KENEGARAAN DALAM ISLAM Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas kuliah Ilmu Negara Dosen Pengampu:Auliya Khasanofa, S.H, M.H Disusun oleh: Andi Barata : 1574201033 Fitriyana Sihotang : 1574201075 Gayuh Marhaento : 1574201173 Usman : 1574201 Yustomo Saputra : 1574201105 Kelas : A.1.1 PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG 2015 i KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah Swt karena dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalahIlmu Negarakami dengan judul Kenegaraan Dalam Islam. Makalah ini dipersiapkan sebagai tugas agar kita sebagai warga negara Indonesia tahu dan paham mengenai bentuk kenegaraan islam. Makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa untuk dapat mengaplikasikan serta mengembangkan pemikiran ilmu yang disajikan secara teoritis didalam kehidupan sehari – hari. Demikianlah, kami selalu berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih. Tangerang, 13 November 2015 Tim Penyusun i DAFTAR ISI Hal Cover ………………………………………………………………………………………………… i Kata Pengantar……………………………………………………………………………………... ii Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………..iii Bab I Pendahuluan 1. Latar belakang …………………………………………………………………….………1 2. Rumusan masalah ……………………………………………………………………….. 2 3. Tujuan ………………………………………………………………………………….... 2 Bab II Pembahasan 1. Bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam ………………….………………….….. 3 1.1. Sistem pemerintahan Khilafah ……………………………………………….. 5 1.2. Khilafah berdasarkan Syura …………………………………………………. 5 1.3. Khilafah Monarki ……………………………………………………………. 6 1.4. Imamah ………………………………………………………………………. 6 1.5. Demokrasi ……………………………………………………………………. 6 2. Prinsip-prinsip penyelanggaraan Negara Islam ….…………………………………….. . 7 2.1. Prinsip Syura …………………………………………………………………. 7 2.2. Prinsip Keadilan …………………………………………………………….. . 8 2.3. Prinsip Kebebasan ………………………………………………………….... 9 2.4. Persamaan (Musyawarah) ………………………………………………….... 9 3. Syarat-syarat kepemimpinanan Negara Islam …………………………………………..10 i 4. Ahlul Halli Wal Aqdi (Sistem Legislatif) …………….……………………….....11 Bab III Kesimpulan 3.1 Simpulan ………………………………………………………………………………... 13 3.2 Saran ……………………………………………………………………………………. 13 Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………14 i BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara merupakan suatu bentuk hukum, sehingga dalam kepemerintahannya harus dijalankan menurut peraturan-peraturan hukum. Pada teori kedaulatan hukum menyatakan dengan jelas, bahwa hukumlah yang menjadi sumber dari segala kekuasaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara hukum ialah negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan atas kekuasaan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarkan ketertiban hukum. Secara umum konsep negara hukum selalu dikaitkan dengan konsep negara hukum barat yaitu pertama konsep eropa continental (rechtsstaat) yang diterapkan pada Negara Belanda, Jerman, dan Prancis. Kedua, konsep anglo saxson (rule of law) pada Negara Inggris dan Amerika. Ketiga, konsep socialis legality yang pernah diterapkan oleh uni soviet. Untuk negara timur tengah sangat jauh berbeda dalam hal konsep kenegaraan dengan negara barat, mereka menjalankan pemerintahannya berdasarkan Alquran, Sunnah (Hadist), dan Praktek para sahabat Rasulluloh Muhammad SAW (ijma’). Pada kitab suci Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Diantaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Alquran merupakan sumber ajaran islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Alquran juga memerintahkan agar umat islam melaksanakan ajaran-ajaran islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. Di antara ajaran islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah Alquran, maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan negara. Negara yang dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketatanegaraan berdasarkan syariat Islam, dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa al-Rasyidin. Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin dapat disebut sebagai sistem ketatanegaraan yang ideal dalam Islam. Oleh karea itu, penulis akan coba membahas konsep kenegaraan dalam Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin. Wacana tentang relasi agama dan Negara, seolah tiada habisnya. Perbincangan tersebut, senantiasa aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama islam yang multi interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah banyak uraian yang diberikan tentang konsepsi relasi agama dan Negara, upaya mencari format yang memungkinkan akan selalu layak untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Sebab, meskipun Islam menekankan keselarasan kehidupan di dunia dan akhirat, namun landasan teks keagamaan untuk membentuk sebuah Negara masih bias diperdebatkan sehingga munculnya beberapak kelompok umat Islam dalam menafsirkan ajaran agamanya berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. 2. Rumusan Masalah Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam? 2. Bagaimana prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam? 3. Apa syarat-syarat kepemimpinan dalam Negara Islam? 4. Bagaimana sistem legislatif yang berlaku dalam Negara Islam 3. Tujuan Rumusan Masalah Makalah ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Bentuk dan sistem pemerintahan Negara Islam 2. Prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam 3. Syarat-syarat kepemimpinan dalam Negara Islam 4. Sistem legislatif yang berlaku dalam Negara Islam BAB II PEMBAHASAN 2.1 BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, telah dipraktekkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara. Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, Islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, biasanya ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada ekstitensi Negara, terutama semenjak berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khalifah Turki Ustmani. Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abaad ke-21M, umat Islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan, lebih-lebih sejak terbebasnya dunia Islam dari Kolonialisme Barat, dunia Islam telah mempraktekan sistem politik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat dari kenyataan sejarah, umat Islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal. Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Sebelum menjelaskan prinsip-prinsip utama negara dalam perspektif Islam, bagaimana kita menjelaskan kedudukan yang saling berkait dengan vital negara dan pemerintahan dalam Islam. Prof. Muhammad al Mubarak dalam “Nizham al Islam: al Mulk wad Daulah” menjelaskan setidaknya terdapat enam alasan pentingnya kedudukan negara dan pemerintahan dalam Islam berdasarkan sumber dalam Alquran, Sunnah dan praktek Shahabat: Pertama, Alqur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanaannya membutuhkan institusi negara dan pemerintahan. Diantara seperangkat hukum itu adalah hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan hudud dan qishas, hukum yang berkaitan harta benda (mal) serta hukum yang menyangkut kewajiban jihad. Kedua, Alquran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek aqidah, syari’ah dan akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum Muslimin. Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip utama dalam peri kehidupan kaum Muslimin tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara. Ketiga, terdapat ucapan-ucapan Nabi yang dapat menjadi istidlal bahwa negara dan pemerintahan menjadi elemen penting dalam ajaran Islam. Ucapan-ucapan Nabi itu meliputi aspek imarah (kepemimpinan), al walayah (keorganisasian), al hukmu (kepemerintahan) dan al qadha (ketetapan hakim). Keempat, adanya perbuatan Nabi yang dapat dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan kepemerintahan. Nabi mengangkat para gubernur, hakim, panglima perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan rampasan perang, mengatur pembelanjaan, mengirim duta, menegakkan hudud, dan melakukan perjanjian dengan negara lain. R. Strothman dalam Encyclopedia of Islam mengatakan, “Islam adalah fenomena agama politik sebab pendirinya adalah seorang Nabi dan sekaligus kepala Negara.” Kelima, setelah wafatnya Nabi, para shahabat menunda pemakaman Nabi dan bergegas bermusyawarah memilih pengganti (Khalifah) Nabi. Tindakan para shahabat ini menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan dalam Islam dan kesepakatan (ijma’) mereka dalam hal ini (mengangkat kepemimpinan pengganti Nabi) dapat menjadi sumber hukum Islam. Keenam, hal ikhwah kepemimpinan (imarah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan para ahli fiqh didalam kitab-kita mereka disepanjang sejarah. Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau sebaliknya. Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di kalangan para pakar. AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu negara. Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi kewilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang berdaulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita bersama. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara. Adapun sistem pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam Islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi. 2.1.1 SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibnu Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagi kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul da’wah Islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia dan menjalankan kewajiban yang demikian, itu sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin. 2.1.2 KHILAFAH BERDASARKAN SYURA Sistem pemerintahan islam berdasarkan syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada sistem musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan. Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semangat musyawarah. Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW. 2.1.3 KHILAFAH MONARKI Sistem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial. Patrimonialisme yang dimaksud disini adalah sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan biasanya diwariskan kepada keluarganya (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukungannya. Sistem monarki adalah sistem warisan (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya.Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat,raja memiliki kekebalan terhadap hukum, dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas. 2.1.4 IMAMAH Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tahu kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjukan mereka. Syiah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari Nabi. Bimbingan politik dan agama dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka. Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya,tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama. 2.1.5 DEMOKARASI Kata Demokrasi memiliki berbagai makna, tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan. 2.2 PRINSIP-PRINSIP PENYELENGGARAAN NEGARA ISLAM 2.2.1 Prinsip Syura Syura secara harfiah berarti menyarikan atau mengambil madu dari sarang lebah. Sedang makna yuridisnya adalah menyarikan suatu pendapat (ra’yu) berkenaan dengan suatu permasalahan tertentu. Ar Ragib Asfahani mendefinisikan Syura adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat lain untuk mendapatkan satu pendpat yang disepakati. Syura adalah salah satu prinsip penting tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al Qur’an. Prinsip ini mengharuskan kepala negara dan pemimpin pemerintahan untuk menyelesaikan semua permasalahan-permasalahan masyarakat melalui permusyawaratan. Betapa pentingnya prinsip ini, Alqur’an bahkan mensejajarkan syura dengan perintah menjalankan pilarpilar Islam lainnya seperti iman, shalat dan zakat. Artinya, syura harus diperlakukan dengan dasar serupa dan diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah sosialpolitik dalam masyarakat Islam. Belakangan, setelah pemerintahan Islam terbentuk di Madinah, perintah syura semakin dipertegas kedudukannya dalam Alqur’an sehingga menjadi landasan tektual pemerintahan Islam. “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (masyarakat) itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan keputusan, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. 3:159) At Thabari menyebut syura sebagai salah satu dari ‘azaim al ahkam, yakni prinsip fundamental syariat yang esensial bagi substansi dan identitas pemerintahan Islam. Adapun persoalan apakah hasil syura mengikat penguasa? Pendapat yang paling kuat adalah hasil Syura bersifat mengikat (mulzimah). Salim Ali Bahnasawi menjelaskan adanya kontradiksi jika Allah memerintahkan penguasa untuk menjalankan syura namun penguasa sendiri tidak terikat dengan hasil-hasilnya. Ibnu Hajar dalam Fathul Baari menegaskan bahwa penguasa yang tidak meminta nasehat kepada ulama wajib dipecat. Pendapat ini didukung oleh Imam Bukhari, “Alqur’an memerintahkan bermusyawarah melaksanakan hasil Syura.” sebagaimana pula memerintahkan bertwakkal untuk Secara umum ketetapan Syura dalam Alqur’an mencakup semua urusan kaum Muslimin baik yang bersifat individual maupun kolektif. Namun Alqur’an hanya memberikan ketetapanketetapan yang bersifat umum tentang Syura dan tidak menyebut rincian-rincian mengenai cara pelaksanaannya dan persoalan dimana Syura dilaksanakan. Alqur’an juga tidak memberikan instruksi mengenai apakah semua permasalahan masyarakat harus diselesaikan dengan jalan Syura atau hanya dalam konteks pemerintahan saja. Ketiadaan rincian khusus ini tidak pelak menjadikan pelaksanaan Syura sebenarnya menjadi fleksibel, tidak dibatasi waktu dan dapat diterapkan dalam semua keadaan dalam masyarakat. 2.2.2 Prinsip Keadilan Ada tiga konteks makna keadilan yang dimaksudkan, yakni pertama, keadilan adalah sama dengan tidak membedakan seseorang dengan yang lainnya, kedua, keadilan berarti seimbang antara berbagai unsur yang ada dan ketiga, keadilan berarti perhatian terhadap hakhak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Keadilan menjadi prinsip dan tema utama dalam Al Qur’an. Perintah berbuat adil banyak dijumpai dalam Alqur’an, diantaranya: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al Maidah:3) Alqur’an memerintahkan orang beriman untuk berbuat adil dan menjadikan keadilan sebagai tujuan Islam setelah kewajiban beriman kepada Allah SWT sebaliknya mencela kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim serta menjadikan kezaliman sebagai sebab kehancuran umat. Oleh karena itu, kezaliman dianggap kejahatan dan dosa besar. Keadilan dalam pandangan Islam adalah hak bagi setiap umat manusia dan sekaligus kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Sementara hukum (syariah) ditegakkan untuk menjamin dan mewujudkan keadilan tersebut. Menurut Muhammad al Mubarak, ruang lingkup keadilan dalam Islam mencakup dua isu penting: 1.Tindakan mencegah dan menyingkirkan kezaliman, seperti mencegah pelanggaran hak manusia yang berkaitan dengan jiwa, harta dan kehormatan serta menyingkirkan segala bentuk pelanggaran hukum, mengembalikan hak-hak yang dirampas dan menghukum yang bersalah. Konteks keadilan ini terdapat dalam hukum harta benda (muamalah maliyah) dan hukum pidana. 2. Keadilan yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dalam menjamin kebebasan dan kehidupan mata pencaharian mereka sehingga tidak ada orang lemah maupun fakir miskin yang terabaikan. 2.2.3Prinsip Kebebasan Kebebasan adalah pilar utama pemerintahan Islam. Jika umat menjadi sumber legitimasi kekuasaan maka kedaulatan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan tanpa adanya pilar-pilar kedaulatan dalam diri setiap umat. Kedaulatan itu mencakup juga adanya media untuk mengaktualisasi kedaulatan tersebut. Adapun pilar pertama kedaulatan tersebut adalah adanya kebebasan yang harus dijamin negara. Imam Asyahid Hasan Al Banna menyebutkan kebebasan sebagai salah satu tuntutan Islam. Kebebasan itu mencakup kebebasan berideologi, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan mendapatkan ilmu, dan kebebasan kepemilikan. Syaikh Muhammad Gazali menambahkan kebebasan dari kemiskinan, rasa takut dan kebebasan untuk memerangi kezaliman. Berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, Islam melindungi kebebasan tersebut. Setiap orang bebas mengatakan apa saja yang dikehendaki tanpa melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, kebebasan berbicara tidak boleh berupa celaan, tuduhan dan fitnah. Kebebasan berbicara harus menjaga etika tersebut. 2.2.4 Persamaan (Musawwah) Persamaan derajat adalah bagian hak-hak individu dalam negara. Sayyid Qutb menyebutnya sebagai asas keadilan dalam Islam. Jika umat manusia adalah anak keturunan Adam dan Islam memandang kesatuan asal usul ini memberikan implikasi adanya hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama. 2.3 Syarat-Syarat kepemimpinan Negara Islam Secara umum, Alqu’ran mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena faktor keluasan pengetahuan (ilmi) dan fisik (jism) seperti dijelaskan dalam: “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah:247) Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasulnya.” (HR Hakim) “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim) Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiykekuatan (fisik dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu, keadilan, kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat nasab Quraisy, Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi ketetapan hukum yang mengikat. Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan kemampuan professional, yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah, namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah, kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola urusan politik dan administrasi kenegaraan. Jika tidak dipenuhi keseluruhan syarat-syarat tersebut maka diperintahkan mengambil yang ashlah (lebih utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin yang shalih namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka menurut Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang cakap sekalipun kurang salih. Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak cakap maka kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara ketidaksalihannya merugikan dirinya sendiri. 2.4 Ahlul Halli Wal Aqdi (Sistem Legislatif) Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi terdiri dari tiga kalimat yakni: - Ahli, artinya orang yang berhak, atau yang memiliki. - Halli, berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan. - Aqdi, memiliki arti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk. Jadi jika didefinisikan, ahlul halli wal aqdi berarti orang-orang yang berhak mengangkat kepala negara dan membatalkan jika dipandang perlu. Mereka juga dikenal dengan namaahlul ijtihaj dan ahlul ihtiyar. Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan. Anggota ahlul halli wal aqdi terdiri atas para ulama, pejabat daerah, kepala suku, kelompok professional dan intelektual yang dipilih dan mewakili rakyat berdasarkan penjelasan Nabi dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari kepada kelompok Anshar untuk mengangkat 12 wakil yang akan mengatur urusan mereka. Imam Asyahid Hasan al Banna menjelaskan keanggotaan Ahlul Halli Wal Aqdi mencakup sekurangnya tiga kelompok, yakni: para fuqoha’, para pakar dalam disiplin ilmu tertentu, dan orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan. Tugas dan wewenang ahlul halli wal aqdi mencakup dua hal: 1. Mengikat pelaksanaan kekuasaan dengan prinsip-prinsip syariah. Ruang lingkup wewenang ini meliputi, pertama, menetapkan hukum-hukum baru. Kedua, menjelaskan hukum yang dituntut oleh hukum yang ada. 2. Menjalankan otoritas yang berkaitan dengan pengangkatan dan penghentian kepala negara. Al Mawardi menetapkan tiga syarat yang harus dipenuhi anggota ahlul halli wal aqdi, yakni adil, memiliki ilmu yang bertalian dengan aspek-aspek kepemimpinan, dan memiliki kemampuan verifikasi calon-calon pemimpin.Mazhab Ahlus Sunnah berpendapat bahwa ahlul halli wal aqd memiliki kewenangan menurunkan menurunkan kepala negara. Kepala negara dapat diturunkan jika dipandang tidak dapat menunaikan tugas. Menurut Al Mawardi yang menjelaskan kepala negara dapat diturunkan karena dua hal: 1. Hancurnya kredibilitas personal karena perbuatan fasik, baik berkaitan dengan perbuatan moral maupun perbuatan syubhat dalam prinsip aqidah. 2. Hilangnya kemampuan fisik sehingga menghalangi kepala negara menjalankan kewajibannya, seperti kehilangan akal, penglihatan dan dalam keadaan tertawan. BAB III PENUTUP 1. Simpulan Islam adalah agama dan sekaligus sistem negara yang menjamin tegaknya keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umat manusia.Jika dilihat dari kenyataan sejarah,umat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Adapun sistem pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam Islam,sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing umat.Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama.Syura adalah salah satu prinsip penting tentang pemerintahan yang dijelaskan dalam al Qur’an.Pada dasarnya ahlul halli wal aqdi adalah wakil rakyat yang menjalankan tugasnya mengontrol dan mengevaluasi kekuasaan. 2. Saran Diharapkan dalam sistem pemerintahannya tidak menggunakan system pemerintahan Monarki dimana hanya mereka yang berasal dari keturunan suatu kelompok atau kerajaan saja yang bisa memimpin. DAFTAR PUSTAKA Syarif, Ibnu Mujar dan Zada, Khamami Fiqih syasah. 2008. Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. Taqiyuddin, An Nabhani. 1997. Sistem Pemerintahan Islam – Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik (terjemahan). Al Izzah: Bangil. A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.