Pemutuan Buah Jeruk Siam Pontianak (Citrus

advertisement
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jeruk Siam
Jeruk siam hanya merupakan bagian kecil dari sekian banyak spesies dan
varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Secara sistematis, tanaman
jeruk siam dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Wikipedia, 2007):
Kerajaan : Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo
: Sapindales
Familia : Rutaceae
Genus
: Citrus
Spesies : Citrus nobilis var. microcarpa
Jeruk siam merupakan anggota jeruk keprok. Dinamakan jeruk siam karena
memang berasal dari Siam (Muangthai). Jeruk siam memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki jeruk keprok lainnya. Sekilas memang tidak jauh berbeda, jeruk siam
memiliki kulit yang lebih tipis dan licin mengkilap. Selain itu, kulit jeruk siam
menempel lebih lekat dengan dagingnya, sedangkan pada jeruk keprok lainnya
terdapat ruang pemisah yang lebih jelas.
Menurut Sarwono (1994), tanaman jeruk siam paling luas penyebarannya di
Indonesia, karena tanaman ini bisa diusahakan di daerah dataran rendah sampai
dengan daerah berketinggian 700 meter dpl. Tanaman ini dapat berbuah di daerahdaerah basah, setelah periode kering yang singkat. Tanaman jeruk siam biasanya
berbunga pada bulan Oktober-November dan musim berbuahnya pada bulan JuniAgustus, dengan produksi hingga mencapai 1000-2000 buah tiap tahun.
Umumnya batang pohon jeruk siam yang dibudidayakan secara komersial
mempunyai tinggi antara 2.5-3 meter. Pohon tersebut biasanya berasal dari
cangkokan atau okulasi (Anonim, 1999).
Daun jeruk siam berbentuk oval. Ukurannya sekitar 7.5 cm x 3.9 cm dan
memiliki sayap yang berukuran sekitar 0.8 cm x 0.2 cm. Ujung daunnya agak
terbelah, sedangkan bagian pangkalnya meruncing. Urat daunnya menyebar
6
sekitar 0.1 cm dari tepi daun. Antara batang dengan daun dihubungkan oleh
tangkai daun dengan panjang sekitar 1.3 cm (Anonim, 1999). Daun jeruk siam
beraroma spesifik karena mengandung minyak atsiri (Sunarjono, 2005).
Menurut Sunarjono (2005), bunga tanaman jeruk siam (Gambar 1) keluar
setelah terbentuk trubus (tunas muda) pada ujung-ujung cabang secara tunggal.
Warna mahkota bunga putih, pada ujungnya bercanggap seperti bintang, dan
termasuk bunga sempurna (dalam satu bunga terdapat putik dan benang sari).
Buah jeruk siam mempunyai ciri khas, yaitu kulit buah tipis (sekitar 2 mm),
permukaannya halus, licin, mengkilap, dan menempel lekat pada daging buahnya.
Dasar buahnya berleher pendek dengan puncak berlekuk. Tangkai buahnya
pendek dengan panjang sekitar 3 cm dan berdiameter 2.6 mm. Biji buahnya
berbentuk ovoid, warnanya putih kekuningan dengan ukuran sekitar 0.9 cm x 0.6
cm, dan jumlah biji per buahnya sekitar 20 biji. Daging buahnya lunak dengan
rasa manis dan harum. Berat buah sekitar 75.6 gram (Anonim, 1999).
Gambar 1 Bunga jeruk siam.
Gambar 2 Jeruk siam masih muda.
Gambar 3 Jeruk siam matang.
7
Jeruk siam dapat dipanen pada umur 6-8 bulan setelah bunganya mekar.
Ciri-ciri buah jeruk siam yang siap dipanen (Gambar 3) adalah sebagai berikut
(Anonim, 1999):
1) Kulit buah kekuning-kuningan (oranye).
2) Buahnya tidak terlampau keras jika dipegang.
3) Bagian bawah buah agak empuk dan bila dijentik dengan jari tidak berbunyi
nyaring.
Buah yang telah siap panen, dipetik dan dikumpulkan untuk selanjutnya
dilakukan sortasi dan grading. Di Pontianak, grading dilakukan berdasarkan
diameter buah. Dalam prakteknya, grading dilakukan dengan tangan, antara jari
tengah dan ibu jari. Grading untuk buah jeruk siam didasarkan atas kelas-kelas
sebagai berikut (Anonim, 1999):
- Kelas A
: diameter buah rata-rata 7.6 cm, sekitar 6 buah per kg.
- Kelas AB : diameter buah rata-rata 6.7 cm, sekitar 8 buah per kg.
- Kelas C
: diameter buah rata-rata 5.9 cm, sekitar 10 buah per kg.
- Kelas D
: diameter buah rata-rata 5.8 cm, sekitar 12-14 buah per kg.
Standar Nasional Indonesia (SNI) menggolongkan buah jeruk ke dalam
empat kelas berdasarkan berat atau diameter buah, yaitu kelas A, B, C, dan D.
Masing-masing kelas digolongkan ke dalam dua jenis mutu, yaitu mutu I dan
mutu II. Kriteria kelas dan syarat mutu buah jeruk dapat dilihat pada Tabel 3 dan
4 di bawah ini, sedangkan cara pengujian untuk menentukan mutu buah jeruk
menurut SNI dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 3 Kriteria kelas jeruk keprok, termasuk jeruk siam (SNI 01-3165-1992)
Kelas
Berat (gram/buah)
Diameter (mm)
A
≥ 151
≥ 71
B
101-150
61-70
C
51-100
51-60
D
≤ 50
40-50
8
Tabel 4 Syarat mutu jeruk keprok, termasuk jeruk siam (SNI 01-3165-1992)
Syarat
Karakteristik
Kesamaan sifat varietas
Tingkat ketuaan
Kekerasan
Ukuran
Kerusakan maks. (jml/jml)
(%)
Kotoran
Busuk maks. (jml/jml) (%)
Mutu I
Seragam
Tua, tapi tidak
terlalu matang
Keras
Seragam
5
Mutu II
Seragam
Tua, tapi tidak
terlalu matang
Cukup Keras
Kurang seragam
10
Bebas
1
Bebas
2
Cara Pengujian
Organoleptik
Organoleptik
Organoleptik
SP-SMP-309-1981
SP-SMP-309-1981
Organoleptik
SP-SMP-309-1981
B. Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra digital (digital image processing) merupakan sebuah
teknologi visual yang digunakan untuk mengamati dan menganalisis suatu objek
tanpa berhubungan langsung dengan objek tersebut. Teknologi ini dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi mutu suatu produk tanpa merusak produk itu sendiri
atau dikenal dengan istilah non-destructive evaluation (NDE).
Proses pengolahan citra dan analisisnya banyak melibatkan persepsi visual.
Data masukan dan keluaran yang dihasilkan oleh proses ini adalah dalam bentuk
citra. Citra yang digunakan adalah citra digital, karena citra jenis ini dapat
diproses oleh komputer digital. Citra digital diperoleh secara otomatis dari sistem
penangkapan citra digital dan membentuk suatu matriks yang menyatakan
intensitas cahaya pada suatu himpunan diskrit dari suatu titik.
Pengembangan algoritma pengolahan citra sangat dipengaruhi oleh
perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan. Ada beberapa perangkat
keras yang digunakan untuk proses digitasi citra (image digitizing). Perangkat
keras yang pertama adalah sensor citra (image sensor). Menurut Ahmad (2005),
sensor citra digunakan untuk menangkap pantulan cahaya obyek yang kemudian
akan disimpan dalam bentuk nilai intensitas di dalam memori komputer. Sensor
citra banyak macamnya. Namun jenis sensor citra yang banyak digunakan adalah
solid-state image sensor karena mempunyai banyak kelebihan seperti konsumsi
daya listrik yang kecil, ukurannya kecil dan kompak, serta tahan guncangan.
Lebih lanjut menurut Ahmad (2005), sebuah kamera TV umumnya terdiri
atas satu atau lebih sensor citra, sebuah lensa, dan rangkaian komponen lain,
9
seperti pembangkit scanning, penguat (amplifier) dan rangkaian pemroses sinyal.
Sinyal yang dihasilkan oleh kamera TV adalah berupa sinyal analog sehingga
perlu dikonversi menjadi sinyal digital dengan menggunakan analog-digital
converter (ADC). Selanjutnya sinyal digital keluaran ADC ditransmisikan ke
memori komputer untuk membentuk citra digital. Bagan alir pengolahan citra
dapat dilihat pada Gambar 4.
Sensor
A/D
Converter
Masukan
citra
Bingkai
memori
Algoritma
pengolahan citra
Komputer
digital
Monitor
peraga
Gambar 4 Bagan alir pengolahan citra.
1. Citra Digital
Citra (gambar) digital merupakan citra yang dapat dibaca dan diekspresikan
secara akurat oleh komputer digital. Menurut Ahmad (2005), sebuah citra digital
tersusun dari kumpulan piksel-piksel dalam larik dua dimensi. Sebuah piksel
(pixel atau picture element) merupakan bagian terkecil dari suatu citra. Setiap
piksel diwakili oleh dua buah bilangan bulat (integer) yang menunjukkan lokasi
piksel tersebut dalam suatu citra, dan sebuah bilangan bulat untuk menunjukkan
intensitas cahaya dari piksel tersebut.
Jika ada sebuah citra dengan ukuran mxn piksel, maka dalam memori
komputer, citra tersebut akan tersimpan dalam bentuk array (m-1, n-1) seperti
terlihat pada Gambar 5.
10
f (0,0)
f (1,0)
.
f (X × Y) =
.
.
.
f (m − 1,0)
f (0,1) .............. f (0, n − 1)
f (1,1) .............. f (1, n − 1)
.
.
.
.
.
.
.
.
f (m − 1,1) .......... f (m − 1, n − 1)
Gambar 5 Matriks citra yang tersimpan dalam memori komputer.
Berdasarkan intensitas cahaya yang dimiliki oleh piksel dalam sebuah citra,
citra digital dibagi menjadi tiga macam, yaitu citra biner, citra abu-abu, dan citra
warna.
a. Citra Biner
Citra biner merupakan citra yag dihasilkan dari proses binerisasi. Setiap
piksel dalam suatu citra biner 8-bit hanya memiliki dua intensitas warna yaitu 0
(hitam) atau 255 (putih). Citra biner digunakan untuk memisahkan antara obyek
dengan latar belakangnya. Dalam citra biner, piksel dengan intensitas warna 0
dikelompokkan ke dalam latar belakang, sedangkan piksel dengan intensitas
warna 255 adalah piksel obyek (Ahmad, 2005).
b. Citra Abu-abu (Citra Grayscale)
Sebelum dikuantisasi dan diubah menjadi citra digital, citra mengandung
nilai intensitas yang kontinyu. Informasi intensitas dalam suatu citra digital dapat
disimpan dalam bentuk gray values atau nilai abu-abu (Nurhasanah, 2005).
Apabila citra disimpan dalam memori 8-bit, maka setiap piksel dalam citra
tersebut akan mengandung nilai intensitas antara 0 – 255. Pada komputer, piksel
dengan nilai intensitas 0 berwarna hitam, intensitas 255 berarti warna putih,
sedangkan nilai antara 0 – 255 adalah warna abu-abu (gabungan warna hitam dan
putih).
11
c. Citra Warna
Ahmad (2005) menyatakan bahwa warna ternyata tidak lebih dari sekedar
respon psycho-physiological dari manusia untuk intensitas penyinaran yang
berbeda. Energi dari cahaya tampak dengan panjang gelombang tertentu
ditangkap oleh mata dan diterjemahkan oleh otak sebagai warna.
Model pengolahan warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, salah
satunya adalah model warna RGB. Model warna RGB menggunakan dasar tiga
buah warna pokok yaitu Red (merah), Green (hijau), dan Blue (biru). Suatu citra
warna yang disimpan dalam memori 8-bit, setiap pikselnya akan mengandung
informasi intensitas tiga buah warna tersebut (R, G, dan B) dengan selang nilai 0 –
255. Dalam model warna RGB, intensitas warna setiap piksel pada suatu citra
dapat diubah dalam bentuk indeks warna, yaitu indeks warna merah (r), indeks
warna hijau (g), dan indeks warna biru (b). Proses ini dinamakan normalisasi,
dengan cara perhitungan seperti pada persamaan 1-3 (Ahmad, 2005).
r=
R
.........................................................................................(1)
R+G + B
g=
G
.........................................................................................(2)
R+G+ B
b=
B
.........................................................................................(3)
R+G+ B
dimana:
R, G, B = nilai intensitas warna merah, hijau, dan biru
r, g, b
= indeks warna merah, hijau, dan biru
Model pengolahan warna yang lain adalah model warna HSI. Model warna
ini menggunakan dasar nilai Hue (corak), Saturation (kejenuhan), dan Intensity
(kecerahan). Model ini dianggap sebagai cara sebenarnya manusia memandang
suatu warna, yang biasanya melakukan penilaian warna secara kualitatif (Ahmad,
2005).
Konversi model warna RGB ke dalam model warna HSI dirumuskan dengan
persamaan-persamaan berikut (Ahmad, 2005):
12
cos H =
S = 1−
I=
2R − G − B
2 ( R − G ) 2 + ( R − B)(G − B)
...................................................(4)
3
min( R, G, B) ..............................................................(5)
R + G + B)
R+G+ B
.........................................................................................(6)
3
2. Fitur Tekstur
Dalam pengolahan citra, tekstur sangat penting peranannya dalam
mengidentifikasi karakteristik suatu obyek, seperti pemeriksaan permukaan,
pengelompokkan pemandangan, orientasi permukaan, dan penentuan bentuk
obyek. Menurut Haralick, et al. (1973) dalam Nurhasanah (2005), untuk
menentukan tekstur diperlukan beberapa fitur (14 fitur). Namun dengan hanya
melakukan empat buah fitur, bentuk tekstur dari suatu obyek sudah dapat
ditentukan. Keempat fitur tersebut adalah fitur entropi, energi, kontras, dan
homogenitas.
Menurut Ahmad (2005), entropi adalah fitur untuk mengukur keteracakan
dari distribusi intensitas, sedangkan energi adalah fitur untuk mengukur
konsentrasi pasangan intensitas pada matriks co-occurrence. Kontras digunakan
untuk mengukur kekuatan perbedaan intensitas dalam citra, sedangkan
homogenitas digunakan untuk mengukur kehomogenan variasi intensitas dalam
citra. Persamaan untuk menentukan keempat fitur tekstur tersebut adalah sebagai
berikut (Ahmad, 2005):
Entropi = −∑ ∑ p (i1 , i 2 ) log p (i1 , i 2 ) ...................................................(7)
i1
i2
Energi = ∑ ∑ p 2 (i1 , i 2 ) .......................................................................(8)
i1
i2
Kontras = ∑∑ (i1 − i 2 ) 2 p (i1 , i 2 ) .........................................................(9)
i1
i2
Homogenitas = ∑∑
i1
i2
p (i1 , i 2 )
...........................................................(10)
1 + i1 − i 2
13
C. Aplikasi Pengolahan Citra Digital dalam Bidang Pertanian
Teknik pengolahan citra telah banyak digunakan dalam bidang pertanian,
baik pra panen maupun pasca panen. Dalam bidang pasca panen, pengolahan citra
digunakan untuk evaluasi mutu suatu produk pertanian secara non destruktif.
Arham, et al. (2004) menggunakan teknik pengolahan citra dan jaringan
syaraf tiruan untuk evaluasi mutu jeruk nipis. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa indeks warna merah, hijau, dan biru dapat digunakan untuk membedakan
umur petik jeruk nipis. Selain indeks warna tersebut, fitur kontras dan
homogenitas juga dapat membedakan umur petik jeruk nipis.
Sofi’i, et al. (2005) melakukan penelitian untuk menentukan jenis cacat biji
kopi dengan pengolahan citra dan artificial neural network (ANN). Dari
analisisnya, diperoleh hasil diantaranya adalah telah dibangun 2 model ANN
untuk menduga jenis cacat biji kopi dengan menggunakan parameter luas,
panjang, roundness, compactness, indeks merah, indeks hijau, indeks biru, corak,
saturasi, dan intensitas.
Ahmad, et al. (2004) menggunakan teknik pengolahan citra untuk
melakukan pemutuan buah mangga. Beberapa hasil penelitian tersebut adalah
parameter yang sesuai untuk pemutuan buah mangga Arumanis yaitu area dan
fitur kontras, sedangkan untuk mangga Gedong dapat dilakukan dengan
menggunakan parameter indeks warna merah.
Damiri, et al. (2004) mengidentifikasi tingkat ketuaan dan kematangan jeruk
lemon dengan teknik pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Dari hasil
analisisnya diperoleh hasil bahwa indeks warna merah, indeks warna hijau, corak
(hue), dan fitur energi dapat digunakan untuk membedakan kematangan jeruk
lemon. Selain itu, parameter pengolahan citra area, roundness, indeks warna RGB
dan fitur tekstur dapat digunakan untuk menentukan tingkat ketuaan dan
kematangan jeruk lemon.
Nurhasanah (2005) dalam tesisnya melakukan identifikasi tingkat ketuaan
dan kematangan buah manggis dengan pengolahan citra dan jaringan syaraf
tiruan. Dari hasil penelitiannya, diperoleh salah satu kesimpulan bahwa indeks
warna merah, komponen warna HSI, dan fitur entropi dapat digunakan untuk
membedakan tingkat ketuaan dan kematangan manggis.
14
Penelitian untuk menentukan pemutuan dan identifikasi kematangan buah
pepaya dilakukan oleh Safrizal (2005). Dalam penelitiannya, disimpulkan bahwa
panjang buah pepaya mempunyai korelasi yang baik dengan panjang buah dari
hasil analisis citra. Selain itu, pemutuan menggunakan hasil analisis citra
memberikan tingkat kesalahan yang lebih kecil dibandingkan pemutuan secara
manual.
Download