Bisa dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan besar Universitas Sumatera Utara, yang diharapkan bermanfaat sebagai pembanding dan referensi untuk penelitian lebih lanjut. 1.4.3 Untuk Peneliti i) Bisa mengetahui besarnya angka kejadian hepatotoksisitas di kalangan pesakit TB. ii)Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan yang diperoleh penulis tentang metodologi penelitian. 1.4.4 Untuk pembaca Bisa berupa suatu kesadaran untuk masyarakat dan juga untuk pasien-pasien TB akan efek samping OAT supaya mereka akan menjalani follow up di puskesmas untuk mengelakkan komplikasi yang serius akibat hepatotoksisitas. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Paru (TB paru) 2.1.1 Definisi Tuberkulosis, adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis komplex. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Simon, 2002). 2.1.2 Morfologi dan struktur bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3- 0.6 mikrometer dan panjang 1-4 mikrometer. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel Mycobacterium tuberculosis ialah asam Universitas Sumatera Utara mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut faktor kord, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan dengan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam –alkohol (Fhar, 2004). Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibody monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 dKa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa, yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mengdiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen Mycobacterium tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 alpha, protein MTP 40 dan lain-lain (Fahr, 2004). 2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis dapat dibagi menjadi tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstraparu. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru,vtidak termasuk pleura. TB paru dapat dibagi menjadi hasil pemeriksaan dahak dan tipe pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas TB paru BTA (+) dan TB paru BTA (-). TB paru BTA (+) adalah di mana sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+), hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif dan hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan biakan positif. TB paru BTA (-) pula adalah di mana hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif dan juga hasil pemeriksaan di mana dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan Mycobacterium tuberculosis positif (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2005). Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tipe pasien pula ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu, yang pertama adalah kasus baru, kedua adalah kasus kambuh (relaps), ketiga adalah kasus defaulted atau drop out, keempat adalah kasus gagal, kelima adalah kasus kronik dan keenam adalah kasus bekas TB. Kasus baru merangkumi pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. Kasus kambuh (relaps) merangkumi pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif/perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan yaitu lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur dan keganasan) dan TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus TB. Seterusnya ialah kasus defaulted atau drop out dimana ia merangkumi pasien yang telah menjalani pengobatan lebih dari satu bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai. Kasus gagal pula merangkumi pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. Kasus kronik pula adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. Seterusnya yang terakhir adalah kasus bekas TB di mana hasil pemeriksaannya BTAnya negatif dan biakannya juga negatif bila ada dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2005). TB ekstraparu adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing dan lain-lain (Jagirdar, 1996). 2.1.4 Manifestasi Klinis TB paru mempunyai onset yang cepat dan dapat menular dengan cepat. Simptomnya adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, Universitas Sumatera Utara batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari satu bulan.(Melo, 2000). 2.1.5 Patogenesis Tuberkulosis Primer Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut yaitu sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad intergrum), sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gron, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus) dan menyebar dengan cara perkontinuitatum yaitu menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman TB akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Penyebaran juga berlaku dengan cara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran juga berlaku dengan cara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, tuberkulosis meningitis, dan typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, dan genitalia. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya Universitas Sumatera Utara pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis atau tuberkuloma) atau komplikasinya atau penyebarannya berakhir dengan kematian. Semua kejadian di atas adalah perjalanan tuberkulosis primer (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). Tuberkulosis Postprimer Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, tuberkulosis lokalisasi dan tuberkulosis menahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut yaitu diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat atau sarang tersebut akan meluas dan segere terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut akan dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). Satu lagi jalan yang akan diikuti oleh sarang pneumoni ialah sarang pneumoni tersebut akan meluas dan membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas. Kemudian ia akan memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), yang disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kemudian kaviti tersebut akan melalui proses penyembuhan yang disebut open healed cavity atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemudian ia berakhir sebagai kaviti yang terbungkus Universitas Sumatera Utara dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). 2.1.6 Diagnosa Diagnosa TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori yaitu batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar (Hopewell, 2000). Gejala sistemiknya pula ialah demam,malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun (Hopewell, 2000). Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Edward, 1997). Seterusnya dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, likuor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Seterusnya ialah cara pengumpulan dan pengiriman bahan dimana dahak pasien diambil sebannyak 3 kali, yaitu Universitas Sumatera Utara dahak sewaktu kunjungan, pagi (keesokan harinya) dan pada saat mengantarkan dahak pagi atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan /ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, likuor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar/ BAL, urin, feses dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan. Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl-Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan) (Hopewell, 2002). Tabel 2.1. Interpretasi hasil pemeriksaan TB paru 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali BTA positif negative 1 kali positif, 2 kali negatif Ulang BTA 3 kali, kemudian Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif Bila 3 kali negative BTA negative ( Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Mengikut Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease), Tabel 2.2 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis TB paru mengikut skala IUATLD Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang Negatif pandang Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang Ditulis jumlah kuman yang Universitas Sumatera Utara pandang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang + (1+) pandang Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang +++ (3+) ( Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). Seterusnya pemeriksaan bakteriologi dapat juga dilakukan dengan cara biakan kuman, yaitu pemeriksaan biakan Mycobacterium tuberculosis dengan metode konvensional, dengan cara Egg Base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) dan agar base media (Middle brook) (Jacobs, 2001). Seterusnya dilakukan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain yang berdasrkan indikasi ialah foto lateral, top-lordotik, oblik, dan CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk multiform. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif ialah bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Gambaran yang lain ialah kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Selain itu bisa juga dilihat bayangan bercak milier dan efusi pleura unilateral atau bilateral. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif ialah gambaran yang berupa fibrotic, kalsifikasi atau penebalan pleura. Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut. Jadi perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit (Jacobs, 2001). Ketiga ialah pemeriksaan serologi dengan berbagai metode yaitu Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), ICT, Mycodot, Uji peroksidae anti peroksidase (PAP) dan uji serologi yang baru/IgG TB (Jacobs, 2001). 2.1.7 Komplikasi Universitas Sumatera Utara Setelah diketahui bahwa TB paru terutama menyerang paru-paru, kerusakan paru-paru merupakan salah satu komplikasi yang paling sering, dan mungkin menyebabkan kegagalan paru-paru. Komplikasi TB paru antaranya ialah gangren paru. Selain daripada itu ditemukan juga trombosis vaskular dan arteritis. Komplikasi vaskular yang berlaku diperlukan untuk pengembangan gangren paru (jurnal CHEST). Dalam kasus-kasus di mana penyakit ini tidak diobati atau dalam kasus di mana ia belum diobati tepat pada waktu dan dalam cara yang tepat, penyakit ini bisa menjadi sangat serius bahkan mengancam nyawa. Dalam kasus seperti itu, ia bisa menyebar ke bagian lain dari tubuh, sehingga membuat pengobatan lebih sulit, terutama jika menyebar ke tulang, karena kerusakan pada sendi diikuti dengan rasa sakit sangat mungkin harus dialami kemudian. Selain itu terjadi juga pneumotoraks dan efusi pleura ( Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Tuberkulosis di luar paru terjadi akibat tuberkulosis paru sebagai komplikasinya. Ginjal dan kelenjar getah bening adalah situs yang paling umum untuk tuberkulosis yang berkembang di luar paru-paru. Tuberkulosis juga dapat mempengaruhi tulang, otak, rongga perut, membran sekitar jantung (pericardium), sendi (pinggul dan lutu), dan organ reproduksi (Rasjid,2000). Dalam sebuah infeksi TB paru, bakteri mungkin merebak dari paru-paru ke kelenjar getah bening yang mengalirkan paru-paru. Jika pertahanan alami tubuh dapat mengendalikan infeksi, ia pergi tidak lebih jauh, dan bakteri menjadi aktif. Namun, anak-anak yang sangat muda memiliki pertahanan lemah, dan di dalamnya, kelenjar getah bening ini akan menjadi cukup besar untuk menekan tabung bronkial, menyebabkan batuk nakal dan mungkin paru-paru runtuh. Kadangkadang, bakteri menyebar sampai pembuluh getah bening ke kelenjar getah bening di leher. Infeksi pada kelenjar getah bening di leher dapat menembus kulit dan pembuangan nanah (Edward C, 1997). Tuberkulosis yang menginfeksi selaput otak (TB meningitis) adalah berbahaya. Meningitis adalah komplikasi yang tak terelakkan dalam kasus-kasus ketika TB paru menyebar ke otak. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, meningitis TB paling sering terjadi di kalangan orang tua atau orang dengan sistem kekebalan yang lemah. Di negara-negara berkembang, meningitis TB yang paling umum di antara anak-anak sejak lahir sampai usia 5. Universitas Sumatera Utara Tuberkulosis juga dapat menginfeksi otak itu sendiri, membentuk massa yang disebut tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat menyebabkan gejala seperti sakit kepala, kejang, atau kelemahan otot. Keseriusan penyakit ini tersirat melalui fakta bahwa ia dapat menyebar ke seluruh tubuh, dan dalam kasus seperti itu, mengarah pada kegagalan ginjal, hati dan bahkan jantung, yang merupakan alasan untuk hasil yang fatal yang berhubungan dengan komplikasi ini (Tahaoglu, 2001). Pada TBC perikarditis, terjadi kebocoran cairan ke dalam ruang antara perikardium dan jantung. Efek ini membatasi kemampuan jantung untuk memompa dan menyebabkan urat leher bengkak dan kesulitan bernafas. Di bagian dunia dimana TB adalah umum, perikarditis TB adalah penyebab umum dari gagal jantung (Tahaoglu, 2001). Tuberkulosis usus terjadi terutama di negara-negara berkembang. Infeksi ini mungkin tidak menimbulkan gejala apapun tetapi dapat menyebabkan pembengkakan jaringan abnormal di perut (Tahaoglu, 2001). 2.2 Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan ( 4 atau 7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama merupakan jenis obat utama yang digunakan. OAT lini pertama antaranya ialah Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin dan Etambutol. Kemasan obat-obat tersebut merupakan obat tunggal,disajikan secara terpisah, masing-masing Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol atau bisa juga sebagai obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan (Tahaoglu, 2003). KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB yaitu dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping, mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi Universitas Sumatera Utara obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep dan jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien (Tahaoglu, 2003). 2.2.1 Dosis obat Tabel 2.3. Jenis dan dosis OAT Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis(mg)/ berat (Mg/Kg ------------------------------------------ Maks badan(kg) (mg) ------------------------ BB/Hari) Harian Intermitten (mg/kgBB/hari) (mg/Kg/BB/kali) < 40 40-60 >60 R 8-12 10 10 600 300 450 600 H 4-6 5 10 300 150 300 450 Z 20-30 25 35 2000 750 1000 1500 E 15-20 15 30 2500 750 1000 1500 S 5-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000 BB Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti dilihat pada tabel di bawah (Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia). Universitas Sumatera Utara Tabel 2.4. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap Fase intensif Fase lanjutan 2 bulan BB Harian (RHZE) 150/75/400/275 30- Harian (RHZ) 150/75/400 4 bulan 3x/minggu (RHZ) Harian 3x minggu (RH) 150/150/500 150/75 (RH) 150/150 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 37 3854 5570 >71 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5. Paduan obat anti tuberkulosis Kasus Paduan obat yang Keterangan dianjurkan TB paru, I 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE BTA(+), BTA(-), lesi luas Kambuh II *2 RHZE/ 4 R3H3 Bila streptomisin - RHZE/ 5 RHZE/ sesuai hasil alergi dapat Uji resistensi atau 2RHZE/1 RHZE/ 5 diganti kanamisin RHE Gagal 3-6 kanamisin,ofloksasin, sikloserin/15- pengobatan 18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES/ 1 RHZE/ 5 RHE TB paru putus Lama pengobatan sebelumnya, lama II berobat berhenti minum obat dan keadaan klinis bakteriologi dan radiologi saat ini *2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3 TB paru BTA 2 RHZE/ 4 RH atau 6 RHE atau *2 III negatif lesi RHZE/4 R3H3 minimal RHZES/ sesuai hasil uji resistensi Kronik (minimal OAT yang sensitive)+ obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan ) Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau IV MDR TB H seumur hidup Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Evaluasi pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Dari segi evaluasi klinisnya pasien harus dievaluasi setiap 2 minggu pada bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasinya harus merangkumi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Selain itu, harus juga diperiksa keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisis. Dari segi evaluasi bakteriologinya harus dalam masa 0 hingga 2 bulan dan 2 hingga 6 bulan/9 bulan. Tujuannya ialah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan mikroskopis harus dilaksanakan sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan yaitu setelah fase intensif dan pada akhir pengobatan. Evaluasi radiologinya harus dilaksanakan dalam durasi 0 hingga 2 bulan dan 2 hingga 6 bulan/9 bulan. Evaluasi foto toraks dilakukan sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan. Evaluasi efek samping secara klinis pula merangkumi pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan ini diperiksa dari awal, sebelum dan sesudah bermulanya pengobatan OAT. Fungsi hati selalunya dinilai dengan melihat kadar SGOT dan SGPT. Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadinya hepatotoksisitas akibat pengambilan OAT ( Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006). 2.3 Hepatotoksisitas Obat anti-Tuberkulosis 2.3.1 Definisi dan klasifikasi Hepatotoksisitas adalah mempertimbangkan peningkatan dalam alanine transaminase (ALT)/SGOT atau aspartate aminotransferase (AST)/SGPT tingkat di atas batas tertentu. Untuk ALT,jika tahapnya di antara 36-50 IU/L ianya dipanggil sebagai hepatotoksisitas ringan manakala jika tahapnya melebihi 51.0 IU/L ianya dipanggil hepatotoksisitas sedang manakala jika tahapnya melebihi 300 IU/L ianya dipanggil sebagai hepatotoksisitas berat. Untuk AST, jika tahapnya di antara 41-50 IU/L ianya dipanggil sebagai hepatotoksisitas ringan manakala jika tahapnya melebihi 51.0 IU/L ianya dipanggil sebagai hepatotoksisitas sedang manakala jika tahapnya melebihi 215 IU/L ianya dipanggil sebagai hepatotoksisitas berat (Purohit, 2005). Nilai Universitas Sumatera Utara normal untuk ALT adalah 5-40 U/L dan nilai normal untuk AST adalah 12-40 U/L (Kumar, 2000). Tabel 2.6. Derajat hepatotoksisitas ALT/SGOT AST/SGPT (IU/L) (IU/L) Hepatotoksisitas ringan 41-50 41-50 Hepatotoksisitas sedang 51.0-299 51.0-214 >300 > 215 Hepatotoksisitas berat (Khadka, 2009) Elevasi SGOT/SGPT biasanya muncul kurang dari 2 minggu pertama setelah pengobatan tetapi dapat terjadi pada setiap saat selama terapi. Pada kebanyakan kasus, tingkat enzim kembali normal, dan umumnya, tidak ada keharusan untuk menghentikan pengobatan selama periode elevasi serum transaminase yang ringan. Dalam kasus sesekali, kerusakan hati yang progresif terjadi, dengan gejala yang menyertainya. Jika nilai SGOT/SGPT melebihi tiga sampai lima kali batas atas normal, penghentian dari isoniazid harus dipertimbangkan karena OAT yang utama yang menyebabkan hepatotoksisitas adalah isoniazid. Frekuensi kerusakan hati yang progresif meningkat dengan usia. Kadar SGOT/SGPT pada pasien harus diukur setiap minggu atau setiap 2-4 minggu setelah pemberian OAT (Gangadharan, 1999). Faktor predisposisi terjadinya hepatotoksisitas adalah defisit nutrisi dan faktor genetik. 2.3.2 Mekanisme toksisitas hepar Hepatotoksisitas adalah peningkatan kadar SGOT/SGPT dalam darah. SGOT /SGPT adalah enzim yang berkaitan dengan fungsi hati dan konversi glukosa dan biasanya ditemukan di mitokondria sel hati. Tingkat yang berbeda dari enzim ini dapat menunjukkan perbedaan kondisi dan penyebab. Ini mungkin termasuk penyakit kandung empedu, hepatitis, fatty liver, sirosis, mononucleosis menular, alkoholisme, obat-obatan dan keracunan obat, CHF, serangan jantung, kerusakan otot jantung, cedera otot rangka, infark ginjal, beberapa jenis anemia, dan keganasan. Universitas Sumatera Utara ALT (SGPT) dan AST (SGOT) adalah enzim-enzim dibuat didalam sel-sel hepar. Mereka juga dikenal sebagai transaminase. Hepar ini menggunakan enzim-enzim ini untuk metabolisme asam amino dan untuk membuat protein. Ketika sel-sel hepar rusak atau mati, ALT dan AST bocor ke dalam aliran darah dan menyebabkan kadar mereka meningkat dalam darah (Yee, 2003). 2.3.3 Obat anti-Tuberkulosis Isoniazid(INH) Isoniazid adalah antibakteri yang tersedia sebagai 100 mg dan tablet 300 mg untuk administrasi oral. Tiap tablet juga mengandung sebagai bahan aktif seperti silikon dioksida koloid, monohidrat laktosa, pati pregelatinized, povidone, dan asam stearat. Isoniazid secara kimiawi dikenal sebagai isonicotinyl hidrazin atau hidrazid asam isonikotinat. Ini memiliki rumus empiris C6H7N3O dan berat molekul 137,14 (Toman, 2004). Ini memiliki stuktur sebagai berikut, Gambar 2.1: Struktur formula isoniazid Isoniazid tidak berbau, dan terjadi sebagai bubuk kristal berwarna atau putih atau sebagai kristal putih. Obat ini secara bebas larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan sedikit larut dalam kloroform dan dalam eter. Isoniazid secara perlahan dipengaruhi oleh paparan udara dan cahaya (Toman, 2004). Dosis: 5 mg/kgBB (4–6 mg/kgBB) setiap hari, maksimum 300 mg Universitas Sumatera Utara 10 mg/kgBB (8–12 mg/kgBB) 3 kali setiap minggu, maksimum 900 mg (Tripathi, 2007) Farmakodinamik Mekanisme kerja Mekanisme yang tepat untuk tindakan INH tidak diketahui. INH dapat bertindak dengan inhibisi oleh sintesis asam mycolic dan gangguan dari dinding sel di rentan organisme. Oleh karena asam mycolic adalah unik untuk mikobakteri, tindakan ini menjelaskan tingkat tinggi dari selektivitas aktivitas antimikroba. Ada resistensi salib antara INH, rifampisin dan etambutol (Meyers, 2004). Indikasi INH adalah agen antimycobacterial yang bakterisida untuk kedua organisma ekstraseluler dan intraseluler. Ini adalah obat utama untuk pengobatan TB (Goodman & Gillman, 1990). Dalam kombinasi dengan rifampisin, etambutol atau pirazinamid, INH adalah agen lini pertama dalam pengobatan TB paru dan TB luar paru. INH dapat digunakan untuk profilaksis tuberkulosis (Frieden, 2000). Kontraindikasi Terjadi reaksi yang merugikan atau hipersensitivitas parah karena terhadap obat tersebut. INH tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit hati akut. INH juga dapat menimbulkan porfiria (Frieden, 2000). Efek samping Neuropati perifer adalah efek toksik yang paling umum. Ini terjadi paling sering pada kekurangan gizi dan pada mereka cenderung untuk neuritis (misalnya, pecandu alkohol dan Universitas Sumatera Utara penderita diabetes), dan biasanya didahului oleh parestesia dari kaki dan tangan. Terjadi juga peningkatan serum transaminase (SGOT, SGPT), bilirubinemia, bilirubinuria, sakit kuning, dan hepatitis. Disfungsi hati yang ringan, dibuktikan muncul dengan elevasi ringan dan sementara kadar serum transaminase terjadi pada 10 sampai 20 persen pasien yang memakai Isoniazid. Terjadi reaksi alergi berat seperti ruam, gatal-gatal, gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan mulut, wajah, bibir, atau lidah. Terjadi juga menggigil atau demam, urin gelap, perasaan yang ketidaknyamanan, haus meningkat atau buang air kecil, nyeri sendi atau pembengkakan, hilangnya nafsu makan, masalah memori, perubahan mental atau suasana hati, mual, kejang, sakit perut, gejala kadar vitamin B6 rendah (misalnya, kebingungan, retak di sudut lekas marah, mulut, mulut kemerahan atau rasa sakit, ruam bersisik), rasa kesemutan atau mati rasa di tangan atau kaki, memar atau perdarahan yang tidak biasa (Eidus, 2003). Farmakokinetik Absorpsi Isoniazid diserap dengan cepat dan hampir sepenuhnya dan peak plasma level atau puncak konsentrasi plasma adalah dalam waktu sekitar 1 sampai 2 jam. Bioavailabilitas berkurang ketika isoniazid diberikan dengan makanan. Obat ini segera diserap ke dalam semua cairan tubuh (termasuk cerebrospinal, pleura, dan asites) jaringan, organ, dan kotoran (air liur, dahak dan kotoran) (Kumar, 2000). Distribusi INH terikat kurang dari 10 sampai 15% pada protein plasma. INH didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh dan cairan (pleural, asites cairan, air liur, CSF) dengan tingkat jaringan atau cairan mirip dengan tahap serum. Kulit mengandung sejumlah besar dan bertindak sebagai depot penyimpanan. INH mudah melintasi plasenta. Konsentrasi dalam susu kira-kira sama dengan konsentrasi plasma ibu. Volume jelas distribusi adalah 0,6 L / kg (Boxembaum, 2003). Metabolisme Universitas Sumatera Utara Isoniazid dimetabolisme oleh hati terutama oleh asetilasi dan dehidrazinasi. Metabolit Nacetylhydrazine diyakini bertanggung jawab atas efek hepatotoksik yang terlihat pada pasien yang diobati dengan isoniazid. Tingkat asetilasi ditentukan secara genetik. Setengah-hayat asetilator yang bekerja dengan cepat adalah 1 sampai 2 jam sementara untuk asetilator yang bekerja lambat adalah 2 sampai 5 jam (Davies, 1997). Ekskresi Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal, sekitar 50% sampai 70% dari 5 mg / kg dosis oral diekskresikan dalam urin dalam 24 jam sebagai obat yang tidak berubah dan sebagai metabolit. Persentase dari senyawa yang berbeda dikeluarkan dengan bervariasi bersama asetilator yang fenotipe (Kucers). Pada ASI, 0,75%-2,3% dari dosis diekskresikan ke dalam ASI dalam 24 jam. Hal ini terkait dengan 6%-20% dari dosis terapeutik pediatrik yang biasa. Sejumlah kecil obat diekskresikan ke dalam air liur, dahak dan tinja (Black, 1998). Patofisiologi terjadinya hepatotoksisitas disebabkan oleh isoniazid Rute utama dari metabolisme isoniazid adalah asetilasi di hati oleh N-asetil transferase yang menghasilkan asetilisoniazid. Tingkat asetilasi ditentukan secara genetik. Asetilisoniazid selanjutnya dihidrolisis kepada asam isonikotinat dan asetilhidrazine, di mana kedua- duanya diekskresikan melalui urin. Asam isonikotinat kemudiannya terkonjugasi dengan glisin. Asetilhidrazine dimetabolisme dengan selanjutnya kepada diasetilhydrazine dan dapat dikonversi oleh enzim mikrosoma hati kepada metabolit reaktif (disangka sebagai hidrazin) yang dianggap bertanggung jawab untuk hepatotoksisitas yang disebabkan oleh isoniazid. Hidrazones asam labil dari isoniazid dibentuk dengan ketoglutarate dan piruvat, tapi karena substans ini tidak ditampilkan untuk setiap tingkat dalam darah, mereka dianggap diproduksi di dalam kandung kemih (Kumar, 2000). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Patofisiologi terjadinya hepatotoksisitas disebabkan oleh isoniazid Rifampisin Rifampisin merupakan turunan antibiotik semisintetik dari SV rifamisin. Rifampisin berada dalam bentuk bubuk kristal berwarna merah-coklat, sangat sedikit larut dalam air pada pH netral, bebas larut dalam kloroform, larut dalam etil asetat dan metanol. Berat molekul adalah 822,95 dan rumus kimianya adalah C43H5gN4Oi2 ( Toman, 2004). Struktur formulanya ialah, Gambar 2.3. Struktur formula rifampisin Dosis: 10 mg/kgBB (8–12 mg/kgBB) setiap hari 3 kali setiap minggu, maximum 600 mg setiap hari (Tripathi, 2007) Universitas Sumatera Utara Farmakodinamik Mekanisme kerja Rifampisin memiliki aktivitas tinggi terhadap organisme mikobakteri, termasuk Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae. Rifampisin juga dilaporkan untuk menunjukkan suatu efek imunosupresif yang telah terlihat di beberapa hewan percobaan, namun ini mungkin tidak signifikan secara klinis pada manusia. Rifampisin bakteriostatik atau bakterisida tergantung pada konsentrasi obat yang dicapai di situ infeksi. Tindakan bakterisida adalah sekunder dalam mengganggu dengan sintesis asam nukleat dengan menghambat bakteri DNA-dependent RNA polimer di B-subunit sehingga mencegah inisiasi transkripsi RNA, tetapi bukan perpanjangan rantai (Fahr, 2004). Indikasi Indikasi utama untuk rifampisin adalah untuk pengobatan TB (paru dan luar paru lesi) dan untuk kusta. Hal ini juga berguna untuk penghapusan Neisseria meningokokus pada karrier (tetapi tidak direkomendasikan untuk infeksi aktif meningokokus) dan untuk infeksi bakteri Gram positif seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, dan Streptococcus viridans dan untuk infeksi bakteri gram negatif tipe Haemophilus influenza tipe B (Van, 2003). Kontraindikasi Rifampisin merupakan kontraindikasi pada kasus yang diketahui hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat ini juga kontraindikasi pada wanita yang hamil karena teratogenisitas akan muncul dan juga efek obat pada janin belum didirikan, tetapi dikecualikan pada penyakit TBC yang parah. Hal ini dikontraindikasikan pada pecandu alkohol dengan sangat terganggu fungsi hatinya dan dengan penyakit kuning (Van, 2003). Efek samping Universitas Sumatera Utara Terjadi efek hepatotoksisitas. Reaksi alergi yang serius muncul seperti ruam, gatal-gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan mulut, wajah, bibir, atau lidah. Efek yang lain ialah kencing berdarah atau gelap, dan perubahan jumlah urin yang diproduksi. Kemudian terjadi juga kebingungan, tinja berdarah, demam, menggigil, atau sakit tenggorokan, sakit sendi atau bengkak, sakit otot atau kelemahan, mual, kemerahan di tempat suntikan, kulit merah, bengkak, melepuh, atau mengelupas, diare berat, sakit perut, atau kram, sesak napas, pembengkakan lengan, wajah, atau kaki, dan kelelahan yang tidak biasa. Gejala pada masalah hati pula ialah urin gelap, kehilangan nafsu makan, tinja pucat, dan menguningnya mata atau kulit (Griffin, 2005). Farmakokinetik Absorpsi Rifampisin siap diserap dari saluran gastrointestinal (90%). Peak plasma level atau puncak konsentrasi plasma terjadi pada 1,5jam-4 jam setelah dosis oral. Setelah dosis oral 450 mg, tingkat plasma mencapai 6mg/mL hingga 9 mg/mL sedangkan dosis 600 mg pada perut kosong mencapai 4-32 mg / mL (rata-rata 7 mg / mL). Makanan dapat mengurangi dan menunda penyerapan (Spalding, 2005). Distribusi Rifampisin intravena memiliki distribusi yang sama seperti pemberian obat secara oral. Sekitar 89% dari rifampicin yang beredar terikat dengan protein plasma. Ia berupa larut lipid. Obat ini tersebar luas di jaringan tubuh dan cairan. Ketika meninges meradang, rifampisin memasuki cairan serebrospinal (4.0 mg / mL setelah dosis 600 mg per oral). Ini mencapai tingkat terapeutik di paru-paru, bronkial sekret, cairan pleura, cairan rongga lain, hati, empedu, dan urin (Chow, 2004). Metabolisme Universitas Sumatera Utara Sekitar 85% dari rifampicin dimetabolisme oleh enzim mikrosomal di hati kepada metabolit deasetilrifampisin yang aktif. Rifampisin mengalami enterohepatik resirkulasi tetapi tidak bentuk deasetilasi. Rifampisin meningkatkan laju metabolisme sendiri. Formilrifampisin adalah metabolit kemih yang secara spontan bentuk dalam urin. Setengah hayat rifampisin berkurang sebanyak 40% selama dua minggu pertama setelah terapi karena ekskresi empedu ditingkatkan dan induksi metabolisme sendiri. Setengah hayat plasma mungkin berkurang setelah pemberian berulang. Setengah hayat rifampisin menurun dari 3,5 jam pada awal terapi kepada 2 jam setelah pemberian, setiap hari selama 1 sampai 2 minggu, dan tetap konstan (Molavi, 1996). Ekskresi Metabolit deasetilrifampicin diekskresikan dalam empedu dan juga dalam urin. Sekitar 50% dari dosis rifampisin hilang dalam waktu 24 jam dan 6% sampai 30% obat yang diekskresikan tidak berubah dalam urin, sementara sebanyak 15% diekskresikan sebagai metabolit aktif. Sekitar 43% sampai 60% dari dosis oral diekskresikan dalam tinja. Clearance intrinsik tubuh total adalah 3,5 mL / min / kg, dikurangi dalam gagal ginjal. Clearance ginjal adalah 8,7 mL / menit / kg. Kadar rifampisin dalam plasma tidak dipengaruhi secara signifikan oleh hemodialisis atau dialisis peritoneal. Rifampicin diekskresikan dalam ASI (1 sampai 3 mg / ml) ( Molavi, 1996). Patofisiologi terjadinya hepatotoksisitas disebabkan oleh rifampisin Rifampisin bisa menyebabkan ketergantungan dosis dengan uptake bilirubin yang menyebabkan hyperbilirubinemia tidak terkonjugasi atau ikterus tanpa kerusakan sel-sel hepar. Hyperbilirubinemia terkonjugasi terjadi apabila rifampisin menginhibisi pump eksporter garam hempedu yang mayor. Elevasi bilirubin yang asimptomatik bisa menyebabkan persaingan ketergantungan dosis dengan bilirubin untuk pengeluaran di membrane sinusoidal atau daripada sekresi yang terhambat di tahap kanalikular (Kumar, 2000). Pirazinamid Universitas Sumatera Utara Pirazinamid, analog pirazine dari nicotinamide merupakan agen anti-TB. Obat ini berada dalam bentuk bubuk kristal putih, stabil pada suhu kamar, dan larut dalam air. Pirazinamid memiliki rumus struktur berikut yaitu, C5H5N3O (Toman, 2004). Gambar 2.4. Struktur formula pirazinamid Tiap tablet pirazinamid untuk administrasi oral mengandung 500 mg pirazinamid dan juga bahan aktif seperti koloid silikon dioksida, natrium croscarmellose, kalsium fosfat dibasic (dihidrat), selulosa mikrokristalin, dan asam stearat (Toman, 2004). Dosis: 25 mg/kgBB (20–30 mg/kgBB) setiap hari 35 mg/kgBB (30–40 mg/kgBB) tiga kali setiap minggu. (Tripathi, 2007) Farmakodinamik Mekanisme kerja Pirazinamid membunuh atau menghentikan pertumbuhan bakteri tertentu yang menyebabkan tuberkulosis (TBC). Hal ini digunakan dengan obat lain untuk mengobati tuberkulosis. Ini merupakan agen yang sangat spesifik dan hanya aktif terhadap Mycobacterium tuberculosis. In vitro dan in vivo, obat ini hanya aktif pada keadaan pH dengan sedikit asam. Pyrazinamid akan diaktifkan kepada asam pirazinoik dalam basil dimana ia mengganggu asam lemak sintase FAS I. Hal ini mengganggu kemampuan bacteriums untuk mensintesis asam lemak baru yang diperlukan untuk pertumbuhan dan replikasi. Pirazinamid adalah prodrug sterilisasi yang penting memendekkan terapi tuberkulosis (TBC). Dalam literatur telah ditulis bahwa asam pirazinoik (POA), suatu gugus aktif pirazinamid,mengganggu energetika membran dan Universitas Sumatera Utara menghambat fungsi transport membran pada pH asam pada Mycobacterium tuberculosis. Kegiatan antimycobacterial tampaknya sebagiannya bergantung pada konversi obat kepada POA. Rentan strain Mycobacterium tuberculosis menghasilkan pyrazinamidase, suatu enzim yang mendeaminasi pirazinamid untuk POA, dan kerentanan vitro strain organisme tertentu tampaknya sesuai dengan aktivitas pyrazinamidasenya. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa pirazinamid berdifusi ke Mycobacterium tuberculosis secara pasif, diubah menjadi POA oleh pirazinamidase,dan karena sistem penghabisan yang tidak efisien,ia terakumulasi dalam jumlah besar dalam sitoplasma bakteri. Akumulasi dari POA menurunkan pH intraselular ke tingkat suboptimal yang mungkin akan menonaktifkan enzim target penting seperti asam lemak sintase. Penelitian terbaru (2007) menunjukkan bahwa pirazinamid dan perusahaan analog menghambat aktivitas FAS I yang dimurnikan (Mandel, 2004). Indikasi Pada pasien Tuberkulosis dan harus selalu menjadi administrasi dengan obat anti-TB lain (Mandel, 2004). Kontraindikasi Pada kerusakan hati yang parah, gout akut dan hipersensitivitas (Mandel, 2004). Efek samping Terjadi peningkatan serum transaminase (SGOT, SGPT). Terjadi juga reaksi alergi berat seperti ruam, gatal-gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan pada mulut, wajah, bibir, atau lidah, urin gelap, buang air kecil menurun, demam, hilangnya nafsu makan, mual, sakit atau bengkak pada persendian, pusing berat, sakit perut, kesulitan bernapas, perdarahan memar, kelelahan yang tidak biasa atau kelemahan, muntah, dan menguning pada kulit atau mata (Van Scoy, 2003). Farmakokinetik Universitas Sumatera Utara Absorpsi Penyerapannya cepat dan hampir lengkap di saluran pencernaan. Waktu maksimum adalah dalam waktu 2 jam dan peak plasma level atau puncak konsentrasi plasma adalah dalam sekitar 30-50 mcg / ml (Goldberger, 2005). Distribusi Didistribusikan secara luas kepada kebanyakan cairan dan jaringan, termasuk hati, paruparu, ginjal, dan empedu. Penetrasi yang hebat ke dalam CSF (87% sampai 105%). Ikatan pada protein plasma adalah sekitar 10%. Didistribusi ke ASI (Goldberger et al., 2005). Metabolisme Dihidrolisis dengan deamidase mikrosoma ke metabolit aktif asam pirazinoik yang utama, yang kemudian dihidroksilasi oleh xanthine oksidase menjadi asam 5-hydroxypyrazinoic (Goldberger, 2005). Eskresi Di ginjal, 3% tidak berubah sebagai pirazinamid dan 33% sebagai asam pirazinoik. Sekitar 70% dari dosis oral yang diadministrasi diekskresikan dalam urin. Untuk distribusi ½ hayat adalah sekitar 1,6 jam. Untuk eliminasi pirazinamide, ½ hayatnya adalah sekitar 9,5 jam untuk fungsi ginjal sehat, sekitar 26 jam untuk gagal ginjal kronis, dan untuk asam pirazinoik pula sekitar 12 jam untuk fungsi ginjal sehat, dan sekitar 22 jam untuk gagal ginjal kronis (Goldberger, 2005). Patofisiologi terjadinya hepatotoksisitas disebabkan oleh pirazinamid Efek adverse obat ini ialah hepatotoksisitas. Obat ini bisa mengekshibisi kedua –dua ketergantungan dosis dan hepatotoksisitas idiosinkratik. Pirazinamide mengubah tahap Universitas Sumatera Utara nicotinamide acetyl dehyrogenase di dalam hepar di mana bisa menyebabkan pembentukan spesies radikal bebas. Terdapat persamaan dalam mekanisme lesi oleh isoniazid dan pirazinamid karena kedua-duanya mempunyai persamaan dalam struktur molekularnya. Pasien yang sebelumnya mengalami reaksi hepatotoksisitas dengan isoniazid ada reaksi serius yang berlebihan dengan rifampisin dan pirazinamide (Pande, 1996). Streptomisin Streptomisin adalah aminoglikosida yang larut air yang berasal dari Streptomyces griseus. Hal ini dipasarkan sebagai garam sulfat streptomisin. Rumus molekul untuk Streptomisin Sulfat adalah (C21H39N7O12) 2-3H2SO4 dan berat molekul ialah 1.457,41. Ia memiliki rumus struktur berikut (Toman, 2004), Gambar 2.5. Struktur formula streptomisin Dosis: 15 mg/kgBB (12–18 mg/kgBB) setiap hari 3 kali setiap minggu, dosis maksimum setiap hari ialah 1000mg (Tripathi, 2007) Farmakodinamik Universitas Sumatera Utara Mekanisme kerja Streptomisin bersifat bakterisid untuk organisma yang peka dengan cara penghambatan ireversibel sintesis protein. Proses awal ialah penetrasi melalui selubung sel. Proses ini sebagiannya berupa transpor aktif, sebahagian lain merupakan difusi pasif. Peristiwa terakhir ini akan ditingkatkan dengan adanya obat-obat yang aktif terhadap dinding sel karena transpor aktif merupakan proses yang bergantung pada oksigen. Setelah memasuki sel, streptomisin akan mengikatkan diri dengan reseptor pada subunit 30S ribosom bakteri. Reseptor ini, beberapa di antaranya telah dimurnikan merupakan protein di bawah kendali kromosom. Sintesis protein ribosom dihambat oleh streptomisin dengan 3 cara yaitu dengan mengganggu kompleks awal pembentukan peptida, dengan menginduksi kesalahan pembacaan kode pada template mRNA, yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptide dan menyebabkan suatu pemecahan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi (Flanagan, 2004). Indikasi Streptomisin aktif terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis, Shigella, Proteus, Pseudomonas, H. Influenza, Brucella,Listeria dan Nocardia (Frieden, 2004). Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap aminoglikosida yang lain (Frieden, 2004). Efek samping Terjadi reaksi alergi yang berat seperti ruam, gatal-gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan pada mulut wajah, bibir, atau lidah. Efek yang lain ialah berkurangya pembuangan air kecil, pusing, sakit kepala, gangguan pendengaran, gatal-gatal, sakit kepala ringan, hilang keseimbangan, kelemahan otot, mual, mati rasa atau kesemutan, dering atau menderu di telinga, ruam kulit atau gatal-gatal, dan iritasi vagina (Goodman, 2002). Farmakokinetik Universitas Sumatera Utara Absorpsi Setelah injeksi intramuskular sebanyak 1 g streptomisin sebagai sulfat, peak serum level atau puncak konsentrasi serum sebanyak 25 sampai 50 mcg / ml dicapai dalam waktu 1 jam, dan berkurang dengan perlahan-lahan menjadi sekitar 50% setelah 5 sampai 6 jam (Baselt, 2002) Distribusi Konsentrasi yang cukup dapat ditemukan di seluruh jaringan organ kecuali otak. Jumlah yang signifikan telah ditemukan di rongga cairan dan kavitas tubekulosa. Streptomisin melewati plasenta dengan peningkatan kadar serum dalam tali darah mirip dengan tahap maternal (Baselt, 2002). Eskresi Sejumlah yang kecil dieksresikan di susu, air liur dan keringat. Setelah dosis tunggal sebanyak 600 mg, sebanyak 29% sampai 89% diekskresikan dalam urin dalam waktu 24 jam (Baselt, 2002) Etambutol Myambutol, etambutol hidroklorida adalah agen kemoterapi oral yang secara khusus efektif terhadap mikroorganisme yang sedang tumbuh aktif dari genus Mycobacterium, termasukMycobacterium tuberculosis. Rumus strukturnya seperti berikut, (Toman K, 2004) Gambar 2.6. Struktur formula etambutol Universitas Sumatera Utara Myambutol 100 mg dan 400 mg dalam bentk sediaan tablet mengandung bahan aktif sebagai berikut yaitu Gelatin, Hidroksipropil, Metilselulosa, Magnesium Stearate, Asam Stearate, Sukrosa dan Titanium Dioxide (Toman, 2004). Dosis: 15 mg/kgBB (15-20 mg/kgBB) setiap hari 30 mg/kgBB (25-35 mg/kgBB) 3 kali setiap minggu (Tripathi, 2007) Farmakodinamik Mekanisme kerja Etambutol adalah agen kemoterapi oral yang secara khusus dan efektif dalam melawan aktif pertumbuhan mikroorganisme dari genus Mycobacterium, termasuk M. tuberculosis. Etambutol adalah bakteriostatik dan kerjanya adalah menghambat sintesis satu atau lebih metabolit, sehingga menyebabkan penurunan metabolisme sel, menginhibisi multiplikasi, dan kematian sel. Etambutol telah terbukti efektif terhadap strain Mycobacterium tuberculosis namun tampaknya tidak aktif terhadap jamur, virus, atau bakteri lainnya (Budavari, 2005). Indikasi Untuk tuberkulosis. Kontraindikasi Etambutol hidroklorida merupakan kontraindikasi pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap obat ini dan juga dikontraintraindikasikan pada fungsi penurunan ginjal, usia tua dan neuritis optik (Goldberger, 2005). Efek samping Universitas Sumatera Utara Terjadi reaksi alergi yang berat seperti ruam, gatal-gatal, kesulitan bernafas, sesak di dada, pembengkakan pada mulut, wajah, bibir, atau lidah. Efek lain ialah nyeri dada atau sesak, kebingungan, urin gelap, memar atau mudah terjadi pendarahan, demam, menggigil, atau sakit tenggorokan, halusinasi, nyeri sendi, bengkak, atau nyeri parah,, mati rasa atau kesemutan tangan atau kaki, sakit perut yang parah, kelenjar yang bengkak di leher atau ketiak, kehilangan penglihatan dan menguning pada kulit atau mata (Davies, 1997). Farmakokinetik Absorpsi Etambutol hidroklorida, setelah dosis oral tunggal sebanyak 25 mg / kg berat badan, akan mencapai puncak hingga 5 mcg / mL dalam serum dalam waktu 4 jam setelah pemberian dan kurang dari 1 mcg/ ml dalam 24 jam. Bila obat ini diberikan setiap hari untuk waktu yang cukup lama pada dosis yang sama, tingkat serum adalah serupa. Sekitar 80% dari dosis oral etambutol diserap dari saluran gastrointestinal, dan sisanya yang muncul dalam tinja tidak berubah. Penyerapan tidak terganggu secara signifikan oleh makanan (Pande, 1996) Distribusi Etambutol mudah berdifusi ke dalam sel darah merah dan ke dalam cairan cerebrospinal saat meninges meradang. Konsentrasi di eritrosit pada steady state kira-kira dua kali konsentrasi plasma.Protein yang terikat pada plasma kurang dari 5% dan volume yang didistribusi adalah 1,6 L / kg. Etambutol akan menyeberangi plasenta dan diekskresikan dalam ASI. Konsentrasi etambutol dalam satu sampel air susu ibu yang dikumpulkan selama 2 jam setelah dosis 15 mg per kg-berat badan adalah 1,4 mcg / mL. (Pande, 1996). Metabolisme Universitas Sumatera Utara Jalur utama metabolisme etambutol merupakan oksidasi alkohol ke aldehydic intermediate, diikuti dengan konversi asam dikarboksilat (Pande, 1996). Eskresi Selama periode 24 jam setelah pemberian etambutol secara oral, sekitar 50% dari dosis awal dikeluarkan tidak berubah dalam urin, sementara 8% sampai 15% daripada dosis awal muncul dalam bentuk metabolit. Dari 20% sampai 22% dari dosis awal, diekskresikan dalam feses sebagai obat yang tak berubah dan tidak ada akumulasi obat yang telah dilaporkan dengan dosis harian tunggal 25 mg / kg yang berturut-turut pada pasien dengan fungsi ginjal normal, meskipun akumulasi ditandakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (Spalding, 2005). Universitas Sumatera Utara