15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Financial

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Financial Distress
Perusahaan yang dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak mampu
untuk memenuhi permintaan pasar (konsumen) dan tidak mampu bersaing dengan
perusahaan lainnya, cepat atau lambat akan mengalami kondisi terburuk seperti
kegagalan atau kebangkrutan. Terjadinya kesulitan keuangan dalam sebuah
perusahaan dapat mencerminkan ketidakmampuan perusahaan untuk tetap
bertahan dan survive dengan segala kondisi permasalahan yang dihadapi
perusahaan dalam dunia bisnis. Vinh (2015) menyebutkan bahwa kesulitan
keuangan atau financial distress merupakan sebuah kondisi permasalahan
perekonomian yang dialami oleh perusahaan sebagai bentuk dari kemunduran
kinerja sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan.
Konsekuensi ekonomi yang dapat diterima oleh perusahaan apabila
mengalami kegagalan sangat besar, terutama bagi para pemangku kepentingan di
perusahaan go public. Sebelum terjadinya kegagalan, biasanya perusahaan akan
mengalami tekanan keuangan sehingga manajemen dapat menentukan metode
yang tepat untuk mengidentifikasi kondisi tersebut (Ko et al, 2001). Financial
distress disini dapat dimulai dari gejala yang paling ringan, diantaranya adalah
kenaikan bahan baku yang dapat meningkatkan biaya suatu produk, penurunan
15
16
pada tingkat penjualan perusahaan, dan pengurangan jumlah tenaga kerja dalam
perusahaan atau lebih dikenal dengan nama PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa financial distress merupakan
permasalahan serius dalam perusahaan yang dapat memicu keterpurukan bagi
perusahaan, karena pada akhirnya dapat membawa perusahaan menuju kegagalan
atau kebangkrutan dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Apabila sebuah
perusahaan didapati sudah berada dalam tahap kebangkrutan, maka perusahaan
tersebut dikatakan sudah mati dalam menjalankan aktivitas bisnisnya dan kondisi
keuangan perusahaan sudah tidak dapat diperbaiki kembali.
Menurut Drescher (2014: 25), financial distress adalah tahap akhir dari
krisis likuiditas dan berpotensi termasuk ke dalam tahap kebangkrutan. Artinya
bahwa perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban yang sudah
jatuh tempo kepada kreditur. Pada pandangan yang lebih luas, financial distress
sebuah perusahaan dapat diidentifikasi saat kondisi perekonomian perusahaan
memburuk bahkan mekakukan pelanggaran terhadap perjanjian dengan kreditur
sehingga mengakibatkan munculnya default (tindakan hukum).
Berdasarkan pada literatur, Gamayumi (2011) dalam Ellen dan Juniarti
(2013) mengklasifikasikan beberapa definisi mengenai financial distress,
diantaranya adalah:
a. Economic Failure
Economic failure atau kegagalan dalam arti perekonomian dapat terjadi
pada saat pendapatan perusahaan tidak mampu menutup biaya keseluruhan
17
termasuk biaya modal. Nilai sekarang dari arus kas sebenarnya lebih kecil
dibandingkan dengan kewajiban, atau laba yang lebih kecil daripada
modal kerja. Terjadinya kegagalan pada perusahaan yang mengalami
economic failure atau economic distress ini adalah jika arus kas yang
diharapkan atau tingkat pendapatan atas biaya historis dan investasi jauh
lebih kecil dibandingkan biaya modal yang dikeluarkan untuk investasi.
b. Business Failure
Business failure atau kegagalan dalam arti bisnis menggambarkan bahwa
perusahaan mengalami kondisi bisnis yang tidak menguntungkan, dimana
perusahaan terpaksa harus menghentikan kegiatan operasionalnya karena
ketidakmampuannya untuk menghasilkan keuntungan demi menutupi
jumlah pengeluaran.
c. Technical Insolvency
Sebuah perusahaan dapat dikategorikan mengalami kondisi technical
insolvency apabila pada perusahaan tersebut tidak memiliki kemampuan
untuk melunasi seluruh kewajiban jatuh temponya akibat dari kepemilikan
aktiva lancar yang tidak mencukupi.
d. Insolvency in Bankruptcy Sense
Insolvency in bankruptcy sense disini merupakan sebuah keadaan yang
dialami oleh perusahaan, dimana nilai buku dari keseluruhan kewajiban
melebihi nilai pasar dari aktiva perusahaan sehingga ekuitasnya menjadi
negatif.
18
e. Legal Bankruptcy
Legal bankruptcy merupakan sebuah istilah kegagalan yang seringkali
digunakan dalam perusahaan. Sebuah perusahaan tidak dapat dikatakan
bangkrut secara hukum, kecuali diajukan tuntutan secara resmi dengan
Undang - Undang federal.
Financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan
pembayaran tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak yang sudah ada. Anggarini
(2010) menyebutkan kondisi perusahaan yang mengalami financial distress,
antara lain:
a. Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk melunasi seluruh kewajiban
yang sudah jatuh tempo kepada kreditur.
b. Perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency), artinya perusahaan
tidak memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran. Pengertian ini
dijelaskan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Adapun dampak lain dari financial distress antara lain: risiko dalam biaya
dari financial distress berdampak negatif bagi perusahan sebagai pengganti
kerugian pajak seiring dengan adanya kenaikan hutang perusahaan. Kemudian
hubungan terhadap konsumen, pemasok, karyawan dan kreditur menjadi renggang
akibat dari keraguan pihak - pihak tersebut terkait dengan eksistensi perusahaan di
masa mendatang. Fokus dari manajemen pada umumnya hanya berfokus kepada
aliran kas jangka pendek perusahaan dibanding kesehatan perusahaan dalam
19
jangka panjang, sehingga biaya jangka panjang pada saat perusahaan mengalami
kondisi financial distress menjadi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan
biaya jangka pendeknya (Kamaludin dan Pribadi, 2011).
Oleh karena financial distress memberikan dampak buruk bagi
perusahaan, maka manajemen perlu melakukan penanganan terhadap kondisi
financial distress dan mencegah kemungkinan perusahaan terjerumus ke dalam
masalah kebangkrutan. Berikut merupakan solusi yang dapat diterapkan bagi
perusahaan dengan arus kas negatif menurut Pustylnick (2012), antara lain:
a. Restrukturisasi hutang, dimana manajemen memerlukan perpanjangan
waktu dari kreditur perihal pelunasan hutang.
b. Perubahan dalam manajemen, diperlukan untuk menentukan manajemen
yang lebih berkompetensi, sehingga dapat mengembalikan kepercayaan
dari pada investor, kreditur.
Menurut Platt dan Platt (2002) sistem peringatan dini (early warning
system) perlu dikembangkan untuk mengantisipasi terjadinya financial distress.
Manajemen menyediakan alat yang ampuh untuk membantu mengidentifikasi
financial distress tersebut dan diharapkan dapat memperbaiki masalah ekonomi
perusahaan sebelum mencapai krisis. Penetapan kontrak jangka panjang antara
perusahaan manufaktur dengan pemasok yang terpilih dan bersertifikat dapat
menjadi salah satu langkah early warning system guna menghindari gangguan
produksi dan jadwal distribusi dari perusahaan manufaktur. Early warning system
memberikan manfaat bukan hanya kepada pihak internal perusahaan, namun juga
20
pihak eksternal perusahaan. Bagi pihak internal, prediksi financial distress dapat
membantu dalam pengambilan tindakan lebih lanjut terhadap kondisi keuangan
perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan. Sedangkan bagi pihak eksternal,
prediksi financial distress dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan
apakah akan melakukan aktivitas bisnis berkaitan dengan proses investasi dan
pendanaan ke dalam perusahaan (Putri dan Merkusiwati, 2014).
Menurut Almilia dan Kristijadi (2003) dalam Dwijayanti (2010), terdapat
beberapa pihak berkepentingan yang memanfaatkan prediksi financial distress:
a. Kreditur
Kreditur memanfaatkan prediksi financial distress untuk menentukan
apakah akan memberikan pinjaman kepada perusahaan atau tidak serta
menentukan kebijakan dalam mengawasi pinjaman yang sudah diberikan
kepada perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hutang tak
tertagih.
b. Investor
Prediksi financial distress dapat dimanfaatkan oleh investor untuk
menentukan apakah akan melakukan aktivitas investasi atau tidak pada
perusahaan. Selain itu dengan menggunakan prediksi tersebut, maka
investor dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan apakah akan
buy, sell, or hold terhadap saham yang dimiliki oleh investor. Investor
akan memikirkan kondisi yang paling menguntungkan berkaitan dengan
kepemilikan sahamnya di perusahaan.
21
c. Badan Regulator
Tugas badan regulator adalah mengawasi kemampuan perusahaan dalam
melunasi seluruh kewajibannya kepada kreditur dan menstabilkan
perusahaan individu, guna menilai stabilitas perusahaan.
d. Pemerintah
Pemerintah menggunakan prediksi financial distress untuk melakukan
antitrust regulation. Kebijakan ini merupakan langkah dari pemerintah
untuk memerangi monopoli dalam dunia bisnis.
e. Auditor
Model prediksi financial distress disini digunakan auditor untuk
menentukan opini going concern terhadap perusahaan. Apabila dalam
perusahaan diperoleh hasil yang meragukan terhadap going concern-nya,
maka auditor dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian dengan
paragraf penjelas (modified unqualified opinion) atau opini disclaimer.
f. Manajemen
Pengambilan tindakan yang dibutuhkan dalam mengatasi financial distress
dan mencegah kebangkrutan perusahaan menjadi langkah penting yang
dilakukan oleh manajemen untuk mempertahankan eksistensi perusahaan
di dunia bisnis. Apabila mengalami kebangkrutan, maka perusahaan harus
menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak
langsung (kerugian penjualan atau paksaan akibat ketetapan pengadilan).
22
2.1.2
Teori Keagenan
Teori keagenan (agency theory) menggambarkan mengenai praktik
corporate governance dan perilaku terhadap dilema keagenan, artinya bahwa teori
tersebut menjelaskan adanya hubungan kontrak antara principal (pemberi kontrak
atau pemegang saham) dengan agen (penerima kontrak atau Direksi). Direksi
sebagai penerima kontrak berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya
meskipun harus merugikan pemegang saham sebagai pemberi kontrak, karena
pada dasarnya principal dan agen memiliki kepentingan masing - masing untuk
memperbesar keuntungan bagi dirinya sendiri hingga harus merelakan
kepentingan dari pihak lainnya (Tricker, 2015: 61).
Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan melibatkan kontrak
dimana satu orang atau lebih pemegang saham terlibat dengan orang lain (Direksi)
untuk
melakukan
beberapa
layanan
termasuk
mendelegasikan
otoritas
pengambilan keputusan kepada agen serta memberikan instruksi kepada agen
untuk mengelola perusahaan sesuai kehendak principal. Namun, tidak ada alasan
substansial untuk mempercayai bahwa agen akan bertindak demi kepentingan
principal. Kondisi semacam ini tentu dapat menghambat perusahaan dalam
menghasilkan nilai bagi perusahaan itu sendiri dan juga bagi pemegang saham
(shareholders).
Menurut Emirzon (2007) dalam Triwahyuningtias (2012), adanya teori
keagenan pada perusahaan dapat dilandasi oleh 3 (tiga) asumsi penting, antara lain
yakni:
23
a. Asumsi mengenai sifat manusia
Asumsi ini menekankan bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat
untuk mementingkan kepentingan pribadi (diri sendiri), memiliki
keterbatasan rasionalitas, dan tidak memiliki ketertarikan terhadap risiko.
b. Asumsi mengenai keorganisasian
Asumsi ini menekankan adanya konflik yang terjadi antara anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan asymmetric
information antara principal dengan agen.
Asymmetric information merupakan informasi yang tidak seimbang
akibat dari distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen,
sehingga dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yaitu principal
mengalami kesulitan dalam melakukan monitoring dan controlling
terhadap tindakan yang dilakukan agen.
c. Asumsi mengenai informasi
Asumsi ini menekankan bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Kontrak kerja pada awal masa kerja dapat dijadikan sebagai salah satu
jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara principal
dengan agen. Adanya bukti tertulis perihal hak - hak dan kewajiban dari masing masing yang disepakati bersama oleh principal dengan agen mengakibatkan
konflik keagenan dapat diminimalisir (Agusti, 2013). Berikut merupakan 2 (dua)
24
asumsi dasar dari kontrak efisien seperti yang diungkapkan Widyantari (2011)
dalam Agusti (2013), diantaranya adalah:
a. Agen dan principal memiliki informasi yang simetris, artinya bahwa agen
maupun principal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama.
Oleh karena itu, segala bentuk informasi yang dimiliki adalah transparan
dan tidak ada kerahasiaan diantara agen dan principal terlebih perihal
dalam perolehan keuntungan pribadi.
b. Risiko yang dipikul oleh agen berkaitan dengan perolehan imbalan jasa
kecil, sehingga menjadikan agen memiliki kepastian perihal imbalan yang
diterimanya.
Beaver (2002) dalam Rinaldi et al (2014) menjelaskan mengenai dua
kategori motivasi manajemen akrual, yaitu opportunistic dan signaling.
Opportunistic merupakan motivasi yang didasarkan pada kontrak yang telah
disepakati bersama dengan pihak pemilik, dimana menggambarkan kebijakan
aggressive
accounting
manajemen
untuk
melakukan
window
dressing
(manipulasi) terhadap laba perusahaan, sehingga mengakibatkan laporan laba
mengarah kepada overstate earnings. Sedangkan signaling menggambarkan
penyajian informasi keuangan oleh manajemen untuk memberikan sinyal
kemakmuran kepada pemegang saham.
Perkembangan yang terus menerus terjadi mengakibatkan teori keagenan
memperoleh respon yang luas karena dipandang mampu mencerminkan kenyataan
yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang
25
dengan tumpuan teori keagenan, dimana pengelolaan dilakukan penuh dengan
kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku (Kaihatu, 2006).
Penerapan suatu mekanisme pengendalian demi mensejajarkan perbedaan
kepentingan di antara agen dan principal menjadi penting untuk dilakukan,
mengingat bahwa masing - masing dari agen maupun principal masih lebih
mendahulukan kepentingan pribadi. Mekanisme corporate governance diperlukan
untuk mengurangi terjadinya masalah keagenan antara agen sebagai pemilik dan
principal sebagai pengelola perusahaan, sehingga dapat diperoleh keselarasan
kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajer (Triwahyuningtias, 2012).
2.1.3
Corporate Governance
The Indonesian Institute for Corporate Governance (www.iicg.org)
menyatakan bahwa Good Corporate Governance (GCG) merupakan struktur,
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ - organ perusahaan sebagai upaya
untuk memberi nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan dari stakeholder lainnya,
berlandaskan pada moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya sehingga
rangkaian mekanisme ini mampu mengarahkan dan mengendalikan suatu
perusahaan agar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para
pemangku kepentingan (stakeholders).
Sedangkan menurut Forum Corporate Governance for Indonesia
(www.fcgi.or.id) mendefinisikan corporate governance sebagai perangkat
26
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal
maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak - hak dan kewajiban mereka.
Tujuan dari adanya corporate governance disini adalah untuk menciptakan nilai
tambah bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan dapat
memperbaiki kinerja perusahaan menjadi lebih baik.
Corporate governance merupakan rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan,
aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta
pengendalian perusahaan mencakup hubungan antara pemangku kepentingan yang
terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak utama dalam tata kelola
perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan Dewan Direksi (Zuhdi et al,
2015). Maksud dari adanya corporate governance adalah untuk mengatur
hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan dalam strategi korporasi dan
memastikan kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki sesegera mungkin
(Triwahyuningtias, 2012). Good Corporate Governance (GCG) merupakan
prinsip yang universal sehingga mampu digunakan sebagai bahan rujukan bagi
negara manapun. Perbedaan antara GCG di negara satu dengan negara yang
lainnya terletak pada sistemnya, baik sistem hukum, keadaan dan perkembangan
kemajuan, serta kultur bangsa itu sendiri. Penerapan governance yang baik dapat
dipicu oleh berbagai pendekatan sesuai dengan kondisi dan waktu yang ada.
Pendekatan yang dilakukan ada 2 (dua), yaitu pendekatan sistem yang sarat akan
segala macam aturan yang ada, dibandingkan dengan pendekatan etika (Soft Law)
(Daniri, 2008 dalam Wibowo, 2010).
27
Berdasarkan pada Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia (KNKG, 2006), Good corporate governance (GCG) diperlukan untuk
mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, serta konsisten dengan
peraturan perundang - undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh 3 (tiga)
pilar yang saling berhubungan, antara lain negara dan perangkatnya sebagai
regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing masing pilar yaitu:
a. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang - undangan
yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan,
melaksanakan peraturan perundang - undangan dan penegakan hukum
secara konsisten (consistent law enforcement).
b. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan Good Corporate
Governance sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
c. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak
yang terkena dampak dari perusahaan, menunjukkan kepedulian dan
melakukan kontrol sosial secara objektif dan bertanggung jawab.
Sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011
tentang Good Corporate Governance, setiap perusahaan perlu memastikan
penerapan prinsip GCG dalam segala aspek. Prinsip - prinsip tersebut diantaranya
adalah:
28
a. Transparansi (Transparency)
Demi menjaga objektivitas dalam menjalankan aktivitas bisnisnya,
perusahaan memerlukan segala bentuk informasi yang material dan
relevan dengan cara yang mudah diakses dan mudah dipahami oleh
pemangku kepentingan. Informasi yang disediakan tersebut juga harus
memiliki nilai informatif sehingga dapat dijadikan sebagai dasar
pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku
kepentingan lainnya.
Laporan keuangan perusahaan merupakan sumber informasi
keuangan maupun non keuangan yang dimiliki oleh perusahaan, disajikan
sesuai dengan fakta yang ada sehingga laporan keuangan tersebut bersifat
informatif. Informatif disini dapat mengartikan bahwa informasi yang
disampaikan oleh perusahaan secara transparan kepada pihak - pihak
berkepentingan sebagai dasar pengambilan keputusan. Di Indonesia,
laporan keuangan perusahaan dapat dengan mudah diakses melalui Bursa
Efek Indonesia (Indonesian Stock Exchange).
b. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Oleh karenanya, perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan. Tentunya
pengelolaan
perusahaan
tetap
memperhitungkan
kepentingan
dari
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas
29
merupakan syarat penting yang diperlukan perusahaan untuk dapat
mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Penerapan asas ini menggambarkan bahwa Dewan Direksi dan
Dewan Komisaris memiliki peran penting dari segi pengendalian. Dewan
Direksi bertugas untuk menjalankan operasional perusahaan, sedangkan
Dewan Komisaris mengawasi jalannya perusahaan atau dalam arti lain
mengawasi kinerja Direksi. Kinerja yang dilakukan Dewan Direksi
maupun Dewan Komisaris harus sesuai dengan tujuan dari perusahaan.
c. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan wajib untuk mematuhi segala bentuk kebijakan dan peraturan
perundang - undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dapat terpelihara dan bisa memperoleh pengakuan sebagai good
corporate citizen.
Berdasarkan pada asas responsibilitas, Dewan Direksi, Dewan
Komisaris, dan Komite Audit perlu untuk memahami hak, kewajiban,
wewenang, serta tanggung jawabnya dalam perusahaan. Hal ini menjadi
penting agar Dewan Direksi, Dewan Komisaris, maupun Komite Audit
mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal dan profesional.
d. Independensi (Independency)
Agar memperlancar pelaksanaan asas Good Corporate Governance
(GCG), perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing -
30
masing organ perusahaan tidak akan saling mendominasi satu sama lain
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lainnya.
Berdasarkan pada asas independensi, Audit Internal perusahaan
memiliki kendali dalam bertanggung jawab secara langsung terhadap
Presiden Direktur dan dalam tugasnya memberikan laporan kepada
Presiden Direktur dan Dewan Komisaris (melalui Komite Audit). Untuk
mempertahankan objektivitas, Audit Internal tidak memiliki wewenang
atas proses transaksi harian dan aktivitas transaksi lainnya pada unit kerja
yang diperiksa.
e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Perusahaan senantiasa harus memperhatikan kepentingan dari pemegang
saham dan pemangku kepentingan yang lainnya berdasarkan pada asas
kewajaran dan kesetaraan (fairness) dalam melaksanakan kegiatan
bisnisnya.
Berdasarkan pada asas ini, Dewan Direksi dan Dewan Komisaris
perlu melakukan pengamanan terhadap investasi dan aset perusahaan
untuk menghindari kemungkinan terjadinya berbagai bentuk kecurangan.
Dewan Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal meliputi
bidang keuangan, operasional, risk management, serta kepatuhan.
Sedangkan Dewan Komisaris menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang oleh Dewan Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.
31
2.1.3.1 Dewan Direksi
Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan
Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh
atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Di dalam pasal 92 ayat (3)
menyebutkan bahwa Dewan Direksi sebaiknya terdiri atas 2 (dua) orang atau
lebih. Pembagian tugas dan wewenang antara anggota Direksi ditetapkan
berdasarkan pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun
apabila dalam RUPS tidak menetapkan hal tersebut, maka pembagian tugas dan
wewenang didasarkan kepada keputusan dari Dewan Direksi. Direksi dalam
menjalankan kepengurusannya harus sesuai dengan maksud dan tujuan dari
perusahaan, dimana berdasarkan pada kebijakan yang dipandang tepat dan dalam
batas yang ditentukan dalam Undang - Undang dan/atau anggaran dasar.
Menurut Basri (2008) dalam Triwahyuningtias (2012), seorang Dewan
Direksi harus memiliki kemampuan dalam merumuskan strategi agar menciptakan
bisnis yang efektif dan efisien dengan turbulensi kondisi internal dan eksternal.
Anggota dari Dewan Direksi perlu memiliki reputasi moral yang baik dan
kompetensi teknis yang mendukung dengan penetapan standar profesionalisme
tertentu. Berdasarkan pada prinsip GCG berkaitan dengan asas transparansi
(transparency), maka Dewan Direksi berkewajiban menjaga transparansi dalam
menjalankan operasional perusahaan sehingga penyampaian segala informasi
kepada stakeholders menjadi jelas.
32
2.1.3.2 Dewan Komisaris
Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan
Komisaris adalah organ dalam perusahaan yang bertugas untuk melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
perusahaan serta memberikan nasihat atau arahan kepada Direksi. Di dalam pasal
108 ayat (5) menyebutkan bahwa Dewan Komisaris setidaknya terdiri atas 2 (dua)
orang atau lebih anggota. Anggota dari Dewan Komisaris ini diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat
kembali. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib untuk beritikad baik, berhati hati, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya demi kepentingan
perusahaan. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian perusahaan apabila terbukti bersalah atau lalai dalam
menjalankan tugasnya.
Dewan Komisaris memiliki peran penting dalam kaitannya controlling
implementasi strategi yang ditetapkan oleh Dewan Direksi. Dewan Komisaris
bertanggung jawab secara penuh untuk mengawasi dan memantau segala tindakan
yang dilakukan oleh Direksi, serta memberikan nasihat jika dipandang perlu.
Komposisi dari Dewan Direksi harus memungkinkan dalam pengambilan
keputusan yang efektif, tepat dan cepat, serta independen. Artinya bahwa Dewan
Komisaris tidak diperbolehkan untuk menekan kemampuannya dalam bertindak
kritis terhadap Dewan Direksi dikarenakan beberapa faktor yang kemungkinan
dapat mengganggu kerja Dewan Komisaris dan dapat mengurangi objektivitasnya
(Triwahyuningtias, 2012).
33
2.1.3.3 Komite Audit
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006), Komite
Audit merupakan suatu komite yang beranggotakan oleh 1 (satu) atau lebih
anggota Dewan Komisaris dan dapat meminta kalangan luar dengan berbagai
keahlian, pengalaman, dan kualitas lain yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
Komite Audit. Komite Audit dibentuk oleh Dewan Komisaris bertujuan untuk
membantu kinerja dan fungsi dari Dewan Komisaris. Komite yang dibentuk oleh
Dewan Komisaris antara lain Komite Audit, Komite Kebijakan Risiko, Komite
Remunerasi dan Nominasi, serta Komite Kebijakan Corporate Governance.
Namun, berdasarkan peraturan Bapepam Nomor KEP-339/BEJ/2001, yang wajib
dimiliki oleh perusahaan yang terdaftar di BEI hanya Komite Audit.
Tugas dan tanggung jawab Komite Audit berdasarkan pada Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-643/BL/2012 antara lain:
a. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan
Emiten atau Perusahaan Publik kepada dan/atau pihak otoritas antara lain
laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi
keuangan Emiten atau Perusahaan Publik;
b. Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundang undangan yang berhubungan dengan kegiatan Emiten atau Perusahaan
Publik;
c. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat
antara manajemen dan Akuntan atas jasa yang diberikannya;
34
d. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan
Akuntan independen, ruang lingkup penugasan, dan fee;
e. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal
dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas temuan auditor
internal;
f. Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko
yang dilakukan oleh Direksi, jika Emiten atau Perusahaan Publik tidak
memiliki fungsi pemantau risiko di bawah Dewan Komisaris;
g. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan
pelaporan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik;
h. Menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan
adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik; dan
i. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi Emiten atau
Perusahaan Publik.
Di Indonesia, keanggotaan Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan
sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh Komisaris Independen
perusahaan dengan 2 (dua) orang eksternal independen terhadap perusahaan, serta
setidaknya salah satunya menguasai bidang akuntansi dan keuangan. Jumlah
anggota Komite Audit ini dimaksudkan agar Komite Audit dapat melakukan rapat
dan bertukar pendapat satu sama lain karena tiap anggota Komite Audit memiliki
pengalaman tata kelola perusahaan dan pengetahuan keuangan yang berbeda
(Nuresa dan Hadiprajitno, 2013).
35
2.1.4
Indikator Keuangan
Indikator keuangan dapat dikatakan sebagai indikator kinerja keuangan
perusahaan. Kinerja Keuangan perusahaan merupakan hasil atau kondisi keuangan
suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan untuk suatu
periode tertentu yang disajikan di dalam laporan keuangan perusahaan (Jiming
dan Wei Wei, 2011).
2.1.4.1 Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
pada periode tertentu. Laba seringkali dijadikan sebagai salah satu ukuran kinerja
sebuah perusahaan, dimana ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi
mengindikasikan bahwa kinerja perusahaan baik. Selain itu, laba dijadikan
sebagai indikator kemampuan perusahaan dalam memenuhui kewajiban bagi
pemegang saham dan menciptakan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek di
masa mendatang. Laba seringkali dibadingkan dengan penjualan, aktiva, dan
ekuitas yang disebut dengan rasio profitabilitas (Horne dan Wachowicz, 2013
dalam Novita dan Sofie, 2015).
Sedangkan menurut Kabajeh et al (2012) menyebutkan bahwa rasio
profitabilitas merupakan indikator untuk efisiensi keseluruhan perusahaan, artinya
dijadikan sebagai ukuran untuk perolehan laba selama periode waktu tertentu
berdasarkan pada tingkat penjualan, aktiva, modal yang digunakan, kekayaan
bersih, dan earning per share. Rasio profitabilitas digunakan sebagai indikator
36
untuk pertumbuhan, keberhasilan, dan kontrol yang penting bagi pihak eksternal
pengguna
laporan
keuangan
perusahaan.
Investor
menggunakan
rasio
profitabilitas untuk menunjukkan kemajuan dan return investasi perusahaan.
Sedangkan bagi kreditur memanfaatkan rasio profitabilitas untuk menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban bunga.
2.1.4.2 Likuiditas
Munawir (2010) dalam Novita dan Sofie (2015) mengemukakan bahwa
likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
keuangan yang harus segera dipenuhi atau dengan kata lain kewajiban keuangan
pada saat ditagih. Perusahaan yang memiliki kemampuan dalam membayar
kewajiban jangka pendeknya dikategorikan bahwa perusahaan tersebut liquid,
sedangkan bagi perusahaan yang tidak berkemampuan dalam membayar
kewajiban jangka pendeknya dikategorikan iliquid. Dari rasio ini, banyak
pandangan ke dalam yang bisa didapatkan mengenai kompetensi keuangan
perusahaan saat ini dan kemampuan perusahaan untuk tetap kompeten jika terjadi
masalah (Triwahyuningtias, 2012).
Costea dan Hostiuc (2009) menyatakan bahwa rasio likuiditas penting
dalam sebuah perusahaan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melunasi
kewajiban saat berlangsungnya aktivitas bisnis. Analisis rasio likuiditas berfokus
pada ukuran dimana perusahaan memiliki kemampuan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendek (kurang dari 1 tahun), kewajiban yang sudah jatuh
37
tempo yang harus dipenuhi menggunakan aktiva perusahaan atau dikenal dengan
istilah transformation in liquidity. Apabila tidak dapat terpenuhi, maka kondisi ini
menunjukkan bahwa perusahaan terindikasi menghadapi kesulitan dalam
memenuhi kewajiban jatuh temponya. Faktor - faktor yang mempengaruhi
likuiditas antara lain aktivitas, tingkat kematangan perusahaan dan ukuran
perusahaan, season dari bisnis, keadaan ekonomi, sktuktur aktiva, struktur aktiva
lancar, tingkat perputaran aktiva lancar, dan struktur keuangan perusahaan. Pada
akhirnya, terdapat hubungan antara rasio likuiditas dengan rasio profitabilitas
(Saleem dan Rehman, 2011).
2.1.4.3 Leverage
Warsono (2003:204) dalam Ritonga et al (2014) menjelaskan bahwa rasio
leverage disini merupakan rasio yang menggambarkan setiap penggunaan aktiva
dan dana perusahaan yang membawa konsekuensi biaya dan beban tetap. Apabila
perusahaan menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari luar perusahaan,
maka beban tetap yang ditanggung akan berbentuk bunga pinjaman. Sedangkan
jika perusahaan menggunakan mesin - mesin dalam aktivitas bisnisnya, maka
beban tetapnya berupa biaya penyusutan mesin. Selain itu juga apabila perusahaan
menyewa suatu aktiva tetap kepada pihak lain (pihak ketiga), maka
konsekuensinya yaitu harus membayar biaya tetap berupa biaya sewa. Tujuan
perusahaan menggunakan rasio leverage adalah untuk meningkatkan hasil
pengembalian bagi para pemegang saham biasa.
38
Terdapat 2 (dua) macam leverage dalam suatu perusahaan, antara lain
leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage).
Penggunaan kedua leverage ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya aktiva dan sumber dananya sehingga
memberikan keuntungan yang lebih kepada para pemegang saham (Martono dan
Harjitno, 2005:295 dalam Ritonga et al, 2015).
2.2
Pengembangan Hipotesis
Hipotesis memperlihatkan hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam
penelitian ini, hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:
2.2.1
Profitabilitas dan Financial Distress
Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba pada periode tertentu. Indikator keuangan yang
digunakan dalam rasio profitabilitas penelitian ini adalah Return on Asset (ROA)
yang
merupakan
rasio
untuk
mengukur
efektivitas
perusahaan
dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki perusahaan,
dimana menyebabkan adanya efektivitas dari penggunaan aktiva perusahaan.
Dengan kata lain, perusahaan dapat menekan sejumlah pengeluaran biaya yang
seharusnya dan dapat melakukan penghematan, sehingga dana yang dimiliki
perusahaan menjadi mencukupi untuk menjalankan aktivitas bisnisnya.
39
Profitabilitas dengan proksi ROA yang positif dapat menunjukkan bahwa
kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan seluruh aktiva yang dimiliki untuk
kegiatan operasional perusahaan membuahkan hasil, dimana perusahaan dapat
mengalami peningkatan perolehan keuntungan atau laba. Sebaliknya, ROA yang
negatif menunjukkan bahwa perusahaan kurang berhasil dalam mengelola
keseluruhan aktiva yang dimiliki untuk kegiatan operasional perusahaan, sehingga
memberikan kemungkinan terjadinya kerugian bagi perusahaan. ROA dapat
dijadikan sebagai dasar penilaian efektivitas penggunaan aktiva perusahaan untuk
menghasilkan laba. Semakin tinggi laba yang diperoleh sebuah perusahaan, maka
ROA juga semakin tinggi. Ini menandakan bahwa perusahaan secara efektif dapat
memaksimalkan penggunaan aktiva yang dimiliki untuk aktivitas bisnisnya dan
tentunya dapat memberikan kesejahteraan bagi pemegang saham dengan adanya
peningkatan profitabilitas. Sedangkan bagi perusahaan yang merugi, ROA yang
dimiliki rendah dan cenderung negatif. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
belum dapat mengoptimalkan penggunaan aktivanya secara efektif dalam aktivitas
bisnisnya.
Dalam penelitian Darus dan Mohamad (2011) serta Al-Khatib dan AlHorani (2012) menunjukkan hasil bahwa ROA berpengaruh negatif terhadap
financial distress. Ini membuktikan bahwa semakin tinggi ROA sebuah
perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada
perusahaan tersebut. Kondisi tersebut dapat terjadi dikarenakan perusahaan
mampu mengoptimalkan penggunaan keseluruhan aktiva untuk aktivitas bisnisnya
yang berubah menjadi laba bagi perusahaan, sehingga peluang perusahaan untuk
40
terus bersaing dalam dunia bisnis masih tinggi. Berbeda halnya apabila ROA yang
dimiliki perusahaan rendah dimana menunjukkan bahwa kinerja perusahaan
cenderung tidak baik karena perusahaan tidak mampu mengoptimalkan
penggunaan keseluruhan aktivanya untuk menjalankan aktivitas bisnis. Kondisi
ini mengakibatkan profitabilitas perusahaan menurun dan perusahaan menjadi
rentan mengalami financial distress. Penjelasan tersebut juga didukung oleh
penelitian dari Andre (2013); Zare et al (2013) dan Cruz et al (2014) yang
menunjukkan bahwa ROA memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap financial distress.
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap financial distress
2.2.2
Likuditas dan Financial Distress
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mendanai
operasional perusahaan dan melunasi kewajiban jangka pendek perusahaan.
Indikator keuangan yang digunakan dalam rasio likuiditas penelitian ini adalah
Current Ratio (CR) yang merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya dengan
menggunakan aktiva lancarnya. Rasio ini dapat dirasakan langsung oleh kreditur
sebagai pemberi pinjaman, dimana kreditur dapat secara langsung memantau
kegiatan operasional yang ada dalam perusahaan. Menurut Ardiyanto (2011)
dalam Agusti (2013), perusahaan setidaknya memiliki aktiva lancar 2 (dua) kali
41
lebih besar daripada kewajiban jangka pendeknya, sehingga apabila dibutuhkan
dana untuk menutup kewajiban lancarnya sewaktu - waktu perusahaan dapat
menyediakan dana tersebut dengan cepat.
Likuiditas dengan proksi CR yang positif dapat menunjukkan bahwa
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya
dengan menggunakan aktiva lancarnya terpantau baik, sehingga perusahaan dapat
melakukan pelunasan terhadap seluruh kewajiban jangka pendeknya kepada
kreditur dengan menggunakan aktiva lancarnya. Sebaliknya, CR yang negatif
menunjukkan bahwa perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban finansial
jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan,
sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi seluruh kewajiban
jangka pendeknya yang tertagih kepada kreditur. Kondisi ini dapat memperbesar
kemungkinan perusahaan akan memunculkan hutang baru untuk dapat menutup
kewajiban lancar yang telah jatuh tempo.
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Elloumi dan
Gueyié (2001); Jiming dan Weiwei (2011); serta Ellen dan Juniarti (2013)
menunjukkan bahwa CR mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
financial distress. Oleh karena itu hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya,
maka semakin kecil terjadinya financial distress pada perusahaan. Hal ini
dikarenakan perusahaan memiliki jumlah aktiva lancar yang mencukupi untuk
melunasi seluruh kewajiban finansial jangka pendeknya kepada kreditur, sehingga
perusahaan dikategorikan liquid. Dilihat dari sudut pandang kreditur, perusahaan
42
yang memiliki kemampuan dalam melunasi hutang jatuh temponya dengan
menggunakan aktiva lancarnya ini dapat meningkatkan kepercayaan kreditur dan
dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan pinjaman kembali di
masa mendatang. Kepercayaan dari pihak kreditur disini juga mampu menjadi
pemicu suksesnya sebuah perusahaan di masa mendatang karena perusahaan tetap
dapat menjaga eksistensinya.
Berbeda halnya apabila CR dalam sebuah perusahaan diketahui rendah,
dimana jumlah aktiva lancar perusahaan tidak mencukupi untuk melunasi
kewajiban finansial jangka pendek perusahaan terhadap kreditur atau perusahaan
dikategorikan
sebagai
perusahaan
iliquid.
Akibatnya,
perusahaan
harus
memunculkan hutang baru untuk menutup hutang yang sudah jatuh tempo.
Apabila terjadi terus menerus, maka perusahaan akan rentan mengalami financial
distress karena jumlah hutang yang tidak ada ujungnya. Apabila ditinjau dari
sudut pandang kreditur, maka ada kekhawatiran tersendiri dari pihak kreditur
mengenai kemungkinan timbulnya hutang tak tertagih. Selain itu terjadi krisis
kepercayaan kepada perusahaan, sehingga memungkinkan pihak kreditur tidak
akan memberikan pinjaman di masa mendatang. Penelitian ini diperkuat pula oleh
penelitian dari Istiantoro (2015); Shahwan (2015); serta Yayanti dan Yanti (2015)
yang menunjukkan hasil sama bahwa CR berpengaruh signifikan negatif terhadap
kondisi financial distress.
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Likuiditas berpengaruh negatif terhadap financial distress
43
2.2.3
Leverage dan Financial Distress
Rasio leverage sendiri merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam melakukan perbandingan antara dana yang disediakan pemilik
dengan dana yang diperoleh dari peminjaman oleh pihak kreditur, dengan kata
lain mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendek maupun jangka panjang apabila suatu saat perusahaan dilikuidiasi maupun
dibubarkan. Indikator keuangan yang digunakan dalam rasio leverage penelitian
ini adalah Debt to Assets Ratio (DAR) yang merupakan rasio untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang perusahaan
tersebut dengan menggunakan keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan.
Sebuah perusahaan dapat dikategorikan solvable apabila memiliki jumlah aktiva
yang mencukupi untuk membayar seluruh kewajiban baik yang sudah jatuh tempo
ataupun kewajiban jangka panjangnya kepada kreditur selaku pemberi pinjaman
dana kepada perusahaan. Dalam rasio ini menggambarkan jumlah kepemilikan
seluruh aktiva perusahaan yang bersumber dari hutang atau modal pihak ketiga
(kreditur) untuk menilai keseimbangan dari nilai aktiva terhadap hutang, dimana
komposisi aktiva harus lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Elloumi dan Gueyié (2001); Darus
dan Mohamad (2011); Jiming dan Weiwei (2011); serta Ong et al (2011)
memberikan hasil bahwa rasio leverage berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kondisi financial distress. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
besar kegiatan perusahaan yang dibiayai oleh hutang, semakin besar pula
kemungkinan terjadinya kondisi financial distress akibat dari semakin besar
44
kewajiban perusahaan untuk membayar hutang tersebut. Leverage dengan proksi
DAR yang tinggi dapat menunjukkan bahwa perusahaan memiliki jumlah hutang
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah aktiva atau kekayaannya,
sehingga perusahaan menjadi rentan mengalami masalah keuangan. Kondisi ini
merupakan akibat dari rasio hutang yang memiliki keterkaitan dengan situasi
perekonomian yang sulit pada perusahaan serta suku bunga tinggi yang ditetapkan
oleh kreditur dalam pelunasan seluruh kewajiban perusahaan. Nilai rasio yang
tinggi menunjukkan bahwa kreditur berisiko tidak menerima pelunasan kewajiban
oleh perusahaan, karena kondisi tersebut mengindikasikan kerugian yang dialami
perusahaan. Selain itu, tingginya rasio DAR ini menunjukkan bahwa kegiatan
operasional perusahaan dikendalikan pembiayaan yang dilakukan oleh kreditur.
Proksi DAR yang rendah menggambarkan bahwa perusahaan memiliki
jumlah aktiva yang melebihi dari jumlah keseluruhan kewajiban, sehingga
perusahaan berada pada kondisi perekonomian yang baik dan suku bunga rendah.
Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dan mampu menyejahterakan
pemegang saham melalui pembayaran dividen, oleh karenanya perusahaan dapat
terhindar dari kondisi financial distress. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam
penelitian Andre (2013); Zare et al (2013); Prajamukti (2014); Istiantoro (2015);
dan Utami (2015) dimana leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kondisi financial distress.
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3: Leverage berpengaruh positif terhadap financial distress
45
2.2.4
Ukuran Dewan Direksi dan Financial Distress
Dewan Direksi sebagai salah satu dari mekanisme corporate governance
mengurangi kemungkinan terjadinya masalah keagenan antara pihak agen dengan
principal. Adanya Dewan Direksi disini penting dalam memperbaiki kinerja
perusahaan menjadi jauh lebih baik (Triwahyuningtias, 2012). Dewan Direksi
dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau
strategi perusahaan tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Hasil penelitian dari Bodroastuti (2009); Triwahyuningtias (2012); dan
Setiawan et al (2016) menunjukkan bahwa ukuran Dewan Direksi memiliki
pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress. Semakin tinggi
ukuran Dewan Direksi sebuah perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan
terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Ukuran dan diversitas
Dewan Direksi bermanfaat bagi perusahaan karena menciptakan network dengan
pihak luar dalam menjamin ketersediaan sumber daya. Apabila Dewan Direksi
menentukan kebijakan atau strategi terbaru perusahaan dilakukan dengan
pendekatan dan analisis yang tepat, maka dapat memberikan pengaruh terhadap
perolehan keuntungan bagi perusahaan dengan terjadinya peningkatan perolehan
keuntungan. Oleh karenanya, secara tidak langsung perusahaan akan jauh dari
permasalahan perekonomian (financial distress). Sedangkan rendahnya ukuran
Dewan Direksi sebuah perusahaan menunjukkan bahwa Dewan Direksi dalam
menentukan stategi baru bagi perusahaan kurang tepat karena keterbatasan dari
sumber daya, sehingga menimbulkan kerugian di masa mendatang dan dapat
mengakibatkan terjadinya masalah keuangan pada perusahaan.
46
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Dewan Direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress
2.2.5
Ukuran Dewan Komisaris dan Financial Distress
Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan yang menjalankan fungsi
monitoring dari implementasi kebijakan Direksi berperan penting dalam
meminimalisir masalah keagenan yang terjadi antara agen dan principal. Oleh
sebab itu, Dewan Komisaris perlu melakukan pengawasan dan pemantauan
terhadap kinerja dari Dewan Direksi secara independen agar pencapaiannya sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dan terutama dapat selaras dengan tujuan
utama dari perusahaan (Hadi, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wardhani (2006) menunjukkan
bahwa besar kecilnya jumlah Dewan Komisaris akan mempengaruhi fungsi
monitoring yang dijalankan oleh perusahaan. Kecilnya jumlah Dewan Komisaris
sebuah perusahaan mengindikasikan bahwa fungsi monitoring yang dijalankan
dalam perusahaan tersebut relatif lebih lemah, dibandingkan dengan perusahaan
yang tidak mengalami tekanan keuangan. Hal ini membuktikan bahwa semakin
tinggi ukuran Dewan Komisaris sebuah perusahaan, maka semakin rendah
kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Namun
situasi yang berbeda apabila ukuran Dewan Komisaris dalam sebuah perusahaan
cenderung lebih rendah dimana menunjukkan kurangnya pengawasan untuk
Dewan Direksi, sehingga dapat memicu terjadinya kesalahan dalam pengambilan
47
keputusan yang berujung pada terjadinya masalah perekonomian pada perusahaan.
Penelitian ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Platt dan Platt
(2012); Triwahyuningtias (2012); Brédart (2014); Hadi (2014); Manzaneque et al
(2016); serta Setiawan et al (2016) yang menunjukkan hasil sama.
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H5: Dewan Komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress
2.2.6
Komite Audit dan Financial Distress
Berdasarkan pada Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia (KNKG, 2006), pembentukan komite audit perlu menyesuaikan antara
jumlah anggota Komite Audit dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap
memperhatikan efektifitas pengambilan keputusan. Anggota Komite Audit yang
dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh
Komisaris Independen dan anggotanya dapat terdiri dari Komisaris dan/atau
pelaku profesi dari luar perusahaan dimana salah satu anggotanya harus
mempunyai latar belakang dan kemampuan dalam bidang akuntansi dan/atau
keuangan.
Pengendalian internal perusahaan melalui keberadaan Komite Audit
sebagai salah satu dari mekanisme corporate governance kurang efektif untuk
meningkatkan pengawasan dan pengendalian masalah keagenan. Faktor kualitatif
lainnya seperti tingkat komitmen anggota Komite Audit, kualitas diskusi selama
pertemuan, dan lingkungan kerja organisasi memiliki pengaruh yang besar
48
terhadap kinerja Komite Audit sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam
menghindari kondisi financial distress (Niarachma, 2012).
Berdasarkan pada penelitian Li et al (2008); Lakshan dan Wijekoon
(2012); serta penelitian Platt dan Platt (2012) menyebutkan bahwa ukuran Komite
Audit memiliki pengaruh negatif terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi ukuran Komite Audit sebuah perusahaan, maka semakin
rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan tersebut. Hal
ini dikarenakan efektifitas Komite Audit mengalami peningkatan pada saat jumlah
dari sumber daya Komite Auditnya lebih, sehingga Komite Audit diharapkan
semakin handal dalam menyelesaikan berbagai masalah keagenan yang mungkin
dihadapi oleh perusahaan. Selain itu, efektifitas Komite Audit diharapkan mampu
meningkatkan perolehan keuntungan perusahaan dengan penetapan kebijakan kebijakan terbaru. Namun apabila kondisi ukuran Komite Audit dalam sebuah
perusahaan rendah, maka dapat menunjukkan tingkat efektifitas Komite Audit
juga cenderung rendah. Kondisi ini disebabkan karena sumber daya perusahaan
yang tidak memadahi untuk menghadapi situasi menyulitkan di masa mendatang.
Terlebih saat antar Komite Audit tidak melakukan pertukaran pendapat dalam
menyikapi suatu permasalahan, sehingga pendapat Komite Audit justru
menimbulkan kerugian bagi perusahaan yang berujung pada terjadinya financial
distress.
Berdasarkan argumen diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H6: Ukuran Komite Audit berpengaruh negatif terhadap financial distress
49
2.3
Kerangka Penelitian
Dalam bagian ini ditunjukkan kerangka pemikiran berdasarkan telaah
pustaka diatas untuk menggambarkan hubungan dari variabel independen,
diantaranya adalah Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, ukuran Dewan Direksi,
ukuran Dewan Komisaris, dan jumlah Komite Audit terhadap variabel dependen
Financial Distress. Kerangka pemikiran dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Download