2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Danau Lido Situ, danau, waduk dan rawa dapat dikatagorikan sebagai salah satu jenis lahan basah, yang mempunyai sistem perairan tergenang dan berair tawar. Situ dapat terbentuk secara buatan yaitu berasal dari dibendungnya suatu cekungan dan dapat pula terbentuk secara alami yaitu karena kondisi topografi yang memungkinkan terperangkapnya sejumlah air. Sumber air lahan tersebut dapat berasal dari mata air yang terdapat didalamnya, dari masukan air sungai dan atau limpasan air permukaan/hujan (surface run-off) (Suryadiputra 2003 in Puspita et al. 2005). Sebagai suatu sistem, air danau dipengaruhi oleh kondisi-kondisi hidrologi, daerah pinggiran danau, bentuk dasar danau, air danau dan sedimen dasar. Komponen-komponen fisika dan kimia mendukung komunitas biota yang khas di danau sebaliknya keberadaan biota-biota tersebut memperkaya ekosistem danau. Biota-biota tersebut tidak hanya membentuk mata rantai antara yang satu dengan yang lainnya, tetapi juga mempengaruhi sifat fisika dan kimia danau (Olem & Flock 1990 in Buchar 1998). Danau atau Situ Lido merupakan salah satu ekosistem perairan tergenang yang terdapat di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Danau Lido terletak pada 5o36’ LS dan 104o49’ BT, Desa Wates Jaya dengan luas sekitar 21 Ha pada ketinggian 500 m dari permukaan laut. Danau ini tergolong sebagai danau semi alami yang terbentuk pada abad ke-18, yaitu ketika dibendungnya sungai Ciletuk guna pembangunan jalan raya yang menghubungkan Bogor-Sukabumi (Abalos 1979 in Sukari 1997). Batas- batas Danau Lido yaitu, sebelah utara dan timur merupakan pemukiman penduduk, sedangkan bagian selatan dan barat merupakan perkebunan karet dan areal persawahan (Didin 1999 in LIPI 2003). Danau Lido merupakan bentuk perairan tergenang terbuka, bentuknya tidak beraturan dan banyak dijumpai teluk-teluk sempit dengan tepi danau curam atau berkisar pada ketinggian 10 meter di atas permukaan air. Sumber utama air di Danau Lido berasal dari aliran Sungai Ciletuk dengan total debit pada musim penghujan sekitar 500-700 l/detik, sedangkan pada musim 4 kemarau hanya sekitar 100-200 l/detik (Haryani 1984). Sumber air lainnya berasal dari air permukaan dan air dalam tanah (groundwater) dari lahan di sekitarnya (Didin 1999 in LIPI 2003). Jika dibandingkan kondisi air sungai dengan air danau pada waktu hujan, maka air danau relatif lebih jernih daripada air sungai. Hal ini disebabkan adanya daerah persawahan di dekat sungai yang mengalirkan lumpur ke aliran sungai. Fungsi utama danau Lido adalah sebagai tempat rekreasi air. Penduduk setempat sudah sejak lama melakukan kegiatan perikanan tangkap di danau ini, yaitu dengan menggunakan jaring, jala, dan pancing. Di samping itu, penduduk juga memanfaatkan perairan tersebut sebagai sarana kebutuhan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus, terutama di daerah bagian timur danau. Kegiatan perikanan jaring apung di danau ini telah dimulai pada tahun 1978 oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR) Ditjen Perikanan Bogor, dan pada tahun 1991 merupakan awal diperkenalkannya perikanan jaring apung di Indonesia. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1992 pengusaha mulai membuka usaha perikanan jaring apung di danau ini dan sejak saat itu penduduk setempat juga melakukan kegiatan tersebut meskipun dalam skala kecil. Kegiatan perikanan jaring apung ini berlangsug sampai sekarang dan berpusat di bagian timur (dekat outlet) danau (Basmi 1991). Berdasarkan penelitian Tambunan (2009), luas permukaan Danau Lido sebesar 198.750 m2 dengan panjang garis tepi sebesar 5.630 m, dan menurut Soonthornsatit (1983) bahwa luas permukaan Danau Lido sebesar 210.000 m2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa luas permukaan Danau Lido mengalami pengurangan sebesar 11.250 m2 dari tahun 1983. Berkurangnya luas permukaan Danau Lido kemungkinan besar disebabkan adanya aktivitas pertanian dan sedimentasi di daerah litoral. Menurut Jorgensen & Loffler (1990) aktivitas rekreasi akan merusak daerah litoral danau. Adanya aktivitas rekrasi di Danau Lido menyebabkan luas daerah litoral Danau Lido berkurang sehingga dapat mengurangi kemampuan untuk menahan erosi dan nutrien dari daratan. Selain pengurangan luas, kualitas air perairan Danau Lido juga mengalami perubahan status kesuburan menjadi eutrofik (Amalia 2009). 5 2.2 Ikan Penghuni Danau Lido Keberadaan suatu ikan dalam suatu perairan dipengaruhi oleh tipe, lokasi, dan kondisi ekologis perairan tersebut. Suksesi ekologi merupakan suatu proses perubahan komunitas yaitu deretan-deretan komunitas yang menggantikan satu dengan yang lainnya pada suatu area tertentu (Odum 1971 in Sulistiono et al. 1992). Royce (1984) in Sulistiono et al.(1992), mengemukakan bahwa masingmasing jenis biota mempunyai batas kondisi ideal tertentu dimana jenis tersebut dapat berkembang dengan baik dan masih dapat beradaptasi bila ada sedikit perubahan pada kondisi ideal tersebut. Dikatakan pula bahwa ukuran dan struktur populasi di suatu komunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor fisika-kimia perairan, dimana yang menjadi faktor pembatas antara lain kedalaman, suhu perairan, tipe substrat, kecerahan dan oksigen terlarut, serta beberapa faktor lainnya seperti intra dan inter spesies, dan pemangsaan. Kondisi ikan dalam perairan akan berada dalam keadaan seimbang apabila jumlah ikan buas terletak diantara 10 – 25% dari seluruh populasi ikan yang ada di dalam perairan tersebut (Suwignyo 1976 in Sulistiono et al. 1992). Dikatakan pula bahwa dengan adanya bibit-bibit ikan pemakan tanaman dan pemakan segala akan lebih baik atau lebih menguntungkan daripada adanya bibit-bibit ikan buas. Populasi merupakan kelompok organisme dan sifat dari suatu spesies yang mempunyai ciri dan sifat hidup yang sama, dan dengan populasi dari kelompok organisme lain akan membentuk suatu komunitas (Kreb, 1972). Royce (1973) mengatakan, untuk mengetahui komposisi suatu organisme di antaranya ikan yang hidup di perairan dapat dilihat dari kelimpahan relatifnya, yang dinyatakan dalam jumlah atau berat relatif dari suatu kelompok organisme dalam suatu komunitas. Kelimpahan ikan dalam suatu perairan di pengaruhi oleh beberapa faktor pembatas antara lain fekunditas, ruang gerak, kompetisi, predasi, penyakit dan batas waktu untuk bertahan hidup (Rounsefell & Everhart 1962 in Sulistiono et al. 1992). Habitat perairan selain berperan sebagai lingkungan untuk hidup juga berperan sebagai tempat daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground), dan sebagai tempat penghasil bahan dasar makanan bagi organisme perairan yang secara keseluruhan sangat penting artinya dalam sistem rantai makanan. 6 Menurut Hanson (1973) in Sulistiono et al. (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi lokal dalam komunitas perairan, diantaranya kompetisi dalam dan antar spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi dan kebiasaan makanan, pasokan makanan, arus air, angin, dan faktor-faktor lain yang mendukung pola distribusi. Selain itu, Krebs (1972) meyebutkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi distribusi, antara lain tingkah laku dalam memilih habitat, hubungan antar organisme lain, temperatur, serta faktor-faktor fisikakimia perairan lainnya. Komunitas biota yang masih alami dan cukup matang memiliki keragaman jenis yang tinggi, tidak ada dominasi jenis tertentu, dan pembagian jumlah individu perjenis hampir merata (Lund, 1981 in Sulistiono et al. 1992). 2.3 Kebiasaan Makanan Setiap binatang atau hewan membutuhkan energi untuk hidup, tumbuh, berkembangbiak, dan bereproduksi, dimana semuanya diperoleh dari makanan (Royce 1973). Makanan alami ikan berasal dari beberapa jenis tumbuhan dan hewan yang mendiami suatu perairan. Beberapa elemen kimia, seperti kalsium, dan yang lainnya yang diserap dari perairan tempat tinggalnya. Bahan-bahan makanan yang digunakan selanjutnya dikelompokkan menjadi protein, karbohidrat, lemak, lipid, dan vitamin termasuk mineral yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Makanan pertama ikan di alam yaitu bakteri, desmid, diatom dan beberapa jenis plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton. Pada perairan terbuka, organisme pelagis memakan alga, protozoa, dan mikrokrustacea (Lagler, 1972). Lagler (1972), menyatakan bahwa sebagian besar ikan adalah omnivor pada awal hidupnya, yaitu memakan dan mencerna jaringan hewan dan tanaman. Sejalan dengan pertumbuhan ikan menuju kedewasaan, dimana terjadi adaptasi pada makanan dan beberapa makanan menjadi pembatas yang lebih tinggi. Sebagian besar atau beberapa tetap sebagai omnivor di sepanjang hidupnya, sebagian kecil menjadi pemakan plankton pada awal fase dan akan tetap seperti itu. Suatu spesies ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanannya. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang 7 menentukan dinamika populasi, pertumbuhan, reproduksi, serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan. Beberapa faktor makanan yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, akses terhadap makanan, dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Adanya makanan di perairan selain terpengaruh oleh kondisi biotik seperti di atas ditentukan pula oleh kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan. Jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan biasanya tergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan umur ikan, musim serta habitat hidupnya. Kebiasaan makan ikan meliputi jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Tidak semua jenis makanan yang ada di lingkungan perairan disukai oleh ikan. Beberapa faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu jenis makanan oleh ikan adalah ukuran, warna, tekstur, dan selera ikan terhadap makanan. Ikan mengawali hidupnya dengan memanfaatkan makanan yang sesuai dengan ukuran mulutnya. Setelah ikan bertambah besar, makanannya akan berubah baik kuantitas maupun kualitasnya (Effendie, 1997). Terdapat empat hubungan antara ikan dengan makanannya, yaitu (1) makanan utama, yaitu makanan yang paling banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) makanan pelengkap, yaitu makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan dengan jumlah yang sedikit; (3) makanan tambahan, yaitu makanan yang jarang ditemukan dalam saluran pencernaan dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti, yaitu makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia (Nikolsky, 1963). Jenis makanan yang akan dimakan oleh ikan tergantung ketersediaan jenis makanan di alam, dan juga adaptasi fisiologis ikan tersebut misalnya panjang usus, sifat dan kondisi fisiologis pencernaan, bentuk gigi dan tulang faringeal, bentuk tubuh dan tingkah lakunya (Welcomme, 2001). Ikan herbivor secara sederhana hanya memiliki kemampuan untuk mencerna material tumbuhan, oleh karena itu ikan herbivora memiliki usus yang lebih panjang karena material tumbuhan memerlukan waktu yang lama untuk dicerna. Sedangkan ikan karnivora memiliki usus yang lebih pendek dan hanya memakan daging. Ikan 8 omnivora memiliki kondisi fisiologis yang merupakan gabungan antara ikan karnivora dan ikan herbivora. Berdasarkan pola kebiasaan pakannya, jenis ikan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok (Yanes-Arancibia et al. 1980 in Tjahjo 1993), antara lain: 1. Konsumen Tingkap Pertama, termasuk golongan pemakan plankton (fitoplanton dan atau zooplankton), pemakan detritus, dan pemakan vegetasi lainnya, serta omnivor (pemakan detritus, vegetasi dan organisme kecil). 2. Konsumen Tingkat Kedua, kelompok ini didominasi oleh ikan karnivora, dimana kelompok ikan ini sedikit mengkonsumsi vegetasi dan detritus, sedangkan pakan utamanya adalah makro dan mikro bentos, dan ikan kecil. 3. Konsumen Tingkat Ketiga, merupakan kelompok ikan yang sangat karnivora dengan pakan utamanya berupa makroobentos dan ikan. Luas relung makanan menggambarkan sejumlah sumberdaya makanan yang ada dan dimanfaatkan oleh suatu jenis organisme (Pianka 1976 in Sutanti 2005). Jadi luas relung makanan ikan adalah sejumlah sumberdaya makanan yang berada di suatu perairan yang dimanfaatkan oleh ikan. Sumberdaya makanan dinilai dari jumlah jenis kelompok makanan dan nilai konsumsinya dari setiap jenis kelompok makanan. Ikan-ikan yang mempunyai luas relung makanan yang besar menunjukkan bahwa ikan tersebut bersifat general atau tidak selektif dalam memilih makanan. Umumnya kelompok ikan ini banyak ditemukan di peraiaran yang labil dan pola perubahannya tidak beraturan, sedangkan ikan yang memiliki luas relung makanan yang sempit menunjukkan bahwa ikan tersebut selektif dalam memilih makanan dan umumnya kelompok ini banyak ditemui di perairan yang relatif stabil dengan pola perubahan yang dapat diprediksi (Hyatt 1979 in Tjahjo 1993). Jenis ikan yang mempunyai relung makana yang luas menunjukkan bahwa ikan tersebut mumpunyai potensi paling besar untuk berkembang di suau perairan daripada ikan yang mempunyai luas relung makanan sempit (Macpherson 1981 in Muliasih 2002). Rantai makanan merupakan perpindahan energi dari produsen kepada herbivor atau pemakan tanaman selanjutnya disalurkan pada karnivor (Krebs, 1972). Selanjutnya, Templeton (1984) menyatakan bahwa hubungan antara makanan yang dimakan oleh hewan dengan predator yang memakannya disebut 9 sebagai rantai makanan (food cycle). Terdapat tingkatan yang berbeda antara produsen-produsen dalam rantai makanan ini, dengan memberikan batasan pada masing-masing konsumer sehingga disebut trofik level. Umumnya, terjadi pengurangan biomassa (biomassa hewan atau tanaman yang berasosiasi dengan setiap trofik level tertentu) sekitar 10 sampai 1 dari berbagai tingkatan level menuju level yang lebih tinggi. Tabel 1. Struktur anatomis saluran pencernaan ikan berdasarkan jenis makanannya (Huet 1971). Organ Herbivora Omnivora Karnivora Tulang tapis Banyak, rapat, dan Tidak terlalu Sedikit, pendek, insang panjang banyak, tidak dan kaku terlalu panjang, dan tidak rapat Rongga mulut Sering tidak bergigi Bergigi kecil Umumnya bergigi tajam dan kuat Lambung Tidak Memiliki Memiliki berlambung/lambung lambung seperti lambung dengan palsu kantung berbagai bentuk Usus Panjangnya beberapa Sedang, 2-3 dari Lebih pendek jika kali dari panjang panjang tubuhnya dibandingkan tubuhnya panjang tubuhnya Gumilar (2005) menyatakan, pada setiap tahap pemindahan energi, 80-90% energi potensial akan hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam suatu rantai makanan akan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain semakin pendek rantai makanan maka semakin besar pula energi yang tersedia. Ada dua tipe dasar rantai makanan yaitu : 1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain), misalnya: tumbuhanherbivora-karnivora. 2. Rantai makanan sisa (detritus food chain), misalnya : bahan-bahan matidetrivor (organisme pemakan sisa)-predator. 2.4 Introduksi Ikan dan Pengaruhnya Indonesia memiliki keanekaragaman ikan air tawar tertinggi kedua setelah Brazil yaitu 1300 jenis dengan kepadatan populasi 0,72 jenis/1000 km2 (The Worl 10 Bank 1998 in Wargasamita 2005). Keanekaragaman ikan air tawar sekarang menghadapi ancaman dari berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan menurunnya keanekaragaman ikan. Menurut Dudgeon (2000) in Wargasamita (2005), berbagai faktor penyabab menurunnya keanekaragaman ikan air tawar dapat diklasifikasikan menjadi enam katagori utama yaitu perubahan atau lenyapnya habitat, eksploitasi yang berlebihan, introduksi ikan asing, pencemaran, persaingan penggunaan air, dan pemanasan global. Introduksi ikan asing yang disengaja merupakan suatu proses yang terjadi pada skala dunia dengan sedikit kesengajaan atau sesuai dengan peraturan yang ada untuk mengurangi introduksi spesies yang berbahaya. Meskipun demikian, introduksi spesies yang mayoritas dilakukan secara sengaja banyak memberikan dampak ekonomis pada daerah tersebut (Lodge et al. 2006 in Keller & David 2007). Introduksi ikan asing merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan penurunan keanekargaman ikan asli. Spesies asing dapat masuk ke dalam suatu wilayah baru secara langsung yaitu karena ada introduksi dari manusia atau secara tak langsung. Introduksi secara langsung sangat dipengaruhi oleh faktor bisnis yang menjanjikan keuntungan berlimpah (Gustiano 2004). Hasil analisis dari 31 studi kasus introduksi ikan ke perairan sungai mengakibatkan penurunan populasi ikan asli. Penurunan populasi merupakan proses awal menuju kepunahan spesies tertentu yang mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati dan berakhir dengan terbentuknya komunitas ikan yang homogen, didominasi oleh ikan asing (Allan & Flecker 1993 in Rachmatika & Wahyudewantoro 2006). Introduksi ikan asing, baik disengaja maupun tidak, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap spesies ikan asli (indigenous species) yaitu berupa penurunan populasi atau kepunahan spesies ikan asli. Introduksi ikan predator lebih berbahaya. Ikan predator secara langsung dapat menurunkan populasi ikan yang menjadi mangsanya, yang kemudian mengakibatkan terjadinya dampak lanjutan berupa peningkatan pertumbuhan gulma akuatik bila ikan yang dimangsanya adalah ikan herbivor (Bartley et al. 2004 in Wargasamita 2005). Resiko paling berat yaitu bila spesies ikan asing dapat berkembang biak dengan sangat cepat dan mengalahkan ikan asli dalam kompetisi pakan dan 11 habitat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan populasi ikan asli. Penurunan populasi dan punahnya beberapa spesies ikan asli memberikan peluang berkembangnya populasi ikan asing tersebut. Selanjutnya ikan asing menjadi dominan dan komunitas ikan menjadi homogen (Wargasamita 2005). Dampak yang ditimbulkan dapat berupa penurunan kualitas perairan, gangguan terhadap komunitas ikan asli, penurunan kualitas materi genetik melalui hibridisasi, introduksi penyakit dan parasit ikan, serta menimbulkan masalah sosial bagi masyarakat nelayan di sekitarnya (Welcome 1988 in Wargasasmita 2005). Pemasukan (introduksi) jenis ikan baru ke dalam suatu perairan umum dapat merubah struktur populasi ikan yang ada dan dapat menimbulkan persaingan dalam hal pakan dan daerah pemijahan serta mungkin dapat pula menggoyahkan stabilitas, sehingga daya tangkal secara alami terhadap suatu perubahan akan terganggu dan populasi ikan di daerah tersebut mudah terserang penyakit. Ikan yang diintroduksi juga dapat berperan sebagai vektor atau pembawa penyakit. Oleh karena itu, usaha introduksi suatu jenis ikan baru ke dalam suatu perairan yang tadinya tidak terdapat ikan tersebut harus direncanakan dan dikaji secara mendalam agar penambahan unsur baru ke dalam stok ikan yang sudah kompleks dan sukses tidak menyebabkan keseimbangan yang ada terganggu (Gustiano 2004). 12