77 PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai Varietas cabai yang tahan terhadap infeksi Begomovirus, penyebab penyakit daun keriting kuning, merupakan komponen utama yang diandalkan dalam upaya pengendalian penyakit. Strategi pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas cabai perlu dilakukan secara sistematis. Hal pertama yang dilakukan pada program 78 pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas cabai yang unggul, produksi tinggi dan tahan terhadap hama penyakit adalah dengan melakukan karakterisasi pada genotipe yang telah ada, sehingga dapat diketahui deskripsi pada masing-masing genotipe. Deskripsi dapat membedakan genotipe karena terdapat ciri khusus yang mudah dibedakan antar genotipe tersebut. Apabila karakter pada suatu genotipe telah stabil, maka genotipe tersebut dapat dijadikan kandidat varietas cabai. Pengelompokan genotipe cabai umumnya didasarkan pada karakter kualitatif, karena karakter ini lebih stabil, tidak dipengaruhi lingkungan, dan mempunyai sebaran yang diskontinyu. Karakterisasi genotipe berdasarkan spesies menunjukkan 29 genotipe cabai termasuk C. annuum dan C. frutescens. Analisis pengelompokan (cluster analysis) berdasarkan karakter kualitatif dalam penelitian ini menunjukkan 29 genotipe mengelompok menjadi 4 kelompok. Perbedaan pada masing-masing kelompok tersebut disebabkan perbedaan warna, bentuk dan karakter morfologi seperti habitus tanaman, warna dan bentuk daun, bulu batang, dan permukaan buah pada setiap genotipe cabai. Karakter morfologi daun merupakan karakter yang penting dalam program pemuliaan untuk penyakit daun keriting kuning pada cabai. Perilaku serangga vektor B. tabaci dipengaruhi oleh karakter morfologi daun. B. tabaci menyerang tanaman cabai sejak mulai terbentuknya daun muda atau fase kotiledon hingga fase vegetatif akhir. Diketahui bahwa fase yang paling rentan adalah fase kotiledon, dimana pada fse tersebut jaringan daun lebih lunak, nutrisi yang tersedia banyak dan B. tabaci lebih mudah menusuk dan menghisap cairan nutrisi di dalam jaringan floem. Mekanisme Ketahanan Cabai terhadap Vektor B. tabaci Evaluasi terhadap ketebalan daun, kerapatan trikoma, ukuran dan susunan sel palisade telah dilakukan untuk mempelajari mekanisme ketahanan struktural terhadap infeksi Begomovirus. Diketahui bahwa ketebalan daun tidak berperan dalam mekanisme ketahanan. Kerentanan fase kotiledon dapat dikarenakan oleh kerapatan trikoma yang rendah, sehingga Begomovirus mudah masuk ke dalam jaringan tanaman cabai. Kerapatan trikoma yang tinggi pada fase kotiledon dapat digunakan 79 sebagai penghalang awal yang utama pada saat vektor B. tabaci menularkan virus ke tanaman cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan trikoma yang tinggi dapat menjadi indikator tanaman tahan terhadap serangga hama. Namun, tanaman yang tahan terhadap serangga hama belum tentu tahan terhadap virus. Menurut Jiang et al. (2000), satu partikel Begomovirus sudah dapat menyebabkan patogen di dalam jaringan tanaman dalam waktu kurang dari 2 menit. Sehingga, salah satu mekanisme ketahanan kerapatan trikoma yang tinggi saja belum tentu mengindikasikan tanaman cabai tahan terhadap Begomovirus. Begomovirus bersirkulasi dalam saluran pencernaan vektor B. tabaci dan tidak memperbanyak diri serta tidak ditularkan melalui telur. Begomovirus yang terdapat pada vektor B. tabaci memiliki periode laten 2 jam dan periode makan inokulasi 20 jam. Perilaku makan vektor B. tabaci yaitu dengan menusukkan stiletnya melalui epidermis daun, kemudian menuju floem melalui sel palisade secara interseluler. Saat stilet telah menemukan jaringan vaskuler floem, maka B. tabaci menghisap dan memasukkan Begomovirus yang ada dalam tubuhnya. Begomovirus akan menetap di dalam floem, kemudian menyebar ke sel-sel di sebelahnya (sel palisade) melalui plasmodesmata. Sel palisade yang berada di daerah infeksi Begomovirus dapat memiliki konsentrasi Begomovirus yang lebih banyak, sehingga dapat diduga semakin luas sel palisade, konsentrasi Begomovirus semakin banyak. Tanaman cabai memiliki mekanisme ketahanan struktural sebagai penghalang masukknya stilet B. tabaci. Mekanisme ketahanan tersebut antara lain modifikasi sel epidermis dengan membentuk trikoma (rambut daun) yang panjang dan rapat, sehingga dapat menghambat kemampuan B. tabaci menusuk, menghisap, dan menularkan Begomovirus ke tanaman cabai. Trikoma yang rapat menjadi penghalang struktural terhadap kemampuan B. tabaci menghisap sap (cairan nutrisi) dan menularkan Begomovirus ke tanaman cabai. Kerapatan trikoma yang rendah memudahkan B. tabaci menularkan Begomovirus dan menyebabkan tanaman menjadi rentan. Turnipseed (1977) menyebutkan panjang dan kerapatan trikoma daun menghalangi proses penghisapan atau pengambilan sari makanan secara normal pada serangga vektor. Dengan demikian, kerapatan trikoma dan susunan sel palisade 80 merupakan mekanisme ketahanan cabai terhadap kemampuan B. tabaci untuk menularkan Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning. Mekanisme Ketahanan Cabai terhadap Begomovirus Begomovirus yang telah masuk ke jaringan floem, berpindah ke sel yang di sekitarnya sebagai akibat dari awal penyebaran Begomovirus. Letak dan posisi sel palisade yang berada di sekitar jaringan floem menyebabkan penyebaran Begomovirus sangat dipengaruhi oleh ukuran dari sel palisade. Semakin jauh letak floem ke palisade dan semakin kecil ukuran sel palisade, semakin sedikit konsentrasi Begomovirus pada sel palisade tersebut. Semakin tinggi konsentrasi Begomovirus di dalam sel palisade, tanaman menjadi lebih rentan. Konsentrasi Begomovirus di dalam jaringan tanaman berpengaruh terhadap akumulasi asam salisilat. Peran asam salisilat sebagai molekul sinyal endogen akan mengaktifkan atau menginduksi gen ketahanan pada sistem pertahanan inang patogen. Asam salisilat diproduksi oleh ion Ca++ di dalam floem. Mekanisme biokimia terjadi di floem karena terdapat kemampuan tanaman cabai untuk menghasilkan asam salisilat yang menghambat pergerakan dan replikasi Begomovirus. Fungsi asam salisilat di dalam floem adalah untuk menghambat replikasi Begomovirus dan menunda perpindahan virus antar sel di dalam jaringan floem. Tanaman resisten mampu menghambat replikasi dan translokasi virus di dalam tanaman (Matthews 1995) sehingga dapat mengurangi penyebaran virus di dalam tanaman. Dengan demikian, asam salisilat berimplikasi sebagai salah satu komponen dalam jalur sinyal transduksi pada mekanisme ketahanan terhadap Begomovirus. Adanya penghalang struktural merupakan suatu cara tanaman untuk mencegah infeksi Begomovirus menyebar dan bergerak dari sel ke sel. Aktivitas enzim peroksidase memiliki keterlibatan dalam proses biosintesis lignin dan penebalan dinding sel untuk mencegah penyebaran dan menghambat pergerakan Begomovirus melalui plasmodesmata. Enzim peroksidase berada pada dinding sel dan memiliki konsentrasi yang tinggi di sekitar infeksi Begomovirus. Hal ini 81 dikarenakan aktivitas enzim peroksidase merupakan enzim utama yang merespon oksidasi fenol ke melamin pada dinding sel. Akibat dari aktivitas enzim peroksidase ini seringkali disebut sebagai mekanisme ketahanan biokimia. Dengan demikian, aktivitas enzim peroksidase merupakan respon sekunder dalam sistem mekanisme ketahanan tanaman. Perbedaan respon ketahanan tidak hanya bergantung dari kondisi tanaman yang melawan infeksi patogen, tapi juga kemampuan tanaman untuk tetap tumbuh dan berkembang serta mempertahankan struktur dan fungsi dari tanaman tersebut. Ketahanan tanaman terhadap Begomovirus tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan sekitar tempat tumbuh tanaman, jaringan yang terinfeksi, dan kombinasi inang-patogen. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap interaksi antara vektor B. tabaci dengan konsentrasi virus yang masuk ke dalam jaringan tanaman dan kemampuan tanaman merespon adanya elisitor patogen Begomovirus dengan mengaktifkan molekul reseptor pada tanaman. Jaringan atau sel disekitar daerah yang terinfeksi akan segera menginduksi gen ketahanan untuk mencegah penyebaran patogen ke seluruh bagian jaringan yang lain. Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara mengaktifkan peran asam salisilat dan enzim peroksidase. Sehingga, luas ukuran panjang sel palisade, peningkatan akumulasi asam salisilat, dan peningkatan aktivitas enzim peroksidase merupakan mekanisme ketahanan cabai terhadap Begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning. Proses perbanyakan Begomovirus dapat mengacaukan fisiologi inang tanaman cabai dan dapat mengakibatkan penyakit daun keriting kuning. van Loon (1997) memaparkan bahwa adanya perlawanan terhadap suatu penyakit pada tanaman ditunjukkan oleh adanya gejala yang terbatas pada tanaman. Terekspresinya suatu karakter merupakan hasil akhir serangkaian proses biokimia yang melibatkan sejumlah reaksi enzimatik dalam tanaman. Setiap jenis enzim yang terlibat dalam proses tersebut, sintesisnya dikendalikan secara genetik (Kusumo 1996). Infeksi Begomovirus pada tanaman inangnya dapat terjadi tetapi selanjutnya dihalangi oleh beberapa sebab sehingga tidak terjadi infeksi sistemik. Penghalang tersebut dapat 82 terjadi pada tahapan proses inisiasi infeksi karena virus tidak dikenali oleh reseptor inang. Selanjutnya, perpindahan virus dari sel ke sel tergantung pada kompabilitas movement-protein virus dengan inang karena ada kemungkinan fungsi perpindahan dihalangi oleh sistem pertahanan inang. Dalam interaksi inang-patogen, beberapa virus menstimulasi terbentuknya senyawa-senyawa pertahanan inang yang justru menghalangi perpindahan virus ke sel lain (Hull 2002). SIMPULAN UMUM 1. Karakterisasi genotipe dapat digunakan untuk membuat deskripsi antar genotipe. Berdasarkan karakter kualitatif, genotipe cabai dapat dibedakan menjadi 4 kelompok besar dan terdapat 2 spesies Capsicum, yaitu C. annuum dan C. frutescens. 2. Berdasarkan respon ketahanan, genotipe IPB C12 termasuk genotipe tahan, IPB C10 dan IPB C14 agak tahan, serta IPB C15, IPB C26, dan 35C2 termasuk