Ahlul Kitab - WordPress.com

advertisement
BAB IV
PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI
TERM AL-MUHSANA>T ( AHL AL-KITA>B )
Pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-kita>b telah
disepakati kebolehannya sejumlah ulama-ulama tafsir, bedasarkan
QS. Al-Maidah/5:5. Tetapi yang menjadi persoalan, bagaimana status
pernikahan dengan wanita-wanita muh}s}ana>t yang berasal dari ahl alkita>b. Dua hal yang berlawanan, antara ahl al-kita>b dan al-muh}s}ana>t,
walaupun telah disepakati sejumlah ulama-ulama, akan tetapi
perbedaan pendapat tentang siapa sebenarnya ahl al-kita>b dan siapa
yang dimaksud al-muh}s}ana>t, tetap menjadi kriteria yang
diperdebatkan, bahkan, telah memunculkan pemahaman, bahwa
makna al-muh}s}ana>t yang dipahami menurut QS.Al-Maidah/5:5 yang
tidak boleh dinikahi, apakah yang merdeka (al-hara>’ir) atau yang
terhormat (al-‘afa>’if). Perdebatan itu tidak cukup sampai di situ,
melainkan meluas, sampai kepada apakah istilah ahl al-kita>b
mencakup, maju>si dan sa>bi’ah, bahkan agama Hindu, Budha,
Konghuchu dan sebagainya.
Untuk memahami lebih jelasnya, beberapa kriteria di atas,
kajian seputar perbedaan-perbedaan istilah tersebut, baik ahl al-kita>b
dan al-muh}s}ana>t serta istilah lainnya, sangatlah penting dan
diperlukan dalam kajian ini, secara seksama.
A. Pengertian al-Muh}s}ana>t
Kata al-Muh}s}ana>t berakar kata, dari huruf [ha>’, sa>d, dan nu>n].
Yang secara literal artinya kokoh, kuat atau suci dari perbuatan
tercela. 1Perdebatan makna tersebut, meluas sampai kepada
pengertian, mereka yang merdeka (hara>’ir) dan terpelihara, (afa>’if).2
Mengenai al-muh}s}ana>t dalam teks QS. al-Maidah/5:5, ‫والمحصنات من‬
‫ الذين أوتو الكتاب من قبلكم‬menurut Ibn Jari>r al-T}abari>, dimaksudkan
1
Abu> al-Husai>n Ahmad Ibn Fa>ris Ibn Zakaria, Majma’ al-Maqa>yi>s Fi> AlLugha>t, ( Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1415 H/1994 M ), cet. I, 264.
2
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 166, Lihat. Sami>h At}if> Zei>n, Tafsi>r
Mufrada>t AlFa>dz Al-Qur’a>n Al-Kari>m, Majma’ al- Baya>n al-H}adi>th, (Beirut:Da>r
al-Kita>b al-Libna>ni, 1414 H/1984 M ), cet ke-2, 241.
179
adalah mereka yang telah memeluk agama Islam. 3 Sedangkan dalam
pengertian teks [‫]المحصنات من المؤمنات‬, al-muh}s}ana>t adalah mereka
yang sejak awal telah beriman, karena terlahir dari keluarga muslim.
Menurut Muja>hid adalah perempuan yang merdeka, dan menurut
Ibra>him Madku>r, al-muh}s}ana>t adalah wanita yang merdeka dan dapat
memelihara harga diri. 4
B. Memahami Term Ahl al-Kita>b [Yahudi dan Nasrani ]
Kata ahl [‫ ] أهل‬berasal dari dua akar kata, yaitu, yang pertama
iha>lah, yang secara etimologis berarti lemak yang diiris dan
dipotong-potong menjadi kecil. Akar kata yang kedua adalah kata
ahl [‫ ]أهل‬itu sendiri, yang baru bisa dipahami, setelah dirangkai
dengan kata lain, sehingga membentuk suatu kata majemuk, yang
disebut dalam Al-Qur’an, sebagaimana bentuk jamaknya, yaitu
ahlun [‫] أهلون‬.5 Kata ahl [‫]أهل‬, jika dirangkaikan dengan nama
tempat, memiliki arti penghuni atau penduduk yang bermukim di
tempat-tempat tertentu, seperti, ahl al-Madyan [ ‫] أهل مدين‬, ahl alQuro>’ [‫]أهل القرى‬, ahl al-Qaryah [ ‫]أهل قرية‬, ahl al-bai>t [‫] أهل البيت‬, ahl
al-Madi>nah [ ‫ ] أهل المدينة‬dan ahl al-na>r [‫]أهل النار‬. Kata ahl al-bai>t [ ‫أهل‬
‫ ]البيت‬sering digunakan secara khusus untuk menyebut keluarga Nabi
Muhammad SAW. 6
Kata ahl al-kita>b [‫ ] أهل الكتاب‬disebutkan dalam Al-Qur’an
sebanyak 30 kali, yang berarti orang-orang yang menganut agama
samawi yang diturunkan untuk mereka, secara khusus untuk
penganut agama Yahudi dan Nasrani.7 Dua komunitas tersebut,
secara jelas diketahui memiliki hubungan erat, persambungan akidah
dengan kaum Muslimin. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa
Al-Qur’an datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian
ajaranTaura>t [kitab suci agama Yahudi] dan Inji>l [kitab suci agama
3
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an ( kajian kosa kata),
(Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 415.
4
Ibra>him Madku>r, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Kairo:Majma’ al-Lughah alArabiyah, 1380 H / 1960 M ), Juz I, Cet. Ke-3, 186.
5
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
62.
6
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
62.
7
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
63.
180
Nasrani] serta mengoreksi sebagian yang lainnya.8 Al-Qur’an juga
menginformasikan, bahwa Nabi Isa a.s mengajak penganut agama
Yahudi untuk mengikuti ajaran yang dibawanya, karena ajaran
tersebut, merupakan, kelanjutan dari ajaran agama yang dibawa oleh
Nabi Musa a.s sekaligus menginformasikan tentang akan datangnya
Muhammad S.A.W sesudah beliau QS. al-Saff /61:6.9
Pengertian kata Yahu>d (‫ )يهود‬berasal dari akar kata yang
terdiri dari huruf ( ha>’,wa>w dan da>l ), yang memiliki arti kembali.
Dari akar kata tersebut terbentuklah kata ha>da, yahu>du, haudan
( ‫هودا‬-‫ يهود‬-‫) هاد‬.10 Menurut Raghi>b al-Asfaha>ni, al-Haud (‫ )الهود‬artinya
(al-ruju>’ bi al-rifqi )(kembali secara perlahan-lahan).11Tetapi menurut
A’Ra>bi, kata ha>da (‫ )هاد‬dapat berarti kembali dari kebaikan kepada
kejahatan atau sebaliknya, atau dari kejahatan kepada kebaikan. Oleh
karena itu, ha>da (‫ )هاد‬dapat diartikan sama dengan ta>ba’(‫)تاب‬, yang
artinya taubat atau kembali, seperti dalam QS. al-’Araf /7:156 ( ‫إنا هدنا‬
‫ )إليك‬Inna> Hudna> Ilaika [sesungguhnya kami kembali (bertaubat)
kepada Engkau].Yang dimaksud dengan kembali di sini adalah
bertaubat yang dilakukan oleh kaum Nabi Musa a.s dari
penyembahan anak sapi. 12 Kata Yahu>d (‫ )يهود‬yang diawali dengan ali>f
dan la>m, yaitu al-Yahu>d (‫ )اليهود‬digunakan untuk merujuk kepada
8
Ruslani,Masyarakat Kitab Dan Dialog Antaragama:Studi atas Pemikiran
Mohammad Arkoen, (Yogyakarta:Yayasan Bintang Budaya, 2000), cet. I, 111,
Dan Ahl al-kitab ( pemilik kitab), mereka disebut oleh al-Qur’an sebagai orangorang yang menerima wahyu yang tertulis:“ Sesungguhnya orang-orang mukmin,
Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, dan siapa saja di antara mereka, yang
benar-benar beriman kepada Alla S.W.T, hari akhir, dan beramal shaleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Tidak perlu ada kekwatiran dan
kesedihan dalam diri mereka (Qs. al-Baqarah/2:62,QS. al-Maidah/5:69]. Dalam alQur’an, al-Hajj/22:17, bahwa penganut Maju>si, yang belakang ini, dinamakan
Zaroastrian, juga dinamakan Mazdaean oleh sebagian penafsir, kemudian
digolongkan juga, sebagai ahl al-kita>b, bersama pengikut Yahudi, Nasrani dan
Sabi’an. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas)(penerjemah, Gufron A.
Mas’adi)( Jakarta : PT Raja Grafindo, 1999),15.
9
Ruslani, Masyarakat Kitab Dan Dialog Antaragama :Studi atas
Pemikiran Mohammad Arkoen, 111.
10
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
1092.
11
Abu> Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni,
Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a>n ( Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ), 546.
12
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
1092.
181
bangsa Yahudi atau ditunjukan kepada suatu kelompok yang berasal
dari Syam, dan di antara mereka ada yang menamakan nama dari
anak nabi Ya’kub, yang bernama Yahuda. 13 Jika kata tersebut
ditambah ya’( ‫ )اليهودي‬berarti maksudnya orang Yahudi, sedangkan
al-Yahu>diyah (‫ )اليهودية‬diartikan sebagai ‘agama Yahudi’. 14 Di dalam
al-Qur’an penyebutan kata al-Yahu>d (‫ )اليهود‬dijumpai sebanyak 9 kali,
yang semuanya diungkap dengan nada yang sumbang yang
menunjukkan atas kecaman terhadap orang-orang Yahudi, dan 8 kali
disebutkan dalam bentuk al-Yahu>d ( ‫) اليهود‬, yaitu dua kali dalam
surat al-Baqarah/2:113 dan120, empat kali dalam al-Ma>idah/5:18, 51,
64, dan 82 serta satu kali dalam QS. al-Taubah/9:30, dan satu kali
disebutkan dalam bentuk Yahu>diy (‫) يهودى‬, yaitu dalam al-Qur’an
surat Ali-Imran/3:67, yang semuanya mengandung arti ’orang-orang
Yahudi. 15 Selain itu juga, pengungkapan term al-Yahu>d (‫ )اليهود‬antara
lain, digunakan untuk membantah klaim-klaim ahl al-kita>b yang
menganggap Nabi Ibrahim a.s adalah Yahudi atau Nasrani yang akan
memperoleh keselamatan (QS. al-Imran/3:67). Juga klaim antara
sesama ahl al-kita>b yang masing-masing menyatakan diri, sebagai
kelompok yang paling benar, termasuk kekasih Allah (QS. alMaidah/5:18.16
Selain itu juga, beberapa prilaku buruk yang melekat yang
ditujukkan kepada term al-Yahu>d, antara lain kecaman keras, karena
tidak hanya sering berprasangka buruk terhadap sesama manusia,
tetapi berani berprasangka buruk kepada Allah S.W.T, dengan
menyatakan,
bahwa
tangan
Allah
terbelenggu
ُ
َ
ْ
ُ
[‫[] َيد هللاِ َمغلولة‬baca:kikir](QS. al-Ma>idah/5:64), selain itu juga,
kecaman terhadap mereka, atas akidah mereka yang rusak oleh
prilaku syirik, seperti menganggap’Uzair adalah putra Allah (QS.alTaubah/9:30. Dalam hal ini juga, al-Qur’an menyatakan, bahwa
orang-orang Yahudi tidak akan pernah merasa senang sebelum umat
Islam mengikuti cara hidup mereka (QS. al-Baqarah/2:120), karena
itu al-Qur’an mengingatkan umat Islam agar tidak menjadikan
mereka sebagai pemimpin (QS. al-Ma>idah/5:51), terutama bagi
13
1092.
1092.
14
Ibra>him Madku>r, Al-Mu’jam Al-Wasit}, 1039.
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
15
Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
16
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 56.
182
mereka yang diidentifikasikan Al-Qur’an sebagai Yahudi yang telah
memperlihatkan kebencian dan permusuhan yang sangat besar
terhadap umat Islam (QS. al-Ma>idah/5:82).17
Sedangkan pengertian al-Nasha>ra, adalah bentuk jamak dari
kata nashra>ni. Kata tersebut berasal dari akar kata[ nu>n, sha>d, ra>’],
yang secara literal berarti menolong.18 Term al-Nasha>ra dalam alQur’an menunjuk kepada pemeluk agama Nasrani (Kristen), yaitu
agama yang diturunkan kepada Bani Israil melalui Nabi Isa. a.s.19.
Dalam bunyi teks, ayat yang dimaksud, disebutkan kata “al-Din“,
sebagaimana dimaksudkan adalah agama Islam, sebagaimana
menurut QS. Ali Imran/3:19 [ ‫ [] إِ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هللاِ اْ ِإل ْسالَم‬Sesungguhnya
agama di sisi Allah hanyalah Islam ].20 Mengenai asal usul Nasha>ra
atau Nasrani, menurut Muhammad Galib bersumber kepada
beberapa versi, yaitu :
17
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 57.
Abu> Qa>s}im Husai>n Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib al-Asfaha>ni,
Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’a>n, 495. Istilah al-Nas>ara dalam term Arab untuk
agama Kristen, sekarang istilah resmi untuknya adalah Masihi, dari kata Masih
(Massiah) sebuah istilah yang dikembangakan oleh Missionari Kristen. Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. ke-2,
303.
19
Pada kenyataannya, Nabi Isa tidak pernah menyatakan sebagai pemeluk
agama Nasrani, melainkan mereka sendiri sebagai pengikut Nabi Isa a.s, yang
menyatakan atas diri mereka, sebagai Nashrani, hal itu dapat dilihat dengan bunyi
QS. al-Maidah/5: 14 dan 82 dengan ungkapan Ina> Nasha>ra dalam firman Allah
S.W.T [ ‫ [] َومِننَ الذنذِينَ َقنالُوا َِّ ذننا َنصَناََ َ أَ ََ ْنذ َنا م َِيُنا َق ُ ْم‬Dan diantara orang-orang yang
mengatakan : "Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani ", ada yang telah kami
ambil perjanjian mereka ], sementara Nabi Isa a.s.datang dan menyatakan dirinya
sebagai pembawa agama Islam, dengan bunyi teks QS. Al-Syu>ra’/42:13. َ‫َشََ عَ لَ ُكم مِّن‬
‫ص ْي َنا بِ ِه َِّبََْ اهِي َم َومُو َسى َوعِي َسى أَنْ أَقِي ُموا الن ِّدينَ َوتَ َت َت َرَذ قُنوا‬
‫َاو ذ‬
‫َاو ذ‬
َ ‫ك َوم‬
َ ‫صى بِ ِه ُنوحً ا َوالذذِي أَ ْوحَ ْي َنآ َِّلَ ْي‬
َ ‫ِّين م‬
ِ ‫الد‬
ُ‫”فِين ِه َك ُبننََ َعلَننى ا ْل ُم ْشن ِنَكِينَ مَا َتنندْ عُو ُه ْم َِّلَ ْين ِه هللاُ يَإْ َت ِبن َِّلَ ْي ن ِه َمننن َي َشننآ ُ َو َي ْ ندِي َِّلَ ْين ِه َمننن ُينِيننب‬. Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat
bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada (agama)-Nya orang yang kembali( kepada-Nya)(QS.Al-Syur’a/42:13).
Muhammad Ghalib,Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta:Penerbit
Paramadina, 1998), Cet. I, 57, Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya (Bandung : Gema Risalah Press ), 785.
20
Muhammad Abdusala>m Abu> Nil, Dira>sat Fi> Al-Qur’a>n Al-Kari>m:Tafsi>r
Maud}u>’iy (Nasr City : Da>r al-Fikr al-H}adi>th, 1408 H/1987 M), cet. Ke-2, 179.
18
183
(1). Berarasal dari kata nasha>ra yang berarti menolong atau
membantu. Hal yang demikian, dikarenakan mereka menolong
atau membantu orang lain, atau saling membantu di antara
mereka,
(2). Sebutan Nas}a>ra atau Nas}ra>ni dihubungkan dengan tempat atau
asal keluarga Nabi Isa a.s yang bernama Nas}i>ri, tetapi al-Bagdadi
menyatakan, Nas}i>ri adalah tempat kelahiran Nabi Isa a.s. Akan
tetapi pendapat yang popular di kalangan orang-orang Nasrani,
bahwa keluarga Nabi Isa berasal dari Nas}i>ri, tetapi beliau sendiri
lahir di Bethelhem.
(3). Sebutan Nas}a>ra atau Nas}ra>ni dikaitkan dengan pernyataan Nabi
Isa as, kepada orang-orang Hawari tentang kesediaan mereka
berjuang di jalan Allah bersama beliau. Dan hal ini, seperti
maksud dalam ayat al-S}af/61:14.21
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai asal kata
nas}a>ra atau nas}ra>ni, tetapi pada dasarnya, terdapat persamaan kata
yang saling melengkapi. Selain, kata tersebut, dapat dikaitkan dengan
tempat atau daerah asal Nabi Isa a.s dapat juga, dikaitkan dengan
prilaku pengikut-pengikut setia beliau yang bahu-membahu dan
saling setia tolong-menolong serta bertekat bulat untuk berjuang
menegakkan kebenaran di jalan Allah SWT, seperti yang terkandung
dalam pengertian kata dasar nas}a>ra.22 Dan dalam pengertian lain,
bahwa makna nasrani adalah komunitas yang diidentikan pada
sebuah desa di negeri Syam bernama nas}i}ri atau nas}u>riyah. 23
21
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 57. Terdapat beberapa alasan, dinamakan,
Nas}ara, setelah sekembalinya ibunya kepada Isa dari Misr, setelah menetap di
sebuah desa bernama ’Nas}i>rah, atau disebutkan‘ Nashiri, dan ada yang
menyubutnya,’ Nasran, karena itu sebutan, disandarkan kepada Isa as. sebagai Isa
al-Nas}ir> i. Dan ketika penyebutan itu, disandarkan kepada para pengikut nabi Isa
a.s, maka nama tersebut dikenal dengan sebutan,’Nashara’, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Ibn Abbas dan Qatadah, sumber penisbahan agama
mereka setelah penyebutan itu, dikenal dengan agama Nashrani. Muhammad
Abdusalam Abu Nil, Dira>sat Fi> Al-Qur’a>n Al-Kari>m : Tafsi>r Mawd}u>’iy (Nasr
City:Dar al-Fikr al-Hadits, 1408 H/1987 M ), cet. Ke-2, 190.
22
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta:Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 58.
23
Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas
(Jakarta : LPSI, 2008 ), 148.
184
Dalam al-Qur’an term al-Nas}a>ra disebutkan sebanyak 15 kali,
satu kali dalam bentuk tunggal al-Nasra>ni (‫ ) النصرانى‬dan 14 kali
dalam bentuk jamak al-Nas}a>ra (‫)النصارى‬. Kelima belas pengungkapan
tersebut, terdapat dalam 14 ayat pada 5 surat dalam al-Qur’an, yaitu,
6 ayat dalam ayat al-Baqarah, 1 ayat dalam Ali Imran, 5 ayat dalam
surat al-Maidah, dan 1 ayat dalam surat al-Taubah dan 1 ayat lagi
dalam surat al-Hajj. 24 Kelima ayat ini turun di Madinah. Hal ini yang
memberikan petunujk bahwa, kontak sosial umat Islam dan Nasrani
intensif ketika Rasulullah berada di kota tersebut. Namun bisa
mungkin, relasi sosial ini, terjadi sebelumnya, seperti tergambar
dalam surat al-Maidah/5:82, ketika umat Islam dalam perlindungan
Raja Najasyi (beragama Nasrani) di Ethiopia. 25 Dalam al-Qur’an term
al-Nas}a>ra yang dalam bentuk tunggal secara umum merupakan
sanggahan Allah terhadap umat Nasrani ketika mereka mengklaim
Nabi Ibrahim a.s sebagai penganut agama mereka, sedangkan term
al-Nas}a>ra, menggambarkan prilaku sosial Nasrani yang sombong dan
inkar janji dan persahabatan. Sikap keangkuhan tersebut, tergambar
dari klaim mereka terhadap agamanya QS. al-Baqarah/2:111,135, dan
Ibrahim a.s. sebagai Bapak para Nabi, penganut agama mereka QS.
al-Baqarah/2:140. Menurut Al-Qur’an klaim mereka langsung
dibantah oleh Allah S.W.T dengan mengatakan hanya sebuah anganangan, sedangkan mereka menyembunyikan sesuatu, QS. alMaidah/5:82.26 Dalam konteks yang lain, bahwa Allah S.W.T
mengecam mereka Nasrani, karena sikap dan prilaku mereka yang
mengubah kitab suci, al-Maidah/5:13, bahkan yang lebih fatal lagi,
perubahan yang mereka lakukan, terhadap ajaran yang paling
mendasar yaitu, 'aqi>dah tauhi>d ' yang menjadi inti ajaran para nabi
dan rasul. Ajaran tauhid tersebut, mereka ubah menjadi konsep
trinitas, QS. al-Maidah/5:73, dengan menkultuskan Nabi Isa a.s dan
mengangkatnya sebagai anak Allah QS. al-Taubah/9:30. Dalam
posisi ini, Nabi Isa a.s diposisikan sebagai salah satu unsur Tuhan
QS. al-Maidah/5:72.27 Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa al24
Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>zh AlQur’a>n Al-Kari>m ( Kairo : Da>r-Al-Hadit>h, 1991 M/1411 H ), Cet. ke-3, 875-876.
25
Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas
(Jakarta : LPSI, 2008 ), 148.
26
Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas
(Jakarta : LPSI, 2008 ), 149.
27
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 59.
185
Qur'an tidak pernah menyatakan, bahkan memukul rata orang-orang
Nasrani dalam katagori negatif, sebab al-Qur'an juga mengakui
bahwa di antara mereka yang diidentifikasikan sebagai al-Nas}a>ra,
karena masih terdapat kelompok yang tetap teguh melaksanakan
ajaran agamanya, walaupun jumlah mereka sedikit. Di antara mereka
adalah kelompok H}awari yang tetap setia berjuang menegakkan
agama Allah. 28 Setidaknya ada tiga ayat penting (QS. alBaqarah/2:62, al-Maidah/5:69, al-Hajj/22:17), yang menyebutkan
term al-Nas}a>ra bersama-sama dengan orang Yahudi, bahkan orangorangS}a>biu>n, dan ada yang mengindetifikasikan di antara mereka,
kelompok yang tetap berpegang teguh kepada ajaran yang
disampaikan nabi Isa a.s. Dan mereka itu mendapatkan balasan dan
keselamatan di akhirat, seperti halnya orang-orang yang beriman
kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan al-Qur'an memproklamirkan,
mereka orang-orang yang paling akrap dan cinta kepada orang-orang
yang beriman dan mereka yang menamakan diri sebagai orang-orang
Nasrani QS. al-Maidah/5:82. Keakraban mereka, cinta dan kasih
sayang mereka dapat terwujud ketika berinteraksi dengan orangorang Islam. Karena ternyata, di antara mereka terdapat pendeta dan
rahib-rahib yang sangat sederhana, zuhud terhadap kehidupan
duniawi serta tidak menyombongkan diri. 29
C. Pernikahan Dengan Muh}s}ana>t [ ahl al-Kita>b ] .
Al-Kalibi menyebutkan, term al-Muh}s}anat memiliki empat
kriteria, yaitu ; Islam, perempuan, memelihara diri, dan merdeka
(bukan budak). Selanjutnya, al-Kalibi mengungkap, bahwa kata Islam
dalam ayat ini (QS. al-Maidah/5:5) tidak termasuk dalam kriteria
yang disebutkan, karena adanya kalimat [ ‫ ] من الذين أوتوا الكتاب‬min allazi>na u>tu al-kita>b. Pengertian perempuan juga tidak sesuai, karena
perkawinan itu tidak akan terjadi kecuali dengan lawan jenis. Tetapi
kriteria al-'Iffah [ memelihara harga diri ], dan hara>'ir [merdeka] yang
bukan budak, dapat dicakup dalam ayat ini. Sehingga kata almuh}s}anat dipahami sebagai al-'iffah, maka pernikahan dengan ahl alkita>b dibolehkan baik yang merdeka ataupun budak. Tetapi jika
dipahami al-muh}s}ana>t itu adalah al-hurriyah (merdeka), maka
28
29
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 60.
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 60.
186
dilarang menikahi seorang budak dari ahl al-Kita>>b.30 Sedangkan
pernikahan pria muslim dengan wanita ahl al-Kita>b, terdapat dua
pendapat yang sangat mencolok, di antaranya, pendapat yang
mengharamkan dan pendapat yang membolehkan. 31
D. Perspektif Penafsiran Ulama Periode Sahabat, Abad I H.
Husain al-Dhahabi dan Manna>' Khali>l al-Qatta>n dalam
masing-masing kitabnya menyebutkan dua periode besar, yaitu, di
antaranya, (1).Tafsir pada masa khasik yang mencakup tafsir pada
30
Abu Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a> al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni
(Beirut : Idaroh al-Thaba’h Al-Muniriyah Da>r Ihya’ al-Turath Al-Arabi, t.th ), Juz
ke- 2, 66.
31
Dalam konsep ahl al-kita>b sebagaimana dikemukakan, bahwa mereka
adalah komunitas Yahudi dan Nasrani. Menurut sebagian ulama salaf dari
kalangan sahabat Nabi S.A.W mereka adalah orang-orang musyrik. Di antara
pendapat yang mengharamkan, bersumber dari Abdullah bin Umar r.a. Berawal
dari salah satu riwayat dari Ibn Umar yang disampaikan Nafi, bahwasanya
Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya mengenai pernikahan seorang muslim
dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi, berkata: Allah mengharamkan wanitawanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak mengetahui kemusyrikan
yang lebih besar dari keyakinan orang yang berkata, bahwa Tuhannya adalah Isa
atau salah seorang dari hamba-hamba Allah. Argument yang dilontarkan Ibn Umar
adalah berdasarkan QS. al-Baqarah/2:221. Nampaknya pendapat ini, berimbas
kepada pemahaman para ulama tafsir berikutnya, di antaranya, seperti, al-T}abarshi
(w. 548 H/1154 M), dan juga oleh al-Ra>zi (w. 606 H/ 1209 M), selain
beragumentasi yang sama, ia mempertegas bahwa ahl al-kitab adalah mushrik
berdasarkana QS. al-Taubah/9:30 dan al-Maidah/5:73,[Sesungguhnya kafirlah
orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga ].
Namun demikian, pendapat tersebut, kurang mendapat respon kalangan sahabat
umumnya, dan kalangan tabi'in, bahkan ulama-ulama tafsir modern hingga
kontemporer. Tetapi sebaliknya, secara umum, mereka membolehkan menikahi
wanita ahl al-kita>b, sebagaimana ditunjukkan dalam QS. al-Maidah/5:5, yang
berstatus telah men-takhs}is} (mengkhushuskan) larangan itu, menurut QS. AlBaqarah /2:221, karena ayat al-Baqarah itu, hanya ditujukan kepada laki-laki atau
perempuan kalangan penyembah berhala dan tidak termasuk ahl al-kita>b, maka
mengawini wanita ahl al-kita>b adalah hal yang boleh dan tidaklah dilarang.
Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( 849-911 H), Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r
(Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,1424
H/2003 M), cet. I, 564, Muhammad Fakhuddi>n Ar Rāzi (544-604 H), Tafsi>r alFakhri al-Ra>zi al-Mushtahīr bi al-Kita>b Al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghaib (Kairo :Dar
al-Fikr, t.th), Juz ke-5, 59-61, Muhammad Hasan al-Thaba'thaba'I, al-Miza>n Fi>
Tafsi>r Al-Qur'a>n (Beiru>t : Da>r Al-Arabiyah Wa Nasr Wa Tawzi>', 1398 H), jilid. 12,
178.
187
masa Nabi, sahabat dan tabi'in. (2). Tafsir pada masa pembukuan.
Akan tetapi tafsir perode klasik dapat diketahui mulai pada masa
Rasulullah S.A.W hingga munculnya tafsir masa pembukuan, yaitu,
akhir pada masa (Daulah Umayyah dan diawal Daulah Abbasiyah),
yaitu awal abad I hingga abad II H. 32
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an tentang pernikahan
seorang muslim dengan wanita ahl al-kita>b, yang terkandung dalam
QS. al-Ma>idah/5:5, telah disepakati Jumhur Ulama kebolehannya.
Namun beberapa istilah di dalamnya, terkait ahl al-kita>b yang
statusnya al-Muh}s}ana>t yang menjadi perdebatan ulama, apakah
dengan kriteria merdeka (al-hara>ir) atau dengan kriteria menjaga
kehormatan (al-afa>if), yang boleh dinikahi. Oleh karena itu,
penafsiran para sahabat di awal Islam menjadi rujukan penafsiran
ayat-ayat pernikahan beda agama, dengan melihat pemahaman secara
seksama, latar belakang, metodologi, pemikiran, serta alasan-alasan
masing-masing kalangan mufassir sahabat. Perbedaan-perbedaan
mendasar penafsiran itu, dapat ditelusuri secara komprehenshif,
dimulai melalui penafsiran sahabat, mereka yaitu :
1.
Al-Khulafa>’ al-Ra>shidi>n (11- 40 H)/(632-661 M)
Abu Bakar r.a (w. 634 H)33 ikut berperanserta sebagai mufassir
kalangan sahabat, 34 walaupun tidak sebanyak sahabat yang lain,
32
Lihat. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n
(Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M) , cet. I, 27-73, 75-102, Manna' Khali>l
al-Qatta>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000), cet.
ke-7, 326- 332.
33
Abu Bakar al-Siddiq adalah Abdullah bin Ustman bin Amir bin Amru
bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fikr alQurash al-Tamimi. Ia diberi kuniyah (penggilan), Abu Qaha>fah. Dan Pada Masa
Jahiliyah di gelari al-Ati>q. Dia seorang yang akhlaknya, sangat baik, berani, kokoh
pendirian, slalu memiliki ide cemerlang, sabar, toleransi, memiliki ‘azi>mah
(keinginan keras), faqih, bersifat wara', dan jauh dari subha>t. Ia Masuk pertama
kali Islam, setelah Khadijah. Ia terpilih menjadi khalifah setelah Rasulillah. Ia
hanya 2 tahun menjadi khalifah, dan pada tahun 634 M/13 H , ia meninggal dunia.
Aktifitasnya, dilalui dengan singkat, bahwa setelah Nabi wafat, bangsa Arab tidak
mau tunduk lagi kepada kekuasaan pemerintahan Madinah, mereka menganggap
perjalananya, yang dilakukan bersama Nabi setelah wafat batal. Karena itu
mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap mereka keras kepala dan
membahayakan negara, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini, yang
dikenal dengan perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Ibn Kathir, AlBida>yah Wa Al-Niha>yah Masa Khulafa>' Al-Ra>shidi>n, (Terj. Abu Ihsan Al-At}ari
dari Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah ), (Jakarta : Darul Haq,
188
dalam hal pernikahan ini, karena singkatnya waktu, serta kehidupan
perjuangan yang hanya tidak lebih dari 2 tahun, lalu estafet
kekhalifahan diteruskan oleh kahalifah Umar bin al-Khatta>b.35 Abu
Bakar membolehkan pernikahan pria muslim dengan wanita ahl alkita>b, yang merdeka yang berstatus dhimmy dan bukan h}arbiy. Hal
tersebut, disetujui mayoritas kalangan shahabat, dan para ahl fiqh
saat itu, kecuali Ibn Umar r.a, yang menolak pernikahan semacam
ini.36
Dalam konteks pernikahan seorang muslim dengan wanita
ahl al-Kita>b terkait term al- muh}s}ana>t dalam ayat [ ‫والمحصنات من الذين‬
‫ ] أوتو الكتاب من قبلكم‬QS. Al-Maidah/5:5, dimaksudkan adalah, bahwa
makna al-Muh}s}ana>t adalah sebagai al-Afa>’if [wanita yang menjaga
diri].37 Pendapat itu, disetujui oleh Umar bin al-Khatta>b (13-23
H/634-644 M), sebagaimana menurut riwayat Muhammad bin Yazi>d
dari al-Shhit} bin Bahra>m dari Shaqi>q bin Salmah, Ia berkata :
Hudhaifah menikahi wanita Yahudi, lalu Umar r.a menulis surat
2004, cet. I, 13-14, 28. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah
II ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000 ), 35-36.
34
Al-Dhahabi mengutip dari al-Suyu>t}i ( dalam Kitabnya al-Itqa>n ), bahwa
beberapa mufasir kalangan sahabat yang terkenal adalah, selain keempat khalifah,
yaitu ; Abdullah bin Mas'u>d, Abdullah bin Abba>s, Abdullah bin Ka'ab, Zaid bin
Tha>bit, Abu> Mu>sa al-Ash'ari, dan Abdullah bin Zubair. Terdapat pendapat lain,
diantara sahabat, selain mereka, adalah, Ana>s bin Ma>lik, Abu> Hurairah, Abdullah
bin Umar, Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Siti Aishah. Lihat.
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah
Wahbah, 1396 H/1976 M ) , cet. I, 49.
35
Namanya Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Adi bin Abdul 'Uzzah bin
Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razzah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, Abu Hafs
Al-Adawi. Julukan beliau adalah al-Fa>ru>q dan ada yang menyebutnya gelar itu
berasal dari ahl al-Kita>b. Sedangkan Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin
Mughirah kakak dari Abu Jahal bin Hisyam. Terkait gelar al-Fa>ru>k, al-Thabri
menyebutkan, dari jalan Ibn Sa’ad dengan yang Shahih bersumber dari al-Zuhri,
dengan lafaz, ‘ telah sampai Khabar kepadaku “, dari Jalur al-Waqidi, dari Siti
Aisyah ra. Bahwa Nabi yang telah member gelar, al-Fa>ru>q kepada Umar, dan AlWaqidi dinilai, matru>k (ditinggalkan beritanya), oleh kalangan Muhadithi>n, tetapi
Ibn Saad mengeluarkan dengan jalan yang mursal bahwa Rasulullah bersabda:“
Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di atas lidah Umar dan di atas hatinya,
dialah al-Faruq. Ibn Katsir, Tahzi>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah
Masa Khulafa’ Al-Ra>shidi>n (Bandung : Dar Al-Haq, t.th), 168.
36
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar Fikr,
t.th ), Juz I, 461.
37
Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n, 459.
189
kepadanya agar ia menceraikannya. Lalu Hudhaifah membalas
suratnya itu, dengan mengatakan, apakah maksud anda adalah
haram, hingga saya harus menceraikannya. Umar r.a menjawab:
tidak, aku tidak bermaksud mengharamkannya, melaikan aku
kwawatir bahwa umat Islam, akan menjauhkan mereka, karena ahl
al-kita>b. Al-Sha’bi berkata:bahwa ayat ini, menyatakan bahwa,
diantara tepeliharanya wanita Yahudi dan Nasrani adalah mereka
bersuci dan mandi dari setiap jina>bah (hadath besar) dan
membersihkan farj-nya. Pendapat itu, berbeda dengan pendapat
Mujahid yang memaknai sebagai wanita yang merdeka (hara>’ir).38
Umar bin al-Khattab r.a selama dalam pemerintahannya, banyak
melakukan beberapa hal, terkait persoalan pernikahan ini, yaitu,
Pertama, Pernikahan beberapa tentara Islam termasuk di antaranya,
Ja>bir bin Abdillah ra. dan juga Sa’ad bin Abi Waqqa>s ra. setelah
penaklukan kota Kuffah.39 Kedua, perkawinan Hudhaifah r.a. ketika
menjadi gubernur di Mada’in dengan seorang wanita Yahudi.40
38
Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut:Dar Fikr,
t.th), Juz I, 459.
39
Terdapat riwayat tentang pernikahan tentara muslim dengan wanita Al
al-kita>b, di Kuffah, Dalam hal ini Jabir menjelaskan bahwa beberapa orang
(termasuk Saa>d bin Abi> Waqqa>s ), menikahi wanita ahl al-kitab, karena pada saat
itu, hampir tidak menemukan seorang wanita muslimah. Tetapi setelah
kembalinya ke Madinah, mereka menceraikan isteri-isteri mereka. Dan keterangan
ini, menjelaskan kebolehan pernikahan dengan wanita ahl al-kitab bagi orang
Islam, namun tidak sebaliknya para wanita muslim ah tidaklah dihalalkan, bagi
pria ahl al-kitab. Lihat. Abu Bakar Abdul Raza>q ibn Hammam al-Shan’a>ni,
Mus}annaf Abdul Raza>q, (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi, 1403 H), cet. Ke-2, 178,
Lihat juga teksnya dalam sunan al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali
bin Musa Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra (> Makkah Al-Mukarromah:
Maktabah Dar Baz, 1994 M), Juz VII, 172.
40
Dalam pernikahan ini, Khalifah Umar sangat jelas, ikut aktif di
dalamnya, dalam menyelesaikan antara pernikahan Hudhaifah dengan wanita
Yahudi, yang berbuntut kepada perceraian keduanya, yang di awali ceritanya,
Khalifah Umar menulis surat kepada Hudhaifah, agar segera menceraikan istrinya
itu, dan terjadilah perdebatan, sebagaimana dalam sebuah riwayat, “Umar berkirim
surat kepada Hudhaifah agar segera menceraikan istrinya (seorang Yahudi), yang
isinya, “ Saya kwawatir kalian akan meninggalkan para wanita muslimah, dan
menikahi para wanita pelacur. Dalam riwayat lain, “ Hudhaifah membalas surat
tersebut, Hudhaifah berkata : Apakah ia (wanita Yahudi) itu haram dinikahi?,
Umar r.a menjawab[dalam suratnya]:Tidak, akan tetapi, aku kwawatir akan
mengambil istri para pelacur dari mereka. Lihat. Abu Bakar Ahmad bin Husain bin
190
Ketiga, beberapa pernikahan beda agama yang diputus cerai oleh
khalifah.41 Demikian menurut Umar bin al-Khatab r.a dengan
mengamalkan za>hir na>s terhadap QS. al-Maidah/5:5, bahwa pria
muslim boleh menikahi wanita ahl al-kita>b, sedangkan wanita
muslimah tidak boleh dinikahi oleh pria ahl al-kita>b, karena tidak
terdapatnya satu ayat yang secara tegas melarang bentuk pernikahan
semacam ini. Selain itu, Ia membatasi cakupan ahl al-kita>b, dengan
tidak memasukkan Nasrani Arab ke dalam katagori tersebut, bahkan
ia berjanji memperdulikan mereka, sampai mereka masuk Islam.42
Sedangkan Usman bin Affa>n ra. (w. 33 H)(644-655 M)43,
ketika berada dalam penguasaan Madinah tempat kepemimpinannya,
Ali bin Musa Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra> (Makkah AlMukarromah:Maktabah Dar Baz, 1994 M), Juz VII, 172.
41
Terdapat beberapa kasus yang terjadi di masa Umar, pernikahan
beberapa wanita muslimah denga pria ahl al-kita>b, baik yang berbeda agama sejak
sebelumnya atau setelah menikah yang diceraikan oleh Khalifah Umar,
diceritakan, bahwa seorang lelaki Nasrani dari Bani Tsa’lab, Ubbad bin Nu’man,
yang memiliki seorang istri seorang wanita dari Bani Tamim, Dalam perjalanan
kehidupan perkawinan mereka, sang istri masuk Islam, sedangkan Ubbad masih
dalam kadaan Nasrani, maka Umar memisahkan keduanya, karena sang suami
menolak untuk masuk Islam. Lihat. Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin
Sala>mah bin Abdul Ma>lik bin Salamah al-T}ah>awi, Sharh Ma’a>ni al-Athar
(Muhaqqiq : M. Zuhri al-Najjar),(Beirut : Da>r al-Kutub Ilmiyah, 1399 H), Juz III,
cet. I, 259.
42
Sikap tegas Umar juga terlihat, ketika menyatakan Nasrani bukan ahl
al-kita>b, seraya berkata, Bahwa Orang-orang Nasrani Arab bukanlah ahl al-kita>b,
dan tidaklah halal hewan-hewan sembelihan mereka, Akupun tidak akan
membiarkan mereka( menikah ), hingga mereka masuk Islam atau aku akan
memukul leher ( memerangi ) mereka “. Lihat. Muhammad bin Idri>s Abu Abdillah
al-Sha>fi’ih, Musnad al-Sha>fi’ih ( Beirut : Dar Kutub, t.th ), 309.
43
Usman bin Affan lahir pada tahun 574 M, dari golongan Bani Umayah.
Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. Beliau masuk Islam atas
ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan Al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n (golongan
yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah Saw sendiri menggambarkan
Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati diantara kaum
muslimin. Beliau dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal
namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada
umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzu>nnurain yang berarti
yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi
puteri kedua dan ketiga dari Rasullah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum ). Ia
meninggal karena terbunuh, di hari Adha sedangkan ia sedang membaca AlQur’an, para usia 82 tahun, pada tahun 35 H, dengan jabatan sebagai khalifah
selama 12 tahun, Ibn Katsir (701-774 H), al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah (Tahqiq:
191
yang terjadi dalam beberapa penaklukan luar Jazirah Arab, seperti
Afrika, sehingga terjalin suatu hubungan yang baik, dan ketika itu
Usman menjelang kewafatannya, pada tahun 28 H, Ia menikahi
Nailah binti al-Fara>fisah seorang waita Nasrani, dan ketika
dinikahinya, ia masih dalam keadaan Nasrani, kemudian ia masuk
Islam. Namun beberapa data sejarah, menyatakan bahwa, walaupun
Nailah pada saat (perkawinan), ia masih keadaan Nasrani, akan
tetapi, ia sudah masuk Islam sebelum digauli oleh khalifah Usman
bin Affan ra.44
Sementara Ali Bin Abi> T}a>lib ra (11-40 H/634-661 M),45 Ia
seorang yang terdekat Nabi S.A.W, kemudian menjadi khalifah
Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki)(Gizah:Markaz Bu'ut Wa Dirasat alIslamiyah Wa Al-Arabiyah Bi dar Hijrah, 1418 H /1998 M), cet. I, 208-213,
Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah
(I’zamu al-Islam ‘Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-Zaman, terj. Khoirul
Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007 ), cet. 1, 16-19. Tetapi
dalam sisi fiqhnya, beliau diantara, fara pemberi fatwa yang pertengahan, diantara
para sahabat lain, seperti, Abu Bakar al-Siddiq, Ummu Salamah, Abu Said alKhudri, Abu Musa al-Ash'ari, Ja>bir bin Abdullah, Muaz bin Jabal, Abdullah bin
Amr bin Ash, serta Abdullah bin Zubair. Lihat. Manna’ Al-Qatta>n, Tari>kh Tashri>’
Al-Isla>mi Al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad} : Maktabah Al-Ma’arif Li Al-Nasr Wa
Tawzi’ Lis}a>hibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rashi>d, 1417H/1997 ), Cet. Ke-2,
242.
44
Terdapat keterangan dalam al-Bida>yah Wa al-Niha>yah, bahwa Ibn
Katsir menjelaskan, bahwa Usman bin Affan, telah menikahi Nailah binti
Farafisah, yang masih dalam keadaan Nasrani, sedangkan ia (satu-satunya),
wanita Nasrani, di antara istri-istri Usman, kemudian Ia masuk Islam ditangannya,
Lihat. Abu Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasqi, al-Bida>yah
Wa al-Niha>yah ( Beiru>t : Makabah Ma’rif, t.th ), Jus VII, 163.
45
Nama lengkapnya, Ali bin Abu T}alib bin Abdul Muthalib bin Hashim
bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah Abu Hasan dan Husein, digelari Abu
Thurab, anak paman Rasulullah SAW dan suami putri beliau, Fatimah al-Zahra’
ra. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi
Manaf binQushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan
putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu T}alib. Dia adalah paman kandung
Rasulullah SAW yang sangat menyayanginya. Nama sebenarnaya, adalah Abdi
Manaf. Ali bin Abi Thalib masuk Islam saat masih kanak-kanak. Ia telah menyerap
sejak usia belia, tumbuh besar dalam pangkuan kenabian dan tangan kerasulan. Ia
sadar bahwa ia anak asuh di rumah kenabian. Ia menyaksikan semua peperangan,
kecuali Tabuk, karena Rasulullah SAW, meninggalkannya di rumah. Ia telah
menyerap akhlak kenabian hingga is memadukan keutamaan-keutamaan yang
tidak dimiliki oleh yang lain. Hatinya bersinar, pemikirannya cemerlang dan
192
pengganti Usman bin Affan r.a, meskipun tidak banyak yang
meriwayatkan dalam masalah pernikahan beda agama, tetapi dalam
salah satu riwayatnya, disebutkan, bahwa menurutnya, orang-orang
Arab yang beragama Nasrani, tidak ada yang tidak meminum Khamr,
oleh karena itu, Ali melarang umat Islam untuk memakan daging
hewan sembelihan mereka.46 Menurut keterangan lain, disebutkan
bahwa, Ali bin Abi T}a>lib r.a. tidak suka memakan hewan hasil
sembelihan Nasrani Arab, dan tidak mengawini para wanita
mereka. 47 Pandangan Ali tentang nikah beda agama, terkait ayat alMaidah/5:5[bersumber dari T>awwus dan Hasan ], juga sejalan
dengan pendapat Siti Aisyah r.a dan Ibn Umar r.a, yang menyatakan,
bahwa tidak membenarkan makanan sembelihan yang dilakukan atas
dasar tidak menyebut nama Allah S.W.T, dengan alasan ayat 121
surat al-An'am, [ ‫] وال تأكلوا مما لم يذكر اسم هللا عليه وإنه لفسق‬. Tetapi dalam
hal ini, menurut Imam Maliki, bahwa Ali r.a hanya mencela atas
pernikahan tersebut, dan tidak mengharamkannya. 48 Terkait dengan
ilmunya luas. Sehingga ia menjadi lautan ilmu dan hujjah pemahaman keagamaan
dan panggilan hukum. Rasulullah SAW telah mengangkatnya untuk memimpi
Yaman dan berdo’a untuknya, ” Ya, Allah kuatkanlah lidahnya dan bimbinglah
hatinya ”. Dalam al-Hilyah, Abu Nua’im meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Ibn
’Ayya’sy, dari Nashir bin Sulaiman Al-Ahmasy, dari ayahnya, dari Ali ra. Yang
berkata : ” Demi Allah, tida ada satu ayatpun yanga turun kecuali aku mengetahui
perisiwa apa berkaitan dan di mana ayat itu diturunkan. Sesungguhnya Tuhanku
menganugrahkan kepadaku hati yang cerdas ( qalban ’aqu>lan ) dan lidah yang suka
bertanya (lisa>nan sa’u>lan ). Ibn Katsir, al-Bida>yah Wa An-Niha>yah Masa Khula>fa’
Al-Rasyidi>n ( terj. Abu Ihsan Al-Atsari dari kitab Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b alBida>yah Wa Al-Niha>yah )( Jakarta : Dar al-Haq, 1424 H / 2004 ), cet. I, 415
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo:Maktabah
Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Jus I, cet. t.th, 66, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki
Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an : Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> Ulu>m
Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>tti ( Bandung : PT Mizan Pustaka,
2003), cet. I, 287, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an : Sejarah Tafsir dan
Metode Para Mufasir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1428 H / 2007 M), Cet. I, 27
46
Abu Bakar Abdul Razaq ibn Hammam al-Shan’ani, Mus}annaf Abdul
Raza>q, (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi,1403 H), cet. Ke-2, 186.
47
Lihat. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi, alMus}annaf Fi al-Ah}a>dits Wa Al-Athar (Riyad : Maktabah al-Rusyd, 1409 H), Juz
III, cet. I, 478.
48
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq:Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I,
Juz : I, 316.
193
na>sikh dan mansu>kh yang merupakan sebagai dasar pemahaman
ajaran Islam, terutama memahami isi kandungan al-Qur’an, sebagai
salah satu cara mengetahui tentang yang halal dan yang haram hingga
tidak bercampurnya antara kedua hal tersebut, menurut Ali r.a
mengetahui na>sikh dan mansu>kh dalam bagian kajian ini, sangatlah
penting. Tetapi terkait pernikahan beda agama QS. al-Baqarah/2:221
dan QS. al-Maidah/5:5, sebagaimana disampaikan al-Suyut}i, bahwa
ayat Al-Baqarah di atas, telah di-nasakh dengan ayat al-Maidah.
Dengan melihat ungkapan itu, Ali bin Abi T}alib telah jelas,49
memahami apa yang dimaksudkan kedua ayat di atas dalam hal
pelarangan menikahi wanita musyrik, dan membolehkan menikahi
wanita ahl al-kita>b. 50
2. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M )
Menyimak penafsiran Ibn Abbas r.a, telah membenarkan
seorang muslim menikahi wanita ahl al-Kita>b, sebagai bentuk
pengecualian (istisna>’) terhadap ayat 221 surat al-Baqarah dengan
ayat 5 surat Al-Ma>idah.51 Dalam hal ini, Ibn Abbas, berkata : Bahwa
49
Sebagaimana yang ditulis oleh Al-Zarkashi (w. 794 H) dalam al-Burha>n
dan juga al-Suyut}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n Al-Imam Jalaluddin AlSuyu>t}i (w. 911 H), sebuah atsar Ali bin Abi Thalib mengungkapkan terhadap
seorang Hakim. ” Tidak diperkenankan seseorang untuk menafsirkan Al-Qur’an,
kecuali ia telah mengetahui nasikh dan mansukh . Dan Ali bin Abi Thalib telah
berkata kepada seorang Hakim, ” Apakah anda mengetahui yang nasikh dari yang
mansukh ? Hakim menjawab : Tidak, jawab seorang hakim itu. Lalu Ali berkata :
Celakalah anda dan mencelakai orang lain ”. Sebagaimana yang ditulis oleh AlZarkasyi (w. 794 H) dan juga al-Suyu>t}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n . AlImam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyi (w. 794 H), Al-Burha>n Fi>
Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo:Maktabah Dar Al-Turath, t.th), Jilid I, 29,Al-Imam
Jalaluddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> ’Ulu>m Al-Qur’a>n (tahqiq : Said alMandu>r )( Beirut : Dar al-Fikr Li Thaba’ah Wa Nasr Wa Nasr Wa Tawzi’, 1416 H/
1996), jilid. II, cet. I, 59.
50
Al-Imam Jalaluddin Al-Suyutti (w. 911 H), Al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m AlQur’a>n (tahqiq:Said al-Mandur)(Beirut:Dar al-Fikr Li Thaba’ah Wa Nasr Wa Nasr
Wa Tawzi’, 1416 H/1996 ), jilid. II, cet. I, 59.
51
Pendapat Ibn Abbas sebagaimana yang dikutip al-Suyutti dalam
tafsirnya, bahwa ia melalui Ibn Jarir, Ibn Munzir, Ibn Abi Hatim, serta al-Nuha>s
(dalam Nasikh-nya), dan Al-Baihaqi (dalam Sunan-nya) berpendapat, bahwa
larangan menikahi wanita musyrik merupakan bentuk pengecualian (istina>’a>t)
khusus terhadap wanita ahl al-Kitab, sementara menurut Abu Daud dan AlBaihaqi yang bersumber dari Said bin Zubair itu adalah bentuk nasakh, Jalaluddin
al-Suyutti (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r
194
Allah mengecualikan wanita ahl al-kitab dari ketentuan di atas.
Sedangkan menurut Abdullah bin Jubayr, mengutip keterangan
hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, [ ‫نتزوج نس اء أهل الكتاب واليتزوج‬
‫ []نساءنا‬Kitab boleh menikahi wanita-wanita ahl al-kitab, namun lakilaki mereka tidak boleh menikahi wanita kita].Walaupun sanadnya,
diperselisihkan, namun subtansinya, disepakati para ulama.52 Tetapi
terdapat pengecualian menurut Ibn Abbas r.a tentang al-muh}s}ana>t
wanita ahl al-kita>b yang berstatus dhimmi boleh dinikahi, sedangkan
yang berstatus h}arbi tidak boleh dinikahi. 53 Pendapat tersebut
didukung atas dasar firman Allah QS. Al-Mujadilah/58:22, yang
menyatakan tidak akan pernah ada seorang mukmin bisa menjalin
hubungan cinta-kasih dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan
Rasul-Nya, tetapi sebaliknya bahwa hubungan perkawinan dapat
melahirkan rasa cinta dan kasih-sayang antara sang suami dan istri,
sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an surat al-Ru>m/30:21.54
(Tahqiq:Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’uth Wa
Al-Dirathat al-Arabiyah Wa al-Islamiyah, 1424 H/2003 M), cet. I, 562-563.
52
Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan Dan Perceraian
Dalam Kajian Ibnu Katsir ( Jakarta : Gaung Persada (GP) Press, 2010 ), Cet. I, 2021.
53
Kafir Istilah harbi dan zimmi, kafir harbi adalah kafir yang
disyari’atkan, boleh diperangi. Sedangkan kafir dimmi, yaitu orang kafir yang
membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya
mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh
selama ia masih mentaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka.
http.Islambukanteroris.com. Disadur, 11 Juni 2011. Menurut Muhammad Quraish
Shihab, pengertian Kafir ( secara bahasa ), adalah tidak percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya ( Nabi Muhammad S.A.W ), kafir Majusi, kafir karena menyembah api,
kafir mushrik, kafir karena menyekutukan Tuhan, percaya akan adanya tuhan
selain Allah atau mempersama-samakan Allah dengan tuhan yang lain, J.S Badudu
dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 2001 ),cet. ke-4, 595, Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi AlQur’an (kajian kosa kata), (Jakarta : Lentera Hati, 2007), cet. I, 415-417, 560-561.
54
Terjemahan QS. al-Rum/30:21, “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an
Dan Terjemahnya ( Bandung : Gema Risalah Press ), 644, Abu al-Fadl Syihab alDin al-Sayyid Mahmud Al-Alusi al-Baghdadi, Ru>hul al-Baya>n Fi> al-Qur’a>n alAz}im
> Wa Sab’ul Matha>ni ( Beirut : Dar Ihya al-Turast Al-Arabi, t.th ), Juz VI, 65-
195
3. Abdulla>h bin Mas’u>d ( w. 32 H )
Menurut Abdullah bin Mas’ud r.a dalam konteks pernikahan
beda agama ini, keterangan, ini tidak berbeda dengan pandangan
para sahabat pendahulunya atau sahabat yang lain, maka dalam
kasus pernikahan ini, terlihat jelas, mayoritas para ulama mulai dari
kalangan sahabat, tabi’in bahkan ulama masa awwal Islam sampai
moder-kontemporer, sependapat membolehkan status pernikahan
dengan wanita ahl al-Kita>b, berdasarkan firman Allah S.W.T QS. alMaidah/5:5. walaupun berbeda ada dianatara mereka, yang tidak
sejalan karena alasan dan pandangan yang berbeda.55
4. Abdullah Bin Umar ( w. 72 H )
Menurut Abdullah bin Umar56 terkait pernikahan dengan
wanita al-muh}s}ana>t, misalnya, terhadap QS. Baqarah/2:221 atau QS.
66. Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1998 ), Cet. I, 167.
55
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171.
56
Abdullah bin Umar r.a putra khalifah kedua Umar bin Khattab bin
Naufel al-Quraisyal-Al-Adawi saudara kandung Sati Hafsah Ummul Mukminin.
Dia di lahirkan tidak lama setelah Nabi diutus menjadi Rasul, ketika itu ia baru
berumur 10 tahun. Ia ikut masuk Islam bersama ayahnya. Kemudian ia mendahului
ayahnya hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk
ikut perang, dan Rasulullah tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang
Uhud ia banyak mengikuti peperangan, diantaranya, perang Qadisiyah, Yarmuk,
Khandak, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan Basrah dan
Madain. Al-Zuhri tidak pernah meninggalkan pendapat Ibn Umar r.a untuk beralih
kepada pendapat orang lain. Imam Malik dan al-Zuhri berkata : ” Sungguh, tak ada
satupun dari urusan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi
Ibn Umar ”. Ia seorang yang banyak meriwayatkan hadits setelah Abu Hurairah. Ia
meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Siti Aisyah, saudari kandungnya
Hafsah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibn Umar banyak
sekali, dinataranya, Sa’id bin Musayyab, al-Hasan al-Basri, Ibn shihab al-Zuhri,
Ibn Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus dan Ikrimah. Ia dikenal seorang yang Zuhud,
shaleh, bertaqwa, seketika berkata Rasulullah tentang dirinya, ”Sebaik-baik
pemuda adalah Abdullah bin Umar, dan jika ia shalat malam, jarang waktu
malamnya terbuang untuk tidur, keculai sedikit sekali ”. Ia wafat di Makkah
setelah haji pada tahu 73 H dengan usia 84 tahun. Manna’ Al-Qattan, Tari>kh
Tasyri>’ Al-Isla>mi Al-Tasyri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad} : Maktabah Al-Ma’arif Li AlNasyr Wa Tawzi’ Lishahibiha Sa’ad bin Abdurahman al-Rasyid, 1417 H/1997),
Cet. Ke-2, 25, Ibn H}ajar Al-Atsqalani (w.852 H),Taqri>b al-Tahzi>b (Beirut :
Mu’asasah Al-Rislah, 1420 h/ 1999 M ), cet. I, 256-257.
196
al-Maidah/5:5, sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa bab
sebelumnya, Ibn Umar r.a kurang menyetujui adanya pernikahan
semacam ini. Hal itu bisa dipahami, karena Ia memandang, bahwa
ahl al-kita>b adalah musyrik, sebagaimana dimaksudkan QS. alBaqarah/2:221, karena alasan itulah, Ia mengharamkan pernikahan
seorang mu’min dengan wanita ahl al-Kita>b. Jika demikian, tentu,
menikahi wanita al-muh}s}ana>t, tidak berarti apa-apa baginya.
Bertentangan dengan beberapa pendapat para sahabat umumnya,
yang secara historis, pernikahan semacam ini telah dilakukan
kalangan sahabat, seperti, Usman bin Affan r.a menikahi Nailah binti
Fara>fisah seorang wanita Nasrani, kemudian ia masuk Islam,
demikian dilakukan Hudhaifah menikah dengan perempuan Yahudi,
juga beberapa sahabat yang lain, seperti, Ibn Abba>s, T}alhah, Jabir
dan lainnya. Juga dilakukan kalangan para tabi’in, seperti, Sayyid bin
Musayyab, Muja>hid, Said bin Jubayr, Ra>bi’ bin Ana>s, Ikri>mah, alSha’bi, D}ahak, serta beberapa kalangan ulama fiqh lainnya.57
Pendapat Ibn Umar r.a tersebut, memiliki landasan riwayat, yang
disampaikan Al-Bukhari dan Al-Nuhas, yang bersumber dari Na>fi’
َ‫ انّ عبد هللا بن عم‬, ‫ والنحاس فى ( ناسَه ) عن نافع‬, ََ‫وأََج البَا‬
‫ حَّ م هللا‬: ‫ قال‬. ‫كان َّذا سئل عن نكاح الَإل النصَانية أو الي ودية‬
‫ وت أعَف شيئا من اإلشَاك أعظم من أن تقول‬, ‫المشَكات على المؤمنين‬
.‫ َب ا عيسى أو عبد من عباد هللا‬: ‫المَأة‬
Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab ( Nasikh ), dari Nafi’,
bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya tentang pernikahan seorang
pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah
mengharamkan wanita-wanita musyrik terhadap pria-pria muslim, dan aku tidak
57
Lihat. Ibn Abdi Al-Ba>r (368 H/463 M), Al-Istizkar al-Jami’ Li Mazahib
Fiqaha>’ Al-Ams}a>r Wa Ulama Al-Aqt}a>r Fi>ma Tadmanahu “ Al-Muwatt}a}’ “Min
Ma’a>ni al-Ra’yi Wa Al-thar Wa Sharhu Zalika Kullihi bi Al-I>za>z wa Ikhtis}ar Ma
‘Ala Z}ahri Al-Ard ba’da kita>billah As}ahhu min Kitab Ma>lik al-Ima>m al-Sha>fi’ih,
(Bairu>t:Da>r Kutaibah Li Thaba’ah Wa Nasr, tth), Jilid ke-16, 72, Lihat. Al-Imam
Al-Jali>l al-Ha>fidz Imaduddin Abi Al-Fida’ Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasq (w. 774
H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Azi>m (Gizah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M),
cet.I, 296.
197
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seseorang yang berkata,
58
baha Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah.
Dari keterangan-keterangan di atas, menjadi dasar pelarangan
pria muslim menikahi wanita musyrik menurut Qs al-Baqarah/2:221,
yang disamakan dengan pelarangan menurut QS.al-Maidah/5:5,
karena itu status mereka disamakan, dengan status musyrik. 59
Kesimpulan pendapat ulama-ulama kalangan sahabat, baik
kalangan Khulafa>' Al-Ra>shidi>n, seperti, Abu Bakar r.a membolehkan
pernikahan dengan ahl al-kita>b yang merdeka yang berstatus zimmy
yang bukan h}arby, sedangkan Umar bin al-Khattab r.a, juga
membolehkan menikah dengan wanita ahl al-kita>b yang statusnya
afa>'if (terpelihara) dari kalangan wanita al-muh{s}ana>t, sedangkan
Usman bin Affan r.a sependapat dengan pendapat mereka yang
membolehkan, kecuali Ali r.a yang hanya mencela dan tidak
mengharamkannya. Sedangkan selain Khulafa' Al-Rashidin, seperti
Abdullah bin Abbas r.a dan juga Abdullah bin Mas'ud r.a tidak
melarang, melainkan Abdullah bin Umar r.a yang mengharamkan
menikah dengan wanita al-muh}s}ana>t (ahl al-kita>b), dengan alasan,
karena mereka adalah musyrik.
E. Penafsiran Perspektif Ulama Salaf (Periode Klasik : 6501250M)(Abad IV-VI H atau abad X M)
Setelah masa kepemimpinan Khulafa> al-Ra>shidi>n berakhir,
dilanjutkan kepemimpinan oleh generasi selanjutnya, baik sahabat,
tabi’in dan para pengikutnya. Selain itu juga, perkembangan
keilmuan umat Islam mulai maju, hingga dipertengahan abad II H ini,
membuat beberapa karya-karya tafsir tidak sampai semuanya kepada
umat, melainkan hanya sedikit sekali. Tetapi karya-karya tafsir para
ulama, mulai dikenal di tengah masyarakat setelah petengahan abad
ke-4 H ini, di antaranya karya-karya tafsir mereka adalah, seperti,
tafsir Ja>mi’ al-Baya>n ’An Ta’wil Ay al-Qur’a>n, karya al-Imam alT}abari> (w. 310 H), Tafsir Ahka>m al-Qur’a>n, karya al-Jas}a>s} (w. 370
58
Jalaluddin Al-Suyu>t}i (849-911 H), Al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (Kairo:Markaz Hijr Li Bu’uth Wa Al-Dira>sat Al-Arabiyah Wa AlIsla>miyah, 1424 H / 2003 M), cet. I, 564.
59
Al-Imam Al-Jalil al-Hafidz Imaduddin Abi Al-Fida’ Ismail Ibn Katsir
al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qur’an Al-Az}im
> (Gi>zah:Mua’sasah Al-Qurt}ubah,
1421 H / 2000 M ), cet.I, 299.
198
H), Tafsir Ma’a>lim Tanzi>l, karya al-Baghawi> (w. 510 H/1122 M),
dan lain sebagainya.
1. Ibn Jari>r Al-T}abari (w. 310 H/925 M), Dalam Kitab Tafsirnya,
Ja>mi’ al- Baya>n an Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n
Ibn Jari>r al-T}abari60 menafsirkan mengenai penikahan pria
muslim dengan wanita ahl al-kita>b, dalam teks QS. al-Maidah/5:5
sudah jelas status kebolehannya, walaupun menjadi persoalan di
dalamnya bagi wanita yang statusnya al-muh}s}ana>t yang merdeka [al60
Ibn Jari>r al-T}abari seorang fakar tafsir di Abad ke-4 H. Nama
lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Ghalib Al-Thabari. Dilahirkan di kota Thabaristan di Persia ( Iran ) sekitar akhir
tahun 224 H atau awal tahun 225 (839 M). Ia adalah seorang Imam, Mujtahid, dan
pengarang kitab-kitab terkenal, diantara kitabnya yang sangat fenomenal, adalah
tafsir Ja>mi’u Baya>n An Ta’wil Ay Al-Qur’a>n yang terdiri dari 15 jilid yang dinilai
sebagai literatur terpenting dalam bidang tafsir bi al-ma’tsur, bahkan dalam
bidang tafsir bi al-ra’yi (akal dan logika), karena memadukan pendapat-pendapat
dan mencari pendapat yang paling kuat, disamping memuat istinbath dan wajahwajah i’rab. Karena itu kitabnya, merupakan kitab yang paling agung paling sahih
dan paling lengkap, karena memuat pendapat para sahabat dan tabi’in. Para
pengkaji Al-Qur’an, menilai bukunya itu, sebuah kitab yang tiada duanya di
bidang tafsir. Al-Nawawi berkata, belum ada karya yang ditulis semisal dengan
kitab tafsir Ibn Jarir al-Thabari. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat rapih dan
disiplin slalu menjaga kesehatan dan penampilan. Al-Thabari menjalani hidup
dengan prilaku zuhud, tak sedikitpun ia silau dengan kenikmatan duniawi, sikap
ini dibuktikan dengan penolakannya terhadap tawaran jabatan strategis di
pemerintahan. Ia menampik imbalan harta yang disodorkan kepadanya. Selain itu,
ia mampu menghafal Al-Qur’an di usia yang sangat muda, pada usia 7 tahun. Dan
di usia delapan tahun ia menjadi seorang imam shalat, menulis hadits-hadits Nabi
SAW. Dan dalam kehidupan secara sosial, ia juga seorang yang senang melanglang
buana, berpindah-pindah tempat dalam rangka menuntut ilmu, seperti Mesir,
Syam, Irak, kemudian ia terakhir singgah dan menetap di Bagdad hingga akhir
hayatnya. Kurun kehidupan al-Thabari di kancah politik, ia hidup di masa
keemasan di panggung peradaban, yaitu zaman kebangkitan Daulah Abbasiyah
(750 M-1242M) yang berpusat di Bagdad. Ketika ia lahir yang menjadi penguasa
adalah al-Wasiq Billah atau Harun bin Muhammad al-Mu’tashim sebagai khalifah
IX(842-847 M). Jika dilihat perkembangannya, selama ia hidup terdapat sekitar 10
kali pergantian khalifah, hingga khalifah XVIII, yaitu al-Muqtadir (908 -934 M).
Dan Ia wafat pada tahun 310 H. Yunus Hasan Abidu,Tafsir Al-Qur’an ; Sejarah
Tafsir dan Metode Para Mufasir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1428 H/1428 H),
Cet. I, 68-69, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :
Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 147, Saiful Amin Ghafur,
Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 64-65.
199
hara>'ir] atau yang terpelihara [ al-Afa>'if ], merupakan suatu hal yang
masih samar, karena di antara mereka ada yang memasukkan katagori
ahl al-kita>b yang boleh dan tidak boleh dinikahi. 61 Selain itu juga Ia
menafsirkan ayat, dengan menjelaskan, tentang halal-nya sembelihan
ahl al-kita>b [Yahudi dan Nasrani], karena mereka berpegang teguh
kepada ajaran kitab Taurat dan Injil yang diturunkan kepada nabinabi mereka. Maka disepakati status sembelihan mereka adalah hala>l,
walaupun, masih dipersangsikan antara hasil sembelihan orang
musyrik Arab, yang tidak memiliki kitab suci. Namun dengan jelas,
Ibn Jari>r, dalam konteks ini, sependapat sama dengan para mufassir
lainnya, yang sedikit membatasi pemahaman ahl al-kita>b yang tidak
dimaksudkan untuk semua agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan
Bani Isralil, melainkan mereka yang hanya benar-benar memiliki
kitab suci (Taurat dan Injil ).62
Ibn Jari>r menyatakan dengan tegas pendapatnya, bahwa ahl
al-Kita>b itu bukan musyrik, selain itu juga berpendapat, bahwa
wanita ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi oleh orang-orang Islam
adalah yang berstatus merdeka [al-Hara>'ir] dan terpelihara
kehormatannya (afa>if), baik dari kelompok agama Yahudi atau
Nasrani yang memiliki ketaatan terhadap ajaran agamanya, baik yang
berasal dari Bani Israil ataupun yang bukan. 63 Bahkan dengan tegas
lagi, Ibn Jari>r r.a, membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t yang
beriman, bukan yang berstatus budak, berdasarkan QS. Al-Nisa'/4:25,
walaupun secara tekstual dalam ayat [‫] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب‬
telah disinggung sebagai wanita ahl al-kita>b yang terpelihara [afa>'if],
tetapi jika ia beriman, boleh dinikahi. Selain itu, menurutnya bahwa,
wanita yang merdeka dari ahl al-kita>b, apakah telah berbuat zina atau
tidak, dari kalangan zimmi atau harby yang bukan ka>fir,64
61
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (tahqiq:Abdullah bin Muhsin al-Turki),
Cet. I, Juz VIII, 130.
62
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n , 129
63
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r AlT}abari Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>>l Ay Al-Qur’a>>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, 134-138.
64
Pengertian Kafir, secara bahasa berasal dari akar kata ka>f, fa>, ra>’ yang
berarti menutupi. Abu Qa>shim Husain Bin Muhammad al-Ma’ru>f bi Ra>ghib alAsfaha>ni, Al-Mufrada>t Fi> Ghari>b Al-Qur’an (Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, t.th ), 433-
200
berdasarkan ayat di atas, maka boleh dinikahi, dan juga tidak
memperdulikan, apakah berasal dari Bani Israil atau bukan, walaupun
hal itu keluar dari pendapat Jumhur, maka Ia menghalalkan
pernikahan dengan ahl al-kita>b dari semua agama, baik Yahudi atau
Nasrani. 65
Terkait penafsiran QS. al-Maidah/5:5, ( ‫محصنين غير مسافحين وال‬
‫() متخذى أخذان‬dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tida pula menjadikan gundik-gundik), al-Tabari
membolehkan menikah pria muslim dengan wanita muh}s}ana>t, juga
juga boleh pria ahl al-Kitab yang muh}s}in yang terpelihara, dan tidak
434, Dari pengertian tersebut, munculah beberapa pengertian lain, yang dapat
dikembalikan kepadanya, misalnya, malam disebut ka>fir, karena menutupi, ia
menutupi siang, petani disebut ka>fir, karena pekerjaannya menutupi benih dengan
tanah (QS. Al-Hadid/57:20), demikian pula awan disebut kafir, karena menutupi
matahari, bahkan tempat yang terisolir dari keramaian juga disebut kafir, karena
keterisolirannya menjadikan tempat tersebut tetutup dari dunia luar. Term al-kufr
dalam al-Qur’an, ditemukan sebanyak 525 kali. Dan bila difahami secara umum,
kata kufr dapat dikembalikan kepada pengertian secara bahasa, misalnya, (1).
Kafir, berarti kelompok yang menutupi buah (QS. al-Insan/76:5),(2). Kuffa>r
(bentuk jamak dari ka>fir), QS. al-Hadid/57:20 yang berarti para petani. (3).
Kaffa>rah, berti denda penebus dosa atas kesalahan tertentu. Term ini, muncul 4
kali dalam al-Qur’an surat al-Maidah/5:45,89 dan 95. Dan kaffa>rah dalam ayat
tersebut diartikan, dalam bentuk sedekah atau berpuasa. (4). Kaffara
(Yukaffiru),berarti menutupi, menghapus atau menghilangkan. Kata tersebut
terulang sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an, yang semuanya berarti penghapusan
dosa. Empat pengertian tersebut, tidak memcerminkan, makna pengingkaran
terhadap Tuhan dan Rasul-rasul-Nya. Tetapi dalam penyebutan terakhir, antara
lain mengisyaratkan, bahwa orang-orang yang menutupi nikmat Allah atau tidak
berterimakasih atas nikmatnya yang dianugrahkan kepadanya dalam hidup ini,
bisa disebut kufr nikmat. Dan secara terminologi, tidak sepakat para ulama
menetapkan batasan kufr, hal itu dikarenakan, adanya perbedaan batasan tentang
iman. Salah satu batasannya, yang paling umum, khususnya adalah padangan
syari’ah, iman diartikan, sebagai pembenaran atas kerasulan Nabi Muhammad
SAW, serta ajaran-ajaran yang dibawanya. Sedangkan kufr adalah kebalikan dari
itu, yakni pendustaan(penolakan) terhadap Rasulullah serta ajaran-ajaran beliau.
Dengan pengertian tersebut, bahwa predikat ka>fir itu dapat dinyatakan tepat,
apabila seseorang telah mendustakan kerasulan Muhammad SAW dan ajaranajaran yang dibawanya Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998), Cet. I, 62-64, 415-416.
65
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an (ditahqi>q:Abdullah bin Muhsin alTurki)(Kairo:Markaz al-Buhuth Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, Juz ke VIII,147.
201
bermaksud melakukan maksiat apalagi menjadikan gundik-gundik,
kekasih hidup tanpa ikatan sebuah pernikahan. Selain itu juga
mengutip pendapat Ibn Abbas, bahwa boleh menikah dengan
membayar mahar dan saksi. Kemudian, penjelasan ini, ditutup
dengan ayat ( ‫) ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله وهو فى األخرة من الخاسرين‬.
Bahwa orang yang inkar dengan tidak beriman kepada Allah SWT
dan apa yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang
benar, ancaman bagi mereka ancaman, dan hapusnya pahala serta
kerugian di akhirat. 66
Al-Jas}a>s} ( w. 370 H ), Tafsir Ahka>m Al-Qur’a>n
Al-Jashash menyetujui kebolehan menikahi wanita Ahl alKita>b atas dasar QS. Al-Maidah/5:5, sebagai pengecualian (istisna>'),
terhadap QS.al-Baqarah/2:221, yang berkatagori al-muh}s}ana>t yang
terpelihara dan menjaga kehormatannya. 67Walaupun demikian, Ia
tidak meyetujui pendapat Ibn Umar r.a yang tidak membenarkan
dengan pernikahan semacam ini, karena alasan kemusyrikan, baik
dari ahl al-Kita>b maupun non ahl al-Kita>b. Meskipun demikian,
mengenai penafsiran QS.al-Maidah/5:5, Ia berpendapat sama dengan
mufassir lainnya, seperti, Ibn Jari>ral-T}abari, dan sebagainya, yang
menyatakan, bahwa makna al-Muh}s}ana>t adalah wanita afa>if , yaitu
makna yang tertuju kepada wanita ahl al-kita>b yang terpelihara
segala kehormatannya, dan juga berstatus merdeka [hara>’ir ].68
2.
66
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja>mi’ al- Baya>n ’An Ta’wi>l Ay Al-Qur’an, Cet. I, 149-150.
67
Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}as}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut:Dar Fikr,
t.th ), Juz I, 454.
68
Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa makna al-Muh}s}ana>t adalah al-afa>’if,
sependapat demikian Umar bin Khattab. Walaupun ia sedikit keras terhadap
pernikahan Hudhaifah denan wanita Yahudi, namun hal itu karena kekwatirannya
saja, sehingga ia marah, namun kenyataannya ia tidak mengharamkan. Berkata
Abu Bakar : terjaganya wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka melakukan
mandi jina>bah (hadats besar), dengan demikian berarti mereka menjaga
kehormatannya. Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s, Ahka>m al-Qur’a>n (Beirut :
Dar Fikr, t.th), Juz II, 459.
202
3. Al-Baghawi> ( w. 510 H / 1122 M ), Dalam Tafsir Ma’a>lim
Tanzi>l
Dalam
penjelasan
QS.al-Maidah/5:5,
al-Baghawi69
menyebutkan, bahwa ahl al-kita>b itu adalah Yahudi dan Nasrani.
Dalam menjelaskan pernikahan beda agama, al-Baghawi mengutip
pendapat-pendapat mayoritas ulama di antaranya, pendapat Muja>hid
yang membolehkan pernikahan dengan wanita al-Muh}s}ana>t yang
merdeka, baik ia beriman atau dari kalangan ahl al-Kita>b, baik itu
wanita terpelihara (afi>fah) ataupun tidak. Meskipun demikian ada di
antara mereka, yang tidak membolehkannya, prihal pria muslim
menikahi budak wanita ahl al-kitab berdasarkan QS. An Nisa’/4:25
(Famima> Malakat Ayma>nukum Min Fataya>tikum al-Mu’mina>t).
meski berbeda pandangan dengan Ibn Abbas r.a yang tidak
membenarkan pernikahan dengan wanita (ahl al-kitab), sampai ia
membayar pajak, QS. al-Taubah/9:29[ ‫] حتى يعطوا الجزية‬. Setuju alBaghawi juga dengan pandangan al-Hasan tentang, al-muhs}ana>t,
yaitu sebagai wanita terpelihara, baik yang berstatus merdeka atau
sebagai budak. Dan menurut perkataan Al-Sya’bi, bahwa
terpeliharanya ahl al-kita>b itu, karena mereka bersih dari tuduhan
perbuatan zina dan bersuci dari hadas besar (Jina>bah).70
69
Nama lengkapnya adalah al-Imam al-Hafidz al-Shahir al-Muhyi alSunnah Abu Muhammad bin Husin Ibn Mas’ud Muhammad bin Farra’ al-Baghawi
al-Syafi’ih. Dia diberi gelar Muhyi al-Sunnah ( penghidup al-Sunnah) dan Rukn alDin (Penegak Agama). Ia dilahirkan di Baghshur sebuah kota kecil yang terletak di
antara Hazzah, Moro dan al-Rudz dari kota Khurasan. Ia wafat di bulan Syawwal
di Moro dan Rudz tahun 510 H pada usia 80 tahun. Selengkapnya, Lihat. Indeks.
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :Maktabah
Wahbah, 1396 H/1976 M), Jilid I, 168-169, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abu
Muhammad al-Husai bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir Al-Baghawi “
Ma’a>lim al-Tanzi>l “ (Riyad} : Dar Tibah, 1409 H), Jilid I, 15, 72-73, Mani’ Abdul
Halim Mahmud, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehnshif Metode Para Ahl
Tafsir (Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor) Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006), 292, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an : Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet. I, 72-73.
70
Al-Ima>m Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’u>d alBaghawi (w. 516 H), Tafsi>r Al-Baghawi : “ Ma’a>lim al-Tanzi>l “, (Riyad : Dar
Thibah,1409 H ), jilid III, 19.
203
4. Al-Zamakshari (467-538 H/1075-1144 H), Tafsi>r Al-Kashsha>f
Al-Zamakshari71menafsirkan QS.al-Maidah/5:5 terkait ahl alkita>b sebagai wanita al-Muh}s}ana>t, yaitu sebagai wanita yang
merdeka dan terjaga kehormatannya. Sepakat al-Zamakhsyari dengan
para ulama pada umumnya, dengan memposisikan, bahwa almuh}s}ana>t sebagai wanita yang layak untuk dinikahi. Tetapi bagi yang
tidak berstatus merdeka, mengutip pendapat Abu Hanifah sama
dengan orang-orang Islam lainnya, walaupun hal itu bertentangan
dengan Mazhab al-Sya>fi’i, dengan mengutip pendapat Ibn Umar ra.
yang tidak memandang bahwa pernikahan itu ada, karena mereka
menyatakan, bahwa ahl-Kita>b adalah musyrik bersadarkan QS. AlBaqarah/2:221. Terlepas dari kedua pendapat yang berbeda itu AlZamakhshari, menyatakan pendapatnya, bahwa persyaratan menjadi
sebuah ketentuan untuk memilih, dan yang terpenting, adalah bahwa
bagi seorang muslim agar slalu berhat-hati dalam memilih calon istri,
dan oleh karena itu, kebolehan untuk melakukan pernikahan dengan
wanita ahl al-Kita>b hanyalah merupakan keringanan (rukhs}ah ) saja,
dan bukan tujuan, karena apapun alasannya, orang-orang beriman
lebih baik dari ahl al-kita>b.72
71
Al-Zamakhshari dikenal sebagai ilmuan besar dalam bidang bahasa dan
retorika, dia juga diberikan julukan al-Ima>m al-Kabi>r (maha guru), disandangnya
karena kedalaman ilmunya, dibidang tafsir, hadits, gramatika, filologi, seni
deklamasi, sya’ir bahasa Arab meski dia berasal dari Persia. Al-Zamakhshari
adalah penulis yang produktif, hingga ia wafat di hari Arafah tanggal 09
Dzulhijjah tahun 538 H. Dan karya Al-Zamakhshari yang terkenal dalam tafsir,
adalah Al-Kasya>f ’an Haqa>’iq Ghawa>mid al-Tanzi>l Wa Uyu>n al-Aqa>wil Fi> Wuju>h
al-Ta’wi>l, tetapi karyanya lebih terkenal dengan sebutan kitab tafsir al-Kasha>f
yang merupakan salah satu kitab tafsir bi al-Ra’yi (rasio). Al-Ala>mah Ja>rullah Abu>
Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari (467-538 H), Al-Kasha>f ‘An
Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} :
Maktabah Abikah), Juz I, 5, 12-14, Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehenshif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006), 224, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa alMufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 304305, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta : Pustaka
Insan Madani, 2008 ), 73-75.
72
Dalam hal ini, telah dikutip pernyataan, Atha bin Abi Rabbah, “ dengan
semakin banyaknya wanita muslimah, maka tidak perlu untuk menikahi wanita ahl
al-Kita>b, Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>s}im Mahmu>d bin Umar Al-Zamakhshari
(467-538 H),Al-Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil
Fi> Wuju>h al-Ta’wi>l ( Riyad} : Maktabah Abi>kah, ), Juz II, 200.
204
Beberapa kesimpulan penafsiran ulama klasik abad ini (IV
hingga VI H), tentang pernikahan dengan wanita muh}s}ana>t, dapat
ditarik kesimpulan, yaitu, (1). Menurut Ibn Jari>r al-T}}abari, bahwa,
ahl al-Kita>b bukanlah musyrik. Selain itu juga al-Tabari menegaskan,
bahwa wanita ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi oleh orang Islam
adalah yang berstatus merdeka (al-Hara>'ir), dan terpelihara
kehormatannya (afa>if ), baik dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang
memiliki ketaatan terhadap ajaran agamanya, baik yang berasal dari
Bani Israil ataupun yang bukan. (2). Pendapat al-Jas}a>s} sejalan dengan
al-T}abari, wanita yang boleh dinikahi adalah wanita muh}s}ana>t yang
terpelihara segala kehormatannya. (3). Berbeda dengan pandangan alBaghawi, yang mengutip pendapat Muja>hid, bahwa Ia membolehkan
menikahi wanita muh}s}ana>t yang berstatus merdeka, yang beriman
dari ahl al-Kita>b, baik itu wanita terpelihara (af>ifah) atau tidak. (4).
Sementara menurut al-Zamakshari menyatakan pendapatnya, wanita
al-Muh}s}ana>t adalah wanita yang merdeka dan terjaga kehormatannya
yang layak dinikahi.
F. Perspektif Ulama Tafsir Abad Pertengahan I (Masa
Kemunduran I/1250-1500 M)73
Dalam kancah sejarah-sosial, terkait perkembangan ilmu dan
pengetahuan di bidang tafsir, baik pemikiran, karya tulis ulamaulama terdahulu, di antaranya, Imam Fakhruddin Al-Ra>zi ( w.606 H),
al-Qurt}ubi (w. 671 H), al-Baid}a>wi (w.791 H), al-Kha>zin (w.741 H),
menjadi sangatlah penting dan diperlukan untuk mengetahui
pandangan serta alasan mereka tentang pernikahan beda agama,
yaitu:
73
Sejarah perkembanga Islam, abad pertengan ini berkisar antara tahun
1250 hingga 1500 M yang berpusat di Baghdad. Secara sejarah sosial umar Islam
pada masa kekuasaan atau pada khalifahan Abbasiyah, di saat umat Islam sudah
mulai maju dan berkembang dengan pesat, dengan banyaknya bangsa-bangsa
Eropah yang masuk di wilayah Asia Tengah, terutama masuknya kerjaan besar,
seperti, Mongol, Tartar, dan sebaginya, yaitu, pada abad ke-5 H, Badri Yatim,
Sejarah Kebudayaan Islam (Dirasah Islamiyah II)(Jakrta : PT Raja Grafindo
Persada, 2000 ), cet. Ke-10, 111.
205
1. Al-Imam Fakhruddi>n Al-Ra>zi ( w. 606 H/1209 M),Tafsir Mafa>tih
Al-Ghaib/Tafsi>r al-Fakhru al-Ra>zi / Tafsi>r al-Kabi>r.
Al-Ra>zi menafsirkan QS. al-Maidah/5:5 membolehkan
pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, dengan makna yang
terkandung di dalamnya adalah wanita al-muh}s}ana>t, yaitu
mengandung makna al-hara>’ir (merdeka) dan makna al-Afa>’if
(terhormat). Secara langsung juga Ia memasukkan kriteria di
dalamnya sebagai budak wanita ('amah).74 Dua kriteria makna
tersebut, mengandung dua pendapat, (1). Ada yang membolehkan
dengan syarat membayar mahar kepada tuannya [ ‫] إذا أتيتموهن أجورهن‬.
Ke (2), dengan merujuk pada pemahaman ayat al-Nisa’/4:25 [ ‫َفمِن‬
ْ ‫مذا َملَ َك‬ayat al-Nisa’/4: 25[ ‫ت أَ ْي َما ُن ُكم مِّن َف َت َياتِ ُك ُم‬
ْ ‫َفمِن مَّا َملَ َك‬
‫ت أَ ْي َما ُن ُكم مِّن َف َت َياتِ ُك ُم ا ْلم ُْؤم‬
ْ
َ
‫ت‬
‫ا‬
‫ن‬
‫م‬
‫ُؤ‬
ْ
‫م‬
‫ل‬
‫ا‬
],bahwa,
dibolehkannya
menikahi
mereka
dengan
syarat,
ِ ِ
telah memiliki waktu yang cukup lama sebagai budak, karena
kwawatir akan berbuat dosa. Jika syarat yang dimaksudkan telah
terpenuhi, maka menikahi wanita afa>’if (terpelihara) tidaklah
dilarang. Berdasarkan dua pendapat tersebut, maka jatuh pilihan alRa>zi terhadap kriteria wanita al-muh}s}ana>t yang berstatus merdeka
(al-hara>ir), dibanding wanita yang berstatus budak (‘amah),
walaupun sama-sama terpelihara statusnya, kerena ketidakbebasan
wanita ‘amah dalam beraktifitas yang sangat terbatas, apalagi
berinteraksi di luar lingkungan, dibanding wanita yang merdeka,
maka menurut al-Ra>zi, mereka lebih utama dan lebih baik, sehingga
pernikahan dengan wanita muh}s}ana>t yang merdeka menjadi pilihan
utama dan dibolehkan.75
74
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n ( Kairo :
Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), cet. I, 206, Ma’a>ni Abdul Hali>m Mahmu>d,
Metodologi Tafsir : Kajian Komprehenshif Metode para Ahli Tafsir ( Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006), 320, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa
al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M, cet. I, 206.
75
Alasan Al-Ra>zi, memilih al-Hara>’ir, karena beberapa alasan, di
antaranya,(1).Sebagaimana lanjutan ayat, menyatakan bahwa dibenarkan
mengawini wanita ahl al-Kitab yang merdeka ( hara>'ir ), padahal ketika dipahami,
bahwa yang dapat menerima hanya orang yang merdeka, sedangkan budak, tidak s,
padahal ketika dipahami, bahwa yang dapat menerima hanya orang yang merdeka,
sedangkan budak, tidak sama sekali mempunyai hak. (2). Penyetujuan pada makna
al-Afa>’if akan menafenyetujuan pada makna al-Afa’if akan menafikan perkawinan
pelaku zina, padahal pelaku zina masih bias dikawini, Lihat. Al-Zamakhshari, Al-
Kasha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa ‘Uyu>n al-Aqa>’wil Fi> Wuju>h alTa’wi>l (Riya>d} : Maktabah Abi>kah), Juz II, 200, sedangkan alasan lain, bedasrkan
206
2. Al-Qurt}ubi> ( w. 671 H/1273 M ), al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m Al-Qur’a>n
Menurut Al-Qurt}ubi dalam penjelasan QS. Al-Maidah/5:5 ini,
hanya berbicara tentang pernikahan seorang muslim dengan wanita
ahl al-Kita>b, yang hanya sekedar kriteria al-muh}s}ana>t, tanpa
memberikan kriteria status lain. Al-Qurtubi banyak mengutip
perdebatan beberapa ulama lain, dengan menjelaskan potongan
beberapa ayat. Di antaranya perdebatan, tentang kriteria ahl alKita>b, yang berstatus kafir harbi atau kafir mu’ahad. Menyinggung
kriteria al-muh}s}ana>t, ia mengutip pendapat, Ibn Abbas r.a yang
menyatakan, bahwa mereka adalah termasuk para wanita yang terjaga
dan berakal sehat (afi>fat dan aqi>la>t). Sedangkan menurut al-Sha’bi,
mereka adalah wanita yang menjaga diri dari perbuatan zina, dan
membersihkan diri dengan mandi jika berhadats besar (Jina>bah),
sedangkan menurut Muja>hid menganggapnya sebagai wanita
merdeka. Berdasarkan atas pendapat-pendapat inilah, Abu> Ubaid
menyatakan bahwa, menikahi budak ahl al-kita>b hukumnya haram,
karena tidak sesuai dengan ketentuan QS.al-Maidah/5:25, demikian
pendapat yang dianut al-Ra>zi. 76 Tetapi diakhir keterangan dari
pendapat-pendapat tersebut, al-Qurt}ubi menyatakan pendapatnya, ”
riwayat yang berasal dari Atha’, bahwa mengawini wanita ahl al-kitab adalah
rukhshah, ketika jumlah wanita muslimah sedikit. Dan dengan jumlahnya yang
semakin banyak, maka tidak lagi berlaku rukhs}ah. Dan menurut al-Ra>zi juga,
adanya ayat yang memerintahkan untuk menjauhi orang-orang kafir dan beberapa
aktifitasnya (La Tattakhizu> ‘Aduwi W
> a Aduwakum Awliya>a’), QS. alMumtahanah/60:1, yang dengan kecintaan yang dibangun, akan memalingkan
kecintaan dengan mengikuti apa keinginan sang istri, dan sang suami akan lebih
mudah untuk beralih agama, dan mungkin akan bertambah, jikaanak-anak mereka
lahir dan tumbuh dewasa atas asuhan dari sang istri dari ahl al-kitab tersebut. [3].
Betapa besarnya kesalahan dalam perkawinan, yang diawali dari perselisihan,
meskipun boleh mengawini mereka, namun akibat yang akan terjadi itu muncul,
maka status pernikahan menjadi tidak boleh (ghar ja>iz). Lihat. Al-Ima>m
Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b
al-Rayy (544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-R>azi (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H/1981
M ), cet. I, Jilid ke-11, 150.
76
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet.
I, Juz : I, 320, Lihat. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy (544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi
(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H /1981 M), cet. I, Jilid ke-11, 149.
207
demikian pendapat-pendapat ulama besar ”. Tanpa ada tarjih atau
tanggapan terhadap pendapat mereka. Dengan melihat adanya
indikasi dan syarat tertentu, hanya sekedar al-muh}s}ana>t-lah alQurt}ubi, terlihat lebih jelas pendapatnya, bahkan ketika menjelaskan
ayat ”Wa man yakfur bi al-I>ma>n ”, dengan redaksi ayat ” Wa alMuh}s}ana>tu Min al-Ladhi>na Utu> al-Kita>b ”, para wanita ahl al-kitab
berkata : ” Jika Allah tidak rid}a atas agama kami, maka Dia (Allah)
tidak akan mengizinkan untuk menikahi kami ”. Kemudian setelah
itu, turun redaksi ayat, ” wa man yakfur bi al-i>ma>n ”, [yakni, barang
siapa yang kufur dengan apa yang dibawa Nabi Muhammad S.A.W,
maka amal perbuatannya akan sirna]. Dengan melihat keteranganketerangan tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa al-Qurt}ubi,
sebenarnya ingin menyatakan, bahwa ahl al-kita>b [yang berstatus
muh}s}ana>t], dan yang tidak mengingkari ajaran Islam, walaupun ia
ingkar kepada nabi pembawanya, maka boleh dinikahi. 77
3. Al-Baid}a>wi (w.791 H/1191 M ),dalam kitabnya, Tafsir Anwa>r
al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta’wi>l
Al-Baid}a>wi dalam menafsirkan,QS.al-Ma>idah/5:5 ini dengan
sangat rinci, menurutnya, bahwa kebolehan pernikahi ahl al-kita>b
adalah yang berstatus al-muh}s}ana>t.78Lalu Al-Baid}a>wi mendefinisikan
kata al-Muh}s}anat adalah wanita yang merdeka (al-h}ara>’ir) dan
terpelihara (al-Afa>’if ) dari perbuatan zina. Kemudian Ia menegaskan
kedudukan wanita ahl al-kita>b itu yang statusnya wanita al-harbiya>t
77
Abu> Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq :Mua’sasah Al-Risalah, 1427 H/2006 M ), Cet.
I, Juz : I, 321.
78
Ungkapan Ibn Suhbah al-Baid}a>wi, adalah seorang yang produktif,
karya-karyanya terlihat, misalnya, menyusun rangkuman ( mukhtas}ar ) tafsir alKassha>f karya al-Zamakhshari, menjelaskan al-Mukhtas}ar karya Ibn Ha>jib di
bidang ilmu Usu>l Fiqh, mensyarahi juga kitab al-mukhtakha>b fi al-Ushu>l karya alImam Fakhruddin al-Ra>zi, al-Tawalli Fi> al-Kala>m, al-Gha>yah al-Quswah fi
Dira>yah al-Fatwa li Fiqh al-Sya>fi’ih dan menulis sebuah kitab tafsir yang
merupakan karya terbaiknya, al- Anwa>r al-Tanzi>l Wa al-Asra>r al-Ta’wi>l, yang
kemudian tafsir ini terkenal dengan sebutan nama Tafsi>r al-Baidha>wi. Al-Baid}awi
wafat pada tahun 791H/1286 M. Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}iruddin Abu Said
Abdullah Abu Umar Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H ), Tafsir alBaid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l ( Beirut : Dar
Al-Fikr, 1416 H/1996 M ), Juz ke-1, 3.
208
atau dalam pengertian sebagai wanita musyrik yang dalam status
ka>fir h}arbi, maka menikahi wanita seperti ini dilarang.79 Selain
menyinggung persoalan makanan, terkait dengan para penganut
Yahudi dan Nasrani, Ia mengutip pendapat Ali bin Abi T}alib, bahwa
mereka tidak masuk dalam katagori Nasrani Bani Tagallub, karena
dalam hal ini, khusus mereka yang hanya berstatus peminum khamar
saja. Demikian dengan maju>si, yang pada kenyataannya, mereka
telah disepakati kewajiban membayar Jizyah (upeti), dengan
Sabdanya Nabi S.A.W, [Sannu> Bihim Sunnata Ahli alKita>bi][perlakukanlah mereka seperti halnya memperlakukan ahl alKita>b], tetapi dalam hal pernikahan dengan wanita mereka (maju>si)
atau memakan makanan hasil sembelihan mereka, tetap tidak berlaku
dan tidak diperkenankan bagi orang-orang muslim. 80
4. Imam Al-Kha>zin ( w. 741 H/1341 M ), Tafsir Luba>bu al-Ta’wi>l
Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l
Al-Kha>zin dalam menjelaskan QS. al-Baqarah/2:221ini,
menyatakan, bahwa status musyrik adalah berlaku untuk semua jenis
kemusyrikan, para penyembah berhala (al-wathaniyah), penyembah
api (al-maju>si), beragama Yahudi dan Nasrani. Al-Kha>zin juga setuju
dengan pendapat, bahwa ayat al-Baqarah itu dikhusushkan untuk
para wanita yang merdeka dari kalangan ahl-al-kita>b berdasarkan
QS. Al-Maidah/5:5. Mengutip pendapat, Ibn Abbas r.a, bahwa makna
’muh}s}ana>t’ yang dimaksudkan dalam ayat al-Maidah ini, Ia adalah
khusus bagi wanita bangsa Arab penyembah berhala (al-wathaniya>t),
atau sebagaimana menurut Qata>dah, adalah wanita bangsa Arab yang
tidak mempunyai kitab suci yang dibaca. Pendapat-pendapat tersebut
disetujui Jumhur Ulama, dengan menyatakan, bahwa stastus
perbuatan al-shirk masih bersifat umum, maka sifatnya bisa masuk
katagori ahl al-Kita>b yang mencakup wanita Yahudi dan Nasrani,
para penyembah berhala, yang beragama maju>si, berdasarkan QS. al79
Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}iruddin Abu Said Abdullah Abu Umar
Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsir al-Baid}a>wi al-Musamma alTafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M),
Juz ke-1, 297-298 .
80
Al-Imam Al-Qa>dhi Nas}i>ruddin Abu Said Abdullah Abu Umar
Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsir al-Baid}a>wi al-Musamma alTafsi>r Anwa>r al-Tanzi>l Wa Asra>r al-Ta'wi>l (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996
M), Juz ke-1, 298.
209
Taubah/9:30, [ ‫]اليهود عزيرابن هللا وقالت النصارى المسي ابن هللا وقالت‬.81 Dan
larangan itu berlaku juga bagi wanita muslimah, yang akan dinikahi
pria musyrik, walaupun Ia sebagai pria kaya raya, dengan alasan
karena untuk menghidari fitnah dan menghindari ajakan mereka jalan
menurju ke Neraka [‫] يدعوا إلى النار‬.82 Berbeda dengan larangan
menikahi wanita ahl zimmy dan bukan harby, terdapat adanya
pendapat ulama yang membolehkannya dengan alasan, mereka
adalah wanita ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), yang muh}s}ana>t
terjaga dari perbuatan zina.83
Kesimpulan penafsiran ulama-ulama abad pertengahan I ini,
di antaranya, menurut, al-Ra>zi, bahwa menikahi wanita al-muh}s}ana>t
yang merdeka (al-hara>ir), lebih baik dan menjadi pilihan dibanding
menikahi wanita yang berstatus budak (‘amah), walaupun sama-sama
statusnya terpelihara, namun kemerdekaan wanita ‘amah dari semua
aktifitasnya terbatas, apalagi berinteraksi di luar rumah, maka wanita
yang merdeka yang tidak terbatas, lebih menjadi pilihan. Sedangkan
menurut al-Qurt}ubi membolehkan menikah dengan wanita ahl alKita>b, yang hanya sekedar kriteria al-muh}s}ana>t [terpelihara] secara
umum, tanpa adanya kriteria lain dan batasan. Menurut al-Baid}a>wi,
boleh menikah dengan wanita al-muh}s}ana>t yang merdeka, terpelihara
dari perbuatan zina. Tetapi berbeda dengan al-Kha>zin, wanita almuh}s}ana>t itu yang berstaus zimmi bukan harbi, baik Ia Yahudi atau
Nasrani yang terpelihara dari perbuatan zina yang boleh dinikahi.
81
Terkait dengan kriteria ahl al-kita>b, Ibn Abba>s, menjelaskan, kata
muh}s}ana>t berlaku untuk wanita yang merdeka (hara>’ir ), al-Hasan, al-Sha’bi, dan
al-Nakha>’i serta al-D}aha>q setuju dengan wanita terjaga dan terpelihara (afa>’if),
oleh kerana itu Ibn Abba>s melarang pernikahan dengan budak wanita dari
kalangan Ahl al-Kita>b, demikian pndapat ini, diikuti mazhab Sha>fi’ih, karena
alasan, memiliki dua kekekurangan, yaitu, berpredikat kufur (kafir) dan juga
sebagai budak sahaya. Berbeda dengan mazhab H}anafi membolehkan, karena
alasan pelarangan terhadap ayat yang masih bersifat umum. Alauddi>n Ali bin
Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H), Tafsi>r al-Kha>zin alMusamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t : Da>r Fikr, t.th), 147.
82
Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di ( Kha>zin, w. 725
H ), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l )(Beiru>t :
Da>r Fikr, t.th ), 148.
83
Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H
), Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>bu al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (Beiru>t:
Da>r Fikr, t.th), 432-433.
210
G. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Abad Pertengahan II
(Masa Kemajuan dan Kemunduran II/1500-1800 M)
Dalam kancah persoalan sejarah atau sejarah-sosial, terkait
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang tafsir, pemikiran serta
karya tafsir ulama-ulama tafsir abad ini, dapatlah dikaji ulang,
seperti, karya Ibn Kathi>r (w.774 H), Jala>luddin Al-Mahalli (w. 864
H/1455 M), Jala>luddin Al-Suyu>t}i (w. 911 H/1505 M), al-Alu>si (w.
1270 H), dan sebagainya, untuk mengetahui bagaimana pendapatpendapat mereka tentang penafsiran ayat-ayat pernikahan beda
agama, yaitu :
1. Ibn Kathi>r (w. 774 H/1372 M), dalam Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m.
Penafsiran Ibn Kathi>r menyebutkan beberapa riwayat yang
disampaikan Ibn Jari>r al-T}abari dari Muja>hid, dalam menjelaskan
QS.al-Maidah/5:5 ini, terkait persoalan al-muh}s}ana>t ayat [ ‫والمحصنات‬
‫]من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬, sebagai kriteria wanita yang terpelihara
(afi>fah) dan merdeka (hurrah), bukan sebagai seorang budak belian.
Sesungguhnya yang dimaksudkan Mujahid dengan istilah muh}s}ana>t,
adalah wanita-wanita merdeka. Dapat pula dimaksudkan, bahwa yang
dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka), mereka adalah wanita
yang menjaga kehormatn, seperti yang disebutkan dalam riwayat
(lain) yang bersumber dari Mujahid. Dan hal ini, merupakan pendapat
yang disepakati Jumhur ulama dan merupakan pendapat yang lebih
mendekati kebenaran. Dengan demikian akan terhindar dari
pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, yang kriteria
mereka tidak memelihara kehormatannya. Tetapi menurut zahir ayat,
makna yang dimaksud muh}s}ana>t, ialah wanita yang menjaga
kehormatan dari perbuatan zina, sama halnya dengan makna yang
terkandung dalam ayat QS. al-Nisa’/4:25 ‫محصنات غير مسافخات والمتخذات‬
‫() أخذان‬sedangkan merekapun wanita-wanita yang memelihara diri
bukan pezina dan buka pula wanita yang mengambil laki-laki sebagai
piaraannya). 84
Kemudian para ulama berselisih pendapat mengenai makna
yang dimaksud dengan firmannya QS. al-Maidah/5:5 ( ‫والمحصنات من‬
‫()الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬dan wanita-wanita yang menjaga
84
Ima>duddin Abi Fida>’i Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}im
> (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M), Jilid 2, Cet.
I, 82.
211
kehormatannya di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum
kalian). Mempertegas hal itu, menurut Ibn Kathi>r, apakah yang
dimaksud dalam ayat itu mencakup semua wanita ahl al-Kita>b yang
memelihara kehormatan, baik yang statusnya merdeka ataupun
budak? Mengutip riwayat Ibn Jari>r al-T}abari yang menceritakan, dari
sekelompok ulama salaf menafsirkan al-muh}s}ana>t dengan pengertian
adalah wanita yang memelihara kehormatannya. Dan menurut
pendapat lain yang dimaksud ahl al-kita>b adalah wanita-wanita
isra>iliyat, seperti yang dikatakan kalangan Mazhab Sha>fi'i. Dan
menurut yang lain lagi, yang dimaksud ahl al-kita>b adalah wanita
yang muh}s}ana>t yang zimmi bukan harbi, karena berdasarkan firman
Allah S.W.T QS. al-Taubah/9:29, mennyatakan ( ‫قاتلوا الذين اليؤمنون باهلل‬
‫()والباليوماألخر‬perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian).85
Dari Ibn Abi> Ha>tim berkata: bercerita bapakku, bercerita
Muhammad bin Ha>tim bin Sulaiman al-Mu’addib, bercerita kepada
kami Qa>sim bin Ma>lik (al-Ma>zini), bercerita Isma>’il bin Sa>mi' dari
Ma>lik al-Ghifari, dari Ibn Abbas r.a, berkata : ketika diturunkannya
ayat al-Baqarah/2:221[ ‫] وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن‬, berkata Ibn Abbas
r.a, bahwa masyarakat saat itu menahan diri untuk tidak melakukan
pernikahan semacam ini, hingga diturunkan QS. al-Maidah/5:5
[ ‫] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬, lalu setelah turunnya ayat ini,
orang-orang mulai melakukan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b,
seperti yang dilakukan kalangan sahabat, seperti, H}udhaifah dan
T}alhah,86 karena mereka beralasan, tidak ada lagi larangan.
85
Ima>duddin Abi Fida>’i Ismail Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}im
> (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M), Jilid 2, Cet.
I, 82.
86
Terkait Pernikahan sahabat di maksud, seperti yang diceritakan Ibn
Jarir, yaitu telah menceritakan kepadaku Ubaid bin Adam bin Iyaz al-Asqalani,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul
Hamid bin Bahran al-Faza>ri, telah menceritakan kepada kami Syahr bin Hausyab
yang mengatakan bahwa ia telah mendengar Abdullah bin Abbas mengatakan
hadits berikut ini, ”Rasulullah melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali
wanita-wanita yang mukmin dari kalangan Muhajirin dan mengharamkan
mengawini wanita-wanita beragama selain Islam " . Allah SWT telah berfirman : ”
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amal-amalnya ”.Telah
menikah T}alhah bin Abaidillah seorang wanita Yahudi, dan H}udhaifah bin Yaman
menikahi wanita Nasrani, maka Umar bin al-Khattab sangat marah
mendengarnya, hampir-hampir ia menghajar keduanya. Tetapi keduanya
212
Sekaligus turunnya ayat al-Maidah/5:5, merupakan pengkhususan
terhadap ayat al-Baqarah/2:221, karena alasan, bahwa ahl al-kita>b
berbeda dengan orang musyrik, seperti yang disebutkan dalam QS.
al-Bayyinah/98:1[‫ب َوا ْلم ْش ِر ِكيْنَ م ْنفَ ِّكيْنَ َحتَّى َيأْ ِت ي‬
ِ َ‫لَ ْم َيك ِن الَّ ِذيْنَ َكفَروْ ا ِم ْن أَ ْه ِل ا ْل ِكت‬
(Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)
sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata).87 Dengan maksud
yang demikian, menurut penafsiran QS.al-Maidah/5:5 ini, menurut
Ibn Kathi>r, bahwa halal pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b yang
muslimah merdeka [ hara>’ir ] dan terpelihara[afi>fah ].88
Dalam ketentuan lain, kebolehan menikahi wanita ahl alkita>b yang muh}s}ana>t, disamakan dengan status pria ahl al-kita>b
dengan isyarat dalam kata ihsa>n (‫)إحصان‬, yakni laki-laki yang
menjaga diri dari perbuatan zina, bukan saja untuk para wanita,
tetapi juga bagi para laki-laki, yaitu laki-laki yang menjaga
kehormatan dari perbuatan zina. Karena itu disebutkan dalam teks
(‫ )محصنين غير مسافحين وال متخذى أخذان‬dalam kata musa>fihin yang artinya
laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat
dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya.
Dan tidak pula menjadikan gundik-gundik, yaitu para kekasih yang
hidup bagaikan suami-istri tanpa ikatan pernikahan. Karena alasan
itulah Imam Ahmad Ibn Hanbal rahimahullah berpendapat bahwa
mengatakan, ”Wahai Amirul Mukminin janganlah engkau marah kami akan
menceraikannya ", Khalifah Umar menjawab, ” Kalau boleh ditalak, berarti halal
dinikahi. Tidak, aku akan mencabut mereka dari kalian, secara hina dina ”.
Imaduddin Abi Fida>’i Isma>il Ibn Kathir al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r Al-Qura>n
Al-Azi>m ( Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421 H/2000 M ), Jilid 2, cet. I, 296.
87
Ima>duddin Abi Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Azi>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H/2000 M), Jilid 2,
cet. I, 83.
88
Ibn Kathi>r, menjelaskan, bahwa maksud al-Muh}s}ana>t adalah al-Hara>’ir
(wanita merdeka) dan bukan budak sahaya (’amah), berdasarkan teks (Wa alMuhshanat min al-mu’minat)(wanita yang mu’min dan merdeka), berbeda dengan
mazhab Sha>fi’i, yang statusnya al-afi>fah (terjaga, terpelihara), apakah Ia wanita
merdeka (hurrah) ataupun budak sahaya (’amah), berdasarkan QS. al-Taubah/9:29,
dan menurut Jumhur mereka adalah yang terjaga atas perbuatan zina (muh}s}ana>tun
ghairu musa>fiha>t Wala> mutakhiza>t akhza>n ). Berbeda lagi dengan Ibn Umar r.a
yang menolak pernikahan dengan wanita Nasrani, berlandaskan atas keumuman
ayat QS.al-Baqarah/2:221 ini. Imaduddin Abu Fida’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi
(w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im
>
(Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}u>bah, 1421
H/2000 M), Jilid 5, cet. I, 83-84.
213
tidak sah menikahi wanita pezina sebelum ia bertobat dari
perbuatannya itu. Dan bilamana wanita itu masih tetap berprilaku
seperti itu, sebagai pelacur, maka tidak sah dikawini oleh laki-laki
yang menjaga kehormatannya, demikian juga menurut pandangan
Imam Ahmad, bagi laki-laki pezina tidak melakukan akad nikah
kepada wanita yang memlihara kehormatannya.89
Jadi kesimpulan Ibn Kathir, menyatakan kebolehan menikah
baik, bagi laki-laki muslim kepada wanita yang (muh}s}ana>t), atau
bagi laki-laki yang muh}s}ini>n menikah dengan wanita muslimah.
2. Jala>luddin Al-Mahalli ( w. 864 H / 1455 M ), Tafsi>r Jala>lain
Jala>luddi>n Al-Mahalli bersama muridnya Jala>luddi>n al90
Suyu>t}i, menafsirkan Qs. Al-Baqarah/2:221 ini, sejalan dengan
beberapa mufassir pada umumnya yang melarang seorang muslim
menikah dengan wanita musyrik (Ka>fir), dan pelarangan itu, tidak
diperuntukkan kepada wanita ahl al-kita>b, sebagaimana menurut ayat
al-Maidah/5:5[ ‫] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬, dengan alasan
pengecualian terhadap wanita muh}s}ana>t yang merdeka, yang
terpelihara dari tuduhan perbuatan zina. 91 Demikian hal itu berlaku
larangan terhadap wanita muslimah yang ingin dinikahi pria musyrik
atau pria kafir (al-Kufa>r), dengan alasan demi menghidari ajakanajakan mereka, yang membawa kepada jalan ke menuju Neraka [ ‫يدعوا‬
‫] إلى النار‬, karena Islam datang, berdakwa dan menyerukan kepada
jalan menuju Surga. 92
89
Lihat pembahasan Bab III, tentang larangan Umar bin Khattab, dengan
ketidak setujuannya, menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kita>b,
karena bersumber hadith Nabi, ” Kitab boleh menikahi wanita ahl al-Kitab, tetapi
pria mereka tidak boleh menikah dengan laki-laki ahl al-Kitab ”. Hal itu, karena
rasa kekwatiran Umar r.a terhadap pernikahan Talhah, dan itu bukan berdasarkan
teks al-Qur’an. Imaduddin Abu Fida’ Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H),
Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}im
> , 84, 297.
90
Jala>luddin Al-Mahalli dan Jala>luddin al-Suyuti, Al-Qur’an al-Kari>m Wa
Biha>misihi Tafsir al-Imamain al-Jala>lain (t.tp : Dar Ibn Katsir, t.th), 9-10
91
Jala>luddin bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad Al-Mahalli dan
Jala>luddi>n Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’an al-Karim Wa
Bihamisihi Tafsir al-Imamain al-Jalalain ( tahqiq : Abdul Qa>dir al-Arfaut} )( t.tp :
Dar Ibn Katsir, t.th ), 107.
92
Pada abad ke 10 H ini, dalam perkembangan studi al-Qur’an ( ilmu alQur’an ), sedang dalam mengalami kemunduran, hanya salah satu pengarang, yaitu
al-Suyuti yang muncul, yang kurang lebih telah menghasilkan karyanya sekita
enam kitab, salah satunya, Tafsi>r Al-Du>rr Mantsu>r FiTafsi>r Bi Al-Ma’tsu>r.
214
3. Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( w. 911 H/1505 M), Tafsi>r Al-Du>r Manthu>r
Fi Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r
Al-Suyuti, 93 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5 ini,
membolehkan bagi seorang muslim menikah dengan wanita ahl-alKita>b, tidak sebaliknya. Akan tetapi al-Suyut}i tidak menetapkan
kriteria al-muh}s}ana>t, melainkan hanya menyebutkan, dua kriteria ahl
al-kita>b yang disebutkan dalam al-Qur’an, sebagaimana yang
dikutipnya dari riwayat Qata>dah, di antaranya, yaitu, (1). Makna alMuh}s}ana>t yang dimaksudkan adalah wanita yang beriman dari ahl alkita>b, yang terpelihara kehormatannya, dan ke (2). Membersihkan
diri dari setiap hadath besar (Jina>bah). Dengan mengutip pendapat
Ibn Abba>s r.a, bahwa Ahl al-Kita>b itu halal untuk dinikahi, karena
mereka beriman kepada kitab Taurat dan Injil. 94 Pendapat tersebut,
dibenarkan sesuai dengan perkataan Rasulullah SAW yang
membolehkan pernikahan semacam ini dengan sabdanya,[ ‫نتزوج نساء‬
‫”]أهل الكتاب وال يتزوجون نساءنا‬Natazawaju Nisa>’a ahl al-kita>bi, Wala>
Yatazawwaju>na Nisa>’ana>”,[ kita boleh menikahi wanita ahl al-kita>b,
sedangkan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita
kita(muslimah)].95
Naman lengkapnya adalah Jaluddin Abu Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar AlSuyu>t}i. Dilahirkan di Kairo pada tahun 849 H/1445 M . Dan Ia wafat pada tahun
911 H di kota Kairo. Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad bin Muhamad AlMahalli dan Jalaluddin Abdurahaman bin Abu Bakar al-Suyu>t}i, Al-Qur’an alKari>m Wa Biha>misihi Tafsir al-Imamain al-Jalalain (tahqiq : Abdul Qadir alArfauth)(t.tp : Dar Ibn Kathir, t.th), 35, Syeikh Muhammad Said Mursi,TokohTokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Idzamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar
Qarnan Min al-Zaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka AlKautsar, 2007), cet. 1, 349-350.
93
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>r al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/ 2003 M), cet. I, Juz
2, 565.
94
Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi AlMa’thu>r (tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo : Markaz Hijr Li aBu’uth Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I, Juz
ke-5, 198-199.
95
Diriwayatkan Ibn Jarir yang bersumber dari Ibn Abbas tentang halalnya
pernikahan.
‫ وأخرج‬. ‫ أحل لنا طعامهم ونساءهم‬: ‫أخرج ابن جرير عن ابن عباس فى األية قال‬
‫ من‬. ‫أحلت ذبائ اليهود والنصارى‬
ِ ‫ إنما‬: ‫ والحاكم وصححه عن ابن عباس قال‬, ‫الطبرانى‬
215
4. Al-Alu>si (w. 1270 H ), dalam kitab tafsirnya, Ru>h al-Ma'a>ni Fi
Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni.
Menurut Al-Alu>si96 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5,
adalah masih umum dalam hal kebolehan menikahi wanita ahl alkita>b, dengan catatan, bahwa Ia berstatus telah beriman. Al-Alu>si
tidak menyetujui pernikahan pria muslim dengan wanita harbiya>t,
berdasarkan QS. al-Muja>dilah/58:22, dengan alasan mereka sebagai
musuh orang-orang Islam. Akan tetapi ketidaksetujuan itu, bukan
berarti suatu keharaman atas pernikahan, melainkan hanyalah bersifat
tercela, karena tujuan dalam suatu pernikahan, menciptakan rasa
‫ قال رسول‬: ‫ وأخرج ابن جرير عن جابر بن عبد هللا قال‬. ‫أجل أنهم أمنوا بالتوراة واإلنجيل‬
‫ وال يتزوجون نساءنا‬, ‫ نتزوج نساء أهل الكتاب‬: ‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬
Dikeluarkan oleh ibn Jarir dari Ibn Abbas dalam salah satu ayat, ia
berkata : dihalalkan bagi kita makanan sembelihan Yahudi dan Nasrani, dan boleh
menikahi wanita mereka. Dalam riwayat yang lain, dikelurkan oleh al-T}abra>ni dan
al-Ha>kim dan telah ditashihnya, dari Ibn Abbas r.a berkata : sesungguhnya telah
dihalalkan sembelihan dari Yahudi dan Nasrani, karena alasan, bahwa mereka
beriman terhadap kitab taurat dan injil. Dan Ibn jarir meriwayatkan yang
bersumber dari Jabir bin Abdullah, berkata, Nabi Bersabda : Kita boleh menikahi
wanita ahl al-kitab, dan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita.
Jala>luddin al-Suyu>t}i (879-911 H), al-Du>rr al-Manthu>r Fi> Tafsi>r bi Al-Ma’thu>r
(tahqi>q : Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky)(Kairo:Markaz Hijr Li a-Bu’uth
Wa Al-Dira>sa>t al-Arabiyah Wa al-Isla>miyah, 1424 H/2003 M), cet. I, Juz ke-5,
198.
96
Al-Alusi dikenal seorang yang sangat cerdas, berwawasan luas, dan
berfikiran jernih. Dan pada usia 13 tahun sudah mulai belajar dan berkarya, yaitu
mulai beraktifitas tulis-menulis, sambil bersekolah di lembaga pendidikan dekat
rumahnya, sebuah universitas yang didirikan oleh Abdullah al-Aquli di daerah
Rasafah. Ia sangat menguasai masalah perbedaan mazhab, agama dan aliran-aliran,
seorang yang menganut mazhab salaf dalam bidang aqidah, dan mazhab Shafi'ih
dalam bidang fiqh. Hanya saja ia juga betaqlid kepada Abu Hanifah dalam banyak
masalah, namun pada akhir usianya ia lebih cenderung berijtihad dengan sendiri. Ia
telah meninggalkan khazanah keilmuan yang luar biasa, di antaranya yang sedang
kita bicarakan, yaitu Tafsir Ru>h al-Ma'a>ni Fi Tafsi>r al-Qur'a>n al-Azhi>m Wa alSab'u al-Matha>ni. H}a>shiyah Ala> al-Qat}r, Sharh al-Sulam fi al-Mantiq, al-Ajwibah
al-Ira>qiyah Ala al-As’ilah Ira>niyah, Durah al-Ghawa>sy Fi Awham al-Khawa>s}, al-
Nufaha>t al-Qudsiyah Fi> Maba>hith al-Ima>miyah, al-Fawa>’id al-Sunniyah Fi ilmi
Adab al-Bahs. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta :
Pustaka Insan Madani, 2008 ), 121, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa
al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H /1976 M), Juz. I, cet. Ke-6, 251.
216
kedamaian dan kasih sayang menurut QS.al-Taubah/30:20.97 Akan
tetapi terhadap wanita al-muh}s}ana>t, Alu>si membolehkannya menikah
dengan wanita-wanita yang telah masuk Islam atau yang asalnya
telah beriman. Bertentangan memang dengan pendapat Ibu Umar,
yang menafsirkan secara zahir ayat, karena Ibn Umar r.a
mengharamkan pernikahan tersebut, berdasarkan hadits Nabi SAW,
yang bersumber dari Ibn Abbas, bahwa Nabi bersabda:” Rasulullah
telah melarang menikahi berbagai macam wanita, kecuali wanitawanita yang beriman di antara muhajirin, dan mengharamkan wanitawanita selain yang beragama Islam. 98
Selain alasan di atas, diperkuat dengan hadith lain, yang
bersumber dari Abdullah bin Ja>bir r.a.
‫ " أنه سئل عن نكاح‬, ‫ وابن المنذر عن جابر بن عبد هللا‬, ‫أخرج عبد الرزاق‬
‫ تزوجناهن زمن الفت ونحن النكاد نجد‬: ‫المسلم اليهودية والنصرانية فقال‬
. ‫المسلمات كثيرا فلما رجعنا طلقناهن‬
Diriwayatkan oleh Abdu Razaq, dan Ibn Munzir dari Jabir bin Abdullah,
ketika Rasulullah ditanya, tentang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani,
Rasulullah SAW menjawab : Kita menikahi mereka ketika zaman fath (Fathu
Makkah), karena sulit mendapatkan wanita-wanita muslim, namun setelah selesai
99
peperangan, kami menceraikan mereka.
Dari keterangan-keterangan di atas, al-Alu>si membolehkan,
menikahi wanita muh}s}ana>t (ahl al-kitab), karena alasan, tidak
mendapatkan wanita lain (muslimah), selain mereka, akan tetapi
setelah peristiwa Fathu Makkah tidak lagi dibolehkan. Bagaimana
tentang pernikahan dengan pria ahl al-kita>b ? Hampir, semua
97
Abu Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azhi>m Wa Sab’u al-Matsa>ni
(Beirut : Ida>rah al-Thaba’h Al-Muniriyah Dar Ihya’ al-Turats Al-Arabi, t.th), Juz
ke- 6, 66.
98
Lihat. Pembahasan Ibn Jarir al-T}abari dalam Bab III, Lihat. Abu Fadl
Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di (w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni
Fi> Tafsi>r Al-Qur’>an> al-‘Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni, 66.
99
Abu Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Az}i>m Wa Sab’u al-Matha>ni, 6,
66.
99
Abu Fadl Shiha>buddin al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si al-Baghda>di
(w. 1270 H), Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r Al-Qur’>a>n al-Azi>m Wa Sab’u al-Matha>ni,
66.
217
keterangan mufassir tidak menjelaskan, secara rinci tentang menikah
dengan pria ahl al-Kita>b, karena menurut mereka telah sepakat
dengan paham itu, sebagaimana dengan hadith Nabi S.A.W, dan telah
bersepakat Jumhur dengan Ijma’, bahwa menikahi pria ahl al-kita>b
tidaklah dibolehkan. Sebagaimana bunyi hadith Nabi S.A.W. ” (
‫()نتزوج نساء أهل الكتاب وال يتزوجون نساءنا‬kita boleh menikahi wanita ahl
al-kitab, sedangkan mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita
(muslimah)”.100
Sebagai kesimpulan dari beberapa penafsiran ulama-ulama
tafsir abad pertengahan II di atas, yaitu, menurut Ibn Kathir, Ia
membolehkan menikah dengan wanita ahl al-Kita>b yang beriman,
merdeka [hara>’ir ], dan terpelihara dari tuduhan zina. Demikian juga
menurut Jala>luddin al-Mahalli, yang hanya menambahkan alasannya,
karena kwawatir terhadap ajakan mereka, yang dapat berpengaruh
kepada jalan sesat (neraka), sementara menurut al-Suyu>t}i, boleh
nikah dengan wanita muh}s}ana>t, karena mereka wanita terhormat, dan
menjaga diri dari sifat tercela dan mandi hadath dari setiap Jina>bah.
Sedangkan menurut Al-Alu>si membolehkan menikahi mereka, ketika
tidak mendapati wanita muslim, di zaman perang, tetapi setelah
Fathu Makkah, tidaklah berlaku lagi status pernikahan itu.
H. Perspektif Penafsiran Ulama Tafsir Modern-Kontemporer
Karya-karya tafsir ulama-ulama tafsir modern-kontemporer,
seperti Muhammad Abduh (w. 1332 H/1905 M), Muhammad Rashi>d
Rid}a> (w. 1354 H/1935 M), Al-Mara>ghi (w. 1371 H/1945 M), Sayyid
Qutb (w. 1386 H/1966 M), Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M) dan
sebagainya, perlu dipelajari dan dikaji kembali untuk mengetahui
lebih jelas, sejarah sosial, pemikiran, serta metodologi penafsiran
mereka, tarkait penafsiran ayat-ayat pernikahan beda agama, antara
pernikahan muslim dengan wanita al-muh}s}ana>t [ahl al-Kita>b],
sebagaimana yang terkandung dalam QS. Al-Maidah/5:5. Lalu
pandangan menurut ulama tafsir abad ke 20 M ini atau abad ke-14 H,
dapat ditelusuri juga melalui pandangan-pandangan ulama tafsir,
seperti Abu> al-'Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Syeikh Mohammad
Shaltu>t (w. 1963 M), dan sebagainya, yaitu :
100
Lihat. Ibn Kathi>r, ‘Umdatu al-Tafsi>r An al-Ha>fidh Ibn Kathi>r
Mukhtas}ar Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}im
> , (Tahqiq: Syeikh Ahmad Syakir), Mansu>rah:
Da>r al-Wafa>’ Lit}aba>’ah Wa Nasr Wa Tawzi>’, 1426H/2005), Cet II, 265 .
218
1. Muhammad Abduh (1266-1332 H / 1849-1905 M) dan Rashi>d
Rid}a (1282-1354 H/1865-1935), dalam kitabnya, Tafsi>r Al-
Mana>r
Sebagai seorang mufassir yang lahir di era kebangkitan Islam,
Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a 101 dalam kitab tafsirnya mereka
mengangkat isu-isu kontemporer dengan mencoba menjelaskan
beberapa persoalan, yang terkandung dalam QS. Al-Maidah/5:5,
salah satunya, mengenai makna al-Muh}s}ana>t, yang terkandung
dalam ayat [Wal al-Muh}s}ana>t Mina Al-Mu’mina>t, Wa al-Muh}s}ana>t
Mina al-Lazi>na utu> al-Kita>b…...]. Menurut Rashi>d Rid}a terdapat dua
pengertian makna muh}s}ana>t, yaitu al-Hara>’ir (merdeka) dan al-Afa>if
(terpelihara). Akan tetapi dalam hal ini Rashi>d Rid}a, lebih memilih
makna al-muh}s}ana>t dalam pengertian al-afa>'if (terpelihara), yang
berbeda dengan pandangan ulama-ulama sebelumnya, seperti Ibn
Jari>r al-T}abari yang merupakan penafsiran yang bersumber dari para
ulama kalangan sahabat, seperti, Ibn Abba>s, Muja>hid, yang lebih
memilih makna al-hara>'ir sebagai wanita merdeka.102Alasan itu
dikemukakan Rashi>d Rid}a, karena menurutnya, lebih kuat, yaitu
seorang pria atau wanita bila telah menikah, maka harus saling
101
Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a adalah sosok ulama tafsir yang
sangat idealis dan moderat, keduanya memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menafsirkan kitab al-Qur’an. Selain, keduanya memiliki kemampuan yang
berbeda, tetapi tujuannya sama-sama ingin menjadikan Al-Qur’an, sebagai kitab
petunjuk dan pemberi jalan keluar dari problematika umat, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, intelektual masyarakat, dan memerangi taqli>d,
memberantas kurafa>t, dengan mengedepankan akal dan fikiran serta alasan-alasan
yang logis, sesuai petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, Rasyid Ridha dikenal sebagai
Mufasir, sekaligus ilmuwan yang sangat luas, walaupun terdapat beberapa
perbedaan pendapat dengan pendahulunya, bahkan kepada gurunya sekalipun,
Syeikh Muhammad Abduh, Ia tetap konsisten dan kritis terhadap pandanganpandangan pribadinya, sehingga dengan sikapnya yang kritis tersebut, wajarlah ia
menerima gelar dari gurunya, dan juga restu dari kalayak ramai, dengan sebutan,
al-Ustadz al-Imam. Al-Sayyid Muhammad Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum
Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 664-665,
Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah
Wahbah, 1396 H/1976 M), Juz. I, cet. Ke-6. 405-407,M. Quraish Shihab,
Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta : Lentera Hati,
2006), 143-144, 182-183.
102
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th), Jilid 6, 151.
219
menjaga diri dan memelihara dari perbuatan tercela, apalagi berbuat
zina. Demikian makna yang terkandung dalam kata muhsisni>n
[‫ ] محصننين‬sebagaimana bunyi teks [‫]مُحْ صِ ننِينَ ََ ْينََ مُسَ نافِحِينَ َوتَ ُم ذتَِنذِي أَ َْندَ ان‬,
menurut Qs.al-Maidah/5:5.103 Akan tetapi bagi yang memaknai almuh}s}ana>t, bermakna al-h}ara>'ir (merdeka), maka menikahi wanita ahl
ُ ‫ص َن‬
al-kita>b, tidaklah dibolehkan, bedasarkan QS.al-Nisa’/4:24[ ‫ات‬
َ ْ‫َوا ْلمُح‬
ُ
َ
ُ‫َّااو َ َ َء َكالِ ُكا ْم أَن َت ْو َت ُ اوا ِواََمْ َوالِك ْم‬
ُ
ُ
ُ
ُ
َّ
َ
َ
َ
ْ ‫م َِن ال ِّن َسآ ِء إِال َما َمل َك‬
َ ‫ااَ ِِ ََلا ْيك ْم َوأحِا َّل لكام م‬
َ ‫ت أ ْي َمانك ْم ِك َت‬
104
‫ِين‬
َ ‫ِين ََيْا َ م َُساافِح‬
َ ‫]مُحْ صِ ان‬. Demikian juga menurut pendapat Mazhab alSyafi’i, sebagaimana yang dianut sebagian ulama kalangan sahabat,
seperti, Ibn Abba>s, Muja>hid, yang juga diikuti oleh Ibn Jari>r alT}abari, dari keterangan Sofyan Thauri, al-Sha’bi, al-Hasan, al-Suddi
dan al-D}aha>q, yang berpendapat, bahwa mereka mandi setiap
berhadats besar [jina>bah]. 105
Sedangkan menikahkan wanita muslimah dengan pria ahl alkita>b, telah dijelaskan menurut ayat al-Maidah5/:5, yang menurut
Rashid Rid}a, telah bersepakat ulama, baik menurut al-Sunnah atau
Ijma’, diqiyaskan sebagaimana larangan menikahi pria musyrik,
karena alasan, seorang pria ahl al-kita>b, lebih kepada wilayah
kepemimpinan. Seorang pria sebagai pemimpin dalam keluarga dan
kaum wanita (istri). Sebaik-baik perlakuan adalah contoh yang
dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Namun dalam pernikahan
seorang wanita lemah dan tidak kuat dalam hal kepemimpinan dari
pria, maka dalam pernikahan semacam ini, tidak nanpak sisi
103
Al-Sayyid Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m alMashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r ( Beiru>t : Da>r al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 151.
104
Terjemahan QS./5:24, [Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki ( Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina.]. Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung : Gema Risalah Press), 158.
105
Sejumlah Mufassir Sahabat berselisih pendapat antara arti kata alMuh}s}ana>t yang berarti al-Hara>’ir (merdeka), sementara yang lain memahami alAfa>’if (terjaga). Rasyid Rida mengambil jalam tengah, dengan maksud makna
mushtarik lafdzi, atau jika tidak, maka menurutnya, pendapat yang terpilih adalah
makna al-Hara>ir, mereka orang merdeka, yang terpelihara dari perbuatan zina.
Dengan demikian, larangan menikahi wanita ahl al-kitab (yang merdeka), jika
demikian pasti tidak berlaku, bagi yang hanya sekedar terjaga (al-Afa’if ) karena,
alasan mereka lebih lemah dari yang merdeka. Al-Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut : Dar alKutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 6, 351.
220
positipnya, maka statusnya disamakan, seperti menikahi pria
musyrik, sebagai landasan pemahaman dalil yang terkandung dalam
nas}, bukan berdasarkan teks. Selain karena beralasan, bahwa seorang
pria lebih berhak mengurus pernikahannya sendiri yang berbeda
dengan seorang wanita, yang tidak bisa dilakukannya, melainkan atas
dasar persetujuan orang tua atau walinya.106
2.
Al-Mara>ghi ( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), dalam Tafsir Al-
Mara>ghi
Al-Mara>ghi107 dalam menafsirkan QS. al-Maidah/5:5, setelah
selesai menjelaskan status kebolehan atas sembelihan yang
dilakukan ahl al-kita>b, kemudian menjelaskan ketidakbolehannya
menikahi wanita mereka. Akan tetapi bila hal itu terjadi, Ia hanya
106
Lihat. Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,Tafsi>r Al-Qur’a>n al-H}aki>m
al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut:Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th ), Jilid 2, 283.
107
Al-Mara>ghi merupakan sosok ulama yang mengabdikan hampir seluruh
waktunya untuk kepentingan ilmu. Di sela-sela kesibukannya mengajar, ia
menyisihkan waktunya untuk menulis, diantara karyanya yang populer benama
Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m yang dikenal denganTafsir al-Mara>ghi. Gaya penafsiran
Al-Mara>ghi tercermin dalam karya penulisan Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a>,
dalam tafsir al-Mana>r, baik dari sisi metodologi serta pemikirannya, yang
mengikuti ilmuan serta pembaharu kedua tokoh tersebut, sehingga ada sebagian
yang menilainya, tafsir al-Mara>ghi adalah penyempurna tafsir al-Mana>r. Nama
lengkap Ahmad Must}afa al-Mara>ghi adalah Ahmad Must}afah bin Muhammad bin
Abdul Mun’im al-Mara>ghi. Dia adalah seorang ahli tafsir, ahli fiqh. Dia saudara
kandung Muhammad Musthafa Al-Mara>ghi, Sheikh al-Azhar. Dia lahir di kota
Mara>ghah, sebuah kota yang terletak di pinggiran sungai Nil, kira-kira 70 km, arah
selatan kota Kairo, pada tahun, 1300 H/1883 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan
al-Maraghi karena dinisbahkan pada kota kelahirannya, Al-Mara>ghi menetap di
Hilwan, sebuah kota sekitar 25 km dari Kairo, hingga ahkir hayatnya, pada usia 69
tahun (1371 H/1952 M). Dia telah menghafal al-Qur’an sejak ia tinggal di
kampungnya, menimba ilmu dari Bapaknya, kemudia ia masuk al-Azhar. Ia belajar
juga dari Mohammad Abduh, sehingga menguasai metodologi islahnya. Dia
meraih sertifikasi International pada tahun 1904 M, dan termasuk diantara
mahasiswa termuda di kalangannya, ditunjuk sebagai Ketua Pengadilan Tinggi
Syari’ah, kemudian menjadi Hakim Agung di sudan setelah mampuh menguasai
bahasa Inggris. Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah (’Iz}amu al-Islam ’Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min alZaman, terj. Khoirul Amrullah Harahap dkk)(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007),
cet. 1, 389, Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran :
Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H ), 357-358, Saiful Amin Ghafur, Profil
Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008),146-149, 151152, 156.
221
menetapkan sebagai syarat mutlaknya, adalah bahwa wanita ahl alkita>b yang boleh dinikahi adalah yang berstatus muh}s}ana>t, merdeka
(hara>’ir), beriman, halal menikahi wanita mereka baik yang berasal
dari Bangsa Yahudi setelah membayar mahar kepada mereka.108
Akan tetapi apabila, ahl al-kita>b itu tidak beriman atau
musyrik, maka secara zahir na>s}, baik menurut al-sunnah maupun
Ijma’, telah sepakat ulama mengharamkan menikahi pria mereka,
karena dibalik hikmah, rahasia pengharaman itu, kedudukan seorang
wanita tidak sebanding haknya dengan seorang pria dalam rumah
tangga. Karena pada kenyataan yang terjadi dalam pernikahan,
kedudukan pria lebih kuat dibanding wanita dalam hal
kepemimpinan, dan seorang suami yang non muslim lebih dominan
membawa kemusyrikan, karena timbulnya sama>hah [toleransi] yang
berlebihan, seperti dalam hal beribadah dan sebagainya. Jika
demikian, dalam pandangan ini, harapan untuk mencapai keluarga
saki>nah, mawaddah dan rahmah, akan sulit dicapai, melainkan akan
munculnya banyak perselisihan dan perpecahan, bahkan
perceraian.109
Demikian Al-Maraghi juga menyebutkan pendapat Abu
Hanifah dengan beberapa seleksi ketat, bila syarat tersebut telah
disepakati, tak lain tujuannya menjaga kehormatan mereka, baik pria
ahl al-kita>b atau wanita ahl al-kita>b yang akan dinikahi, dengan
terpeliharanya dari perbuatan keji. Apabila mereka melanggar
ketentuan yang telah ditetapkan atau melanggar syari’at Islam, maka
108
Ahmad Must}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Must}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945
M ),Juz ke-6, cet. I, 59.
109
Berpengaruh hubungan pernikahan wanita muslimah dengan pria
musyrik, di masyarakat Mesir.Bahwa pernikahan Wanita Muslim Mesir dengan
pria Inggris, menjalin hubungan keluarga yang tidak layak, rusaknya hubungan
antara keluarga, dengan berpindahnya tempat, selain, agama dan masyarakat,
bahkan pengarus keimanan terhadap hubungan suami-istri dalam beberapa hal,
sehingga keharmonisan dengan tujuan hidup berkeluarga sulit tercapai. Dengan
demikian, tidak akan terlihat, hikmah dari pernikahan semacam ini. Karena dasar
pernikahan menumbuhkan kasih sayang yang dasarnya dasar cinta karena Allah,
dan ketentraman tercipta dengan meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa.
Lihat. Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah
Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M), Juz ke2, Cet. I, 154.
222
akan batal-lah status pernikah itu, [‫] ومنن يكفنر باإليمنان فقند حنبط عملنه‬, dan
akan hapus segala amal baik yang telah diperbuatnya.110
Dengan kata lain, menurut al-Mara>ghi, bahwa telah dibolehkan
menikahi wanita ahl al-kitab atau pria ahl al-kitab, yang statusnya
telah beriman, menjaga kehormatan dan terpelihara dari perbuatan
keji.
3.
Muhammad Sayyid Qutb (1326-1386 H)/(1906-1966 M),
dalam Tafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur’a>n.
Penafsiran Sayyid Qutb,111 QS. Al-Maidah/5:5, sejalan
dengan penafsiran umumnya para ulama. Bentuk toleransi yang
diajarkan Islam dan interaksi yang dibangun merupakan sebagai
tujuan dari ajaran syariat ini. 112 Dalam konteks dan interaksi sosial,
110
Dalam ketentuan ini, Al-Maraghi mengutip riwayat Ibn Jari>r yang
berasal dari Qata>dah, Ia berkata: bertanya seseorang muslim, bagaimana menikahi
wanita ahl al-kitab yang jelas tidak beragama Islam ? Ia hanya menyebutkan
jawabanya dengan membacakan ayat (‫)ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله‬. Ahmad
Must}afa Al-Mara>ghi, Tafsir Al-Mara>ghi,(Kairo: Shirkah Maktabah Wa Mat}ba’ah
Must}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945 M ),Juz ke-6, cet. I, 60
111
Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutub bin Ibrahim bin Husein alSyazili. Ia dilahirkan di kampung Muwa>syah, kota Asyut, Mesir pada tahun 1906
M. Ia menyelesaikakan pendidikan sarjanya di Dar ulum pada tahun 1933 M,
sebuah universitas terkemuka di Kairo, dengan bidang Pengkajian Ilmu Islam dan
Sastra Arab dan di tempat tersebut dimana Imam Hasan al-Banna menuntut ilmu
sebelumnya. Ia seorang adalah anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan
tiga perempuan. Nama ayahnya adalah Al-Hajja Qutub Ibrahim anggota Hizbul
Wathan, dan seorang penulis di majalah The Banner (al-Liwa’), dan pada saat
Qutub lahir kondisi ekonomi keluarganya dalam kondisi krisis. Shahrough Akhavi,
Sayyid Qutub, dalam John L. Espo Sito (Ed), el.al. The Expord Encyclopedia Of
The Modern Word, Vol III, (New York : Expord Univercity Press, 1995 ), 400404, Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufassiru>n Fi> Tafsi}r al-
Ashr Al-H}ad>ith, Ard Wa Dira>sah Mufas}alah Li Ahka>m Kutub a-Tafsi>r AlMu’a>shir (Bairut : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H), cet. I, 347.
112
Sayyid Qutub merupakan sosok Mufasir di abad ke-19 M, yang
menghiasi beberapa lembaran pemikiran Islam abad modern, karena itu, ia
dimasukan ke dalam barisan tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya, seperti,
Muhammad Abduh, Syeikh Hasan Al-Banna, Syeikh Muhammad Sayyid Ridha,
dan lain sebagainya. Di dalam dunia akademis, Sayyid Qutb, banyak menghasilakn
karya-karya ilmiah, salah satu karyanya yang fenomenal di bidang tafsir, yaitu,
tafsir Fi> Z}ilal al-Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an). Dalam beberapa
pemikiran tafsirnya, Sayyid Qutb lebih dikenal kepada pemikir pembaharu dalam
gerakan-gerakan yang Islami, dan itu dapat terlihat, karena banyak terinspirasi
kepada pemikir-pemikir sebelumnya, seperti Al-Maududi, karena itu, sejarah
223
maka berinteraksi dengan ahl al-kita>b dibolehkan, walaupun Islam
menolak kebebasan beragama. Lalu dengan itu, tidak berarti boleh
meninggalkan akan pentignya kerjasama, baik hubungan muslim
dengan non muslim, seperti, hubungan pernikahan. Maka Sayyid
Qutb dalam persoalan pernikahan semacam ini, sependapat dengan
kebolehan menikahi wanita yang muh}s}ana>t dari ahl al-kita>b yang
telah beriman, terpelihara dan terjaga (afa>’if), selain harus bertsatus
merdeka (hara>’ir). Karena itu, Sayyid Qutb, juga menyetujui dengan
hubungan pernikahan semacam ini, selain, karena mereka memiliki
ikatan aqidah yang sama yang dibawanya dalam ajaran-ajaran agama
samawi. Sebagai suatu syarat yang harus terpenuhi adalah
membayarkan mahar kepada mereka, selain tidak bermaksud berbuat
tercela atau keji, dan tidak bertujuan menjadikan wanita piaraan atau
gundik. Karena pandangan itu dipahami banyaknya terjadi di masa
Jahiliyah, yang dikenal oleh masyarakat Arab sebelum datangnya
agama Islam. Kemudian datang Islam membolehkan pernikahan demi
mengangkat martabat mereka, untuk tarap kehidupan yang lebih baik
lagi. Lalu bagaimana dengan pernikahan para sahabat dengan wanita
kitabiya>t di awal Islam ?. Sayyid Qutb mengutip, perkataan Ibn
Kathir dalam kitab tafsirnya, “ Berkata Ibn Jarir al-Tabari
rahimahullah, bahwa setelah menjadi kesepakatan (ijma’) ulama,
tentang kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b, ia menyatakan,
sesungguhnya hal itu hanyalah tercela dan sebuah kekwatiran Umar
ra. saja atas pernikahan ini, yang berakibat bagi umat Islam akan
meninggalkan wanita-wanita muslimah untuk tidak menikahi mereka.
Telah diriwayatkan, bahwa Hudhaifah menikahi wanita Yahudi, lalu
Umar bin al-Khattab r.a menulis surat kepadanya, “Ceraikan dia“,
lalu Hudhaifah membalas suratnya itu, dengan berkata : “Apakah
menikahi wanita Yahudi itu haram hingga saya harus
menceraikannya ? Umar r.a menjawab : Aku tidak mengatakan hal
kehidupan sosialnya, mewarnai pemikiran tafsirnya. Dan di antara beberapa warna
tafsirnya, mengagkat masalah-masalah sosial kemasyaralatan (al-Adab alIjtima’i), yang banyak dibutuhkan generasi muslim sekarang ini, oleh karena
keunggulan inilah, menjadi nilai positip dalam pemikiran Sayyid Qutb, sebagai
sosok mufasir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran al-Qur’an.
http://ranah damaiku.blogspot.com.pemikiran Sayyid Qutb, disadur tanggal 10
Nopember 2011, http://www. mediamuslim.net. disadur, tanggal, 10 Nopember
2011.
112
Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah
Wa Nasyr Wa Tawzi’, t.th ), cet. Ke-4, 176.
224
itu haram, akan tetapi, aku kwawatir akan umat Islam meninggalkan
wanita muslim karena demi wanita Yahudi itu. Di dalam riwayat
lain, Umar mengatakan: Pria muslim boleh menikahi wanita Nasrani,
tetapi mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita muslimah “. 113
Kemudian, diakhir penjelasannya, Sayyid Qutb, menyatakan
dalam (‫) ومن يكفر باإليمان فقد حبط علمه وهو فنى األخنرة منن الخسنرين‬, bahwa itu
adalah sejalan dengan ajaran (syariat) Islam, yang dasarnya adalah
keimanan, sedangkan yang tidak beriman, maka tidak ada jalan atas
keselamatan mereka di dunia, dan kesengsaraan dalam kehidupan
akhirat nanti, bagi pernikahan terhadap yang bukan beragama
Islam.114
4. Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni (w. 1406 H/1986 M)
Dalam menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini, Al-S}a>bu>ni sepakat
membolehkan pria muslim menikah dengan wanita ahl al-kita>b,
sebagai bentuk takhs}i>s} terhadap QS. Al-Baqarah/2:221, dengan
alasan, bahwa al-mushrika>t dalam ayat ini, adalah al-wathaniyah
(penyembah berhala), yang tidak dihalalkan sembelihan mereka dan
tidak dihalalkan menikahi wanita-wanita mereka.115 Sementara
pandangan lain dari Al-Sa>bu>ni, terkait menikahi wanita ahl al-kita>b,
dengan terpenuhinya syarat dengan status sebagai wanita yang
beriman, merdeka (hara>’ir) dan terpelihara (afa>’if) dari perbuatan
zina, dan membolehkan menikahi mereka, setelah membayarkan
mahar mereka. Kemudian, dalam keterangan al-S}a>bu>ni, mengenai
pernikahan dengan pria ahl al-kita>b berbeda pandangan, yang
menurutnya, bahwa dalam aspek makanan (‫)وطعامكم حل لهم‬,
mempunyai dua tujuan, yaitu halal untuk kedua pihak, baik untuk
pihak mereka dan untuk orang Islam, sementara dalam pernikahan
hanya, dibolehkan menikahi wanita mereka (ahl al-kitab) dan tidak
sebaliknya. Karena jika dibolehkan menikah antara pria ahl al-Kita>b
dengan wanita muslimah, maka berlaku wilayah kepemimpinan, dan
Allah S.W.T telah melarang hal itu dan tidak menjadikan mereka
orang-orang kafir, sebagai pemimpin terhadap orang-orang beriman.
113
Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah
Wa Nasyr Wa Tawzi’, 1398H/1978M ), cet. Ke-7, Jilid I, 241.
114
Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’an (Beiru>t : Dar Al-Arabiyah Li T}aba’ah
Wa Nasyr Wa Tawzi’, 1398H/1978M ), cet. Ke-7, jilid I, 848.
115
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairut : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 383.
225
Berbeda dengan masalah makanan, yang tidak banyak berpengaruh
serta tidak banyak mendatangkan mudarat.116
Kemudian Al-S}a>bu>ni menyebutkan, pandangan Ulama yang
membolehkan pernikahan, dengan menyebutkan pendapat Jumhur
ulama fiqh, dengan alasan telah dibolehkan menikahi wanita
zimmiyah dari Yahudi dan Nasrani, dengan landasan QS. AlMaidah/5:5, selain menyebutkan pandangan ulama yang menolak,
termasuk Ibn Umar r.a, karena beralasan dengan QS. AlBaqarah/2:221 itu, dengan ungkapan, bahwa tidak ada kemusyrikan
yang lebih besar dari perkataan seorang wanita, tuhannya adalah Isa,
juga berlandasan untuk slalu menjahui terhadap orang-orang yang
memusuhi Islam ( ‫ ( الَ َت َّتخ ُِكوا ََدُوِّ ي َوََ دُوَّ ُك ْم أَ ْولِيَآ َء‬QS. Al-Mumtahanah/60:1.
Tetapi diakhir keterangannya, Ia hanya mengkritik pandangan itu,
bahwa ayat al-Maidah secara sari>kh (tegas) telah mengizinkan
kebolehannya, akan tetapi bagi yang menolaknya, karena Ibn Umar
r.a merasa kwawatir dengan pernikahan yang membawa dampak
negatip dan menimbulkan fitnah terutama pada suami dan anak-anak.
Karena pernikahan menumbuhkan rasa kecintaan, dan lebih dari itu,
besarnya kecintaan itu dapat membawa pengaruh pada kehidupan
rumahtangga, yang berdampak pula pada kehidupan anak-anak
khususnya, karena seorang anak biasanya lebih dekat kepada ibunya
ketimbang kepada ayahnya. Dan karena alasan itulah dasar
pengharaman itu dilontarkan. Dan apabila sudah tidak ada lagi
hambatan selain fitnah yang akan ditimbulkan, maka tak ada alasan
bagi ulama untuk menolak pernikahan semacam ini. 117
5. Wahbah al-Zuhaili (1351 H/1932 M), dalam kitabnya, Tafsir
al-Muni>r.
Menurut Wahbah Zuhaili118 dalam kitabnya, Tafsir al-Muni>r,
menafsirkan QS. Al-Maidah/5:5 ini, sejalan dengan para mufasir
116
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairut : Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1420 H/1999), cet. I, 381.
117
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni,Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n, 384
118
Dia lahir di Dair At}iyyah, yang terletak di pelosok kota Damascus,
Syria pada tahun 1351 H/ 1932 M. Nama lngkapnya Wahbah bin Musthafa alZuhaili. Seorang putra syeikh Must}afa al-Zuhaili, seorang petani sederehana yang
sangat alim, hafal al-Qur'an, rajin beribadah, dan gemar berpuasa. Sejarah
keilmuannya, dimualai dari bimbingan ayathnya, Wahbah, mengajarkan dasardasar agama Islam. Pendidikan formalnya, ia jalani hingga mecapai pendidikan di
bangku kuliah dan meraih gelar sarjananya pada tahun 1953 M di fakultas Syariah
226
pendahulunya, seperti, al-T}abari, al-Zamakhshari, al-Qurt}ubi, alRa>zi, Abu Hayyan dan sebagainya. Dalam penafsirannya, Ia sepakat
dengan Jumhur Ulama, membolehkan makanan hasil sembelihan ahl
al-kita>b dan menurutnya juga, ahl al-kita>b adalah orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang diturunkan Allah kepada mereka, melalui
para nabi, yang menyampaikan ajaran Taurat dan Injil. 119 Selain itu
Wahbah Zuahili menegaskan, bahwa halalnya, sembelihan ahl alkita>b, berlaku pula hukum timbal balik, yaitu halal sembelihan
mereka bagi orang-orang Islam. Tetapi dalam hal pernikahan,
tidaklah sebaliknya, bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita
ahl al-kita>b, sementara bagi pria ahl al-kita>b tidak boleh menikahi
wanita-wanita muslimah. 120 Wahbah Zuhaili juga, setuju dengan
menikahi wanita al-muh}s}ana>t, 121 yang dipahami sebagai wanita
beriman dari kalangan ahl al-kita>b yang merdeka lagi terpelihara dari
perbuatan zina, yang tidak terkecuali, apakah Ia berasal dari bangsa
Yahudi atau Nasrani, dan tidak membedakan antara status mereka
Universitas Damascus. Dan pada tahun 1956 M, ia meraih gelar doktornya, dalam
bidang syariah dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia mengajar di salah satu fakultas
Syariah di Universitas Damascus, pada tahun 1963 M, dan kariernya terus melaju,
sampai menjadi salah satu dekan di salah satu jurusan Fiqh al-Islami, hingga
menjadi guru besar. Keilmuan Wahbah berbanding dengan hasil karya-karyanya,
himpir sekitar 30 buku, dianatarnya, karya dibidang tafsir, bernama, al-Tafsi>r alMuni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj (16 jilid), lengkap di mulai dari
surat al-Fatiha hingga surat al-Nas. Dalam pemikiran tafsirnya, ia sebagaimana
disebutkan oleh Ali Iyazi dalam kitabnya, al-Mufassirun Haytuhum Wa
Minhajuhum, ia mengatakan, bahwa Wahbah dalam tafsirnya, menggabungkan
antara tafsir bi ra'yi (berdasarkan akal ) dan tafsir bi iwayah ( berdasarkan
riwayat), serta menggunkan bahasa kontemporer yang lugas serta mudah
dimengerti. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta :
Pustaka Insan Madani, 2008), 174-175, al-Sayyid Muhammad Ali Iya>zi, alMufassiru>n H}aya>tuhum Wa Manhajuhum (Teheran:Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa
Nasyr, 1415 H ), 684-690.
119
Wahbah Zuhaili, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa
al-Manhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'as}ir, t.th), Juz ke-5, 94.
120
Wahbah Zuhaili, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa
al-Manhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'as}ir, t.th ), Juz ke-5, 94.
121
Pendapat Zuhaili, terkait al-Muhs}ana>t yang dipahami sebagai wanita
merdeka (hara’ir), sebagaimana dimaksudkan Mujahid dan Jumhur Ulama dan
juga setuju, bila pahami adalah wanita yang terpelihara (afa’if), lagi cerdas dan
berakal, yang terhindar dari tuduhan berbuat zina, dalam pandangan Ibn Abbas.
Wahbah Zuhali, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa al-Manhaj
(Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'asir, t.th ), Juz ke-5, 99.
227
yang zimmi atau harbi, yang terpenting menjadi syarat adalah telah
membayar mahar mereka. Menurutnya juga, sebagai persyaratan
mutlak, bahwa, terkait pemberian mahar, wajib didahulukan, alasan
menurut mazhab Hanafi sebagai mazhab anutannya, karena selain
boleh menikahi wanita selain yang bertatus merdeka, maka tidak
mengapa menikahi wanita yang berstatus budak, asalkan ia beriman,
sebagaimana kesepakatan menurut pandangan Abu Hanifah. 122
6. Mutawwalli Sha’ra>wi, dalam kitabnya, Tafsir al-Sha’ra>wi
(Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar Kitab Suci)
Mutawalli al-Sha’ra>wi123 menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini,
terkait al-Muh}s}ana>t, dengan merujuk kepada dua pengertian, yaitu
(1). wanita yang merdeka, dan ke (2). wanita yang telah menikah.
Dalam kata ihs}a>n (‫ )إحصان‬terkandung arti memelihara diri dari
pergaulan yang tidak baik. Karena di masa Jahiliyah, wanita-wanita
merdeka tidak perna terdengan melakukan perbuatan zina. Perbuatan
zina, hanya terbatas pada hamba sahaya, karena hamba sahaya tidak
memiliki seorang ayah-ibu, atau saudara, sehingga mereka dianggap
tidak memiliki kehormatan. Oleh sebab itu, ketika Hindun seorang
istri Abu Sofyan, mendengar tentang peruatan zina, dia bertanya
kepada Rasulullah, apakah ada wanita merdeka yang melakukan itu ?
Seakan-akan wanita merdeka di zaman Jahiliyah tidak pernah
terdengar melakukan perbuatan zina, karena mereka dapat menahan
diri. 124 Mutawwali Al-Sha’ra>wi lebih memilih, makna al-muh}s}ana>t
dengan pengertian wanita yang telah menikah, karena Allah S.W.T
122
Wahbah Zuhali, al-Tafsi>r al-Muni>r Fi> al-Aqi>dah Wa Al-Shari>'ah Wa alManhaj (Beiru>t ; Da>r Fikr al- Mu'asi>r, t.th), Juz ke-5, 95.
123
Nama lengkapnya, Muhammad Mutawalli al-Sha’ra>wi,[Sheikh alSha'ra>wi ] lahir di hari Ahad, Rabiusthani tahun 1329 H /16 April 1911 M di desa
Daqadus Mait Ghamair kabupaten Dakhaliyah. Wafat tanggal 22 Syafar 1419
H/17 Juni 1998 M, dimakamkan di desa Daqadus. Berasal dari keturunan ahl bait,
yang merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW, yaitu Hasan ra. Dan Husein r.a.
ada yang dari nama Qabilah Bangsa Arab, yang berdomisili di daerah Hijaz
bagian Selatan, wilayah Tabuk sampai Yaman, kemudian pindah ke desa Dakadus,
Mesir. Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r al-
Ashr Al-H}ad>ith, Ard Wa Dira>sah Mufasalah Li Ah}ka>m Kutu>b a-Tafsi>r AlMu’a>shir (Bairut : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H), cet. I, 220, Muhammad Ali
Iya>zi, al-Mufasiru>n H}aya>tuhum Wa Manhajuhum (Teheran:Mu’asasah al-T}aba>’ah
Wa Nasr Wa Wiza>rah al-Tsaqa>fah Al-Irsha>d al-Isla>mi,1373 H ), 268-274.
124
Muhammad Mutawalli Sha’ra>wi, Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar
Kitab Suci Al-Qur’an ( Medan : Duta Azhar, 2006 ), Jilid 3, Juz V dan VI, 536.
228
telah menyamakan, makna muh}s}ana>t yang mukmin sama dengan
muh}s}ana>t yang berasal dari ahl al-Kita>b, karena mereka sama-sama
dapat menjauhkan diri dari perbuatan zina. Dan yang tepenting
menurut al-Sha’rawi, sebagai penekanannya telah menjadi syarat
mutlak yaitu harus memberi mahar kepada mereka.125
7. Abu> Al-‘Ala> Al-Maudu>di (w. 1979 M), Tafsir Tafhi>m alQur’an
Menurut Al-Maudu>di menafsirkan ayat al-Maidah/5:5 ini,
bahwa setelah dihalalkannya makanan atas sembelihan ahl al-kita>b,
dan juga halal makanan orang mukmin bagi mereka. Lalu al-Maudu>di
menjelaskan kebolehan orang muslim menikahi wanita-wanita nonmuslim, yang berasal dari agama Kristen atau Yahudi yang jelas
statusnya muh}s}ana>t. Pendapat al-Maudu>di tentang al-muhsana>t,
mengutif pendapat Ibn Abbas r.a, bahwa muh}s}ana>t adalah orang yang
telah diberi kitab (al al-Kita>b), yang hidup dibawah perlindungan
kekuasaan Negara Islam (Da>r al-Islam). Maka larangan berlaku juga,
bagi wanita-wanita dari Yahudi (Jews), Nasrani (Kristians) yang
tinggal wilayah perang (Da>r al-Harb), atau di negara non-Islam (Da>r
al-Kufr).126 Bertolak belakang al-Maudu>di dengan Mazhab Hanafi,
yang pada akhirnya, Ia menyetujui, atas penolakan menikahi wanitawanita (ahl al-kita>b), yang tidak berarti, hal itu telah melanggar
hukum. Al-Mawdu>di, mengutip Said Ibn Musayyab dan Hasan Basri
yang menurut mereka, tidak ada perbedaan antara yang berstatus ahl
al-dhimmah(orang-orang non muslim dibawah kekuasaan Negara
Islam) atau yang bukan.127 Karena adanya perbedaan definisi tentang
al-Muh}s}ana>t, menurut Umar bin al-Khattab, yaitu wanita yang
menjaga kesucian diri dan memiliki karakter akhlak yang baik. Maka
jika demikian, makna al-muh}s}ana>t, menurut al-Maudu>di, penikahan
dengan kriteria wanita tersebut dibolehkan.128 Menurut pandangan al125
Muhammad Mutawalli Sha’ra>wi, Tafsir Sha’ra>wi, Renungan Seputar
Kitab Suci Al-Qur’an ( Medan : duta Azhar, 2006 ), Jilid 3, Juz V dan VI, 536.
126
Sayyid Abu> Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an
(Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari)(London:The Islamic
Foundation, 1409 H/1989 M ), Vol. 2, Surahs 4-6, 137.
127
Sayyid Abu> Al A’la> Al- Mawdu>di,Towards Understanding The Qur’an
(Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ), 138.
128
Sayyid Abu Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an
(Tafhim Al-Qur’an)(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ),138.
229
Maudu>di juga, bahwa pernikahan semacam ini, sebagai bentuk
kebolehan dalam situasi yang mendesak, dan bukan sekedar karena
rasa cinta, sehingga melupakan kesadaran, yang menyebabkan
berpengaruhnya keyakinan, apalagi berpindah agama, jika hal
demikian terjadi, maka pernikahan yang dilakukan itu tidak sesuai
dengan pandangan Islam.129
8. Muhammad Shaltu>t (1893-1963 M), Tafsir Al-Qur’an Wa alMar’ah.
Dalam menafsirkan QS. Al-Maidah/5:5 ini, Muhammad
Shaltu>t setuju dengan pendapat para ulama, atas kebolehan menikahi
wanita ahl al-Kita>b. Muhammad Shaltut membedakan antara ayat alMushrika>t QS. al-Baqarah/2:221 dan ayat ahl al-Kita>b QS. AlMaidah/5:5, karena itu Ia membolehkan laki-laki muslim menikahi
wanita ahl al-Kita>b, atas dasar ayat al-Maidah 5, selain karena
mereka memiliki kesamaan pandangan dengan ajaran samawi dan isi
kitab suci yang diturunkan kepada mereka.130 Berbeda pandangan
ulama yang menolak secara mutlak, karena alasan kemusyrikan,
sebagaimana menurut Abdullah bin Umar r.a dan beberapa kalangan
sahabat lain, dengan alasan, karena mereka telah merubah isi ajaran
yang disampaikan nabi-nabi mereka dan mengingkari ajaran yang
dibawa Nabi Muhammad SAW, karena alasan itulah menurut Ibn
Umar r.a memandangnya mereka sebagai musyrik, walaupun mereka
beriman kepada Allah, tetapi mengingkari ajaran yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW menurut QS.Yusuf/12:106, dan atas dasar
itulah perintah untuk menjauhi orang-orang kafir menurut QS. alMaidah/5:51, al-Imrah/3:118, dan QS.al-Mumtahanah/60:1. Oleh
karena itulah, mereka keluar dari isi kandungan ayat al-Maidah/5:5
ini. Perbedaan menjadi alasan yang tidak dapat dipungkiri, baik
menurut ulama yang membolehkan maupun menurut ulama yang
menolak, karena perbedaan dalam memahami Mas}dar al-Taysri>’i.
Karena alasan setiap pria sebagai pemimpin dalam keluarga, dan
sebagai pemimpin lazimnya megajak keluarganya berprilaku sesuai
dengan ajaran Islam. Dibolehkannya, menikahi wanita ahl al-kita>b,
129
Sayyid Abu Al A’la> Al- Mawdu>di, Towards Understanding The Qur’an
(Tafhim Al-Qur’an )(Traslated by : Zafar Ishaq Ansari ),139.
130
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo : Da>r Syuruk, 1405 H/1987),
Cet. Ke-14, 239.
230
dengan satu harapan dapat menjadi panutan, suami mencintai ajaran
rasulnya, sebagai panutan, sebagai contoh teladan bagi sang istri,
contoh prilaku teladan dan kebebasan beragama yang disandangnya,
tanpa harus ada paksaan, sebagai suatu bentuk sama>hah (toleransi)
dalam ajaran Islam. Karena itulah hikmah dibalik dibolehkannya
pernikahan semacam ini, dalam pandangan ulama yang
membolehkan atas dasar ajaran tasyri' ini.131 Tetapi, jika seorang
suami yang lemah pandangannya tentang Islam, lemah akidah, serta
mudah mengikuti ajakan yang tidak Islami, toleransi berlebihan, tentu
kondisi yang seperti ini bertentangan dengan tujuan syari’at Islam.
Maka kondisi seperti ini, menurut pandangan Islam, status
pernikahan menjadi diharamkam.132
Tetapi Muhammad Shaltut berpandangan lebih tegas lagi, jika
nyatanya seorang suami dalam hal ini, tidak sanggup memimpin
rumah tangga (keluarga), maka lazimnya, bagi seorang pemimpin,
atau dalam suatu pemerintahan harus meniadakan terjadinya
pernikahan serupa di masa yang akan datang, sebagaimana yang di
alami umat Islam dewasa ini, dengan mengawini wanita-wanita
Eropa yang non Muslim. Maka dengan kondisi seperti ini, pernikahan
menjadi batal.133
Kesimpulan dari penafsiran ulama-ulama modernkontemporer ini, seperti Muhammad Abduh dan Rashi>d Rid}a lebih
memilih makna al-muh}s}anat dengan pengertian al-afa>'if, yaitu
terpelihara dengan alasan lebih kuat, atau pria atau wanita bila sudah
menikah, harus saling menjaga diri dan memelihara atas perbuatan
tercela, apalagi melakukan zina. Al-Mara>ghi tidak membolehkan
menikahi wanita muh}s}ana>t, melainkan setelah memenuhi syarat
mutlak, ia merdeka(hara>’ir) dan beriman. Sedangkan Sayyid Qutub
membolehkan menikahi wanita muh}s}ana>t yang yang beriman,
terpelihara dan terjaga (afa>’if) dan merdeka (hara>’ir), demikian
menurut Ali al-S}a>bu>ni, akan tetapi Al-Sha’ra>wi lebih memilih, almuh}s}ana>t dengan arti wanita yang telah menikah, menyamakan,
131
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo:Dar Syuruk, 1405 H/1987 M),
Cet. Ke-14, 240.
132
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 240.
133
Muhammad Shaltu>t, Al-Fata>wa Dira>satun Li Mushkila>ti al-Muslim alMua>’s}ir Fi> H}aya>tihi al-Yaumiyah al->Amah, 241.
231
makna muh}s}ana>t yang mukmin dengan muh}s}anat yang berasal dari
ahl al-Kita>b, yang menjauhkan diri dari perbuatan buruk dengan
syarat mutlak, telah memberi mahar.
Kemudian pandangan ulama tafsir lain, seperti, Al-Maudu>di,
membolehkan pernikahan terhadap non-muslim [Kristen dan Yahudi]
dan sebagainya, yang berstatus muh}s}ana>t atau wanita-wanita yang
tidak memiliki kitab suci, dibawah kekuasaan Islam [ da>r Islam ],
yang hanya dalam situasi mendesak, serta memiliki karakter yang
baik dan menjaga keimanan. Sementara Shaltu>t, membolehkan
dengan bersyarat, jika pria sebagai suami, sebagai pemimpin yang
kuat, yang dapat menjunjung tinggi karakter yang Islami, menjadi
panutan dalam keluarga [kepada Istri khususnya dan anak-anaknya ],
kebebasan beragama, tanpak harus ada pemaksaan, merupakan
sebuah contoh toleransi ajaran Islam. Maka, penikahan dengan
wanita muhsana>t, dibolehkan.
I. Penafsiran Ulama-ulama Tafsir Indonesia dan Cendekiawan
Muslim134
Para Ulama Tafsir Indonesia turut mengambil perannya,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terkait penafsiran, ayat-ayat
pernikahan beda agama, di antaranya, menurut Mahmud Yunus (w.
1399 H/1982M), Hamka (Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah)
(w.1981M), Muhammad Quraish Shihab serta beberapa pandangan
Sarjana Muslim dan Cendekiawan Muslim Indonesia.
1. Mahmud Yunus (w. 1399 H/1982 M)( Tafsir Qur’an Indonesia,
1935 M
Menurut Mahmud Yunus dalam tafsirnya, dalam menafsirkan
QS. Al-Maidah/5:5, selain membolehkan memakan makanan hasil
sembelihan ahl al-kita>b (Yahudi dan Nasrani), juga membolehkan
mengawini perempuan yang muh}s}ana>t, yaitu, perempuan-perempuan
beriman dari ahl al-kita>b, setelah membayarkan maskawin mereka,
dan tidak bertujuan berzina dan tidak pula untuk mengambil teman
134
Untuk kriteria ini, Para Ulama Tafsir Indonesia adalah ahli tafsir yang
menafsirkan al-Qur’an, selain itu mereka meiliki karya-karya tafsir yang dapat
dijadikan acuan, sedangkan selain itu, mereka adalah seorang ulama atau sebagai
cendekiawan muslim yang ikut berbicara mengenai tafsir al-Qur’an dan bukan
sebagai Mufassir.
232
rahasia. 135 Demikian senada pandangan Mahmud Yunus, dengan Tim
Departemen Agama, yang menyatakan kebolehannya, dengan
mengawini perempuan beriman, yang merdeka dan bukan budak dari
perempuan ahl al-Kita>b. Dan menurutnya, mempertegas dalam
tafsirannya, al-muh}s}ana>t adalah perempuan-perempuan yang
menjaga kehormatan diri. Dalam hal ini, Tim Departemen Agama,
telah membolehkan laki-laki muslim mengawini perempuan ahl alKita>b, dengan kewajiban harus memberi nafkah, dengan tidak
bermaksud, seperti yang tersirat untuk berzina dan bukan pula
menjadikan sebagai wanita piaraan. Sebaliknya bagi wanita-wanita
muslimah, tidaklah dibolehkan kawin dengan laki-laki ahl al-Kita>b
yang statusnya kafir dan bukan dari ahl al-Kitab.136
2. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka)(w.1981M),
Dalam Tafsir Al-Azhar, 1973
Hamka menjelaskan ayat QS. Al-Maidah/5:5, setelah
menjelaskan status halalnya sembelihan ahl al-kita>b, dan
dihalalkannya menikahi wanita mereka, setelah belaku larangan
menikahi wanita musyrik, sebagai pengkhususan. Juga Ia
menegaskan, mengawini perempuan yang mu'minat dan mengawini
perempuan ahl al-kita>b, setelah usai membayarkan mahar mereka.
Dalam hal ini, pandangan Hamka, bagi seorang mu'min selain boleh
mengawini perempuan sesama Muslim, dibolehkan juga mengawini
perempuan ahl al-kita>b, dari wanitaYahudi atau Nasrani, dengan
tidak harus masuk Islam terlebih dahulu, atau tanpa adanya paksaan,
sebagaimana disebutkan menurut QS.al-Baqarah/2:256 (La Ikra>ha Fi>
al-Din). Yang demikian adalah salah satu faham toleransi [tasa>muh]
dalam Islam, yang sangat besar, yaitu, dengan dua izin kebolehan,
pertama, kebolehan memakan sembelihan ahl al-kita>b dan yang
kedua kebolehan mengawini perempuan mereka. 137
Hamka juga menegaskan, bahwa bagi seorang muslim telah
memiliki cahaya tauhid dalam dirinya, maka sekiranya mereka orang
yang baik, bertetangga dengan beragama lain, dan tidak kwawatir,
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim ( Jakarta : PT. Hidakarya Agung
Jakarta, 1414 H / 1993 M ), Cet. Ke-31, 146.
136
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, ( Jakarta : Depag RI,
1990 /1991 M ), Juz 4-5-6, 379.
137
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ),
Juz 1-3, 143-144.
135
233
akan goyahnya agama, karena menikahi wanita yang berlainan agama
dengannya, dia akan menjadi pemimpin dalam rumahtangga, menjadi
contoh kesalihan dan keta’atan kepada Tuhannya, merupakan contoh
teladan yang baik, terhadap istri dan keluarga.138 Lalu menurut
Hamka dalam penafsiran kata, al-muh}s}ana>t, dipahami sebagai
perempuan-perempuan yang merdeka, baik muhshana>t yang
mu’minat, atau muh}s}ana>t dari ahl al-kita>b. Sebagaimana dipahami
kata al-muh}s}ana>t itu adalah perempuan yang terbentengi, perempuan
merdeka, perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina, dan
bukan pula sebagai budak. Maka derajat wanita beriman atau dari ahl
al-kita>b sebagai istri-istri dari laki-laki Muslim disamakan status
hukumnya dalam ayat ini, [‫[] محصنين غير مسافحين وال متخذي أخذان‬dalam
keadaan menikah, bukan pezinah dan bukan mengambil piaraan ].139
Lalu penafsiran ayat itu ditutup dengan ( ‫ومن يكفر باإليمان فقد حبط عمله‬
‫) )وهو فى األخرة من الخاسرين‬barangsiapa yang menolak keimanan maka
sesungguhnya percumalah amalan, dan adalah dia di akhirat termasuk
golongan yang rugi), QS. al-Maidah/5:5. Diakhir keterangan Hamka
menutup penjelasannya, jika seorang lelaki muslim yang lemah
imannya, maka dilarang menikahi wanita ahl al-kita>b, karena alasan
tadi, dan toleransi yang berlebihan, akan berpengaruh pada akidah,
dan dapat berpengaruh kepada kemurtadan, bila demikian, maka
status hukum pernikahan yang dikehendaki, hendaklah dihalangi. 140
3. Muhammad Quraish Shihab (Tafsir Al-Misba>h, 1990 M)
Menurut Quraish Shihab, penjelasan mengenai kawin dengan
ahl al-Kita>b, menjelaskan status al-muh}s}ana>t dalam penggalan ayat
al-Maidah/5: 5 ini [ ‫والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتو الكتاب من‬
‫] قبلكم‬, adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya yang harus
didahulukan untuk dinikahi, baik berstatus mukminah atau dari ahl
al-kita>b. Pandangan lain, tentang al-muh}s}anat, bahwa kata tersebut,
bila dirangkai dengan kata utu> al-kita>b, maka bisa berarti wanitawanita yang merdeka dan terpelihara kehormatan. Karena dengan
itulah, menurut Quraish Shihab rahasia didahulukannya penyebutan
wanita-wanita mukminat dari ahl al-kita>b dalam teks [ ‫والمحصنات من‬
138
Hamka, Tafsir Al-Azhar ( Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ),
Juz 1-3, 144.
139
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas, 1982 ),
Juz 1-3, 144.
140
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 145.
234
‫] المؤمنات والمحصنات من الذين أوتو الكتاب من قبلكم‬, dapat memberi isyarat,
bahwa persamaan agama dan pandangan hidup, sangatlah membantu
melahirkan ketentraman, bahkan sangat menentukan atas
kelanggengan dalam rumah tangga. Kemudian Quraish Shihab dalam
penafsirannya, menghalalkan sembelihan ahl al-kita>b dan
menghalalkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kita>b,
baik dari Yahudi atau Nasrani, akan tetapi menurutnya, tetap menjadi
suatu ancaman, bahwa kekufuran, merupakan peringatan kepada
setiap individu yang akan merencanakan perkawinan dengan mereka,
maka hendaknya berhati-hati dengan pernikahan semacam ini, karena
akibatnya adalah siksaan di akhirat nanti. 141
4. Sarjana dan Cendekiawan Muslim Indonesia.
Beberapa Sarjana dan Cendekiawan Muslim Indonesia
bebicara tentang persoalan nikah beda agama, terkait al-muh}s}ana>t
dalam teks QS. al-Maidah/5:5 ini.
Pertama, Menurut Nurchalis Madjid ayat ini, merupakan ayat
revolusi, sebagai jawaban atas keraguan orang-orang muslim, prihal
menikahi non muslim. Ayat pertama, yang turun dalam masalah ini,
adalah QS. al-Baqarah/2:221, terkait orang musyrik, yang dimaknai
sebagai pelarangan untuk semua non-muslim. Lalu datanglah ayat
kedua, sebagai ayat revolusi membuka jalan, bagi wanita Kristen dan
Yahudi (ahl al-Kita>b) untuk melakukan pernikahan dengan orangorang muslim. Sehingga ayat tersebut memilik dua fungsi sekaligus,
yaitu, (1). sebagai penghapus (na>sikh) dan (2). sebagai pengkhusuh
(mukhas}is}) dari ayat sebelumnya, yang merupakan pelarangan
menikah dengan orang-orang musyrik. Tanpaknya, Nurchalis Madjid
tidak menyinggung tentang muh}s}ana>t, karena intinya, telah masuk
dalam kriteria ahl al-kita>b. Dengan kesimpulan, bahwa, Nurchalis
menyatakan, bahwa dalam kaidah fiqh, bila terdapat dua ayat yang
bertentangan, maka menurut metodologi tafsir, pendekatan nasakh
sebagai alternatif diberlakukan, dengan mengambil ayat yang lebih
akhir turun, untuk menyelesaikan persoalan ini, dan ayat al-Maidah
me-nasakh status hukum ayat al-Baqarah. Dengan demikian, melalui
141
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), Volume 1, cet. I, 29.
235
pendekatan na>sikh dan mansu>kh, maka hukum dalam menyelesaikan
persoalan ini menjadi pilihan.142
Menurut Nurchalis tidak cukup sampai di situ, berlanjut
sampai kepada status bolehan menikahi wanita muslimah dengan
laki-laki non-Muslim (Kristen dan Yahudi), atau agama-agama nonsemitik lainnya. Dengan kata lain, Nurchalis Madjid, membolehkan
pernikahan beda agama, dengan alasan, karena tidak terdapatnya
ayat yang s}ari>kh [jelas] atas larangan pernikahan wanita muslimah
dengan laki-laki non Muslim, baik Yahudi, Nasrani, atau lainnya.
Justru Nurchalis menyangkal, status hadits Nabi S.A.W yang
menyatakan, sebagai pelarangan itu, yaitu ” Kami boleh menikahi
wanita-wanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh
menikahi wanita-wanita kami (muslimah). Dan menurutnya, dalam
ungkapan Umar bin al-Khattab, ” Bahwa seorang muslim boleh
menikahi wanita Nasrani, tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh
menikahi wanita Muslimah ”. Hadits di ini, menurut penelitian Sudqi
Jamil al-At}t}ar sebagai status hadits yang tidak sahih. Bahkan
menurutnya juga, hadith yang disebutkan itu termasuk dalam katagori
hadi>th mauqu>f,143 yaitu sebagai hadith yang sanadnya terputus hingga
Ja>bir, demikian menurut Nurchalis Majid. Lalu mengutip penjelasan,
sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-’Umm, al-Imam al-Sha>fi’i,
mengungkapkan hal yang sama. Sementara ungkapan Umar bin alKhatab, menyatakan hanya sebuah kekwatiran saja, bila wanitawanita Muslim yang dinikahi pria non-Muslim akan berpindah agama
dengan perkawinan semacam ini, sementara dalam dakwah, umat
Islam membutuhkan kuantitas dan jumlah yang banyak dari pengikutpengikutnya yang setia.144
142
Nurcholis Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004 ),162.
143
H}adi>th Mauqu>f, menurut al-Nawawi sebagaiman dikutip al-Suyuti,
hadits yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliu, perbuatan,
atau taqrir, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi'(terputus).
Sedangkan al-Thahhan, mendefinisikan,sesuatu yang disandarkan kepada sahabat,
berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan (taqri>r). Mahmud al-T}ahha>n, Taysi>r
Mus}t}alah al-Hadi>th ( Riyad:Maktabah Ma'arif, 1405 H/1985 M), cet. Ke-7, Nawir
Yuslem, Ulul al-Hadits (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 2001 ), 130, 284.
144
Madjid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.) Mun'im Sirry,
Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat : Inklusif-Pluralis ( Jakarta :
Paramadina, 2004 ),164.
236
Sebagai, kesimpulan, bahwa pernikahan laki-laki non Muslim
dengan wanita muslimah, merupakan wilayah Ijtihad, maka amat
mungkin bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah
boleh menikah dengan laki-laki non-muslim atau pernikahan beda
agama secara luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran
kepercayaan mereka. 145
Kedua, Menurut Muhammad Ghalib, bahwa ayat alMaidah/5:5 berbicara, tentang bolehnya laki-laki muslim menikah
dengan wanita ahl al-Kita>b dan tidak menyinggung sebaliknya.
Pernyataan Muhammad Ghalib itu, bila seandainya perkawinan
semacam ini dibolehkan, maka pasti ayat al-Maidah tersebut akan
menegaskan tentang kebolehannya. Oleh karena itu, Galib
menyetujui dengan pengertian, bahwa laki-laki muslim boleh
menikahi wanita ahl al-kita>b, dengan sedikit syarat, bahwa statusnya
harus sebagai wanita yang muh}s}ana>t. Menurut Ghalib juga, bahwa
kata al-Muh}s}ana>t, sebagaimana dikutip dari pendapat al-T}abari,
adalah wanita yang telah memeluk agama Islam, atau mereka yang
sejak awalnya telah beriman, karena terlahir dari keluarga muslim. 146
Maka, menurut Galib, makna al-muh}s}ana>t, adalah wanita-wanita
beriman, yang memelihara kehormatan. Jika demikain, maksud
wanita al-muh}s}ana>t adalah wanita ahl al-Kita>b yang ditujukan alQur’an, adalah seorang wanita yang berperangai baik, yang boleh
dinikahi oleh pria muslim. 147
Ketiga, Menurut Nashruddin Baidan dalam penafsirannya
terhadap QS.al-Maidah/5:5, Ia menyebutnya dengan sebutan
perkawinan campuran.148 Ia menyatakan, bahwa para ulama tidak
memiliki kata sepakat dalam pengertian al-mushrika>t atau ahl alkita>b dalam teks QS.al-Baqarah/2:221 maupun QS. al-Maidah/5:5.
Walaupun secara explisit telah tersirat, kebolehan pernikahan dengan
wanita ahl al-kita>b. Pendapat lain, menurut Nashruddin Baidan, yang
mengutip pendapat ulama Mazhab Shafi’i, bahwa wanita-wanita ahl
145
Nurcholis Majid, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noer (edit.)
Mun'im Sirry, Fiqh Lintas Agama:Membangun Masyarakat:Inklusif-Pluralis
(Jakarta : Paramadina, 2004),164.
146
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 166.
147
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 167.
148
Nashruddin Baidan, Tafsir Madhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial
Kontemporer (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2001), cet. I, 38.
237
al-kita>b, yang halal dinikahi adalah dari keturunan nenek moyang
yang beragama, sebelum nabi Muhammad S.A.W diutus. Tegasnya,
bagi mereka yang memeluk agama setelah diutusnya Nabi
Muhammad SAW, tidak lagi dihalalkan. Singkatnya, menurut
pendapat ini, maka bagi mereka yang masuk dalam katagori agama
Yahudi atau Nasrani setelah diutusnya Muhammad S.A.W, tidak
halal lagi dinikahi. Kemudian, Nashruddin Baidan, mengutip
pendapat Prof. Ibrahin Husein, yang mempertegas penganut pendapat
semacam ini, dengan memperjelas kata al-Muh}sa} na>t QS. AlMaidah/5:5, [ ‫] والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم‬, yang mencakup
ruang-lingkupnya, dibatasi dengan lafaz [ ‫] من قبلكم‬, yang terletak
sesudah kata [‫]المحصنات‬. Maka pengertiannya, ahl al-Kita>b, adalah
mereka-mereka yang beragama nenek moyang sebelum Nabi
Muhammad S.A.W diutus.149
Uraian di atas, sebagai kesimpulan, dapat digaris bawahi,
bahwa perkawinan yang dibolehkan adalah perkawinan seorang pria
muslim dengan wanita non muslim, tidak sebaliknya. Pendapat yang
lebih tegas lagi, seperti yang dianut oleh Ibn Umar, melarang sama
sekali, pernikahan semacam ini. Akan tetapi, menjadi beralasan bagi
yang membolehkan, dengan ungkapan bersyarat, jika sang suami
tidak merasa khawatir akan terpengaruh dari sang istri yang bukan
Islam, sebagaimana difatwakan Muhamad Shaltut, maka pernikahan
semacam ini menjadi dibolehkan. 150 Sementara pendapat kalangan
Mazhab Shafi’i membolehkan menikahi wanita al-kita>biya>t, yang
merupakan anak cucu dari pemeluk agama ahl al-kita>b sebelum Nabi
Muhammad S.A.W diutus, dan sebaliknya mengharamkan menikah
dengan wanita ahl al-kita>b setelah diutusnya Nabi Muhammad
S.A.W.151
Kesimpulan akhir menurut penafsiran ulama tafsir Indonesia,
bahwa Hamka membolehkan menikahi wanita al-muh}s}ana>t atas dasar
sama>hah (toleransi ), terhadap perempuan yang terbentengi, merdeka,
149
Nashruddin Baidan,Tafsir Maudhu'i, Solusi Qur'ani atas Masalah
Sosial Kontemporer, 39.
150
Muhammad Shaltut, Al-Fata>wa Dira>satun Li Musykila>ti al-Muslim alMua>’shir Fi> Haya>tihi al-Yaumiyah al->Amah (Kairo : Dar Syuruk, 1405 H/1987 M),
Cet. Ke-14, 240.
151
Nashruddin Baidan, Tafsir Mawd}u>'i, Solusi Qur'ani atas Masalah Sosial
Kontemporer , 40.
238
dan terhormat, bukan pezina, dan bukan sebagai budak. Sedangkan
menurut Quraish Shihab, boleh menikahi wanita-wanita yang
merdeka, terpelihara kehormatannya, dengan satu syarat persamaan
agama dan pandangan hidup, sangatlah membantu dalam melahirkan
ketentraman, kelanggengan rumah tangga. Sedangkan menurut
Sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia, seperti, Nurchalis
Madjid, memahami, QS. al-Maidah/5:5 ini, sebagai ayat revolusi,
pembuka jalan bagi wanita Kristen, Yahud (ahl al-kita>b), untuk
melakukan pernikahan dengan orang Islam, yang secara, dwi fungsi,
sebagai penghapus dan pengkhususan, terhadap larangan pria muslim
menikahi wanita musyrik, berdasarkan QS.al-Baqarah/2:221.
Sedangkan pendapat Nashruddin Baidan, yang mengutip pendapat
Mazhab Shafi’i, menyatakan, wanita-wanita ahl al-kita>b, yang halal
dinikahi adalah dari keturunan nenek moyang mereka yang
beragama, sebelum nabi Muhammad S.A.W diutus, sedangkan, bagi
mereka yang memeluk agama setelah diutusnya Nabi Muhammad
S.A.W, tidak lagi dobolehkan. Sedangkan menurut Muhammad
Galib, menikahi wanita al-muh}s}ana>t, yang beriman, dan terpelihara
kehormatan hukumnya dibolehkan. *
239
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula
bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
(QS. Al-Maidah/5:5)
240
241
Download