perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB I

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Solo atau Surakarta adalah kota kuno yang dibangun oleh Sinuhun
Paku Buwana II. Riwayat kota ini tidak bisa lepas dari sejarah Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat penerus Kerajaan Mataram Islam. Saat ini Surakarta
dikenal sebagai lokasi inti kebudayaan jawa kuno karena secara tradisional pernah
menjadi pusat kegiatan politik dan pengembangan tradisi Jawa pada zaman
kerajaanya berjaya. Budaya merupakan salah satu hasil dari adanya proses
komunikasi pada suatu komunitas. Interaksi sosial dalam komunitas budaya di
Surakarta diwujudkan dalam ritual yang sarat akan makna dan harapan,
berdasarkan tradisi Keraton Kasunanan sebagai wadah pembentuk budaya Jawa.
Bangunan Keraton Kasunanan Surakarta masih kokoh berdiri hingga saat
ini, sebagai salah satu saksi sejarah dan museum hidup bagi pelestarian budaya
Jawa. Eksistensi keraton tersebut membawa implikasi sosial budaya bagi sebagian
besar masyarakat setempat dalam menjadikan kebiasaan dan tradisi yang
berkembang di dalam keraton sebagai „model‟ dalam bertingkah laku yang bisa
diteladani oleh orang-orang Jawa. Berbagai peninggalan masa kejayaan Keraton
Kasunanan Surakarta merupakan bukti peradaban manusia Jawa. Peradaban ini
kaya akan karya-karya sastra, tradisi, kesenian, upacara ritual dan beragam bentuk
commit
to user
pengaktualisasian diri manusia Jawa,
yang
dalam beberapa sisi permunculannya
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan perpaduan antara tradisi Hindu, Budha, dan Islam. Secara umum
orang Jawa memiliki sikap nrimo, sebuah sikap yang merupakan pencerminan
akan pengakuan manusia Jawa terhadap kekuatan alam, bahwa kehidupan
manusia diatur oleh alam.
Orang-orang Jawa dahulu selalu berinteraksi dengan alam, karena
teknologi pengetahuan dan organisasi yang rendah, maka mereka melihat alam
sebagai kenyataan luar biasa, tak terjangkau dan menguasai manusia. Alam adalah
subjek, karena keadaan yang tidak berdaya itu berlangsung selama ribuan tahun,
katakanlah di lingkungan elit mulai tahun 1990-an ketika mulai ditemukan idea of
progress, cita-cita kemajuan dan lingkungan gross roots bahkan sampai masa
kini, maka identitas kebudayaan Jawa diambil darinya (Kuntowijoyo, 1990:108).
Kebudayaan dapat tercermin melalui simbol-simbol seperti kepercayaan,
ilmu, mitos, bahasa, seni, dan sastra. Tidak heran apabila aktualisasi diri terhadap
kepercayaan secara kognitif diwujudkan melalui ritual tradisional hingga
sekarang. Di Surakarta salah satu ritual besar tahunan yang selalu digelar adalah
peringatan 1 Suro. Malam 1 Suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan
untuk menyambut tahun baru. Dalam perhitungan Jawa, 1 Suro dimulai dari
terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa. Tradisi
peringatan 1 Suro atau Suran diprakarsai oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo
raja Mataram, dari waktu ke waktu terus berkembang dan masih dipelihara di
berbagai daerah di Jawa, yang disesuaikan dengan tata cara masing-masing
kelompok. Tradisi Suran cenderung bersifat prihatin, kesiagaan lahir batin, mawas
commit to user
diri, pengendalian diri, dan berserah diri kepada Tuhan YME. Salah satu
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bentuknya adalah menyiagakan pusaka, di Surakarta hal ini dilakukan dengan
tradisi kirab, yang berkembang sekitar pertengahan abad 20 dilakukan oleh
Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran bersama masyarakatnya
masing-masing (Bratasiswara, 2000:367).
Ritual menciptakan perasaan tertib dalam dunia yang terkadang tampak
kacau balau. Melalui sarana ritual memungkinkan para pesertanya berbagi
komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka. Saat menjelang
ritual malam 1 Suro kepadatan kota Surakarta meningkat menjelang petang.
Rombongan orang rata-rata berumur separuh baya, berasal dari Tawangmangu di
Lereng Lawu sengaja turun gunung berjalan menuju nagari (Solo) sebagai
kelengkapan tirakat. Sebagian lainnya berasal dari daerah sekitar Solo, seperti
Boyolali, Wonogiri, Sragen, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo (Bratasiswara,
2000:802). Mendekati tengah malam, halaman keraton dan sepanjang rute kirab
dipadati kerumunan warga yang secara otomatis menyatu dalam suasana ritual
Jawa yang sakral.
Harapan-harapan positif dalam menyambut malam 1 Suro dipresentasikan
oleh keraton secara kognitif kepada khalayak dengan sarana kirab pada tengah
malam sekitar pukul 00.00. Sebagai komunikator, Keraton mengajak masyarakat
untuk merenung dan berinstrospeksi diri diperlihatkan dengan prosesi yang sarat
akan simbol, dimulai dari kompleks Kamandungan melalui gerbang Brojonolo
kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan putaran
jarum jam dan berakhir di halaman keraton. Garis keliling kirab pusaka sangat
commit to user
simbolik, karena selalu menempatkan letak keraton di sisi kanan (pradaksina), hal
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini mengingatkan pada tradisi tua penataan relief di dinding candi (Alfian,
1985:124).
Dalam prosesi Kirab Malam 1 Suro, pusaka keraton menjadi simbol
utama pada tiap kelompok barisan. Tiap kelompok, biasanya terdiri dari para
kerabat keraton, abdi dalem, dan masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap
kirab tersebut. Pada barisan terdepan terdapat point of interest berupa sekawanan
kerbau albino yang diberi nama Kebo Bule Kyai Slamet yang senantiasa berhasil
merebut perhatian khalayak ditengah kerumunan manusia. Sebelum diarak, Kebo
Bule Kyai Slamet dijamasi yaitu dimandikan dengan air bunga setaman sekitar
pukul 16.00. Sepaket simbol-simbol harapan dalam bentuk makanan untuk Kebo
Bule Kyai Slamet disebut sebagai sesaji “Pepak Ageng”. Sesaji itu berupa nasi
tumpeng dengan aneka macam lauknya, pisang, ubi-ubian, dan minum kopi.
Pangon atau penggembalanya harus memakai sumpingan gajah oling yaitu
rangkaian bunga melati yang pucuknya diberi kembang kanthil dan dipakai di
telinga (Karaton Kasunanan dan Lembaga Penelitian UNS, 2002:25).
Kebo Bule Kyai Slamet hingga saat ini diasumsikan oleh masyarakat
Surakarta sebagai jimat yang memiliki kekuatan lebih. Sesungguhnya yang
bernama Kyai Slamet adalah pusaka tombak, oleh pihak keraton dipercaya
peninggalan zaman Sultan Agung dan memiliki kekuatan melindungi dari segala
bahaya. Sedangkan Kebo Bule merupakan klangenan (kebanggaan) Keraton
Kasunanan untuk mengawal tombak tersebut. Masyarakat di luar tembok keraton
tidak banyak yang mengetahui bahwa sebutan untuk Kebo Bule didapat dari
commit to user
tombak Kyai Slamet yang dijaganya. Dalam istilah Jawa, penurunan nama
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut dikenal dengan istilah nunggak semi, sehingga orang-orang menaruh
harapan besar, bahwa kebo bule akan mendatangkan keselamatan bagi semua
orang. Bukan hanya melalui aura yang dimiliki kerbau itu, tetapi juga dari fisik
dan segala hal yang melekat di kebo bule termasuk air seni dan kotoranya
(Karaton Kasunanan dan Lembaga Penelitian UNS, 2002:24).
”Pusaka dan kerbau ini diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat.
Dengan ritual kirab, Tuhan akan memberi keselamatan dan kekuatan,
seperti halnya Ia memberi kekuatan kepada pusaka yang dipercaya
masyarakat Jawa memiliki kekuatan,” ungkap Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo (KGPH) Puger. (gladhenbasajawa.blogspot.com, akses pada 1
Februari 2012)
Wujud fisik Kebo Bule memang hewan, namun kedudukannya dalam kosmologi budaya Jawa (Keraton Kasunanan khususnya) mendapat perlakuan seperti
manusia. Dalam bahasa sehari-hari, abdi dalem yang mengawasi kerbau ini menganggap peliharaannya seperti “tuan” atau “bendara” (Keraton Kasunanan dan
Lembaga Penelitian UNS, 2002:25).
Keunikan terjadi ketika kawanan Kebo Bule Kyai Slamet mulai bergerak
sebagai pembuka kirab. Interpretasi berlebihan terjadi di masyarakat, mereka rela
berdesak-desakan, diantaranya memperebutkan kotoran lunak yang bercecer di
jalan dengan tangan telanjang, bahkan rela mengelap air kencing Kebo Bule
kemudian memerasnya ke dalam botol atau plastik. Kotoran tersebut selalu
diperebutkan karena menurut sebagian orang dipercaya sebagai tolak bala, dapat
menyembuhkan berbagai penyakit (Keraton Kasunanan dan Lembaga Penelitian
UNS, 2002:25). Masyarakat tradisional berasumsi bahwa Kebo Bule Kyai Slamet
commit to user
hewan keramat dan bertuah. Para petani di pedesaan meyakini dengan menanam
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sedikit air kencing dan kotoranya di empat sudut sawahnya, padi atau apapun
yang mereka tanam mendapat panen berlimpah, terhindar dari ancaman hama
tanpa harus disemprot insektisida.
Dalam fenomena budaya yang terjadi di Surakarta ini, proses komunikasi
memiliki andil besar dalam lahirnya fenomena Kebo Bule Kyai Slamet. Khalayak
memandang Kebo Bule Kyai Slamet bukan sekedar simbol, tetapi benar-benar
menjadi sesuatu yang disegani. Sebagai hewan yang istimewa, kerbau dipandang
sebagai binatang sabar dan kuat. Di tangan manusia, kerbau menjadi korban
dalam ritual-ritual, di sisi lain membantu petani membajak sawah. Tidak heran
jika di malam 1 Suro orang-orang memperebutkan kotoran Kebo Bule Kyai
Slamet. Ini adalah ungkapan bahwa Kebo Bule mempunyai kekuatan gaib, yang
dipercaya orang-orang Jawa mampu mendatangkan berkah. Bahwa yang
sebenarnya, adalah bentuk penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi dan
kemuliaan yang dimiliki oleh Kebo Bule (andrikpurwasito.blog.com, akses pada 1
Februari 2012).
Dalam fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro ini,
interpretasi pesan di masyarakat awam tidak bisa lepas dari cerita lampau yang
dituturkan dari mulut ke mulut berkaitan dengan daya magis yang dimilikinya.
Salah satu kejadian masa lalu yang diceritakan Andrik Purwasito dalam blognya
bahwa Kebo Bule memang dibiarkan hidup secara bebas, bergerak dari Alun-alun
Kidul sampai ke berbagai penjuru dan pelosok kota. Menurut kisahnya, orangorang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke keraton. Juga
commit to user
pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari 100 km dari Keraton, di Wonogiri dan kota-kota lain. Gaibnya adalah ketika
ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya
di malem 1 Suro. Tanpa diundang sebelum malam 1 Suro tanpa diketahui
datangnya,
mereka
sudah
berada
di
keraton
menunggu
tugasnya.
(andrikpurwasito.blogspot.com, akses pada 1 Februari 2012).
Dari
fenomenologi,
beberapa
menurut
kejadian
tersebut,
Hans-George
ada
Gadamer
kaitannya
bahwa
dengan
tradisi
seseorang
selalu
memahami pengalaman dari sudut pandang perkiraan atau asumsi. Pengalaman,
sejarah dan tradisi memberi kita cara-cara memahami sesuatu serta kita tidak
dapat memisahkan diri dari kerangka interpretatif tersebut. Kita semua merupakan
bagian dari masa lalu, berada di masa kini, dan merasakan masa depan. Dengan
kata lain masa lalu berjalan dalam diri kita di masa kini dan mempengaruhi
gambaran kita terhadap yang akan datang. Pada saat yang sama, gagasan kita
tentang
realitas
memengaruhi
bagaimana
kita
memandang
masa
lalu.
Kontribusinya sangat kuat dalam memberikan sebuah sudut pandang dan
kekuatan tradisi (Littlejohn, 2009:198).
Kenyataan yang terjadi antara pihak dalam keraton sebagai penyelenggara
acara yang dalam proses terjadinya fenomena ini berperan sebagai komunikator
dengan khalayak diluar tembok keraton sebagai komunikan, memiliki pemaknaan
yang berbeda tentang keberadaan Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro.
Adanya tradisi berebut kotoran kebo bule terjadi karena adanya proses
komunikasi yang menghasilkan feedback berupa fenomena. Aksi berlebih
commit to user
terhadap Kebo Bule muncul karena kegagalan intepretasi pesan pada khalayak,
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bukan berasal dari keraton sebagai komunikator. Pihak keraton tidak
membenarkan tentang tradisi berebut kotoran Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab
Malam 1 Suro.
Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo
(GPH) Puger menuturkan, Keraton Surakarta tidak pernah
menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah.
”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat
pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai
cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan.
Mereka sekadar membutuhkan semangat untuk bangkit.”(
gladhenbasajawa.blogspot.com, akses pada 1 Februari 2012)
Dari kajian ilmu komunikasi, fenomena ini merupakan feedback secara
kognitif dari adanya miskomunikasi antara komunikator dan komunikan. Dapat
dilihat bahwa tradisi budaya dan komunikasi mempunyai hubungan timbal balik.
Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada giliranya
komunikasipun turut menentukan arah keberlangsungan budaya tersebut. Menurut
Edward.T.Hall, “budaya adalah komunikasi” dan “komunikasi adalah budaya”.
Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme menyampaikan normanorma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat ke
masyarakat lainya, maupun secara vertikal dari generasi ke generasi (Mulyana,
2007: 6-7).
Sedangkan menurut Astrid S. Susanto, kebudayaan adalah kebutuhan
psikologis manusia dalam mengekspresikan diri, bagaimana ia melihat hubungan
antara diri dan lingkungan manusia serta non manusianya. Biasanya kebudayaan
mencerminkan hubungan antara manusia dengan kekuatan diluar manusia, dengan
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
usaha
manusia
digilib.uns.ac.id
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
kekuatan
tersebut.
Menyenangkan hati kekuatan (gaib) tersebut dan lain-lain (Susanto, 1980:11).
Dalam penelitian ini, penulis melihat proses komunikasi dan pemaknaan
pesan pada fenomena Kebo Bule Kyai Slamet. Pada proses interpretasi mengenai
kebo bule sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar dan hati-hati.
Fenomenologi secara harafiah berarti kajian tentang pengalaman sadar dimana
interpretasi mengambil peran yang sangat penting (Littlejohn, 2009:192).
Diungkapkan oleh Wilhem Dilthey dalam penelitian pesan tradisi fenomenologis
didasarkan pada hermeunetika yang merupakan kunci bagi semua ilmu
pengetahuan tentang kemanusiaan dan masyarakat. Bagi Dilthey dunia manusia
adalah sosial dan historis serta memerlukan pemahaman dalam masyarakat,
tempat manusia hidup. Hermeunetika sosial atau kultural diyakini untuk menjadi
alat bantu menafsirkan tindakan (Littlejohn, 2009:193).
Peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan masyarakat saat ini
terhadap adanya fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro.
Kemunculan sebuah fenomena disebabkan adanya persepsi yang timbul di
masyarakatnya. Dikatakan oleh Deddy Mulyana bahwa persepsi adalah inti dari
komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi (Mulyana,
2003:167). Definisi-definisi persepsi menekankan pada penafsiran, interpretasi,
pemaknaan terhadap sensasi, stimuli atau pesan. Persepsi merupakan bagian dari
message reception, dimana message reception menjelaskan bagaimana manusia
mengartikan
(interpreting),
mengorganisir (organizing) dan memberikan
commit to user
penilaian (judgement) suatu informasi dalam pesan (Littlejohn,1998:150).
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pola perilaku seseorang didasarkan pada persepsi mereka mengenai
realitas sosial yang telah dipelajari. Persepsi manusia terhadap seseorang, objek,
atau kejadian, atau reaksi mereka terhadap hal-hal tersebut didasarkan pada
pengalaman masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek, atau kejadian
serupa. Dalam psikologi Komunikasi, Jalaludin Rakhmat mendefinisikan persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat,
2001:51). Faktor psikologis ini terdiri dari 3 faktor, yaitu fungsional (kebutuhan
pengalaman masa lalu), struktural (dalam mempersepsi secara keseluruhan
konteksnya) dan perhatian (internal dan eksternal). Faktor psikologi setiap orang
berbeda, hal ini yang membuat persepsi satu orang dengan yang lain berbeda.
Adanya persepsi dalam fenomena kebo bule ini juga merupakan salah satu faktor
penentu keberlangsungan tradisi tersebut. Karena dapat mencerminkan sejauh
mana kepedulian masyarakat terhadap keberadannya.
Peneliti akan menganalisis fenomena ini melalui pendekatan fenomenologi
untuk mengetahui persepsi masyarakat (komunikan) dalam melihat fenomena
kebo bule Kyai Slamet pada tradisi Kirab Malam 1 Suro (saluran) di Keraton
Kasunanan Surakarta (komunikator), persepsi apa sajakah yang berkembang dan
mendasari fenomena unik terhadap Kebo Bule di kirab malam 1 Suro yang
berlangsung di Surakarta sejak puluhan tahun lalu, dan antusiasme masyarakat
masih sangat terlihat hingga saat ini.
Benang merah dalam penelitian ini fokus pada kajian proses komunikasi
commit to user
yang membentuk adanya Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet. Proses komunikasi
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut terdiri dari proses produksi dan penerimaan pesan, yang peneliti analisis
menurut teori yang diungkapkan oleh Stephen W. Littlejohn (1998). Littlejohn
menguraikan bahwa teori pembuatan dan dan penerimaan pesan menggunakan
tiga tipe penjelasan psikologis; penjelasan sifat, penjelasan keadaan dan
penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang
relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat variabel lain
sebagai hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu.
Secara karakter terlihat bahwa dalam penelitian ini subyek masyarakat keraton
(komunikan) memposisikan pada kedudukan lebih tinggi sebagaimana pola
komunikasi di kerajaan antara gusti-kawula. Sedangkan khalayak yang terdiri dari
komunikan masyarakat awam dan ahli, memiliki background pendidikan dan latar
belakang sosial yang berbeda, sehingga sikap mereka ditentukan oleh pengalaman
masing-masing.
Pendekatan selanjutnya yang ditemukan dalam teori pembuatan dan
penerimaan pesan adalah penjelasan proses. Penjelasan proses berupaya
menangkap mekanisme pikiran manusia. Penjelasan ini berfokus pada cara
informasi diperoleh dan disusun, bagaimana memori digunakan dan bagaimana
orang memutuskan untuk bertindak. Memori-memori yang terdapat di masyarakat
adalah obyek penelitian dalam penelitian ini, yang di analisis dihimpun dari
persepsi masyarakat Keraton Kasunanan Surakarta sebagai sumber komunikan,
serta masyarakat awam dan ahli sebagai komunikan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang hasil dari proses komunikasi yang bekerja di balik “Fenomena Kebo Bule
commit
to user
Kyai Slamet dalam Kirab 1 Suro di
Keraton
Kasunanan Surakarta” .
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini terdiri dari:
1. Bagaimana persepsi masyarakat keraton di Surakarta sebagai komunikator
pada fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton
Kasunanan Surakarta?
2. Bagaimana persepsi masyarakat awam di Surakarta sebagai komunikan
pada fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton
Kasunanan Surakarta?
3. Bagaimana persepsi masyarakat ahli di Surakarta sebagai komunikan pada
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton
Kasunanan Surakarta?
4. Apakah terjadi miskomunikasi antara komunikator dan komunikan pada
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Persepsi masyarakat keraton di Surakarta sebagai komunikator pada
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton
Kasunanan Surakarta.
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Persepsi masyarakat awam di Surakarta sebagai komunikan pada
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton
Kasunanan Surakarta.
3. Persepsi masyarakat ahli di Surakarta sebagai komunikan pada fenomena
Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton Kasunanan
Surakarta.
4. Miskomunikasi antara komunikator dan komunikan pada fenomena Kebo
Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bukti penerapan
dan
pengembangan teori komunikasi, wacana, logika dan riset yang didapat oleh
peneliti selama di bangku kuliah. Disamping itu, sebagai syarat utama bagi
peneliti dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.
2. Secara Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan yang tepat bagi:
a. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat menerjemahkan lebih jelas mengapa terbentuk fenomena
Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta.
Sejauh mana persepsi tersebut mempengaruhi keberlangsungan tradisi ini.
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sehingga diharapkan dapat mengambil pesan-pesan positif dari fenomena
budaya tersebut dan menyadari pentingnya menjaga kearifan lokal yang kita
miliki.
b. Bagi Keraton Kasunanan Surakarta
Memberikan masukan tentang apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap
Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro. Sehingga sebagai pelindung
budaya dan tradisi Keraton Kasunanan Surakarta dapat mengambil sikap dalam
menyikapi fenomena ini. Serta dapat terus menunjukkan eksistensinya dan
menjadi muara peradaban budaya jawa yang adhi luhung.
c. Bagi Pemerintah Kota Surakarta
Sebagai masukan untuk lebih memelihara dan mempromosikan peristiwa
budaya di Surakarta, terutama serangkaian Kirab Kebo Bule Kyai Slamet di
Malam 1 Suro sebagai daya tarik wisata yang unik dan hanya ada di Surakarta.
Serta mengembangkan fasilitas-fasilitas yang mendukung, sehingga upacaraupacara tradisional dapat disaksikan
dengan nyaman dan aman oleh para
wisatawan.
commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Telaah Pustaka
1. Komunikasi
Menurut Deddy Mulyana (2007: 67) bahwa suatu pemahaman populer
mengenai
komunikasi
manusia
adalah
komunikasi
yang
mengisyartkan
penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang
(sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) maupun melalui
media. Definisi lain menurut Carl I. Hovland (dalam Mulyana, 2007: 68)
komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah
perilaku orang lain (komunikate/komunikan). Dalam penelitian in, proses
komunikasi berlangsung antara komunikator (lembaga keraton yang diwakili oleh
masyarakat keraton) kepada komunikan (masyarakat ahli dan awam) yang terjadi
di Surakarta, secara tidak langsung melalui saluran komunikasi Kirab Malam 1
Suro.
Definisi lain oleh Lawrence dan Schramm memberi penjelasan bahwa
komunikasi dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran pesan: yaitu dengan
memperhatikan bagaimana suatu pesan berinteraksi dengan masyarakat yang
bertujuan untuk memproduksi makna. Makna baru timbul jika orang menafsirkan
isyarat atau simbol dan berusaha memahami aspek pikiran, perasaan, konsep
(Lawrence & Schramm, 1987:77). Berikut model komunikasi Schramm :
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan 1.1 Model Proses Komunikasi Schramm
Encoder
Interpreter
Decoder
Message
Decoder
Interpreter
Encoder
Proses Komunikasi Schramm
Sumber: D. Lawrece & Schramm Azas-azas Komunikasi Antar Manusia, LP3ES, Jakarta,
1987, hal 77
Pesan yang disampaikan oleh sumber tidak akan memiliki arti jika
penerima pesan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk men-decode pesan
tersebut, yaitu proses memberikan makna balik terhadap pesan tersebut. Ketidak
pahaman atas sebuah pesan yang disampaikan oleh sumber kepada penerima
pesan seringkali terjadi, tetapi di sini bukan berarti telah terjadi kegagalan dalam
berkomunikasi. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan faktor lingkungan dan latar
belakang sosial budaya yang berbeda antara kedua belah pihak.
Model komunikasi lainnya diungkapkan oleh David K. Berlo, dia
menjangkau secara lebih mendalam pada beberapa komponen utama proses
terjadinya komunikasi. Konsep sumber (sourse) dan penerima (receiver)
diperluas, serta perlakuan dan representasi dari saluran (channel) komunikasi
berbeda dari model komunikasi lainnya.
Model komunikasi SMCR ini, menguji empat variabel kunci yang
menyempurnakan berbagai model komunikasi, yaitu : source (sumber), message
(pesan), channel (saluran), dan receiver (penerima). Dalam hal ini, keunikan cara
commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerja Berlo untuk mendefinisikan saluran komunikasi menjadi catatan yang
penting. Berlo adalah peneliti yang pertama kali menggunakan panca indera
sebagai saluran komunikasi. Sebagai tambahan, ia memperluas konsep sumber
dan penerima. Berlo mencatat beberapa komponen seperti kemampuan
berkomunikasi
(communication
skills),
sikap
(attitudes),
pengetahuan
(knowledge), sistem sosial (social system), dan juga budaya (culture) atau teori
sistem.
Bagan 2 : Model Komunikasi SMCR Berlo
S
M
C
R
source
Message
Channel
Receiver
Communications Skill
ELEMENTS
STRUCTURE
Seeing
Communications Skill
Hearing
Attitudes
Touching
Knowledge
Smelling
Social System
Tasting
Culture
Attitudes
Knowledge
Social System
C
O
N
T
E
N
T
C
O
Treatment
D
E
Culture
(Mulyana, 2007:163)
Komponen yang sama ini merupakan bagian dari profil penerima. Mereka
dapat membuat baik gangguan (noise) di dalam sistem ataupun meningkatkan
akurasi dan tingkat pemahaman dalam menanggapi komunikasi, tergantung dari
individu dan konteks. Namun bagaimanapun, gangguan tidak secara eksplisit
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teridentifikasi dalam model ini, dan respon (feedback) pun juga tidak ada. Dalam
hal ini, Berlo lebih menekankan bahwa komunikasi harus dilihat sebagai proses,
penghilangan respon (feedback) secara khusus menimbulkan masalah. Pada
tingkat minimum, model tersebut harus termasuk di dalamnya respon balik (feed
back loop) yaitu anak panah yang menghubungkan dari receiver (penerima)
kembali ke source (sumber).
2. Produksi Pesan
Littlejohn (1998: 101-105) menguraikan bahwa teori pembuatan dan dan
penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis; penjelasan sifat,
penjelasan keadaan dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada
karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi
dengan sifat-sifat variabel lain sebagai hubungan antara tipe personalitas tertentu
dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori-teori ini memprediksikan bahwa ketika
seseorang
memiliki
sifat-sifat
personalitas
tertentu,
akan
cenderung
berkomunikasi dengan cara-cara tertentu pula.
Penjelasan keadaan berfokus pada keadaan dengan pikiran yang dialami
seseorang dalam suatu periode waktu. Tidak seperti sifat, keadaan secara relatif
tidak stabil dan tidak kekal. Dalam hal ini ditekankan bahwa keadaan tertentu
yang dialami seseorang mempengaruhi pengiriman dan penerimaan pesan.
Penjelasan sifat dan keadaan dapat digunakan secara bersama-sama.
Perilaku hanya sebagian ditentukan oleh sifat dan situasional. Bagaimana
komunikasi pada saatnya bergantung pada sifat-sifat tertentu yang kita miliki dan
situasi dimana kita menemukan diri sendiri.
commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pendekatan ketiga yang ditemukan dalam teori pembuatan dan penerimaan
pesan adalah penjelasan proses. Penjelasan proses berupaya menangkap
mekanisme pikiran manusia. Penjelasan ini berfokus pada cara informasi
diperoleh dan disusun, bagaimana memori digunakan dan bagaimana orang
memutuskan untuk bertindak. Dalam penguraian teori produksi pesan terdapat
banyak aspek yang mempengaruhi proses produksi pesan tersebut. Namun, dalam
diantara penjelasan dalam Littlejohn (1998, 101-105), berikut teori yang sesuai
dengan penelitian Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet ini, antaralain:
-
Teori Sensitivitas Retoris
Teori Sensitivitas Retoris oleh Roderich Hart dan koleganya. Mereka
berpendapat bahwa komunikasi efektif muncul dari sensitivitas dan kepedulian
dalam menyesuaikan apa yang dikomunikasikan komunikator (dalam penelitian
ini adalah Masyarakat Keraton) terhadap komunikan (Masyarakat Awam dan
Ahli). Sensitivitas retoris merupakan sikap yang menunjukkan tendensi-tendensi
untuk mengadaptasikan pesan ke khalayak.
Sensitivitas retoris mewujudkan kepentingan individu, kepentingan orang
lain, dan sikap situasional. Sikap ini membawa ke arah pemahaman yang lebih
efektif dan akseptasi ide-ide. Orang-orang yang sensitif retoris menerima
kompleksitas personal, memahami bahwa individu merupakan sebagian dari
banyak diri. Individu adaptif retoris menghindari kekakuan dalam berkomunikasi
dan berupaya mengembangkan kepentingan sendiri dalam berkomunikasi dengan
kepentingan orang lain. Individu ini juga mencoba menyesuaikan apa yang
mereka katakan pada level, mood, dan keyakinan orang lain. Tidak meninggalkan
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai-nilai pribadi, namun menyadari bahwa dirinya dapat mengkomunikasikan
nilai-nilai dengan berbagai cara. Orang yang sensitif retoris sadar akan kesesuaian
mengkomunikasikan atau tidak mengkomunikasikan ide-ide tertentu dalam
situasi-situasi yang berbeda. Suatu ide dapat diekspresikan dengan banyak cara
dan dapat diadaptasikan kepada audience menjadi efektif. Seperti halnya yang
terjadi pada masyarakat awam, mereka menerjemahkan dan memberikan timbal
balik dengan cara mereka sendiri sehingga memunculkan aktivitas ngalap berkah.
Variasi antara orang-orang nampak berhubungan dengan berbagai faktor,
termasuk perbedaan filosofis, ekonomi, geografis dan kultural. Kelompok tertentu
seperti keluarga dan kelompok etnis mungkin mengajar dan memperkuat nilainilai tipe tertentu, contohnya; noble self cenderung liberal secara politis, muda dn
kompetitif. Reflector retoris cenderung konservatif dan mereka lebih tua dari ratarata noble self. Sensitifitas retoris kelihatannya menjadi kelas menengah,
teristimewa diantara kelompok yang independen secara politis, dan memiliki
beberapa ikatan etnis.
Terkait dengan gaya komunikator, sensitivitas retoris merupakan individu
yang memilki sikap atau gaya yang menonjol saat mereka berkomunikasi (terlihat
pada Masyarakat Keraton yang berkedudukan tinggi menempatkan pola
komunikasi antara gusti dengan kawula). Robert Norton dan koleganya adalah
peneliti gaya komunikasi dan berpendapat bahwa kita berkomunikasi pada dua
level. Kita bukan hanya memberikan informasi, namun kita juga menyajikan
informasi dalam bentuk tertentu kepada orang lain dan bagaimana memahami dan
bagaimana menanggapi suatu pesan. Norton yakin bahwa isyarat yang terdapat
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam proses komunikasi berfungsi sebagai suatu “pesan gaya” dengan
mengisyaratkan bagaimana suatu pesan harus diterima, disaring, diinterpretasikan
dan dipahami.
Ada sejumlah gaya yang memungkinkan. Setiap gaya adalah suatu
kombinasi dari variabel tertentu. Norton telah menemukan variabel yang dapat
masuk ke dalam gaya keseluruhan individu, termasuk dominasi, perilaku
dramatis, suka berbedebat, semangat, meninggalkan kesan, relaksasi, penuh
perhatian, keterbukaan dan keramahtamahan. Tumpang tindih seringkali berada
diantara variabel-variabel tersebut.
3. Teori Penerimaan Pesan
Faktor utama dalam terjadinya sebuah fenomena Kebo Bule Kyai Slamet
di Kirab Malam 1 Suro adalah karena adanya proses komunikasi yang didalamnya
terkandung penerimaan pesan antara pihak keraton dan pihak masyarakat awam.
Pembahasan tentang teori penerimaan pesan berada dalam tradisi kognitif.
Menurut Littlejohn (1998) Kognisi adalah studi tentang pemikiran atau
pemrosesan informasi. Kognisi menuntut dua elemen sentral; struktur-struktur
pengetahuan dan proses-proses kognitif. Struktur pengetahuan terdiri dari
organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang, body of knowledge yang
telah dikumpulkan oleh seseorang. Bahkan pesan yang sederhana pun
membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami. Sedangkan proses
kognitif adalah mekanisme-mekanisme malalui mana informasi diolah dalam
pikiran. Dalam praktek yang nyata, elemen-elemen dari struktur pengetahuan dan
pemrosesan kognitif tidak dapat dipisahkan.
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembahasan teori penerimaan dan pemrosesan pesan menurut Stephen W.
Littlejohn dalam Theories of Human Communications 6th Edition (1998: 126135) terdapat beberapa segmen utama yang saling berinteraksi yaitu:
a. Interpretasi Pesan
Teori-teori pada bagian ini menyinggung tiga aspek interpretasi secara
sentral terhadap komunikasi yaitu; arti-arti yang diberikan kepada konsep,
berkaitan dengan
pemahaman terhadap maksud dari komunikator dan
berhubungan dengan pemahaman akan penyebab dari munculnya perilaku.
Charles Osgood adalah seorang psikolog yang meneliti bagaimana
pengertian berkaitan dengan pemikiran dan perilaku. Ia mengikuti tradisi belajar
klasik yang mengajarkan bahwa belajar adalah sebuah proses pengembangan
asosiasi internal dan eksternal baru terhadap rangsangan seperti kata-kata. Teori
Osgood juga berusaha untuk mempelajari terdiri dari apa konotasi-konotasi itu
dan dari mana mereka berasal terhadap sebuah kata.
Teori belajar yang digunakan Osgood dimulai dengan asumsi bahwa
individu memberi respon terhadap rangsangan di dalam lingkungan, sehingga
membentuk sebuah hubungan stimulus respon (S-R). Osgood meyakini bahwa
asumsi dasar S-R ini bertanggung jawab terhadap pembentukan arti yang
merupakan respon mental internal terhadap sebuah rangsangan.
b. Teori Relevansi
Dan Sperber dan Deidre Wison merupakan tokoh dari teori ini. Teori
commit to user
relevansi berusaha menjelaskan bagaimana
pendengar menjadi paham maksud23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maksud pembicara (komunikator). Model coding (pengkodean) dan model
inferential (penarikan kesimpulan) adalah dua pendekatan pada teori ini.
Dalam model coding, pengartian adalah asosiasi yang sederhana antara
sebuah symbol dan pengertian tentang sesuatu tetapi dalam komunikasi manusia
pengertian lebih kompleks dari itu, karena ia melibatkan maksud-maksud dari
komunikator.
Orang
menghasilkan
pesan-pesan
bukan
sekedar
untuk
menggambarkan pengertian akan sesuatu, tapi juga untuk mencapai tujuan. Dalam
komunikasi, masalah utama bagi pengirim pesan adalah untuk menyampaikan
maksudnya dan masalah utama bagi penerima adalah untuk memahami maksud
tersebut dengan tepat. Penerima dapat menafsirkan maksud hanya dengan menarik
kesimpulan.
Konteks adalah kunci untuk menyimpulkan sebuah maksud. Konteks
adalah rangkaian asumsi yang digunakan untuk memahami sebuah pesan.
Masalahnya adalah bahwa orang memiliki asumsi-asumsi yang berbeda dan
beroperasi di dalam konteks yang berbeda pula. Dengan kata lain, orang hidup
dalam lingkungan kognitif yang berbada.
Relevansi jelas merupakan masalah tingkatan, tergantung pada besarnya
pengaruh kontekstual dan upaya kognitif yang dibutuhkan untuk memproses
informasi tersebut. Supaya efisien, orang berusaha memaksimalkan pengaruh
informasi dan meminimalkan upaya yang diperlukan untuk pemrosesannya. Lebih
jelasnya, relevansi digunakan untuk menentukan maksud yang sesungguhnya dari
si pembicara. Jika pernyataan langsung tidak relevan, secara alamiah akan digali
commit to user
maksud maksud tersirat atau Implicature yang relevan.
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Teori Penghubungan
Teori ini berhubungan dengan cara-cara orang menyimpulkan penyebabpenyebab perilaku. Teori penghubungan mempunyai tiga asumsi dasar. Pertama,
orang berusaha untuk menentukan penyebab perilaku. Kedua, orang membagibagi penyebab secara sistematis. Asumsi ketiga adalah penyebab yang
dihubungkan mempunyai dampak terhadap perasaan dan perilaku orang yang
memandangnya.
Pencetus teori penghubungan, Fritz Heider menyampaikan pemikiran
dasar, bahwa orang berusaha mencari apakah sebuah perilaku yang teramati
disebabkan oleh ciri-ciri situasional atau personal. Sejumlah penyebab perilaku
yang sering terlihat meliputi penyebab-penyebab situasional (dipengaruhi oleh
lingkungan), pengaruh personal, kemampuan melakukan sesuatu, keinginan,
sentimen, pemilikan, kewajiban, dan izin untuk melakukan sesuatu.
Salah satu temuan yang paling umum dari teori ini adalah bahwa
penghubungan seringkali bias. Orang tidak begitu objektif saat melakukan
penarikan kesimpulan oleh karena penilaian mereka hanya didominasi oleh faktorfaktor emosional. Penelitian juga menunjukkan bahwa penilaian awal orang sulit
dihilangkan, tidak peduli bagaimana membuktikannya. Jadi, begitu seseorang
membuat sebuah penghubungan, maka orang tersebut akan cenderung bertahan
dengan penghubungan itu.
commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Teori Integrasi Informasi
Menurut teori ini, semua informasi memiliki potensi untuk mempengaruhi
sikap seseorang, tetapi tingkatannya bergantung pada dua variabel. Pertama,
valensi atau arah. Valensi adalah tingkatan di mana informasi dipandang
mendukung keyakinan seseorang atau tidak. Jika ia mendukung keyakinan dan
sikap seseorang, ia biasanya akan dipandang positif, demikian pula sebaliknya.
Variabel kedua yang mempengaruhi dampak dari informasi adalah bobot
yang diberikan kepada informasi tersebut. Bobot adalah fungsi dari kehandalan.
Jika seseorang berpendapat bahwa informasi itu mungkin benar, maka bobot yang
diberikan akan besar; jika tidak, bobotnya pun akan kecil. Valensi akan
mempengaruhi bagaimana informasi mempengaruhi sikap; bobot mempengaruhi
seberapa besar pengaruh tersebut.
Sebuah sikap, dianggap sebagai sebuah akumulasi dari informasi tentang
sesuatu objek, orang, situasi, atau pengalaman. Jadi, perubahan sikap terjadi
karena informasi baru memberikan tambahan pada sikap atau karena ia merubah
penilaian seseorang tentang bobot atau valensi dari informasi lain. Informasi
apapun biasanya tidak membawa pengaruh yang terlalu besar terhadap sebuah
sikap karena sikap tersebut memuat hal yang bisa menangkal informasi baru
tersebut.
Menurut teori ini, perubahan sikap bisa terjadi dari tiga sumber. Pertama,
informasi dapat merubah kepercayaan atau bobot dari keyakinan-keyakinan
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tertentu. Kedua, informasi bisa merubah valensi dari suatu keyakinan. Ketiga,
informasi dapat menambahkan keyakinan-keyakinan baru pada struktur sikap.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih condong pada teori interpretasi pesan.
Dikarenakan background komunikan mempengaruhi bobot penerimaan pesan, dan
yang terjadi di fenomena ini adalah terjadinya distorsi makna dari komunikator
(masyarakat keraton) yang diterjemahkan dengan tindakan-tindakan berlebihan
oleh para komunikan (masyarakat awam), kemudian ditangkap dengan kacamata
yang berbeda oleh para masyarakat ahli.
4. Persepsi
Persepsi adalah inti dari komunikasi, interpretasi adalah inti dari persepsi,
dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu;
sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana
seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi pada seseorang melalui
proses pengindraan, atensi dan interpretasi. Persepsi cenderung subyektif, karena
diproses pada otak masing-masing individu sehingga memiliki perbedaan dalam
kapasitas penangkapan indrawi dan perbedaan filter konseptual dalam melakukan
persepsi, sehingga pengolahan stimuli dalam diri individu, akan memberikan
makna yang berbeda antara satu dengan yang lain (Mulyana, 2007: 179-183).
Menurut Jalaluddin Rahmat, Persepsi ialah memberikan makna pada
stimuli indrawi (sensory stimuli). Dalam memberikan makna, kita tak hanya
melibatkan sensasi, namun juga atensi, ekspetasi, motivasi, dan memori. Dengan
kata lain persepsi merupakan analisa maupun interpretasi suatu individu terhadap
pesan atau makna, dengan melibatkan
psikologis individu tersebut
commitfaktor-faktor
to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Rakhmat, 2001:51). Kenneth Anderson dalam Rakhmat (2001:52) menyebut
perhatian sebagai proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli yang lain melemah. Perhatian
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal yang meliputi gerak, intensitas
stimuli, kebaruan dan perulangan, sedangkan faktor internal meliputi faktor
biologis dan psikologis. Persepsi merupakan pengalaman tentang obyek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2001:91).
Persepsi dapat juga didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh
individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka
agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Akan tetapi perlu dicatat bahwa
apa yang dipersepsikan seseorang dapat juga berbeda dari kenyataan yang objektif
(Robbins,2002:460).
- Persepsi dan Budaya
Sangat terlihat bahwa hubungan antara persepsi dengan komunikasi
memiliki efek dapat merubah perilaku manusia. Menurut Deddy Mulyana, faktorfaktor internal bukan saja mempengaruhi atensi sebagai salah satu aspek persepsi,
tetapi juga mempengaruhi persepsi kita secara keseluruhan, terutama penafsiran
atas suatu rangsangan. Agama, ideologi, tingkat ekonomi, pekerjaan, sebagai
faktor-faktor internal jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas.
Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya (culture-bound). Bagaimana
kita memaknai pesan, objek, atau lingkungan, bergantung pada sistem nilai yang
kita anut. Persepsi berdasarkan budaya yang telah dipelajari, semakin besar
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbedaan budaya antara individu, semakin besar pula perbadaan persepsi mereka
terhadap realitas. Dalam konteks ini, sebenarnya budaya dapat dianggap sebagai
pola persepsi dan perilaku yang dianut sekelompok orang (Mulyana, 2007:214).
Terdapat enam unsur budaya yang mempengaruhi persepsi kita ketika
berkomunikasi. Diungkapkan oleh Larry A. Samovar dan Richard E.Porter dalam
Mulyana (2007: 214). Unsur tersebut antaralain:
1. Kepercayaan (beliefes), nilai (values), dan sikap (attitudes)
2. Pandangan dunia (worldview)
3. Organisasi sosial (social organization)
4. Tabiat Manusia (human nature)
5. Orientasi kegiatan (activity orientation)
6. Persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others)
Sebagai inti dari komunikasi, oleh sebab itu persepsi memiliki peran yang
dangat penting di dalam penelitian ini. Data-data yang dihimpun untuk
menguraikan fenomena Kebo Bule merupakan hasil persepsi dari para narasumber
berdasarkan kelompoknya masing-masing. Latar belakang pengalaman, budaya
dan psikologis yang berbeda, menjadi dasar penulis menghimpun data untuk
penelitian ini.
F. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini didasari dari adanya gejala akibat
proses komunikasi yang dalam penyampaian pesan antara komunikator (keraton)
dan komunikannya (masyarakat di luar keraton) mengalami kegagalan sehingga
commit to user
menimbulkan miskomunikasi sebagai sebab utama lahirnya fenomena Kebo Bule
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro. Peneliti menganalisis persepsi-persepsi yang
dihimpun dari masyarakat keraton, awam dan ahli untuk mengetahui interpretasi
mereka tentang Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1
Suro.Berikut kerangka berfikir dalam bentuk skema:
Fenomena Kebo
Bule Kyai Slamet
kok
Komunikator:
Masyarakat
Keraton
Persepsi Masyarakat
Surakarta Terhadap Kebo
Bule Kyai Slamet
Komunikan:
*Masyarakat
awam
*Masyarakat
Ahli
Hasil
penelitian
Bagan 3 : Kerangka Perpikir
G. Definisi Konseptual
a. Persepsi
Persepsi menurut John R.Welburg dan William W. Wilmot dalam Deddy
Mulyana (2007:180) didefinisikan bahwa persepsi adalah cara organisme
memberi makna. Sedangkan Rudolph F. Verderber mendefinisikan sebagai proses
to user
menafsirkan informasi indrawi commit
(Mulyana,2007:180).
Antara kedua definisi
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut selaras dengan apa yang dirumuskan oleh Jalaludin Rahmat, bahwa
persepsi adalah sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa, dan hubunganhubungan yang diperoleh dari penyimpulan informasi dan menafsirkan pesan
(Rakhmat,2001:51). Sehingga persepsi merupakan sebuah pemaknaan dari sebuah
peristiwa yang mengandung sensasi.
Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan
pesan lainnya. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin
mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan konsekuensinya
cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.
b. Kebo Bule Kyai Slamet
Kerbau albino yang berada di Keraton Kasunanan Surakarta dikenal
masyarakat luas sebagai Kebo Bule Kyai Slamet. Hewan tersebut merupakan
peliharaan raja, yang saat ini kandangnya terletak di Alun-alun Selatan Keraton
Surakarta.
c. Tradisi Kirab Malam 1 Suro
Perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam 1 Suro jatuh mulai
terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender jawa. Di Keraton
Kasunanan Surakarta ritual malam 1 suro dilakukan pada tengah malam dengan
cara kirab benda-benda pusaka dengan Kebo Bule Kyai Slamet sebagai cucuk
lampah.
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Penelitian Persepsi Masyarakat Surakarta terhadap Fenomena Kebo Bule
Kyai Slamet menggunakan paradigma penelitian deskriptif kualitatif dengan data
kualitatif. Dalam prosesnya data kualitatif didapat dari hasil wawancara dengan
responden yang terdiri dari tiga koheren: masyarakat keraton, masyarakat awam,
dan masyarakat ahli. Para responden adalah orang yang dianggap paham,
memiliki kedekatan dengan fenomena Kebo Bule Kyai Slamet, serta mengerti dan
memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab
Malam 1 Suro.
HB Sutopo (2002:78) dalam Metodologi Penelitian Kualitatif menjelaskan
penelitian kualitatif cenderung bersifat kontekstual. Secara kontekstual, dalam
penelitian ini fokus pada penguraian fenomena kebo bule Kyai Slamet yang
terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta berdasarkan persepsi masyarakat, yang
diwakili oleh para responden. Data kualitatif dipergunakan untuk mengetahui
persepsi dari para responden.
Penelitian ini menggunakan cara berpikir induktif. Penyusunan penyajian
data, analisis, hingga kesimpulan dilakukan sesuai dengan rumusan masalah.
Diterapkan pula, model analisis interaktif Miles dan Huberman. Hasil dari
penelitian ini tidak mudah digeneralisasikan, namun dengan patokan terhadap
sesuatu yang bersifat khusus. Hal ini dilakukan dengan pengelompokanpengelompokan hasil wawancara commit
yang menonjol
to user di tiap koheren responden, yang
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diolah menjadi beberapa sub-sub pembahasan yaitu kesimpulan persepsi terhadap
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet dari Masyarakat Keraton, Masyarakat Awam,
dan Masyarakat ahli.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan
dalam penelitian ini
adalah
fenomenologi. Menurut Littlejohn dalam Pawito (2008:54), Fenomenologi
sebagai
suatu gerakan dalam berfikir, fenomenologi dapat diartikan sebagai
upaya studi tentang pengetahuan yang timbul karena rasa kesadaran ingin
mengetahui. Objek pengetahuan berupa gejala atau kejadian dipahami secara
sadar (councious experience). Fenomenologi menganggap pengalaman yang
aktual sebagai data tentang realitas yang dipelajari. Kata gejala (phenomenon
yang bentuk jamaknya adalah phenomena) merupakan asal istilah fenomenologi
dibentuk, diartikan sebagai suatu tampilan dari objek, kejadian, atau kondisikondisi menurut persepsi.
Dalam meneliti peristiwa budaya Kirab Malam 1 Suro yang mengandung
fenomena Kebo Bule Kyai Slamet, peneliti meyakini bahwa fenomena tersebut
merupakan gejala atau kejadian-kejadian yang dipahami melalui pengalaman para
khalayak secara sadar akibat dari adanya proses komunikasi dan interpretasi
pesan. Persepsi yang dihimpun peneliti dari masyarakat Keraton sebagai
komunikator tradisi Kirab Malam 1 Suro, masyarakat ahli dan masyarakat awam
sebagai komunikan akan dianalisis. Oleh karena itu, metode fenomenologi
diperlukan untuk menganalisis persepsi-persepsi narasumber tentang fenomena
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebo Bule Kyai Slamet yang terjadi saat Kirab Malam 1 Suro di Keraton
Kasunanan Surakarta.
3. Subjek Penelitian
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Surakarta yang
dibagi menjadi tiga koheren, yaitu:
a.
Masyarakat Keraton: narasumber berjumlah 5 orang, meliputi keturunan
Pakubuwono, pejabat keraton, dan abdi dalem antaralain:
1. KGPH Puger (Pengageng Sasono Pustoko)
2. KGPH Dipokusumo (Putra Pakubuwono XII, Pengusaha, Dosen)
3. KMA Budhoyoningrat (Staff Sasono Wilopo, Guru)
4. Wiharni (Abdi Dalem)
5. Yanti Utomo Gunadi (Abdi Dalem, Pedagang)
Persepsi masyarakat keraton diperlukan, karena fenomena yang diteliti
bersumber dari Keraton Kasunanan Surakarta, oleh karena itu diperlukan
banyak informasi dari komunikator (masyarakat keraton) tentang tradisi
Kirab Malam 1 Suro yang melibatkan Kebo Bule Kyai Slamet. Terutama
berkaitan dengan asal mula dan maksud upacara tersebut dibuat.
b.
Masyarakat Awam: terdiri dari 4 orang, mereka yang pernah mengikuti
upacara malam 1 suro, dan berasal dari dari warga diluar keraton antaralain:
1. Wartiyem (Pedagang dan Petani)
2. Surepi (Ibu Rumah Tangga)
3. Suroso (Pedagang)
4. Kusnadi (Wiraswasta) commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat awam merupakan audience atau komunikan saat tradisi ini
berlangsung. Ribuan warga dari segala macam profesi, usia, dan latar
belakang pendidikan memadati keraton hingga sepanjang jalan yang dilalui
kirab. Di kalangan masyarakat awamlah fenomena ngalap berkah muncul dan
dituturkan dari mulut ke mulut dengan berbagai kisah magis hingga saat ini.
c.
Masyarakat Ahli: dalam kategori ini terdapat 3 orang, terdiri dari dosen,
sejarawan, penulis dan pengamat budaya, antaralain:
1. Prof. Dr. Rustopo.,S.Kar., M.S (Guru Besar Sejarah ISI Surakarta)
2. Insiwi Febriari Setiasih SS,MA (Dosen Sejarah FSSR UNS)
3. Bandung Mawardi (Penulis, Pengamat Budaya)
Sebagai penyeimbang dari sudut pandang keilmuan, perlu didapatkan data
dari pengamatan komunikan masyarakat ahli. Berkaitan dengan fenomena
Kebo Bule di Kirab Malam 1 Suro, banyak hal yang perlu dianilisis secara
kritis dan mendalam oleh para masyarakat ahli, sehingga dapat dimengerti
secara logis.
4. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, merupakan
data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dengan para responden
dan observasi pada Kirab Malam 1 Suro yang telah dilakukan.
Proses wawancara dilakukan secara terpisah, dengan narasumber yang
dibagi menjadi 3 koheren, yaitu : masyarakat keraton (5 orang), masyarakat awam
(4 orang), dan masyarakat ahli (3 orang). Keseluruhan narasumber berjumlah 12
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang. Data yang didapat dari wawancara dikuatkan dengan teori, jurnal, dan
artikel yang relevan.
5. Teknik Sampling
Sampel yang diambil sebagai calon responden dari jumlah populasi
keseluruhan, menggunakan metode purposive sampling. Hal ini karena penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dan mempunyai tujuan khusus dalam
mengambil sampel untuk mendapatkan data yang diperlukan sesuai dengan
penelitian. Untuk memilih sampel lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive
sampling).
Dalam memilih narasumber, peneliti mempertimbangkan beberapa hal.
Untuk kategori masyarakat keraton, dipilih orang yang berada di lingkungan
keraton, memiliki pengetahuan tentang kebo bule kyai slamet, dan memiliki
kedekatan dengan tradisi kirab malam 1 Suro serta Kebo Bule Kyai Slamet.
Sehingga didapatkan 5 orang sebagai narasumber di kategori ini.
Sedangkan pemilihan masyarakat awam sebagai narasumber, adalah
mereka yang memiliki ketertarikan terhadap Kebo Bule Kyai Slamet,
menyaksikan atau mengikuti Kirab Malam 1 Suro, bahkan pernah ngalap berkah.
Secara keseluruhan, peneliti pernah mewawancarai sejumlah 7 orang, namun
hanya 4 narasumber yang datanya memenuhi syarat dan digunakan dalam
penelitian ini.
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam memilih narasumber pada kategori masyarakat ahli, peneliti
memperhatikan profesi dan tingkat pendidikanya. Mereka adalah orang-orang
yang memiliki keahlian dalam bidang budaya dan sejarah, serta mampu
berpendapat secara ilmiah dalam menanggapi fenomena Kebo Bule Kyai Slamet.
Maka, dipilihlah 1 Guru Besar Sejarah, 1 Dosen, dan 1 Jurnalis. Namun, ditengah
proses analisis data, peneliti mengalami kekurangan data pada narasumber
jurnalis, sehingga harus kembali ke lapangan. Kemudian dipilihlah seorang
kolomnis sekaligus pengamat budaya sebagai narasumber keempat. Total
narasumber yang diwawancarai adalah 4 orang, namun yang valid hanya 3 orang.
Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak dipengaruhi oleh jumlah
sampel. Dalam hal ini, jumlah sampel (informan) bisa sedikit dan bisa juga
banyak tergantung dari tepat tidaknya pemilihan informan kunci dan kompleksitas
dan keragaman (Bungin,2006:54)
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
“indepth interview”. Yaitu wawancara secara mendalam dengan sumber atau
responden. Wawancara mendalam ini dilakukan oleh peneliti, dan dimaksudkan
untuk lebih memfokuskan persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian
(Pawito,2007:133). Dalam penelitian ini, pertanyaan yang diajukan sesuai dengan
interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya, agar alurnya terarah dan
sesuai dengan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini.
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan
untuk melacak berbagai gejala tertentu dari perspektif orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Wawancara dilakukan peneliti secara terpisah, menyesuaikan lokasi
narasumber. Beberapa narasumber dihubungi via telepon terlebih dahulu untuk
kesepakatan waktu dan tempat wawancara, sebagian lainnya langsung
diwawancarai pada saat Kirab Malam 1 Suro tahun 2012.
Dalam wawancara yang telah dilakukan, pertanyaan bersifat luwes
menyesuaikan keadaan saat wawancara berlangsung dan karakter responden.
Bahkan ada salah satu wawancara yang dilakukan sambil berjalan kaki pada
tengah malam 1 Suro, dari halaman keraton hingga daerah Gemblegan. Walaupun
suasana dibuat senyaman mungkin, namun tetap pada garis besar informasi yang
perlu digali.
b. Observasi
Observasi dilakukan pada saat berlangsungnya ritual Kirab Malam 1 Suro
di Keraton Kasunanan Surakarta. Peneliti mengamati peristiwa budaya tersebut
sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2012 dan 2013. Disamping itu, peneliti
beberapa kali berkunjung ke kandang Kebo Bule di Alun-alun Selatan Keraton
Kasunanan Surakarta.
7. Validitas Data
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, dimana data yang satu akan
dikontrol oleh data yang sama dari sumber data yang berbeda. Informasi yang
diperoleh selalu dikomparasikan dan
selalu
commit
to diuji
user dengan data atau informasi yang
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lain, pengelompokan data berdasarkan tiap koheren yang sama. Sehingga data
yang satu dengan data yang lain akan saling melengkapi dan saling menguji, serta
dapat diperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, Patton
(1984) menyatakan bahwa ada empat teknik triangulasi, yaitu, triangulasi sumber,
metodologi, penyidik, dan teori (Sutopo,2002:78).
Adapun pelaksanaan trianggulasi yang dilakukan peneliti adalah dengan
cara menghubungkan data kualitatif yang didapat dari hasil wawancara tiap
responden yang telah ditranskrip, dan tersaji dalam bentuk tulisan. Data tersebut
dikelompokkan berdasarkan koherennya, kemudian ditrianggulasikan antara data
masyarakat keraton 1 dengan lainya, antara masyarakat awam 1 dengan lainya,
dan antara masyarakat ahli 1 dengan lainya. Begitu pula seterusnya, sampai
didapatkan hasil yang diinginkan.
Pada kegiatan penelitian ini, teknik triangulasi data/sumber
yang
digunakan mempermudah peneliti dalam menganalisis persepsi yang berkembang
di tiap koheren. Karena data yang sama atau sejenis akan lebih mantap
keberadaannya bila digali dari sumber yang berbeda. Dengan cara menggali data
dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik pengumpulan data yang berbeda,
data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya (Sutopo,2002:80).
8. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka penganalisa data dilakukan dengan
menggunakan metode analisa kualitatif. Metode penelitian kualitatif yang
commit to user
digunakan adalah dengan teori fenomenologi
yaitu fenomena-fenomena yang ada
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan nampak dideskripsikan sedemikian rupa sehingga tercapailah suatu
kesimpulan yang menyeluruh. Fenomenologi sangat membantu peneliti dalam
melakukan penelitian tentang fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Keraton
Kasunanan Surakarta. Pada tahap analisis data, berikut komponen-komponen
analisis data model interaktif Miles dan Huberman yang digunakan dalam
penelitian ini:
Pengumpulan
Data
Penyajian
Data
Reduksi
Kesimpulan
/Verifikasi
Data
Bagan 4 : Komponen Analisis Data : Model Interaktif Miles Dan
Huberman (Pawito, 2008:105)
Analisa dilakukan oleh peneliti sejak data awal penelusuran dan dilakukan
secara terus menerus sampai menemukan data yang sesuai dengan batasan
penelitian. Data-data yang telah dihimpun difokuskan pembahasannya pada halhal yang terlihat menonjol dan terdapat banyak kesamaan pada para narasumber di
tiap koherennya. Berikut penjelasan tentang langkah analisis interaktif Miles dan
Huberman yang telah diterapkan peneliti:
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara secara terpisah,
yang alurnya menyesuaikan interview guide yang telah disiapkan sebelumnya.
Alat bantu rekam yang dipergunakan adalah telepon genggam. Narasumber yang
diwawancari dan hasilnya digunakan untuk data primer dalam penelitian ini
antaralain:
No
Koheren
Nama
Profesi
KGPH Puger
Pengageng Sasono Pustoko
1
Keraton Kasunanan Surakarta
2
KGPH Dipokusumo
Pengusaha, Dosen
KMA Budhoyoningrat
Guru, staff Sasono Wilopo
Yanti Utomo Gunadi
Istri Alm. Utomo Gunadi, pawang
Masyarakat
3
Keraton
4
Kebo Bule Kyai Slamet
5
Wiharni
Abdi Dalem
6
Wartiyem
Petani dan Pedangang
7
8
Masyarakat Suroso
Awam
9
10
11
12
Masyarakat
Ahli
Pedagang
Surepi
Ibu Rumah Tangga
Kusnadi
Wiraswasta
Insiwi Febriari
Dosen Sejarah UNS
Rustopo
Guru Besar Sejarah ISI Surakarta
Bandung Mawardi
Sastrawan, Kolomnis
Tabel 1 : Daftar
Narasumber
commit
to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah data dikumpulkan dari proses wawancara, selanjutnya peneliti
melakukan proses transkrip. Hasil transkrip tersebut yang adalah data yang siap
untuk melalui proses selanjutnya.
b. Penyajian Data
Suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kumpulan riset
dapat dilakukan. Penyajian data berupa hasil wawancara dan observasi, yang
kesemuanya dikelompokkan dahulu berdasarkan koheren narasumbernya, yaitu
masyarakat keraton, masyarakat awam, dan masyarakat ahli.
Kemudian dipilih pernyataan yang senada maupun saling menguatkan
dalam satu topik bahasan. Hal tersebut dilakukan guna merakit informasi secara
teratur supaya mudah dilihat dan diambil pengertiannya dengan bentuk yang
kompak.
Dari keseluruhan data yang sudah terkumpul dan melalui proses coding.
Data relevan dan telah tersaji berdasarkan pengelompokannya, disesuaikan
dengan kerangka pemikiran, teori yang dipergunakan. Analisis dilakukan sesuai
dengan rumusan masalah.
c. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstrakasi
data (kasar) yang ada di lapangan berupa hasil wawancara, observasi, artikel dan
surat kabar, serta dokumen pendukung lainnya. Proses ini berlangsung sepanjang
pelaksanaan penelitian, setelah proses pengumpulan dan penyajian data, yang
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
didapat dari kerangka kerja konsepsional pemilihan kasus, pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dan cara pengumpulan data yang dipakai.
Dari keseluruhan data yang telah disajikan, data yang tidak diperlukan
maka dieliminasi. Dan pernah terjadi kekurangan data pada koheren masyarakat
ahli, maka salah satu hasil wawancara batal digunakan, dan kembali ke lapangan
untuk mewawancarai narasumber lain. Setelah itu data yang didapat dirasa cukup
memenuhi, sehingga dapat melanjutkan kembali proses reduksi data yang sempat
tertunda dan analisis dapat dilanjutkan dengan lancar sampai selesai.
d. Kesimpulan dan Verifikasi
Dalam penelitian ini, penarikan kesimpulan berdasarkan data-data yang
paling menonjol diantara tiga koheren narasumber yang telah dianalisis. Sehingga
hasilnya tidak hanya memuat persamaan persepsi, namun juga adanya perbedaan
persepsi akibat gejala miskomunikasi antara komunikator dan komunikan.
Secara keseluruhan, kesimpulan dari penelitian ini merupakan gambaran
interpretif tentang gejala dan realitas pada fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di
Kirab Malam 1 Suro. Menurut Pawito (2008:102) dalam kesimpulan penelitian
kualitatif terkandung arti bahwa temuan apapun yang dihasilkan pada dasarnya
bersifat terbatas pada kasus yang diamati. Oleh karena itu, konsep berfikir
induktif lebih menonjol dalam penarikan kesimpulan pada penelitian kualitatif ini.
commit to user
43
Download