4 TINJAUAN PUSTAKA Sifat Insektisida Kacang Babi Kacang babi Tephrosia vogelii J. D. Hooker (Leguminosae) merupakan tanaman asli Afrika dan pada umumya terdapat di wilayah Afrika tropis. Tanaman kacang babi merupakan tumbuhan perdu, bercabang banyak, dan tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 2-3 m. Tanaman kacang babi tumbuh pada ketinggian 300-1200 m dpl dan berumur tidak lebih dari 1 tahun. Daunnya berwarna hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bunganya berwarna ungu, merah, atau putih, dan menyerbuk sendiri. Bijinya kecil, keras, dan berwarna hitam. Perbanyakan tanaman kacang babi dapat dilakukan dengan biji. Tanaman kacang babi telah dimanfaatkan sebagai naungan persemaian tanaman kopi. Selain sebagai pupuk hijau, daunnya telah dimanfaatkan sebagai insektisida dan racun ikan (Gaskins et al 1972; Heyne 1987). Daun kacang babi bersifat sebagai racun ikan, insektisida, dan moluskisida (Gaskins et al 1972; Heyne 1987; Marston 1984). Di Afrika, sediaan insektisida botani kacang babi telah sering diuji terhadap hama yang menyerang biji-bijian. Sebagai contoh, Delobel dan Malonga (1987) melaporkan bahwa tepung biji kacang babi yang dicampurkan dengan kacang tanah pada dosis 2,5% (w/w) mengakibatkan kematian kumbang kacang tanah Caryedon serratus sebesar 98,8% setelah 13 hari pemajanan. Pada penelitian lain, Reuben et al. (2006) melaporkan bahwa campuran tepung daun kacang babi 2% pada biji kapri menurunkan kerusakan biji yang disebabkan oleh kumbang Callosobruchus maculatus dari 33,1% menjadi 7%. Selain terhadap hama gudang, sediaan insektisida nabati kacang babi juga aktif terhadap hama pemakan daun. Sebagai contoh, ekstrak daun kacang babi pada konsentrasi 11 mg/g bobot tubuh yang diaplikasikan sebagai racun kontak pada larva Plutella xylostella menyebabkan kematian 50% (Morallo-Rejesus 1986). Ekstrak daun kacang babi memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana. Wulan (2008) melaporkan bahwa LC50 ekstrak heksana daun kacang babi terhadap larva C. pavonana adalah 0.14%, sementara Nailufar (2011) melaporkan bahwa LC50 ekstrak etil asetat daun kacang babi 5 terhadap serangga tersebut adalah 0.11%. Pada penelitian lain, Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun kacang babi bunga ungu (LC50 0.075%) berturut-turut 4.30, 2.70, 2.21, dan 1.64 kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak buah kemukus, ekstrak biji kacang babi bunga putih, ekstrak biji kacang babi bunga ungu, dan ekstrak daun kacang babi bunga putih. Daun kacang babi mengandung senyawa aktif insektisida yang termasuk golongan rotenoid seperti rotenone, deguelin, rotenolon, dan tefrosin (Gambar 1) (Delfel et al. 1970; Caboni et al. 2005). Delfel et al. (1970) melaporkan bahwa daun kacang babi mengandung lebih banyak deguelin daripada rotenon, sementara rotenon lebih banyak terdapat pada daun dibandingkan dengan pada tangkai daun, batang, dan akar. Rotenon merupakan senyawa insektisida dari kacang babi yang paling aktif (Matsumura 1985). Pada umumnya senyawa rotenon mudah terurai dan tidak stabil. Hal tersebut bergantung pada faktor-faktor tertentu seperti cahaya, suhu, dosis, dan keberadaan limbah organik (Copping 1998). Rotenolon dan tefrosin diyakini sebagai produk oksidasi rotenon dan deguelin. Gambar 1 Struktur kimia rotenolon (a), tefrosin (b), rotenon (c), dan deguelin (d). Sumber: Lambert et al. (1993); Caboni et al. (2005). 6 Rotenon dalam ekstrak kacang babi pada tingkat sel menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transport elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Hambatan terhadap proses respirasi sel tersebut menyebabkan produksi ATP menurun sehingga sel kekurangan energi yang selanjutnya dapat menyebabkan kelumpuhan berbagai sistem otot dan jaringan lainnya. Sifat Insektisida Lerak Lerak Sapindus rarak DC (Sapindaceae) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Tanaman ini berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 42 meter dan diameter batang 1 meter. Tanaman lerak dapat tumbuh pada ketinggian antara 450 dan 1500 m dpl. Daun berbentuk bundar telur hingga lanset. Pembungaan majemuk. Buah dan biji berbentuk bulat. Buah muda berwarna hijau dan jika sudah masak warna buah menjadi cokelat kehitaman. Buah lerak terdiri atas 75% buah dan 25% biji. Buah lerak telah dimanfaatkan sebagai racun ikan, insektisida, dan sabun (Heyne 1987; Widowati 2003). Buah lerak diketahui mengandung senyawa alkaloid, triterpena, steroid, dan saponin (Sunaryadi 1999; Wina 2012). Di Asia Tenggara, ekstrak buah lerak sering digunakan sebagai insektisida untuk mengendalikan beberapa jenis hama tanaman (Widowati 2003). Selain itu, ekstrak lerak juga bersifat antimikrob. Sebagai contoh, Sunaryadi (1999) melaporkan bahwa daya defaunasi yang dilakukan pada ikan mas mengalami peningkatan mortalitas 2.5-100% seiring dengan peningkatan konsentrasi dari 10 ppm hingga 50 ppm ekstrak buah lerak. Thalib et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan ekstrak buah lerak pada dosis 0.07% bobot badan pada campuran rumput gajah dan rumput alam (50:50, w/w) ad libitum + konsentrat (0.5% bobot badan) dapat mengeliminasi populasi protozoa hingga 57% dan mengakibatkan peningkatan populasi bakteri sekitar 69% bila dibandingkan dengan pemberian pakan tanpa penambahan ekstrak lerak. Wina et al. (2005b) melaporkan bahwa penambahan ekstrak buah lerak dengan dosis 0.24-0.72 g/kg pada campuran rumput gajah dan kulit gandum (65:35, w/w) dapat menurunkan populasi protozoa sebesar 34%-80% dan menghasilkan amonia 12%-18% di dalam perut ruminansia. 7 Identifikasi gugus-gugus yang terkandung di dalam suatu molekul saponin secara umum dapat ditentukan berdasarkan hasil hidrolisisnya (Gambar 2). Saponin hidrolisis Gula D-glukosa Sapogenin Triterpenoid Steroid D-galaktosa α-amirin Gitogenin D/L-ramnosa β-amirin Digitogenin Asam glukuronat Lupeol Tigogenin Gambar 2 Diagram gugus-gugus molekul saponin. Sumber: Morikawa et al. (2009). Saponin merupakan suatu senyawa yang termasuk dalam golongan glikosida, yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan didapatkan gula dan satu fraksi bukan gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin memiliki jumlah dan jenis yang beragam, di antaranya glukosa, galaktosa, ramnosa, arabinosa, serta asam galakturonat, glukoronat, atau gula khusus. Sapogenin dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sapogenin triterpenoid dan sapogenin steroid. Sapogenin triterpenoid mempunyai inti karbon naftalena, yaitu 1,2,7-trimetilnaftalen, sedangkan sapogenin steroid merupakan turunan dari inti dasar logam tetrasiklik terpenoid dan mempunyai 27 atom karbon (Morikawa et al. 2009; Wina 2012). Senyawa saponin bersifat sebagai surfaktan yang mempunyai struktur bipolar, yaitu memiliki bagian yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat mengikat lapisan lemak. Sifat tersebut menyebabkan saponin dapat 8 menurunkan tegangan permukaan membran sel sehingga permeabilitas membran sel meningkat dan akibatnya terjadi lisis (Wina et al. 2005a; Wina 2012). Potensi Campuran Insektisida Botani Insektisida botani dapat digunakan dalam bentuk campuran ekstrak dua atau lebih jenis tumbuhan sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada satu jenis tumbuhan sebagai bahan baku. Selain itu, penggunaan insektisida botani dalam bentuk campuran lebih ekonomis bila campuran bersifat sinergis (Dadang & Prijono 2008). Yuswanti & Prijono (2004) melaporkan bahwa campuran ekstrak Aglaia harmsiana dan Dysoxylum acutangulum pada taraf LC50 0.019% dan LC95 0.111% bersifat sinergis terhadap larva Plutella xylostella. Saryanah (2008) melaporkan bahwa campuran ekstrak metanol dan ekstrak heksana kacang babi dan buah cabai jawa Piper retrofractum lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya secara terpisah terhadap larva C. pavonana pada taraf LC50 dan kedua campuran tersebut bersifat sinergis. Nugroho (2008) melaporkan bahwa campuran fraksi heksana padatan Piper cubeba dan fraksi heksana kacang babi (8:3) pada LC50 memiliki sifat sinergis. Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa campuran ekstrak daun kacang babi bunga ungu dengan ekstrak buah kemukus bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana. Baru-baru ini, Nailufar (2011) melaporkan bahwa campuran ekstrak daun kacang babi dan ekstrak buah sirih hutan Piper aduncum pada perbandingan 1:1, 5:1, dan 1:5 bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana. Persistensi Insektisida Botani Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan insektisida botani ialah persistensinya yang singkat artinya residu bahan aktif pestisida botani yang terdapat pada tanaman setelah aplikasi cepat terurai. Irmayetri (2001) melaporkan bahwa aktivitas residu ekstrak air D. acutangulum mengalami penurunan yang nyata setelah dipajankan pada sinar matahari selama 5 hari, yaitu kematian larva C. pavonana menurun hingga tinggal 50%. Syahputra et al. (2007) melaporkan bahwa residu formulasi cair dan padat fraksi diklorometana kulit batang 9 Calophyllum soulattri memiliki waktu paruh 6.7-8.2 hari terhadap mortalitas larva C. pavonana. Nugroho (2008) melaporkan bahwa aktivitas residu ekstrak daun kacang babi mulai menurun pada 3 hari setelah perlakuan (HSP) dan pada 7 HSP mortalitas serangga uji (larva C. pavonana) menurun menjadi sekitar 70%. Zarkani (2008) melaporkan bahwa pada pengujian semilapangan, persentase larva C. pavonana yang ditemukan pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan salah satu fraksi aktif cabai jawa Piper retrofractum, fraksi aktif daun kacang babi, dan campuran kedua fraksi tersebut pada hari ke-3 setelah infestasi pertama berturutturut 23.3%, 5%, dan 6.7%, lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (66.7%). Permasalahan Hama Crocidolomia pavonana Arti Ekonomi Crocidolomia pavonana merupakan salah satu hama penting pada tanaman famili Brassicaceae seperti brokoli, lobak, kubis, sawi, dan selada air. Daerah persebaran hama ini meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik (Othman 1982). Larva C. pavonana dapat menimbulkan kerugian yang besar pada kubis. Pada fase larva, serangga ini hidup secara berkelompok dan membutuhkan banyak makanan. Larva C. pavonana biasanya memakan habis daun tanaman dan hanya menyisakan tulang-tulang daun. Larva instar awal umumnya mengonsumsi permukaan bawah daun. Pada saat instar III, larva menembus bagian batang daun (membuat terowongan). Pada kubis, tingkat serangan lanjut dapat mencapai krop atau titik tumbuh tanaman dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan dapat mencapai 100%, terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Siklus Hidup Telur biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun kubis. Sebelum menetas, warna telur berubah menjadi oranye, lalu menjadi cokelat kekuningan, hingga akhirnya berwarna cokelat gelap. Kelompok telur yang diletakkan terdiri atas 9 sampai 120 butir telur dengan rata-rata 48 butir. Ukuran kelompok telur berkisar dari 1.0 mm x 2.0 mm sampai 3.5 mm x 6.0 mm. Masa inkubasi telur 10 rata-rata 4 hari pada suhu antara 26.0 dan 33.2 °C. Persentase penetasan telur dapat mencapai 92.4% (Othman 1982). Larva instar awal berwarna kuning kehijauan dengan kepala cokelat tua dan lama stadium rata-rata sekitar 2 hari. Instar II berwarna hijau muda, dengan panjang berkisar dari 5.5 sampai 6.1 mm dan lama stadium rata-rata sekitar 2 hari. Instar III berwarna hijau, dengan panjang berkisar antara 1.1 sampai 1.3 cm dan lama stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar akhir atau instar IV berwarna hijau lebih tua dengan tiga titik hitam dan tiga garis memanjang pada bagian dorsal serta satu lainnya di sisi lateral (Prijono & Hassan 1992). Warna pupa cokelat kekuningan dan kemudian menjadi cokelat gelap. Lebar pupa sekitar 3 mm dan panjang 10 mm dengan lama stadium rata-rata sekitar 10 hari pada suhu antara 26.0 dan 33,2 °C dan kelembapan nisbi udara antara 54.1% dan 87,8% (Othman 1982). Lama perkembangan keseluruhan dari telur hingga menjadi imago betina berkisar dari 23 sampai 28 hari, sedangkan untuk imago jantan berkisar dari 24 sampai 29 hari (Prijono & Hassan 1992). Pengendalian Pengendalian hama C. pavonana dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya yaitu dengan pengendalian secara fisik mekanis, hayati, kultur teknis, dan kimiawi. Cara mekanis dapat dilakukan dengan menghancurkan telur dan mematikan larva dengan tangan. Musuh alami kurang efektif dalam menekan populasi hama C. pavonana. Pengendalian kultur teknis dilakukan dengan pergiliran tanaman, sistem tumpang sari, pengaturan waktu tanam, dan penanaman tanaman perangkap seperti rape (Brassica campestris var. oleifera Metzg.) dan sawi jabung (Brassica juncea L. Czern). Untuk melestarikan peran musuh alami, insektisida selektif yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama C. pavonana adalah Bacillus thuringiensis, insektisida golongan asilurea (menghambat sintesis kitin), dan senyawa asal mikrob seperti abamektin (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Cara yang sering dilakukan petani untuk mengendalikan hama C. pavonana adalah pengendalian secara kimiawi menggunakan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif (Matsumura 1985). Insektisida botani merupakan salah satu alternatif pengendalian yang cukup aman dan sesuai dengan 11 konsep pengendalian hama terpadu (Dadang dan Prijono 2008). Ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap hama C. pavonana antara lain ekstrak biji Annona squamosa (Annonaceae), biji Azadirachta indica (Meliaceae), kulit batang Calophyllum soulatri (Clusiaceae), daun dan ranting Dysoxylum acutangulum, serta buah Piper aduncum, P. cubeba, dan P. retrofractum (Piperaceae) (Prijono et al. 2006; Syahputra et al. 2007; Dadang et al. 2008; Nugroho 2008; Wulan 2008; Abizar & Prijono 2010; Nailufar 2011)