tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Enam puluh lima spesies wereng, terdiri dari 4 spesies subfamili Asiracinae,
4 spesies dari subfamili Stenocracinae, dan 57 spesies dari subfamili Delphacinae
diketahui berasosiasi dengan agroekosistem padi di Asia (Dupo dan Barrion
2009). Walaupun demikian, hanya tiga spesies yang dianggap penting secara
ekonomi, yaitu wereng coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih
(sogatella furcifera), dan wereng coklat kecil (Laodelphax striatellus) (Ooi 2010).
Dua spesies pertama adalah hama penting di pertanaman padi daerah tropik,
sedangkan spesies ketiga lebih banyak menyerang di daerah beriklim sedang.
Dari ketiga spesies wereng famili Delphacidae tersebut, hanya wereng coklat yang
dianggap merugikan secara ekonomi di Indonesia karena kemampuannya
menimbulkan kerusakan hamparan secara masal.
Wereng coklat, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae) pertama kali
dideskripsikan oleh Stal pada tahun 1854 berdasarkan temuannya di Jawa dan
gejala serangan seperti terbakar (hopperburn) dilaporkan pertama oleh Kalshoven
di Bogor dan Mojokerto pada tahun 1931 (Mochida et al. 1977). Informasi
tentang wereng coklat sebagian besar diperoleh dari Kalshoven (1981), Dale
(1994), dan [CABI] (2005).
Perilaku Makan dan Kerusakan yang Ditimbulkan Wereng Coklat
Baik imago maupun nimfa wereng coklat mendapatkan nutrisinya dengan
mengisap jaringan floem tanaman padi. Jaringan floem kaya akan gula, namun
miskin asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhan wereng. Untuk
memenuhi kebutuhan asam amino, wereng coklat harus mengisap cairan floem
dalam jumlah banyak, sekaligus membuang kelebihan gulanya. Ekskret wereng
dengan kandungan gula tinggi menjadi media tumbuh cendawan jelaga yang biasa
ditemukan menempel pada batang padi yang terserang wereng. Selain itu,
wereng coklat juga menggantungkan pemenuhan asam aminonya pada
endosimbion yang dapat menguraikan asam urat di badan lemak (fat body)
(Sasaki et al. 1996). Endosimbion berperan juga dalam pembentukan hormon
ekdison (Chen 2009). Singkatnya, wereng tergantung pemenuhan nutrisi dan
siklus hidupnya pada endosimbion (Sasaki et al. 1996; Hongoh dan Ishikawa
1997).
Serangan ringan wereng coklat akan menyebabkan tanaman menjadi
terhambat pertumbuhannya, daun menguning, dan akar tidak berkembang. Dalam
jumlah ratusan ekor per rumpun padi, wereng coklat dapat menyebabkan tanaman
padi kering dan mati, serta tampak seperti terbakar (hopperburn). Mula-mula
hopperburn akan berupa lingkaran-lingkaran di tengah sawah, namun dengan
cepat radiusnya akan melebar dan seluruh tanaman akan mengering.
Dalam batas tertentu, tanaman padi mampu tetap bertahan hidup selama
periode vegetatif karena adanya kompensasi pertumbuhan tanaman. Bahkan bila
ditemukan 100-200 ekor wereng per rumpun pun, tanaman masih tetap hidup
walaupun kelak produksinya akan jauh menurun akibat berkurangnya anakan
produktif dan meningkatnya persentase gabah kosong. Namun setelah memasuki
fase pembentukan malai, hasil fotosintesis tidak lagi diarahkan untuk
pertumbuhan sehingga tanaman tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Oleh
4
karena itu, gejala hopperburn seringkali dilaporkan beberapa saat menjelang
panen (Kulshreshth et al.1976), atau setidaknya setelah tanaman tumbuh rapat dan
menjelang berbunga. Kerapatan tanaman juga menyediakan habibat yang disukai
wereng coklat sehingga laju populasinya akan meningkat.
Dalam tingkat serangan yang lebih parah, gejala hopperburn ditemukan
pula pada pertanaman padi yang lebih muda hingga pembibitan. Artinya,
populasi wereng telah sedemikian tinggi sehingga kompensasi pertumbuhan
tanaman pun tidak mampu mengatasinya.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh wereng coklat juga terjadi akibat
perannya sebagai vektor virus penyakit padi. Serangan virus kerdil rumput dan
kerdil hampa di lapangan seringkali meluas setelah populasi wereng coklat yang
tinggi pada musim sebelumnya. Dalam kondisi seperti itu, penyakit ini juga
merupakan masalah serius. Tanpa gejala hopperburn, serangan virus dapat
berakibat gagal panen sama sekali.
Kisaran Inang Wereng Coklat dan Ketahanan Varietas Padi
Wereng coklat hidup dan berkembang biak terutama pada tanaman padi
(Oryza sativa). Beberapa spesies liar Oryza juga menjadi tempat hidup serangga
ini. Walaupun sejumlah rumput liar diketahui dapat menjadi tempat bertahan
hidup dan tempat peletakan telur di laboratorium, belum diketahui apakah hal
tersebut dapat pula terjadi di alam (Zaheruddeen dan Rao 1988).
Sebelumnya, Claridge et al. (1985) menyatakan bahwa Nilaparvata lugens
yang ada di padi berbeda dengan yang hidup di gulma Leersia hexandra, dan oleh
Hemingway et al (1999) keduanya disebut sebagai sibling species. Di sejumlah
daerah di Indonesia, padi ditanam sepanjang tahun. Dengan demikian, tanaman
inang akan selalu tersedia bagi wereng coklat, walaupun berupa sisa tanaman dan
tunggul-tunggul.
Kandungan nutrisi dan resistensi tanaman mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya wereng coklat pada tanaman padi. Hal ini telah dimanfaatkan
dalam pengembangan varietas-varietas padi tahan wereng. Hingga saat ini, telah
dikenal 21 gen resisten pada tanaman padi, dan 4 gen resisten banyak
dimanfaatkan pada pemuliaan padi-padi varietas IR (Brar et al. 2009).
Sayangnya, resistansi varietas padi telah beberapa kali dipatahkan oleh wereng
coklat, hingga dikenal konsep biotipe wereng coklat, yaitu munculnya populasi
wereng yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada varietas padi yang
sebelumnya dikenal tahan wereng.
Debat seputar biotipe wereng masih berlangsung, terutama dalam hal
apakah biotipe adalah populasi yang secara reproduktif terisolasi untuk mengarah
kepada terbentuknya spesies baru (Chen 2009). Dalam setiap biotipe, terdapat
keragaman yang sangat tinggi. Demikian pula, satu biotipe dapat beradaptasi
dengan cepat terhadap varietas tahan yang baru. Dua hal ini menandakan konsep
biotipe lebih tepat didefinisikan sebagai populasi terseleksi (seperti halnya seleksi
populasi resisten wereng oleh penggunaan insektisida) daripada interaksi inangserangga yang mengarah kepada terbentuknya ras dan spesies baru (Chen 2009).
Berlawanan dengan genetika ketahanan padi terhadap wereng yang telah
banyak diketahui, mekanisme patahnya resistensi dan genetika wereng sendiri
belum banyak diungkap (Noda 2009). Chen (2009) bahkan menduga adanya
faktor non genetik dalam masalah biotipe berupa interaksi padi-wereng-
5
endosimbion. Ditemukan keragaman endosimbon yang tinggi pada populasi
wereng yang telah mampu berkembang pada varietas tahan, sementara tidak ada
hubungan nyata antara asal biotipe wereng dengan kemampuan generasi
selanjutnya yang telah mampu berkembang pada varietas tahan setelah melalui
seleksi terarah di laboratorium.
Ketahanan tanaman padi juga terkait dengan interaksi tanaman dengan
sejumlah endofit dari kelompok cendawan dan bakteri. Sejumlah penelitian
pendahuluan menggambarkan peran endofit padi dalam menginduksi ketahanan
tanaman padi terhadap hama. Clay (1992) menyatakan 21 spesies rumputrumputan berasosisasi dengan cendawan endofit yang berfungsi meningkatkan
ketahan terhadap herbivora. Dengan demikian, interaksinya menjadi semakin
kompleks dengan komponen tanaman padi, wereng, endosimbion wereng , dan
endofit padi. Selanjutnya Heong (2009) mengajukan konsep ketahanan ekologis
yang melibatkan semua komponen ekosistem sawah yang membentuk ketahanan
tanaman padi terhadap serangan hama wereng coklat.
Siklus Hidup dan Morfologi Masing-Masing Fase Wereng Coklat
Sesuai namanya, wereng coklat berwarna coklat dengan mata sedikit
berwarna biru. Kepala, pronotum dan mesonotum berwarna lebih terang,
demikian pula bagian posterior abdomennya. Seperti famili Delphacidae
umumnya, tungkai wereng coklat memiliki taji berwarna hitam. Sayapnya
transparan dengan venasi berwarna gelap.
Wereng coklat dewasa mengalami dimorfisme, sebagian memiliki sayap
sempurna (makroptera) yang terspesialisasi untuk memencar, sedangkan sebagian
lagi sayapnya pendek tidak berkembang (brakhiptera) namun memiliki
kemampuan bereproduksi yang lebih baik. Pembentukan makroptera dan
brakhiptera diatur oleh mekanisme hormonal, dan dipicu oleh sejumlah faktor
seperti nutrisi dan kepadatan populasi. Proporsi antara jumlah individu
makroptera dan brakhiptera dapat digunakan untuk menduga telah berapa lama
keberadaannya dalam suatu habitat tanaman padi dan kapan saatnya menyebar ke
habitat sekitarnya.
Secara rata-rata, serangga betina berukuran lebih besar dibandingkan
serangga jantan. Betina makroptera berukuran 4,6 mm sedangkan yang jantan
berukuran 3,9 mm. Imago betina wereng coklat meletakkan telur dalam jaringan
pelepah daun padi, dan hanya bagian operculum yang menonjol keluar. Telur
berwarna putih, berbentuk bulat memanjang dan berkelompok dalam jumlah 2-12
butir. Rata-rata telur berukuran panjang 0,99 mm dan lebar 0,20 mm. Imago
makroptera bertelur sekitar 100 butir, sedangkan imago brakhiptera dapat
menghasilkan 300-400 butir.
Setelah 6-9 hari, telur akan menetas menjadi nimfa. Fase nimfa terdiri dari
5 instar dengan periode setiap instar sekitar 2-4 hari. Dengan demikian siklus
hidup satu generasi dapat dilalui dalam 3-4 minggu. Nimfa instar I berukuran
panjang 0,97 mm dan lebarnya 0,37 mm. Setiap ganti kulit ukurannya akan
bertambah hingga nimfa instar V berukuran 2,69 mm x 1,25 mm. Nimfa muda
berwarna lebih muda dan hidup bergerombol pada pangkal batang padi. Nimfa
instar akhir berwarna serupa dengan imago, dengan bakal sayap yang sudah
menutupi tiga segmen pertama abdomen. Suhu optimal bagi wereng untuk
tumbuh dan berkembang biak adalah 28-30 ⁰C.
6
Pertumbuhan populasi wereng dan musuh alaminya
Dalam satu musim tanam padi, wereng coklat dapat berkembang biak
selama 2-3 generasi sebelum berpindah mencari sumber makanan baru dengan
penerbangan masal. Di daerah tropis seperti Indonesia, generasi yang tumpang
tindih atau relatif seragam dapat terjadi di suatu daerah, tergantung keserempakan
tanam padi. Sementara itu di daerah iklim sedang seperti Korea dan Jepang,
migrasi jarak jauh ke Asia daratan (Cina) selalu terulang setiap tahun sekitar bulan
September, demikian pula sebaliknya rekolonisasi dari Cina ke Jepang dan Korea
terjadi setiap bulan Juni hingga Juli.
Migrasi wereng di daerah iklim sedang disebabkan ketidakmampuan
serangga menjalani musim dingin. Hal ini berbeda dengan migrasi di daerah
tropik. Pada umumnya, habisnya sumber daya makananlah yang menentukan
migrasi wereng di daerah tropik, misalnya saat padi menjelang panen. Migrasi
masal wereng di daerah iklim sedang dapat mencapai ribuan kilometer melewati
lautan lepas, namun belum ada bukti seberapa jauh migrasi wereng di daerah
tropik. Daya jelajah dan pola sebaran wereng coklat di Indonesia juga belum
pernah diteliti.
Populasi wereng coklat di alam dikendalikan oleh sejumlah faktor, salah
satunya adalah faktor musuh alami. Dalam jaring-jaring makanan yang telah
berhasil disusun untuk wereng coklat, terdapat 76 spesies yang terlibat, 50 spesies
diantaranya adalah laba-laba predator (Dupo dan Barrion 2009). Parasitoid hanya
terdiri dari 11 spesies, dan sayangnya data penelitian ini tidak melibatkan patogen
wereng. Dalam model yang diperluas untuk semua spesies famili Delphacidae
yang hidup di agroekosistem padi di Asia tropis, 29,5% adalah laba-laba predator,
32% serangga predator (didominasi Hemiptera), 27% parasitoid (Hymenoptera),
7% vertebrata, 2% cendawan entomopatogen, dan 1,2% nematoda (Dupo dan
Barrion 2009).
Ledakan Populasi Wereng Coklat
Ledakan populasi serangga adalah kenaikan jumlah secara eksplosif yang
terjadi dalam waktu singkat. Ledakan populasi wereng coklat terjadi bersamaan
waktunya dengan berkembangnya irigasi yang memungkinkan ditanamnya padi
terus menerus setahun penuh, pemupukan N yang tinggi, dan penyemprotan
insektisida yang mematikan musuh alami. (Kalshoven 1981). Peran musuh alami
wereng yang terhambat akibat penggunaan insektisida telah dilaporkan sejak
lama, misalnya oleh Kulshreshth et al. (1976) di India dan diikuti laporan-laporan
lain (Cuong et al. 1997). Jarak tanam yang rapat, jumlah anakan yang lebih
banyak, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen, dan pengelolaan hama yang
tidak selektif dilaporkan sebagai faktor-faktor penyebab ledakan populasi wereng
coklat (Kalode 1974, 1976, Dyck et al. 1977, Okada 1977).
Faktor lain yang diduga turut serta dalam ledakan populasi wereng coklat
adalah kerentanan tanaman. Ledakan populasi wereng terjadi di Indonesia setelah
masuknya varietas rentan seperti Pelita 1-2, IR 5, IR 8 dan C4 sejak tahun 1967
(Mochida danSuryana 1979). Di India, introduksi varietas Taichung Native 1
pada tahun 1964 dan and IR8 pada tahun 1968 mengawali masalah wereng coklat
(Kulshreshth et al. 1970). Hal serupa terjadi juga di Korea (Kim et al. 1986) dan
Cina (Feng et al. 1992). Ledakan populasi wereng di China diduga terkait
penanaman padi hibrida yang rentan (Cheng 2009). Dalam literatur yang sama
7
digambarkan sejarah ledakan populasi wereng di China yang awalnya hanya
disebabkan wereng coklat. Introduksi padi hibrida membuat populasi wereng
punggung putih ikut meledak, namun saat kejadiannya selalu bergantian dengan
wereng coklat. Pada masa selanjutnya, dua spesies wereng dapat meledak
populasinya pada tahun-tahun yang sama. Kini, setelah dua spesies wereng
mengancam pertanaman padi di China, spesies ketiga wereng coklat kecil ikut
menambah masalah dengan menularkan virus penyakit padi.
Meskipun telah banyak studi tentang wereng coklat, namun ledakan
populasi hama ini tetap terulang hingga tahun 2011 ini. Ooi (2010) menyatakan
bahwa faktor pestisida yang dominan berpengaruh sehingga mematikan musuh
alami.
Selain itu ia juga menggarisbawahi telah dilupakannya sejarah
keberhasilan pengendalian wereng coklat di masa lalu oleh pelaku pertanian di
Asia, dan kembalinya maraknya penggunaan insektisida. Hal ini dikuatkan oleh
Catindig (2009) dan Escalada (2009) yang menyatakan bahwa sebagian besar
negara di Asia hanya menggunakan cara kimiawi untuk mengendalikan wereng
coklat.
. Heong (2009) mengatakan bahwa ledakan hama yang terulang terus
adalah tanda dari ketidakstabilan agroekosistem. Fenomena ledakan wereng
coklat yang cenderung bersifat regional Asia Tenggara dan Timur membuat hama
wereng coklat kembali menjadi ancaman keberlanjutan produksi padi di Asia.
Download