BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan mengasumsikan bahwa setiap orang/individu akan melakukan hal yang terbaik bagi kepentingan pribadinya. Asumsi berikutnya adalah dalam setiap perusahaan terdapat titik perpotongan antara berbagai kepentingan dan berbagai hubungan jenis kontrak perjanjian antara pihak manajemen, pemilik, kreditor dan pemerintah. Salah satu hipotesis teori keagenan menyatakan bahwa pada dasarnya manajemen bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri dengan berbagai upaya untuk meminimumkan biaya-biaya agensi/agency cost (Wolk and Tearny, 2000). Satu diantara hubungan keagenan yang terpenting adalah hubungan antara pihak manajemen sebagai agent dengan pemilik sebagai principal. Pada perusahaan yang Go Public pemegang saham bertindak sebagai principal dan CEO (Chief Executive Officer) adalah agent mereka. Hubungan keagenan tercipta apabila pihak pemilik (principal) sepakat memakai pihak agent untuk melaksanakan beberapa jasa (Belkaoui, 2001 : 103). Tujuan dari pihak manajemen (agent) dan pemilik perusahaan (principal) mungkin tidak sama. Pihak principal menginginkan peningkatan profitabilitas secara terus menerus sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan agent menginginkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal penerimaan bonus, perolehan investasi dan kepercayaan principal yang 10 telah memakai dirinya untuk melaksanakan beberapa jasa sesuai dengan keinginan principal. Perbedaan tujuan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Konflik kepentingan akan semakin meningkat karena adanya asimetri informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Seorang manajer akan memiliki lebih banyak informasi mengenai kemampuan dirinya dan kapasitas perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan pemegang saham tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja manajer dan tidak dapat memonitor aktivitas manajer sehari-hari yang bekerja untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Asimetri informasi dan konflik kepentingan inilah yang mendorong manajer untuk tidak menyajikan informasi yang sebenarnya kepada pemegang saham, terutama informasi yang berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. 2.1.2 Profitabilitas Sartono (2001) menyatakan bahwa profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Riyanto (2001) juga menyebutkan bahwa rentabilitas suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Menurut Munawir (2001) profitabilitas atau rentabilitas adalah menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu atau rentabilitas perusahaan dapat diketahui dengan membandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode tertentu dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. 11 Berdasarkan beberapa definisi itu dapat disimpulkan bahwa profitabilitas atau rentabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba dengan seluruh aktivitas atau modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dalam suatu periode tertentu. 2.1.3 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Manajerial merupakan proporsi kepemilikan saham oleh pihak manajemen. Kepemilikan manajerial mempunyai peran penting dalam mengendalikan keuangan perusahaan agar sesuai dengan keinginan pemegang saham karena dengan adanya kepemilikan manajerial akan membuat pihak internal perusahaan merasa memiliki perusahaan dan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil serta kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah bagi perusahaan. Sehingga dengan adanya kepemilikan manajerial maka akan dapat mensejajarkan kepentingan antara pihak agen dan principal. Struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel– variabel yang penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah hutang modal sendiri tetapi juga ditentukan oleh prosentase kepemilikan manajerial dan institusional ( Jensen dan Meckling, 1976 dalam Aditya, 2007). Menurut La Porta dkk dalam Tri Gunasih (2003), dalam banyak kasus kepemilikan perusahaan banyak dikendalikan oleh keluarga dan Negara. Masalah utama yang terjadi pada kepemilikan yang menyebar yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dengan pengelola perusahaan. Permasalahan perbedaan kepentingan ini berbeda dengan perusahaan yang mempunyai struktur 12 kepemilikan terkonsentrasi. Masalah utama yang terjadi pada kepemilikan yang terkonsentrasi yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik mayoritas sebagai pengendali perusahaan dengan pemilik minoritas. Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya dijalankan oleh manajemen sekaligus merangkap sebagai pemilik mayoritas. Adanya komposisi manajemen yang merangkap sebagai pemilik mayoritas menyebabkan mekanisme corporate governance tidak berjalan dengan baik, sehingga kepentingan pihak pemegang saham minoritas menjadi tidak terlindungi. Dengan demikian, kepemilikan saham dari luar perusahaan merupakan langkah yang lebih baik, agar dapat mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen dan meminimalisasi tindakan kecurangan terhadap laporan keuangan. Menurut Fitri Ismiyanti dan Mamduh Hanafi (2003), pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) Managerial Ownership/ Internal Ownership Managerial Ownership/ Internal Ownership merupakan pemegang saham dari pihak insider perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi, manajer dan lain-lain. 2) Eksternal Ownership Eksternal Ownership merupakan pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan. 3) Institusional Ownership Institusional Ownership merupakan pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan. 13 2.1.4 Kebijakan Utang Menurut Fred Weston dan Eugene Brigham (1997) dalam Kristya Kartika (2007), leverage keuangan adalah tingkat penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut Agnes Sawir (2004:10) leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa mempedulikan tingkat laba perusahaan. Leverage keuangan terjadi pada saat perusahaan menggunakan sumber dana yang menimbulkan beban tetap. Apabila perusahaan menggunakan utang, maka perusahaan harus membayar bunga. Bunga ini harus dibayar, berapapun keuntungan operasi perusahaan. Bagi perusahaan yang menggunakan utang, mereka tentu berharap untuk bisa memperoleh laba operasi dari penggunaan utang tersebut yang lebih besar dari biaya bunganya (Suad Husnan, 2000:619). Ada lima rasio leverage yang digunakan perusahaan menurut Sutrisno (2005:232) yaitu sebagai berikut: 1) Total Debt to Total Asset Ratio Rasio ini biasa disebut sebagai rasio utang (debt ratio) yang mengukur persentase besarnya dana yang berasal dari utang yang dimiliki perusahaan baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. 2) Debt to Equity Ratio Rasio ini merupakan rasio utang yang mengukur persentase antara utang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini berarti 14 semakin sedikit modal sendiri yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan utangnya. 3) Time Interest Earned Ratio Rasio ini sering disebut sebagai leverage ratio, yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi beban tetapnya berupa bunga dengan laba yang diperolehnya, atau mengukur berapa kali besarnya laba bisa menutup beban bunganya. 4) Fixed Charge Coverage Ratio Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk menutup beban tetapnya termasuk pembayaran dividen saham preferen, bunga, angsuran pinjaman dan sewa. 5) Debt Service Ratio Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi beban tetapnya termasuk angsuran pokok pinjaman. Kebijakan utang menyiratkan tiga hal penting. Pertama, apabila menaikkan dana melalui utang, pemilik dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi terbatas. Kedua, kreditur mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan oleh pemilik sebagai margin pengaman. Jika pemilik hanya menyediakan sebagian kecil dari pembiayaan total, maka resiko perusahaan terutama di pikul oleh krediturnya. Ketiga, jika perusahaan memperoleh tingkat laba yang lebih tinggi atas dana yang dipinjamnya dari pada tingkat bunga yang dibayarkan atas dana tersebut, maka pengembalian atas modal diperbesar. 15 2.1.5 Kebijakan Dividen Menurut Bambang Riyanto (2001:265), dividen merupakan aliran kas yang dibayarkan kepada pemegang saham, sedangkan menurut Jogiyanto Hartono (2000:58), dividen merupakan pendapatan yang dibagikan kepada pemegang saham jika perusahaan memperoleh laba. Jadi secara umum dividen dapat diartikan sebagai pembayaran keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan kepada pemegang saham. Kebijakan dividen merupakan hal yang sangat penting dalam suatu perusahaan, dimana melibatkan dua pihak yaitu pemegang saham dan perusahaan yang memiliki kepentingan berbeda. Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibayarkan sebagai dividen atau akan ditahan guna diinvestasikan kembali dalam perusahaan di masa yang akan datang (Agus Sartono, 2001:281). Apabila perusahaan memilih kebijakan untuk membagikan laba sebagai dividen, maka laba ditahan yang diinvestasikan akan menurun. Dampaknya akan mengurangi sumber total dana intern yang tersedia. Apabila perusahaan memilih kebijakan untuk menahan laba yang diperoleh, maka pembentukan dana intern akan semakin besar. Menurut Fred Weston dan Eugene Brigham (1997:198), kebijakan dividen dikatakan optimal apabila mampu menyeimbangkan antara dividen saat ini dan pertambahan di masa yang akan datang, sehingga dapat memaksimalkan harga saham perusahaan. Persentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen disebut dividend payout ratio (Bambang Riyanto, 2001:266). 16 Secara umum perusahaan perlu menetapkan kebijakan dividen yang bertujuan untuk memaksimalkan kemakmuran para pemegang saham. Perusahaan dapat mendistribusikan kelebihan dana yang dimiliki kepada pemegang saham, jika tidak mempunyai kesempatan berinvestasi yang menguntungkan. Persentase laba yang dibayarkan oleh perusahaan sebagai dividen akan berfluktuasi dari satu periode ke periode lainnya seiring dengan jumlah peluang yang diterima perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk membayar dividen dalam jumlah yang sama setiap periodenya. Di Indonesia keputusan untuk membagikan dividen pada dasarnya berada di tangan Rapat Umum Pemegang Saham atau RUPS (Suad Husnan, 2000:382). RUPS adalah rapat yang diselenggarakan oleh pengurus perusahaan dan dihadiri oleh setiap pemegang saham yang bertujuan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan usaha dari perusahaan. Keputusan rapat dalam RUPS diambil dengan suara terbanyak. Khusus untuk masalah untung rugi perusahaan, pasal 55 KUHD menentukan jangka waktu untuk membahas permasalahan tersebut dalam RUPS adalah setiap tahun sekali (Pieter Tedu, 1994:173). 2.1.6 Bentuk Kebijakan Pembayaran Dividen Menurut Bambang Riyanto (2001:269), ada empat bentuk kebijakan pembayaran dividen, yaitu: 1) Kebijakan dividen yang stabil Kebijakan dividen yang stabil merupakan pola pembayaran dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka 17 waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya mengalami fluktuasi. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun. Apabila pendapatan perusahaan terus meningkat dan kenaikan pendapatan tersebut mantap dan relatif permanen, barulah besarnya dividen per lembar saham dinaikkan. Dividen yang dinaikkan ini akan dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif panjang. 2) Kebijakan dividen dengan penetapan jumlah dividen minimal plus jumlah ekstra tertentu Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik, pemodal akan menerima dividen tersebut ditambah dengan dividen tambahan. Akan tetapi, apabila keadaan keuangan memburuk, maka yang dibayarkan hanya dividen yang minimal saja. 3) Kebijakan dividen dengan penetapan payout rasio yang konstan Kebijakan ini berarti bahwa jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan keuntungan netto yang diperoleh setiap tahunnya. 4) Kebijakan dividen yang fleksibel Kebijakan ini merupakan pola pembayaran dividen yang besarnya disesuaikan dengan posisi dan kebijakan finansial dari perusahaan yang bersangkutan. 18 2.1.7 Dividend Payout Ratio Besar kecilnya dividen tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh dan proporsi laba yang akan dibagikan dalam bentuk dividen atau dividend payout ratio (DPR). Menurut Indriyo Gitosudarmo dan Basri (1995:244), dividend payout ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Secara matematis dividend payout ratio merupakan perbandingan antara dividend per share (dividen per lembar saham) dengan earning per share (keuntungan per lembar saham). Dividend payout ratio akan semakin tinggi seiring dengan semakin besarnya dividen yang dibayarkan. Dividend payout ratio yang tinggi menunjukkan tingginya kinerja perusahaan yang bersangkutan. Earning per share (EPS) merupakan rasio pasar yang menunjukkan besarnya pendapatan yang diterima oleh pemegang saham dari setiap lembar saham yang dimiliki. Semakin besar earning per share dengan jumlah saham yang beredar tetap, berarti keuntungan setelah pajak juga semakin besar, sehingga semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membagikan dividen dan begitu juga sebaliknya. 2.1.8 Hubungan Profitabilitas dengan Kebijakan Dividen Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba dengan seluruh aktivitas atau modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut dalam suatu periode tertentu. Semakin tinggi kemampuan perusahaan menghasilkan laba, maka perusahaan akan cenderung untuk menggunakan dananya sendiri daripada sumber pendanaan dari luar. Hal ini sejalan dengan 19 Pecking Order Theory yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas tinggi akan cenderung menggunakan internal fund untuk mendanai investasinya. Selain itu, semakin tinggi tingkat profitabilitas maka dividen payout ratio akan menjadi semakin kecil. Hal ini diduga karena perusahaan cenderung menggunakan laba ditahan untuk mendanai investasi-investasinya. Pada tingkat profitabilitas yang tinggi, perusahaan mengalokasikan dividen yang rendah (Suharli, 2005). Hal ini dikarenakan perusahaan mengalokasikan sebagian besar keuntungan sebagai sumber dana internal. Pada Return On Assets (ROA) yang tinggi dibayarkan dividen rendah karena keuntungan digunakan untuk meningkatkan laba ditahan. Dengan cara ini sumber dana internal meningkat sehingga perusahaan dapat menunda penggunaan utang (Nuryaman, 2005). Sebaliknya jika Return On Assets (ROA) rendah maka dividen yang dibayarkan tinggi. Hal ini dilakukan karena perusahaan mengalami penurunan laba sehingga untuk menjaga reputasi di mata investor, perusahaan akan membagikan dividen yang tinggi. 2.1.9 Hubungan Kepemilikan Manajerial dengan Kebijakan Dividen Kebijakan dividen merupakan keputusan penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan mengenai laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan memutuskan apakah sebagian besar laba yang diperoleh akan dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau menahan sebagian kecil laba guna membiayai investasi di masa yang akan datang. Menurut Bambang Riyanto (2001:266), semakin tinggi tingkat dividen yang dibayarkan, berarti semakin sedikit laba yang dapat ditahan dan sebagai akibatnya akan menghambat tingkat 20 pertumbuhan (rate of growth) dalam pendapatan dan harga sahamnya, sehingga dana yang diperlukan perusahaan untuk keperluan investasi di masa depan akan berkurang. Apabila perusahaan ingin menahan sebagian besar dari pendapatannya tetap di dalam perusahaan, berarti pendapatan yang tersedia untuk pembayaran dividen akan semakin kecil. Menurut Bhattacharya (1979) dalam Widana Putra dan Dwi Ratnadi (2008:186), pemegang saham memiliki kecendrungan lebih menyukai dividen yang dibagikan dalam jumlah yang relatif besar karena memiliki tingkat kepastian yang tinggi dibandingkan dengan yang masih di tahan dalam bentuk laba di tahan. Di sisi lain, ada juga pemegang saham yang menyukai pembagian dividen dalam jumlah relatif kecil karena mengharapkan pertumbuhan yang berasal dari penginvestasian kembali. Menurut Hurraga dan Sanz (2000) dalam Edy Suranta dan Mas’ud Machfoedz (2003:21), Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara berbagai pemegang klaim, sedangkan pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar modal. 21 Menurut Megginson dalam Anom Mahadwartha (2002), struktur kepemilikan mempengaruhi kebijakan dividen. Semakin terdiversifikasi struktur kepemilikan, maka dividend payout ratio nya semakin tinggi. Jadi, dapat dikatakan bahwa perusahaan milik Negara memiliki kecendrungan untuk tidak membagikan dividen, sedangkan perusahaan publik umumnya membagikan dividen. Jika dihubungkan dengan struktur kepemilikan, beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan dividen, namun dengan arah slope yang negatif. Rozeff (1982) dalam Wahidahwati (2002:4), telah menemukan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi menyebabkan pembayaran dividen yang rendah, demikian pula sebaliknya. Pihak manajemen menetapkan pembayaran dividen yang rendah karena perusahaan dapat memiliki laba ditahan yang relatif tinggi, sehingga peluang memiliki sumber total dana intern yang cukup. Sumber total dana intern perusahaan dapat digunakan untuk investasi di masa yang akan datang. 2.1.10 Hubungan Kebijakan Utang dengan Kebijakan Dividen Perusahaan yang memperoleh utang baru untuk membiayai perluasan perusahaan, sebelumnya harus sudah direncanakan bagaimana caranya untuk membayar kembali utang tersebut. Utang dapat dilunasi pada hari jatuhnya dengan mengganti utang tersebut dengan utang baru atau perusahaan dapat menyediakan dana sendiri yang berasal dari keuntungan untuk melunasi utang. Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari 22 laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan pembayaran utang (Bambang Riyanto, 2001:267). Kebutuhan dana untuk membayar utang akan mempengaruhi besarnya laba yang akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Semakin besar utang perusahaan, maka semakin besar modal pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan aktiva tersebut, sehingga beban utang (biaya bunga) yang harus ditanggung perusahaan juga semakin besar. Semakin besarnya beban utang perusahaan menyebabkan jumlah laba yang dapat dibagikan sebagai dividen akan semakin berkurang. Hal ini berarti semakin besar rasio utang, maka kemampuan perusahaan untuk membagikan dividen menjadi semakin kecil dan sebaliknya. Partington (1989) dalam Sunarto dan Andi Kartika (2003) menemukan bahwa tingkat utang yang tinggi akan mempengaruhi pembayaran dividen yang semakin rendah. Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan utangnya diambilkan dari laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan pembayaran utang. Jadi hanya sebagian kecil saja dari pendapatan yang dibayarkan sebagai dividen. Dengan kata lain, rasio utang berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Disisi lain, kebijakan utang memiliki pengaruh yang positif terhadap dividen dikarenakan investasi. Jika perusahaan mempunyai dana internal untuk digunakan dalam pembayaran dividen, maka utang menjadi sumber pendanaan. Namun, jika perusahaan tidak mempunyai dana internal yang memadai, tetapi bermaksud membagikan dividen dan tetap menjalankan investasi, maka dapat 23 mengeluarkan utang untuk membayar dividen dan melakukan investasi tersebut (Baldric Siregar, 2005). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sareth Chhim (1999) yang menyatakan bahwa kebijakan utang tidak mempengaruhi dividen. Selama perusahaan memiliki laba yang dapat dibagikan sebagai dividen, maka perusahaan akan tetap membayar dividen kepada pemegang saham tanpa mempertimbangkan jumlah utang yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Fred Weston dan Eugene Brigham (1997:216), perjanjian kredit atau surat pengakuan utang biasanya membatasi pembagian dividen dari laba yang dihasilkan sebelum pinjaman dilunasi. Apabila tidak terdapat pembatasan dalam perjanjian utang terhadap pembayaran dividen, maka besarnya utang tidak dipertimbangkan dalam kebijakan pembagian dividen. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya I. B. Anom Purbawangsa (2006) meneliti mengenai Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Komposisi Dewan Direksi serta Dewan Komisaris terhadap Kebijakan Dividen dan Nilai Perusahaan pada Industri Manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Variabel yang diteliti adalah struktur kepemilikan, komposisi dewan direksi serta dewan komisaris, kebijakan dividen dan nilai perusahaan. Teknik analisis yang digunakan adalah AMOS (Analysis of Moment Structure). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap komposisi dewan direksi dan komisaris, struktur kepemilikan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, komposisi dewan direksi dan 24 dewan komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, kebijakan dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek perusahaan sama-sama menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan meneliti kebijakan dividen sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini Analisis Regresi Linear Berganda, sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan AMOS (Analysis of Moment Structure). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah profitabilitas, kepemilikan manajerial, dan kebijakan utang, sedangkan penelitian sebelumnya meneliti struktur kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan saham mayoritas dan kepemilikan saham minoritas dan komposisi dewan direksi serta dewan komisaris sebagai variabel bebas lainnya. Ni Luh Suma Natalia (2007) meneliti mengenai Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Dividen dan Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta periode 20012005. Variabel yang diteliti adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan nilai perusahaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah AMOS (Analysis of Moment Structure). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh tidak signifikan terhadap kebijakan dividen dan nilai perusahaan, sedangkan kebijakan dividen berpengaruh signifikan dan positif terhadap nilai perusahaan. 25 Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek penelitian menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan sama-sama meneliti kepemilikan manajerial sebagai salah satu variabel bebas dan kebijakan dividen sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Regresi Linear Berganda, sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan AMOS (Analysis of Moment Structure). Aditya (2007) meneliti Pengaruh Kebijakan Dividen, Kepemilikan Manajerial dan Ukuran Perusahaan terhadap Konservatisme Akuntansi pada Perusahaan Manufaktur yang go publik di Bursa Efek Jakarta periode 1996-2006. Variabel yang diteliti adalah kebijakan deviden, kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan dan konservatisme akuntansi. Teknik análisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Linear Berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kebijakan deviden dan ukuran perusahaan berpengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Sedangkan variabel kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama meneliti variabel kepemilikan manajerial dan kebijakan dividen, objek penelitian menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan teknik analisis yang digunakan Analisis Regresi Linear Berganda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah periode penelitian, dimana penelitian sebelumnya menggunakan periode 1996-2006 26 sedangkan penelitian ini menggunakan periode 2008-2010 dan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah konsevatisme akuntansi, sedangkan penelitian ini menggunakan kebijakan dividen. Kurniawan (2008) meneliti mengenai Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, dan Financial Leverage pada Dividend Payout Ratio Perusahaan Manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Variabel yang diteliti adalah profitabilitas, likuiditas, financial leverage dan dividend payout ratio. Teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Linear Berganda. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara serempak ketiga variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap Dividend Payout Ratio. Secara parsial hanya Return On Invesment yang berpengaruh signifikan terhadap Dividend Payout Ratio sedangkan Current Ratio dan Debt to Equity Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap Dividend Payout Ratio. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama meneliti kebijakan dividen sebagai variabel terikat, teknik analisis yang digunakan Analisis Regresi Linear Berganda dan objek penelitian menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian sebelumnya profitabilitas, likuiditas dan financial leverage, sedangkan penelitian ini menggunakan profitabilitas, kepemilikan manajerial dan kebijakan utang. 27 Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya No. 1 2 3 4 Peneliti dan Tahun Variabel Penelitian I. B. Anom struktur Purbawangsa kepemilikan, (2006) komposisi dewan direksi, dewan komisaris, kebijakan dividen, dan nilai perusahaan Teknik Analisis Data AMOS (Analysis of Moment Structure) Hasil Penelitian Variabel struktur kepemilikan tidak berpengaruh signifikan terhadap komposisi dewan direksi dan komisaris, struktur kepemilikan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, komposisi dewan direksi dan dewan komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, kebijakan dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Ni Luh Suma kepemilikan AMOS Variabel kepemilikan manajerial Natalia manajerial, (Analysis dan kepemilikan institusional (2007) kepemilikan of Moment berpengaruh tidak signifikan institusional, Structure) terhadap kebijakan dividen dan kebijakan nilai perusahaan, sedangkan dividen, dan kebijakan dividen berpengaruh nilai signifikan dan positif terhadap nilai perusahaan perusahaan. Aditya kebijakan Analisis Variabel kebijakan deviden dan (2007) deviden, Regresi ukuran perusahaan berpengaruh kepemilikan Linear positif dan secara statistik manajerial, Berganda signifikan terhadap konservatisme ukuran akuntansi. Sedangkan variabel perusahaan kepemilikan manajerial tidak dan berpengaruh terhadap konservatism konservatisme akuntansi. e akuntansi Kurniawan profitabilitas, Analisis Secara serempak ketiga variabel (2008) likuiditas, Regresi bebas berpengaruh signifikan financial Linear terhadap Dividend Payout Ratio. leverage dan Berganda Secara parsial hanya Return On dividend Invesment yang berpengaruh payout ratio signifikan terhadap Dividend Payout Ratio sedangkan Current Ratio dan Debt to Equity Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap Dividend Payout Ratio. 28 2.3 Rumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh Profitabilitas pada Kebijakan Dividen Profitabilitas menunjukkan efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Rasio yang digunakan untuk memproksi profitabilitas dalam penelitian ini adalah Return On Investment (ROI) yang menunjukkan kemampuan dari modal yang di investasikan dalam total aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto. Semakin besar ROI berarti semakin besar kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba bersih sehingga perusahaan menetapkan dividen yang tinggi. H0 : β1 = 0, artinya profitabilitas secara parsial tidak berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. Hi : β1 ≠ 0, artinya profitabilitas secara parsial berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. 2.3.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Kebijakan Dividen Jika dihubungkan dengan struktur kepemilikan, beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan dividen, namun dengan arah slope yang negatif. Pihak manajemen menetapkan pembayaran dividen yang rendah karena perusahaan dapat memiliki laba ditahan yang relatif tinggi, sehingga peluang memiliki sumber total dana intern yang cukup. Sumber total dana intern perusahaan digunakan untuk investasi di masa yang akan datang. 29 H0 : β2 = 0, artinya kepemilikan manajerial secara parsial tidak berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. Hi : β2 ≠ 0, artinya kepemilikan manajerial secara parsial berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. 2.3.3 Pengaruh Kebijakan Utang pada Kebijakan Dividen Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan utangnya diambilkan dari laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan pembayaran utang. Jadi hanya sebagian kecil saja dari pendapatan yang dibayarkan sebagai dividen. Dengan kata lain, rasio utang berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Disisi lain, kebijakan utang memiliki pengaruh yang positif terhadap dividen dikarenakan investasi. Jika perusahaan mempunyai dana internal untuk digunakan dalam pembayaran dividen, maka utang menjadi sumber pendanaan. Namun, jika perusahaan tidak mempunyai dana internal yang memadai, tetapi bermaksud membagikan dividen dan tetap menjalankan investasi, maka dapat mengeluarkan utang untuk membayar dividen dan melakukan investasi tersebut (Baldric Siregar, 2005). H0 : β3 = 0, artinya kebijakan utang secara parsial tidak berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. Hi : β3 ≠ 0, artinya kebijakan utang secara parsial berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. 30 2.3.4 Pengaruh Profitabilitas, Kepemilikan Manajerial dan Kebijakan Utang pada Kebijakan Dividen. Profitabilitas menunjukkan efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Semakin besar ROI berarti semakin besar kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan laba bersih sehingga perusahaan menetapkan dividen yang tinggi. Jika dihubungkan dengan struktur kepemilikan, beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan dividen, namun dengan arah slope yang negatif. Disisi lain, kebijakan utang memiliki pengaruh yang positif terhadap dividen dikarenakan investasi. H0 : β1 = β2 = β3 = 0, artinya profitabilitas, kepemilikan manajerial dan kebijakan utang secara simultan tidak berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. Hi : paling sedikit satu dari βi ≠ 0 ( i = 1,2,3 ), artinya profitabilitas, kepemilikan manajerial dan kebijakan utang secara simultan berpengaruh signifikan pada kebijakan dividen. 31