STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN

advertisement
STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN
Author : SUBANDI RIANTO
Abstract :
Sebuah Pengantar
Budaya Patronase atau Patron-Klien merupakan sebuah ciri khas dari mozaik kebudayaan di Nusantara.
Hampir sebagian besar kebudayaan yang mendiami Kepulauan Nusantara memiliki budaya patron-klien,
beberapa contohnya adalah Jawa dan Sulawesi Selatan. Dimana budaya ini bersifat emosional dan
berkelanjutan. Budaya Patron-Klien telah diteliti bertahun-tahun oleh para antropolog dan menghasilkan
pengertian sebagai berikut:
“…suatu kasus khusus hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan
instrumental, di mana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan
pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atas
kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien). Hingga kemudian giliran klien
membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan termasuk jasa-jasa
pribadi kepada patron” (scout: 1972)
Secara umum, budaya patron-klien dapat ditemukan dikehidupan masyarakat pedesaan, dimana terjadi
hubungan timbal-balik seperti yang didefinisikan di atas. Jika di Jawa bisa dijumpai semenjak zaman kerajaan
dengan pola hubungan keloyalan masyarakat terhadap pemberian raja. Berlanjut pada masa kolonial dengan
hubungan para bupati dan rakyatnya yang saling mengisi. Patron-Klien ternyata bisa dijumpai juga dalam
kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan yang rata-rata suku bangsanya merupakan suku bangsa Bugis,
terkenal dengan suku yang suka melaut dan nelayan sebagai pencaharian utamanya. Sangat berbeda dengan
Jawa yang agraris dan kental dengan budaya patriarki. Buku ini akan menjelaskan dengan lebih kompleks
mengenai tata aturan patron-klien di Sulawesi Selatan.
Ciri-Ciri Budaya Patron-Klien dan Penjelasannya.
Ahli antropologi Scout memberikan beberapa ciri-ciri utama hubungan sosial Patron-Klien jika dibandingkan
dengan hubungan sosial lainnya:
Adanya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran timbal balik.
Merupakan hubungan yang tidak seimbang, karena patron merupakan posisi pemberi yang selalu memberikan
bantuan kepada klien agar mereka bisa tetapi hidup dan loyal (bergantung) kepada sang patron.
Adanya sifat tatap muka (face to face character)
Sifat tatap muka menandakan bahwa hubungan patron-klien menggunakan hubungan emosional. Dimana
dibuktikan dengan panggilan akrab antara sang patron dan klien yang tentu saja unsur rasa (chemistry) terjadi
pada hubungan tersebut.
Bersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility)
Hubungan patron dan klien dikatakan meluwes dan luas bukan hanya pada timbal balik kebutuhan tadi. Tetapi
bisa berupa bahwa patron dank lien merupakan teman akrab semasa sekolah dulu, sesame tetangga atau
dengan factor-faktor lain yang membuat hubungan keduanya semakin luas.
Patron-Klien di Sulawesi Selatan.
Page 1
STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN
Ilmuwan Sosial Prancis, Peiras memberikan gambaran terang bagaimana Patron-Klien begitu kuat mengakar
pada masyarakat Bugis-Makassar. Dimana kebudayaan itu tidak hanya terjadi pada konteks masyarakat
pertanian saja. Namun meluas hingga pada bidang perdagangan, pertambakan dan perairan (nelayan).
Masyarakat Bugis mengenal budaya Patron-Klien dari sebuah filosofi mengenai ajjoareng dan joa. Ajjoareng
adalah seseorang yang bisa dijadikan panutan atau punggawa/tetua adat. Sementara para pengikut-pengikutnya
(orang yang memuliakan ajjoareng adalah joa). Joa akan selalu mengikat janji setia (loyal) dalam keaadaan
apapun terhadap para ajjoareng karena mereka memiliki hubungan timbalebalik yang secara menguntungkan.
Dimana para ajjoareng bisa memberikan jaminan harga diri dan kebutuhan hidupnya. Ini menjadi prasyarat
mutlaknya kesetiaan dan keloyalan seorang joa kepada ajjoarengnya.
Orang-orang ajjoareng merupakan golongan dari bangsawan (karaeng), sementara joa merupakan
orang-orang biasa yang menjadi pengikutnya (disebut orang-orangnya para karaeng). Hubungan patron-klien
ini dalam bahasa masyarakat Bugis Sulawesi Selatan disebut “minawang” yang artinya adalah
“mengikuti”. Yang maksudnya ikatan antara mereka adalah sukarela dan dapat diputuskan
setiap saat.
Budaya patron-klien bukan hal yang baru pada masyarakat Bugis sekarang. Pada masa kolonial pun, seorang
pegawai Belanda Kooreman pun telah melihat gejala-gejala pengikutan ini. Ia menulis gejala tersebut dalam
sebuah laporan dan menamainya volgelingzijn (kepengikutan):
“… tidak adanya upaya orang-orang kecil melawan keangkuhan para kekejaman para bangsawan
(karaeng) membuat mereka –orang-orang kecil- meminta perlindungan kepada bangswan yang lain.
Bangsawan yang berani melindungi dan menjamin keselamatannya juga meminta timbal baliknya. Berupa
kesetian dan keloyalan terhadap setiap keinginannya…”
Analisis dan Pembahasan Patron-Klien di Sulawesi Selatan.
Scout memberikan ulasan yang baik mengenai faktor-faktor pendukung eksistensi budaya ini. Antara lain
adanya pelapisan kedudukan dalam masyarakat Bugis, pelapisan kekuasaan, kekayaan yang semua dianggap
sah oleh masyarakat disana, adanya degradasi keamanan sosial yang memicu orang mencari perlindungan.
Perbedaan status, kekuasaan dan kekayaan sangat jelas mempengaruhi adanya ketidakseimbangan distribusi
keamanan sosial, kesejahteraan masyarakat serta problematika sosial lainnya. Hal di atas semakin memicu
banyaknya peperangan, perampokan serta tindak pidana kriminal lainnya. Sehingga penduduk berinisiasi
untuk mencari perlindungan kepada bangsawan (yang notabene para bangsawan bisa mengoyak simpul-simpul
terjadinya peperangan).
Kesimpulan
Penulis dalam melakukan penelitian menggunakan dua pendekatan, yang pertama adalah pendekatan sistem
budaya dan pendekatan keadaan. Pendekatan system budaya lebih melakukan penekanan pada budaya orang
Bugis. Sementara, pendekatan kedua lebih melihat pada keadaan, situasi tempat menggejalanya budaya
patronase. Penulis melakukan klarifikasi dan pembuktian terhadap teori-teori keadaan yang dikemukakan
Scout dan memberikan hasil yang bagus. Penulis memberikan kritik bahwa tidak semua teori-teori tentang
keadaan yang dikemukakan Scout bisa ditemukan pada budaya patron-klien masyarakat Bugis-Sulawesi
Selatan.
Identitas Mahasiswa:
Subandi Rianto, NIM 120914028
Student of History Department, Faculty of Humanities, Airlangga University
Page 2
STUDI PATRONASE DI SULAWESI SELATAN
(end)
Page 3
Download