iv. hasil dan pembahasan

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KOMPOSISI PATI SAGU
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu
(Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah
Cimahpar, Bogor. Pati sagu yang diperoleh dianalisis karakteristiknya,
meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak,
kadar protein, dan kadar pati. Hasil analisis yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan standar mutu pati sagu SNI 01-3729-1995 (1995),
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Pati Sagu
Hasil
Penelitian
Penelitian
Lain*)
SNI 013729-1995
Kadar Air (% b/b)
5,94
5,76
Maks. 13
Kadar Abu (% b/b)
Kadar Serat Kasar (% b/b)
Kadar Protein (%)
0,22
0,05
0,09
0,12
0,01
0,38
Maks. 0,5
Maks. 0,11
-
Kadar Lemak (%)
0,15
0,36
-
Kadar Pati (%)
81,75
82,13
-
Karakteristik
*) Akyuni (2004)
1. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan kandungan air
yang terdapat dalam suatu bahan. Kadar air sangat berpengaruh terhadap
mutu dan keawetan bahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaannya yang
berlebihan sering dikurangi dengan pengeringan atau penguapan. Bahan
pati sagu yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar
masih dalam kondisi yang lembab (sedikit basah), sehingga harus
dikeringkan kembali dan diayak agar didapatkan pati sagu dengan kondisi
yang kering dan halus merata.
27
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar air pati sagu (setelah
dikeringkan) sebesar 5,94%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang
kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 13%. Kadar air yang tinggi
dapat memudahkan tumbuhnya mikroba, sehingga dapat memperpendek
umur simpannya. Sebaliknya, jika kadar air rendah dapat mengubah
bentuk, sifat fisik dan kimia suatu bahan.
2. Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat
anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1986).
Kandungan
abu
pada
suatu
bahan
menunjukkan
residu
bahan
anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam
makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan
kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta
kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi, 1993).
Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi pula kandungan
mineralnya, yang berarti semakin rendah pula tingkat kemurnian bahan
tersebut. Proses pengolahan yang kurang bersih juga dapat menyebabkan
meningkatnya nilai kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data
kadar abu pati sagu sebesar 0,22%. Data ini memenuhi syarat mutu atau
rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 0,5%. Dari data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan mineral atau zat anorganik
yang terkandung dalam pati sagu tersebut cukup rendah. Kandungan
mineral yang tinggi pada pati sagu tidak diharapkan, karena dapat
menghambat proses hidrolisis pati itu sendiri.
3. Kadar Serat Kasar
Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian
setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih (Gaman dan
Sherrington, 1981). Serat terdiri dari dinding sel, selulosa, hemiselulosa,
pektin, dengan sedikit lignin dan pentosan. Serat merupakan senyawaan
yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan
28
(Sudarmadji, 1996). Jika suatu bahan pangan mengandung serat kasar
yang tinggi maka relatif sangat merugikan karena serat kasar berpotensi
mengurangi serapan zat gizi, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Pengujian kadar serat kasar dilakukan untuk menentukan jumlah
senyawaan yang terdapat dalam bahan pangan, yang tidak dapat dicerna
dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Berdasarkan hasil
penelitian, didapat data kadar serat kasar pati sagu sebesar 0,05%. Data ini
memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu
maksimum 0,11%. Kecilnya nilai kadar serat kasar pati sagu yang
diperoleh terjadi karena sebelumnya pati sagu tersebut telah melalui proses
pengayakan. Tingkat kemurnian sagu sangat ditentukan oleh proses
ekstraksinya. Kadar serat kasar yang tinggi pada pati sagu tidak
diharapkan, karena dapat menurunkan efisiensi proses hidrolisis pati
tersebut.
4. Kadar Protein
Pengujian kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein pada senyawa organik secara tidak langsung, karena yang
dianalisis adalah banyaknya nitrogen yang membentuk ammonia.
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar protein pati sagu sebesar
0,09%. SNI tidak mengatur kadar protein, kadar lemak dan kadar pati
maksimum yang diperbolehkan pada pati sagu..
Secara umum pati sagu memiliki kandungan protein yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia. Kadar protein yang
terkandung dalam pati dapat mempengaruhi warna hidrolisat pati sagu
yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan
senyawa amino (asam amino, peptida dan protein) akan menghasilkan
warna coklat, yang disebut dengan browning (Somaatmadja, 1973).
5. Kadar Lemak
Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan
kandungan yang berbeda-beda. Dalam tanaman, lemak disintesis dari
suatu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk
29
dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses
pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
(1) pembentukan gliserol; (2) pembentukan molekul asam lemak; dan (3)
kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno,
1986).
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar lemak pati sagu
sebesar 0,15%. Kandungan lemak dan protein pada pati sagu akan
menurun akibat ikut terlarut dalam air selama proses ekstraksi basah.
Menurut Howling (1979), kandungan lemak pada pati akan terkoagulasi
dan terbuang dalam penyaringan dan dekantasi, dan hanya sekitar 10%
yang larut dengan pati.
6. Kadar Pati
Pati termasuk polisakarida, yang tersusun oleh banyak unit
monosakarida (glukosa). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah rantai molekulnya lurus
atau bercabang. Pengujian kadar pati dilakukan untuk mengetahui kadar
amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam suatu bahan. Dengan
mengetahui kandungan pati sagu, maka dapat diketahui pati yang dapat
dikonversi menjadi hidrolisat pati sagu. Berdasarkan hasil penelitian,
didapat data kadar pati pada pati sagu sebesar 81,75%. Semakin tinggi
kadar pati sagu, semakin tinggi efisiensi proses hidrolisis pati tersebut,
karena semakin banyak pati yang terkonversi menjadi glukosa.
B. PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI
HIDROLISAT PATI SAGU
ASAM
TERHADAP
Proses hidrolisis asam dilakukan menggunakan kombinasi dua jenis
asam (H2SO4 dan HCl) dengan empat taraf konsentrasi (0,5 N; 1 N; 2N; dan
3N). Dari hasil penelitian pendahuluan terhadap hidrolisis pati sagu secara
asam dengan konsentrasi pati 16% menggunakan empat taraf konsentrasi asam
tersebut diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 7.
30
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP) pada
Penelitian Pendahuluan
Jenis Asam
Nilai TG (mg/ml)
Nilai GP (mg/ml)
148,02
128,85
1N
124,07
117,66
2N
3N
0,5 N
103,00
92,24
142,95
94,97
82,02
117,28
1N
117,38
104,78
2N
94,17
76,04
3N
79,22
65,74
Konsentrasi
0,5 N
H2SO4
HCl
Pada Tabel 7 diatas, terlihat bahwa dari kedua jenis asam tersebut
(H2SO4 dan HCl), taraf konsentrasi yang menghasilkan nilai TG dan GP
tertinggi adalah 0,5 N. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan,
maka nilai TG dan GP yang dihasilkan justru semakin rendah. Warna sirup
yang dihasilkan juga semakin pekat. Menurut Somaatmadja (1973), bila sirup
glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam, maka akan terbentuk senyawa
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) akibat terjadinya penguraian
glukosa. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada sirup menjadi kekuningkuningan. Senyawa hidroksimetilfurfural tersebut akan terus terbentuk pada
suasana asam dan suhu yang tinggi, dan dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa browning bila sirup masih mengandung protein (asam amino). Tsao
et al. (1978) menambahkan bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa
hasil hidrolisis. Berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan tersebut, maka
konsentrasi asam yang dipilih untuk digunakan dalam produksi hidrolisat pati
sagu pada penelitian utama adalah 0,5 N, karena menghasilkan nilai TG dan
GP tertinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan dari taraf konsentrasi
lainnya. Hidrolisat pati yang dihasilkan melalui proses hidrolisis secara asam
berwarna agak kecoklatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.
31
Gambar 7. Hidrolisat pati sagu sebelum purifikasi
Menurut Sa’id (1987), pembentukan warna tersebut tergantung pada
beberapa
faktor,
antara
lain
konsentrasi
prekursor
warna
seperti
hidroksimetilfurfural dan senyawa-senyawa amino yang ada serta kadar gula
pereduksi hidrolisat pati. Lebih lanjut Winarno (1997) menambahkan bahwa
pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna
kecoklatan akibat terjadinya reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi antara gula
pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan bahan berwarna
coklat yang dapat menurunkan mutu produk. Mula-mula gugus aldosa
bereaksi bolak-balik dengan amina menghasilkan basa Schiff, lalu terjadi
reaksi lanjut membentuk glukosamin. Glukosamin kemudian mengalami
reaksi amadori membentuk amino ketosa, yang selanjutnya terdehidrasi
membentuk turunan-turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural.
Proses dehidrasi lebih lanjut menghasilkan zat antara metil-α-dikarbonil yang
kemudian terurai menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti
metilglioksal, asetol dan diasetil. Gugus-gugus aldehid aktif dalam larutan
selanjutnya terpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa
berwarna coklat yang disebut melanoidin.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih
dahulu dilakukan proses pemucatan (purifikasi) dengan menggunakan karbon
32
aktif. Produk hidrolisat pati sagu yang dihasilkan setelah melalui proses
purifikasi dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hidrolisat pati sagu setelah purifikasi
Hidrolisat pati sagu yang telah dipurifikasi tersebut selanjutnya
digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
untuk produksi etanol. Derajat keasaman (pH) hidrolisat pati sagu yang
dihasilkan adalah 4,73 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis H2SO4
dan 4,74 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis HCl. Neraca massa
produksi hidrolisat pati sagu secara asam dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar gula
total, kadar gula pereduksi dan kadar nitrogen totalnya. Kemudian dilakukan
penghitungan derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa (Dextrose
Equivalent/DE). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam
memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula
pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut
dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hidrolisat pati yang dihasilkan. Hasil
analisis total gula, total gula pereduksi, serta nilai DE dan DP hidrolisat pati
sagu dapat dilihat pada Tabel 8.
33
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP pada
Hidrolisat Pati Sagu
Asam
Penghidrolisis
TG (g/l)
GP (g/l)
DE
DP
H2SO4
148,02
128,85
87,05
1,15
HCl
142,95
117,28
82,05
1,22
Berdasarkan Tabel 8 diatas, didapat bahwa nilai total gula dan kadar
gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam
penghidrolisis H2SO4 tidak berbeda jauh dengan nilai total gula yang
diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam penghidrolisis HCl, yaitu
masing-masing 148,02 g/l dan 142,95 g/l. Hal ini disebabkan karena sifat
penghidrolisis H2SO4 dan HCl yang sama-sama kuat. Namun nilai total gula
dan kadar gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisis dengan H2SO4 sedikit
lebih besar dibandingkan hidrolisis dengan HCl. Hal ini disebabkan karena
sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4
(Bailar et al., 1965). Reaktivitas yang lebih tinggi dan sifat penghidrolisis
yang lebih kuat tidak selalu menguntungkan. Menurut Tsao et al. (1978), asam
kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Somaatmadja (1973)
menambahkan apabila sirup glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam
(hidrolisis secara asam) kuat atau pada pH yang rendah, maka akan terbentuk
senyawa turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural (HMF) akibat
terjadinya degradasi (penguraian) glukosa. Lebih lanjut Winarno (1997)
menjelaskan bahwa senyawa tururan furfuraldehid tersebut akan terdehidrasi
menghasilkan zat antara metil-α-dikarbonil dan terurai menghasilkan gugusgugus aldehid aktif dalam larutan yang kemudian terpolimerisasi dengan
gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin
yang dapat menurunkan mutu produk.
Dalam hal ini, selama proses hidrolisis berlangsung, diduga reaktivitas
asam HCl yang lebih tinggi (dibandingkan H2SO4) menyebabkan lebih banyak
glukosa
yang
terdegradasi
membentuk
senyawa-senyawa
turunan
furfuraldehid (seperti furfural dan hidroksimetilfurfural), sehingga nilai TG
34
yang terukur menjadi lebih rendah. Hal ini ditandai dengan warna hidrolisat
HCl yang lebih pekat dibandingkan dengan warna hidrolisat H2SO4 (seperti
terlihat pada Gambar 7), yang berarti semakin banyak senyawa melanoidin
yang dihasilkan dari proses hidrolisis dengan asam HCl.
Nilai DE atau ekivalen dekstrosa yang diperoleh dari kedua jenis
hidrolisat pati sagu tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, yaitu sekitar
81–87%. Menurut Palmer (1970), semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi
kandungan glukosanya. Namun dalam hal ini, tingginya nilai DE tidak hanya
menunjukkan tingginya kandungan glukosa yang dihasilkan, tapi juga
komponen lainnya seperti maltosa dan dekstrin. Menurut Junk dan Pancoast
(1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam
akan terjadi pemutusan ikatan –C–O–C– dengan menghasilkan glukosa dan
beberapa polimernya. Bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan
proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Tsao et al. (1978) menambahkan
bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis.
Tingginya nilai DE dari hidrolisat pati sagu yang dihasilkan juga
dikarenakan tingginya kadar gula pereduksi yang terkandung dalam hidrolisat
pati sagu tersebut. Dari Tabel 8 diatas terlihat bahwa nilai kadar gula
pereduksi hidrolisat H2SO4 mencapai 128,85 g/l, dan 117,28 g/l untuk
hidrolisat HCl. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam akan
memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula
pereduksi. Ciptadi dan Machfud (1980) menambahkan bahwa selama proses
hidrolisis, akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya kadar gula pereduksi.
Nilai gula pereduksi akan meningkat sejalan dengan lama waktu hidrolisis
pati. Semakin lama waktu hidrolisis menyebabkan semakin rendahnya tingkat
warna dan kejernihan sirup, karena dengan semakin lama waktu hidrolisis
berarti semakin besar proporsi dekstrosa yang terdegradasi menjadi senyawasenyawa furfural.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar nitrogen
totalnya dan dibandingkan dengan kadar nitrogen total yang terkandung dalam
sirup glukosa teknis. Sumber nitrogen pada hidrolisat pati sagu yang
35
dihasilkan berasal dari basa penetral NH4OH yang ditambahkan setelah proses
hidrolisis pati. Dalam larutan, NH4OH akan terurai menjadi NH3 dan H2O.
NH3 selanjutnya bereaksi dengan asam HCl membentuk garam NH4Cl,
sedangkan reaksi dengan asam H2SO4 akan menghasilkan garam (NH4)2SO4.
Adapun sumber nitrogen pada sirup glukosa teknis berasal dari sumber nutrien
lain berupa pupuk NPK dan ZA. Hasil analisis kadar nitrogen total dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10%
Jenis Sirup
Total N (%)
Sirup glukosa teknis 10%
0,024
Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis H2SO4 (10%)
0,413
Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis HCl (10%)
0,368
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai total nitrogen yang diperoleh dari
hidrolisat H2SO4 lebih besar dibandingkan dengan nilai total nitrogen yang
diperoleh dari hidrolisat HCl. Fenomena ini dapat dijabarkan dengan
persamaan reaksi seperti berikut.
NH4OH
(i)
NH3 + H2O
NH3 + HCl
(ii) 2 NH3 + H2SO4
NH4Cl
(NH4)2SO4
Pada pH yang sama, setiap molekul HCl akan menyumbangkan satu ion H+
kedalam larutan, sedangkan H2SO4 menyumbangkan dua ion H+. Dalam
penetralannya, satu ion H+ dari HCl membutuhkan satu ion NH4+, sementara
dua ion H+ dari H2SO4 membutuhkan dua ion NH4+ (Bailar et al., 1965).
Dengan demikian, total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat H2SO4
lebih tinggi daripada total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat HCl.
Meskipun pada sirup glukosa teknis ditambahkan nutrien berupa pupuk
NPK dan ZA (amonium sulfat) sebagai sumber nitrogen, namun bila
dibandingkan dengan nilai total nitrogen pada sirup glukosa teknis yang hanya
0,024%, maka pada Tabel 9 terlihat bahwa kandungan nitrogen pada kedua
36
jenis hidrolisat pati sagu yang dihasilkan masih jauh lebih tinggi, yaitu
masing-masing 0,413% dan 0,368%. Hal ini disebabkan karena pada proses
hidrolisis pati, digunakan basa penetral NH4OH. Penggunaan NH4OH akan
bereaksi dengan H2SO4 membentuk garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), dan
dengan HCl membentuk garam NH4Cl (amonium klorida). Garam yang
dihasilkan tersebut cukup untuk menggantikan kebutuhan nitrogen yang
biasanya ditambahkan dari nutrien lain (dalam hal ini pupuk NPK dan ZA).
C. PRODUKSI ETANOL
Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan tiga
jenis substrat, yaitu substrat hidrolisat H2SO4, substrat hidrolisat HCl, serta
substrat sirup glukosa teknis 10% sebagai kontrol (pembanding). Sebelum
difermentasi, substrat hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl yang dihasilkan
sebelumnya diencerkan terlebih dahulu hingga konsentrasinya + 10%
(mendekati konsentrasi sirup glukosa teknis sebagai kontrol). Dalam
penelitian ini, sirup hidrolisat pati sagu dan sirup glukosa teknis dijadikan
sumber karbon. Khusus untuk substrat sirup glukosa teknis, ditambahkan
pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nitrogen, sedangkan untuk substrat
hidrolisat pati sagu tidak perlu penambahan pupuk NPK dan ZA, karena pada
hidrolisat pati sagu itu sendiri sudah memiliki kandungan nitrogen yang
tinggi. Proses fermentasi berlangsung selama tiga hari dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi
etanol dapat dilihat pada Gambar 9.
37
Gambar 9. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol
Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dari glukosa jika
konsentrasi gulanya cukup tinggi dan pada kondisi anaerob. Selama proses
fermentasi, akan dihasilkan etanol sebagai produk utama, serta karbondioksida
(CO2) dan air. Selain itu juga dihasilkan ATP yang merupakan energi dalam
bentuk panas, sedangkan komponen lainnya dalam jumlah yang kecil.
Pengukuran terhadap parameter-parameter fermentasi dilakukan selama proses
fermentasi berlangsung hingga proses fermentasi berakhir. Parameterparameter yang diukur meliputi nilai pH dan total asam, biomassa, konsumsi
substrat (total gula dan kadar gula pereduksi), efisiensi pemanfaatan substrat,
laju pembentukan CO2, kadar etanol, serta penentuan kinetika fermentasi.
Hasil analisa parameter-parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. pH dan Total Asam
Setiap mikroba mempunyai nilai pH minimum, pH maksimum, dan
pH optimum untuk pertumbuhannya. Sel-sel mikroba sangat dipengaruhi
oleh pH, sebab mikroba tidak mempunyai mekanisme untuk mengatur pHnya sendiri. pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0–
5,0 (Frazier dan Westhoff, 1978). Perubahan pH dapat mempengaruhi
pembentukan hasil sampingan fermentasi. Frazier dan Westhoff (1978)
menambahkan bahwa pada pH dibawah 3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak
38
dapat tumbuh dengan baik sehingga proses fermentasi akan berkurang
kecepatannya.
Sebelum difermentasi, pH awal substrat fermentasi diatur hingga
sekitar 4,8 untuk mencapai pH optimum khamir. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimumkan pertumbuhan khamir pada proses fermentasi. Karena
pH sangat penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu
dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan suatu larutan
penyangga (buffer) atau dengan penggunaan suatu sistem kontrol pH
tertentu (Sa’id, 1987).
Pada penelitian ini, pH cairan fermentasi yang dihasilkan dari ketiga
jenis substrat yang digunakan cukup bervariasi. Derajat keasaman (pH)
akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. Berturut-turut dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
dihasilkan etanol dengan pH 3,16, 3,77 dan 3,72. Selama proses
fermentasi akan terjadi penurunan pH. Hal ini disebabkan karena adanya
senyawa amonia yang terkandung pada substrat. Sa’id (1987) menjelaskan
bahwa apabila amonia digunakan sebagai sumber nitrogen pada substrat,
maka pH akan cenderung menurun. Amonia pada larutan (di bawah pH 9)
ada pada keadaan NH4+, mikroba kemudian menggabungkannya dengan
sel sebagai R-NH3+, dimana R merupakan suatu gugus karbon. Pada
prosesnya, sebuah ion H+ akan dilepas ke lingkungan (medium), sehingga
selama proses fermentasi ion H+ pada cairan fermentasi akan semakin
banyak, sehingga mengakibatkan penurunan pH cairan fermentasi tersebut.
Penurunan pH juga kemungkinan disebabkan karena adanya
kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat mengkonversi gula dan etanol
menjadi produk asam selama proses fermentasi. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), keberadaan mikroba jenis Lactobacillus sp. dan
Clostridium sp. mampu mengkonversi gula menjadi asam laktat, asam
butirat, etanol dan karbondioksida. Secara lebih jelas penurunan pH cairan
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.
39
5.0
Nilai pH
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Glukosa teknis
H2SO4
H
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 10. Histogram pH awal dan pH akhir fermentasi
Nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat H2SO4 tidak
berbeda jauh dengan nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat HCl
(Gambar 10). Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat
sirup glukosa teknis. Nilai pH akhir tertinggi diperoleh dari substrat
hidrolisat H2SO4 sebesar 3,77, sedangkan pH akhir terendah diperoleh dari
substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,16.
Total asam menunjukkan jumlah seluruh asam yang terdapat pada
cairan fermentasi. Selama proses fermentasi akan terjadi penurunan pH
yang diiringi dengan meningkatnya total asam. Nilai pH berkorelasi positif
dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi, maka lag phase akan
berkurang, sehingga aktivitas fermentasi akan meningkat (Presscot dan
Dunn, 1981). Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi
menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan produk fermentasi,
baik produk utama maupun produk sampingan. Pada fermentasi etanol,
khamir akan memetabolisme glukosa membentuk asam piruvat melalui
jalur Embden-Meyerhorf-Parnas. Selain itu terbentuk pula asam-asam
organik lain seperti asam piruvat sebagai hasil samping dari fermentasi.
Peningkatan total asam cairan fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11.
40
Nilai Total Asam (%)
20
15
10
5
0
Glukosa teknis
H2SO4
H2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 11. Histogram total asam pada awal dan akhir fermentasi
Nilai total asam cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 3,32 g/l, 18,60 g/l dan 16,58 g/l; atau jika dinyatakan
dalam persen menjadi 0,332%, 1,860% dan 1,658%. Pada Gambar 11
terlihat bahwa nilai total asam cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
H2SO4 juga tidak berbeda jauh dengan total asam cairan fermentasi dari
substrat hidrolisat HCl. Rata-rata kenaikan total asam terbesar diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4. Nilai total asam akhir tertinggi diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 18,60 g/l, sedangkan total asam
akhir terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l.
Tingginya nilai total asam cairan fermentasi dari hidrolisat pati diduga
karena nilai total asam yang terukur bukan hanya asam-asam organik yang
terbentuk melalui proses fermentasi, tetapi juga asam mineral seperti
H2SO4 dan HCl yang digunakan sebagai asam penghidrolisis pada proses
produksi hidrolisat pati sagu.
b. Biomassa
Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat
dalam cairan
fermentasi.
Selama fermentasi, sel
mikroba
akan
mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk sehingga akan
terjadi kenaikan biomassa. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas
41
mikroba
selama
proses
fermentasi.
Peningkatan
biomassa
juga
menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Khamir memerlukan medium dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk
melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol
harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel
dan pertumbuhan mikroba. Umumnya yang disebut makronutrien adalah
elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O
dan N (Hidayat et al., 2006). Kondisi medium dan lingkungan yang sesuai
serta nutrien yang cukup akan meningkatkan aktivitas mikroba.
Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin
meningkatnya pembentukan produk fermentasi.
Nilai total biomassa cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 1,15 g/l, 1,17 g/l dan 1,02 g/l. Hasil analisis total
biomassa pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.
2.0
Biomassa (g/l)
1.5
1.0
0.5
0.0
Glukosa teknis
H2SO4
H2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 12. Histogram biomassa pada awal dan akhir fermentasi
Rata-rata kenaikan total biomassa terbesar diperoleh dari substrat
hidrolisat H2SO4, sedangkan rata-rata kenaikan total biomassa terendah
diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis (Gambar 12). Hal ini terjadi
karena tingginya nilai pengukuran biomassa substrat sirup glukosa teknis
pada awal fermentasi. Tingginya nilai pengukuran terhadap biomassa awal
42
pada cairan fermentasi dari glukosa teknis diduga karena karena partikel
nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak larut secara
sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai biomassa.
Tingginya nilai biomassa awal juga diduga disebabkan karena kondisi
awal proses fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob. Pada saat
oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka
terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih
banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang
mencukupi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi dengan
substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 1,17 g/l, sedangkan total biomassa akhir
terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl sebesar 1,02 g/l.
Pada hidrolisis asam kemungkinan dihasilkan bahan inhibitor seperti
furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF), asam karboksilat dan komponen
fenol yang cukup besar (Ulbricht et al., 1984 dalam Subekti, 2006).
Bahan-bahan ini akan menghambat pertumbuhan khamir sehingga
biomassa yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari yang dihasilkan
oleh substrat sirup glukosa teknis. Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa
nilai total biomassa akhir tertinggi justru diperoleh dari substrat hidrolisat
H2SO4, walaupun tidak berbeda jauh dengan nilai biomassa yang
dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena rendahnya kandungan nitrogen pada substrat sirup
glukosa teknis (seperti terlihat pada Tabel 9). Unsur nitrogen (N)
merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba
dalam jumlah besar. Keterbatasan akan nutrien tersebut menyebabkan
khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal, sehingga biomassa yang
terbentuk lebih sedikit. Selain itu keberadaan nutrien yang kurang larut
juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Sa’id (1987), bila
mikroba ditumbuhkan pada nutrien esensial yang tidak larut dalam air,
maka pertumbuhan mikroba akan dibatasi oleh laju difusi nutrien tersebut.
43
c. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi
Menurut Frazier dan Weshoff (1978), konsentrasi gula yang
dibutuhkan untuk proses fermentasi etanol adalah 10–18%. Menurut
Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa konsentrasi gula yang tinggi
(> 25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat
(substrate inhibitor), waktu fermentasi menjadi lebih lama, serta tidak
semua gula dapat dikonversi menjadi etanol. Penggunaan konsentrasi gula
yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan khamir serta
menjadikan proses fermentasi menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan
fermentor yang tidak efisien.
Total gula akhir menunjukkan total gula yang tersisa pada akhir
proses fermentasi, sedangkan kadar gula pereduksi akhir menunjukkan
kadar gula pereduksi yang tersisa setelah proses fermentasi selesai. Hasil
analisis total gula (TG) dan kadar gula pereduksi (GP) pada awal dan akhir
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Total Gula
100
Nilai TG (g/l)
80
60
40
20
0
Glukosa teknis
H
H2SO4
2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 13. Histogram total gula pada awal dan akhir fermentasi
44
Gula Pereduksi
100
Nilai GP (g/l)
80
60
40
20
0
Glukosa teknis
H2SO4
H
2SO4
Sebelum Fermentasi
HCl
Setelah Fermentasi
Gambar 14. Histogram gula pereduksi awal dan akhir fermentasi
Selama proses fermentasi terjadi penurunan total gula dan kadar gula
pereduksi. Hal ini ditandai dengan berkurangnya total gula dan kadar gula
pereduksi yang terkandung pada substrat akibat konsumsi mikroba
Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Nilai total gula yang tersisa
pada akhir fermentasi berkisar antara 51,29 g/l hingga 82,63 g/l.
Sementara kadar gula pereduksi yang tersisa pada akhir fermentasi
berkisar antara 54,37 g/l hingga 86,84 g/l. Pada Gambar 13 dan 14, dapat
dilihat bahwa total gula dan kadar gula pereduksi substrat hidrolisat H2SO4
pada akhir fermentasi tidak berbeda jauh dengan nilai total gula dan kadar
gula pereduksi cairan fermentasi kontrol (substrat sirup glukosa teknis).
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terbesar diperoleh
dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
mikroba tertinggi terjadi pada substrat sirup glukosa teknis.
Penurunan substrat sejalan dengan produksi biomassa dan produk
etanol yang dihasilkan. Semakin rendah kadar gula pereduksi sisa, maka
semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Namun
seharusnya aktivitas mikroba yang terjadi pada substrat sirup glukosa
teknis jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas mikroba yang
terjadi pada substrat hidrolisat H2SO4. Karena berbeda dengan substrat
sirup glukosa teknis, pada substrat hidrolisat H2SO4 kemungkinan terdapat
45
bahan-bahan inhibitor yang terbentuk selama proses hidrolisis pati secara
asam yang dapat menghambat proses fermentasi. Hal ini diduga
disebabkan karena keterbatasan nutrien yang terdapat pada substrat
glukosa teknis, seperti rendahnya kandungan nitrogen total (0,024%),
sehingga khamir tidak dapat tumbuh secara optimal. Penambahan pupuk
NPK (16:16:16) sebesar 40% substrat belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan mikroba atas unsur nitrogen pada substrat fermentasi. Unsur
nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan
mikroba dalam jumlah besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai
penyusun protein, asam nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006).
Sementara penambahan pupuk NPK dalam jumlah yang lebih besar
menyebabkan unsur fosfor (P) dan unsur kalium (K) pada substrat akan
bertambah pula. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan
mikroba karena unsur fosfor merupakan unsur mesonutrien yang
keberadaannya pada medium hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
Unsur fosfor berperan sebagai penyusun asam nukleat, fosfolipida dan
koenzim (Hidayat et al., 2006). Adapun unsur kalium bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
substrat sirup glukosa teknis kurang menguntungkan bagi pertumbuhan
khamir, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak.
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terendah
diperoleh dari substrat hidrolisat HCl. Banyaknya total gula dan kadar gula
pereduksi yang masih tersisa pada cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
HCl
menunjukkan
rendahnya
konsumsi
mikroba
Saccharomyces
cerevisiae terhadap substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis, meskipun
komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena nutrien untuk
pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit,
yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Rendahnya konsumsi
mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl menunjukkan rendahnya
aktivitas mikroba yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini diduga
terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil degradasi
produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF)
46
yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan
inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut. Tidak seperti dua substrat lainnya
yaitu substrat sirup glukosa teknis dan substrat hidrolisat H2SO4 yang
mengandung garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), pada substrat hidrolisat
HCl tidak terkandung unsur sulfur, karena reaksi antara HCl dengan basa
penetral NH4OH pada proses hidrolisis hanya akan menghasilkan garam
NH4Cl (amonium klorida). Unsur sulfur (S) merupakan mesonutrien bagi
khamir, sehingga keberadaannya dalam garam (NH4)2SO4 cukup penting
bagi pertumbuhan khamir, sedangkan unsur klor (Cl) bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
garam NH4Cl yang terkandung dalam substrat hidrolisat HCl kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan khamir, apalagi dalam jumlah yang
cukup banyak. Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal.
d. Efisiensi Pemanfaatan Substrat
Efisiensi pemanfaatan substrat menunjukkan banyaknya substrat
yang terkonversi menjadi biomassa dan produk. Hubungan antara kadar
gula pereduksi (GP) awal dan kadar gula pereduksi (GP) akhir fermentasi
dengan efisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat
GP awal
(g/l)
GP akhir
(g/l)
∆s/s (%)
Sirup glukosa teknis
87,02
51,29
41,06
Hidrolisat H2SO4
84,09
54,83
34,80
Hidrolisat HCl
85,64
82,63
3,52
Jenis Substrat
47
Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat
tertinggi yang berarti konsumsi substrat terbanyak diperoleh dari substrat
sirup glukosa teknis, yaitu mencapai 41,06%, sedangkan efisiensi
pemanfaatan substrat terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl, yaitu
hanya 3,52%. Rendahnya konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat
HCl menunjukkan rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi selama proses
fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena tingginya konsentrasi bahanbahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur
sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir.
Unsur sulfur berperan sebagai penyusun protein dan beberapa koenzim
(Hidayat et al., 2006). Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl
tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan
mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal. Aktivitas mikroba yang
rendah pada cairan fermentasi substrat hidrolisat HCl akan menghasilkan
produk seperti biomassa dan etanol dalam jumlah yang rendah pula. Hal
ini sesuai dengan hasil analisis biomassa yang menunjukkan bahwa
substrat hidrolisat HCl menghasilkan biomassa terkecil dibandingkan
substrat lainnya.
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 10, tingkat konsumsi
substrat selama proses fermentasi belum optimal (efisiensi pemanfaatan
substrat masih dibawah 50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada substrat
fermentasi masih terdapat komponen gula yang tidak dikonsumsi oleh
khamir, yang berarti masih ada komponen gula yang belum terkonversi
menjadi biomassa dan produk (etanol). Hal ini disebabkan karena
kandungan hidrolisat pati sagu yang masih mengandung oligosakarida
seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula
48
yang terdapat dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi
mikroba untuk mengkonsumsi substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis,
meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena
nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk
lebih sedikit, yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Efisiensi
pemanfaatan substrat juga dapat dipengaruhi oleh komposisi substrat yang
digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti pH,
suhu, kandungan oksigen dan konsentrasi etanol.
e. Laju Pembentukan CO2
Produktivitas fermentasi dapat dilihat dari volume CO2 yang
terbentuk selama fermentasi. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2
selama fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis, hidrolisat
H2SO4 dan hidrolisat HCl dapat dilihat pada Gambar 15.
CO2 Yang Terbentuk (ml)
100
80
60
40
20
0
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
72
Jam KeGlukosa
H2SO4
HCl
Gambar 15. Grafik laju pembentukan CO2 selama fermentasi
Pada 6 jam pertama proses fermentasi, laju pembentukan CO2 lebih
lambat dibandingkan dengan 6 jam berikutnya (Gambar 15). Hal ini
dikarenakan sel khamir baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
medium yang baru, sehingga belum dapat tumbuh secara optimal. Menurut
Sa’id (1987), fase ini disebut juga fase awal (lag phase), yaitu fase sejak
49
inokulasi sel pada medium, dan merupakan suatu periode adaptasi. Selama
fase ini massa sel dapat berubah tanpa adanya suatu perubahan jumlah sel.
Hidayat et al. (2006) menambahkan bahwa pada fase awal ini, bermacammacam enzim dan zat perantara dibentuk, sehingga keadaannya
memungkinkan terjadinya pertumbuhan lebih lanjut. Sel-sel khamir mulai
membesar, tetapi belum membelah diri.
Selain karena proses adaptasi, lambatnya laju pembentukan CO2
pada 6 jam pertama proses fermentasi juga dapat disebabkan karena
kondisi proses yang belum sepenuhnya anaerob. Pada awal proses
fermentasi masih terdapat oksigen, sehingga khamir cenderung melakukan
asimilasi sel dan proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi. Akibatnya,
produk metabolit yang dihasilkan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena khamir bersifat fakultatif anaerobik. Pada saat oksigen bebas tidak
ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi
sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya,
apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka
konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk
metabolit dan produk antara ditekan rendah. Barnett et al. (2000) dalam
Anonim (2008), menyatakan bahwa khamir akan selalu berespirasi pada
setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada
respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada
fermentasi. Apabila terdapat oksigen pada proses fermentasi, maka etanol
yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi
dimana
biomassa
terbentuk
dan
terjadi
konversi
gula
menjadi
karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 hingga jam ke18 terjadi peningkatan laju fermentasi dengan cepat yang ditandai dengan
semakin meningkatnya laju pembentukan CO2. Sepanjang fermentasi,
komposisi kimiawi cairan fermentasi berubah karena nutrien terus
menerus dikonsumsi dan produk metabolit disintesis. Sebagai akibatnya
kondisi lingkungan menjadi semakin tidak seimbang. Pada fermentasi
substrat hidrolisat HCl, laju pembentukan CO2 telah mencapai titik
50
maksimum pada jam ke-18, sedangkan pada substrat hidrolisat H2SO4 dan
substrat sirup glukosa teknis, laju pembentukan CO2 masih terus
berlangsung dan baru mencapai titik maksimumnya pada jam ke-24.
Setelah jam ke-24, laju pembentukan CO2 pada ketiga jenis substrat
mulai mengalami penurunan, yang berarti terjadi penurunan laju
fermentasi. Pada periode ini, pertumbuhan mikroba mulai terhambat.
Penurunan laju fermentasi ini diduga karena semakin berkurangnya
nutrien pada medium serta mulai terjadinya penimbunan racun sebagai
hasil kegiatan metabolisme. Penurunan laju fermentasi juga kemungkinan
disebabkan adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam
yang kemudian menghambat laju fermentasi. Etanol dapat menghambat
proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk,
sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan, sehingga khamir tidak
dapat tumbuh dengan optimal. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pH
optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0–5,0.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, terjadi penurunan laju pembentukan CO2 secara perlahan
setelah jam ke-24. Laju penurunan bahkan terus berlangsung hingga akhir
fermentasi (jam ke-72). Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi
masih terus berlangsung hingga akhir fermentasi, sehingga masih terjadi
konversi etanol, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Apabila proses
fermentasi terus dilanjutkan, kemungkinan laju fermentasi akan terhenti
pada jam berikutnya, karena jumlah sel hidup yang cenderung terus
menurun. Hampir mirip dengan laju fermentasi substrat sirup glukosa
teknis, pada fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 penurunan laju
pembentukan CO2 juga terjadi setelah jam ke-24. Penurunan laju
pembentukan CO2 juga berlangsung perlahan, tetapi kemudian berhenti
pada jam ke-72. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus
berlangsung dengan laju yang semakin melambat, hingga kemudian
terhenti pada jam ke-72. Setelah jam ke-72, tidak terbentuk gas CO2 lagi,
karena aktivitas mikroba untuk regenerasi telah terhenti, yang terjadi
adalah pembentukan etanol.
51
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa proses fermentasi substrat
hidrolisat HCl menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dibandingkan
fermentasi substrat lainnya. Penurunan laju pembentukan CO2 terjadi lebih
awal, yaitu mulai jam ke-18, sementara pada substrat lainnya penurunan
laju pembentukan CO2 baru terjadi pada jam ke-24. Penurunan laju
fermentasi yang ditandai dengan penurunan laju pembentukan CO2 juga
terjadi lebih cepat hingga kemudian terhenti pada jam ke-54. Rendahnya
laju pembentukan CO2 yang terjadi pada substrat hidrolisat HCl diduga
disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor
hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi (substrate inhibition). Selain itu, laju pertumbuhan yang lebih
lambat pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena
komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut,
seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen
mesonutrien bagi pertumbuhan khamir, serta keberadaan unsur nonnutrien seperti klor (Cl) dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal, sehingga biomassa yang terbentuk lebih
sedikit, serta laju fermentasi lebih rendah, yang ditandai dengan rendahnya
laju pembentukan CO2. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis total gula dan
kadar gula pereduksi yang menunjukkan bahwa konsumsi mikroba
terhadap substrat hidrolisat HCl selama proses fermentasi berlangsung
adalah yang paling rendah dibandingkan substrat lainnya, yang berarti
rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi pada cairan fermentasi hidrolisat
HCl tersebut. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 5.
f. Kadar Etanol
Selama proses fermentasi, mikroba akan mengkonversi sumber
karbon dari substrat menjadi biomassa dan produk, baik produk utama
52
yaitu etanol maupun produk sampingan berupa asam-asam organik seperti
asam piruvat melalui proses glikolisis. Pada kondisi anaerob, metabolisme
glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas
atau glikolisis (Gambar 3). Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri
dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Mulamula glukosa difosforilasi oleh ATP menjadi D-glukosa-6 fosfat,
kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-frukstoda-6 fosfat, dan
difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1,6 difosfat. D-fruktosa-1,6
difosfat kemudian dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3 fosfat
dan satu molekul aseton fosfat. Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan
lagi menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh NADH2. ATP melepaskan satu
molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3 fosfat yang kemudian
menjadi D-1,3 difosfogliserat dan ADP. D-1,3 difosfogliserat melepaskan
energi fosfat yang tinggi ke ADP untuk membentuk D-3 fosfogliserat dan
ATP. Selanjutnya D-3-fosfogliserat membentuk D-2-fosfogliserat dan
berada dalam kesetimbangan. D-2 fosfogliserat kemudian membebaskan
air untuk menghasilkan fosfoenol piruvat. ATP menggeser rantai fosfat
yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat untuk menghasilkan piruvat dan
ATP. Selanjutnya asam piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid
dan CO2, hingga akhirnya asetaldehid menerima hidrogen dari NADH2
dan menghasilkan etanol.
Analisis kadar etanol dilakukan dengan metode perbandingan bobot
jenis
(BJ)
dengan
menggunakan
piknometer
dan
metode
Gas
Chromatography (GC). Hasil analisis kadar etanol dengan menggunakan
metode piknometer dan GC, yang dihasilkan dari fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat hidrolisat HCl dapat
dilihat pada Tabel 11, sedangkan data kromatogram etanol hasil fermentasi
dengan uji GC dapat dilihat pada Lampiran 6.
53
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC
Metode Piknometer
Jenis Substrat
Metode GC
Kadar
Etanol
(% v/v)
Kadar
Etanol
(g/l)
Kadar
Etanol
(% v/v)
Kadar
Etanol
(g/l)
Sirup glukosa
teknis
2,60
20,51
2,56
20,22
Hidrolisat H2SO4
2,09
16,51
1,91
15,09
Hidrolisat HCl
0,77
6,11
0,63
4,98
Berdasarkan perbandingan data pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa
hasil pengukuran kadar etanol dari masing-masing sampel baik yang
menggunakan metode piknometer maupun dengan metode GC memiliki
kecenderungan yang sama, dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Kadar
etanol tertinggi dengan metode GC diperoleh dari fermentasi dengan
substrat sirup glukosa teknis sebesar 2,56%, diikuti dengan substrat
hidrolisat H2SO4 sebesar 1,91% dan terendah pada substrat hidrolisat HCl
sebesar 0,63%. Besarnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dari substrat
sirup glukosa teknis terjadi karena pada sirup glukosa teknis komponen
gulanya adalah glukosa murni, sehingga lebih memudahkan mikroba
untuk mengkonsumsinya, tidak seperti pada substrat hidrolisat pati sagu
yang komponen gulanya masih mengandung disakarida seperti maltosa
dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula yang terdapat
dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk
mengkonsumsi substrat tersebut. Selain itu pada substrat sirup glukosa
teknis tidak terdapat bahan inhibitor yang dapat menghambat pertumbuhan
khamir. Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap efisiensi pemanfaatan
substrat dan laju pembentukan CO2 yang menunjukkan bahwa efisiensi
pemanfaatan substrat dan laju pembentukan CO2 pada sirup glukosa teknis
adalah yang paling tinggi, itu berarti laju fermentasi dan aktivitas mikroba
yang terjadi pada cairan fermentasi sirup glukosa teknis tersebut juga
paling tinggi dibandingkan substrat lainnya. Semakin tinggi aktivitas
khamir selama proses fermentasi, berarti semakin banyak pula substrat
54
yang terkonversi menjadi produk (etanol), sehingga semakin tinggi pula
kadar etanol yang dihasilkan.
Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan substrat hidrolisat H2SO4,
pertumbuhan khamir pada substrat sirup glukosa teknis tersebut belum
dapat dikatakan optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya nutrien
pendukung terutama unsur nitrogen. Unsur nitrogen (N) merupakan salah
satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah yang
besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein, asam
nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Keterbatasan akan nutrien
tersebut menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal,
sehingga laju pembentukan produk oleh mikroba juga tidak optimal yang
berakibat pada masih rendahnya konsentrasi produk etanol yang
dihasilkan. Selain itu, produk etanol yang dihasilkan juga merupakan
racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Clark dan
Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka terhadap sifat
penghambatan etanol. Konsentrasi etanol 1–2% (v/v) cukup untuk
menghambat pertumbuhan mikroba, dan pada konsentrasi etanol 10%
(v/v) laju pertumbuhan hampir berhenti total. Menurut Presscot dan Dunn
(1981), kadar etanol yang bisa dihasilkan sebelum proses fermentasi
benar-benar berhenti adalah 13% (v/v).
Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat
hidrolisat HCl sebesar 0,63% diduga disebabkan karena adanya bahanbahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Menurut Azhar et al. (1981), adanya kandungan senyawa
yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat hasil hidrolisis asam akan
menurunkan kadar etanol yang dihasilkan. Ada beberapa senyawa penting
dari furan yang merupakan zat inhibitor bagi pertumbuhan khamir dalam
produksi etanol, yaitu furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF) dan 2hidroksimetilfuran. Konsentrasi HMF 0,1 mg/ml dalam substrat fermentasi
dapat mencegah pertumbuhan khamir dan menurunkan kecepatan
55
fermentasi Saccharomyces cerevisiae. Sementara konsentrasi furfural 0,46
mg/ml dapat menurunkan produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae
hingga 78,4%.
Adanya proses penghambatan dapat dilihat dari laju pembentukan
CO2 pada substrat hidrolisat HCl yang jauh lebih rendah dan bahkan
berhenti lebih awal. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme sel khamir
pada substrat hidrolisat HCl berhenti lebih awal karena adanya
penghambatan oleh bahan inhibitor. Selain itu, rendahnya konsentrasi
etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat hidrolisat HCl juga
kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang
seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S)
yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir. Menurut
Hidayat et al. (2006), unsur sulfur berperan cukup penting sebagai
penyusun protein dan beberapa koenzim. Keberadaan unsur non-nutrien
seperti klor (Cl) pada substrat dalam jumlah yang banyak diduga juga turut
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga laju pembentukan produk
oleh mikroba juga tidak optimal yang berakibat pada masih rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Kondisi awal fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob juga dapat
menyebabkan rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Menurut Barnett et al. (2000) dalam Anonim (2008), khamir akan selalu
berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang
dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang
dihasilkan pada fermentasi. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada
dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon
menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen
bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka etanol yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi dimana
biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi karbondioksida, air
dan asam-asam organik.
Disamping itu, kadar etanol yang terukur pada penelitian ini diduga
lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam
56
masing-masing cairan fermentasi tersebut. Hal ini disebabkan karena
pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan metode destilasi.
Menurut Amerine dan Ough (1979), destilasi etanol akan menyebabkan
kehilangan kadar etanol sebesar 0,6–1,5% (v/v). Kualitas kultur mikroba
yang digunakan juga memegang peranan yang sangat penting terhadap
penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan. Penggunaan kultur
Saccharomyces cerevisiae yang tidak berasal dari galur unggul pada
proses
fermentasi
diduga
turut
berpengaruh
terhadap
rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Subekti (2006)
masing-masing memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1,16% (v/v) dan
0,31% (v/v) dengan perlakuan hidrolisis secara asam menggunakan
substrat onggok singkong dan fraksi selulosa tongkol jagung. Nilai
tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan pada penelitian ini. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat
pati sagu lebih baik daripada penggunaan onggok singkong dan fraksi
selulosa tongkol jagung sebagai sumber karbon dalam media fermentasi.
Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula
pereduksi lebih banyak dibandingkan hidrolisat onggok singkong maupun
hidrolisat selulosa tongkol jagung.
g. Kinetika Fermentasi
Kinetika fermentasi menggambarkan biomassa, konsumsi substrat,
laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba. Rehm dan Reed
(1981) menyatakan bahwa pertumbuhan mikrobial ditandai dengan
peningkatan jumlah massa dan sel, sedangkan kecepatan pertumbuhannya
tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya.
Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan
proses-proses biokonversi, dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada
proses fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit.
Setiap konversi tersebut dapat dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil
57
yang kemudian dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk
per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk
produk, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan
sebagai Yp/x (Sa’id, 1987). Koefisien hasil tersebut dapat menggambarkan
efisiensi konversi substrat menjadi produk selama proses fermentasi
berlangsung. Maka dari itu penentuan parameter kinetika fermentasi
berguna untuk mengetahui efektivitas proses fermentasi. Hasil perhitungan
terhadap ketiga koefisien hasil fermentasi (Yx/s, Yp/s dan Yp/x) tersebut
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil
Analisis Metode GC)
Jenis Substrat
Yx/s
Yp/s
Yp/x
Sirup glukosa
teknis
0,005
0,577
17,571
Hidrolisat
H2SO4
0,015
0,497
12,553
Hidrolisat HCl
0,019
0,505
4,358
Yield biomassa (Yx/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk per
substrat yang dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 12 didapat bahwa
nilai Yx/s terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat
hidrolisat HCl sebesar 0,019, sedangkan nilai Yx/s terkecil diperoleh dari
fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,005. Rendahnya nilai
Yx/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis terjadi karena rendahnya
nilai ∆ biomassa yang terhitung, akibat tingginya nilai total biomassa awal
(pada jam ke-0 fermentasi) pada substrat tersebut. Hal ini diduga terjadi
karena partikel nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak
larut secara sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai
biomassa, sedangkan tingginya nilai Yx/s pada fermentasi menggunakan
substrat hidrolisat asam (baik H2SO4 maupun HCl) diduga disebabkan
karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil
58
degradasi produk hidrolisat asam yang terdapat pada medium, seperti
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terjadi seiring dengan
konsumsi gula. Pada akhir fermentasi, bahan-bahan inhibitor tersebut juga
ikut terukur sebagai biomassa. Tingginya nilai biomassa awal juga diduga
disebabkan karena kondisi anaerob pada awal proses fermentasi belum
sepenuhnya terjadi. Khamir cenderung berespirasi pada setiap keadaan
yang memungkinkan, sehingga apabila terdapat oksigen pada proses
fermentasi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per
substrat yang dikonsumsi. Nilai Yp/s terbesar diperoleh dari fermentasi
menggunakan substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,577, sedangkan nilai
Yx/s terkecil diperoleh dari fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 sebesar
0,497. Tingginya nilai Yp/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis
terjadi karena konsentrasi produk etanol yang terbentuk pada fermentasi
substrat sirup glukosa teknis lebih tinggi dibandingkan fermentasi dengan
substrat hidrolisat asam.
Koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x.
Berdasarkan data pada Tabel 12, didapat bahwa nilai Yp/x terbesar
diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis
sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x terkecil diperoleh dari fermentasi
substrat hidrolisat HCl sebesar 4,358.
59
Download