Diplomasi Ekonomi Indonesia Oleh Harianto Solichin & Taat Subekti Pengantar Pendahuluan: Salah satu perubahan penting pada masa pasca perang Vietnam adalah mulai berkurangnya peran dan pengaruh kekuatan politik dan persenjataan dalam mendominasi hubungan antar bangsa, baik dalam tingkatan global maupun regional. Walaupun Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya masih mengandalkan kekuatan persenjataan dan politik di Timur Tengah, Afghanistan dan Eropa Timur, namun dampaknya justru merugikan negara-negara tersebut. Tingkat laju pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat negara-negara tersebut menurun karena banyak sumber daya yang terpakai untuk membiayai gerakan pesersejantaan dan politik. Sebagai pengganti kedua kekuatan tersebut di kancah internasional, ekonomi dan budaya mulai berperan penting dalam hubungan internasional sebagai alat atau sumber kekuatan (atau kekuasaan) dalam mempengaruhi hubungan antar bangsa, baik di tingkat global maupun regional. Kekuatan ekonomi dan budaya (dalam hal ini termasuk tingkat pengetahuan dan teknologi serta hasil2nya) suatu negara dapat menjadi modal dalam membina, mempengaruhi, bahkan mendominasi hubungan dengan negara lain. Sebagai contoh bisa dikemukakan RRC dan Korea Selatan, baik dengan kekuatan perekonomian dan kebudayaannya yang mulai mengguncang tatanan hubungan internasional sejak 2 dekade terakhir. Sebelumnya, Jepang semasa dan seusai perang Vietnam juga mulai mendesak dominasi Amerika dan Eropa, terutama dengan hasil-hasil budayanya, yaitu hasil teknologi barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor. Sebagai contoh lain, adalah negara-negara seperti Emirat Arab, Dubai, Kuwait, dan Norwegia serta Jerman, yang mempunyai cadangan dana nasional, baik dalam berupa asset maupun dana segar. Negara-negara ini tidak banyak tampil dalam kancah kekuatan politik dunia, namun secara “diam-diam” mempunyai pengaruh yang amat bersar memlalui kekuatan perkonomian dan keuangannya untuk ikut membentuk sistem hubungan internasional antar bangsa. Negara-negara tersebut, saat ini mempunyai modal “bargaining power” yang amat kuat untuk dapat mempengaruhi hubungannya dengan negara lain, baik dalam kawasan regional maupuna internasional. Keberhasilan negara-negara ini tidak terlepas daripada keberhasilan strategi diplomasi mereka dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Eropa pada masa awal pertumbuhan kekuatannya. Dengan kepiawaian diplomasi serta strategi pembangunan ekonomi dan budaya yang tepat, negara-negara ini mulai mengambil alih peran yang dahulu didominasi oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Dalam lingkup diplomasi ekonomi, negara-negara ini jelas telah mempunyai keunggulan tersendiri yang sekarang dapat dijadikan modal dalam “bargaining power”, terutama sekali dalam bidang ekonomi, yang menjadi ligkup pembahasan makalah ini. Walaupun dalam diplomasi peran budaya dan kebudayaan saat ini juga amat penting, namun karena keterbatasan pembahasan, maka makalah ini hanya mencoba untuk mengkaji diplomasi ekonomi Indonesia dalam kancah hubungan internasional dan regional. Hanya dalam pembahasan lebih lanjut, peran budaya akan disinggung bilamana kaitannya terlalu erat sehingga tidak bisa dipisahkan dari diplomasi ekonomi. Diplomasi dan Diplomasi Ekonomi: Pembatasan Umum Dalam beberapa bahan pustaka, diplomasi diterjemahkan sebagai suatu seni dalam melakukan negosiasi antar pihak (bisa dua atau lebih pihak) dalam mencapai kesepakatan tertentu berkaitan dengan masalah tertentu. Misalnya saya diplomasi untuk mencapai perdamaian, diplomasi dalam mencapai kesepakatan kerjasama (perdagangan, kebudayaan, politik, dan lain-lain). Alat seni negosiasi ini termasuk ancaman, pertukaran kepentingan, sanksi seperti misalnya embargo, aturan negara yang dibuat baik untuk mendukung atau melarang tindakan lintas negara, dan lain sebagainya. (lihat juga: Boundless Political Science Textbook, Foreign Policy, Diplomacy, https://www.boundless.com/political-science/textbooks/boundless-political-sciencetextbook/foreign-policy-18/foreign-policy-108/diplomacy-573-4996/) Sebagaimana lazimnya dalam proses negosiasi, tentunya setiap pihak yang terlibat dalam proses negosiasi ini mempunyai “pegangan” yaitu yang berupa “keunggulan tertentu” yang dapat menjadi modal “bargaining position” dan “bargaining power” untuk dapat menyeimbangkan posisi dalam proses negosiasi agar tidak dirugikan oleh pihak lain. Agar supaya proses diplomasi ini berhasil sesuai yang diharapkan, harus bisa dicapai “mutual trust” antar pihak yang terlibat dalam diplomasi yang bersangkutan. Dalam diplomasi, terutama diplomasi antar negara, biasanya dilakukan oleh para wakil yang ditunjuk oleh negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, diperlukan adanya pengakuan atas kedaulatan negara tersebut oleh negara lain. Tanpa adanya pengakuan akan kedaulatan ini, sulit untuk bias mencapai kesepakatan yang diakui oleh neara lain. Kesepakatan yang dicapai biasanya hanya diakui secara bilateral. Sebagai contoh adalah Taiwan dan Palestina. Kedua negara ini amat sulit untuk bisa melakukan diplomasi yang bersifat multilateral. Indonesia, sebagai negara yang kedaulatannya di akui dunia, hal pengakuan tidak menjadi masalah. Namun yang sering menjadi masalah adalah wakil yang ditunjuk tidak selalu tepat dan belum tentu mengetahui apalagi memahami masalah yang akan dinegosiasikan melalui proses diplomasi ini. Hal ini tidak terlepas dari pengetahuan dan pengalaman wakil yang ditunjuk, yang erat kaitannya dengan pengetahuan budaya wakil negara yang bersangkutan. Dalam proses diplomasi, di samping formal diplomasi, yaitu yang diketahui dan dilakukan secara terbuka, juga dikenal informal diplomasi, yang biasanya merupakan pembicaraan antar pihak dalam suatu pertemuan tertentu yang belum tentu berkaitan dengan topic pertemuan yang bersangkutan. Diplomasi informal ini juga, seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, terjadi dengan merekrut orang-orang tertentu dan dijadikan agen yang membawa misi dan tugas tertentu demi kepentingannya. Sedangkan diplomasi ekonomi adalah salah satu bentuk diplomasi yang mempergunakan instrument ekonomi guna mencapai tujuan dan kepentingan negara (atau lembaga lain seperti korporasi) tertentu. Secara umum, diplomasi ini diterjemahkan sebagai proses pengajuan kebijakan dan keputusan serta berbagai konsultasi tentang kemudahan dan prospek ekonomi guna mencapai tujuan dan kepentingan nasional, untuk dinegosisasikan agar dapat disepakati oleh negara lain, baik secara bilateral maupun multirateral. Diplomasi ekonomi biasa merujuk kepada kepentingan untuk masalah perdagangan (export/import), investasi, pinjaman, pelaksanaan proyek pembangunan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Secara luas, Rana (2007) mendefinisikan diplomasi ekonomi sebagai suatu proses, melalui proses mana suatu negara menyelesaikan masalahnya dengan negara lain, guna memaximalkan pendapatan dan perolehan negara melalui kegiatan ekonomi dan pertukaran ekonomi, baik secara bilateral, regional maupun multilateral. (Rana, ‘Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries’, Chapter 11, Nicholas Bayne, and Stephen Woolcock, The New Economic Diplomacy: Decision Making and Negotiation in International Economic Relations, 2nd edition (Ashgate, London, 2007)) Dengan melihat kepada pemahaman di atas, maka diplomasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses seni yang dinamik yang dalam proses pelaksanaannya selalu bervariasi sesuai dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut, guna memaksimalkan pencapaian suatu tujuan atau kepentingan dalam membangun dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Sejak pendirian World Trade Organization (WTO) tahun 1995, peran diplomasi ekonomi menjadi semakin “crucial” bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk terus meningkatkan dan mengembangkan pembangunan ekonomi. Agar supaya diplomasi ekonomi dapat berhasil baik, perlu dilandasi dengan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya (baik alam maupun manusia), kesiapan dan kemampuan dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang dinegosiasikan (termasuk tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan manusia, peraturan hukum yang mendukung (termasuk yang memudahkan dan mengantisipasi berbagai masalah seperti misalnya “double taxation”), infrastruktur, potensi pasar dan pengembangan lebih lanjut, kestabilan politik, keamanan, serta hal-hal lain yang menjadi perhatian dan minat pelaku kegiatan ekonomi, terutama dari negara lain. Dalam hal ini, diplomasi ekonomi tidak dapat dilepaskan dari diplomasi budaya dan politik, karena tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan sumber daya manusia dan produk hukum yang mendukung serta kestabilan politik misalnya, merupakan bagian dari sistem budaya dan politik suatu negara. Diplomasi Ekonomi Indonesia: Kajian dan Perspektif Indonesia pernah unggul dalam diplomasi politik, yaitu jaman pemerintahan Soekarno yang menghasilkan Konperensi Asia Afrika dan kemudian Ganefo. Pada jaman pemerintahan Soeharto, diplomasi ekonomi dengan dasar diplomasi hubungan sejarah politik dan budaya dengan Belanda menghasilkan IGGI. Secara fisik, Indonesia adalah sebuah negara besar dengan berbagai keunggulan. Bukan hanya sumber daya alam dan potensi pasar karena jumlah penduduk yang amat besar semata. Posisi geografi Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua lautan mempunyai keunggulan yang unik yang tidak banyak dimiliki negara lain. Teritorial laut dan udara Indonesia jelas merupakan assets tersendiri yang unik yang dapat di jadikan “bargaining power” untuk bisa memperoleh “bargaining position” yang menguntungkan dalam diplomasi ekonomi. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan saat ini, yang mengharamkan nelayan asing mengambil ikan di wilayah territorial laut Indonesia, telah membuat banyak negara mengalami kekurangan pasokan ikan. Kebijakan menteri perhubungan yang tidak mengakui ijin tujuan terbang yang diberikan oleh Singapura kepada maskapai penerbangan Indonesia untuk bisa secara otomatis bisa melakukan penerbangan dari Indonesia ke Singapura, telah membuat Singapura bertanya-tanya. Kondisi geografi dan fisik Indonesia ini mempunayi peran yang amat penting dalam diplomasi ekonomi, karena wilayah Indonesia ini dapat mempengaruhi distribusi barang-barang hasil produk dan jasa kegiatan ekonomi (seperti produk industri, transportasi laut dan udara, bahkan jaringan virtual untuk kegiatan ekonomi keuangan, yaitu kabel laut untuk sambungan internet antara benua Asia dan Australia, antara Lautan Teduh dengan Lautan Hindia) Nota Pribadi: jaringan kabel Internet antar benua di pasang di perairan Kepulauan Anambas, di Riau Kepulauan. Dalam era globalisasi, yaitu proses integrasi antar negara-negara guna memudahkan transaksi dalam berbagai bidang, membebaskan pasar untuk produk dan jasa, serta untuk menggalang “kekuatan” di berbagai bidang untuk menghadapi “kekuatan” lain, peran diplomasi ekonomi semakin penting guna memaksimalkan perolehan atas hal-hal yang diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Melalui berbagai institusi, terutama melalui Kementrian Luar Negeri, c.q., “Foreign Trading Affairs, berbagai negara telah menggariskan strategi dan tujuan dari diplomasi ekonominya. Pada umumnya, negara-negara ini, mengkoordinasi dan mengintegrasikan sejumlah lembaga yng bertugas atau berkepentingan dalam kegiatan ekonomi, seperti misalnya, Perdagangan Luar Negeri, Kamar Dagang, Penanaman Modal, Kerjasama Perdagangan Luar Negeri, Kerjasama dan lain-lain. Seperti misalnya, Australia melalui Austrade, The Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), The Export Finance and Insurance Corporation (EFIC), Tourism Australia dan sejumlah badan perwakilan ekonomi di luar negeri menggarisbawahi tonggak diplomasi ekonominya dengan perdagangan, pertumbuhan, investasi dan bisnis. Sedangkan kegiatan diplomasi ekonomi di bagi untuk negara berpendapatan rendah dan berpendapatan tinggi, melalui diagram sebagai berikut: (lihat lebih lanjut di http://www.dfat.gov.au/trade/economic-diplomacy/Pages/four-pillars-of-australias-economicdiplomacy.aspx) Belgia, mengkoordinasi dan meintegrasikan diplomasi ekonomi melalui sebuah lembaga yang disebut Federal Public Service – Foreign Affairs. Lembaga ini bertagunngjawab untuk mempromosikan kepentingan ekonomi Belgia di luar negeri, ikut serta dalam berbagai kegiatan dan forum internasional untuk melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral, menarik minat investor dan pelaku bisnis untuk berinvetasi dan melakukan kegiatan bisnis di Belgia, serta kegiatan-kegiatan perekonomian lain termasuk ikut serta dalam pameran dagang dan lain sebagainya. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo memberikan arahan kepada sejumlah duta besar Indonesia di luar negeri. Presiden menginginkan diplomasi ekonomi jadi fokus utama (lihat: http://internasional.metrotvnews.com/read/2015/02/02/352681/presiden-jokowi-diplomasiekonomi-harus-dikedepankan). Kantor Berita Antara memberitakan bahwa Kementrian Luar Negeri tengah fokus meningkatkan diplomasi ekonomi melalui perwakilan Indonesia di luar negeri (lihat: http://www.antaranews.com/berita/475629/kemlu-fokus-tingkatkan-diplomasiekonomi-indonesia). Lebih lanjut, Kemlu juga telah membentuk Satgas Diplomasi Ekonomi yang terkait dengan 4 sektor: perdagangan, pariwisata, investasi dan kerjasama pembangunan. Namun demikian, dapat dipertanyakan pula kemampuan dan kesediaan kepala perwakilan Indonesia di luar negeri dalam memahami kondisi dan kepentingan perekonomian Indonesia. Hal ini banyak disebabkan karena tidak semua pimpinan perwakilan Indonesia merupakan ahli perekonomian, perdagangan dan keuangan. Hal ini seringkali menyebabkan timbulnya hambatan pemahaman akan pentingnya misi diplomasi ekonomi Indonesia. Perwakilan Indonesia di luar negeri ini sebenarnya amat penting posisi dan perannya sebagai ujung tombak dalam proses diplomasi ekonomi. Tentunya, anggota dan pimpinan perwakilan ini dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keahlian dan ketrampilan, bukan hanya dalam seni diplomasi semata, melainkan pula budaya bangsa dan negara di mana mereka di tempatkan, budaya bangsa negara Indonesia, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ini. Seperti misalnya rangkaian hukum yang berlaku dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, pertambangan, jasa layanan dan lain-lain yang membuat kondisi dan situasi perekonomian kondusif untuk kegiatan ekonomi, termasuk budaya perusahaan di Indonesia. Hal ini amat penting untuk menanamkan kepercayaan dalam proses diplomasi yang akan di jalankan. Diplomasi ekonomi Indonesia, paling tidak menghadapi tiga issue penting, yaitu; a. hubungan antara ekonomi dan politik; b. hubungan antara lingkungan dengan aneka tekanan domestik dan internasional; c. hubungan antara aktor negara dan non-negara (aktor privat/swasta). Kombinasi ketiga hubungan itulah yang akhirnya menjadi salah satu warna utama dinamika hubungan internasional kontemporer. Salah satu issue utama yang patut dikedepankan guna memanfaatkan peluang pasar non-tradisional adalah penetapan dan implementasi rencana aksi yang terkoordinasi dan terpadu secara baik dan tepat oleh institusi pemerintah dan nonpemerintah, negara dan swasta. Dengan kata lain, dibutuhkan kemitraan terpadu antar-instansi agar dapat menembus pasar lebih efektif. Secara spesifik, keharusan membangun segitiga sinergi jaringan antarlembaga pemerintah; antarswasta; dan antara pemerintah dan swasta adalah sesuatu yang strategis. Ini bertujuan untuk menjamin berbagai kebijakan yang dihasilkan benar-benar dapat diterapkan, terarah dan terpadu. Indonesia perlu lebih serius memikirkan pentingnya diplomasi ekonomi yang bersifat berkelanjutan dan jangka panjang. Kecenderungan selama ini, diplomasi ekonomi Indonesia masih bersifat reaktif dan sporadis. (lihat: Prof. Dr. AA Bayu Perwita, Optimalisasi Diplomasi Ekonomi Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional, http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/119-4-article/1027-optimalisasi-diplomasiekonomi-untuk-meningkatkan-ekon%20omi-nasional.html) Bagi Indonesia, diplomasi ekonomi ini belum jelas, belum terpadu dan belum terkoordinasi secara baik secara institutional dalam tingkat lembaga. Adalah benar bahwa telah dilakukan berbagai upaya diplomasi ekonomi, namun sifatnya belumlah berkesinambungan dan melalui suatu yang sifatnya institutional dan jelas strategi serta tujuan yang ingin di capai. Bilamana kita kaji, beberapa institusi, baik di level kementrian maupaun di luar kementrian, terdapat sejumlah lembaga yang secara potensial dapat membawa dan melaksanakan misi diplomasi ekonomi Indonesia. Di Kementrian Perdagangan, terdapat Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, dan Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional. Di Kementrian Luar Negeri terdapat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN di samping Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika dan Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa. Di luar kementrian, antara lain terdapat Badan Penanaman Modal, Kamar Dagang Indonesia, dan lain-lain. Badan-badan ini berjalan sendiri-sendiri dengan landasan startegi masing-masing walaupun mungkin mempunyai visi dan misi yang sama dalam mengedepankan diplomasi ekonomi Indonesia di dunia internasional. Di luar sisi insitusional ini, masih terdapat hambatan lain yang terkait kepada masalah politik dan budaya yang terus menerus menghambat lajunya diplomasi Indonesia (bukan hanya diplomasi ekonomi). Seperti misalnya, masalah percaturan politik yang sering kali meniumbulkan “issue” yang mengancam kestabilan dan keamanan dan juga ketidakpastian hukum. Produk-produk hukum yang dipandang tidak serasi dengan kelaziman yang berlaku secara internasional. Seperti kasus Bakri Telekom Group yang bisa menghindari pembayaran obligasi di Amerika Serikat dengan berlindung kepada peraturan hukum nasional. Namun semua ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk dapat membina dan mengembangkan sistem diplomasi ekonomi yang handal demi kepentingan bangsa dan negara. Di samping koordinasi dan pengintegrasian antar lembaga-lembaga pemerintah, baik di kementrian maupun di luar kementrian, dengan lembaga-lembaga non pemerintah dan pihak swasta serta praktisi pelaku ekonomi nasional. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa diplomasi adalah suatu seni, sedangkan diplomasi ekonomi adalah seni menggunakan sepenuhnya instrument ekonomi untuk bisa memaximalkan pendapatan dan perolehan demi kepentingan pembangunan ekonomi nasional, maka harus disusun suatu “badan” yang berisikan para ahli dan praktisi ekonomi dan hubungan internasional (termasuk ahli hukum internasional) agar badan yang bersangkutan benar-benar dapat menjadi “wakil” yang kompeten dalam proses negosiasi guna menyukseskan diplomasi ekonomi Indonesia. Perlunya kesediaan dan keterbukaan lembaga-lembaga pemerintah untuk menggandeng dan memasukkan pelaku-pelaku ekonomi swasta dalam kesatuan dan keterpaduan menjalankan diplomasi ekonomi ini. Di samping itu, perlu pula kesediaan dan keterbukaan dari lembaga-lembaga pemerintah yang tidak secara langsung ikut serta dalam proses diplomasi ekonomi ini, untuk menciptakan kondisi dan situasi yang kondusif guna mendukung misi diplomasi ekonomi ini. Seperti misalnya peraturan-peraturan dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, pertambangan, keuangan dan lain sebagainya juga harus mempertimbangkan visi dan misi yang diemban dan dipikul oleh pihak yang akan melaksanakan diplomasi ekonomi di dunia internasional. Penciptaan kondisi dan situasi yang kondusif ini amat penting, karena juga merupakan modal tersendiri dalam proses diplomasi ekonomi. Sejajar dengan hal ini, pilihan “bargaining position” dan “bargaining power” untuk diunggulkan dalam diplomasi ekonomi nasional masih perlu pula di tajamkan. Pilihan 4 sektor yaitu perdagangan, pariwisata, investasi dan kerjasama pembangunan, mungkin sudah baik tapi belum tentu sepenuhnya tepat, khususnya untuk pelaku ekonomi swasta. Di kala Indonesia sedang menggalakkan sektor maritim dan berlaku tegas dalam masalah hubungan transportasi internasional, maka seharusnya kedua hal ini perlu dipertimbangkan. Tribune News memberitakan bahwa melalui Koordinator Pokja Penguatan Diplomasi Ekonomi, A.M. Fachir, Wamenlu RI, RRC bersedia memberikan US$40 milyar Dana Sutra Maritim kepada Indonesia (lihat: http://www.tribunnews.com/nasional/2015/03/08/tiongkok-tawarkan-dana-sutra-maritim40-miliar-dollar-as-ke-indonesia). Hal ini juga membuktikan bahwa sektor maritim di Indonesia mempunyai keunggulan tersendiri yang dapat dijadikan “kekuatan” untuk “bargaining position” dan “bargaining power” dalam proses diplomasi ekonomi. Diperlukan keberanian dan ketegasan dalam menunjukkan jati diri nasional dalam merebut dua kekuatan dalam proses diplomasi ekonomi ini. Pemilihan keunggulan untuk dijadikan landasan “bargaining position” dan “bargaining power” seyogyanya mengikuti dinamika kondisi nasional dan pengaruhnya dalam dunia internasional. (lihat pula Pernyataan Pers Tahunan 2015 Menteri Luar Negeri di http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/207-diplomasi-januari-2015/1811-pernyataanpers-tahunan-menlu-ri.html# ; dan Tabloid Diplomasi Edisi April 2012 tentang “Diplomasi Ekonomi: Mendukung Kemitraan Industri Strategis Indonesia, http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2012/Tabloid%20Diplomasi%20April%202012.pdf) Akhir Kata: Sebagai bangsa yang termasuk besar di dunia ini, tentunya kita punya catatan sejarah tentang keberhasilan diplomasi di ranah internasional. Adalah kewajiban bagi kita untuk mempelajari an mengkaji keberhasilan-keberhasilan yang pernah kita capai guna dijadikan acuan dalam mengembangkan diplomasi di masa kini dan mendatang, terutama diplomasi ekonomi. Keberhasilan dalam diplomasi (dalam hal ini diplomasi ekonomi) dapat diukur dari tingkat memaksimalkan perolehan dan pendapatan yang diperlukan demi kepentingan pembangunan perekonomian negara dalam jangka panjang. Keberhasilan mencapai kesepakatan kerjasama yang menguntungkan dalam pendek namun merugikan negara dan bangsa dalam jangka panjang adalah kegagalan diplomasi ekonomi. Perlu kesediaan dan kemauan (tekad) politik yang kuat untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan fungsi lembaga-lembaga negara dan swasta untuk bersama-sama merumuskan dan menyusun strategi, agenda, dan tujuan diplomasi serta menerapkannya dengan konsisten dan berkesinambungan agar program diplomasi ini bisa berhasil dengan sukses. Perlunya mencermati dinamika kondisi dan situasi nasional dari waktu ke waktu yang bisa mendukung dan memberikan kekuatan “bargaining position” dan “bargaining power” dalam proses diplomasi ekonomi yang dilaksanakan. Di sisi lain, harus ada kesediaan dan tekad yang kuat dari para wakil negara (baik yang di tempatkan di perwakilan Indonesia maupun yang ditunjuk dalam proses diplomasi ekonomi), untuk secara terus menerus menambah dan memperdalam pengetahuan, keahlian, kekmampuan serta ketrampilan dalam seni diplomasi, serta dinamika perubahan bidang perekonomian, bidang politik, bidang hubungan internasional, bidang budaya (termasuk hukum dan kebudayaan serta bahasa) negara mereka ditempatkan dan Indonesia. Kesemuanya ini menjadikan wakil yang kompeten yang bisa dipercaya, baik oleh negara dan bangsa Indonesia maupun oleh negara dan bangsa lain. Kemampuan lain yang juga harus ditingkatkan adalah kemampuan analisa sehingga bisa menghasilkan keputusan yang baik, benar, serta tepat. Hal ini perlu ditekankan karena pada akhirnya, proses diplomasi ekonomi yang berhasil selalu diakhiri dengan poengambilan keputusan bersama. Tentunya, keputusan yang dibuat tersebut benar-benar dapat memaksimalkan perolehan dan pendapatan untuk kepentingan pembangunan ekonomi negara dan bangsa. Bahan Bacaan Lanjutan: Ye Hao (2014), Some Thoughts on Deepening Economic Diplomacy, CIIS, http://www.ciis.org.cn/english/2014-01/20/content_6623715_2.htm Prof. Dr. AA Banyu Perwita, Optimalisasi Diplomasi Ekonomi Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional, dalam Tabloid Diplomasi, http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/119-4article/1027-optimalisasi-diplomasi-ekonomi-untuk-meningkatkan-ekon%20omi-nasional.html Editorial (2015), Mengintegrasikan Kekuatan Asia Tenggara Di Dunia Global, dalam Tabloid Diplomasi edisi Januari 2015, http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/207-diplomasijanuari-2015/1813-mengintegrasikan-kekuatan-asia-tenggara-di-dunia-global.html Pratim Ranjan Bose (2013), Economic diplomacy, Indian style, http://www.thehindubusinessline.com/opinion/columns/economic-diplomacy-indianstyle/article4558849.ece Rana, ‘Economic Diplomacy: The Experience of Developing Countries’, Chapter 11, Nicholas Bayne, and Stephen Woolcock, The New Economic Diplomacy: Decision Making and Negotiation in International Economic Relations, 2nd edition (Ashgate, London, 2007 Pernyataan Pers Tahunan Menlu RI (Januari 2015), Diplomasi Indonesia Akan Menonjolkan Karakter Sebagai Negara Maritim, http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/207diplomasi-januari-2015/1811-pernyataan-pers-tahunan-menlu-ri.html# Memega (2011) Diplomasi Ekonomi Indonesia: Plus Minus SEI terhadap Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Indonesia, http://blog.megaaldikawati.com/2011/04/diplomasi-ekonomi.html Hina, New economic diplomacy concept presented, http://dalje.com/en-croatia/new-economicdiplomacy-concept-presented/485659 Bonnie S. Glaser (2012), China's Coercive Economic Diplomacy: A New and Worrying Trend, http://csis.org/publication/chinas-coercive-economic-diplomacy-new-and-worrying-trend Boundless Oragnization, What is Diplomacy?, https://www.boundless.com/politicalscience/textbooks/boundless-political-science-textbook/foreign-policy-18/foreign-policy108/diplomacy-573-4996/ Federal Public Service, Kingdom of Belgium, Belgium Economic Diplomacy, http://diplomatie.belgium.be/en/policy/economic_diplomacy/ NIRUPAMA M RAO (2014), Foreign Secretary of India, Foireword: Economic Diplomacy – Changing Contours, Barton Deakin Government Relation (2014), Barton Deakin Brief: Australia’s Economic Diplomacy (2014), www.bartondeakin.com.au Kishan S. Rana & Bipul Chatterjee, Introduction: The Role of Embassies Peter A.G. van Bergeijk and Selwyn Moons (2007), Economic Diplomacy and Economic Security, conference “New Frontiers for Economic Diplomacy” in Lisbon at the ISCSP, May 16, 2007. http://ssrn.com/abstract=1436584 Simplice A. Asongu, Jacinta C. Nwachukwu, and Gilbert A. A. Aminkeng (2014): China’s Strategies in Economic Diplomacy: A Survey of Updated Lessons for Africa, the West and China African Government and Development Institute Working Paper, http://ssrn.com/abstract=2571788 Sadık Unay, Economic Diplomacy for Competitiveness: Globalization and Turkey’s New Foreign Policy, PERCEPTIONS, Autumn - Winter 2010, Volume XV, Number 3-4, pp. 21-47. Weiyi Shi & Jiahua Yue (2004), Economic Diplomacy: Unpacking China's Diplomatic Activities During the Hu Administration, MPSA 2014 Annual Conference S.J.V. Moons (2014) Economic diplomacy, product characteristics and the level of development. Prepared for the ETSG 2014 conference, http://ssrn.com/abstract=2544592