1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik saluran pernafasan
dengan perannya sel-sel inflamasi serta elemen selular yang menyebabkan
hiperreaktivitas saluran pernafasan dan mengakibatkan mengi, sesak nafas, nyeri
dada, dan batuk episodik khususnya pada malam atau pada pagi hari (GINA, 2012).
Asma merupakan penyakit resporatorik yang menjadi masalah kesehatan umum
yang terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa baik di negara berkembang
maupun negara maju.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, sebanyak
300 juta penduduk di dunia menderita penyakit asma dari berbagai golongan umur
dan ras. Dalam 40 tahun terakhir prevalensi asma telah meningkat disemua negara.
Dan diperkirakan 250.000 orang meninggal karena asma setiap tahunya.
Sedangkan menurut Center for Disease Control and Prevention (2011), lebih dari
53% penderita asma terkena serangan asma pada tahun 2008, selain itu lebih dari
57% pada anak-anak dan 51% pada orang dewasa terkena serangan asma.
Sebanyak 185 anak-anak dan 3262 dewasa meninggal karena asma pada tahun
2007. Menurut Masoli et al (2004), setiap tahun terjadi peningkatan prevalensi asma
dan rata-rata tertinggi terdapat pada negara-negara Barat dan berkembang.
Indonesia belum memiliki data epidemiologik penyakit asma secara pasti,
namun diperkirakan 3-8% penduduk menderita penyakit asma. Sedangkan
berdasarkan laporan riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Badan Penelitian
1
dan Pengembangan Pemerintah dan Kesehatan pada tahun 2007 prevalensi
nasional sebesar 4%. Terdapat 9 provinsi yang mempunyai prevalensi Asma lebih
dari 4% diantaranya: Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, NTB, NTT,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Papua
Barat. Berdasarkan riset dasar kesehatan, pada tahun 2007 Jakarta memiliki
prevalensi asma sebesar 2,9 %. Sedangkan Data di Poliklinik Alergi Ilmu Penyakit
Dalam RSCM menyebutkan, 64% pasien tidak terkontrol, 28% terkontrol baik, dan
8% terkontrol total.
Asma adalah kelainan pada jalan nafas yang disebabkan adanya
peningkatan mukus pada lumen bronkus sehingga menyebabkan tersumbatnya
saluran pernafasan, bronkospasme otot, dan edema pada bronkus (Tabrani,1996).
Menurut GINA (2011), faktor-faktor risiko asma terbagi menjadi dua yaitu, faktor host
dan faktor lingkungan. Faktor host terdiri dari genetik, obesitas, dan jenis kelamin.
Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari alergen (jamur, tungau debu, bulu
binatang), infeksi virus, asap rokok, polusi udara dan diet.
Pada asma, respon inflammasi terjadi dengan timbulnya ROS (Reactive
Oxygen Species) dan RNS (Reactive Nitrogen Species) (Combair dan Eruzum,
2010 ; Nadem et al., 2003; Reynaert, N.L., et al., 2007). ROS dan RNS antara lain
superoksida anion, hydrogen peroksida, hydrogen radikal, asam perklorik, nitrit
oksida dan peroksinitrin (Combair dan Eruzum, 2010 ; Nadem et al., 2003). Pada
penderita asma peningkatan ROS terjadi karena adanya pelepasan sel inflammatory
dan imun di saluran nafas seperti makrofag, neutrophil dan eisonofil. ROS dapat
menyebabkan kerusakan pada paru-paru yang merupakan efek langsung dari stress
2
oksidatif pada sel epithelial
dan pengelupasan sel yang juga berkaitan dengan
pathogenesis asma dengan memicu hiperreaktivitas saluran nafas melalui stimulasi
pelepasan histamine oleh sel mast dan sekresi mucus oleh sel epithelial (Chung
1986).
Stress oksidatif disebabkan oleh ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan hal ditandai dengan peningkatan ROS yang terus menerus terjadi dan
defisiensi asupan antioksidan maupun system pertahanan antioksidan tubuh sendiri.
Stress oksidatif menyebabkan kerusakan oksidatif pada semua biomolekul ; asam
nukleat, protein, lemak, sakarida (Babusikova et al., 2007). Hal ini mengakibatkan
perubahan sifat biologis membrane dan kerusakan fungsi normal sel yang dapat
memicu serangan asma(Wood et al., 2003).
Rendahnya asupan antioksidan dapat memicu terjadinya inflamasi karena
minimnya pertahan/proteksi terhadap ROS. ROS biasanya dihasilkan saat aktivitas
seluler
normal seperti pada saat respirasi.
Antioksidan enzimatik
seperti
superdioksida dimutase (SOD) dan glutation peroksidase serta antioksidan non
enzimatik seperti asam askorbat dan α-tokoferol, mencegah kerusakan sel oleh
ROS (Slade et al., 1993; Nadeem et al., 2008). Penderita asma biasanya memiliki
kadar asam askorbat, α-tokoferol, dan karetenoid yang rendah (Kelly et al., 1999;
Wood et al., 2005).
Menurut Patel dan Bingham (2006) Vitamin C, β-carotene, magnesium, dan
selenium berhubungan dengan menurunnya prevalensi asma dan mencegah respon
inflamasi pada saluran nafas dengan mengurangi oksigen reaktif dan mencegah
terjadinya peroksidasi lipid. Penelitian pada antioksidan enzimatis dan non enzimatis
3
yang dilakukan oleh Sakesen et al (2008), menunjukan bahwa pertahanan
antioksidan seperti glutation peroksidase dan superdioksida dismutase sangat
rendah pada anak-anak penderita asma. Penelitian retrospektif menunjukan bahwa
asupan tinggi antioksidan (vitamin A,C,E) meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan gejala-gejala penyakit pada saluran nafas. Menurut Tockman et al.,
1986 dan Morabia et al., 1989 individu dengan asupan vitamin A tinggi cenderung
memiliki fungsi paru yang lebih baik. Selain itu menurut Schwartz & Weiss (1994),
asupan vitamin C memiliki hubungan positif dengan FEV1. Sedangkan menurut
Rubin et al., 2004, vitamin E dapat mengurangi ozone yang memicu bronkokonstiksi.
Gaya hidup, lingkungan dan genetik memiliki peran penting dalam kejadian
Asma (Bueso et al., 2011; Devereux et al., 2005). Gaya hidup di antaranya adalah
obesitas, aktivitas fisik serta pola makan (Husemoen et al., 2008; Sutherland et al.,
2008). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa perubahan gaya hidup dan
lingkungan lebih berpengaruh daripada perubahan pada genotipe (Bueso et al.,
2011; Devereux dan Seaton, 2005). Adanya moderinasasi menyebabkan perubahan
besar pada gaya hidup masa kini. Faktor Pola makan tradisional sehat mulai banyak
ditinggalkan dan beralih kepada “Western Diet”. Menurut Huang et al., (2001) dan
Lee et al.,( 2012) “Western Diet” (dikarakteristikan dengan asupan tinggi daging
merah, lemak jenuh, gandum olahan dengan rendah pada asupan gandum utuh,
buah-buahan serta sayuran segar. Menurut Wood (2003), konsumsi buah-buahan
segar sebanyak 300g, dapat mengurangi resiko bagi penderita asma yang tidak
terkontrol, selain itu konsumsi buah-buahan dapat menurukan hiperresponsif paruparu dan prevalensi asma. Sedangkan penelitian yang dilakukan Patel et al., (2006)
4
dan Uddenfeldt et al., (2010), pun menguatkan bahwa diet tinggi buah-buahan serta
sayur-sayuran dapat memberikan perlindungan pada penderita asma dewasa dan
allergi rinitis. Buah-buahan mengandung serat dan antioksidan yang dapat
mengurangi stress oksidatif (Seaton and Brown, 1994). Tidak hanya buah-buahan
dan sayur-sayuran, konsumsi kacang-kacangan seperti almond, hazelnut, biji
pinus,walnut, kacang polong,kacang pistachio dan kacang mete berkaitan dengan
fungsi paru (Gracie et al., 2007).
Penyakit Asma bukan merupakan penyakit kronik yang mematikan. Namun,
Jika terjadi serangan Asma
dan tidak ditangani dengan segera maka dapat
mengakibatkan kondisi serius dan mengancam kesehatan (Arshad dan Babu, 2008).
Asma dapat mengganggu performa kerja, sekolah, dan interaksi kehidupan sosial.
Selain itu asma juga menurunkan kualitas fisik seseorang ditandai adanya gejala
asma bronkial serta tergangguya interaksi kehidupan sosial karena adanya rhinitis (
WHO, 2007). Banyak cara untuk mengantisipasi dan mengatasi serangan asma.
Pengendalian faktor lingkungan merupakan hal terpenting dalam menghindari
pajanan pemicu asma, namun selain itu asupan makanan seseorang pun juga dapat
mempengaruhi frekuensi terjadinya serangan, terutama makanan kaya antioksidan.
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan mengetahui konsumsi
antioksidan dalam menurunkan terjadinya serangan Asma. Status antioksidan dapat
meningkatkan resiko asma dengan mempengaruhi perkembangan fenotip imun
pasien asma, respon provokasi antigen pasien asma dan respon inflammatory
selama dan setelah seranagan asma (Romieu, 2001). Hasil penelitian Wood et al.
(2013), menemukan bahwa tidak hanya asupan rendah antioksidan yang dapat
5
meningkatkan netrofil pada saluran nafas tetapi juga menyebabkan penurunan
fungsi paru dan frekuensi serangan asma. Penelitian akan dilakukan di Poliklinik
Asma Rumah Sakit Persahabat Jakarta Timur. Penelitian dilakukan ditempat ini agar
peneliti mudah mendapatkan data kesehatan penderita asma secara lengkap.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian
ini adalah :
Apakah ada hubungan asupan antioksidan dengan frekuensi serangan
Asma?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui
hubungan
asupan
antioksidan
dengan
frekuensi
serangan asma pasien di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan asupan vitamin A dengan frekuensi
serangan asma pasien di Poliklinik Asma RSUP Persahabatan.
b. Mengetahui hubungan asupan vitamin C dengan frekuensi
serangan asma pasien di Poliklinik Asma RSUP Persahabatan.
c. Mengetahui hubungan asupan vitamin E dengan frekuensi
serangan asma pasien di Poliklinik Asma RSUP Persahabatan.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Program Ilmiah atau Akademik
Memberikan penambahan ilmu pengetahuan dietetika dan wawasan
mengenai antioksidan untuk mencegah terjadinya serangan Asma.
2. Bagi Peneliti
Penelitan ini dapat digunakan sebagai acuan/referensi maupun
kepustakaan dalam melakukan penelitian lanjutan.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi mengenai gambaran asupan antioksidan
dalam mencegah atau mengurangi terjadinya serangan Asma.
E. Keaslian Penelitian
Sebatas pengetahuan peneliti, penelitian dengan judul “Hubungan Diet
Antioksidan Dengan Frekuensi Serangan Asma” belum pernah dilakukan.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain :
1. Penelitian
oleh
Jonathan,
dkk,
2001 yang
berjudul
“Dietary
Antioxidants and Asthma in Adults Population -based Case–Control
Study”. Menunjukan bahwa asupan energy dan konsumsi buah apel
tidak berhubungan dengan asma dengan OR 0,89. Sedangkan
asupan selenium juga tidak berhubungan dengan asma dengan OR
0,84. Asupan anggur merah juga tidak berhubungan dengan derajat
7
keparahan asma. Metode pada penelitian ini adalah case-control.
Perbedaanya adalah pada populasi dan rancangan penelitianya.
2. Penelitian oleh Bidad, dkk, 2010 “Dietary Intakes in Asthmatic and
Non-Asthmatic Female Pupils of Tehran” menunjukan bahwa asupan
PUFA dan Asam Lemak secara signifikan lebih tinggi pada penderita
asma dibandingkan bukan penderita asma, masing-masing P =
0,005, P =0.029. Sedangkan pada asupan mikronutrien, kalsium,
natrium lebih tinggi pada penderita asma dibandingkan bukan
penderita asma, masing-masing P = 0.005 dan P = 0.009. Sedangkan
pada asupan antioksidan pada kedua kelompok tidak ada perbedaan
signifikan (β-carotene, vitamin C and E dan selenium). Metode pada
penelitian ini adalah cross sectional. Perbedaanya adalah pada
populasi dan rancangan penelitianya.
3. Penelitian oleh Balcom, dkk, 2006 yang berjudul “Antioxidants,
oxidative stress, and pulmonary function in individuals diagnosed with
asthma or COPD” , menunjukan bahwa serum b-cryptoxanthin,
lutein/zeaxanthin, dan retinol, and dietary b-carotene, b-cryptoxanthin,
lutein/zeaxanthin, vitamin C, dan likopen mempengaruhi FEV1 5 ( P<
0.05). Begitu pula pada serum vitamin b-kriptoxantin, b-karotene,
vitamin C dan lutein/zaexanthin berkaitan dengan FVC % (P < 0.05).
Sedangkan eritrositik glutation tidak ada kaitanya dengan FEV1 %,
dan plasma TBARS (Thiobartituric acid relatives substances) juga
tidak ada kaitanya dengan FVC %. Metode pada penelitian ini adalah
8
cross sectional. Perbedaanya adalah pada populasi dan rancangan
penelitianya.
4. Penelitian oleh Allen, dkk, 2008 yang berjudul “Association between
antioxidant vitamins and asthma outcome measures: systematic
review and meta-analysis” , menunjukan bahwa Asupan vitamin A
secara signifikan mengurangi serangan asma dengan 182 mg/hari .
Selain itu pada penderita asma terjadi penurunan serum darah
vitamin A. Rendahnya asupan
vitamin C berkaitan dengan
peningkatan resiko asma dan mengi. Rendahnya asupan vitamin E
tidak berkaitan dengan serangan asma namun pada penderita asma
sedang-berat memiliki asupan vitamin C yang rendah. Metode pada
penelitian ini adalah kohort. Perbedaan terdapat pada populasi dan
rancangan penelitian.
5. Penelitian oleh Wood, dkk, 2008 yang berjudul “Reduced circulating
antioxidant
defences
are
associated
with
airway
hyper-
responsiveness, poor control and severe disease pattern in asthma”
menunjukan bahwa : penderita asma dengan hiperresponsif saluran
nafas memiliki serum darah b-carotene, a-tocoperol dan total
tocoperol lebih rendah dibandingkan pada penderita asma yang tidak
hiperresponsif saluran nafas. Subyek dengan asma tidak terkontrol
memiliki plasma antioksidan yang rendah dibandingkan dengan asma
terkontrol sebagian dan terkontrol penuh. Subyek dengan asma berat
persisten memiliki serum dara a-tokoferol rendah dibandingkan
9
dengan subyek asma ringan-sedang. Metode pada penelitian ini
adalah eksperimental. Perbedaan terdapat pada populasi dan
rancangan penelitian.
6. Penelitian oleh Gilliland, dkk, 2002 yang berjudul “Children’s Lung
Function and Antioxidant Vitamin, Fruit, Juice, and Vegetable Intake”
menunjukan bahwa Rendahnya asupan vitamin C (≤10th percentile)
berkaitan dengan penurunan forced vital capacity (FVC) pada anak
laki-laki maupun anak perempuan dan penurunan FEV1 (forced
volume in 1 second) lebih besar pada anak perempuan ; FEF (forced
expiratory flow) berkisar antara 25%-75%. Rendahnya asupan vitamin
E berkaitan dengan rendahnya FEF 25-75 (forced expiratory flow).
Penurunan FEF juga berkaitan dengan rendahnya asupan vitamin A
pada anak-anak dan rendahnya total vitamin A pada anak-anak lakilaki berkaitan dengan serangan asma. Rendahnya asupan jus jeruk
dan berbagai jus lainya sebagai sumber vitamin C, berkaitan dengan
penurunan FVC dan FEV1 pada anak-anak laki-laki. Sehingga dapat
disimpulkan peurunan fungsi paru terdapat pada anak-anak dengan
asupan vitamin antioksidan yang rendah. Perbedaean Perbedaan
terdapat pada populasi dan rancangan penelitian.
7. Penelitian oleh Wood, dkk, yang berjudul “Manipulating antioxidant
intake in asthma: a randomized controlled Trial”, menunjukan bahwa
Asupan antioksidan yang rendah menyebabkan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko ekaserbasi asma dibandingkan pada
10
asupan antioksidan yang tinggi. Diantara subyek asupan antioksidan
rendah tidak ada perbedaan inflamasi atau efek klinis pada yang
mengkonsumsi
suplemen
antioksidan
dan
placebo.
Namun
suplementasi dan asupan antioksidan meningkatkan konsentrasi
antioksidan dan memperbaiki efek klinis asma. Perbedaan terdapat
pada populasi dan rancangan penelitian.
11
Download