kenegaraan dalam islam prodi ilmu hukum

advertisement
KENEGARAAN DALAM ISLAM
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas kuliah
Ilmu Negara
Dosen Pengampu:Auliya Khasanofa, S.H, M.H
Disusun oleh:
Andi Barata
: 1574201033
Fitriyana Sihotang
: 1574201075
Gayuh
Marhaento
: 1574201173
Usman
: 1574201
Yustomo Saputra
: 1574201105
Kelas
: A.1.1
PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt karena dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalahIlmu Negarakami dengan judul Kenegaraan Dalam Islam.
Makalah ini dipersiapkan sebagai tugas agar kita sebagai warga negara Indonesia tahu dan paham
mengenai bentuk kenegaraan islam. Makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk
dapat mengaplikasikan serta mengembangkan pemikiran ilmu yang disajikan secara teoritis didalam
kehidupan sehari – hari.
Demikianlah, kami selalu berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Tangerang, 13 November 2015
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Hal
Cover ………………………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………... ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………..iii
Bab I Pendahuluan
1. Latar belakang …………………………………………………………………….………1
2. Rumusan masalah ……………………………………………………………………….. 2
3. Tujuan ………………………………………………………………………………….... 2
Bab II Pembahasan
1. Bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam ………………….………………….….. 3
1.1. Sistem pemerintahan Khilafah ……………………………………………….. 5
1.2. Khilafah berdasarkan Syura …………………………………………………. 5
1.3. Khilafah Monarki ……………………………………………………………. 6
1.4. Imamah ………………………………………………………………………. 6
1.5. Demokrasi ……………………………………………………………………. 6
2. Prinsip-prinsip penyelanggaraan Negara Islam ….…………………………………….. . 7
2.1. Prinsip Syura …………………………………………………………………. 7
2.2. Prinsip Keadilan …………………………………………………………….. . 8
2.3. Prinsip Kebebasan ………………………………………………………….... 9
2.4. Persamaan (Musyawarah) ………………………………………………….... 9
3. Syarat-syarat kepemimpinanan Negara Islam …………………………………………..10
i
4. Ahlul Halli Wal Aqdi (Sistem Legislatif) …………….……………………….....11
Bab III Kesimpulan
3.1 Simpulan ………………………………………………………………………………... 13
3.2 Saran ……………………………………………………………………………………. 13
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………14
i
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara merupakan suatu bentuk hukum, sehingga dalam kepemerintahannya harus
dijalankan menurut peraturan-peraturan hukum. Pada teori kedaulatan hukum menyatakan
dengan jelas, bahwa hukumlah yang menjadi sumber dari segala kekuasaan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa negara hukum ialah negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan
atas kekuasaan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarkan ketertiban
hukum. Secara umum konsep negara hukum selalu dikaitkan dengan konsep negara hukum barat
yaitu pertama konsep eropa continental (rechtsstaat) yang diterapkan pada Negara Belanda,
Jerman, dan Prancis. Kedua, konsep anglo saxson (rule of law) pada Negara Inggris dan
Amerika. Ketiga, konsep socialis legality yang pernah diterapkan oleh uni soviet. Untuk negara
timur tengah sangat jauh berbeda dalam hal konsep kenegaraan dengan negara barat, mereka
menjalankan pemerintahannya berdasarkan Alquran, Sunnah (Hadist), dan Praktek para sahabat
Rasulluloh Muhammad SAW (ijma’).
Pada kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Diantaranya ayat-ayat tersebut
mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Alquran merupakan sumber ajaran islam yang
isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia, tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam
lingkungannya. Alquran juga memerintahkan agar umat islam melaksanakan ajaran-ajaran islam
seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. Di antara ajaran islam
terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau ketatanegaraan. Oleh karena
itu, sebagai konsekuensi logis perintah Alquran, maka umat Islam menuntut dan berjuang
menegakkan negara.
Negara yang dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketatanegaraan
berdasarkan syariat Islam, dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa al-Rasyidin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin
dapat disebut sebagai sistem ketatanegaraan yang ideal dalam Islam. Oleh karea itu, penulis akan
coba membahas konsep kenegaraan dalam Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
dan al-Khulafa al-Rasyidin.
Wacana tentang relasi agama dan Negara, seolah tiada habisnya. Perbincangan tersebut,
senantiasa aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama islam yang multi
interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah banyak uraian yang diberikan tentang konsepsi
relasi agama dan Negara, upaya mencari format yang memungkinkan akan selalu layak untuk
diperbincangkan dan diperdebatkan. Sebab, meskipun Islam menekankan keselarasan kehidupan
di dunia dan akhirat, namun landasan teks keagamaan untuk membentuk sebuah Negara masih
bias diperdebatkan sehingga munculnya beberapak kelompok umat Islam dalam menafsirkan
ajaran agamanya berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa
dimengerti.
2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam?
2. Bagaimana prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam?
3. Apa syarat-syarat kepemimpinan dalam Negara Islam?
4. Bagaimana sistem legislatif yang berlaku dalam Negara Islam
3. Tujuan Rumusan Masalah
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam
2. Prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam
3. Syarat-syarat kepemimpinan dalam Negara Islam
4. Sistem legislatif yang berlaku dalam Negara Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, telah dipraktekkan oleh
pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, Islam
tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, biasanya ditemukan
kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada ekstitensi Negara, terutama semenjak
berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khalifah Turki Ustmani. Dari kenyataan yang
panjang sejak abad ke-7 hingga abaad ke-21M, umat Islam telah mempraktekan kehidupan
politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan,
lebih-lebih sejak terbebasnya dunia Islam dari Kolonialisme Barat, dunia Islam telah
mempraktekan sistem politik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat dari kenyataan
sejarah, umat Islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal. Kedua bentuk Negara
tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, bagaimana
kita menjelaskan kedudukan yang saling berkait dengan vital negara dan pemerintahan dalam
Islam. Prof. Muhammad al Mubarak dalam “Nizham al Islam: al Mulk wad Daulah”
menjelaskan setidaknya terdapat enam alasan pentingnya kedudukan negara dan pemerintahan
dalam Islam berdasarkan sumber dalam Alquran, Sunnah dan praktek Shahabat:
Pertama, Alqur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanaannya membutuhkan institusi
negara dan pemerintahan. Diantara seperangkat hukum itu adalah hukum yang berkenaan dengan
pelaksanaan hudud dan qishas, hukum yang berkaitan harta benda (mal) serta hukum yang
menyangkut kewajiban jihad.
Kedua, Alquran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan akhlak
yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin. Pelaksanaan dan
pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum Muslimin tidak pelak
membutuhkan intervensi dan peran negara.
Ketiga, terdapat ucapan-ucapan Nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan
pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Ucapan-ucapan Nabi itu meliputi
aspek imarah (kepemimpinan), al walayah (keorganisasian), al hukmu (kepemerintahan) dan al
qadha (ketetapan hakim).
Keempat, adanya perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas
negara dan kepemerintahan. Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima perang, mengirim
pasukan, menarik zakat dan rampasan perang, mengatur pembelanjaan, mengirim duta,
menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian dengan negara lain. R. Strothman dalam
Encyclopedia of Islam mengatakan, “Islam adalah fenomena agama politik sebab pendirinya
adalah seorang Nabi dan sekaligus kepala Negara.”
Kelima, setelah wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas
bermusyawarah memilih pengganti (Khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat ini menunjukkan
betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’) mereka dalam hal ini
(mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi sumber hukum Islam.
Keenam, hal ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan para
ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang sejarah.
Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang
menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau sebaliknya. Sedang untuk
pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di kalangan para pakar.
AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata
Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang
pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu negara.
Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan
serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi kewilayahan dan
kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang absah serta kepemimpinan
pemerintahan yang berdaulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan
kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita bersama.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk
pemerintahan suatu negara.
Adapun sistem pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam Islam,sangat terkait dengan
kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat.Dalam rentang waktu yang sangat
panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa
sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra
dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.
2.1.1 SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga
kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mmempersatukan
kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan
umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibnu
Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagi kaum muslimin diseluruh penjuru dunia
untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul da’wah Islam keseluruh
dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru
dunia dan menjalankan kewajiban yang demikian, itu sama dengan menjalankan kewajiban yang
diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.
2.1.2 KHILAFAH BERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarkan syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa
al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada sistem
musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan. Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi
oleh semangat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada
mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah
tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan
yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah
SAW.
2.1.3 KHILAFAH MONARKI
Sistem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial.
Patrimonialisme yang dimaksud disini adalah sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada
pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan biasanya diwariskan kepada
keluarganya (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah
perlindungan dan dukungannya.
Sistem monarki adalah sistem warisan (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan
diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan sistem
pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan
aturan bagi rakyatnya.Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja
memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat,raja memiliki kekebalan terhadap hukum,
dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.
2.1.4 IMAMAH
Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tahu
kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang
mampu menunjukan mereka. Syiah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi
keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban
agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai
kulitas,tugas, dan otoritas dari Nabi. Bimbingan politik dan agama dari mereka dan mereka
adalah wali bagi pengikut mereka. Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang
sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya,tetapi karena mereka
merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang
menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama.
2.1.5 DEMOKARASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna, tetapi pada dunia modern ini penggunaanya
mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis
kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung,
hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang
berada dalam posisi pemerintahan.
2.2 PRINSIP-PRINSIP PENYELENGGARAAN NEGARA ISLAM
2.2.1 Prinsip Syura
Syura secara harfiah berarti menyarikan atau mengambil madu dari sarang lebah. Sedang
makna yuridisnya adalah menyarikan suatu pendapat (ra’yu) berkenaan dengan suatu
permasalahan tertentu. Ar Ragib Asfahani mendefinisikan Syura adalah mengeluarkan pendapat
dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat
dengan pendapat lain untuk mendapatkan satu pendpat yang disepakati.
Syura adalah salah satu prinsip penting tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al
Qur’an. Prinsip ini mengharuskan kepala negara dan pemimpin pemerintahan untuk
menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan masyarakat melalui permusyawaratan. Betapa
pentingnya prinsip ini, Alqur’an bahkan mensejajarkan syura dengan perintah menjalankan pilarpilar Islam lainnya seperti iman, shalat dan zakat. Artinya, syura harus diperlakukan dengan
dasar serupa dan diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah sosialpolitik dalam masyarakat Islam. Belakangan, setelah pemerintahan Islam terbentuk di Madinah,
perintah syura semakin dipertegas kedudukannya dalam Alqur’an sehingga menjadi landasan
tektual pemerintahan Islam.
“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (masyarakat) itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. 3:159)
At Thabari menyebut syura sebagai salah satu dari ‘azaim al ahkam, yakni prinsip
fundamental syariat yang esensial bagi substansi dan identitas pemerintahan Islam. Adapun
persoalan apakah hasil syura mengikat penguasa? Pendapat yang paling kuat adalah hasil Syura
bersifat mengikat (mulzimah). Salim Ali Bahnasawi menjelaskan adanya kontradiksi jika Allah
memerintahkan penguasa untuk menjalankan syura namun penguasa sendiri tidak terikat dengan
hasil-hasilnya. Ibnu Hajar dalam Fathul Baari menegaskan bahwa penguasa yang tidak meminta
nasehat kepada ulama wajib dipecat. Pendapat ini didukung oleh Imam Bukhari, “Alqur’an
memerintahkan
bermusyawarah
melaksanakan hasil Syura.”
sebagaimana
pula
memerintahkan
bertwakkal
untuk
Secara umum ketetapan Syura dalam Alqur’an mencakup semua urusan kaum Muslimin
baik yang bersifat individual maupun kolektif. Namun Alqur’an hanya memberikan ketetapanketetapan yang bersifat umum tentang Syura dan tidak menyebut rincian-rincian mengenai cara
pelaksanaannya dan persoalan dimana Syura dilaksanakan. Alqur’an juga tidak memberikan
instruksi mengenai apakah semua permasalahan masyarakat harus diselesaikan dengan jalan
Syura atau hanya dalam konteks pemerintahan saja. Ketiadaan rincian khusus ini tidak pelak
menjadikan pelaksanaan Syura sebenarnya menjadi fleksibel, tidak dibatasi waktu dan dapat
diterapkan dalam semua keadaan dalam masyarakat.
2.2.2 Prinsip Keadilan
Ada tiga konteks makna keadilan yang dimaksudkan, yakni pertama, keadilan adalah
sama dengan tidak membedakan seseorang dengan yang lainnya, kedua, keadilan berarti
seimbang antara berbagai unsur yang ada dan ketiga, keadilan berarti perhatian terhadap hakhak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.
Keadilan menjadi prinsip dan tema utama dalam Al Qur’an. Perintah berbuat adil banyak
dijumpai dalam Alqur’an, diantaranya:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Maidah:3)
Alqur’an memerintahkan orang beriman untuk berbuat adil dan menjadikan keadilan sebagai
tujuan Islam setelah kewajiban beriman kepada Allah SWT sebaliknya mencela kezaliman dan
orang-orang yang berbuat zalim serta menjadikan kezaliman sebagai sebab kehancuran umat.
Oleh karena itu, kezaliman dianggap kejahatan dan dosa besar.
Keadilan dalam pandangan Islam adalah hak bagi setiap umat manusia dan sekaligus
kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Sementara hukum (syariah) ditegakkan untuk
menjamin dan mewujudkan keadilan tersebut. Menurut Muhammad al Mubarak, ruang lingkup
keadilan dalam Islam mencakup dua isu penting:
1.Tindakan mencegah dan menyingkirkan kezaliman, seperti mencegah pelanggaran hak
manusia yang berkaitan dengan jiwa, harta dan kehormatan serta menyingkirkan segala bentuk
pelanggaran hukum, mengembalikan hak-hak yang dirampas dan menghukum yang bersalah.
Konteks keadilan ini terdapat dalam hukum harta benda (muamalah maliyah) dan hukum pidana.
2. Keadilan yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dalam menjamin
kebebasan dan kehidupan mata pencaharian mereka sehingga tidak ada orang lemah maupun
fakir miskin yang terabaikan.
2.2.3Prinsip Kebebasan
Kebebasan adalah pilar utama pemerintahan Islam. Jika umat menjadi sumber legitimasi
kekuasaan maka kedaulatan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan tanpa adanya pilar-pilar
kedaulatan dalam diri setiap umat. Kedaulatan itu mencakup juga adanya media untuk
mengaktualisasi kedaulatan tersebut. Adapun pilar pertama kedaulatan tersebut adalah adanya
kebebasan yang harus dijamin negara. Imam Asyahid Hasan Al Banna menyebutkan kebebasan
sebagai salah satu tuntutan Islam. Kebebasan itu mencakup kebebasan berideologi, kebebasan
menyampaikan pendapat, kebebasan mendapatkan ilmu, dan kebebasan kepemilikan. Syaikh
Muhammad Gazali menambahkan kebebasan dari kemiskinan, rasa takut dan kebebasan untuk
memerangi kezaliman.
Berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, Islam melindungi kebebasan
tersebut. Setiap orang bebas mengatakan apa saja yang dikehendaki tanpa melanggar hak-hak
orang lain. Oleh karena itu, kebebasan berbicara tidak boleh berupa celaan, tuduhan dan fitnah.
Kebebasan berbicara harus menjaga etika tersebut.
2.2.4 Persamaan (Musawwah)
Persamaan derajat adalah bagian hak-hak individu dalam negara. Sayyid Qutb
menyebutnya sebagai asas keadilan dalam Islam. Jika umat manusia adalah anak keturunan
Adam dan Islam memandang kesatuan asal usul ini memberikan implikasi adanya hak,
kewajiban dan tanggung jawab yang sama.
2.3 Syarat-Syarat kepemimpinan Negara Islam
Secara umum, Alqu’ran mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena faktor keluasan
pengetahuan (ilmi) dan fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang
cukup banyak?" nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu
mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai
daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasulnya.” (HR
Hakim)
“jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR.
Muslim)
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni
qawiykekuatan (fisik dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi
menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan berijtihaj,
sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi
yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu Khaldun
sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu, keadilan,
kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat nasab Quraisy,
Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi ketetapan hukum yang
mengikat.
Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan ulama,
setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integrasi aspek keluasan
ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan kemampuan professional, yang dimaksudkan
keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan
prinsip-prinsip dan kaidah syariah, namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika
sosial politik yang terjadi ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat
amanah, kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun professional
adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola urusan politik dan
administrasi kenegaraan.
Jika tidak dipenuhi keseluruhan syarat-syarat tersebut maka diperintahkan mengambil
yang ashlah (lebih utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk
memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin yang shalih
namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka menurut
Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang cakap sekalipun kurang salih.
Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak cakap maka kesalihan tersebut hanya
bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin
yang cakap namun kurang shalih maka kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat
sementara ketidaksalihannya merugikan dirinya sendiri.
2.4 Ahlul Halli Wal Aqdi (Sistem Legislatif)
Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga kalimat yakni:
- Ahli, artinya orang yang berhak, atau yang memiliki.
- Halli, berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
- Aqdi, memiliki arti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Jadi jika didefinisikan, ahlul halli wal aqdi berarti orang-orang yang berhak mengangkat kepala
negara dan membatalkan jika dipandang perlu. Mereka juga dikenal dengan namaahlul ijtihaj
dan ahlul ihtiyar. Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan
tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan.
Anggota ahlul halli wal aqdi terdiri atas para ulama, pejabat daerah, kepala suku,
kelompok professional dan intelektual yang dipilih dan mewakili rakyat berdasarkan penjelasan
Nabi dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari kepada kelompok Anshar untuk mengangkat 12
wakil yang akan mengatur urusan mereka. Imam Asyahid Hasan al Banna menjelaskan
keanggotaan Ahlul Halli Wal Aqdi mencakup sekurangnya tiga kelompok, yakni: para fuqoha’,
para pakar dalam disiplin ilmu tertentu, dan orang-orang yang memiliki integritas
kepemimpinan. Tugas dan wewenang ahlul halli wal aqdi mencakup dua hal:
1. Mengikat pelaksanaan kekuasaan dengan prinsip-prinsip syariah. Ruang lingkup wewenang
ini meliputi, pertama, menetapkan hukum-hukum baru. Kedua, menjelaskan hukum yang
dituntut oleh hukum yang ada.
2. Menjalankan otoritas yang berkaitan dengan pengangkatan dan penghentian kepala negara.
Al Mawardi menetapkan tiga syarat yang harus dipenuhi anggota ahlul halli wal aqdi, yakni adil,
memiliki ilmu yang bertalian dengan aspek-aspek kepemimpinan, dan memiliki kemampuan
verifikasi calon-calon pemimpin.Mazhab Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ahlul halli wal aqd
memiliki kewenangan menurunkan menurunkan kepala negara. Kepala negara dapat diturunkan
jika dipandang tidak dapat menunaikan tugas. Menurut Al Mawardi yang menjelaskan kepala
negara dapat diturunkan karena dua hal:
1. Hancurnya kredibilitas personal karena perbuatan fasik, baik berkaitan dengan perbuatan
moral maupun perbuatan syubhat dalam prinsip aqidah.
2. Hilangnya kemampuan fisik sehingga menghalangi kepala negara menjalankan kewajibannya,
seperti kehilangan akal, penglihatan dan dalam keadaan tertawan.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya keadilan dan
mewujudkan kesejahteraan umat manusia.Jika dilihat dari kenyataan sejarah,umat islam telah
mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks
sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Adapun sistem pemerintahan
yang pernah diperaktekan dalam Islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami
oleh masing-masing umat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi
hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang
meliputi sistem pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan
Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak
dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa.
Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama.Syura adalah salah satu
prinsip penting tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al Qur’an.Pada dasarnya ahlul halli
wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi
kekuasaan.
2.
Saran
Diharapkan dalam sistem pemerintahannya tidak menggunakan system pemerintahan
Monarki dimana hanya mereka yang berasal dari keturunan suatu kelompok atau kerajaan saja
yang bisa memimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Syarif, Ibnu Mujar dan Zada, Khamami Fiqih syasah. 2008. Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Taqiyuddin, An Nabhani. 1997. Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas
Empirik (terjemahan). Al Izzah: Bangil.
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam
Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.
Download