Mencermati Arus Modal Portofolio

advertisement
Mencermati Arus Modal Portofolio
Kps: 21-05-07
Topik pembicaraan publik belakangan ini adalah mengenai derasnya aliran modal masuk ke
pasar keuangan Indonesia. Media mengutip, pejabat pemerintah mengingatkan bahwa situasi ini
mirip seperti tahun 1997. Terlepas dari perdebatan politik, sebenarnya tak ada yang salah dari
peringatan ini karena memang tugas otoritas moneter untuk selalu memantau kondisi ekonomi
dan mengingatkan publik. Justru mengherankan jika otoritas moneter mengatakan semuanya
baik-baik saja.
Teringat situasi pada tahun 1996-1997, pemerintah hingga Bank Dunia mengatakan bahwa
situasi Indonesia dan ekonomi Asia baik-baik saja. Bank Dunia pada tahun 1996 menganggap
peningkatan utang, defisit anggaran negara, dan defisit neraca pembayaran di Asia bukanlah
angka yang mengkhawatirkan. Namun, kemudian timbul krisis ekonomi di Thailand pada Juli
1997 yang berlanjut ke Korea Selatan, Malaysia, kemudian memorakporandakan ekonomi dan
politik Indonesia.
Aliran modal masuk ke negara berkembang didorong adanya kelebihan likuiditas di pasar
keuangan dunia. Dari mana ekses likuiditas ini? Paling tidak ada tiga penyebab. Kelebihan
likuiditas di negara maju berasal dari kebijakan suku bunga rendah yang dijalankan mantan
Gubernur Bank Sentral Amerika Alan Greenspan pada periode 1998-2004. Kebijakan suku
bunga rendah ditempuh Greenspan untuk mencegah resesi ekonomi dunia setelah terjadi krisis
ekonomi di Asia, Rusia, Brasil, dan kejatuhan saham sektor teknologi di AS serta serangan
teroris yang dikenal dengan "9/11".
Terjadi pula pergeseran pola investasi, yaitu meningkatnya minat masyarakat negara maju
berinvestasi di negara berkembang. Kondisi negara berkembang dianggap sudah semakin baik.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditunjang ekspor dan penanaman modal asing telah membuat
negara Asia seperti China dan India saat ini memiliki cadangan devisa yang mencapai ratusan
miliar dollar AS. Cadangan devisa yang menumpuk tersebut turut menjadi sumber ekses
likuiditas dunia.
Sumber ekses likuiditas yang ketiga, naiknya harga minyak dan komoditas tambang sehubungan
dengan permintaan yang tinggi dari negara-negara Asia (terutama China dan India). Saat ini
negara-negara penghasil minyak (Timur Tengah dan Rusia) mengalami peningkatan surplus
devisa ratusan miliar dollar AS. Uang itu juga harus diinvestasikan.
Menurut data Emerging Portfolio Fund Research, dari awal 2004 sampai April 2007, jumlah dana
yang masuk ke reksa dana "saham" negara berkembang berjumlah sekitar 53 miliar dollar AS.
Sekitar 40 miliar dollar AS di antaranya masuk ke Asia. Data ini belum termasuk dana yang
masuk untuk membeli surat utang (obligasi). Juga belum termasuk dana yang masuk ke
pengelola hedge funds dan private equity.
Situasi Indonesia
Indonesia pun kecipratan menerima dana
berinvestasi di Surat Utang Negara sekitar
sekitar Rp 40 triliun. Berbeda dengan
penempatan sementara sebelum menjadi
memang karena bunganya menarik.
portofolio dari luar negeri. Investor asing saat ini
Rp 77 triliun dan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
perbankan nasional yang membeli SBI sebagai
kredit ke sektor riil, investor asing membeli SBI
Indeks bursa saham Indonesia naik terus sejak tahun 2003. Mayoritas investor publik di
perusahaan besar seperti Telkom, Bank Mandiri, BRI, BCA, dan Astra International adalah
manajer investasi asing.
Bagaimana kita harus bersikap menghadapi aliran dana portofolio dari luar negeri tersebut? Kita
harus mengambil manfaat dari dana tersebut tanpa kehilangan kepemilikan. Misalnya untuk
membiayai anggaran negara sebagai pengganti kredit dari negara donor yang sifatnya terlalu
mengikat.
Berhubung anggaran negara terbatas, investor portofolio bisa dipakai untuk memperkuat modal
dan memberikan utang jangka panjang kepada BUMN, seperti Bank BNI, Jasa Marga, PLN,
Garuda, dan Pertamina.
Perusahaan swasta malah sudah lebih lincah memanfaatkan dana portofolio asing untuk
mengembangkan usaha. Namun, sebaiknya surat utang yang dikeluarkan perusahaan Indonesia
berjangka panjang dan dalam mata uang rupiah sehingga biarlah investor asing yang
menanggung risiko kurs.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membuat dana portofolio bertahan di Indonesia? Analisa
investor portofolio selalu dimulai dari stabilitas politik, makroekonomi, dan perbankan. Artinya,
siapa pun Pemerintah Indonesia, kehati-hatian mengelola anggaran negara dan mengelola
neraca pembayaran adalah hal yang sangat penting. Tekanan politis dan bermain-main dengan
"prudential perbankan" jangan pernah dilakukan.
Pada saat ini kondisi makroekonomi Indonesia cukup baik karena neraca berjalannya surplus,
anggaran belanja negara defisitnya di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB), rasio utang
luar negeri terhadap PDB di bawah 50 persen, dan angka kredit bermasalah pada bank BUMN
menunjukkan penurunan.
Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan laba perusahaan sangat diperhatikan investor. Mereka
hanya mau membeli saham dan surat utang perusahaan yang memiliki prospek cerah. Suatu
perusahaan akan memiliki prospek cerah jika dikelola oleh manajemen yang baik dan berada
dalam iklim investasi yang menunjang.
Jadi, jika iklim investasi Indonesia semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan di China,
Vietnam, Malaysia, dan lainnya, perusahaan penanaman modal langsung (sektor riil) semakin
tidak datang.
Di sinilah tantangan Indonesia. Pemerintah daerah pun turut bertanggung jawab karena kita
sekarang berada dalam alam desentralisasi. Indonesia harus terus meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, mengurangi pengangguran, meningkatkan ekspor, dan menekan inflasi. Saat ini "price
to earning ratio" saham Indonesia sudah 15 kali, sedangkan imbal hasil (yield) obligasi berjangka
lima tahun sudah turun ke 8,7 persen.
Valuasi saham memang belum sangat mahal, tetapi juga tidak murah. Namun, jika dana
portofolio terus masuk, sedangkan pertumbuhan ekonomi hanya 5-6 persen, lama-kelamaan
investor akan berpikir bahwa mereka membeli saham yang nilainya kemahalan.
Inflasi harus diturunkan dengan memperbaiki jalur distribusi dan peningkatan produksi bukan
dengan penguatan kurs rupiah. Jika inflasi tidak bisa turun di bawah 6 persen, sedangkan "yield
obligasi lima tahun" semakin turun ke bawah 8,5 persen, suatu saat investor akan merasa
obligasinya sudah kemahalan.
Risiko pelarian modal (capital outflow) ini belum termasuk risiko efek berantai jika terjadi gejolak
ekonomi dan politik di China dan di negara berkembang di sekitar Indonesia. Suatu tantangan
yang berat.
Mirza Adityaswara Analis Perbankan dan Pasar Modal
Download