
0.2260
0.0158
0.1875
0.5373
0.0285
0.0464
0.0005
Intercept
Pengalokasian Lahan Pertanian
Luasan Lahan Irigasi
Kredit Pertanian
Subsidi Pupuk
Mekanisasi Pertanian
Investasi Pertanian
Penelitian
Produksi Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.782879
19
0.09829
161
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
INVAR
INVAR
Investasi Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
12
18
3.785E10
1.2805E9
3.913E10
6.3084E9
1.0671E8
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
10330.1530
98938.6119
10.44097
F Value
Pr > F
59.12
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.96728
0.95091
Parameter Estimates
Variable
Intercept
PA
LABA
YD
IRD
DK
LINVAR
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-1394.14
7101.627
442.6767
0.017501
-1725.93
-21396.8
0.880448
89332.68
40615.68
1166.158
0.067114
523.3446
12933.62
0.206160
-0.02
0.17
0.38
0.26
-3.30
-1.65
4.27
0.9878
0.8641
0.7109
0.7987
0.0064
0.1240
0.0011
Intercept
Indeks Harga Pertanian
Tenaga Kerja Pertanian
Pendapatan Disposibel
Suku Bunga Domestik
Dummy Krisis Ekonomi
Investasi Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.3386
19
-0.17606
162
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
LABA
LABA
Tenaga Kerja Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
15
18
60.50900
47.64805
108.1570
20.16967
3.176536
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1.78228
39.10368
4.55784
F Value
Pr > F
6.35
0.0054
R-Square
Adj R-Sq
0.55945
0.47135
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WAGER
POP
LLABA
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
15.48181
-0.00001
0.005296
0.667044
7.157994
6.282E-6
0.026398
0.162823
2.16
-2.25
0.20
4.10
0.0471
0.0401
0.8437
0.0010
Intercept
Tingkat Upah
Populasi Penduduk
Tenaga Kerja Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.858137
19
-0.52595
163
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
PA
PA
Indeks Harga Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
5
13
18
3.105422
0.050978
3.156400
0.621084
0.003921
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
0.06262
2.30547
2.71620
F Value
Pr > F
158.38
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.98385
0.97764
Parameter Estimates
Variable
Intercept
PROAR
INF
ER
IMAR
LPA
DF
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
1.265338
-0.00001
0.000275
-6.4E-6
-0.00002
0.655699
0.749087
6.738E-6
0.001927
0.000019
0.000060
0.255540
1.69
-1.75
1.14
-0.34
-1.84
2.57
0.1150
0.1032
0.1887
0.7364
0.0931
0.0235
Intercept
Produksi Pertanian
Inflasi
Nilai Tukar
Impor Komoditas Pertanian
Indeks Harga Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.631848
19
0.182467
164
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
EXAR
EXAR
Ekspor Komoditas Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
7
11
18
415549.5
31816.31
447365.8
59364.21
2892.391
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
53.78096
350.64849
15.33757
F Value
Pr > F
20.52
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.92888
0.88362
Parameter Estimates
Variable
Intercept
ER
TAXER
WPAR
IHEA
PA
PROAR
LEXAR
DF
1
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-272.388
0.013962
-25.5735
0 .610861
-0.10084
2.841887
0.014488
0.230864
695.3392
0.017885
28.15181
2.401944
0.507097
190.0826
0.008885
0.286831
-0.39
0.78
-1.71
0.25
-0.20
0.01
1.63
0.80
0.7027
0.4515
0.1031
0.8039
0.8460
0.9883
0.1312
0.4379
Intercept
Nilai Tukar
Pajak Ekspor
Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia
Indeks Harga Ekspor Komoditas Pertanian
Indeks Harga Pertanian
Produksi Pertanian
Ekspor Komoditas Pertanian t -1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.955595
19
0.010078
165
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
IMAR
IMAR
Impor Komoditas Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
7
11
18
3899300
697789.8
4597090
557042.8
63435.44
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
251.86393
946.58752
26.60757
F Value
Pr > F
8.78
0.0009
R-Square
Adj R-Sq
0.84821
0.75162
Parameter Estimates
Variable
Intercept
ER
TAXIR
WPAR
IHIA
PA
SPN
LIMAR
DF
1
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
879.4443
0.031060
0.033715
-0.65963
-13.8746
703.5177
-0.41307
0.766733
3136.021
0.114988
0.117421
20.12889
19.44652
1001.247
0.523192
0.363843
0.28
0.27
0.29
-1.03
-0.71
1.70
-0.79
2.11
0.7843
0.7921
0.7794
0.1744
0.4904
0.0969
0.4465
0.0588
Intercept
Nilai Tukar
Pajak / Tarif Impor
Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia
Indeks Harga Impor Komoditas Pertanian
Indeks Harga Pertanian
Stok Pangan Nasional
Impor Komoditas Pertanian t- 1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.246432
19
-0.1484
166
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
UPOV
UPOV
Kemiskinan di Perkotaan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
8
10
18
107.2736
23.75783
131.0315
13.40921
2.375783
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1.54136
10.42474
14.78558
F Value
Pr > F
5.64
0.0067
R-Square
Adj R-Sq
0.81869
0.67363
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WAGER
EGRO
GESR
GEMR
SPN
INF
DK
LUPOV
DF
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
4.786854
-2.72E-6
-0.17378
-0.00007
6.484E-7
-0.00070
0.043954
3.087323
0.358871
9.452587
9.841E-6
0.205971
0.000477
7.675E-7
0.003980
0.054545
2.317313
0.222508
0.51
-1.52
-1.84
-1.14
0.84
-0.18
1.71
1.33
1.61
0.6235
0.1603
0.1186
0.1934
0.4180
0.8641
0.1391
0.2123
0.1379
Intercept
Tingkat Upah
Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Belanja Pemerintah di Sektor Jasa
Belanja Pemerintah di Sektor Industri
Stok Pangan Nasional
Inflasi
Dummy Krisis Ekonomi
Kemiskinan di Perkotaan t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.231885
19
-0.14036
167
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
RPOV
RPOV
Kemiskinan di Pedesaan
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
8
10
18
515.0311
29.18281
544.2139
64.37889
2.918281
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1.70830
21.58053
7.91592
F Value
Pr > F
22.06
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.94638
0.90348
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WAGER
EGRO
GEAR
INF
PA
PROAR
DK
LRPOV
DF
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
38.60594
-0.00003
-0.62783
-3.48965
0.03122
-4.93143
-8.55E-9
1.128666
0.369147
31.52565
0.000016
0.251048
2.587677
0.080075
10.53866
0.000108
2.719989
0.241344
1.22
-1.82
-2.50
-1.35
0.39
-0.47
-1.82
0.41
1.53
0.2488
0.0994
0.0314
0.2072
0.7048
0.6499
0.0916
0.6869
0.1571
Intercept
Tingkat Upah
Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Inflasi
Indeks Harga Pertanian
Produksi Pertanian
Dummy Krisis Ekonomi
Kemiskinan di Pedesaan t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.697835
19
-0.36271
168
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
SPN
SPN
Stok Pangan Nasional
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
5
13
18
1784755
197256.8
1982012
356951.0
15173.60
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
123.18117
1582.42105
7.78435
F Value
Pr > F
23.52
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.90048
0.86220
Parameter Estimates
Variable
Intercept
PROAR
EXAR
IMAR
POP
LSPN
DF
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
2382.569
0.012027
-0.55683
0.15496
-8.09259
0.429035
3380.251
0.013443
0.751337
0.112348
13.77288
0.323241
0.70
1.89
-0.74
1.38
-0.59
1.33
0.4933
0.0872
0.4718
0.1911
0.5669
0.2073
Intercept
Produksi Pertanian
Ekspor Komoditas Pertanian
Impor Komoditas Pertanian
Populasi Penduduk
Stok Pangan Nasional t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.857055
19
-0.04963
169
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GEAR
GEAR
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
14
18
73.54294
0.652075
74.19501
18.38573
0.046577
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
0.21582
4.11482
5.24485
F Value
Pr > F
394.74
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.99121
0.98870
Parameter Estimates
Variable
Intercept
INF
GR
DK
LGEAR
1
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
0.433816
-0.01676
-5.55E-7
-0.07625
0.886760
0.330251
0.003516
1.099E-6
0.214641
0.051235
1.31
-4.77
-0.50
-0.36
17.31
0.2101
0.0003
0.6218
0.7277
<.0001
Intercept
Inflasi
Penerimaan Pemerintah
Dummy Krisis Ekonomi
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian t-
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.670983
19
-0.35101
170
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GDPA
GDPA
GDP Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
12
18
1.56E10
5.6964E8
1.617E10
2.6006E9
47470350
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
6889.87303
116236.584
5.92746
F Value
Pr > F
54.78
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.96478
0.94717
Parameter Estimates
Variable
DF
Intercept
LABA
GEAR
KAR
INVAR
FCONR
LGDPA
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
168296.3
1571.421
25820.63
0.292503
0.601478
1.597047
0.117956
58754.42
1135.617
3518.494
1.608300
0.108389
0.825289
0.113306
2.86
1.38
7.34
0.18
5.55
1.94
1.04
0.0142
0.1916
<.0001
0.8587
0.0001
0.0769
0.3184
Intercept
Tenaga Kerja Pertanian
Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian
Modal Sektor Pertanian
Investasi Pertanian
Konsumsi untuk Pertanian
GDP Sektor Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.517508
19
-0.32485
171
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GR
GR
Penerimaan Pemerintah
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
14
18
1.842E11
1.8071E9
1.86E11
4.605E10
1.2908E8
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
11361.2976
104073.732
10.91659
F Value
Pr > F
356.76
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.99028
0.98751
Parameter Estimates
Variable
Intercept
GDS
TTAXR
WOILR
LGR
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-63583.1
0.965320
0.333305
0.970292
0.775121
18326.69
0.333478
0.324810
0.245780
0.091831
-3.47
2.89
1.03
3.95
8.44
0.0038
0.0118
0.3222
0.0015
<.0001
Intercept
Stok Hutang Pemerintah
Total Pajak
Harga Minyak Dunia
Penerimaan Pemerintah t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.572584
19
-0.29649
172
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
TTAXR
Dependent Variable
TTAXR
Label
Total Pajak
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
14
18
6.8912E9
4.8734E8
7.3786E9
1.7228E9
34809878
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
5899.98969
46619.3304
12.65567
F Value
Pr > F
49.49
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
GDPT
INVTR
TW
LTTAXR
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-12172.5
-0.02700
0.174107
3850.828
0.257616
10099.25
0.048363
0.106998
1715.559
0.279895
-1.21
-0.56
1.63
2.24
0.92
0.2481
0.5854
0.1260
0.0415
0.3730
Intercept
GDP Total
Investasi Total
Trend Waktu
Total Pajak t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.346751
19
0.273622
0.93395
0.91508
173
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
FCONR
FCONR
Konsumsi untuk Pertanian
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
15
18
1.6164E9
81104902
1.6975E9
5.3879E8
5406993
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
2325.29428
26359.7864
8.82137
F Value
Pr > F
99.65
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.95222
0.94266
Parameter Estimates
Variable
Intercept
PROAR
YD
LFCONR
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-7916.61
0.805522
0.016068
0.046631
6669.115
0.102176
0.008649
0.123383
-1.19
7.88
1.86
0.38
0.2537
<.0001
0.0829
0.7108
Intercept
Produksi Pertanian
Pendapatan Disposibel
Konsumsi untuk Pertanian t-1
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.985057
19
-0.0383
174
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
MSR
MSR
Penawaran Uang
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
15
18
5.5926E9
1.0798E8
5.7006E9
1.8642E9
7198943
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
2683.08462
50206.2499
5.34412
F Value
Pr > F
258.95
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
0.98106
0.97727
Parameter Estimates
Variable
Intercept
IRD
ER
GDPT
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-3228.80
-461.775
2.047949
0.133135
2469.693
81.88520
0.238135
0.007054
-1.31
-5.64
8.60
18.87
0.2108
<.0001
<.0001
<.0001
Intercept
Suku Bunga Domestik
Nilai Tukar
GDP Total
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.638961
19
0.179864
175
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
INF
INF
Inflasi
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
14
18
3461.271
1195.523
4656.794
865.3178
85.39448
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
9.24091
11.83684
78.06908
F Value
Pr > F
10.13
0.0005
R-Square
Adj R-Sq
0.74327
0.66992
Parameter Estimates
Variable
Intercept
GDPT
MSR
ER
DK
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-6.41485
0.000349
-0.00284
0.005792
5.857520
9.848071
0.000070
0.000514
0.001578
11.27885
-0.65
5.02
-5.53
3.67
0.52
0.5253
0.0002
<.0001
0.0025
0.6116
Intercept
GDP Total
Penawaran Uang
Nilai Tukar
Dummy Krisis Ekonomi
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.898171
19
-0.45036
176
Lampiran 3. Program Validasi Model dan Simulasi Dasar
PROC SIMNLIN DATA=ANALISIS STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL OUT=HASIL;
ENDOGENOUS
PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR
FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA;
INSTRUMENTS LA IRI CRER RISR MEC SUBFR WPAR IRD ER TAXIR TAXER IHEA
IHIA WAGER EGRO GESR GEMR INVTR TW WOILR KAR
POP GDS GDPA GDPN YD LPROAR LINVAR LLABA LPA LEXAR LIMAR
LUPOV LRPOV LSPN LGEAR LGR LGDPA LTTAXR LFCONR;
Parm
a0
a5
b0
b5
c0
d0
d5
e0
e5
f0
f5
g0
g5
h0
h5
i0
i5
j0
k0
k5
l0
m0
n0
o0
p0
-6830.79 a1 2.790628 a2 -14.8022 a3 0.705835 a4 -4.75941
4.975E-7 a6 0.095814 a7 88.67491 a8 0.133007
-1394.14 b1 7101.627 b2 442.6767 b3 0.017501 b4 -1725.93
- 21396.8 b6 0.880448
15.48181 c1 -0.00001 c2 0.005296 c3 0.667044
1.265338 d1 -0.00001 d2 0.000275 d3 -6.4E-6 d4 -0.00002
0.655699
-272.388 e1 0.013962 e2 -25.5735 e3 0.610861 e4 -0.10084
2.841887 e6 0.014488 e7 0.230864
879.4443 f1 0.031060 f2 0.033715 f3 -0.65963 f4 -13.8746
703.5177 f6 -0.41307 f7 0.766733
4.786854 g1 -2.72E-6 g2 -0.17378 g3 -0.00007 g4 6.484E-7
-0.00070 g6 0.043954 g7 3.087323 g8 0.358871
38.60594 h1 -0.00003 h2 -0.62783 h3 -3.48965 h4 0.03122
-4.93143 h6 -8.55E-9 h7 1.128666 h8 0.369147
2382.569 i1 0.012027 i2 -0.55683 i3 0.15496 i4 -8.09259
0.429035
0.433816 j1 -0.01676 j2 -5.55E-7 j3 -0.07625 j4 0.886760
168296.3 k1 1571.421 k2 25820.63 k3 0.292503 k4 0.601478
1.597047 k6 0.117956
-63583.1 l1 0.965320 l2 0.333305 l3 0.970292 l4 0.775121
-12172.5 m1 -0.02700 m2 0.174107 m3 3850.828 m4 0.257616
-7916.61 n1 0.805522 n2 0.016068 n3 0.046631
-3228.80 o1 -461.775 o2 2.047949 o3 0.133135
-6.41485 p1 0.000349 p2 -0.00284 p3 0.005792 p4 5.857520;
PROAR = a0 + a1*LA + a2*IRI + a3*CRER + a4*SUBFR + a5*MEC +
a6*INVAR + a7*RISR + a8*LPROAR;
INVAR = b0 + b1*PA + b2*LABA + b3*YD + b4*IRD + b5*DK + b6*LINVAR;
LABA = c0 + c1*WAGER + c2*POP + c3*LLABA;
PA
= d0 + d1*PROAR + d2*INF + d3*ER + d4*IMAR + d5*LPA;
EXAR = e0 + e1*ER + e2*TAXER + e3*WPAR + e4*IHEA + e5*PA + e6*PROAR +
e7*LEXAR;
IMAR = f0 + f1*ER + f2*TAXIR + f3*WPAR + f4*IHIA + f5*PA + f6*SPN +
f7*LIMAR;
UPOV = g0 + g1*WAGER + g2*EGRO + g3*GESR + g4*GEMR + g5*SPN + g6*INF
+ g7*DK + g8*LUPOV;
RPOV = h0 + h1*WAGER + h2*EGRO + h3*GEAR + h4*INF + h5*PA + h6*PROAR
+ h7*DK + h8*LRPOV;
SPN
= i0 + i1*PROAR + i2*EXAR + i3*IMAR + i4*POP + i5*LSPN;
GEAR = j0 + j1*INF + j2*GR + j3*DK + j4*LGEAR;
GDPA = k0 + k1*LABA + k2*GEAR + k3*KAR + k4*INVAR + k5*FCONR +
k6*LGDPA;
177
GR
TTAXR
FCONR
MSR
INF
TPOV
GDPT
=
=
=
=
=
=
=
l0 + l1*GDS + l2*TTAX + l3*WOILR + l4*LGR;
m0 + m1*GDPT + m2*INVTR + m3*TW + m4*LTTAXR;
n0 + n1*PROAR + n2*YD + n3*LFCONR;
o0 + o1*IRD + o2*ER + o3*GDPT;
p0 + p1*GDPT + p2*MSR + p3*ER + p4*DK;
UPOV+RPOV;
GDPA+GDPN;
range tahun =1984 to 2003;
RUN;
178
Lampiran 4. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables
Endogenous
Parameters
Range Variable
Equations
Number of Statements
18
18
100
Tahun
18
18
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA=
OUT=
ANALISIS
HASIL
Solution Summary
Variables Solved
Solution Range
First
Last
Solution Method
CONVERGE=
Maximum CC
Maximum Iterations
Total Iterations
Average Iterations
18
Tahun
1984
2003
NEWTON
1E-8
7.03E-15
1
19
1
Observations Processed
Read
Solved
Failed
20
19
1
Variables Solved For
PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA
179
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Range Tahun = 1984 To 2003
Descriptive Statistics
Variable
PROAR
INVAR
LABA
Actual
Mean
Std Dev
Predicted
Mean
Std Dev
N Obs
N
19
19
19
19
19
19
32436.4
98938.6
39.1037
13663.0
46625.5
2.4513
32508.8
99780.3
40.0261
13524.5
46065.7
1.7757
PA
19
19
2.3055
0.4188
2.3665
0.3899
EXAR
19
19
350.6
157.7
351.9
151.4
IMAR
19
19
946.6
505.4
992.4
487.3
UPOV
19
19
5.4728
1.2233
5.4580
1.0372
RPOV
19
19
11.3387
2.5831
11.2392
2.4804
SPN
Nasional
GEAR
19
19
1582.4
331.8
1575.5
312.1
19
19
3899.0
1312.3
3794.1
811.5
GR
19
19
104074
101655
112184
119597
TTAXR
FCONR
19
19
19
19
46619.3
26359.8
20246.5
9711.0
46606.3
26418.1
19705.0
9349.7
MSR
INF
TPOV
GDPT
GDPA
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
50206.2
11.8368
16.8115
385759
116237
17796.1
16.0845
3.6175
107254
29975.1
50277.6
11.8748
16.6972
386294
116772
16840.1
11.8793
3.4503
102144
26970.5
Label
Produksi Pertanian
Investasi Pertanian
Tenaga Kerja
Pertanian
Indeks Harga
Pertanian
Ekspor Komoditas
Pertanian
Impor Komoditas
Pertanian
Kemiskinan di
Perkotaan
Kemiskinan
di Pedesaan
Stok Pangan
Belanja Pemerintah
di Sektor Pertanian
Penerimaan
Pemerintah
Pajak Total
Konsumsi untuk
Pertanian
Penawaran Uang
Inflasi
Kemiskinan Total
GDP Total
GDP Pertanian
Statistics of fit
Variable
PROAR
INVAR
LABA
PA
EXAR
IMAR
UPOV
RPOV
SPN
GEAR
GR
TTAXR
FCONR
MSR
INF
TPOV
GDPT
GDPA
Variable
PROAR
INVAR
LABA
PA
EXAR
IMAR
UPOV
RPOV
SPN
GEAR
GR
TTAXR
FCONR
MSR
INF
TPOV
GDPT
GDPA
N
Mean
Error
Mean %
Error
Mean Abs
Error
Mean Abs
% Error
RMS
Error
RMS %
Error
R-Square
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
72.4382
841.7
0.9224
0.0610
1.2286
45.7907
-0.0148
-0.0995
-6.9223
-104.9
8109.8
-12.9810
58.2776
71.3187
0.0380
-0.1143
535.6
535.6
0.6292
2.3150
2.5496
2.9642
1.6862
7.9025
0.9083
-0.6991
0.0534
2.8521
-4.3217
-0.6790
1.5391
1.3088
61.0857
-0.5224
0.6602
1.9279
1260.4
6717.0
1.5185
0.0751
33.4897
151.7
0.3836
0.4512
97.2896
815.0
14429.1
3596.0
1979.0
2536.5
5.9118
0.4279
9553.3
9553.3
5.2041
9.4219
4.0239
3.4706
12.0847
19.3031
7.2927
3.8465
6.4913
19.9459
17.7326
8.7533
8.5697
5.9295
105.8
2.3838
2.6828
8.8534
1728.0
7994.8
1.8536
0.0857
42.7789
211.9
0.5619
0.5938
115.9
1203.9
21794.1
4910.6
2619.2
3396.9
8.8399
0.6342
13452.7
13452.7
8.3342
13.6387
5.0448
3.9731
17.1694
25.9386
11.7530
4.8423
8.1211
28.2129
27.7041
12.6745
12.5419
8.2903
280.6
3.4042
4.0751
13.3404
0.9831
0.9690
0.3964
0.9558
0.9223
0.8145
0.7773
0.9442
0.8712
0.1115
0.9515
0.9379
0.9232
0.9615
0.6812
0.9676
0.9834
0.7874
N
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Corr
Bias
Reg
Dist
Var
MSE
(R)
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
2986127
63917363
3.4360
0.00734
1830.0
44887.5
0.3157
0.3526
13432.3
1449460
4.7498E8
24114269
6860318
11539187
78.1441
0.4022
1.8097E8
1.8097E8
0.99
0.98
0.74
0.99
0.96
0.91
0.88
0.97
0.93
0.40
1.00
0.97
0.96
0.98
0.83
0.98
0.99
0.89
0.00
0.01
0.25
0.51
0.00
0.05
0.00
0.03
0.00
0.01
0.14
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.08
0.00
0.02
0.01
0.00
0.00
0.05
0.68
0.00
0.00
0.03
0.03
0.03
0.10
0.00
1.00
0.99
0.75
0.41
1.00
0.94
0.99
0.97
1.00
0.94
0.19
1.00
1.00
0.97
0.97
0.94
0.90
1.00
0.01
0.00
0.13
0.11
0.02
0.01
0.10
0.03
0.03
0.16
0.64
0.01
0.02
0.08
0.21
0.07
0.14
0.05
Covar
(UC)
0.99
0.98
0.63
0.38
0.98
0.95
0.90
0.94
0.97
0.83
0.22
0.99
0.98
0.92
0.79
0.90
0.86
0.95
Inequality Coef
U1
U
0.0493
0.0734
0.0473
0.0366
0.1118
0.1986
0.1003
0.0511
0.0718
0.2934
0.1518
0.0970
0.0935
0.0640
0.4504
0.0369
0.0337
0.1123
0.0246
0.0366
0.0234
0.0181
0.0560
0.0978
0.0504
0.0257
0.0360
0.1509
0.0714
0.0486
0.0468
0.0320
0.2442
0.0185
0.0168
0.0562
180
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Range Tahun = 1984 To 2003
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
Relative Change
Corr
N
MSE
(R)
MSE Decomposition Proportions
Bias
Reg
Dist
Var Covar
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
(UC)
PROAR
INVAR
LABA
PA
EXAR
IMAR
UPOV
RPOV
SPN
GEAR
GR
TTAXR
FCONR
MSR
INF
TPOV
GDPT
GDPA
18 0.00357
18
0.0113
18 0.00210
18 0.00153
18
0.0197
18
0.0513
18
0.0120
18 0.00259
18 0.00644
18
0.1201
18
0.0697
18 0.00964
18
0.0106
18 0.00652
18
0.5950
18 0.00141
18 0.000736
18 0.00759
0.00
0.02
0.19
0.53
0.00
0.08
0.01
0.04
0.00
0.01
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
0.00
0.01
0.91
0.82
0.76
0.38
0.67
0.76
0.92
0.96
0.41
0.67
0.76
0.66
0.82
0.75
0.87
0.98
0.93
0.63
0.02
0.19
0.10
0.08
0.10
0.22
0.26
0.02
0.00
0.02
0.75
0.01
0.01
0.04
0.02
0.18
0.05
0.04
0.98
0.79
0.71
0.39
0.90
0.70
0.73
0.95
1.00
0.97
0.22
0.99
0.99
0.96
0.97
0.77
0.95
0.95
0.00
0.03
0.39
0.02
0.01
0.03
0.46
0.07
0.46
0.09
0.48
0.13
0.05
0.03
0.01
0.25
0.16
0.07
1.00
0.96
0.41
0.45
0.99
0.89
0.53
0.90
0.54
0.91
0.50
0.87
0.95
0.97
0.98
0.70
0.84
0.92
Inequality Coef
U1
U
0.3821
0.6055
0.7563
0.9830
0.7549
0.7744
0.4453
0.2697
0.8848
0.7353
0.9951
0.5767
0.5576
0.5772
0.4797
0.2034
0.3000
0.7437
0.1932
0.2923
0.4329
0.3851
0.3915
0.3637
0.2628
0.1397
0.6020
0.4140
0.3962
0.3090
0.2967
0.2992
0.2476
0.1072
0.1582
0.4159
Download