proyek proposal - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat antihipertensi
Obat antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
hipertensi dan bertujuan untuk mengontrol tekanan darah. Dosisnya bergantung pada
tingkat keparahan hipertensinya. Obat ini dapat diberikan secara tunggal dengan dosis
yang rendah ataupun dikombinasi dengan 2 obat antihipertensi golongan berbeda.13
Selain untuk mengobati hipertensi penggunaan obat ini juga dianjurkan pada individu
yang memiliki penyakit kardiovaskular.14
2.1.1 Klasifikasi obat antihipertensi
Terdapat beberapa golongan obat antihipertensi diantaranya dikenal 5
kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker),
penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor
angiotensin (angiotensin receptor blocker), dan antagonis kalsium.15
2.1.1.1 Diuretik
Salah satu kelompok obat pada terapi hipertensi adalah diuretik.Obat ini
diindikasikan sebagai monoterapeutika pada penderita hipertensi usia tua. Diuretik
merupakan kombinasi yang penting pada penanganan hipertensi.16 Mekanisme
kerjanya berlangsung dalam 2 fase, pertama penurunan tekanan darah dan
meningkatkan ekskresi ginjal untuk pengeluaran sodium.Pada fase kedua natrium, air,
Universitas Sumatera Utara
klorida di ekskresi sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Contoh obat antihipertensi dari golongan ini adalah furosemid, hidrokorotiazid,
bumetanid, amilorid, metolazon, torsemid.15-16
2.1.1.2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-blocker)
Obat antihipertensi golongan beta bloker pertama kali diperkenalkan untuk
mengobati anginadansaat ini digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi
ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, dapat
diberikan bersama dengan diuretik atau obat antihipertensi yang lain.14,15 Mekanisme
penurunan tekanan darah akibat pemberian beta bloker dapat dikaitkan dengan
hambatan reseptor β1 yaitu penurunan frekuensi denyut jantung, hambatan sekresi
renin di ginjal dan efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis.14 Contoh
obat antihipertensi golongan ini adalah atenolol, metoprolol, labetalol, propanolol.14,15
2.1.1.3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-inhibitor)
Penggunaan ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun
berat, juga menunjukkan efek positif pada terapi gagal jantung kongestif dan
mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes,
dislipidemia dan obesitas.15 ACE-inhibitor menghambat pembentukan angiotensin II
sehingga
terjadi
vasodilatasi
dan
penurunan
sekresi
aldosteron,
sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah dan peningkatan kadar bradikinin. Contoh
obat antihipertensi golongan ini adalah kaptopril, lisinopril, perindropril, enalapril,
ramipril, quinapril.15-17
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin receptor blocker)
Angiotensin receptor blocker (ARB) adalah golongan obat antihipertensi yang
sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin
yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung.Mekanisme ARB mirip dengan ACEinhibitor, tetapi tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin. Contoh obat
antihipertensi golongan ini adalah losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,
candesartan.15
2.1.1.5 Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan antihipertensi tahap
pertama, sebagai monoterapi obat ini memberikan efektivitas yang sama dengan
golongan lain dan terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
rendah seperti pada usia lanjut.15 Golongan antagonis kalsium juga dianjurkan pada
penderita insufisiensi jantung atau penyakit saluran nafas obstruktif.Bekerja secara
vasodilatasi, menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel otot, sehingga akan
menurunkan resistensi perifer dan akan bekerja menurunkan tekanan darah.
Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan
vasokonstriksi. Contoh obat antihipertensi golongan ini adalah nifedipin, amlodipin,
felodipin, diltiazem, verapamil.15,16
2.1.2 Efek Samping Penggunaan Obat Antihipertensi
Penggunaan obat-obatan antihipertensi secara umum berpotensi menyebabkan
efek samping yang dapat terjadi secara sistemik maupun lokal pada rongga
Universitas Sumatera Utara
mulut.5Beberapa efek samping sistemik dapat terjadi pada setiap individu yang
mengonsumsi obat antihipertensi, bergantung pada dosis dan toleransi dari tubuh
penderita terhadap obat tersebut.16 Efek samping sistemik diantaranya yaitu batuk,
pusing, lelah, sakit kepala dan mual, sementara yang lebih berat timbulnya nyeri
dada, hipotensi, pembengkakan pada leher, tangan dan wajah, gangguan pernafasan,
gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat, dan kerusakan parenkim hati.14-16
Efek samping lokal yang dapat terjadi pada rongga mulut adalah xerostomia,
ulser, pembesaran gingiva, reaksi likenoid, sindrom mulut terbakar, serta gangguan
pengecapan.5,18,19
2.2 Lesi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh Obat Antihipertensi
Penggunaan obat-obatan sistemik perlu menjadi perhatian para klinisi
kesehatan, karena banyak pasien mengeluhkan kondisi rongga mulutnya setelah
mengonsumsi obat-obatan tersebut. Reaksi likenoid oral adalah salah satu efek
samping yang timbul akibat penggunaan obat-obatan sistemik.1 Likenoid oral tidak
hanya disebabkan oleh obat-obatan tetapi juga termasuk bahan tambalan, penyakit
kronis graft versus host disease, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu
endapan kalkulus, gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar,
menggigit pipi dan lidah serta prosedur pembedahan pada rongga mulut dapat
memicu kemunculan lesi ini.4,8,20 Ditemukan banyak jenis obat yang dapat
menyebabkan terjadinya reaksi likenoid oral, diantaranya adalah obat-obatan
antihipertensi.7 Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa obat antihipertensi
golongan ACE-inhibitor paling sering menyebabkan reaksi ini.5,19
Universitas Sumatera Utara
Likenoid oral yang disebabkan obat antihipertensi merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe 4 sehingga kadangkala lesi tidak muncul pada awal pemakaian
obat. Kemunculan lesi pada rongga mulut setelah mengonsumsi suatu obat harus
segera dicurigai, tetapi hal yang paling utama dalam memastikan penyebabnya adalah
klinisi kesehatan dapat melakukan pengamatan terhadap kondisi lesi setelah
pemberhentian obat atau penggantian dengan golongan lain. Dalam proses
penyembuhan lesi tidak akan langsung menghilang tetapi membutuhkan waktu
beberapa minggu.8,20
2.2.1 Definisi
Lesi likenoid oral merupakan inflamasi kronis yang terjadi didalam rongga
mulut dan secara klinis menyerupai liken planus. Lokasi yang sering dikenai adalah
mukosa pipi, mukosa bibir, lidah, gusi dan juga terjadi pada mukosa palatal meskipun
jarang ditemui.9 Timbulnya lesi ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan
antihipertensidan lama pemakaian obat dapat memperparah kondisi lesinya.5,21
2.2.2 Etiologi
Berbagai macam etiologi dapat menyebabkan reaksi likenoid pada rongga
mulut, meskipun penyebab utama kemunculannya tidak diketahui tetapi pemakaian
obat antihipertensi (tabel 1) dilaporkan dapat menyebabkan reaksi likenoid oral, dan
ACE-inhibitor adalah golongan yang paling utama.20 Banyaknya jumlah atau jenis
obat antihipertensi yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap perkembangan
lesi.25
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. GOLONGAN OBAT ANTIHIPERTENSI YANG DAPAT
MENYEBABKAN REAKSI LIKENOID ORAL5,8
Golongan Obat Antihipertensi
Jenis Obat
1. Diuretik
-
Furosemid
2. β-blocker
-
Atenolol
Propanolol
Labetalol
Oxyprenolol
3. ACE-inhibitor
-
Kaptropil
Enalapril
Methyldopa
2.2.3 Patogenesis
Reaksi likenoid oral merupakan penyakit yang diperantarai oleh reaksi
hipersensitifitas tipe IV (gambar 1) dengan sel T dan CD8+ sebagai sel pemicu
terjadinya apoptosis pada sel epitel. Peristiwa ini pada awalnya dimulai dengan
stimulus dari agen endogen dan eksogen. Agen endogen dalam hal ini adalah stres
sementara agen eksogen yaitu bahan tambalan, penyakit kronis graft versus host
disease, tembakau, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu endapan kalkulus,
gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar, obat-obatan, infeksi
viral, bakteri, dan alkohol.Sel yang berperan dalam pengaktifan reaksi ini terdiri dari
antigen yaitu obat, sel T, makrofag dan langerhans yang bertindak sebagai
APC/antigen presenting cells.27
Pengaktifan antigen diawali dengan perlekatannya pada permukaan sel
langerhans
yang
kemudian
dikenali
dan
diaktifkan,proses
pengaktifannya
berhubungan dengan major histocompatibility (MHC) kelas I pada keratinosit basal.4
Universitas Sumatera Utara
Setelah pengaktifan terjadi maka sel langerhans yang bertindak sebagai antigen
presenting cells membawa antigen ke limfosit. Limfosit akan melepaskan sitokin
yang akan mengaktifkan makrofag sehingga menyebabkan degranulasi. Makrofag
menyebabkan terjadinya perlekatan molekul endotel-leukosit yang berperan dalam
terjadinya kerusakan pada lapisan basal dan fase kronis pada penyakit ini.20,23
Gambar 1. Patogenesis reaksi likenoid oral36
Proses perusakan lapisan basal dimulai dengan sitokin yang berinfiltrasi ke
sub-epitel.Sel-sel yang berperan terdiri dari sel T yang dimediasi oleh langerhans dan
keratinosit.2,21 Proses perusakan terjadi melalui perlekatan T limfosit diikuti dengan
sitotoksik dan apoptosis keratinosis basal. Setelah semua proses maka timbul ulser
Universitas Sumatera Utara
disertai gambaran hyperkeratosis dalam rongga mulut pasien. Kejadian inilah yang
disebut dengan reaksi likenoid oral.20
2.2.4 Gambaran Klinis dan Histopatologis
Likenoid oral memiliki beberapa variasi klinis yaitu retikular, plak, erosif,
atropi, ulseratif dan bula serta distribusinya unilateral.4,2 Reaksi ini paling sering
timbul pada mukosa pipi dan dapat bertahan selama beberapa bulan hingga tahun
dalam rongga mulut dengan periode pasif dan eksaserbasi. Ditemukan hampir setiap
kasus likenoid oral memperlihatkan gambaran keratotik pada beberapa area
mukosa.Gejala yang muncul dapat bervariasi, rasa sensitif pada mukosa sampai rasa
sakit yang terus-menerus.Pada periode eksaserbasi proses ulserasi terjadi sehingga
timbul peningkatan rasa sakit dan sensitifitas. Periode pasif terjadi penurunan rasa
sakit akibat berkurangnya ulserasi, sehingga pasien tidak sadar akan kemunculan lesi
pada rongga mulutnya.27
Secara keseluruhan tipe lesi likenoid akan memperlihatkan gambaran khas
yang serupa yaitu wickham’s striae, tetapi terdapat beberapa perbedaan gambaran
klinis dan gejala yang ditimbulkan. Tipe retikular memperlihatkan gambaran klinis
jalinan garis-garis putih keratotik yang berbatasan dengan daerah eritema. Tipe plak
memiliki area garis putih yang homogen sementara pada tipe erosif terlihat gambaran
irregular dan daerah ulserasi disekitar lesi. Tipe atrofik memiliki gambaran
permukaan ulserasi yang berwarna kekuning-kuningan (fibrinous exudate) pada
bagian tengah dan dikelilingi area eritema. Gambaran pada tipe ulseratif yaitu daerah
ulserasi yang seringkali diikuti dengan area hiperkeratotik. Tipe bula memiliki
Universitas Sumatera Utara
gambaran klinis berupa vesikel kecil atau bula. Tipe plak dan retikular biasanya tanpa
gejala (asimtomatik) sementara pada lesi likenoid tipe erosif, atrofik dan ulseratif
akan menimbulkan gejala seperti rasa terbakar diikuti dengan rasa sakit.29,31
Gambar 2. Likenoid oral tipe retikular1
Gambar 3. Likenoid oral tipe plak1
Gambar 4. Likenoid oral tipe atrofik1
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5. Likenoid oral tipe erosif1
Reaksi likenoid oral memiliki gambaran histologis yang mirip dengan liken
planus, meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan seperti sel inflamasi,
presentasi limfosit, degranulasi mast cells, gambaran epitel dan cytoid bodies.4 Van
den haute melaporkan bahwa pada reaksi likenoid cytoid bodies lebih tinggi di daerah
granular dan lapisan cornified.22
Gambar 6. Histologis reaksi likenoid oral1
Gambaran histopatologis pada reaksi likenoid oral yang disebabkan oleh obatobatan dapat ditandai dengan distribusi lamina propria yang lebih difus pada
Universitas Sumatera Utara
superfisial sub mukosa,serta penebalan pada sub-epitheliallympho-histiocytic dan
degenerasi lapisan sel basal “liquefaction degeneration”.Pada area degenerasi
terdapat keratinosit yang terdiri dari (civatte, hyaline, cytoid) sel sitoplasmik dan
peningkatan jumlah sel granulasi di dasar membran.20,25 Sel inflamasi terlihat lebih
padat pada sub epitel, lebih sedikit di jaringan konektif dan akan meningkat saat
terjadi inflamasi yang lebih parah.1,4,2
2.2.5 Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosa likenoid oral dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis
serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan meninjau riwayat
pemakaian obat pasien serta lokasi lesi. Pasien likenoid biasanya mengeluhkan rasa
sensitif saat makan panas, pedas dan asam, rasa sakit disertai luka pada mukosa,
bercak merah atau putih di mukosa oral, serta kemerahan pada gusi dan ulserasi pada
mukosa.4,20 Diagnosa melalui anamnesis akan lebih mudah diketahui apabila pasien
menderita lesi likenoid setelah baru memulai mengonsumsi obat-obatan.24
Pada pemeriksaan klinis likenoid oral dapat didiagnosa melalui distribusi
lesinya yang unilateral, garis-garis putih wickham’s striae dan lokasi terjadinya.23
Lesi likenoid oral tipe retikular, erosif, ulseratif dapat terjadi pada mukosa bukal dan
mukosa bibir, sedangkan tipe plak sering muncul pada dorsum lidah.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan biopsi, pemeriksaan
histologis dan immunofluorescent. Biopsi dilakukan untuk memperoleh diagnosa
melalui gambaran histologis yang dapat digunakan untuk membedakan lesi likenoid
oral dengan lesi lain sehingga diagnosa dapat dipastikan.27 Pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
immunofluorescent terdiri dari direct dan indirect. Pemeriksaan secara direct
digunakan untuk mendeteksi autoantibodi yang membatasi jaringan dan indirect
digunakan untuk mendeteksi sirkulasi antibodi didalam darah, namun kedua teknik
pemeriksaan ini tidak dapat digunakan secara tunggal dalam menegakkan diagnosa.8,9
Diagnosa dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa penyakit lain
yang mirip dengan lesi likenoid oral diantaranya adalah graft versus host disease,
epithelial dysplasia, lupus erythematosus, pemfigus vulgaris, dan hepatitis C infection
chronic hepatic disease. Diagnosa ini didukung dengan riwayat penyakit,
kemunculan dan distribusi lesi serta gambaran klinisnya.20,25,28
2.2.6 Transformasi Keganasan
Beberapa studi klinis menyebutkan bahwa lesi likenoid oral dapat
berkembang ke arah keganasan, meskipun masih diperdebatkan. Pada beberapa kasus
ditemui bahwa lesi ini dapat mengarah pada Squamous cell carcinoma (SCC).8,25
Likenoid dihubungkan dengan perubahan lesi yang berkembang menjadi kanker oral,
disebutkan pada salah satu literatur bahwa sebanyak 5,3% kasus likenoid berubah
kearah ganas dengan tipe atropik dan erosif sebagai frekuensi terbanyak.Resiko
keganasan akan semakin meningkat bila pasien merokok dan mengonsumsi alkohol.4
Proses terjadinya keganasan pada lesi likenoid oral yaitu ketika lesi tidak
terdeteksi dan berada dalam rongga mulut pada waktu yang lama sehingga
menyebabkan perubahan sel epitel menjadi epithelial dysplasia.8 Perubahan ini dapat
dideteksi
melalui
biopsi
dengan
melihat
gambaran
histopatologis
dan
immunofluoresecent.25 Biopsi penting dilakukan untuk memperoleh diagnosa yang
Universitas Sumatera Utara
tepat dan melihat gambaran histologis sel displasia yang dapat berkembang ke arah
keganasan.8,17
2.2.7 Perawatan
Tujuan utama perawatan likenoid oral adalah menghilangkan gejala rasa sakit,
menyembuhkan lesi, penurunan resiko kanker rongga mulut dan pemeliharaan oral
higiene.20 Dalam mencapai tujuan tersebut dapat digunakan modalitas perawatan
farmakologik maupun non-farmakologik. Berbagai macam bahan farmakologik
seperti kortikosteroid,retinoid, cyclosporin dan tacrolimus telah digunakan untuk
merawat likenoid oral. Dari sekian banyak pilihan obat, kortikosteroid merupakan
pilihan utama yang paling sering dianjurkan karena memiliki efek imunosupresan dan
anti inflamasi yang sesuai dengan patogenitas likenoid.27,29
Pemberian obat-obatan golongan kortikosteroid dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu secara lokal ataupun sistemik.Dalam pengobatan farmakologik secara
lokal, kortikosteroid topikal paling banyak dipilih untuk merawat lesi atropik dan
erosif.20 Kortikosteroid topikal bermanfaat dalam mengurangi rasa sakit serta
inflamasi. Pilihan obat yang dapat digunakan adalah triamcinolone acetonide 0,1%,
bethametasone valerate gel 0,05%, clobetasol proprionate gel 0,05%, dan
fluocinonide acetonide 0,05% ditemukan efektif pada lesi likenoid yang lebih parah
dan tidak merespon golongan lain. Obat ini juga dianjurkan terhadap pasien yang
memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes karena memiliki efek
samping yang lebih sedikit.28,29 Cara penggunaan obat-obatan tersebut yaitu pasien
diinstruksikan untuk mengaplikasikan selapis tipis pada lesi sebanyak 3 kali sehari,
setelah makan dan sebelum tidur.Pada pasien yang lesinya meluas dan pemberian
Universitas Sumatera Utara
topikal akan memberikan rasa tidak nyaman maka penggunaan suspensi berbentuk
obat kumur dapat diindikasikan, pemilihan obatnya yaitu aqueous triamcinolone
acetonide 1,0 mg/ml atau dexamethasone elixir 0,1 mg/ml. Pasien diinstruksikan
untuk berkumur dengan 5 mL larutan selama 2 menit setelah makan dan sebelum
tidur.29
Terapi kortikosteroid secara sistemik merupakan pengobatan paling efektif
pada penderita dengan lesi likenoid oral yang meluas serta sulit disembuhkan.
Pengobatan ini juga dianjurkan terhadap lesi yang tidak responsif terhadap terapi
topikal.Prednison dipilih sebagai pengobatan awal pada pasien likenoid oral dengan
dosis 30-60 mg per hari.30 Pengobatan harus tetap dilanjutkan sampai lesi
terkontrol.Obat-obatan lain yang dapat dipilih adalah golongan methyl prednisolone.
Pengobatan secara injeksi intralesi dapat dilakukan dengan pilihan obat intralesional
corticosteroids sebanyak 0,2-0,4 ml atau triamcinolone acetonide 1,0 ml.
Kekurangan dari pengobatan ini adalah timbulnya rasa sakit serta tidak selalu efektif
dan akan timbul efek lokal seperti pembesaran mukosa.27,28
Untuk mengurangi efek samping yang dapat terjadi, kortikosteroid sistemik
sering digunakan bersama topikal agar memperoleh hasil pengobatan yang
efektif.Dosis yang digunakan bervariasi, bergantung dengan respon pasien. Dosis
harus disesuaikan dengan individu yaitu melihat keparahan lesi, usia, dan berat badan
pasien.28
Selain kortikosteroid terdapat agen farmakologik lain untuk merawat lesi
likenoid oral yang dapat digunakan secara topikal ataupun sistemik seperti retinoid
yang memiliki kandungan vitamin A dan berguna untuk mempercepat penyembuhan
Universitas Sumatera Utara
lesi. Retinoid dapat dipilih dalam perawatan lesi apabila kortikosteroid tidak berhasil.
Topikal retinoid memiliki efek terapeutik dalam mengobati daerah hyperkeratotic
likenoid, dan pengobatan sistemiknya dianjurkan dalam pengobatan likenoid dengan
lesi yang lebih parah.30Selain itu, tacrolimus jugamerupakan pilihan obat yang
diindikasikan secara topikal untuk mengontrol lesi dan efektif dalam penyembuhan
likenoid tipe erosif, memiliki efek penetrasi yang baik terhadap kulit dan efek
samping yang ditimbulkan adalah iritasi lokal. Cyclosporin adalah senyawa
polypeptide yang dapat menghalangi produksi sitokin dan efektif digunakan secara
topikal. Cyclosporin dapat menjadi pengobatan konvensional ataupun alternatif pada
kontrol awal likenoid oral, tetapi pengobatan ini tidak dianjurkan sebagai obat pilihan
pertama karena memerlukan biaya yang mahal serta masih terdapat obat lain yang
lebih tepat dalam penanganan lesi ini. Selain ketiga pilihan obat tersebut, juga
terdapat bermacam obat-obatan golongan lain seperti azathioprine, dapsone,
glycyrrhizin, interferon, levamisole, dan mesalazine yang dapat dipilih sebagai
perawatan farmakologik.28,29
Perawatan
secara
non-farmakologik
yaitu
biopsi,
laser
dan
photochemotherapy PUVA. Secara umum biopsi dilakukan untuk menghilangkan
daerah lesi yang beresiko tinggi menjadi sel dysplasia. Perawatan lanjutan seperti
laser yang dapat dipilih adalah cryotherapy, CO2 laser dan ND:YAG laser.
Photochemotherapy PUVA berguna terhadap pasien yang tidak merespon terapi
farmakologik, beberapa studi mengindikasikan terapi ini karena memiliki efek
terapeutik dan merupakan terapi lebih lanjut dalam mengontrol lesi.28,30 Faktor
predisposisi yang diduga sebagai penyebab lesi harus disingkirkan, apabila
Universitas Sumatera Utara
penyebabnya tambalan amalgam maka bahan tambalan harus diganti. Sementara
likenoid yang disebabkan oleh obat-obatan, penggantian ataupun pemberhentian obat
harus dilakukan untuk mengontrol lesi dan mencegah perkembangannya kearah
keganasan.8,20
Universitas Sumatera Utara
Download