REFLEKSI KASUS HEPATITIS DRUG INDUCED Diajukan

advertisement
REFLEKSI KASUS
HEPATITIS DRUG INDUCED
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian
Kepanitraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga
Disusun oleh
REZKY MAWARNI
20100310187
Diajukan Kepada
Dr. Rastri Sp .PD
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
ILMU PENYAKIT DALAM
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal 14 April 2015
Menyetujui
Dokter pembimbing
Dr. Rastri Sp. PD
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3
BAB I...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN....................................................................................................... 4
A.
Identitas Pasien............................................................................................ 4
B.
Anamnesis.................................................................................................... 4
C. Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 4
D. Pemeriksaan Penunjang............................................................................... 5
E.
Diagnosis...................................................................................................... 8
F.
Penatalaksanaan.......................................................................................... 8
BAB II..................................................................................................................... 9
A.
DEFINISI........................................................................................................ 9
B.
EPIDEMIOLOGI............................................................................................ 10
C. FAKTOR RESIKO.......................................................................................... 10
D. ETIOLOGI.................................................................................................... 11
E.
PATOFISIOLOGI dan MEKANISME.................................................................12
F.
GEJALA....................................................................................................... 21
G. DIAGNOSIS................................................................................................. 21
H. KOMPLIKASI................................................................................................ 24
I.
PENATALAKSANAAN.................................................................................... 24
J.
PROGNOSIS................................................................................................ 26
BAB III.................................................................................................................. 27
PEMBAHASAN...................................................................................................... 27
BAB IV.................................................................................................................. 28
KESIMPULAN........................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 29
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas Pasien
Nama
Umur
Alamat
Masuk RS
: Tn. K
: 69 tahun
: Banaran
: 20 februari 2015
B. Anamnesis
Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang
: muntah, sesak nafas
: Pasien datang dibawa oleh keluarganya dengan
muntah (+) setiap kali makan dan minum, mual (+),
nyeri perut (+), sesak (+), nyeri dada (-), batuk
berdahak (+), pilek (-), panas (-), pusing (-), badan
terasa lemas (+), BAB cair 3x(+) ,kuning (+), BAK
(+) warna kuning jernih,bdan terasa gatal (+).
pengobatan TB 6 hari (+)
Riwayat penyakit dahulu
: Riwayat hipertensi (-) , TB (+), jantung (-) DM (-),
Riwayat penyakit keluarga
asma (-).
: Riwayat penyakit hipertensi (+) ibu, jantung (-), DM
Riwayat personalitas
(-), asma (-).
: Pasien sering merokok pada usia 7 tahun, minum
alkohol (-).
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Tekanan Darah
Heart Rate
Respirasi Rate
Suhu
Kepala
Leher
Thorax
COR
Pulmo
: tampak lemah, compos mentis
: 120/90 mmHg
: 96x/menit
: 22x/menit
: 36,5 ᵒC
: mata conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik +/+
: limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat
: simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-),
: S1/S2 reguler, bising (-), cardiomegali(-)
: vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
4
Abdomen
: supel, BU (+), 5x/menit, timpani (+), nyeri tekan epigastric
Ekstremitas
(+), hepatomegali (-)
: akral hangat, udem (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (20 februari 2015)
 Hematologi
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
4,65
4,5-11
10ᶟ/uL
Eritrosit
5,60
4,50-5,5
10⁶/uL
Hemoglobin
16,6
14-18
g/dL
Hematokrit
49,7
40-54
%
MCV
88,7
86-108
fL
MCH
29,6
28-31
pg
MCHC
33,4
30-35
g/dL
Trombosit
137
150-450
10ᶟ/uL
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
Glukosa darah
98
80-144
mg/dl
101
10-50
mg/dl

Kimia Darah
sewaktu
Ureum
5
Kreatinin
1,6
1,0-1,3
mg/dl
SGOT
467
<37
U/l
SGPT
505
<42
U/l
Bilirubin Total
2,3
<1
mg/dl
Bilirubin direk
1,0
<0,25
mg/dl
Bilirubin indirek
1,30

mg/dl
Serologi
Pemeriksaan
HbsAg (Rapid)
Hasil
negative
Nilai Rujukan
Negative
Pemeriksaan Laboratorium (23 februari 2015)
 Hematologi
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
5,30
4,5-11
10ᶟ/uL
Eritrosit
4,93
4,50-5,5
10⁶/uL
Hemoglobin
14,6
14-18
g/dL
Hematokrit
44,3
40-54
%
MCV
89,9
86-108
fL
MCH
296
28-31
pg
MCHC
32,9
30-35
g/dL
Trombosit
143
150-450
10ᶟ/uL
6

Kimia darah
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
Ureum
40
10-50
mg/dl
Kreatinin
0,9
1,0-1,3
mg/dl
SGOT
91
<37
U/l
SGPT
276
<42
U/l
Bilirubin Total
1,0
<1
mg/dl
Bilirubin direk
0,5
<0,25
mg/dl
Bilirubin indirek
0,50

mg/dl
Serologi
Pemeriksaan
Anti HCV
Hasil
negative
Nilai Rujukan
Negative
Pemeriksaan Laboratorium (26 februari 2015)

Kimia darah
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
SGOT
33
<37
U/l
SGPT
159
<42
U/l
Bilirubin Total
1,3
<1
mg/dl
7
Bilirubin direk
0,6
Bilirubin indirek
0,70
<0,25
mg/dl
mg/dl
E. Diagnosis
Hepatitis drug induced
TB paru
F. Penatalaksanaan
Infus Asering 20 tpm
Injeksi ondansentron 2x1 ampul
Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
FDC stop
Curcuma 3x1
UDCA 2x 250
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hepatitis adalah kelainan hati berupa peradangan (sel) hati. Peradangan ini
ditandai dengan meningakatan kadar enzim hati. Peningkatan ini disebabkan adanya
gangguan atau kerusakan membran hati.
Ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi.
 Faktor penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus
Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan
hepatitis misalnya adenoviruses , CMV , Herpes simplex , HIV , rubella ,varicella dan
lain-lain. Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri

Salmonella typhi, Salmonella paratyphi , tuberkulosis , leptosvera.
Faktor non-infeksi misalnya karena obat. Obet tertentu dapat mengganggu fungsi hati
dan menyebabkan hepatitis .
8
Hepatitis drug induced adalah peradangan/inflamasi pada hati yang
disebabkan oleh reaksi obat (Metha, N, 2010).
Anti Tuberculosa drug induced hepatotosik (ATDH) adalah peningkatan serum
aminotranferase yang muncul > 3 atau 5x dari batas nilai tertinggi normal dengan
atau tanpa gejala hepatitis setelah terapi (Alma Tostmann, 2007).
Ada pula peneliti yang mendefinisikan ATDH berupa (Sharma SK, 2010) :
1. Peningkatan ≥5 kali dari batas tertinggi nilai normal (50IU/L) dari AST dan atau ALT
pada 1 kali pemeriksaan atau ≥ 3 kali batas tertinggi nilai normal (>150 IU/L) pada
pemeriksaan 3 kali berturut-turut.
2. Peninhkatan total bilirubin serum (>1,5 mg/L).
3. Peningkatan pada AST dan atau ALT diatas nilai sebelum terapi OAT bersamaan
dengan anorexia, nausea,muntah dan jaundice.
4. Tidak dijumpainya bukti infeksi virus hepatitis A,B, C atau e secara serologi.
5. Adanya perbaikan fungsi hati (bilirubin serum <1 mg dl, AST dan ALT <100IU/L)
setelah menghentiakn OAT.
ATDH didiagnosa apabila ditemukan kriteria1,2 atau 3 dikombinasikan
dengan kreteria 4 dan 5.
B. EPIDEMIOLOGI
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang.
Perempuan cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang
dewasa lebih rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu
memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.
C. FAKTOR RESIKO

Ras
Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras.
Misalnya orang kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid ( INH ). Laju metabolisme
obat dikontrol oleh enzim P – 450 dan setiap individu bervariasi.

Umur
Reaksi obat terhadap hati jarang terjadi pada anak – anak. Resiko cedera ke
hati lebih besar pada orang tua karena menurunnya clearance, interaksi obat, aliran
darah hepatik yang berkurang dan variasi dalam pengikatan obat. Selain itu, pola
9
makan yang buruk, infeksi dan dirawat di rumah sakit merupakan faktor untuk
terjadinya hepatotoksisitas karena obat.

Jenis kelamin
Meskipun alasan yang tidak diketahui, reaksi hepatotoksisitas karena obat
lebih sering pada perempuan.

Alkohol
Orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatotoksisitas obat
karena alkohol menyebabkan cedera dan kerusakan sel hati sehingga terjadi
perubahan pada metabolisme obat.

Penyakit hati
Secara umum pasien dengan penyakit hati kronik lebih rentan terjadi
kerusakan hati.

Faktor genetik
Gen unik encode pada P – 450, perbedaan genetik dalam enzim P – 450 dapat
menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat.
D. ETIOLOGI
Beberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis
drug induced, yaitu :
1.
Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa
metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa
metabolit yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.
2.
Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau
keduanya.
3.
Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam
15-50% dari pasien.
4.
Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis
infeksi dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada
kerusakan parenkim.
5.
Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin
menunjukkan tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8%
10
mengalami peningkatan alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin
meningkat.
6.
Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat
diclofenac. Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi.
7.
Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk
peningkatan enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan
atau tanpa jaundice.
8.
Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase.
9.
Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi
INH. Pasien yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.
10.
Methyldopa:
Methyldopa
merupakan
antihipertensi
yang
merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati aktif.
11. Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis
dengan pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien.
12. Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan
abnormalitas biokimiawi dari fungsi hati.
13. Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat
menyebabkan hepatitis ringan.
E. PATOFISIOLOGI dan MEKANISME

Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam
empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan
transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran
plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu
kematian
sel
melalui
apoptosis.
Disamping
itu,
banyak
reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat
11
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.
Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk
berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang
respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obatobat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi
dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam
empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Kerusakan dari sel hepar terjadi pada
pola spesifik dari organella intraseluler yang terpengaruh. Mekanisme hepatotoksisitas
mencakup mekanisme hepatoseluler dan ekstraseluler antara lain :
a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan
ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di
permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa
transport misal multidrug resistance–associated protein 3 (MRP3) menghambat
ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan
sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF menyebabkan berkumpulnya
caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada αoksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menhambat sintesis
dinucleotide
adenine
nicotinamide
dan
dinucleotide
adenine
flavin,
yang
menyebabkan menurunnya produksi ATP ) dan enzim rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris
Metabolit racun yang dieksresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan
epitel duktus biliaris.
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang
predictable dan yang
unpredictable (Watkins B, 2007) :
1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan
selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikankepada setiap
penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang
12
langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu
dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik
predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi
untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform.
Hepatotoksin yang predictable yangmerusak secara tidak langsung masih
banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol,
steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat
menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang
mengalami
alkilasi
pada
atom
C--17
menimbulkan
ikterus
akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan
ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
2. Unpredictable Drug Reactions : kerusakan hati yang timbul disini bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi
idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan
yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan
biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab
terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua
golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan

metabolisme :
Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah 1-5 minggu dimana terjadi proses sensitisasi.
Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan
kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya
segera timbul lagi.
 Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara 1 minggu sampai
lebih dari 1 tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun
kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau
dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini
obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit
dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.
Efek Hepatotoksik OAT
13
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine
transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat
peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan
progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Menghentikan obat-obatan
hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan
normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis
dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan
hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum
AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi
dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu
metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan
apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. (Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai Antituberkolosis. Studi
terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada
perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor
genetiknya memiliki 2 tipe yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat.
Reaksi asetilasi merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang
mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik
skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi adalah untuk proses detoksifikasi, serta
mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak
aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari
obat isoniazid sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan
reaksi asetilasinya.
Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa
perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997).
Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini
digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat.
Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim Nasetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh
adanya variasi genetik dari
gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-
14
asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh
autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim Nasetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat
bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari
penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan
Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat ( Muller. RF , 2001).
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim Nasetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe
asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat
dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat.
Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit.
Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan
yang lebih besar.
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan
tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan
berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat
menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang
pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara
berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe
asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga
dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang
memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim
N-asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang
dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka
kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang
bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½)
yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator
lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan
peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator
lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi,
15
hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat
menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme
dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat,
maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi.
Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini,
memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang
lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.

Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap
awal terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat,
lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya. Rifampicin
menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu
pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan
rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang
menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas
Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien
yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan
diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa
rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini
adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama
terapi. (Kishore, dkk, 2010)

Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes
fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan
etambutol
yang
dikombinasi
dengan
OAT
lainnya
yang
menyebabkan
hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
16

Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)
Tuberculosis pada ibu hamil harus diobati, karena jika tidak diobati dapat
menyebabkan kecacatan, aborsi dan kematian. Pemilihan obat TB pada ibu hamil
harus rasional dan memperhatikan potensial resiko yang dapat terjadi pada ibu dan
janin yang dikandung. Oleh karena itu, dalam memilih obat untuk ibu hamil, harus
diperhatikan indeks keamanan oabt tersebut pada ibu hamil. Berikut adalah indeks
keamanan obat untuk ibu hamil : (Anonim, 2007a):

Keterangan dan kategori :
A Studi terkontrol pada wanita hamil tidak memperlihatkan adanya resiko
terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan juga tidak ada resiko pada
trimester selanjutnya), dan sangat kecil kemungkinan untuk membahayakan

janin.
B Studi terhadap sistem reproduksi hewan percobaan tidak memperlihatkan
adanya resiko terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan juga tidak ada
resiko pada trimester selanjutnya), akan tetapi belum dilakukan studi

terkontrol pada wanita hamil.
C Studi terhadap hewan percobaan yang telah memperlihatkan adanya efek
samping pada janin, tetapi belum dilakukan studi terkontrol pada wanita
hamil. Obat ini hanya dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh lebih besar

daripada resiko yang mungkin terjadi pada janin.
D Terdapat bukti positif mengenai adanya resiko terhadap janin manusia,
tetapi manfaat obat ini pada ibu hamil mungkin lebih besar daripada resiko
yang ditimbulkan (misalnya, obat ini diperlukan untuk mengatasi situasi yang
mengancam jiwa, dimana obat yang lebih aman tidak tersedia atau tidak

efektif).
X Studi terhadap hewan percobaan atau manusia telah memperlihatkan
adanya abnormalitas pada janin atau terdapat bukti resiko pada janin (resiko
penggunaan lebih besar daripada manfaat). Obat dalam kategori ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil.
Obat TB yang relatif aman digunakan pada ibu hamil adalah Ethambutol,
Isoniazid, dan Rifampisin, yang digunakan selama 9 bulan (Dipiro, et al., 2005):
1. Ethambutol
17

Indikasi : Antituberkulosis dan infeksi Mycobacterium lain (Lacy, et al.,

2006).
Kontraindikasi : Hipersensitivitas Ethambutol dan bahan tambahannya, optic
neuritis, penggunaan pada anak-anak, pasien tidak sadar, pasien dengan

gangguan penglihatan (Lacy, et al., 2006).
Bentuk sediaan, dosis, aturan pakai :
Bentuk sediaan berupa tablet 250 dan 500 mg (Anonim, 2007b).
Dosis Ethambutol untuk dewasa (Lacy, et al., 2006) :
 Terapi harian : 14-25 mg/kg BB.
40-45 kg = 800mg, 56-75 kg = 1200mg, 76-90 kg = 1600mg
(maksimum dosis yang dianjurkan).
 Dua kali/minggu Directly Observed Therapy (DOT) : 50 mg/kg BB.
40-45 kg = 2000mg, 56-75 kg = 2800mg, 76-90 kg = 4000mg
(maksimum dosis yang dianjurkan).
 Tiga kali/minggu DOT : 25-30 mg/kg BB (maksimum 2,5 g).
40-45 kg = 1200mg, 56-75 kg = 2000mg, 76-90 kg = 2400mg

(maksimum dosis yang dianjurkan).
Efek samping
Myocarditis, pericarditis, sakit kepala, malaise, tidak sadar, demam, halusinasi,
mata berkunang-kunang, dermatiitis, kulit kemerahan, anoreksia, mual,
muntah, gangguan pencernaan, optic neuritis, gangguan penglihatan, nephritis,

hepatotiksik, gejala hipersensitif (Lacy, et al., 2006).
Resiko khusus : Ethambutol relatif aman digunakan pada ibu hamil. Obat ini
memiliki indeks keamanan kehamilan yang termasuk dalam kategori B
(Anonim, 2007a). Untuk pasien dengan gangguan ginjal perlu dilakukan
penyesuaian dosis. Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan hepatotoksik,
sehingga perlu dilakukan monitoring untuk pasien dengan gangguan hepar
(Lacy, et al., 2006).
2. Isoniazid
 Indikasi
Antituberkulosis, baik karena latent tuberculosis infection maupun active TB

infection (Lacy, et al., 2006).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas Isoniazid dan bahan tambahannya, penyakit liver akut,
riwayat kerusakan hepar karena penggunana Isoniazid (Lacy, et al., 2006).
18

Bentuk sediaan, dosis, aturan pakai
Bentuk sediaan berupa tablet yang mengandung 400 mg Isoniazid dan 10 mg
Vitamin B6 (Anonim, 2007a).
Dosis Isoniazid untuk dewasa adalah (Lacy, et al., 2006):
 Untuk pengobatan latent tuberculosis infection (LTBI): 300 mg/hari atau
900 mg dua kali/minggu selama 6-9 bulan (untuk pasien yang tidak
terinfeksi HIV), dan 9 bulan (untuk pasien yang terinveksi HIV).
Pengobatan dapat dilanjutkan hingga 12 bulan jika terjadi ketidakteraturan
dalam terapi.
 Untuk pengobatan active TB infection:
Terapi harian : 5 mg/kg BB/hari (biasanya 300 mg/hari), 10 mg/kgBB/hari
1-2 kali sehari dalam dosis terbagi.
Dua kali/minggu DOT: 15 mg/kg BB (maksimum 900 mg).

Tiga kali/minggu : 15 mg/kg BB (maksimum 900 mg).
Efek samping : Hipertensi, palpitasi, takikardi, demam, mata berkunangkunang, depresi, kejang, kulit kemerahan, lethargi, kulit terasa terbakar,
gangguan liver, gangguan hepar, anoreksia, mual, muntah, gangguan

penglihatan, gejala hipersensitif (Lacy, et al., 2006).
Resiko khusus : Isoniazid relatif aman digunakan pada ibu hamil. Obat ini
memiliki indeks keamanan kehamilan yang termasuk dalam kategori C
(Anonim, 2007a). Untuk pasien dengan gangguan ginjal dan liver akut perlu
dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan
hepatotoksik, sehingga perlu dilakukan monitoring untuk pasien dengan
gangguan hepar (Lacy, et al., 2006).
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent
ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang
akan dilahirkan.
F. GEJALA
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis drug induced, yaitu :
demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, muntah, sakit kepala,
anorexia, jaundice , feses berwarna seperti tanah liat, air kencing gelap, dan
hepatomegaly.
19
G. DIAGNOSIS
Kemungkinan Hepatitis drug induced selalu dipikirkan pada penderita dengan
ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesa mendapat obat tertentu,
adanya demam dan eosinofilia menyokong diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak
selalu dijumpai. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis drug induced,
yaitu : demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, muntah, sakit
kepala, anorexia, kuning pada kulit dan mata, BAB berwarna dempul, BAK berwarna
gelap, dan pembesaran hati.
Pemeriksaan Laboratorium :
Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase
dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transferase/serum glutamate
oxaloacetate transaminase (AST/SGOT) yang disekresikan secara paralel dengan
alanine amino transferase/serum glutamate pyruvate transaminase (ALT/SGPT) yang
merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar,
mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi:
World Health Organization tahun 2012
Serologis Virus: Hepatitis A dieksklusi jika diperoleh anti-HAV negatif
(Hepatitis A) imunoglobin M (IgM). Hepatitis C dieksklusi dengan anti-HCV
negative (Hepatitis C) antibody, akan tetapi tes ini bisa tetap negatif untuk beberapa
minggu setelah onset Hepatitis C. Hepatitis B diekslkusikan jika diperoleh nilai
negative pada pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg) atau hepatitis B core
antigen (anti-HBc). Dapat juga dilakukan pemeriksaan DNA.
Serum iron (SI): Saturasi transferin yagn tinggi berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi transferin diduga sebagai hemokromatosis, yang terkadang
terlihat dengan peningkatan transaminase. Akan tetapi, feritin merupakan penanda
fase akut yang terkadang meningkat pada tipe hepatitis yang lain. Jadi, adanya
20
peningkatan serum feritin bukan merupakan penanda hemokromatosis, kecuali
saturasi iron juga meningkat.
Pemeriksaan fungsi hati dan interpretasinya, antara lain (Metha N, 2010):

Bilirubin (total) untuk mendiagnosa ikterus dan memeriksa beratnya ikterus.

Bilirubin (tak berkonjugasi) untuk memeriksa hemolisis.

Alkali Fosfatase – untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit infiltrasi.

AST/SGOT – untuk mendiagnosis penyakit hepatoseluler dan menilai
progresivitas penyakit.

ALT/SGPT – ALT biasanya relatif lebih rendah dari AST pada alcoholism.

Albumin – untuk menilai beratnya kerusakan hati (infeksi HIV dan malnutrisi
dapat memperberat hal ini).

Gamma globulin – peningkatan yang besar diduga sebagai hepatitis autoimun,
kelainan lain yang tipikal meningkat pada pasien sirosis.

Prothrombin time setelah vitamin K – untuk mendiagnosis beratnya penyakit
hati.

Antimitokchondrial antibody – untuk mendiagnosis sirosis biliaris primer.

ASMA – untuk mendiagnosis primary sclerosing cholangitis.
Pemeriksaan Radiologi :
Pemeriksaan radiologi dipergunakan untuk mengeksklusikan penyebab
patologi pada hati.

Ultrasonografi: Ultrasonografi efektif untuk mengevaluasi kandung empedu, saluran
empedu, dan tumor hati.

CT scan: CT scan dapat membantu mendeteksi lesi hati yang berukuran 1 cm atau
lebih dan beberapa kondisi yang difus. Pemeriksaan ini dapat dipergunakan pula
untuk memvisualisasikan struktur lain di dalam abdomen.

MRI: MRI memberikan resolusi kontras yang sangat baik. Pemeriksaan ini dapat
dipergunakan untuk mendeteksi kista, hemangioma, dan tumor primer maupun
sekunder. Vena Porta, Vena Hepatik, dan traktus biliaris dapat dilihat tanpa suntikan
kontras.
21
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas
karena obat berdasarkan (Bayupurnama, 2006) :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari
lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari
penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas
batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk
reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi
hati tiap kasus.
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika
dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang
obat.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus
selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau
histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan
dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum
minum obat, menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara nyata setelah
penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena
obat
H. KOMPLIKASI
1. Peningkatan tekanan di vena porta
22
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada
kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta.
2. Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut,
esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
3. Jaundice
Terjadi jika ada peningkatan bilirubin.
4. Cirrhosis
kondisi hati yan serius dan irreversible.
I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan hepatitis drug induced pada prinsipnya sama dengan pengobatan
penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang dicurigai sebagai
penyebab harus dihentikan.
Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas drug induced
Penatalaksanaan:
-
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
-
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
-
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop

-
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
-
SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
-
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
-
Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali
normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan
periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium
kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
-
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)
23
Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g
karbohidrat sehari. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid,
meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol, kemungkinan
kortikosteroid
ini
mensupresi
gejala
sistemik
yang
berhubungan
dengan
hipersensitivitas atau reaksi alergi. Demikian pula dengan penggunaan ursodioksikolat
pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin asamklavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien
memburuk dalam beberapa minggu sesudah obat dihentikan, dan perlu waktu
berbulan-bulan untuk sembuh seperti sedia kala. Kecuali penggunaan N-asetilsistein
untuk keracunan asetaminofen, tidak ada antidotum spesifik terhadap hepatitis imbas
obat (Bayupurnama, 2006).
Pengobatan yang diberikan ini antara lain:
a.
Pengobatan suportif. Pasien dengan gejala yang berat membutuhkan untuk
menerima pengobatan suportif di rumah sakit, antara lain cairan intravena dan obatobatan untuk menghilangkan mual dan muntah.
b.
Transplantasi hati. Ketika fungsi hati sangat menurun (drug induced fulminant
hepaticinjury), transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan terapi (Metha N,
2010). Terapi awal untuk transplantasi hati penting untuk disadari. Skor Model for
End-Stage Liver Disease dapat dipergunakan untuk mengevaluasi prognosis jangka
pendek, skor ini dapat dipergunakan pada orang dewasa dengan penyakit hati tahap
akhir. Parameter yang dipergunakan adalah kreatinin serum, bilirubin total, INR
(International Normalized Ratio). Kriteria lain yang umumnya dipergunakan untuk
transplantasi hati adalah kriteria Kings College. Kriteria Kings College untuk
transplantasi hati pada kasus toksisitas asetaminofen:

pH darah kurang dari 7,3 ( tanpa melihat grade ensefalopati)

Prothrombin time (PT) lebih besar dari 100 detik atau INR > 7,7

Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 3,4 mg/dL pada pasien dengan
ensefalopati derajat III atau IV
24
Pengukuran laktat serum pada 4 dan 12 jam pertama juga membantu detifikasi
awal pasien yang memerlukan transplantasi hati. Kriteria Kings College untuk
transplantasi hati pada kasus hepatotoksisitas imbas obat yang lain (Metha N, 2010) :

PT > 100 detik (tanpa memandang derajat ensefalopati) atau

3 dari kriteria di bawah ini:
1. Usia < 10 tahun dan > 40 tahun.
2. Etiologi Non-A/Non-B hepatitis, halotan hepatitis, atau reaksi obat
idiosinkrasi
3. Durasi ikterik lebih dari 7 hari sebelum onset ensefalopati.
4. PT lebih besar dari 50 detik.
5. Konsentrasi bilirubin serum lebih besar dari 17 mg/dL..
J. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini bergantung pada gejala pasien dan derajat kerusakan
hati. Sebuah studi prospektif yang dilakukan di Amerika pada tahun 1998-2001
menyimpulkan bahwa prognosis pasien (termasuk mereka yang menerima
transpalantasi hati) sebanyak 72% (Bass N, 2003). Kejadian Gagal Hati akut ini
ditentukan oleh etiologinya, derajat ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti
infeksi (Metha, N, 2010). Prognosis gagal hati akut untuk reaksi idiosinkratik obat
buruk dengan angka mortalitas lebih dari 80% (Bayupurnama, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien mengalami penyakit hepatitis drug induced yang
disebakan karena obat tb paru yaitu dari gejala klinis seperti ruam dan gatal pada
kulit, diare, mual, muntah.
Kemudian dari pemeriksaan fisik di dapatkan sklera ikterik dan ruam kulit
pada pasien
serta di dukung oleh pemeriksaan penunjang dimana terdapat
25
peningkatan kadar SGPT yaitu 505 U/l , berdasarkan dari kadar SGOT, pasien ini
mengalami penyakit hepatitis drug induced grade 4.
Dengan demikian penatalaksanaan pada pasien ini adalah obat yang dicurigai
sebagai penyebab dihentikan yaitu obat FDC, dengan penghentian obat FDC kadar
SOPT relatif menurun dari 505 U/l 276 U/l 159 U/l. Kemudian dilakukan
pengobatan suportif seperti cairan intravena dan obat-obatan untuk menghilangkan
mual dan muntah yaitu injeksi ranitidin dan injeksi ondansentron.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan dari kasus dan dihubungkan dengan tinjauan pustaka di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami penyakit hepatitis drug induced berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien sesuai dengan
teori yaitu dilakukan penghentian obat tuberkulosis dan dilakukan terapi suportif yaitu
pemberian cairan, pengobatan mual dan muntah.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006.
Alma Tostmann. Antituberculosis drug-induced hepatotocixity: Concise up-to-date
review. Journal of gastroenterology and hepatology 2007; 23:192-202.
Anonim 2007a, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 6, 131-140, 225-228,
Info Master, Jakarta.
Bass N. Drug-Induced Liver disease in Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology. 2nd ed. McGraw Hill. Singapore. 2003; 44:664-78
Bayupurnama P, Hepatotoksisitas Imbas Obat di dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
27
Jilid I, Edisi ke 4. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta, 2006; 109: 473-480
Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. InHarrison’s:
Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al.
2005;1838−1849.
Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment.
Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information
Handbook, 14th Ed., 593-595, 868-870, Lexicomp, Inc., USA.
Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced
Gastroenterology and Hepatology. 2010
Hepatotoxicity.
Department
of
Muller, RF. And Young. I. D. 2001. Emery’s Elemens of Medical genetics. Eleventh
Edition, Churchill Livengstone, london. pp. 169-175.
Sharma SK. Singka R.Safety of 3 different reintroduction regimens of antituberculosis
drugs after development of antituberculosis treatment-induced hepatotoxicity. Clin Infect Dis
2010; 50:833-839.
Watkins B, Mechanism of Drug-Induced Liver Injury in Schiff et all, Schiff’s
Diseases of the Liver, 10th edition, Lippincott Williams & Wilkins, USA, 2007; 34:10061020.
Weber, W. W. 1997. Pharmacogenemics oxford universityPress, New York, pp62
.
28
Download