Demokrasi Para Pemodal Di Pilkada DKI http://politik.rmol.co/read/2016/09/21/261541/Demokrasi-Para-Pemodal-Di-Pilkada-DKI- POLITIK RABU, 21 SEPTEMBER 2016 | OLEH: LAMEN HENDRA SAPUTRA REVOLUSI Perancis Abad 18 mengajarkan bahwa setiap manusia dihargai bukan berdasar darah atau garis keturunannya bangsawan atau bukan, karena semua manusia pada hakikatnya "setara" (egaliter). Sejak saat itu hingga kini, kaum borjuasi pemilik gilde-gilde (bengkel kecil/UKM) dan skala yang lebih besar (seperti manufactur), harus menegakkan demokrasi bersama kelas-kelas masyarakat yang lainnya. Borjuasi biasa disebut sebagai Pemodal. Mereka adalah kelas yang istimewa dalam Demokrasi pasca Revolusi Perancis. Minoritas dalam masyarakat ini seringkali juga menjadi pemilik industri pers yang mendominasi media informasi masyarakat . Bersamaan dengan itu mereka juga memiliki partai-partai politiknya sendiri. Bila tidak mampu memiliki suatu partai, para Pemodal akan selalu berusaha mempengaruhi para politisi pimpinan partai politik tersebut. Hal ini terjadi di sepanjang dua abad usia kapitalisme di dunia. Demokrasi yang dibangun di negara-negara kapitalisme yang ekstrim (atau neoliberalisme) bergantung kepada Pemodal. Pada era Orde menggunakan senjata untuk memastikan ekonomi yang masih menganut mazhab seperti Indonesia, masih sangat Baru lebih buruk lagi, negara Pemodal berjalan. Di dua periode tersebut, sialnya, demokrasi Indonesia bernama "Pancasila". Wajar bila sampai detik ini rakyat kita tidak paham makna Sila Keempat tentang Demokrasi tersebut, bagi kemaslahatannya. Karena sebagian besar rakyat masih belum merasakan arti kata Merdeka, walau telah melalui Pemilu berkali -kali. Memang dikatakan, bahwa dalam sistem demokrasi ini setiap orang bisa memiliki hak pilih dan dipilih. Hanya bila kita ingin benar-benar "dipilih" dalam demokrasi Pancasila rasa Liberal ini, ternyata ada "harga"-nya. Semisal untuk Pilkada DKI yang akan berlangsung Februari 2017, yang kabarnya "harga"-nya berkisar kelipatan Rp 500 miliar hingga Rp 1,5 triliun. 1 Data ini diperoleh dari berbagai sumber di social media dan kesaks ian para politisi yang ingin "dipilih" tersebut. Kabarnya sebagian besar pendanaan digunakan untuk pencitraan di media massa, yang industrinya juga dimiliki Pemodal yang sama dengan yang mengendalikan partai-partai politik. Namun Inkumben DKI selalu bilang dirinya tidak pernah memberi mahar kepada partai-partai politik yang mendukung. Ini merupakan citra dirinya. Hanya saja rakyat tidak bodoh. Semua orang tahu pasti ada transaksi dari kaum Pemodal pendukung inkumben. Benar memang tidak lewat tangan inkumben, tapi dapat lewat tangan pegawai para Pemodal. Cepat atau lambat, mahar ini harus diganti dengan proyek untuk para Pemodal. Nah, kebetulan Pemodal pendukung inkumben ini didominasi oleh sektor properti. Yang paling menonjol dari program inkumben adalah Reklamasi Teluk Jakarta dan Penggusuran di 325 titik di DKI, yang memang menguntungkan sektor properti. Dalam program NCID (Tanggul dan 17 Pulau) akan banyak mendatangkan modal (investasi) dan baja terutama dari Tiongkok. Perlu diketahui, untuk komoditi baja Tiongkok sudah overproduksi (overkapasitas). Sehingga dengan membangun proyek NCID tersebut, kita ikut meringankan derita ekonomi Tiongkok, sekaligus memperkaya para Pemodal pendukung inkumben DKI. Jangan salah. Tidak berarti kami mencoba menghubungkan inkumben dan para taipan pemodal yang beretnis Tionghoa dengan proyek Tiongkok ini. Kami tidak SARA, nasionalisme kami progresif, tidak anti imigran. Bukankah benar apa yang dikatakan oleh Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, bahwa kita semua ini adalah bangsa pendatang yang berimigrasi ke Kepulauan Indonesia. Jadi jangan ada manusia Indonesia modern yang merasa paling pribumi, karena kita semua adalah imigran. Ini juga bukan tentang agama yang berbeda yang kebetulan dianut inkumben, karena Sila Pertama Pancasila mengakui 6 agama dan seluruh aliran kepercayaan yang bebas dipeluk siapapun. Kebijaksanaan inilah yang menjadi semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di kaki burung Garuda Pancasila, lambang negara kita. Jadi jangan sampai isu dalam Pilkada nanti bergeser kepada SARA, harus tetap di jalur ekonomi-politik. 2 Kembali ke soal Demokrasi dan Pemodal. Akibatnya partai-partai politik menjadi tergantung pada Pemodal. Para wakil rakyat di Parlemen yang berasal dari partai politik mau tidak mau juga harus memihak kepentingan bisnis Pemodal. Begitupun perwakilan partai politik yang duduk memimpin di pemerintahan daerah hingga pusat (bupati, gubernur, presiden) atas pilihan rakyat, juga tergantung pada Pemodal. Buktinya. Inkumben DKI pernah mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan tentang presiden yang katanya, "Tak akan mungkin jadi presiden tanpa bantuan pengembang (pemodal)". Presiden tak pernah bantah tudingan inkumben DKI ini, artinya tudingan tersebut sah. Buktinya sah? Seorang Menko di-reshuffle dua bulan lalu karena berani hentikan Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Jadi, saat misalnya gerakan rakyat memiliki calon dari kalangannya yang terbukti integritas, kompetensi, dan rekam jejaknya, untuk berkontes di Pilkada DKI. Masuk atau tidaknya dirinya dalam kontestasi tetap harus dengan seizin para Pemodal. Bila tidak diizinkan Pemodal, calon dari gerakan rakyat tersebut tetap tidak bisa dipilih” seluruh rakyat. Sehebat apapun dan sesuci apapun dirinya, tidak akan bisa memasu ki gelanggang Demokrasi para Pemodal. [***] Penulis Adalah Wakil Ketua Umum Liga Pemuda Indonesia 3