Klik Disini untuk

advertisement
Tulisan sederhana ini hanya sebuah catatan seorang
pembelajar yang mencoba menggali kebijakan leluhur
pulau Dewata dan menarik benang merah sinerginya
dengan pendekatan ilmiah di Barat. Sebagaimana
pula buku saya yang lain di Bali Wisdom, semua
catatan tersebut terus saya perbaharui, kembangkan
dan sempurnakan seiring proses pembelajaran saya.
Harapan saya, semoga catatan kecil ini bisa menjadi
sebuah ketukan ke pintu hati anda tentang betapa
kaya leluhur kita dengan berbagai kebijakan yang
sudah kuno umurnya namun masih sangat tinggi
relevansinya di jaman modern ini.
Dan semoga melalui ketukan itu lebih banyak sahabat
tertarik mempelajari kebijakan leluhur Pulau Dewata,
dan bagi sahabat yang sudah terlebih dahulu
melakukan penggalian semoga terpanggil untuk
berbagi pemahaman pada pembelajar yang seperti
saya ini. Semoga ke depan catatan ini bisa saya
kembangkan lagi menjadi lebih kaya sehingga
mendatangkan lebih banyak manfaat untuk anda.
Selamat membaca edisi pertama ini, dan semoga
catatan-catatan
edisi
lain
publikasikan.
Denpasar, Bali.
Rahina Saraswati,
21 Januari, 2017
Putu Yudiantara
www.baliwisdom.com
www.putuyudiantara.com
segera
bisa
saya
Setiap
orang
ingin
bahagia,
ingin
merasakan
kedamaian dan ketenteraman dalam hidupnya. Bukankah
anda pun demikian? Namun sayangnya, banyak orang yang
menjalani kehidupannya justru dengan kondisi-kondisi
kebalikan dari kedamaian dan kebahagiaan; mulai dari
bangun pagi sampai menjelang tidur lagi malamnya,
keseharian banyak orang dipenuhi oleh berbagai tekanan
yang menghimpit, berbagai masalah yang meminta
penyelesaian, berbagai macam tantangan yang perlu
dihadapi, penuh oleh gejolak emosional yang tidak
menyamankan seperti kemarahan, kekawatiran, ketakutan,
rasa tidak percaya diri, kebingungan, stress dan bahkan
depresi.
Lalu, apakah hidup tenang dan damai selalu berarti
ketiadaan berbagai tekanan dan masalah tersebut? Bisakah
anda tetap tenang dan bahagia meski berbagai macam
tekanan sedang menghimpit?
Belum lagi, tantangan keseharian yang sifatnya sangat
"paradoks". Misalkan sebuah masalah sedang datang
menghimpit, reaksi normal kebanyakan manusia dalam
kondisi seperti itu adalah stress, marah, sedih dan
seterusnya yang membuat pikiran menjadi semakin keruh
dan melemahkan secara mental maupun fisik. Namun
sayangnya untuk masalah yang sedang terjadi itu justru
anda dituntut untuk tenang sehingga pikiran anda menjadi
jernih dan dapat merumuskan pemecahahan terbaik untuk
masalah tersebut, anda dituntut agar tetap memiliki emosi
yang stabil agar secara mental dan fisik anda lebih kuat
dalam menghadapi situasi bersangkutan. Jika dalam situasi
penuh tekanan tersebut anda jadi "kalap" maka hampir bisa
dipastikan masalah yang anda hadapi menjadi semakin
runyam.
Tapi, bisakah anda tetap tenang, damai dan jernih
meski dalam kondisi yang penuh tekanan seperti itu?
Satu hal yang ironis dalam kehidupan manusia
adalah, kita ingin hidup damai dan bahagia namun tidak
mengenali berbagai penghalang dalam diri yang justru
membuat kita berada dalam kondisi kebalikan dari tenang
dan bahagia tersebut, tidak mengenali bagian dalam diri
yang
mensabotase
upaya
kita
untuk
mendapatkan
kebahagiaan tersebut. Seolah kita ingin menuju ke arah
utara namun tidak sadar kalau supir yang mengantarkan
kita justru sedang mengarah ke selatan. Terlalu banyak
orang yang demikian "asing" dengan dirinya sendiri, dan
karena tidak mengenali diri sendiri maka kita pun
memperlakukan diri dengan seenaknya saja, lalu karena
terbiasa memperlakukan diri dengan seenaknya maka
kita pun memperlakukan orang lain dengan cara yang
sama seperti cara kita memperlakukan diri itu.
Salah satu defisit yang paling menyedihkan dalam
kehidupan manusia modern sepertinya adalah defisit
permakluman—kita
seolah
caranya
diri
memaklumi
telah
sendiri,
lupa
orang
bagaimana
lain
dan
kehidupan—dan alih-alih hidup dalam permakluman, kita
malah menjadi demikian kaku dengan berbagai tuntutan
dan keharusan yang baik secara internal maupun eksternal
kita paksakan pada diri sendiri, orang lain dan kehidupan.
Misalkan, saat kita merasa sedih entah karena apa,
maka alih-alih mencoba memahami kesedihan tersebut,
menjadikan kesedihan tersebut sebagai "saudara" yang
perlu diperlakukan dengan welas asih, kita malah
mengabaikan atau menekan kesedihan tersebut karena
terlampau "mengharuskan diri" untuk selalu bahagia. Saat
kita marah, kita mengabaikan atau menekan kemarahan
tersebut karena mengharuskan diri untuk menjadi
penyabar
dan
demikian
seterusnya—kita
senantiasa
memperlakukan diri penuh dengan berbagai pengharusan
dan keharusan—dan (sekali lagi) karena cara kita
memperlakukan
diri
adalah
dengan
menuntut,
mengharuskan, menekan dan mengabaikan, maka kita pun
memperlakukan orang lain dengan cara yang sama; saat
ada orang sedih, bukannya belajar berempati terhadap
kesedihan orang tersebut, kita menyuruhnya mengabaikan
kesedihan itu, baik secara implisit maupun eksplisit. Saat
ada orang yang sedang merasa marah, bukannya
mendengarkan dengan sabar kita malah bereaksi dengan
kemarahan yang sama.
Manusia selalu hidup dalam dualitas, dan baik dalam
ajaran Kanda Pat maupun Psikologi (terutamanya Depth
Psychology dari Carl G. Jung), saat anda mengharuskan diri
menjadi seorang yang rajin maka di saat yang sama anda
juga akan mengharuskan diri untuk tidak menjadi pemalas,
dan bahkan lebih jauh lagi, saat anda mendapati diri sedang
berlaku atau berpikir layaknya seorang pemalas, maka
anda pun kemudian akan membenci dan menghujat diri.
Semakin anda mengharuskan diri untuk menjadi rajin
maka semakin benci anda pula pada kemalasan. Demikian
pula dalam hal-hal lain polanya masih serupa; semakin
anda mengharuskan diri menjadi cerdas maka semakin
tidak bisa anda mentoleransi kebodohan, semakin anda
mengharuskan diri menjadi orang baik maka semakin anda
akan membenci hal-hal yang anda anggap buruk. Cara anda
memperlakukan kebalikan dari diri ideal yang anda ingin
bentuk ini disebut dengan coping, dan coping strategy
anda akan sangat menentukan apakah anda akan menjadi
orang yang semakin damai dan bahagia atau malah
sebaliknya.
Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa kita
sudah terbiasa memperlakukan diri dengan semena-mena,
lalu cara yang sama kita gunakan dalam memperlakukan
orang lain. Kemudian bukan hanya secara individual kita
menjadi
pribadi
yang jauh dari
kedamaian dan
kebahagiaan karena memperlakukan diri dengan penuh
kebencian, secara interpersonal (hubungan antara kita
dengan orang lain) pun kita mewarnai hidup dengan
penuh kebencian, lalu satu orang dengan yang lain seolah
saling menularkan kondisi ini terus menerus dan
membuatnya semakin parah.
Bagaimana kemudian kondisi ini bisa mengantarkan
kita pada kebahagiaan?
Sebagaimana saya bahas di awal bab ini, manusia
menjalani kehidupan diantara berbagai tekanan dan
tantangan,
yang
mana
secara
sepintas
hal
ini
berseberangan dari tujuan kita untuk merasa damai dan
bahagia. Lalu, dalam menghadapi berbagai tekanan dan
tantangan itu pun cara-cara yang kita gunakan adalah
dengan menekan, mengabaikan, membenci, mengutuk dan
seterusnya yang kembali semakin menjauhkan kita dari
tujuan kita untuk merasa damai dan bahagia itu. Celakanya
lagi, kita tidak sadar dengan lingkaran setan ini dan terus
berkubang di dalamnya.
Coping strategy merupakan sebuah faktor signifikan
yang menentukan kualitas kehidupan kita. Menekan atau
mengabaikan emosi kita sendiri tidak akan pernah menjadi
coping strategy yang memberdayakan, malah sebaliknya
akan menjerumuskan kita dalam berbagai kondisi yang
semakin runyam dan kalut. Alasannya, sebab hukum
mental manusia mengatakan, "what you resist, persist" apa
yang anda tolak akan bertahan. Anda tentu pernah
mengalami bagaimana saat anda berusaha menahan
amarah lalu tau-atau amarah yang anda tahan-tahan itu
meledak tidak terkendali. Atau anda mungkin pernah
mengalami saat anda mencoba mengabaikan kesedihan
yang sedang anda rasakan, yang bukannya membuat
kesedihan itu menghilang malah membuatnya semakin
menjadi-jadi.
Anda tidak akan pernah menemukan kedamaian dan
kebahagiaan—sampai kapan pun, dalam bidang kehidupan
mana pun—selama anda masih mewarnai diri anda dengan
kebencian, selama anda masih memandang bagian-bagian
tertentu dalam diri anda sebagai musuh, dan bukannya
saudara. Bahkan lebih buruk dari itu, sebenarnya anda
sedang mendidik "setan" dalam diri anda, yang akan selalu
menghantui anda sampai anda melakukan prosesi yang
membuatnya somya atau bertransformasinya iblis menjadi
dewa.
Misalkan, jika anda terus memendam amarah,
menekan dan mengabaikan emosi anda sendiri, maka anda
sedang
menimbun
bom
waktu—sebagaimana
para
psikologis menyebutnya—yang siap meledak kapan saja.
Atau anda terus memaksa diri bekerja dan bekerja dengan
mengabaikan kesehatan fisik dan mental anda, maka akan
ada titik dimana tubuh anda kewalahan dan down sebagai
sinyal untuk beristirahat, dan lagi dalam kondisi seperti
inipun banyak orang kemudian melakukan coping dengan
cara yang malah semakin merusak keadaan. Hal yang juga
anda perlu perhatikan berkaitan dengan coping strategy
yaitu sekali anda mengatasi berbagai elemen diri
(pemikiran, perasaan dan perilaku) dengan cara tertentu,
maka cara tersebut akan terekam dalam neurotransmitter
anda (samskara) dan akan muncul kecenderungan kuat
untuk anda melakukannya lagi dan lagi sampai menjadi
sebuah kebiasaan (habit) yang pada gilirannya justru susah
anda lepaskan (vasana).
Tentu satu hal yang wajar jika anda menginginkan
kedamaian dan kebahagiaan, namun anda tidak akan bisa
mencapai semua itu dengan terus-menerus memusuhi
berbagai masalah dalam kehidupan anda—karena yang
justru anda alami saat memusuhi kondisi atau orang
tertentu dalam kehidupan anda malah adalah semakin
banyak kebencian dan keluhan yang melemahkan dan
membuat anda semakin jauh dari kedamaian dan
kebahagiaan yang anda inginkan itu. Hal yang wajar jika
anda ingin menjadikan diri orang yang sabar, namun
berusaha
menjadi
orang
sabar
dengan
membenci
kemarahan dalam diri anda hanya akan membuat anda
menjadi semakin pemarah. Wajar jika anda ingin menjadi
lebih
tenang
dalam
menjalani
kehidupan,
namun
ketenangan itu tidak datang saat semua kondisi lain
menghilang, sebaliknya saat anda mampu menerima
kondisi-kondisi lain (marah, sedih, stress, kawatir, dan lain
sebagainya) sebagaimana adanya.
Ketidakmampuan kita memaklumi diri sendiri,
orang lain dan berbagai kondisi keadaan sangat sering
mengantarkan pada berbagai hal yang menjerumuskan,
membuat sebuah kondisi menjadi lebih parah dari
seharusnya. Atau jika memakai istilah yang lebih ilmiah,
kita
tidak
mengembangkan
coping
strategy
yang
memberdayakan. Karena tidak bisa menerima berbagai
"sisi gelap" dalam diri dan ekspresinya sebagai emosi
negatif, perilaku buruk dan sabotase diri tidak jarang
kemudian kita malah mengalami emosi yang semakin
negatif, perilaku yang semakin buruk dan sabotase diri
yang semakin parah.
Dalam hal ini Ilmu Kanda Pat sebagaimana
diwariskan oleh para leluhur bisa menjadi solusi sebab
Kanda Pat merupakan ilmu untuk mengembangkan
permakluman kita terhadap diri sendiri, orang lain dan
kehidupan. Kanda Pat mengajarkan bahwa baik bhuta kala
atau "iblis" maupun dewa ada dalam diri, semuanya adalah
saudara. Kata "saudara" atau kanda atau sanak merupakan
kunci untuk mengembangkan sikap penuh permakluman
ini. Kita mungkin dengan mudah memeluk dengan penuh
rasa persaudaraan berbagai kondisi ideal—emosi yang
serba nyaman dan enak, perilaku yang sesuai harapan dan
pemikiran-pemikiran yang baik—namun bisakah kita
memperlakukan emosi negatif dan tidak menyamankan
dalam diri dengan cara yang sama?
Misalkan saat anda merasa sedih, apakah anda bisa
menerima rasa sedih tersebut dalam diri sebagai sebuah
keberadaan alami anda? Atau anda malah berusaha sekuat
mungkin mengusirnya dengan berbagai cara, mengabaikan
dan berpura-pura bahwa kesedihan itu tidak ada atau
mencari pelarian-pelarian yang membuat anda bisa
melupakan rasa sedih tersebut? Sekali lagi, apa yang anda
tolak akan tetap bertahan dan bahkan menjadi semakin
parah. Saya tau anda tidak ingin merasa sedih—atau rasarasa lain yang tidak menyamankan—namun berusaha
mengusir
dan
mengabaikannya
justru
hanya
akan
membuat anda terjebak dalam mood yang semakin tidak
menentu dan bahkan menyiksa.
Dalam Kanda Pat diajarkan bahwa saudara-saudara
gaib kita (Sanghyang Catur Sanak) bisa menimbulkan
penyakit atau bisa menjadi sumber kekuatan anda,
tergantung apakah anda "mengingat" beliau sebagai
saudara atau malah melupakannya. Kanda Pat Bhuta
menyebutkan bahwa berbagai bhuta kala merupakan
saudara kita, berstana dalam diri kita, lahir bersama kita
dan akan terus menemani kita sampai kematian.
Disebutkan nama-nama beliau saat berwujud Bhuta Kala
yaitu Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati
Raja dengan wujud menyeramkan. Hal ini bisa dimaknai
secara filosofis sebagai simbol-simbol dari berbagai naluri,
kecenderungan dan kondisi mental "negatif" dalam diri.
Namun, keempat saudara "gaib" tersebut tidak
berwujud bhuta kala dari awal—sebagaimana lontar-lontar
Kanda
Pat
menyebutkannya—namun
baru
berubah
menjadi bhuta kala saat kita sudah beranjak dewasa dan
melupakan beliau sebagai saudara yang telah mengiringi
dan membantu kelahiran kita di dunia, mulai dari saat kita
masih berupa benih dalam kandungan sampai mewujud
manusia dan lahir. Dan keempat saudara atau Sanghyang
Catur Sanak yang berwujud Bhuta Kala tersebut kemudian
akan
bertransformasi
menjadi
dewa
saat
kita
"memprosesnya". Dan "proses" yang dimaksud disini tentu
adalah sebuah proses pengenalan dan penerimaan beliau
sebagai saudara kita—yang mana hal ini diwujudkan dalam
ritual
Kanda
Pat
sebagai
pengeregepan
atau
menginternalisasi kembali Sanghyang Catur Sanak ke
dalam diri—dan mengenali hakikat sejatinya.
Saya
cenderung
memaknai
prosesi
maupun
penjabaran Ilmu Kanda Pat sebagai sebuah penjelasan
filosofis mengenai hakikat keberadaan manusia dan
perkembangannya. Mulai dari Kanda Pat Rare, Kanda Pat
Bhuta, Kanda Pat Dewa dan Kanda Pat Sari. Proses
tersebut serupa dengan proses psikologis dalam Jungian
Psychology yang dikenal sebagai Individuation, yaitu
sebuah proses menjadikan diri yang terbelah-belah agar
menjadi utuh kembali, sebab tugas utama manusia—
sebagaimana diajarkan Carl G. Jung—adalah mengalami
keutuhan (wholeness) dan keutuhan ini adalah syarat kunci
untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan (wellness).
Kita hidup di lingkungan sosial dengan nilai moral
yang sangat tinggi, yang dengan menggebu-gebu memuja
sifat ke-dewa-an sekaligus secara bringas membenci sifat
ke-bhuta-an. Masyarakat kita demikian memuliakan orang
yang dianggap suci sekaligus sangat membenci manusia
yang dianggap hina atau pendosa. Kemudian, karena kita
memiliki kebutuhan psikologi dasar untuk diterima oleh
lingkungan sosial kita, maka kita pun menyesuaikan diri
dengan mengabaikan dan ikut membenci sisi dalam diri
yang kita anggap "iblis" dan hanya mengedepankan sisi
yang akan menampilkan kita sebagai sosok "dewa".
Tentu
saja,
sebagaimana
dikatakan
Jung,
menampilkan persona (topeng sosial; sisi dalam diri yang
kita tampilkan pada orang lain) merupakan hal yang wajar
sebagai mahluk sosial, namun jika kita melakukan itu
dengan cara membenci sisi buruk dalam diri, maka kita
sejatinya sedang membenci sebagian diri kita, membuat sisi
yang tadinya adalah bagian natural atau bagian manusiawi
kemudian berubah menjadi sisi demonic dalam diri.
Singkatnya, cara ini membuat kita menciptakan iblis
yang menghantui kehidupan kita sendiri.
Kemarahan, keserakahan, iri hati,
kesedihan,
ketakutan, dan emosi lain yang kita beri label "negatif"
merupakan bagian alami yang lahir sebagai bagian alami
kita sebagai manusia. Semua kecenderungan tersebut tidak
bersifat negatif dari sananya sebab semua memiliki
peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan kita.
Misalkan saja keserakahan adalah dorongan yang
membuat kita selalu "ingin lebih"; ingin hidup yang lebih
baik, ingin bisnis yang lebih maju, ingin menjadi lebih
pintar dari sebelumnya, ingin jadi lebih terhubung dengan
Tuhan, ingin lebih bijaksana dalam menjalani kehidupan
dan seterusnya. Bukankah tidak ada yang salah dengan
"ingin lebih" ini? Tentu saja, selama kita serakah dalam
koridor "kebaikan". Demikian pula dengan kondisi-kondisi
dan kecenderungan lainnya, semua tidak "baik" atau
"buruk" dari sananya, namun menjadi baik atau buruk
tergantung dari bagaimana kita menyalurkannya dalam
konteks lingkungan sosial kita masing-masing (sebab hal
baik dalam satu kelompok bisa menjadi hina di kelompok
lain).
Sekali lagi, adalah wajar kita mengembangkan
persona atau "topeng sosial", dan inipun adalah bagian dari
sisi kemanusiaan kita yang sangat alami. Namun hal yang
perlu kita waspadai adalah jangan sampai upaya kita
mengembangkan persona tersebut malah membuat kita
memiliki shadows atau sisi gelap yang terlalu kental. Saat
kita ingin menampilkan diri sebagai seorang yang sabar
(persona) kita pun akan mengabaikan sisi pemarah kita
(shadows), dan jika sisi pemarah tersebut terus diabaikan
dan tidak pernah mendapat cahaya kesadaran (anda
melupakan keberadaanya dan membiarkannya menjadi
"hantu" di kegelapan, tidak pernah belajar menerima
keberadaanya dan mengakuinya sebagai "saudara") maka
kita pun akan kaget saat sisi tersebut menjadi sisi yang
menguasai kita (misalkan kemarahan tersebut tiba-tiba
meledak dan membuat kita buta sehingga melakukan halhal yang kita sesali). Hal semacam inilah yang oleh Leluhur
Bali diistilahkan sebagai bhutane memurti di dewek,
artinya diri yang dikuasai sisi ke-bhuta-an, kerasukan atau
kesurupan oleh sisi gelap kita sendiri.
Ilmu Kanda Pat merupakan salah satu ilmu warisan
leluhur Bali yang tidak asing lagi di telinga kebanyakan
masyarakat Bali. Namun demikian, sebagaimana halnya
dengan Ilmu Pengiwa (Pengeleakan), Ilmu Kanda Pat
masih diliputi berbagai macam mitos, mistik dan bahkan
tidak jarang berbagai macam kekeliruan. Sebagaimana
ilmu khas Bali lain yang kental dengan nuansa ajaran
Tantra, Ilmu Kanda Pat pun dianggap sebagai ilmu rahasia,
penuh mantra, penuh ritual dan hal-hal sejenis. Dalam
pembahasan kali ini kita tidak akan membahas Ilmu Kanda
Pat
dari
perspektif
tersebut,
namun
lebih
pada
membacanya sebagai pesan filosofis yang mengandung
berbagai macam petuah yang sangat berguna untuk kita
jadikan pedoman dalam kehidupan. Kita akan membahas
Ilmu Kanda Pat dari perspektif psikologi, lebih spesifiknya
lagi Jungian Psychology atau Depth Psychology.
Secara sederhana Kanda Pat bisa diterjemahkan
sebagai saudara empat (kanda; saudara, pat; empat),
karena itu sering pula disebut dengan catur sanak (empat
saudara). Kanda Pat biasanya dibagi menjadi beberapa
bidang, mulai dari yang paling populer dikenal sampai yang
bersifat eksklusif. Beberapa bidang keilmuan dalam Kanda
Pat misalkan; Kanda Pat Rare, Kanda Pat Bhuta, Kanda
Pat Dewa, Kanda Pat Sari dan Kanda Pat Kalepasan.
Secara umum, poin pembahasan dari masing-masing
bidang Ilmu Kanda Pat tersebut sebenarnya sama, meski
ada titik berat tertentu yang ada dalam satu bidang namun
tidak dibahas dalam bidang lain.
Kanda Pat Rare (rare; anak kecil) membahas awal
keberadaan kita, mulai dari pertemuan ayah dan ibu (dari
mereka berkenalan, saling bertegur sapa sampai pada
pernikahan) yang titik berat pembahasannya biasanya
adalah proses perkembangan janin sampai menjadi
seorang anak manusia. Kemudian Kanda Pat Bhuta banyak
membahas mengenai saudara-saudara kita yang kembali
bertransformasi menjadi Bhuta Kala yang bernama
Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati Raja,
berbagai daya gaib yang dimilikinya dan bagaimana kita
bisa memanfaatkan daya gaib tersebut untuk berbagai
keperluan (baik yang bersifat pengiwa maupun penengen).
Lalu Kanda Pat Dewa banyak membahas mengenai dewadewa di dalam diri, letak spesifik dan Aksara sucinya.
Kemudian Kanda Pat Sari (sari; akhir, intisari) yang
pembahasannya secara umum sama dengan Kanda Pat
lain, namun dengan penekanan tertentu kaitan antara kita
(manusia), para dewa, para bhuta-kala dan alam (pohon,
jurang, jalan, sawah) semua adalah satu saudara.
Secara ringkas, ada beberapa poin penting dari ajaran
Kanda Pat yang sesuai dengan konteks pembahasan kita;
Kita sudah ada bahkan saat ayah
dan ibu kita baru saling bertatap
mata (dan akan terus ada).
Lontar Kanda Pat Bhuta menyebutkan, saat ayah dan
ibu kita masih jejaka, lalu mereka bertemu dan saling
bertatap mata, pada saat tersebut pun rupanya kita
sudah "ada" dan bernama Sang Hyang Asmara
Pandeleng. Lalu saat ayah dan ibu kita mulai saling
bertegur sapa untuk pertama kalinya, nama kita
berubah
menjadi
Sang
Hyang
Panuntun
Iswaramadu. Demikian seterusnya keberadaan kita
mengalami perubahan nama seiring perkembangan
pertemuan ayah dan ibu kita, dari perkenalan awal
sampai pertama kali bersenggama, sampai pertemuan
antara sperma (kama petak) dengan sel telur (kama
bang), lalu kita mewujud menjadi manusia di dalam
kandungan dan kemudian lahir dan berkembang. Di
setiap fase tersebut disebutkan kita memiliki namanama yang diawali "Sang Hyang".
Hal
ini
merupakan
sebuah
pesan
yang
mengisyaratkan kalau keberadaan kita di dunia tidak
dimulai dari awal kelahiran, namun dari awal
pertemuan kedua orang tua kita pun kita sudah ada
sebagai "potensi", dan potensi tersebut merupakan
energi murni yang pada gilirannya akan mewujud
menjadi materi (menjadi nyata secara empiris).
Dimanakah
keberadaan
kita
pada
waktu
itu?
Bagaimana wujudnya? Tentu pada saat tersebut kita
masih "berwujud" sebagai energi murni yang ada
dimana-mana, di Medan Quantum (Quantum Field).
Namun, sebagaimana diisyaratkan perkembangan
tersebut, bahkan setelah kita telah mengambil wujud
fisik seperti sekarang kita sejatinya masih memiliki
"sisi illahi" tersebut, hanya saja kita melupakannya.
Karena lupa, kita cenderung menganggap bahwa kita
ini tidak lebih dari seonggok darah, daging dan tulang,
lupa dengan "esensi" sejati kita sendiri. Kita
membiarkan tubuh fisik dan keterbatasan mental kita
sendiri sebagai batasan personal, lupa kalau potensi
tak terbatas sudah, sedang dan akan selalu ada
sebagai esensi sejati kita. Kita pun kemudian hidup
sebagai "manusia lemah yang penuh keterbatasan"
karena tidak pernah terhubung dengan "saudara" kita
yang memiliki potensi lebih besar tersebut.
Karena merasa lemah dan penuh keterbatasan inilah
kemudian kita mudah mengalami stress, cepat putus
asa, terjebak dalam kekawatiran terus menerus dan
banyak kondisi memprihatinkan lainnya.
Mentransformasikan berbagai penjara mental ini
merupakan salah satu tujuan Kanda Pat; kita
dikenalkan dengan potensi-potensi besar dalam diri
kita yang akan membimbing, melindungi, menjaga
dan memberi kita rasa aman dan nyaman, memberi
kita jalan, jika saja kita menghubungkan diri
dengannya. Dan dalam kondisi keterhubungan ini
tentu
berbagai
"gangguan
psikologis"
seperti
kekawatiran, stress dan frustasi, rasa rendah diri dan
seterusnya tidak akan lagi menggerogoti kita.
Anda tidak akan takut menghadapi badai jika anda tau
kalau anda memiliki perahu layar yang lebih kuat dari
badai tersebut. Ketakutan hanya muncul jika badai
besar datang sedangkan anda sedang berada di
perahu kecil tanpa gayung.
Leluhur kita di Bali sering mengingatkan kalau
manusia itu dewaning dewa, bhutaning bhuta atau
manusia bisa menjadi dewanya para dewa pun bisa
menjadi yang paling mengerikan diantara Bhuta Kala.
Kalimat sederhana ini merupakan pengingat untuk
kita tentang esensi sejati kita (bahwa kita adalah Siwa;
kesadaran murni), bahwa ada potensi luar biasa di
dalam diri kita yang bisa kita manfaatkan dalam
kehidupan. Sebagai orang yang bergerak dalam
bidang
menemui
pemberdayaan
banyak
diri
orang
(psikoterapi)
yang
jatuh
saya
dalam
keterpurukan dan depresi, seolah kehilangan arah
dan kekuatan dalam kehidupannya. Satu hal yang
menjadi
persamaan
mereka
adalah;
mereka
membiarkan diri dikungkung oleh batasan mental
dan fisik, menutup diri terhadap kemungkinan-
kemungkinan lain, menutup diri terhadap sumbersumber kuasa dalam diri yang masih laten dan tidak
terdayagunakan, daya yang sudah ada bahkan saat
ayah dan ibu kita baru saling bertatap mata, yang kita
lupakan karena terbuai oleh berbagai drama mental
kita sendiri.
Ajaran Kanda Pat menyiratkan kalau dewa di dewek
(kalau dewa ada di dalam diri) kalimat ini pun
menyiratkan kalau potensi luar biasa ada dalam diri
manusia. Mengenali dan memanfaatkan potensi
tersebut adalah sebuah proses transformasi diri yang
sangat signifikan pengaruhnya, karena saat kita
belajar menggunakan potensi yang melampaui
batasan yang dibuat oleh pikiran kita, maka saat itu
pula kita tidak akan lagi dibatasi oleh pikiran kita, kita
akan terbuka terhadap "samudera kemungkinan tak
bertepi" bukan terkungkung dalam ceruk sumur
kering. Pengalaman ini bersifat transpersonal atau
melampaui diri anda sendiri.
Semua Manusia Bersaudara, Seluruh
Alam Semesta Bersaudara
Ajaran Kanda Pat menyatakan secara tersurat dalam
berbagai lontar bahwa selain memiliki tubuh fisik
yang bersifat "personal" kita pun memiliki sisi yang
bersifat "universal". Di Bali, selain dipengaruhi oleh
ajaran Tantra, ajaran Siwa merupakan ajaran lain
yang mengakar kuat, dan dalam ajaran ini Dewa Siwa
dinyatakan sebagai dewa tertinggi (mahadewa), dan
kita (masing-masing dari kita)
merupakan Siwa
tersebut. Tentu siwa yang dimaksud disini bukan serta
merta
sebuah
"wujud"
sebagaimana
yang
digambarkan dalam berbagai tayangan televisi,
namun lebih pada "kesadaran murni" yang menjadi
fondasi keberadaan semesta ini.
Namun bukan hanya saya dan bukan hanya anda yang
secara esensial merupakan Siwa, semua manusia dan
seluruh mahluk pun sejatinya adalah Siwa. Ada Siwa
dalam diri anda, ada Siwa dalam diri saya dan ada
Siwa dalam diri semua manusia, inilah kenapa ajaran
Kanda Pat tidak hanya menyiratkan kalau kita
"bersaudara" dengan para dewa, namun semua
manusia
adalah
satu
saudara
(vasudaiwah
kutumbakam).
Masyarakat kita adalah masyarakat yang jauh dari hal
anggapan ini, alih-alih bersaudara bahkan satu orang
dengan orang lain merasa saling bermusuhan,
menyimpan kecurigaan dan kebencian. Akibatnya
kehidupan jadi tidak nyaman, penuh prasangka dan
penuh kekawatiran. Bisa anda bayangkan sendiri
bagaimana rasanya tinggal bersama dalam satu
kekeluargaan dan tinggal bersama sebagai musuh?
Pandangan semacam ini tidak sedikit sumbangannya
terhadap berbagai gangguan psikologis yang dialami
manusia; kita selalu merasa terancam, kawatir,
waswas, takut, hidup dengan saling menjatuhkan
bukannya co-exist sebagai saudara dengan sesama
manusia. Bagaimana dengan kondisi seperti ini kita
bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan? Bahkan
tidak jarang dengan saudara sedarah pun saling
bermusuhan.
Proses transformasi psikologis dalam Kanda Pat
dimulai secara personal, artinya anda merangkul
seluruh elemen dalam diri anda sebagai saudara dulu,
sehingga kemudian anda bisa memproyeksikan
kondisi ini secara eksternal. Cara kerja kehidupan
adalah inside-out, apa yang anda di dalam diri akan
terproyeksikan ke luar (pada orang lain dan alam).
Bagaimana cara anda memperlakukan diri sendiri
akan
menentukan
bagaimana
cara
anda
memperlakukan orang lain, jika dengan beberapa
bagian dalam diri anda saja masih saling bermusuhan
maka akan sulit untuk menganggap manusia lain
sebagai saudara, jika dalam diri anda masih ada sisisisi yang saling membenci, maka akan sulit bagi anda
memproyeksikan cinta kasih.
Berikutnya, dalam Kanda Pat Sari disebutkan secara
tersirat bahwa bukan hanya Para Dewa dan Bhuta
yang menjadi "saudara" kita, bahkan alam sekala
(alam nyata) dan alam niskala (alam tidak kasat
mata) pun adalah saudara kita. Bukan hanya dengan
sesama
manusia
kita
mengembangkan
sikap
persaudaraan, namun dengan tumbuhan dan hewan
pun agar diperlakukan sebagai saudara.
Utuh di Dalam, Utuh di Luar
Kita sudah bicara tentang berbagai dinamika individu
yang dialami tiap-tiap orang, mulai dari konflik dalam
diri sampai berbagai gangguan mental dan emosional.
Kita pun telah membahas mengenai hukum insideout yaitu bagaimana kondisi mental kita akan
mempengaruhi bagaimana perlakukan kita pada
orang lain dan kehidupan; jika di dalam diri kita
terjadi konflik maka kita akan menularkan konflik
tersebut ke luar, jika di dalam diri kita bisa mengalami
apa yang Carl G. Jung sebut sebagai wholeness
(keutuhan) atau sebagaimana disiratkan Ajaran
Kanda Pat merangkul baik dewa dan bhuta kala
sebagai saudara, maka keharmonisan tersebut akan
terpancar pula ke luar diri—harmonis dengan orang
lain dan berbagai kondisi kehidupan.
Menjadi kuat berarti menjadi utuh, bukan menjadi
terbelah-belah. Bahkan pepatah yang ditempel di
dinding sekolah SD pun mendeskripsikannya dengan
baik, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh".
Namun keutuhan tersebut harus dimulai dari dalam
diri, keutuhan berbagai elemen di dalam diri, baik
yang sekilas nampak sebagai bhuta kala maupun
dewa.
Kedamaian dan kebahagiaan adalah kondisi alamiah
dan esensi sejati kita, karena sebagaimana diajarkan
dalam lontar-lontar Kanda Pat, kita ini sejatinya
Siwa—di dalam diri kita tersimpan berbagai potensi,
berbagai kuasa, kebijaksanaan dan sumber daya yang
sudah, sedang dan akan selalu ada—namun kita
melupakannya,
dan
saat
kita
melupakannya
bagaimana kita bisa memanfaatkannya?
Bukan hal yang memalukan jika kita merasa lemah,
tidak berdaya, putuh asa, sedih dan tenggelam dalam
keterpurukan, sebab memang semua itu pun adalaj
"saudara" yang perlu kita rangkul dengan penuh cinta
kasih dan penerimaan.
Merangkul semua kondisi—bahkan yang nampak
sangat
tidak
menyamankan—sebagai
saudara
merupakan awal untuk mengalami kedamaian dan
kebahagiaan, mengalami keutuhan (wholeness) yang
juga akan mengantarkan pada wellness. Justru
membelah diri menjadi bagian yang "dipeluk" dan
bagian yang "ditolak" yang akan membuat kita
semakin lepas dari akar kesejatian kita, yang akan
memperkeruh berbagai kondisi yang sedang kita
alami
dan
bahkan
menciptakan
berbagai
permasalahan baru.
Sebagaimana saya bahas panjang lebar dalam Buku
"Sakti Sidhi Ngucap", menjadi utuh akan menjadikan
kita sebagai anak lingsir mesaput poleng (orang tua
yang memakai kain poleng). Orang tua adalah simbol
kedewasaan dan kebijaksanaan, dan saput poleng
adalah simbol menyatunya dualita dan sebuah
tatanan.
Terimakasih.
Catatan:
Tahun 2017 ini saya merencanakan menulis rangkaian ebook Bali
Wisdom secara berkala, mengupas berbagai aspek kebijakan leluhur
Bali dan aplikasinya dalam kehidupan modern.
Berbagai jenis support untuk menjaga project ini terus berjalan sangat
kami apresiasi, terutama dalam pengumpulan dan pengetikan ulang
berbagai naskah lontar kuno.
Support berupa donasi bisa anda salurkan melalui Rek. BCA
6115072912 an. Putu Yudiantara.
Download