BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Financial Distress Perusahaan yang dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak mampu untuk memenuhi permintaan pasar (konsumen) dan tidak mampu bersaing dengan perusahaan lainnya, cepat atau lambat akan mengalami kondisi terburuk seperti kegagalan atau kebangkrutan. Terjadinya kesulitan keuangan dalam sebuah perusahaan dapat mencerminkan ketidakmampuan perusahaan untuk tetap bertahan dan survive dengan segala kondisi permasalahan yang dihadapi perusahaan dalam dunia bisnis. Vinh (2015) menyebutkan bahwa kesulitan keuangan atau financial distress merupakan sebuah kondisi permasalahan perekonomian yang dialami oleh perusahaan sebagai bentuk dari kemunduran kinerja sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Konsekuensi ekonomi yang dapat diterima oleh perusahaan apabila mengalami kegagalan sangat besar, terutama bagi para pemangku kepentingan di perusahaan go public. Sebelum terjadinya kegagalan, biasanya perusahaan akan mengalami tekanan keuangan sehingga manajemen dapat menentukan metode yang tepat untuk mengidentifikasi kondisi tersebut (Ko et al, 2001). Financial distress disini dapat dimulai dari gejala yang paling ringan, diantaranya adalah kenaikan bahan baku yang dapat meningkatkan biaya suatu produk, penurunan 15 16 pada tingkat penjualan perusahaan, dan pengurangan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan atau lebih dikenal dengan nama PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa financial distress merupakan permasalahan serius dalam perusahaan yang dapat memicu keterpurukan bagi perusahaan, karena pada akhirnya dapat membawa perusahaan menuju kegagalan atau kebangkrutan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Apabila sebuah perusahaan didapati sudah berada dalam tahap kebangkrutan, maka perusahaan tersebut dikatakan sudah mati dalam menjalankan aktivitas bisnisnya dan kondisi keuangan perusahaan sudah tidak dapat diperbaiki kembali. Menurut Drescher (2014: 25), financial distress adalah tahap akhir dari krisis likuiditas dan berpotensi termasuk ke dalam tahap kebangkrutan. Artinya bahwa perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban yang sudah jatuh tempo kepada kreditur. Pada pandangan yang lebih luas, financial distress sebuah perusahaan dapat diidentifikasi saat kondisi perekonomian perusahaan memburuk bahkan mekakukan pelanggaran terhadap perjanjian dengan kreditur sehingga mengakibatkan munculnya default (tindakan hukum). Berdasarkan pada literatur, Gamayumi (2011) dalam Ellen dan Juniarti (2013) mengklasifikasikan beberapa definisi mengenai financial distress, diantaranya adalah: a. Economic Failure Economic failure atau kegagalan dalam arti perekonomian dapat terjadi pada saat pendapatan perusahaan tidak mampu menutup biaya keseluruhan 17 termasuk biaya modal. Nilai sekarang dari arus kas sebenarnya lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban, atau laba yang lebih kecil daripada modal kerja. Terjadinya kegagalan pada perusahaan yang mengalami economic failure atau economic distress ini adalah jika arus kas yang diharapkan atau tingkat pendapatan atas biaya historis dan investasi jauh lebih kecil dibandingkan biaya modal yang dikeluarkan untuk investasi. b. Business Failure Business failure atau kegagalan dalam arti bisnis menggambarkan bahwa perusahaan mengalami kondisi bisnis yang tidak menguntungkan, dimana perusahaan terpaksa harus menghentikan kegiatan operasionalnya karena ketidakmampuannya untuk menghasilkan keuntungan demi menutupi jumlah pengeluaran. c. Technical Insolvency Sebuah perusahaan dapat dikategorikan mengalami kondisi technical insolvency apabila pada perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melunasi seluruh kewajiban jatuh temponya akibat dari kepemilikan aktiva lancar yang tidak mencukupi. d. Insolvency in Bankruptcy Sense Insolvency in bankruptcy sense disini merupakan sebuah keadaan yang dialami oleh perusahaan, dimana nilai buku dari keseluruhan kewajiban melebihi nilai pasar dari aktiva perusahaan sehingga ekuitasnya menjadi negatif. 18 e. Legal Bankruptcy Legal bankruptcy merupakan sebuah istilah kegagalan yang seringkali digunakan dalam perusahaan. Sebuah perusahaan tidak dapat dikatakan bangkrut secara hukum, kecuali diajukan tuntutan secara resmi dengan Undang - Undang federal. Financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan pembayaran tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak yang sudah ada. Anggarini (2010) menyebutkan kondisi perusahaan yang mengalami financial distress, antara lain: a. Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk melunasi seluruh kewajiban yang sudah jatuh tempo kepada kreditur. b. Perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency), artinya perusahaan tidak memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran. Pengertian ini dijelaskan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun dampak lain dari financial distress antara lain: risiko dalam biaya dari financial distress berdampak negatif bagi perusahan sebagai pengganti kerugian pajak seiring dengan adanya kenaikan hutang perusahaan. Kemudian hubungan terhadap konsumen, pemasok, karyawan dan kreditur menjadi renggang akibat dari keraguan pihak - pihak tersebut terkait dengan eksistensi perusahaan di masa mendatang. Fokus dari manajemen pada umumnya hanya berfokus kepada aliran kas jangka pendek perusahaan dibanding kesehatan perusahaan dalam 19 jangka panjang, sehingga biaya jangka panjang pada saat perusahaan mengalami kondisi financial distress menjadi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan biaya jangka pendeknya (Kamaludin dan Pribadi, 2011). Oleh karena financial distress memberikan dampak buruk bagi perusahaan, maka manajemen perlu melakukan penanganan terhadap kondisi financial distress dan mencegah kemungkinan perusahaan terjerumus ke dalam masalah kebangkrutan. Berikut merupakan solusi yang dapat diterapkan bagi perusahaan dengan arus kas negatif menurut Pustylnick (2012), antara lain: a. Restrukturisasi hutang, dimana manajemen memerlukan perpanjangan waktu dari kreditur perihal pelunasan hutang. b. Perubahan dalam manajemen, diperlukan untuk menentukan manajemen yang lebih berkompetensi, sehingga dapat mengembalikan kepercayaan dari pada investor, kreditur. Menurut Platt dan Platt (2002) sistem peringatan dini (early warning system) perlu dikembangkan untuk mengantisipasi terjadinya financial distress. Manajemen menyediakan alat yang ampuh untuk membantu mengidentifikasi financial distress tersebut dan diharapkan dapat memperbaiki masalah ekonomi perusahaan sebelum mencapai krisis. Penetapan kontrak jangka panjang antara perusahaan manufaktur dengan pemasok yang terpilih dan bersertifikat dapat menjadi salah satu langkah early warning system guna menghindari gangguan produksi dan jadwal distribusi dari perusahaan manufaktur. Early warning system memberikan manfaat bukan hanya kepada pihak internal perusahaan, namun juga 20 pihak eksternal perusahaan. Bagi pihak internal, prediksi financial distress dapat membantu dalam pengambilan tindakan lebih lanjut terhadap kondisi keuangan perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan. Sedangkan bagi pihak eksternal, prediksi financial distress dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan apakah akan melakukan aktivitas bisnis berkaitan dengan proses investasi dan pendanaan ke dalam perusahaan (Putri dan Merkusiwati, 2014). Menurut Almilia dan Kristijadi (2003) dalam Dwijayanti (2010), terdapat beberapa pihak berkepentingan yang memanfaatkan prediksi financial distress: a. Kreditur Kreditur memanfaatkan prediksi financial distress untuk menentukan apakah akan memberikan pinjaman kepada perusahaan atau tidak serta menentukan kebijakan dalam mengawasi pinjaman yang sudah diberikan kepada perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hutang tak tertagih. b. Investor Prediksi financial distress dapat dimanfaatkan oleh investor untuk menentukan apakah akan melakukan aktivitas investasi atau tidak pada perusahaan. Selain itu dengan menggunakan prediksi tersebut, maka investor dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan apakah akan buy, sell, or hold terhadap saham yang dimiliki oleh investor. Investor akan memikirkan kondisi yang paling menguntungkan berkaitan dengan kepemilikan sahamnya di perusahaan. 21 c. Badan Regulator Tugas badan regulator adalah mengawasi kemampuan perusahaan dalam melunasi seluruh kewajibannya kepada kreditur dan menstabilkan perusahaan individu, guna menilai stabilitas perusahaan. d. Pemerintah Pemerintah menggunakan prediksi financial distress untuk melakukan antitrust regulation. Kebijakan ini merupakan langkah dari pemerintah untuk memerangi monopoli dalam dunia bisnis. e. Auditor Model prediksi financial distress disini digunakan auditor untuk menentukan opini going concern terhadap perusahaan. Apabila dalam perusahaan diperoleh hasil yang meragukan terhadap going concern-nya, maka auditor dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas (modified unqualified opinion) atau opini disclaimer. f. Manajemen Pengambilan tindakan yang dibutuhkan dalam mengatasi financial distress dan mencegah kebangkrutan perusahaan menjadi langkah penting yang dilakukan oleh manajemen untuk mempertahankan eksistensi perusahaan di dunia bisnis. Apabila mengalami kebangkrutan, maka perusahaan harus menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau paksaan akibat ketetapan pengadilan). 22 2.1.2 Teori Keagenan Teori keagenan (agency theory) menggambarkan mengenai praktik corporate governance dan perilaku terhadap dilema keagenan, artinya bahwa teori tersebut menjelaskan adanya hubungan kontrak antara principal (pemberi kontrak atau pemegang saham) dengan agen (penerima kontrak atau Direksi). Direksi sebagai penerima kontrak berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya meskipun harus merugikan pemegang saham sebagai pemberi kontrak, karena pada dasarnya principal dan agen memiliki kepentingan masing - masing untuk memperbesar keuntungan bagi dirinya sendiri hingga harus merelakan kepentingan dari pihak lainnya (Tricker, 2015: 61). Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan melibatkan kontrak dimana satu orang atau lebih pemegang saham terlibat dengan orang lain (Direksi) untuk melakukan beberapa layanan termasuk mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agen serta memberikan instruksi kepada agen untuk mengelola perusahaan sesuai kehendak principal. Namun, tidak ada alasan substansial untuk mempercayai bahwa agen akan bertindak demi kepentingan principal. Kondisi semacam ini tentu dapat menghambat perusahaan dalam menghasilkan nilai bagi perusahaan itu sendiri dan juga bagi pemegang saham (shareholders). Menurut Emirzon (2007) dalam Triwahyuningtias (2012), adanya teori keagenan pada perusahaan dapat dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi penting, antara lain yakni: 23 a. Asumsi mengenai sifat manusia Asumsi ini menekankan bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat untuk mementingkan kepentingan pribadi (diri sendiri), memiliki keterbatasan rasionalitas, dan tidak memiliki ketertarikan terhadap risiko. b. Asumsi mengenai keorganisasian Asumsi ini menekankan adanya konflik yang terjadi antara anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan asymmetric information antara principal dengan agen. Asymmetric information merupakan informasi yang tidak seimbang akibat dari distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen, sehingga dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yaitu principal mengalami kesulitan dalam melakukan monitoring dan controlling terhadap tindakan yang dilakukan agen. c. Asumsi mengenai informasi Asumsi ini menekankan bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Kontrak kerja pada awal masa kerja dapat dijadikan sebagai salah satu jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara principal dengan agen. Adanya bukti tertulis perihal hak - hak dan kewajiban dari masing masing yang disepakati bersama oleh principal dengan agen mengakibatkan konflik keagenan dapat diminimalisir (Agusti, 2013). Berikut merupakan 2 (dua) 24 asumsi dasar dari kontrak efisien seperti yang diungkapkan Widyantari (2011) dalam Agusti (2013), diantaranya adalah: a. Agen dan principal memiliki informasi yang simetris, artinya bahwa agen maupun principal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama. Oleh karena itu, segala bentuk informasi yang dimiliki adalah transparan dan tidak ada kerahasiaan diantara agen dan principal terlebih perihal dalam perolehan keuntungan pribadi. b. Risiko yang dipikul oleh agen berkaitan dengan perolehan imbalan jasa kecil, sehingga menjadikan agen memiliki kepastian perihal imbalan yang diterimanya. Beaver (2002) dalam Rinaldi et al (2014) menjelaskan mengenai dua kategori motivasi manajemen akrual, yaitu opportunistic dan signaling. Opportunistic merupakan motivasi yang didasarkan pada kontrak yang telah disepakati bersama dengan pihak pemilik, dimana menggambarkan kebijakan aggressive accounting manajemen untuk melakukan window dressing (manipulasi) terhadap laba perusahaan, sehingga mengakibatkan laporan laba mengarah kepada overstate earnings. Sedangkan signaling menggambarkan penyajian informasi keuangan oleh manajemen untuk memberikan sinyal kemakmuran kepada pemegang saham. Perkembangan yang terus menerus terjadi mengakibatkan teori keagenan memperoleh respon yang luas karena dipandang mampu mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang 25 dengan tumpuan teori keagenan, dimana pengelolaan dilakukan penuh dengan kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku (Kaihatu, 2006). Penerapan suatu mekanisme pengendalian demi mensejajarkan perbedaan kepentingan di antara agen dan principal menjadi penting untuk dilakukan, mengingat bahwa masing - masing dari agen maupun principal masih lebih mendahulukan kepentingan pribadi. Mekanisme corporate governance diperlukan untuk mengurangi terjadinya masalah keagenan antara agen sebagai pemilik dan principal sebagai pengelola perusahaan, sehingga dapat diperoleh keselarasan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajer (Triwahyuningtias, 2012). 2.1.3 Corporate Governance The Indonesian Institute for Corporate Governance (www.iicg.org) menyatakan bahwa Good Corporate Governance (GCG) merupakan struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ - organ perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan dari stakeholder lainnya, berlandaskan pada moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya sehingga rangkaian mekanisme ini mampu mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sedangkan menurut Forum Corporate Governance for Indonesia (www.fcgi.or.id) mendefinisikan corporate governance sebagai perangkat 26 peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak - hak dan kewajiban mereka. Tujuan dari adanya corporate governance disini adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan dapat memperbaiki kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Corporate governance merupakan rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengendalian perusahaan mencakup hubungan antara pemangku kepentingan yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan Dewan Direksi (Zuhdi et al, 2015). Maksud dari adanya corporate governance adalah untuk mengatur hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki sesegera mungkin (Triwahyuningtias, 2012). Good Corporate Governance (GCG) merupakan prinsip yang universal sehingga mampu digunakan sebagai bahan rujukan bagi negara manapun. Perbedaan antara GCG di negara satu dengan negara yang lainnya terletak pada sistemnya, baik sistem hukum, keadaan dan perkembangan kemajuan, serta kultur bangsa itu sendiri. Penerapan governance yang baik dapat dipicu oleh berbagai pendekatan sesuai dengan kondisi dan waktu yang ada. Pendekatan yang dilakukan ada 2 (dua), yaitu pendekatan sistem yang sarat akan segala macam aturan yang ada, dibandingkan dengan pendekatan etika (Soft Law) (Daniri, 2008 dalam Wibowo, 2010). 27 Berdasarkan pada Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (KNKG, 2006), Good corporate governance (GCG) diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, serta konsisten dengan peraturan perundang - undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh 3 (tiga) pilar yang saling berhubungan, antara lain negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing masing pilar yaitu: a. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang - undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang - undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement). b. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan Good Corporate Governance sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. c. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial secara objektif dan bertanggung jawab. Sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Good Corporate Governance, setiap perusahaan perlu memastikan penerapan prinsip GCG dalam segala aspek. Prinsip - prinsip tersebut diantaranya adalah: 28 a. Transparansi (Transparency) Demi menjaga objektivitas dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, perusahaan memerlukan segala bentuk informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan mudah dipahami oleh pemangku kepentingan. Informasi yang disediakan tersebut juga harus memiliki nilai informatif sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. Laporan keuangan perusahaan merupakan sumber informasi keuangan maupun non keuangan yang dimiliki oleh perusahaan, disajikan sesuai dengan fakta yang ada sehingga laporan keuangan tersebut bersifat informatif. Informatif disini dapat mengartikan bahwa informasi yang disampaikan oleh perusahaan secara transparan kepada pihak - pihak berkepentingan sebagai dasar pengambilan keputusan. Di Indonesia, laporan keuangan perusahaan dapat dengan mudah diakses melalui Bursa Efek Indonesia (Indonesian Stock Exchange). b. Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Oleh karenanya, perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan. Tentunya pengelolaan perusahaan tetap memperhitungkan kepentingan dari pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas 29 merupakan syarat penting yang diperlukan perusahaan untuk dapat mencapai kinerja yang berkesinambungan. Penerapan asas ini menggambarkan bahwa Dewan Direksi dan Dewan Komisaris memiliki peran penting dari segi pengendalian. Dewan Direksi bertugas untuk menjalankan operasional perusahaan, sedangkan Dewan Komisaris mengawasi jalannya perusahaan atau dalam arti lain mengawasi kinerja Direksi. Kinerja yang dilakukan Dewan Direksi maupun Dewan Komisaris harus sesuai dengan tujuan dari perusahaan. c. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan wajib untuk mematuhi segala bentuk kebijakan dan peraturan perundang - undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga kesinambungan usaha dalam jangka panjang dapat terpelihara dan bisa memperoleh pengakuan sebagai good corporate citizen. Berdasarkan pada asas responsibilitas, Dewan Direksi, Dewan Komisaris, dan Komite Audit perlu untuk memahami hak, kewajiban, wewenang, serta tanggung jawabnya dalam perusahaan. Hal ini menjadi penting agar Dewan Direksi, Dewan Komisaris, maupun Komite Audit mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal dan profesional. d. Independensi (Independency) Agar memperlancar pelaksanaan asas Good Corporate Governance (GCG), perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing - 30 masing organ perusahaan tidak akan saling mendominasi satu sama lain dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lainnya. Berdasarkan pada asas independensi, Audit Internal perusahaan memiliki kendali dalam bertanggung jawab secara langsung terhadap Presiden Direktur dan dalam tugasnya memberikan laporan kepada Presiden Direktur dan Dewan Komisaris (melalui Komite Audit). Untuk mempertahankan objektivitas, Audit Internal tidak memiliki wewenang atas proses transaksi harian dan aktivitas transaksi lainnya pada unit kerja yang diperiksa. e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Perusahaan senantiasa harus memperhatikan kepentingan dari pemegang saham dan pemangku kepentingan yang lainnya berdasarkan pada asas kewajaran dan kesetaraan (fairness) dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya. Berdasarkan pada asas ini, Dewan Direksi dan Dewan Komisaris perlu melakukan pengamanan terhadap investasi dan aset perusahaan untuk menghindari kemungkinan terjadinya berbagai bentuk kecurangan. Dewan Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal meliputi bidang keuangan, operasional, risk management, serta kepatuhan. Sedangkan Dewan Komisaris menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Dewan Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan. 31 2.1.3.1 Dewan Direksi Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Di dalam pasal 92 ayat (3) menyebutkan bahwa Dewan Direksi sebaiknya terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih. Pembagian tugas dan wewenang antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun apabila dalam RUPS tidak menetapkan hal tersebut, maka pembagian tugas dan wewenang didasarkan kepada keputusan dari Dewan Direksi. Direksi dalam menjalankan kepengurusannya harus sesuai dengan maksud dan tujuan dari perusahaan, dimana berdasarkan pada kebijakan yang dipandang tepat dan dalam batas yang ditentukan dalam Undang - Undang dan/atau anggaran dasar. Menurut Basri (2008) dalam Triwahyuningtias (2012), seorang Dewan Direksi harus memiliki kemampuan dalam merumuskan strategi agar menciptakan bisnis yang efektif dan efisien dengan turbulensi kondisi internal dan eksternal. Anggota dari Dewan Direksi perlu memiliki reputasi moral yang baik dan kompetensi teknis yang mendukung dengan penetapan standar profesionalisme tertentu. Berdasarkan pada prinsip GCG berkaitan dengan asas transparansi (transparency), maka Dewan Direksi berkewajiban menjaga transparansi dalam menjalankan operasional perusahaan sehingga penyampaian segala informasi kepada stakeholders menjadi jelas. 32 2.1.3.2 Dewan Komisaris Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris adalah organ dalam perusahaan yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar perusahaan serta memberikan nasihat atau arahan kepada Direksi. Di dalam pasal 108 ayat (5) menyebutkan bahwa Dewan Komisaris setidaknya terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih anggota. Anggota dari Dewan Komisaris ini diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib untuk beritikad baik, berhati hati, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya demi kepentingan perusahaan. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perusahaan apabila terbukti bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Dewan Komisaris memiliki peran penting dalam kaitannya controlling implementasi strategi yang ditetapkan oleh Dewan Direksi. Dewan Komisaris bertanggung jawab secara penuh untuk mengawasi dan memantau segala tindakan yang dilakukan oleh Direksi, serta memberikan nasihat jika dipandang perlu. Komposisi dari Dewan Direksi harus memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat, serta independen. Artinya bahwa Dewan Komisaris tidak diperbolehkan untuk menekan kemampuannya dalam bertindak kritis terhadap Dewan Direksi dikarenakan beberapa faktor yang kemungkinan dapat mengganggu kerja Dewan Komisaris dan dapat mengurangi objektivitasnya (Triwahyuningtias, 2012). 33 2.1.3.3 Komite Audit Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006), Komite Audit merupakan suatu komite yang beranggotakan oleh 1 (satu) atau lebih anggota Dewan Komisaris dan dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman, dan kualitas lain yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Komite Audit. Komite Audit dibentuk oleh Dewan Komisaris bertujuan untuk membantu kinerja dan fungsi dari Dewan Komisaris. Komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris antara lain Komite Audit, Komite Kebijakan Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, serta Komite Kebijakan Corporate Governance. Namun, berdasarkan peraturan Bapepam Nomor KEP-339/BEJ/2001, yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang terdaftar di BEI hanya Komite Audit. Tugas dan tanggung jawab Komite Audit berdasarkan pada Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-643/BL/2012 antara lain: a. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan Emiten atau Perusahaan Publik kepada dan/atau pihak otoritas antara lain laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan Emiten atau Perusahaan Publik; b. Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundang undangan yang berhubungan dengan kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik; c. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara manajemen dan Akuntan atas jasa yang diberikannya; 34 d. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan Akuntan independen, ruang lingkup penugasan, dan fee; e. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas temuan auditor internal; f. Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh Direksi, jika Emiten atau Perusahaan Publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko di bawah Dewan Komisaris; g. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik; h. Menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik; dan i. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi Emiten atau Perusahaan Publik. Di Indonesia, keanggotaan Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh Komisaris Independen perusahaan dengan 2 (dua) orang eksternal independen terhadap perusahaan, serta setidaknya salah satunya menguasai bidang akuntansi dan keuangan. Jumlah anggota Komite Audit ini dimaksudkan agar Komite Audit dapat melakukan rapat dan bertukar pendapat satu sama lain karena tiap anggota Komite Audit memiliki pengalaman tata kelola perusahaan dan pengetahuan keuangan yang berbeda (Nuresa dan Hadiprajitno, 2013). 35 2.1.4 Indikator Keuangan Indikator keuangan dapat dikatakan sebagai indikator kinerja keuangan perusahaan. Kinerja Keuangan perusahaan merupakan hasil atau kondisi keuangan suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan untuk suatu periode tertentu yang disajikan di dalam laporan keuangan perusahaan (Jiming dan Wei Wei, 2011). 2.1.4.1 Profitabilitas Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba pada periode tertentu. Laba seringkali dijadikan sebagai salah satu ukuran kinerja sebuah perusahaan, dimana ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan baik. Selain itu, laba dijadikan sebagai indikator kemampuan perusahaan dalam memenuhui kewajiban bagi pemegang saham dan menciptakan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek di masa mendatang. Laba seringkali dibadingkan dengan penjualan, aktiva, dan ekuitas yang disebut dengan rasio profitabilitas (Horne dan Wachowicz, 2013 dalam Novita dan Sofie, 2015). Sedangkan menurut Kabajeh et al (2012) menyebutkan bahwa rasio profitabilitas merupakan indikator untuk efisiensi keseluruhan perusahaan, artinya dijadikan sebagai ukuran untuk perolehan laba selama periode waktu tertentu berdasarkan pada tingkat penjualan, aktiva, modal yang digunakan, kekayaan bersih, dan earning per share. Rasio profitabilitas digunakan sebagai indikator 36 untuk pertumbuhan, keberhasilan, dan kontrol yang penting bagi pihak eksternal pengguna laporan keuangan perusahaan. Investor menggunakan rasio profitabilitas untuk menunjukkan kemajuan dan return investasi perusahaan. Sedangkan bagi kreditur memanfaatkan rasio profitabilitas untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban bunga. 2.1.4.2 Likuiditas Munawir (2010) dalam Novita dan Sofie (2015) mengemukakan bahwa likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi atau dengan kata lain kewajiban keuangan pada saat ditagih. Perusahaan yang memiliki kemampuan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dikategorikan bahwa perusahaan tersebut liquid, sedangkan bagi perusahaan yang tidak berkemampuan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dikategorikan iliquid. Dari rasio ini, banyak pandangan ke dalam yang bisa didapatkan mengenai kompetensi keuangan perusahaan saat ini dan kemampuan perusahaan untuk tetap kompeten jika terjadi masalah (Triwahyuningtias, 2012). Costea dan Hostiuc (2009) menyatakan bahwa rasio likuiditas penting dalam sebuah perusahaan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban saat berlangsungnya aktivitas bisnis. Analisis rasio likuiditas berfokus pada ukuran dimana perusahaan memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek (kurang dari 1 tahun), kewajiban yang sudah jatuh 37 tempo yang harus dipenuhi menggunakan aktiva perusahaan atau dikenal dengan istilah transformation in liquidity. Apabila tidak dapat terpenuhi, maka kondisi ini menunjukkan bahwa perusahaan terindikasi menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajiban jatuh temponya. Faktor - faktor yang mempengaruhi likuiditas antara lain aktivitas, tingkat kematangan perusahaan dan ukuran perusahaan, season dari bisnis, keadaan ekonomi, sktuktur aktiva, struktur aktiva lancar, tingkat perputaran aktiva lancar, dan struktur keuangan perusahaan. Pada akhirnya, terdapat hubungan antara rasio likuiditas dengan rasio profitabilitas (Saleem dan Rehman, 2011). 2.1.4.3 Leverage Warsono (2003:204) dalam Ritonga et al (2014) menjelaskan bahwa rasio leverage disini merupakan rasio yang menggambarkan setiap penggunaan aktiva dan dana perusahaan yang membawa konsekuensi biaya dan beban tetap. Apabila perusahaan menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari luar perusahaan, maka beban tetap yang ditanggung akan berbentuk bunga pinjaman. Sedangkan jika perusahaan menggunakan mesin - mesin dalam aktivitas bisnisnya, maka beban tetapnya berupa biaya penyusutan mesin. Selain itu juga apabila perusahaan menyewa suatu aktiva tetap kepada pihak lain (pihak ketiga), maka konsekuensinya yaitu harus membayar biaya tetap berupa biaya sewa. Tujuan perusahaan menggunakan rasio leverage adalah untuk meningkatkan hasil pengembalian bagi para pemegang saham biasa. 38 Terdapat 2 (dua) macam leverage dalam suatu perusahaan, antara lain leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Penggunaan kedua leverage ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya aktiva dan sumber dananya sehingga memberikan keuntungan yang lebih kepada para pemegang saham (Martono dan Harjitno, 2005:295 dalam Ritonga et al, 2015). 2.2 Pengembangan Hipotesis Hipotesis memperlihatkan hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini, hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: 2.2.1 Profitabilitas dan Financial Distress Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada periode tertentu. Indikator keuangan yang digunakan dalam rasio profitabilitas penelitian ini adalah Return on Asset (ROA) yang merupakan rasio untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki perusahaan, dimana menyebabkan adanya efektivitas dari penggunaan aktiva perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan dapat menekan sejumlah pengeluaran biaya yang seharusnya dan dapat melakukan penghematan, sehingga dana yang dimiliki perusahaan menjadi mencukupi untuk menjalankan aktivitas bisnisnya. 39 Profitabilitas dengan proksi ROA yang positif dapat menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan seluruh aktiva yang dimiliki untuk kegiatan operasional perusahaan membuahkan hasil, dimana perusahaan dapat mengalami peningkatan perolehan keuntungan atau laba. Sebaliknya, ROA yang negatif menunjukkan bahwa perusahaan kurang berhasil dalam mengelola keseluruhan aktiva yang dimiliki untuk kegiatan operasional perusahaan, sehingga memberikan kemungkinan terjadinya kerugian bagi perusahaan. ROA dapat dijadikan sebagai dasar penilaian efektivitas penggunaan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi laba yang diperoleh sebuah perusahaan, maka ROA juga semakin tinggi. Ini menandakan bahwa perusahaan secara efektif dapat memaksimalkan penggunaan aktiva yang dimiliki untuk aktivitas bisnisnya dan tentunya dapat memberikan kesejahteraan bagi pemegang saham dengan adanya peningkatan profitabilitas. Sedangkan bagi perusahaan yang merugi, ROA yang dimiliki rendah dan cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan belum dapat mengoptimalkan penggunaan aktivanya secara efektif dalam aktivitas bisnisnya. Dalam penelitian Darus dan Mohamad (2011) serta Al-Khatib dan AlHorani (2012) menunjukkan hasil bahwa ROA berpengaruh negatif terhadap financial distress. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi ROA sebuah perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Kondisi tersebut dapat terjadi dikarenakan perusahaan mampu mengoptimalkan penggunaan keseluruhan aktiva untuk aktivitas bisnisnya yang berubah menjadi laba bagi perusahaan, sehingga peluang perusahaan untuk 40 terus bersaing dalam dunia bisnis masih tinggi. Berbeda halnya apabila ROA yang dimiliki perusahaan rendah dimana menunjukkan bahwa kinerja perusahaan cenderung tidak baik karena perusahaan tidak mampu mengoptimalkan penggunaan keseluruhan aktivanya untuk menjalankan aktivitas bisnis. Kondisi ini mengakibatkan profitabilitas perusahaan menurun dan perusahaan menjadi rentan mengalami financial distress. Penjelasan tersebut juga didukung oleh penelitian dari Andre (2013); Zare et al (2013) dan Cruz et al (2014) yang menunjukkan bahwa ROA memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap financial distress. Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress 2.2.2 Likuditas dan Financial Distress Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendanai operasional perusahaan dan melunasi kewajiban jangka pendek perusahaan. Indikator keuangan yang digunakan dalam rasio likuiditas penelitian ini adalah Current Ratio (CR) yang merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya. Rasio ini dapat dirasakan langsung oleh kreditur sebagai pemberi pinjaman, dimana kreditur dapat secara langsung memantau kegiatan operasional yang ada dalam perusahaan. Menurut Ardiyanto (2011) dalam Agusti (2013), perusahaan setidaknya memiliki aktiva lancar 2 (dua) kali 41 lebih besar daripada kewajiban jangka pendeknya, sehingga apabila dibutuhkan dana untuk menutup kewajiban lancarnya sewaktu - waktu perusahaan dapat menyediakan dana tersebut dengan cepat. Likuiditas dengan proksi CR yang positif dapat menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya terpantau baik, sehingga perusahaan dapat melakukan pelunasan terhadap seluruh kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur dengan menggunakan aktiva lancarnya. Sebaliknya, CR yang negatif menunjukkan bahwa perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi seluruh kewajiban jangka pendeknya yang tertagih kepada kreditur. Kondisi ini dapat memperbesar kemungkinan perusahaan akan memunculkan hutang baru untuk dapat menutup kewajiban lancar yang telah jatuh tempo. Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Elloumi dan Gueyié (2001); Jiming dan Weiwei (2011); serta Ellen dan Juniarti (2013) menunjukkan bahwa CR mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Oleh karena itu hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya, maka semakin kecil terjadinya financial distress pada perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki jumlah aktiva lancar yang mencukupi untuk melunasi seluruh kewajiban finansial jangka pendeknya kepada kreditur, sehingga perusahaan dikategorikan liquid. Dilihat dari sudut pandang kreditur, perusahaan 42 yang memiliki kemampuan dalam melunasi hutang jatuh temponya dengan menggunakan aktiva lancarnya ini dapat meningkatkan kepercayaan kreditur dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan pinjaman kembali di masa mendatang. Kepercayaan dari pihak kreditur disini juga mampu menjadi pemicu suksesnya sebuah perusahaan di masa mendatang karena perusahaan tetap dapat menjaga eksistensinya. Berbeda halnya apabila CR dalam sebuah perusahaan diketahui rendah, dimana jumlah aktiva lancar perusahaan tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban finansial jangka pendek perusahaan terhadap kreditur atau perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan iliquid. Akibatnya, perusahaan harus memunculkan hutang baru untuk menutup hutang yang sudah jatuh tempo. Apabila terjadi terus menerus, maka perusahaan akan rentan mengalami financial distress karena jumlah hutang yang tidak ada ujungnya. Apabila ditinjau dari sudut pandang kreditur, maka ada kekhawatiran tersendiri dari pihak kreditur mengenai kemungkinan timbulnya hutang tak tertagih. Selain itu terjadi krisis kepercayaan kepada perusahaan, sehingga memungkinkan pihak kreditur tidak akan memberikan pinjaman di masa mendatang. Penelitian ini diperkuat pula oleh penelitian dari Istiantoro (2015); Shahwan (2015); serta Yayanti dan Yanti (2015) yang menunjukkan hasil sama bahwa CR berpengaruh signifikan negatif terhadap kondisi financial distress. Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Likuiditas berpengaruh negatif terhadap financial distress 43 2.2.3 Leverage dan Financial Distress Rasio leverage sendiri merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melakukan perbandingan antara dana yang disediakan pemilik dengan dana yang diperoleh dari peminjaman oleh pihak kreditur, dengan kata lain mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang apabila suatu saat perusahaan dilikuidiasi maupun dibubarkan. Indikator keuangan yang digunakan dalam rasio leverage penelitian ini adalah Debt to Assets Ratio (DAR) yang merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang perusahaan tersebut dengan menggunakan keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Sebuah perusahaan dapat dikategorikan solvable apabila memiliki jumlah aktiva yang mencukupi untuk membayar seluruh kewajiban baik yang sudah jatuh tempo ataupun kewajiban jangka panjangnya kepada kreditur selaku pemberi pinjaman dana kepada perusahaan. Dalam rasio ini menggambarkan jumlah kepemilikan seluruh aktiva perusahaan yang bersumber dari hutang atau modal pihak ketiga (kreditur) untuk menilai keseimbangan dari nilai aktiva terhadap hutang, dimana komposisi aktiva harus lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Elloumi dan Gueyié (2001); Darus dan Mohamad (2011); Jiming dan Weiwei (2011); serta Ong et al (2011) memberikan hasil bahwa rasio leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap kondisi financial distress. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar kegiatan perusahaan yang dibiayai oleh hutang, semakin besar pula kemungkinan terjadinya kondisi financial distress akibat dari semakin besar 44 kewajiban perusahaan untuk membayar hutang tersebut. Leverage dengan proksi DAR yang tinggi dapat menunjukkan bahwa perusahaan memiliki jumlah hutang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah aktiva atau kekayaannya, sehingga perusahaan menjadi rentan mengalami masalah keuangan. Kondisi ini merupakan akibat dari rasio hutang yang memiliki keterkaitan dengan situasi perekonomian yang sulit pada perusahaan serta suku bunga tinggi yang ditetapkan oleh kreditur dalam pelunasan seluruh kewajiban perusahaan. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan bahwa kreditur berisiko tidak menerima pelunasan kewajiban oleh perusahaan, karena kondisi tersebut mengindikasikan kerugian yang dialami perusahaan. Selain itu, tingginya rasio DAR ini menunjukkan bahwa kegiatan operasional perusahaan dikendalikan pembiayaan yang dilakukan oleh kreditur. Proksi DAR yang rendah menggambarkan bahwa perusahaan memiliki jumlah aktiva yang melebihi dari jumlah keseluruhan kewajiban, sehingga perusahaan berada pada kondisi perekonomian yang baik dan suku bunga rendah. Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dan mampu menyejahterakan pemegang saham melalui pembayaran dividen, oleh karenanya perusahaan dapat terhindar dari kondisi financial distress. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian Andre (2013); Zare et al (2013); Prajamukti (2014); Istiantoro (2015); dan Utami (2015) dimana leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap kondisi financial distress. Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Leverage berpengaruh positif terhadap financial distress 45 2.2.4 Ukuran Dewan Direksi dan Financial Distress Dewan Direksi sebagai salah satu dari mekanisme corporate governance mengurangi kemungkinan terjadinya masalah keagenan antara pihak agen dengan principal. Adanya Dewan Direksi disini penting dalam memperbaiki kinerja perusahaan menjadi jauh lebih baik (Triwahyuningtias, 2012). Dewan Direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil penelitian dari Bodroastuti (2009); Triwahyuningtias (2012); dan Setiawan et al (2016) menunjukkan bahwa ukuran Dewan Direksi memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Semakin tinggi ukuran Dewan Direksi sebuah perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Ukuran dan diversitas Dewan Direksi bermanfaat bagi perusahaan karena menciptakan network dengan pihak luar dalam menjamin ketersediaan sumber daya. Apabila Dewan Direksi menentukan kebijakan atau strategi terbaru perusahaan dilakukan dengan pendekatan dan analisis yang tepat, maka dapat memberikan pengaruh terhadap perolehan keuntungan bagi perusahaan dengan terjadinya peningkatan perolehan keuntungan. Oleh karenanya, secara tidak langsung perusahaan akan jauh dari permasalahan perekonomian (financial distress). Sedangkan rendahnya ukuran Dewan Direksi sebuah perusahaan menunjukkan bahwa Dewan Direksi dalam menentukan stategi baru bagi perusahaan kurang tepat karena keterbatasan dari sumber daya, sehingga menimbulkan kerugian di masa mendatang dan dapat mengakibatkan terjadinya masalah keuangan pada perusahaan. 46 Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Dewan Direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress 2.2.5 Ukuran Dewan Komisaris dan Financial Distress Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan yang menjalankan fungsi monitoring dari implementasi kebijakan Direksi berperan penting dalam meminimalisir masalah keagenan yang terjadi antara agen dan principal. Oleh sebab itu, Dewan Komisaris perlu melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kinerja dari Dewan Direksi secara independen agar pencapaiannya sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan terutama dapat selaras dengan tujuan utama dari perusahaan (Hadi, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2006) menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah Dewan Komisaris akan mempengaruhi fungsi monitoring yang dijalankan oleh perusahaan. Kecilnya jumlah Dewan Komisaris sebuah perusahaan mengindikasikan bahwa fungsi monitoring yang dijalankan dalam perusahaan tersebut relatif lebih lemah, dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami tekanan keuangan. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi ukuran Dewan Komisaris sebuah perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Namun situasi yang berbeda apabila ukuran Dewan Komisaris dalam sebuah perusahaan cenderung lebih rendah dimana menunjukkan kurangnya pengawasan untuk Dewan Direksi, sehingga dapat memicu terjadinya kesalahan dalam pengambilan 47 keputusan yang berujung pada terjadinya masalah perekonomian pada perusahaan. Penelitian ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Platt dan Platt (2012); Triwahyuningtias (2012); Brédart (2014); Hadi (2014); Manzaneque et al (2016); serta Setiawan et al (2016) yang menunjukkan hasil sama. Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5: Dewan Komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress 2.2.6 Komite Audit dan Financial Distress Berdasarkan pada Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (KNKG, 2006), pembentukan komite audit perlu menyesuaikan antara jumlah anggota Komite Audit dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas pengambilan keputusan. Anggota Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh Komisaris Independen dan anggotanya dapat terdiri dari Komisaris dan/atau pelaku profesi dari luar perusahaan dimana salah satu anggotanya harus mempunyai latar belakang dan kemampuan dalam bidang akuntansi dan/atau keuangan. Pengendalian internal perusahaan melalui keberadaan Komite Audit sebagai salah satu dari mekanisme corporate governance kurang efektif untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian masalah keagenan. Faktor kualitatif lainnya seperti tingkat komitmen anggota Komite Audit, kualitas diskusi selama pertemuan, dan lingkungan kerja organisasi memiliki pengaruh yang besar 48 terhadap kinerja Komite Audit sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam menghindari kondisi financial distress (Niarachma, 2012). Berdasarkan pada penelitian Li et al (2008); Lakshan dan Wijekoon (2012); serta penelitian Platt dan Platt (2012) menyebutkan bahwa ukuran Komite Audit memiliki pengaruh negatif terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ukuran Komite Audit sebuah perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Hal ini dikarenakan efektifitas Komite Audit mengalami peningkatan pada saat jumlah dari sumber daya Komite Auditnya lebih, sehingga Komite Audit diharapkan semakin handal dalam menyelesaikan berbagai masalah keagenan yang mungkin dihadapi oleh perusahaan. Selain itu, efektifitas Komite Audit diharapkan mampu meningkatkan perolehan keuntungan perusahaan dengan penetapan kebijakan kebijakan terbaru. Namun apabila kondisi ukuran Komite Audit dalam sebuah perusahaan rendah, maka dapat menunjukkan tingkat efektifitas Komite Audit juga cenderung rendah. Kondisi ini disebabkan karena sumber daya perusahaan yang tidak memadahi untuk menghadapi situasi menyulitkan di masa mendatang. Terlebih saat antar Komite Audit tidak melakukan pertukaran pendapat dalam menyikapi suatu permasalahan, sehingga pendapat Komite Audit justru menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang berujung pada terjadinya financial distress. Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap financial distress 49 2.3 Kerangka Penelitian Dalam bagian ini ditunjukkan kerangka pemikiran berdasarkan telaah pustaka diatas untuk menggambarkan hubungan dari variabel independen, diantaranya adalah Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, ukuran Dewan Direksi, ukuran Dewan Komisaris, dan jumlah Komite Audit terhadap variabel dependen Financial Distress. Kerangka pemikiran dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian