Optimalisasi Penggunaan Bawang Putih sebagai Pengawet Alami

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Patin
Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) menurut Saanin (1984) termasuk ke
dalam:
Phyllum : Chordata
Sub phyllum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypophthalmus (Fowler).
Gambar 2. Ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
Ikan patin memiliki ciri-ciri morfologi : badan memanjang berwarna putih
seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan dan tidak bersisik.
Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk
ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin rela tif kecil dengan mulut terletak
8
di ujung kepala agak di sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan
catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pend ek yang berfungsi
sebagai peraba. Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah
menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak
sirip punggung terdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip
lemak yang berukuran kecil sekali sering disebut adipose fin, adapun sirip
ekornya berbentuk cagak dan simetris. Sirip duburnya terdiri dari 30-33 jari- jari
lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak.
Sirip dada
memiliki 12-13 jari- jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang menjadi senjata dan
dikenal sebagai patil (Susanto dan Amri, 1996).
Ikan patin merupakan salah satu ikan dasar (demersal), bersifat nokturnal
(melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana ikan catfish lainnya. Selain itu,
ikan patin suka bersembunyi di liang-liang di tepi sungai yang merupakan habitat
hidupnya (Susanto dan Amri, 1996). Hal yang membedakan ikan patin dan ikan
catfish pada umumnya yaitu sifat patin yang termasuk omnivora atau golongan
ikan pemakan segala. Makanan ikan patin secara alami adalah ikan- ikan kecil
lainnya, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, krustasea kecil, dan moluska.
Daerah penyebaran ikan patin meliputi negara India, Myanmar, Thailand,
dan Indonesia. Ikan patin di Indonesia banyak tertangkap di sungai-sungai besar
dan muara sungai di Sumatra bagian Selatan (Kabupaten Ogan dan Komering Ilir,
Musi Banyu Asin), Kalimantan, dan Jawa. Penangkapan ikan patin menggunakan
seser, jaring hanyut, dan pancing. Benih yang ditangkap dikembangkan sebagai
ikan kultur di kolam-kolam (Djajadiredja et al., 1997). Produksi nasiona l ikan
patin/jambal di perairan umum Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.
Tabe1. Produksi nasional ikan patin /jambal di perairan umum tahun
1999-2004
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber : Anonymous (2005)
Produksi (Ton)
13,854
13,630
13,203
13,721
10,303
10,440
9
Komposisi kimia pada ikan sangat bervariasi tergantung dari jenis ikan,
jenis kelamin, kematangan seksual, umur, musim penangkapan dan habitat
(Rahayu et al., 1992). Komposisi kimia yang terkandung dalam ikan patin
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia ikan patin (Pangasius hypophthalmus) per 100
gram daging ikan.
Kompo nen
Air
Abu
Protein
Lemak
Sumber : Anonymous (1998)
Jumlah (%)
75,70
0,97
16,08
5,75
Berdasarkan komposisi protein dan lemaknya, ikan patin tergolong ikan
berprotein tinggi dengan lemak sedang. Penggolongan ikan berdasarkan
kandungan protein dan lemak tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Tipe ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak
Tipe
A. Protein tinggi, lemak rendah
B. Protein tinggi, lemak sedang
C. Protein rendah, lemak tinggi
D. Protein sangat tinggi, lemak rendah
E. Protein rendah, lemak sedang
Sumber: Stansby (1963)
Protein (%)
15 – 20
15 – 20
<15
>20
<15
Lemak (%)
<5
5 – 15
>15
<5
>5
2.2 Penggaraman dan Pengeringan
Penggaraman merupakan suatu cara pengawetan yang didasarkan pada
penurunan kadar air dan aw. Penggaraman merupakan proses awal pengolahan
ikan, yang dilanjutkan dengan pengeringan, pengasapan ataupun perebusan.
Penggaraman bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim yang
berperan dalam proses penurunan mutu. Hal tersebut dikarenakan garam NaCl
memiliki kemampuan yang tinggi dalam menarik air secara osmotik sehingga
menimbulkan plasmolisis pada sel bakteri. Di samping itu, garam berperan
sebagai elektrolit kuat yang dapat merusak ikatan molekul air dalam protein
(denaturasi). Denaturasi pada protein, terutama enzim, menyebabkan proses
autolisis bahan terhambat (Zaitsev et al., 1969).
10
Prinsip penggaraman yang terjadi di dalam daging ikan adalah air akan
melarutkan kristal garam. Larutan tersebut kemudian meresap ke dalam daging
sehingga tercapai tekanan osmosis yang seimbang antara cairan di dalam dan di
luar tubuh ikan. Larutan garam yang lebih pekat di luar tubuh ikan menyebabkan
air di dalam tubuh ikan keluar, semakin lama cairan sisa dalam tubuh ikan
semakin kental dan proteinnya akan menggumpal serta sel daging akan mengkerut
(Moeljanto, 1992). Apabila garam dicampur dengan ikan, sebagian air dalam
tubuh ikan akan tertarik keluar sedangkan molekul garam merembes masuk ke
dalam tubuh ikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya garam yang
masuk ke dalam daging ikan selama proses penggaraman antara lain: komposisi
ikan, sifat permukaan, dan kondisi tubuh ikan, konsentrasi dan suhu larutan
garam, metode penggaraman, dan komposisi garam yang digunakan (Moeljanto,
1992). Pada ikan yang mempunyai bentuk tubuh daging tebal proses penetrasi
garam lebih lama bila dibandingkan dengan ikan- ikan kecil berdaging pipih.
Selain hal tersebut, laju penetrasi garam dipengaruhi oleh metode penggaraman.
Metode penggaraman campuran (penggaraman kering dan basah) dapat
mempercepat proses penggaraman, begitu juga penggaraman dengan konsentrasi
tinggi dapat mempercepat produk menjadi lebih asin.
Pengeringan
merupakan
suatu
metode
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kadar air bahan tersebut
berkurang hingga batas tertentu agar mikroba tidak dapat berkembang (Winarno
et al., 1980).
Tujuan pengeringan selain mengurangi kadar air, juga menghambat
pertumbuhan mikroba dan menghambat kegiatan enzim pembusuk.
Menurut
Buckle et al. (1987) faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari
suatu bahan pangan adalah:
1.
Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk, ukuran, komposisi, dan kadar air).
2.
Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media
perantara pindah panas.
3.
Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan
kecepatan udara).
11
4.
Karakteristik alat pengeringan (efisiensi pemindahan panas).
Pengeringan dengan sinar matahari memiliki beberapa keunggulan
diantaranya sumber panasnya murah, mudah didapat, dan berlimpah.
Namun
demikian, pengeringan dengan sinar matahari juga memiliki kelemahan
diantaranya: tergantung keadaan cuaca dan tidak dapat diatur, umumnya
dilakukan ditempat terbuka sehingga produk mudah terkontaminasi mikroba dan
debu (Winarno et al., 1973).
2.3 Pengolahan Jambal Roti
Ikan asin jambal roti merupakan salah satu produk hasil penggaraman, yang
dilanjutkan dengan proses fermentasi. Istilah jambal roti timbul karena daging
ikan setelah digoreng rapuh dan mudah hancur seperti hancurnya roti panggang.
Produk tersebut sangat disukai oleh masyarakat karena mempunyai aroma, tekstur
yang empuk dan cita rasa yang khas. Keempukan tekstur jambal roti tersebut
disebabkan oleh sempurnanya proses fermentasi.
Menurut Burhanuddin et al. (1987), cara pembuatan jambal roti pada setiap
daerah memiliki ciri khas tersendiri, tetapi pada prinsipnya sama yaitu kombinasi
proses penggaraman, fermentasi, dan pengeringan. Perbedaanya terletak pada
lama dan cara penggaraman. Penggaraman jambal roti dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu penggaraman kering (dry salting), penggaraman basah (brine
salting), dan penggaraman campuran.
Pengolahan jambal roti dapat digolongkan menjadi dua yaitu jambal roti
biasa atau asin dan jambal roti super atau tawar. Jambal roti bisa atau asin adalah
jambal roti yang memiliki rasa relatif lebih asin dari jambal roti tawar, tekstur
lebih keras, dan bahan baku biasanya dari ikan yang di-es. Sedangkan jambal roti
super atau tawar yaitu jambal roti yang memiliki tekstur empuk atau masir dan
biasanya menggunakan bahan baku dari ikan manyung segar (Burhanuddin et al.,
1987). Cara pengolahan kedua jambal roti tersebut adalah sebagai berikut:
2.3.1
Jambal roti biasa atau asin (Burhanuddin et al., 1987)
Proses pengolahan jambal roti asin yaitu : ikan manyung yang di-es setelah
dibeli dari tempat pelelangan ikan (TPI) tanpa dicuci terlebih dahulu langsung
dipotong kepalanya dan dikeluarkan isi perutnya. Ikan dibelah dari punggung ke
12
arah perut dilanjutkan pada sisi yang lain dari bagian perut ke arah punggung.
Supaya dapat dibuka lebar dua tulang pada bagian dekat sirip punggung dipotong,
selanjutnya ikan langsung digarami selama satu malam. Konsentrasi garam yang
digunakan berkisar 30–35%. Setelah satu malam, ikan dikeluarkan dari bak
penggaraman dan dilakukan pencucian dengan menggunakan sikat untuk
menghilangkan sisa garam dan kotoran lainnya. Sebelum ikan dijemur, bagian
daging ikan diolesi dengan larutan bawang putih dan gula.
Penjemuran ikan
dilakukan dengan cara menjemur ikan di atas para-para bambu yang dilapisi
waring berwarna hitam. Lama penjemuran selama dua sampai tiga hari atau
sampai cukup kering. Jambal roti yang dihasilkan disimpan pada tempat
penyimpanan dan sebagian dikemas plastik apabila akan dijual.
2.3.2
Jambal roti super atau tawar (Burhanuddin et al., 1987)
Proses pengolahan jambal roti super atau tawar yaitu: ikan manyung segar
tanpa dicuci terlebih dahulu dipotong kepalanya dan dibuang isi perutnya,
kemudian digarami dengan cara memasukkan garam ke dalam rongga perut ikan.
Jumlah garam yang digunakan berkisar 30–35%. Selanjutnya ikan disusun dalam
bak penggaraman setelah bagian dasar bak penggaraman diberi lapisan garam
secukupnya. Setelah 1 malam, garam dikeluarkan dari rongga perut ikan dan
garam tersebut digunakan kembali untuk menggarami bagian luar tubuh ikan,
penggaraman dilanjutkan selama dua sampai tiga malam. Setelah tiga sampai
empat hari penggaraman, ikan dibelah dari punggung ke arah perut dilanjutkan
pada sisi yang lain dari bagian perut ke arah punggung, supaya dapat dibuka lebar
dua tulang pada bagian dekat sirip punggung dipotong. Setelah pembelahan
dilanjutkan dengan pencucian dengan cara ikan dicuci bersih dengan bantuan sikat
untuk menghilangkan garam dan kotoran. Sebelum ikan dijemur diolesi larutan
bawang putih dan gula secukupnya. Kemudian ikan dijemur di atas para-para
bambu yang dilapisi waring warna hitam selama tiga sampai empat hari atau
sampai cukup kering. Jambal roti super yang dihasilkan disimpan sementara
menunggu pembeli dan sebagian dikemas plastik untuk dipasarkan.
13
2.4 Sifat dan Standar Mutu Jambal Roti
Sifat jambal roti dipengaruhi oleh bahan dan cara pengolahannya.
Berdasarkan hasil penelitian Nasran et al. (1996) komposisi kimia ikan jambal roti
ditentukan oleh cara pengolahannya.
Mutu jambal roti dengan autolisis pada
suhu ruang adalah yang terbaik, diikuti oleh jambal roti dengan autolisis dalam air
dan mutu terakhir adalah jambal roti dengan autolisis dalam water bath pada suhu
30o C.
Ikan jambal roti mempunyai aroma yang khas dengan tekstur yang rapuh.
Damayanti (1995) menyebutkan bahwa bau dan aroma jambal roti berhubungan
dengan kadar air produk sebagai pengantar flavor dan bau pada produk.
Berdasarkan penelitiannya skor tertinggi aroma jambal roti diperoleh pada
konsentrasi gula 40%, garam 20%, dan kadar air 43,81%.
Berdasarkan proses pengolahan jambal roti yang meliputi penggaraman dan
pengeringan, maka produk tersebut dapat dikelompokkan ke dalam ikan asin
kering. Standar mutu ikan asin kering menurut SNI 01-2721-1992 dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Persyaratan mutu ikan asin kering (SNI 01-2721-1992)
Jenis Analisa
Persyaratan Mutu
a. Organoleptik
- Nilai minimum
6,5
- Kapang
Negatif
b. Mikrobiologi
- TPC/gram, maks
1 x 105
- E. Coli, MPN/gram, maks
1 x 103
- Salmonella**
Negatif
- Vibrio cholera**
Negatif
- Staphylococcus aureus**
1 x 103
c. Kimia
- Air, %bobot/bobot, maks
40
- Garam,%bobot/bobot, maks
20
- Abu tak larut dalam asam,
1,5
%bobot/bobot, maks
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional Indonesia (1992)
2.5 Kerusakan Jambal Roti
Seperti halnya ikan asin biasa, kerusakan jambal roti pada umumnya
disebabkan oleh bakteri, cendawan dan serangga.
Ketiga penyebab tersebut
14
sering menyerang secara bersamaan, kadang-kadang serangga selain dapat
langsung menyerang jambal roti juga merupakan pembawa bakteri dan cendawan.
Infestasi serangga terhadap jambal roti biasanya terjadi pada saat ikan dijemur.
Kismiyati (1995) menyatakan terdapat enam jenis lalat yang ditemukan
menghinggapi ikan asin selama penjemuran di Muara Angke dan Muara Baru,
Jakarta yaitu: lalat hijau Chrysomya megacephala (55%), C. saffranea (2,22%),
C.bezziana (0,55%), Lucillia cuprina (10,55%), lalat rumah Musca domestica
(31,13%), dan lalat blirik Sarchophaga sp. (0,55%). Sedangkan jenis bakteri yang
biasanya terbawa oleh lalat adalah Bacillus, Acinetobacter, Corynebacterium,
Enterobacter, Micrococcus, Moraxella, Staphilococcus dan Vibrionaceae yang
jumlahnya sekitar 104 sampai 108 per ekor lalat (Heruwati dan Saleh, 1989).
Selain bakteri, lalat Chrysomya megacephala, C. rufifaces, dan Sarcophaga spp.
juga membawa telur cacing
Ascaris lumbricoides dan Trichiuruis trichiuura
(Sulaiman et al., 1989). Jenis-jenis cendawan yang banyak ditemukan pada ikan
asin di Indonesia adalah Polypaecilum piscae (42%), Aspergillus niger (37%), dan
A. flavus (27%).
Kerusakan ikan asin yang cukup besar pada saat penjemuran
adalah adanya infestasi lalat.
Jenis lalat yang biasanya banyak melakukan
infestasi pada ikan asin saat penjemuran antara lain lalat hijau (Chrysomya
megacephala) dan lalat rumah (Musca domestica).
2.5.1 Lalat hijau (Chrysomya megacephala )
Lalat hijau memiliki ciri-ciri tubuh berwarna hijau atau kehijauan, mengkilat
dan berpotensi menimbulkan miasis (berbelatung) baik pada manusia, hewan
maupun bahan makanan lain. Lalat hijau merupakan lalat dari famili
Calliphoridae yang mempunyai daerah penyebaran luas. Borror et al. (1992)
menyatakan lalat hijau umumnya sebagai pemakan zat- zat organik yang
membusuk, larva hidup di dalam bangkai dan bahan-bahan yang serupa.
Lalat hijau mengalami metamorfosa yang sempurna, diawali dengan telur
kemudian menjadi larva, pupa dan bentuk imago atau dewasa. Awalnya telur
diletakkan oleh lalat dewasa secara berkelompok-kelompok. Lalat betina
meletakan telur setelah 15,7–24 hari dari masa eklosi atau masa perubahan dari
pupa menjadi lalat dewasa pada suhu 24–28,5o C dan kelembaban 86,0–94,6%.
Sebelumnya lalat betina hinggap dan berjalan-jalan di atas media peneluran
15
sambil mencari celah-celah terlindung untuk menentukan telurnya. Kemudian
lalat betina akan mengempiskan perutnya dan badannya kemudian beberapa ruas
akhir abdomen sebagai alat untuk mengeluarkan telur (ovipositor) akan menjulur
ke luar. Lalat tersebut mulai mengeluarkan telurnya pada lokasi yang sesuai, dan
keberadaan lalat lain yang mengelilingi media pene luran tidak mengganggu lalat
betina tersebut untuk menuntaskan proses bertelur (Soviana, 1996).
Selama
hidupnya lalat hijau betina dapat menghasilkan rata-rata 687,5–1690 butir telur
yang dapat bertelur sebanyak 4–6 kali. Waktu yang diperlukan untuk melengkapi
siklus hidup dalam media daging mentah pada suhu 24–28,5o C dengan
kelembaban 85–95% adalah selama 24–33 hari.
2.5.2 Lalat rumah (Musca domestica)
Lalat rumah merupakan lalat dari famili Muscidae, berkembang biak dalam
kotoran dari semua jenis dan seringkali sangat berbahaya (Borror et al., 1992).
Lalat tersebut memiliki adapatasi yang tinggi dan habitat yang disukai adalah
sampah dan limbah rumah tangga dengan suhu lingkungan diatas 15,6o C, serta
memiliki kemampuan untuk berkembang biak secara terus- menerus sepanjang
tahun.
Siklus hidup lalat sejak dari telur hingga menjadi dewasa sekitar 30 hari.
Setiap perkawinan, lalat akan menghasilkan 100 butir telur yang berwarna putih
kekuningan. Telur menetas menjadi larva stadium I yang berlangsung selama 5
hari dan berkembang menjadi larva stadium II sampai V selama 5 hari dan
kemudian menjadi lalat. Lalat rumah mengalami metamorfosa sempurna dalam
hidupnya yaitu stadium telur, larva, pupa, dan dewasa. Lalat betina meletakkan
telur dalam bentuk onggokan. Telur diletakan dalam empat atau enam onggokan
dan setiap onggokan mengandung kurang lebih 120 telur. Telur-telur diletakkan
oleh lalat betina selama 4–8 hari.
Sebelum meletakan telurnya, lalat rumah betina akan memilih media yang
sesuai bagi kelangsungan perkembangan larva untuk persediaan makanannya.
Telur lalat tersebut tidak tahan kekeringan dan panas dan hanya bertahan pada
suhu 15–40o C. Tempat atau benda yang disukai lalat untuk meletakkan telurnya
adalah makanan ternak, limbah ternak, feses hewan piaraan dan manusia. Faktorfaktor yang menarik lalat untuk meletakkan telurnya adalah bau dan kehangatan
16
feses. Telur lalat dapat berkembang dengan baik dan dipengaruhi oleh suhu,
semakin tinggi suhu akan membutuhkan waktu inkubasi relatif lebih singkat.
Tahap pertumbuhan lalat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
suhu, keadaan lingkungan, kelembaban, dan tempat berkembang biak. Akhir
siklus hidup ditandai dengan munculnya lalat dewasa.
Lalat jantan dan lalat
betina dewasa dapat dibedakan dari ukuran tubuhnya. Menurut Solusby (1982)
panjang ukuran tubuh lalat betina berkisar 6,5–7,5 mm sedangkan panjang lalat
jantan berukuran 5,6–6,5 mm. Selain itu, pada lalat betina kedua matanya tidak
saling bersinggungan.
Penyebab kerusakan la in yang disebabkan oleh infestasi lalat pada saat
penjemuran ikan asin adalah infestasi larva. Larva berasal dari telur lalat yang
menetas. Infestasi larva lalat terjadi pada jaringan hidup manusia dan vertebrata,
serta pada jaringan yang telah mati yang disebut miasis (belatungan).
Berdasarkan kebiasaan lalat, miasis dikelompokkan menjadi miasis obligat yaitu
bila larva hanya terdapat pada jaringan hidup dan miasis fakultatif yaitu bila larva
terdapat pada jaringan mati atau luk a yang membusuk (Spradberry, 1991).
Kismiyati (1995) melaporkan bahwa stadium larva berlangsung selama 6-7 hari.
Akibat miasis tersebut dapat menyebabkan kerusakan utama pada produk
ikan asin termasuk diantaranya jambal roti. Seperti yang dilaporkan Esser (1990)
bahwa lalat hijau menjadi penyebab utama kerusakan produk ikan asin di delapan
propinsi di Indonesia dan tiga propinsi di Thailand, terutama selama penjemuran.
Sedangkan besarnya kerugian akibat infestasi larva itu dilaporkan oleh Anggawati
et al. (1989) dapat mencapai 30 % terutama pada musim hujan.
2.6 Pencegahan Infestasi Lalat
Pencegahan infestasi lalat terhadap ikan asin khususnya jambal roti dapat
dilakukan sejak
proses penanganan dan pengolahan khususnya pada saat
perendaman dengan mengusahakan tempat perendaman tertutup.
Selama ini
untuk menanggulangi kerusakan jambal roti oleh lalat, beberapa nelayan telah
menggunakan insektisida sintetik.
Penggunaan bahan-bahan tersebut tanpa
disadari dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia karena sifatnya yang
akumulatif dalam tubuh. Sudah selayaknya penggunaan bahan tersebut dihindari.
17
Berdasarkan hal tersebut diatas, penelitian insektisida nabati
untuk
menanggulangi masalah infestasi lalat pada jambal roti mulai dilakukan. Solihin
(1997)
melaporkan
pembaluran
serbuk ekstrak biji atung (Parinarium
glaberrimum HASSK) pada jambal roti dapat menurunkan total infestasi lalat
hijau dan larva yang dihasilkan.
Yulianto (2002) melaporkan penggunaan
rimpang jerangau (Acorus calamus) dapat menurunkan investasi lalat selama
penjemuran ikan kembung asin.
Salah satu tanaman yang memiliki potensi
insektisida alami yang diharapkan dapat digunakan untuk menghambat infestasi
lalat pada saat penjemuran jambal roti adalah bawang putih.
2.6.1 Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) termasuk dalam famili Liliaceae. Bawang
putih selain digunakan sebagai bumbu, juga digunakan sebagai obat, misalnya
untuk penyakit darah tinggi, maag, luka dan lain- lain. Kandungan kimia rata-rata
umbi bawang putih segar baik ukuran umbi besar dan kecil adalah padatan terlarut
total 38,4%, asam 0,28%, vitamin C 21,90%, dan air 67,90% (Sjaifullah dan
Sabari, 1988).
Bawang putih memiliki potensi insektisida sebagai pembunuh hama yang
sangat efektif. Menurut Fulder et al. (1999) bahwa bawang putih dapat digunakan
sebagai obat anti hama tanaman atau pestisida nabati. Tanaman bakung yang
ditanam secara berselang seling dengan bawang putih dapat terlindung dari
serangan hama dan ditemukan banyak lalat yang mati di sekitar butiran umbi
bawang putih.
Selain itu, bawang putih memiliki kemampuan membunuh
berbagai jenis serangga, khususnya dapat membunuh semua jentik-jentik nyamuk
dengan menggunakan cairan saripati bawang putih alami dengan ukuran satu
sendok teh atau 5 ml jus bawang putih dalam 1000 l. Dinyatakan juga bahwa
bawang putih mentah lebih efektif dibandingkan dengan cairan minyak bawang
putih olahan karena unsur aktifnya yaitu diallyl sulfida dan diallyl trisulfida pada
bawang putih mentah masih utuh.
Bubur bawang putih menghasilkan minyak yang mengandung dialliyl
sulfida. Kata allyl berasal dari allium bawang putih. Identifikasi bagian utama
minyak bawang putih mengandung diallyl sulfida sebanyak 60% dan 20% diallyl
trisulfida serta bagian sulfur lain. Bawang putih yang dikupas tanpa dipotong
tidak akan mengeluarkan rasa dan bau aslinya namun bawang putih akan berbau
tajam hanya jika diiris, ditumbuk atau dicincang karena jaringannya menjadi
18
rusak. Dalam istilah kimia senyawa sulfur tersebut adalah diallyl thiosulphinate
atau yang disebut dengan alisin.
Senyawa aktif tersebut bersifat bakterisidal,
terlalu reaktif dan cenderung tidak stabil.
Hanya
beberapa hari saja dapat
berubah menjadi senyawa sulfur yang berminyak yang sangat berbau tajam,
seperti diallyl disulfida, yang merupakan kandungan utama pada bawang putih
(Fulder et al., 1999)
Komponen bawang putih yaitu alin mengalami perubahan lebih lanjut
alisin. Alin merupakan salah satu komponen kimia bawang putih yang berupa
asam amino yang kaya sulfur. Perubahan alin menjadi alisin disebabkan oleh
adanya enzim alinase dimana keberadaan antara alin dan alinase memiliki tempat
terpisah pada setiap sel-sel bawang putih (Fulder et al., 1999).
Alin merupakan asam amino. Salah satu jenis asam amino yang
mengandung sulfur disebut cysteine. Cystein dapat membantu terbentuknya
semua jenis asam amino yang mengandung sulfur pada bawang putih, bawang
prei, lobak, kol, bawang bakung dan sebagainya. Semua tanaman umbi-umbian
yang mengandung unsur sulfur memiliki rasa sangat kuat (pedas) dan perih.
Transformasi unsur pokok bawang putih adalah sebagai berikut: asam amino
normal yang mengadung sulfur (cysteine). Adanya pelukaan terhadap bawang
putih menyebabkan bekerjanya enzim alinase yang mengubah Alin menjadi Alisin
yang bersifat reaktif, pedas, dan tidak stabil, yang lebih lanjut akan berubah
manjadi diallyl sulfida dan sulfida lain (unsur pokok minyak bawang putih yang
berasa dan berbau keras, serta aktif secara medis).
Pada umbi bawang putih, segera setelah sel-sel hancur, baik ditumbuk atau
dicincang, alisin akan keluar. Sedangkan yang ditumbuk dalam keadaan segar
tetap mengandung alisin asli. Bawang putih memiliki khasiat pada aroma dan
rasanya yang pedas. Oleh karena itu sebaiknya bawang putih tidak disimpan
terlalu lama, karena akan kehilangan khasiatnya. Bawang putih apabila
dipanaskan dan disimpan dalam waktu yang lama, rasa dan aroma akan menguap
ke udara. Transformasi unsur pokok bawang putih dapat dilihat pada Gambar 3.
Jumlah unsur pokok aktif bawang putih yaitu alin dan sulfur berva riasi dan
sangat tergantung pada lokasi tumbuhnya dan metode pengolahannya. Perbedaan
kandungan sulfur pada bawang putih menjadi sangat penting. Jumlah sulfur
sangat menentukan tingkat aromanya, yang menjadi ukuran tinggi rendahnya
19
mutu atau khasiat bawang putih. Bentuk dan ukuran bawang putih bukan patokan
untuk menentukan jumlah kandungan sulfurnya.
Gambar 3. Transformasi unsur pokok bawang putih (Brewster, 1994)
Kandungan alisin atau alin pada umumnya ditemukan sekitar 50% lebih
besar daripada minyak. Setiap butir bawang putih menga ndung rata-rata 60% air;
1 gram karbohidrat (90% berbentuk zat tepung yang disebut sinistrin); 0,2 gram
protein; 0,05 gram fiber; 0,01 gram lemak; Vitamin A; Vitamin B, dan Vitamin C.
Selain itu, bawang putih juga mengandung mineral kelas tinggi yaitu tembaga,
besi, seng, timah, kalsium, batu kali, aluminium, germanium, dan selenium.
Menurut Freeman (1979) bawang putih memiliki bau dan rasa yang
berbeda-beda oleh adanya turunan S-propil dan S-propenil. Prekusor utama pada
bawang putih yaitu S-(2-propenil)-sistein sulfoksida oleh enzim aliinase
terhidolisis membentuk 2-propenil 2-propene tiosulfat (diallyl tiosulfat, alisin).
Bawang putih yang diekstrak dengan destilasi uap akan menghasilkan dialyl
sulfida yang merupakan komponen utama dalam hancuran bawang putih yang
terdapat pada head space.
Bawang putih yang diekstrak dengan etanol dan air
pada suhu ruang akan menghasilkan alisin dan bila diekstrak dengan etanol murni
pada suhu dibawah 0o C dihasilkan alin (Block, 1985).
Komponen sulfur pada bawang putih selain memberikan flavor yang khas
juga memiliki beberapa sifat sebagai senyawa biologis yang aktif.
Senyawa
bioaktif tersebut antara lain: alisin yang bersifat bakterisidal dan antiradang; alin
yang bersifat antitrombotik; gurwithrays yang bersifat merangsang pertumbuhan
sel tubuh dan mempunyai daya peremajaan pada semua fungsi tubuh; dan
20
scordinin yang dapat mempercepat pertumbuhan, menyembuhkan penyakit
kardiovaskular dan sebagai antioksidan serta methyl alliin trisulfida yang dapat
mencegah pembekuan darah yang dapat menyumbat pembuluh darah ke jantung
dan otak (Soetomo, 1987).
Komponen utama dialyl thiosulfinat yang terbentuk dalam homogenat
bawang putih, yaitu alisin dan alil metil thiosulfinat (Lawson et al., 1991). Kedua
komponen tersebut bila mengalami proses destilasi uap pada suhu 100o C akan
terdegradasi membentuk dialil disulfid, dialil trisulfid, dimetil trisulfid, metil alil
disulfid dan metil alil trisulfid.
Alisin yang terbentuk pada jaringan bawang putih yang terluka akan
terdekomposisi dengan sendirinya membentuk asam 2-propana-sulfonat dan
thioakrolein.
Kondensasi dari dua molekul asam 2 propana sulfonat akan
membentuk kembali alisin.
Kondensasi
dari
dua
molekul thioakrolein
menghasilkan dua macam komponen siklik, yaitu 2-vinil-(4H)-1,3-dithiin dan 3vinil-(4H)-1,2-dithiin.
Selain itu, dekomposisi alisin juga terjadi apabila 3
molekul alisin bergabung dan menghasilkan 2 molekul 4,5,9-trithiadodeka1,6,11-trene-9-oksida atau disebut sebagai ajoene.
Komponen turunan alisin
terdiri dari vinyldithin dan ajoen. Alisin dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu
dari reaksi oksidasi dialil disulfid dan dari homogenat bawang putih. Kedua cara
tersebut akan menghasilkan alisin sintetis.
Untuk sint etis vinyldithiin dapat
digunakan alisin yang berasal dari homogenat bawang putih (Lawson et al.,
1991).
2.6.2
Formalin
Formalin merupakan larutan tidak berwarna dan berbau sangat menyengat
yang mengandung 37% formaldehid.
Formaldehid adalah aldehid paling
sederhana, berbentuk gas, tak berwarna dengan bau yang menyegat, senyawa
bersifat sangat reaktif, dan dapat menghancurkan daya katalis enzim serta
menyebabkan jaringan hati mengeras.
Biasanya ditambahkan metanol hingga
15% sebagai penstabil. Metanol atau disebut juga alkohol kayu bersifat sangat
beracun. Jika metanol masuk dalam tubuh melalui saluran cerna dapat
mengakibatkan terjadinya kebutaan sementara atau tetap karena dapat merusak
saraf mata (Wilbraham dan Matta, 1992).
Formalin digunakan untuk mengawetkan spesimen hayati. Mekanisme
formalin sebagai pengawet adalah senyawa formaldehid dalam larutan akan
21
bergabung dengan senyawa protein dari jaringan sehingga membuatnya keras dan
menjadi tidak larut air atau stabil. Keadaan tersebut dapat mencegah terjadinya
pembusukan spesimen.
Formalin dalam larutan dikenal luas sebagai bahan
pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri (Wilbraham
dan Matta, 1992).
Menurut Hugo dan Rusel (1987) menyatakan bahwa
mekanisme formaldehid dalam menghambat sel bakteri disebabkan oleh
kemampuan formaldehid mempengaruhi enzim-enzim yang terdapat pada
membran dan sitoplasma sel.
Formalin biasanya diperdagangkan di pasaran dengan nama berbeda-beda
antara lain: fomol, morbirid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide,
oxymethylene, methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan,
methylene
glycol,
paraforin,
polyoxymethylene
plycols,
superlysoform,
tetraoxymethylene, dan tioxane (Anonymous, 2005).
Dampak formalin pada kesehatan manusia dapat bersifat :
1. Akut yaitu efek pada kesehatan manusia yang langsung terlihat seperti iritasi,
alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, dan
pusing.
2. Kronik yaitu efek pada kesehatan manusia yang terlihat setelah terkena dalam
jangka waktu yang lama dan berulang seperti terjadi iritasi, mata berair,
gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, system syaraf pusat,
menstruasi, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan
pada manusia diduga bersifat karsinogen.
Mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung formalin, efek
sampingnya terlihat setelah jangka panjang karena terjadi akumulasi dalam tubuh.
(Anonymous, 2005).
2.6.3 Cypermethrin
Cypermethrin adalah salah satu insektisida pyretroid yang merupakan
insektisida sintetis dari derivat alami yang relatif lebih aman bagi manusia
dibandingkan dengan insektisida sintetis yang bukan derivat alami seperti dari
golongan organofosfat dan karbamat. Penggunaan insektisida jenis ini banyak
digunakan untuk melindungi hasil pertanian dari serangan hama dan membasmi
lalat pada industri peternakan (Tarumingkeng, 1992).
Cypermethrin memiliki nama kimia alpha-cyano-3-phenoksi-benzil cis,
trans-3-(2,2-diclorovinyl)-2,2-dimethylcyclopro-panekarboksilat. Rumus molekul
22
cypermethrin adalah C22 H19 Cl2 NO3 , berat molekul 416,30 dan senyawa sianida
sebagai zat aktif insektisida (Anonymous, 1997).
Nama dagang dari cypermethrin antara lain Ripcord 10 EC, Cymbush 25
EC dan Barricade. Cypermetrin berwujud cairan kental, berbau menyengat, rela tif
tidak menguap, stabil terhadap panas, dan larut dalam pelarut non polar (aceton,
alkohol, xylene, dan khloroform), serta mempunyai kelarutan yang rendah dalam
air (0,009 ppm).
Hasil penelitian Nitibaskara (1990) mengenai penggunaan
insektisida dalam mengendalikan serangan serangga pada pengolahan serta
penyimpanan
ikan
asin
jambal
roti
menyimpulkan
bahwa
penggunaan
cypermethrin dengan konsentrasi 0,01% selama perendaman 30 detik cukup
efektif untuk mencegah serangan lalat hijau (Chrysomya megacephala) selama
pengolahan ikan asin jambal roti.
Download