Tulisan sederhana ini hanya sebuah catatan seorang pembelajar yang mencoba menggali kebijakan leluhur pulau Dewata dan menarik benang merah sinerginya dengan pendekatan ilmiah di Barat. Sebagaimana pula buku saya yang lain di Bali Wisdom, semua catatan tersebut terus saya perbaharui, kembangkan dan sempurnakan seiring proses pembelajaran saya. Harapan saya, semoga catatan kecil ini bisa menjadi sebuah ketukan ke pintu hati anda tentang betapa kaya leluhur kita dengan berbagai kebijakan yang sudah kuno umurnya namun masih sangat tinggi relevansinya di jaman modern ini. Dan semoga melalui ketukan itu lebih banyak sahabat tertarik mempelajari kebijakan leluhur Pulau Dewata, dan bagi sahabat yang sudah terlebih dahulu melakukan penggalian semoga terpanggil untuk berbagi pemahaman pada pembelajar yang seperti saya ini. Semoga ke depan catatan ini bisa saya kembangkan lagi menjadi lebih kaya sehingga mendatangkan lebih banyak manfaat untuk anda. Selamat membaca edisi pertama ini, dan semoga catatan-catatan edisi lain publikasikan. Denpasar, Bali. Rahina Saraswati, 21 Januari, 2017 Putu Yudiantara www.baliwisdom.com www.putuyudiantara.com segera bisa saya Setiap orang ingin bahagia, ingin merasakan kedamaian dan ketenteraman dalam hidupnya. Bukankah anda pun demikian? Namun sayangnya, banyak orang yang menjalani kehidupannya justru dengan kondisi-kondisi kebalikan dari kedamaian dan kebahagiaan; mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur lagi malamnya, keseharian banyak orang dipenuhi oleh berbagai tekanan yang menghimpit, berbagai masalah yang meminta penyelesaian, berbagai macam tantangan yang perlu dihadapi, penuh oleh gejolak emosional yang tidak menyamankan seperti kemarahan, kekawatiran, ketakutan, rasa tidak percaya diri, kebingungan, stress dan bahkan depresi. Lalu, apakah hidup tenang dan damai selalu berarti ketiadaan berbagai tekanan dan masalah tersebut? Bisakah anda tetap tenang dan bahagia meski berbagai macam tekanan sedang menghimpit? Belum lagi, tantangan keseharian yang sifatnya sangat "paradoks". Misalkan sebuah masalah sedang datang menghimpit, reaksi normal kebanyakan manusia dalam kondisi seperti itu adalah stress, marah, sedih dan seterusnya yang membuat pikiran menjadi semakin keruh dan melemahkan secara mental maupun fisik. Namun sayangnya untuk masalah yang sedang terjadi itu justru anda dituntut untuk tenang sehingga pikiran anda menjadi jernih dan dapat merumuskan pemecahahan terbaik untuk masalah tersebut, anda dituntut agar tetap memiliki emosi yang stabil agar secara mental dan fisik anda lebih kuat dalam menghadapi situasi bersangkutan. Jika dalam situasi penuh tekanan tersebut anda jadi "kalap" maka hampir bisa dipastikan masalah yang anda hadapi menjadi semakin runyam. Tapi, bisakah anda tetap tenang, damai dan jernih meski dalam kondisi yang penuh tekanan seperti itu? Satu hal yang ironis dalam kehidupan manusia adalah, kita ingin hidup damai dan bahagia namun tidak mengenali berbagai penghalang dalam diri yang justru membuat kita berada dalam kondisi kebalikan dari tenang dan bahagia tersebut, tidak mengenali bagian dalam diri yang mensabotase upaya kita untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut. Seolah kita ingin menuju ke arah utara namun tidak sadar kalau supir yang mengantarkan kita justru sedang mengarah ke selatan. Terlalu banyak orang yang demikian "asing" dengan dirinya sendiri, dan karena tidak mengenali diri sendiri maka kita pun memperlakukan diri dengan seenaknya saja, lalu karena terbiasa memperlakukan diri dengan seenaknya maka kita pun memperlakukan orang lain dengan cara yang sama seperti cara kita memperlakukan diri itu. Salah satu defisit yang paling menyedihkan dalam kehidupan manusia modern sepertinya adalah defisit permakluman—kita seolah caranya diri memaklumi telah sendiri, lupa orang bagaimana lain dan kehidupan—dan alih-alih hidup dalam permakluman, kita malah menjadi demikian kaku dengan berbagai tuntutan dan keharusan yang baik secara internal maupun eksternal kita paksakan pada diri sendiri, orang lain dan kehidupan. Misalkan, saat kita merasa sedih entah karena apa, maka alih-alih mencoba memahami kesedihan tersebut, menjadikan kesedihan tersebut sebagai "saudara" yang perlu diperlakukan dengan welas asih, kita malah mengabaikan atau menekan kesedihan tersebut karena terlampau "mengharuskan diri" untuk selalu bahagia. Saat kita marah, kita mengabaikan atau menekan kemarahan tersebut karena mengharuskan diri untuk menjadi penyabar dan demikian seterusnya—kita senantiasa memperlakukan diri penuh dengan berbagai pengharusan dan keharusan—dan (sekali lagi) karena cara kita memperlakukan diri adalah dengan menuntut, mengharuskan, menekan dan mengabaikan, maka kita pun memperlakukan orang lain dengan cara yang sama; saat ada orang sedih, bukannya belajar berempati terhadap kesedihan orang tersebut, kita menyuruhnya mengabaikan kesedihan itu, baik secara implisit maupun eksplisit. Saat ada orang yang sedang merasa marah, bukannya mendengarkan dengan sabar kita malah bereaksi dengan kemarahan yang sama. Manusia selalu hidup dalam dualitas, dan baik dalam ajaran Kanda Pat maupun Psikologi (terutamanya Depth Psychology dari Carl G. Jung), saat anda mengharuskan diri menjadi seorang yang rajin maka di saat yang sama anda juga akan mengharuskan diri untuk tidak menjadi pemalas, dan bahkan lebih jauh lagi, saat anda mendapati diri sedang berlaku atau berpikir layaknya seorang pemalas, maka anda pun kemudian akan membenci dan menghujat diri. Semakin anda mengharuskan diri untuk menjadi rajin maka semakin benci anda pula pada kemalasan. Demikian pula dalam hal-hal lain polanya masih serupa; semakin anda mengharuskan diri menjadi cerdas maka semakin tidak bisa anda mentoleransi kebodohan, semakin anda mengharuskan diri menjadi orang baik maka semakin anda akan membenci hal-hal yang anda anggap buruk. Cara anda memperlakukan kebalikan dari diri ideal yang anda ingin bentuk ini disebut dengan coping, dan coping strategy anda akan sangat menentukan apakah anda akan menjadi orang yang semakin damai dan bahagia atau malah sebaliknya. Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa kita sudah terbiasa memperlakukan diri dengan semena-mena, lalu cara yang sama kita gunakan dalam memperlakukan orang lain. Kemudian bukan hanya secara individual kita menjadi pribadi yang jauh dari kedamaian dan kebahagiaan karena memperlakukan diri dengan penuh kebencian, secara interpersonal (hubungan antara kita dengan orang lain) pun kita mewarnai hidup dengan penuh kebencian, lalu satu orang dengan yang lain seolah saling menularkan kondisi ini terus menerus dan membuatnya semakin parah. Bagaimana kemudian kondisi ini bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan? Sebagaimana saya bahas di awal bab ini, manusia menjalani kehidupan diantara berbagai tekanan dan tantangan, yang mana secara sepintas hal ini berseberangan dari tujuan kita untuk merasa damai dan bahagia. Lalu, dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan itu pun cara-cara yang kita gunakan adalah dengan menekan, mengabaikan, membenci, mengutuk dan seterusnya yang kembali semakin menjauhkan kita dari tujuan kita untuk merasa damai dan bahagia itu. Celakanya lagi, kita tidak sadar dengan lingkaran setan ini dan terus berkubang di dalamnya. Coping strategy merupakan sebuah faktor signifikan yang menentukan kualitas kehidupan kita. Menekan atau mengabaikan emosi kita sendiri tidak akan pernah menjadi coping strategy yang memberdayakan, malah sebaliknya akan menjerumuskan kita dalam berbagai kondisi yang semakin runyam dan kalut. Alasannya, sebab hukum mental manusia mengatakan, "what you resist, persist" apa yang anda tolak akan bertahan. Anda tentu pernah mengalami bagaimana saat anda berusaha menahan amarah lalu tau-atau amarah yang anda tahan-tahan itu meledak tidak terkendali. Atau anda mungkin pernah mengalami saat anda mencoba mengabaikan kesedihan yang sedang anda rasakan, yang bukannya membuat kesedihan itu menghilang malah membuatnya semakin menjadi-jadi. Anda tidak akan pernah menemukan kedamaian dan kebahagiaan—sampai kapan pun, dalam bidang kehidupan mana pun—selama anda masih mewarnai diri anda dengan kebencian, selama anda masih memandang bagian-bagian tertentu dalam diri anda sebagai musuh, dan bukannya saudara. Bahkan lebih buruk dari itu, sebenarnya anda sedang mendidik "setan" dalam diri anda, yang akan selalu menghantui anda sampai anda melakukan prosesi yang membuatnya somya atau bertransformasinya iblis menjadi dewa. Misalkan, jika anda terus memendam amarah, menekan dan mengabaikan emosi anda sendiri, maka anda sedang menimbun bom waktu—sebagaimana para psikologis menyebutnya—yang siap meledak kapan saja. Atau anda terus memaksa diri bekerja dan bekerja dengan mengabaikan kesehatan fisik dan mental anda, maka akan ada titik dimana tubuh anda kewalahan dan down sebagai sinyal untuk beristirahat, dan lagi dalam kondisi seperti inipun banyak orang kemudian melakukan coping dengan cara yang malah semakin merusak keadaan. Hal yang juga anda perlu perhatikan berkaitan dengan coping strategy yaitu sekali anda mengatasi berbagai elemen diri (pemikiran, perasaan dan perilaku) dengan cara tertentu, maka cara tersebut akan terekam dalam neurotransmitter anda (samskara) dan akan muncul kecenderungan kuat untuk anda melakukannya lagi dan lagi sampai menjadi sebuah kebiasaan (habit) yang pada gilirannya justru susah anda lepaskan (vasana). Tentu satu hal yang wajar jika anda menginginkan kedamaian dan kebahagiaan, namun anda tidak akan bisa mencapai semua itu dengan terus-menerus memusuhi berbagai masalah dalam kehidupan anda—karena yang justru anda alami saat memusuhi kondisi atau orang tertentu dalam kehidupan anda malah adalah semakin banyak kebencian dan keluhan yang melemahkan dan membuat anda semakin jauh dari kedamaian dan kebahagiaan yang anda inginkan itu. Hal yang wajar jika anda ingin menjadikan diri orang yang sabar, namun berusaha menjadi orang sabar dengan membenci kemarahan dalam diri anda hanya akan membuat anda menjadi semakin pemarah. Wajar jika anda ingin menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupan, namun ketenangan itu tidak datang saat semua kondisi lain menghilang, sebaliknya saat anda mampu menerima kondisi-kondisi lain (marah, sedih, stress, kawatir, dan lain sebagainya) sebagaimana adanya. Ketidakmampuan kita memaklumi diri sendiri, orang lain dan berbagai kondisi keadaan sangat sering mengantarkan pada berbagai hal yang menjerumuskan, membuat sebuah kondisi menjadi lebih parah dari seharusnya. Atau jika memakai istilah yang lebih ilmiah, kita tidak mengembangkan coping strategy yang memberdayakan. Karena tidak bisa menerima berbagai "sisi gelap" dalam diri dan ekspresinya sebagai emosi negatif, perilaku buruk dan sabotase diri tidak jarang kemudian kita malah mengalami emosi yang semakin negatif, perilaku yang semakin buruk dan sabotase diri yang semakin parah. Dalam hal ini Ilmu Kanda Pat sebagaimana diwariskan oleh para leluhur bisa menjadi solusi sebab Kanda Pat merupakan ilmu untuk mengembangkan permakluman kita terhadap diri sendiri, orang lain dan kehidupan. Kanda Pat mengajarkan bahwa baik bhuta kala atau "iblis" maupun dewa ada dalam diri, semuanya adalah saudara. Kata "saudara" atau kanda atau sanak merupakan kunci untuk mengembangkan sikap penuh permakluman ini. Kita mungkin dengan mudah memeluk dengan penuh rasa persaudaraan berbagai kondisi ideal—emosi yang serba nyaman dan enak, perilaku yang sesuai harapan dan pemikiran-pemikiran yang baik—namun bisakah kita memperlakukan emosi negatif dan tidak menyamankan dalam diri dengan cara yang sama? Misalkan saat anda merasa sedih, apakah anda bisa menerima rasa sedih tersebut dalam diri sebagai sebuah keberadaan alami anda? Atau anda malah berusaha sekuat mungkin mengusirnya dengan berbagai cara, mengabaikan dan berpura-pura bahwa kesedihan itu tidak ada atau mencari pelarian-pelarian yang membuat anda bisa melupakan rasa sedih tersebut? Sekali lagi, apa yang anda tolak akan tetap bertahan dan bahkan menjadi semakin parah. Saya tau anda tidak ingin merasa sedih—atau rasarasa lain yang tidak menyamankan—namun berusaha mengusir dan mengabaikannya justru hanya akan membuat anda terjebak dalam mood yang semakin tidak menentu dan bahkan menyiksa. Dalam Kanda Pat diajarkan bahwa saudara-saudara gaib kita (Sanghyang Catur Sanak) bisa menimbulkan penyakit atau bisa menjadi sumber kekuatan anda, tergantung apakah anda "mengingat" beliau sebagai saudara atau malah melupakannya. Kanda Pat Bhuta menyebutkan bahwa berbagai bhuta kala merupakan saudara kita, berstana dalam diri kita, lahir bersama kita dan akan terus menemani kita sampai kematian. Disebutkan nama-nama beliau saat berwujud Bhuta Kala yaitu Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati Raja dengan wujud menyeramkan. Hal ini bisa dimaknai secara filosofis sebagai simbol-simbol dari berbagai naluri, kecenderungan dan kondisi mental "negatif" dalam diri. Namun, keempat saudara "gaib" tersebut tidak berwujud bhuta kala dari awal—sebagaimana lontar-lontar Kanda Pat menyebutkannya—namun baru berubah menjadi bhuta kala saat kita sudah beranjak dewasa dan melupakan beliau sebagai saudara yang telah mengiringi dan membantu kelahiran kita di dunia, mulai dari saat kita masih berupa benih dalam kandungan sampai mewujud manusia dan lahir. Dan keempat saudara atau Sanghyang Catur Sanak yang berwujud Bhuta Kala tersebut kemudian akan bertransformasi menjadi dewa saat kita "memprosesnya". Dan "proses" yang dimaksud disini tentu adalah sebuah proses pengenalan dan penerimaan beliau sebagai saudara kita—yang mana hal ini diwujudkan dalam ritual Kanda Pat sebagai pengeregepan atau menginternalisasi kembali Sanghyang Catur Sanak ke dalam diri—dan mengenali hakikat sejatinya. Saya cenderung memaknai prosesi maupun penjabaran Ilmu Kanda Pat sebagai sebuah penjelasan filosofis mengenai hakikat keberadaan manusia dan perkembangannya. Mulai dari Kanda Pat Rare, Kanda Pat Bhuta, Kanda Pat Dewa dan Kanda Pat Sari. Proses tersebut serupa dengan proses psikologis dalam Jungian Psychology yang dikenal sebagai Individuation, yaitu sebuah proses menjadikan diri yang terbelah-belah agar menjadi utuh kembali, sebab tugas utama manusia— sebagaimana diajarkan Carl G. Jung—adalah mengalami keutuhan (wholeness) dan keutuhan ini adalah syarat kunci untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan (wellness). Kita hidup di lingkungan sosial dengan nilai moral yang sangat tinggi, yang dengan menggebu-gebu memuja sifat ke-dewa-an sekaligus secara bringas membenci sifat ke-bhuta-an. Masyarakat kita demikian memuliakan orang yang dianggap suci sekaligus sangat membenci manusia yang dianggap hina atau pendosa. Kemudian, karena kita memiliki kebutuhan psikologi dasar untuk diterima oleh lingkungan sosial kita, maka kita pun menyesuaikan diri dengan mengabaikan dan ikut membenci sisi dalam diri yang kita anggap "iblis" dan hanya mengedepankan sisi yang akan menampilkan kita sebagai sosok "dewa". Tentu saja, sebagaimana dikatakan Jung, menampilkan persona (topeng sosial; sisi dalam diri yang kita tampilkan pada orang lain) merupakan hal yang wajar sebagai mahluk sosial, namun jika kita melakukan itu dengan cara membenci sisi buruk dalam diri, maka kita sejatinya sedang membenci sebagian diri kita, membuat sisi yang tadinya adalah bagian natural atau bagian manusiawi kemudian berubah menjadi sisi demonic dalam diri. Singkatnya, cara ini membuat kita menciptakan iblis yang menghantui kehidupan kita sendiri. Kemarahan, keserakahan, iri hati, kesedihan, ketakutan, dan emosi lain yang kita beri label "negatif" merupakan bagian alami yang lahir sebagai bagian alami kita sebagai manusia. Semua kecenderungan tersebut tidak bersifat negatif dari sananya sebab semua memiliki peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan kita. Misalkan saja keserakahan adalah dorongan yang membuat kita selalu "ingin lebih"; ingin hidup yang lebih baik, ingin bisnis yang lebih maju, ingin menjadi lebih pintar dari sebelumnya, ingin jadi lebih terhubung dengan Tuhan, ingin lebih bijaksana dalam menjalani kehidupan dan seterusnya. Bukankah tidak ada yang salah dengan "ingin lebih" ini? Tentu saja, selama kita serakah dalam koridor "kebaikan". Demikian pula dengan kondisi-kondisi dan kecenderungan lainnya, semua tidak "baik" atau "buruk" dari sananya, namun menjadi baik atau buruk tergantung dari bagaimana kita menyalurkannya dalam konteks lingkungan sosial kita masing-masing (sebab hal baik dalam satu kelompok bisa menjadi hina di kelompok lain). Sekali lagi, adalah wajar kita mengembangkan persona atau "topeng sosial", dan inipun adalah bagian dari sisi kemanusiaan kita yang sangat alami. Namun hal yang perlu kita waspadai adalah jangan sampai upaya kita mengembangkan persona tersebut malah membuat kita memiliki shadows atau sisi gelap yang terlalu kental. Saat kita ingin menampilkan diri sebagai seorang yang sabar (persona) kita pun akan mengabaikan sisi pemarah kita (shadows), dan jika sisi pemarah tersebut terus diabaikan dan tidak pernah mendapat cahaya kesadaran (anda melupakan keberadaanya dan membiarkannya menjadi "hantu" di kegelapan, tidak pernah belajar menerima keberadaanya dan mengakuinya sebagai "saudara") maka kita pun akan kaget saat sisi tersebut menjadi sisi yang menguasai kita (misalkan kemarahan tersebut tiba-tiba meledak dan membuat kita buta sehingga melakukan halhal yang kita sesali). Hal semacam inilah yang oleh Leluhur Bali diistilahkan sebagai bhutane memurti di dewek, artinya diri yang dikuasai sisi ke-bhuta-an, kerasukan atau kesurupan oleh sisi gelap kita sendiri. Ilmu Kanda Pat merupakan salah satu ilmu warisan leluhur Bali yang tidak asing lagi di telinga kebanyakan masyarakat Bali. Namun demikian, sebagaimana halnya dengan Ilmu Pengiwa (Pengeleakan), Ilmu Kanda Pat masih diliputi berbagai macam mitos, mistik dan bahkan tidak jarang berbagai macam kekeliruan. Sebagaimana ilmu khas Bali lain yang kental dengan nuansa ajaran Tantra, Ilmu Kanda Pat pun dianggap sebagai ilmu rahasia, penuh mantra, penuh ritual dan hal-hal sejenis. Dalam pembahasan kali ini kita tidak akan membahas Ilmu Kanda Pat dari perspektif tersebut, namun lebih pada membacanya sebagai pesan filosofis yang mengandung berbagai macam petuah yang sangat berguna untuk kita jadikan pedoman dalam kehidupan. Kita akan membahas Ilmu Kanda Pat dari perspektif psikologi, lebih spesifiknya lagi Jungian Psychology atau Depth Psychology. Secara sederhana Kanda Pat bisa diterjemahkan sebagai saudara empat (kanda; saudara, pat; empat), karena itu sering pula disebut dengan catur sanak (empat saudara). Kanda Pat biasanya dibagi menjadi beberapa bidang, mulai dari yang paling populer dikenal sampai yang bersifat eksklusif. Beberapa bidang keilmuan dalam Kanda Pat misalkan; Kanda Pat Rare, Kanda Pat Bhuta, Kanda Pat Dewa, Kanda Pat Sari dan Kanda Pat Kalepasan. Secara umum, poin pembahasan dari masing-masing bidang Ilmu Kanda Pat tersebut sebenarnya sama, meski ada titik berat tertentu yang ada dalam satu bidang namun tidak dibahas dalam bidang lain. Kanda Pat Rare (rare; anak kecil) membahas awal keberadaan kita, mulai dari pertemuan ayah dan ibu (dari mereka berkenalan, saling bertegur sapa sampai pada pernikahan) yang titik berat pembahasannya biasanya adalah proses perkembangan janin sampai menjadi seorang anak manusia. Kemudian Kanda Pat Bhuta banyak membahas mengenai saudara-saudara kita yang kembali bertransformasi menjadi Bhuta Kala yang bernama Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati Raja, berbagai daya gaib yang dimilikinya dan bagaimana kita bisa memanfaatkan daya gaib tersebut untuk berbagai keperluan (baik yang bersifat pengiwa maupun penengen). Lalu Kanda Pat Dewa banyak membahas mengenai dewadewa di dalam diri, letak spesifik dan Aksara sucinya. Kemudian Kanda Pat Sari (sari; akhir, intisari) yang pembahasannya secara umum sama dengan Kanda Pat lain, namun dengan penekanan tertentu kaitan antara kita (manusia), para dewa, para bhuta-kala dan alam (pohon, jurang, jalan, sawah) semua adalah satu saudara. Secara ringkas, ada beberapa poin penting dari ajaran Kanda Pat yang sesuai dengan konteks pembahasan kita; Kita sudah ada bahkan saat ayah dan ibu kita baru saling bertatap mata (dan akan terus ada). Lontar Kanda Pat Bhuta menyebutkan, saat ayah dan ibu kita masih jejaka, lalu mereka bertemu dan saling bertatap mata, pada saat tersebut pun rupanya kita sudah "ada" dan bernama Sang Hyang Asmara Pandeleng. Lalu saat ayah dan ibu kita mulai saling bertegur sapa untuk pertama kalinya, nama kita berubah menjadi Sang Hyang Panuntun Iswaramadu. Demikian seterusnya keberadaan kita mengalami perubahan nama seiring perkembangan pertemuan ayah dan ibu kita, dari perkenalan awal sampai pertama kali bersenggama, sampai pertemuan antara sperma (kama petak) dengan sel telur (kama bang), lalu kita mewujud menjadi manusia di dalam kandungan dan kemudian lahir dan berkembang. Di setiap fase tersebut disebutkan kita memiliki namanama yang diawali "Sang Hyang". Hal ini merupakan sebuah pesan yang mengisyaratkan kalau keberadaan kita di dunia tidak dimulai dari awal kelahiran, namun dari awal pertemuan kedua orang tua kita pun kita sudah ada sebagai "potensi", dan potensi tersebut merupakan energi murni yang pada gilirannya akan mewujud menjadi materi (menjadi nyata secara empiris). Dimanakah keberadaan kita pada waktu itu? Bagaimana wujudnya? Tentu pada saat tersebut kita masih "berwujud" sebagai energi murni yang ada dimana-mana, di Medan Quantum (Quantum Field). Namun, sebagaimana diisyaratkan perkembangan tersebut, bahkan setelah kita telah mengambil wujud fisik seperti sekarang kita sejatinya masih memiliki "sisi illahi" tersebut, hanya saja kita melupakannya. Karena lupa, kita cenderung menganggap bahwa kita ini tidak lebih dari seonggok darah, daging dan tulang, lupa dengan "esensi" sejati kita sendiri. Kita membiarkan tubuh fisik dan keterbatasan mental kita sendiri sebagai batasan personal, lupa kalau potensi tak terbatas sudah, sedang dan akan selalu ada sebagai esensi sejati kita. Kita pun kemudian hidup sebagai "manusia lemah yang penuh keterbatasan" karena tidak pernah terhubung dengan "saudara" kita yang memiliki potensi lebih besar tersebut. Karena merasa lemah dan penuh keterbatasan inilah kemudian kita mudah mengalami stress, cepat putus asa, terjebak dalam kekawatiran terus menerus dan banyak kondisi memprihatinkan lainnya. Mentransformasikan berbagai penjara mental ini merupakan salah satu tujuan Kanda Pat; kita dikenalkan dengan potensi-potensi besar dalam diri kita yang akan membimbing, melindungi, menjaga dan memberi kita rasa aman dan nyaman, memberi kita jalan, jika saja kita menghubungkan diri dengannya. Dan dalam kondisi keterhubungan ini tentu berbagai "gangguan psikologis" seperti kekawatiran, stress dan frustasi, rasa rendah diri dan seterusnya tidak akan lagi menggerogoti kita. Anda tidak akan takut menghadapi badai jika anda tau kalau anda memiliki perahu layar yang lebih kuat dari badai tersebut. Ketakutan hanya muncul jika badai besar datang sedangkan anda sedang berada di perahu kecil tanpa gayung. Leluhur kita di Bali sering mengingatkan kalau manusia itu dewaning dewa, bhutaning bhuta atau manusia bisa menjadi dewanya para dewa pun bisa menjadi yang paling mengerikan diantara Bhuta Kala. Kalimat sederhana ini merupakan pengingat untuk kita tentang esensi sejati kita (bahwa kita adalah Siwa; kesadaran murni), bahwa ada potensi luar biasa di dalam diri kita yang bisa kita manfaatkan dalam kehidupan. Sebagai orang yang bergerak dalam bidang menemui pemberdayaan banyak diri orang (psikoterapi) yang jatuh saya dalam keterpurukan dan depresi, seolah kehilangan arah dan kekuatan dalam kehidupannya. Satu hal yang menjadi persamaan mereka adalah; mereka membiarkan diri dikungkung oleh batasan mental dan fisik, menutup diri terhadap kemungkinan- kemungkinan lain, menutup diri terhadap sumbersumber kuasa dalam diri yang masih laten dan tidak terdayagunakan, daya yang sudah ada bahkan saat ayah dan ibu kita baru saling bertatap mata, yang kita lupakan karena terbuai oleh berbagai drama mental kita sendiri. Ajaran Kanda Pat menyiratkan kalau dewa di dewek (kalau dewa ada di dalam diri) kalimat ini pun menyiratkan kalau potensi luar biasa ada dalam diri manusia. Mengenali dan memanfaatkan potensi tersebut adalah sebuah proses transformasi diri yang sangat signifikan pengaruhnya, karena saat kita belajar menggunakan potensi yang melampaui batasan yang dibuat oleh pikiran kita, maka saat itu pula kita tidak akan lagi dibatasi oleh pikiran kita, kita akan terbuka terhadap "samudera kemungkinan tak bertepi" bukan terkungkung dalam ceruk sumur kering. Pengalaman ini bersifat transpersonal atau melampaui diri anda sendiri. Semua Manusia Bersaudara, Seluruh Alam Semesta Bersaudara Ajaran Kanda Pat menyatakan secara tersurat dalam berbagai lontar bahwa selain memiliki tubuh fisik yang bersifat "personal" kita pun memiliki sisi yang bersifat "universal". Di Bali, selain dipengaruhi oleh ajaran Tantra, ajaran Siwa merupakan ajaran lain yang mengakar kuat, dan dalam ajaran ini Dewa Siwa dinyatakan sebagai dewa tertinggi (mahadewa), dan kita (masing-masing dari kita) merupakan Siwa tersebut. Tentu siwa yang dimaksud disini bukan serta merta sebuah "wujud" sebagaimana yang digambarkan dalam berbagai tayangan televisi, namun lebih pada "kesadaran murni" yang menjadi fondasi keberadaan semesta ini. Namun bukan hanya saya dan bukan hanya anda yang secara esensial merupakan Siwa, semua manusia dan seluruh mahluk pun sejatinya adalah Siwa. Ada Siwa dalam diri anda, ada Siwa dalam diri saya dan ada Siwa dalam diri semua manusia, inilah kenapa ajaran Kanda Pat tidak hanya menyiratkan kalau kita "bersaudara" dengan para dewa, namun semua manusia adalah satu saudara (vasudaiwah kutumbakam). Masyarakat kita adalah masyarakat yang jauh dari hal anggapan ini, alih-alih bersaudara bahkan satu orang dengan orang lain merasa saling bermusuhan, menyimpan kecurigaan dan kebencian. Akibatnya kehidupan jadi tidak nyaman, penuh prasangka dan penuh kekawatiran. Bisa anda bayangkan sendiri bagaimana rasanya tinggal bersama dalam satu kekeluargaan dan tinggal bersama sebagai musuh? Pandangan semacam ini tidak sedikit sumbangannya terhadap berbagai gangguan psikologis yang dialami manusia; kita selalu merasa terancam, kawatir, waswas, takut, hidup dengan saling menjatuhkan bukannya co-exist sebagai saudara dengan sesama manusia. Bagaimana dengan kondisi seperti ini kita bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan? Bahkan tidak jarang dengan saudara sedarah pun saling bermusuhan. Proses transformasi psikologis dalam Kanda Pat dimulai secara personal, artinya anda merangkul seluruh elemen dalam diri anda sebagai saudara dulu, sehingga kemudian anda bisa memproyeksikan kondisi ini secara eksternal. Cara kerja kehidupan adalah inside-out, apa yang anda di dalam diri akan terproyeksikan ke luar (pada orang lain dan alam). Bagaimana cara anda memperlakukan diri sendiri akan menentukan bagaimana cara anda memperlakukan orang lain, jika dengan beberapa bagian dalam diri anda saja masih saling bermusuhan maka akan sulit untuk menganggap manusia lain sebagai saudara, jika dalam diri anda masih ada sisisisi yang saling membenci, maka akan sulit bagi anda memproyeksikan cinta kasih. Berikutnya, dalam Kanda Pat Sari disebutkan secara tersirat bahwa bukan hanya Para Dewa dan Bhuta yang menjadi "saudara" kita, bahkan alam sekala (alam nyata) dan alam niskala (alam tidak kasat mata) pun adalah saudara kita. Bukan hanya dengan sesama manusia kita mengembangkan sikap persaudaraan, namun dengan tumbuhan dan hewan pun agar diperlakukan sebagai saudara. Utuh di Dalam, Utuh di Luar Kita sudah bicara tentang berbagai dinamika individu yang dialami tiap-tiap orang, mulai dari konflik dalam diri sampai berbagai gangguan mental dan emosional. Kita pun telah membahas mengenai hukum insideout yaitu bagaimana kondisi mental kita akan mempengaruhi bagaimana perlakukan kita pada orang lain dan kehidupan; jika di dalam diri kita terjadi konflik maka kita akan menularkan konflik tersebut ke luar, jika di dalam diri kita bisa mengalami apa yang Carl G. Jung sebut sebagai wholeness (keutuhan) atau sebagaimana disiratkan Ajaran Kanda Pat merangkul baik dewa dan bhuta kala sebagai saudara, maka keharmonisan tersebut akan terpancar pula ke luar diri—harmonis dengan orang lain dan berbagai kondisi kehidupan. Menjadi kuat berarti menjadi utuh, bukan menjadi terbelah-belah. Bahkan pepatah yang ditempel di dinding sekolah SD pun mendeskripsikannya dengan baik, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". Namun keutuhan tersebut harus dimulai dari dalam diri, keutuhan berbagai elemen di dalam diri, baik yang sekilas nampak sebagai bhuta kala maupun dewa. Kedamaian dan kebahagiaan adalah kondisi alamiah dan esensi sejati kita, karena sebagaimana diajarkan dalam lontar-lontar Kanda Pat, kita ini sejatinya Siwa—di dalam diri kita tersimpan berbagai potensi, berbagai kuasa, kebijaksanaan dan sumber daya yang sudah, sedang dan akan selalu ada—namun kita melupakannya, dan saat kita melupakannya bagaimana kita bisa memanfaatkannya? Bukan hal yang memalukan jika kita merasa lemah, tidak berdaya, putuh asa, sedih dan tenggelam dalam keterpurukan, sebab memang semua itu pun adalaj "saudara" yang perlu kita rangkul dengan penuh cinta kasih dan penerimaan. Merangkul semua kondisi—bahkan yang nampak sangat tidak menyamankan—sebagai saudara merupakan awal untuk mengalami kedamaian dan kebahagiaan, mengalami keutuhan (wholeness) yang juga akan mengantarkan pada wellness. Justru membelah diri menjadi bagian yang "dipeluk" dan bagian yang "ditolak" yang akan membuat kita semakin lepas dari akar kesejatian kita, yang akan memperkeruh berbagai kondisi yang sedang kita alami dan bahkan menciptakan berbagai permasalahan baru. Sebagaimana saya bahas panjang lebar dalam Buku "Sakti Sidhi Ngucap", menjadi utuh akan menjadikan kita sebagai anak lingsir mesaput poleng (orang tua yang memakai kain poleng). Orang tua adalah simbol kedewasaan dan kebijaksanaan, dan saput poleng adalah simbol menyatunya dualita dan sebuah tatanan. Terimakasih. Catatan: Tahun 2017 ini saya merencanakan menulis rangkaian ebook Bali Wisdom secara berkala, mengupas berbagai aspek kebijakan leluhur Bali dan aplikasinya dalam kehidupan modern. Berbagai jenis support untuk menjaga project ini terus berjalan sangat kami apresiasi, terutama dalam pengumpulan dan pengetikan ulang berbagai naskah lontar kuno. Support berupa donasi bisa anda salurkan melalui Rek. BCA 6115072912 an. Putu Yudiantara.