1 PENDAHULUAN Virus Hepatitis C (HCV) menginfeksi hampir 170 juta orang diseluruh dunia. Virus ini menyebabkan penyakit hepatitis C yaitu peradangan pada hati yang mengakibatkan sirosis hati (Lauer & Walker 2001). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2010 jumlah penderita hepatitis C di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 30 juta jiwa orang (Kementrian Kesehatan 2010). Tingginya jumlah penderita dikarenakan penyebaran virus yang sangat cepat. Virus dapat menghasilkan sekitar 1 milyar virion (partikel virus baru) tiap jamnya pada tubuh penderita (Sy & Jamal 2006). Sebagian besar kasus hepatitis C belum dapat dideteksi oleh tenaga kesehatan pada substansi terendah. Hal itu disebabkan masih minimnya peralatan yang digunakan untuk deteksi hepatitis C. Penyakit ini menular melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan hemodialisis. Selain itu, penyakit ini baru terdeteksi setelah memasuki fase akut (Moradpour et al. 2007). Deteksi penyakit yang lambat menyebabkan hanya sebagian kecil penderita yang memperoleh terapi pengobatan. Obat terhadap penyakit hepatitis C belum ditemukan. Terapi pengobatan hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon alfa (PEG-IFN α) yang dikombinasikan dengan ribavirin yang diberikan selama 12-72 minggu. Namun, terapi ini hanya berhasil pada penderita yang terinfeksi hepatitis C dengan genotip tertentu saja. Pada pasien yang terinfeksi hepatitis C genotip satu dan empat dapat menghambat pertumbuhan virus baru sebesar 50%-80%, sedangkan pada pasien yang terinfeksi HCV genotipe dua dan tiga dapat menghambat pertumbuhan virus kurang dari 80%. Selain itu, terapi ini menimbulkan efek samping seperti depresi, anemia, dan mual (Moradpour et al. 2007). Untuk itulah diperlukan pencarian obat baru untuk terapi penyakit hepatitis C. Beberapa upaya pencarian obat terhadap hepatitis C telah dilakukan, salah satunya melalui terapi target molekuler. Terapi target molekuler dikembangkan dengan pencarian inhibitor enzim yang berperan dalam replikasi HCV. Enzim yang berperan dalam replikasi HCV adalah serin protease, RNA polimerase, dan RNA helikase (Soriano et al. 2009). Penghambatan terhadap enzim RNA helikase dianggap lebih potensial sebagai target pengobatan HCV. Hal tersebut dikarenakan RNA helikase selain membuka ikatan dupleks RNA juga dapat menghidrolisis adenosin trifosfat (ATP) menghasilkan fosfat bebas yang berfungsi sebagai donor energi. Penghambatan terhadap kerja RNA helikase secara tidak langsung berpengaruh terhadap replikasi HCV. Penghambatan terhadap aktivitas ATPase lebih mungkin dijadikan sebagai target obat karena tidak memerlukan substrat RNA virus yang bersifat tidak stabil dan tidak membutuhkan pelabelan radioaktif (Borowski et al. 2002). Inhibitor enzim RNA helikase HCV dapat diperoleh dari hasil metabolit sekunder dari tumbuhan yang dihasilkan secara alami, misalnya dari mikroalga. Mikroalga merupakan fitoplankton yang hidup di air tawar maupun air laut. Kandungan senyawa kimianya banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri, kosmetik, sumber makanan baru, pewarna makanan alami, antivirus, dan bahan bakar nabati. Beberapa penelitian tentang mikroalga sebagai antivirus adalah antivirus terhadap virus herpes simpleks (HSV) yang diperoleh dari isolat Dunaliella primolecta (Ohta et al. 1998), antienterovirus dari isolat Spirulina plantesis (Shih et al. 2003), dan antiretrovirus dari isolat Phorphyridium sp (Talyshinsky et al. 2002). Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler, Puslit Bioteknologi, LIPI Cibinong telah melakukan penapisan terhadap 30 isolat mikroalga dengan pelarut aseton dan metanol. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa ekstrak kasar BTM 11 metanol 80% memiliki aktivitas penghambatan tertinggi terhadap RNA helikase HCV dan bersifat stabil dibandingkan dengan isolat yang lain (Mustopa 2009). Penelitian ini bertujuan mengisolasi bahan aktif dari mikroalga BTM 11 yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase HCV. Rumusan masalah penelitian ini adalah belum ditemukannya obat hepatitis C yang efektif dan isolasi serta pemurnian bahan aktif dari mikroalga sebagai antihepatitis C belum banyak dilakukan. Hipotesis penelitian ini adalah bahan aktif dari mikroalga BTM 11 dapat menghambat RNA helikase HCV. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bahan aktif dari mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase HCV, serta dapat memberikan informasi tambahan tentang pengobatan terhadap infeksi virus hepatitis C.